Tahun Depan, Supercell Bakal Adakan Turnamen Brawl Stars

Tak lama setelah Brawl Stars World Championship selesai digelar, Supercell mengumumkan bahwa mereka akan kembali mengadakan turnamen untuk Brawl Stars pada tahun depan. Berdasarkan video teaser yang Supercell buat, turnamen Brawl Stars pada 2020 ini akan bersifat terbuka. Itu artinya, semua pemain boleh berpartisipasi, terlepas apakah mereka merupakan bagian dari tim esports profesional atau tidak. Satu syarat dari Supercell adalah pemain harus berumur setidaknya 16 tahun.

Supercell akan mengadakan babak kualifikasi bulanan untuk turnamen Brawl Stars pada tahun depan. Tim yang menang pada setiap babak kualifikasi akan mendapatkan tiket untuk bertanding di babak final. Format ini serupa dengan format yang Supercell gunakan pada Clash of Clans World Championship. Clash of Clans adalah game lain buatan Supercell. Clash of Clans World Championship berlangsung selama enam bulan. Setiap bulan, diadakan babak kualifikasi online. Tim juara babak kualifikasi diundang untuk hadir dalam babak final yang menjadi bagian dari ESL One Hamburg.

Supercell baru saja menyelenggarakan Brawl Stars World Finals di BEXCO Auditorium yang terletak di Busan, Korea Selatan. Di sini, Nova Esports keluar sebagai juara setelah bersaing dengan tim-tim lain seperti Animal Chanparu, 3Bears, Dr. HK, SSG Brazil, Spacestation Gaming, Tribe Gaming, dan PSG Esports. Dalam turnamen Brawl Stars, Supercell menyiapkan US$250 ribu.

“Tingkat kemampuan yang ditunjukkan oleh tim Nova dan tim-tim lain dalam Brawl Stars World Championship membuat kami semakin tidak sabar untuk melihat masa depan dari esports Brawl Stars,” kata Kim Jensen, yang bertanggung jawab atas esports Brawl Stars di Supercell. “Komunitas kami telah mempersiapkan turnamen global sejak sebelum Brawl Stars diluncurkan pada Desember tahun lalu, dan dalam waktu kurang dari satu tahun, mereka telah mengasah kemampuan mereka sampai ke level yang tinggi. Kami tidak sabar untuk mengadakan turnamen pada 2020 dan melihat siapa yang akan menjadi juara kompetisi global ini.”

Selain Brawl Stars, Supercell juga mengaku tertarik untuk mengembangkan esports Clash of Clans. Ketika itu, mereka mengatakan bahwa tertarik untuk melakukan itu karena komunitas Clash of Clans telah mengadakan berbagai kompetisi pada tingkat akar rumput.

NODWIN dan Blink Buat AI untuk Mudahkan Pembuatan Konten Esports

Industri esports diperkirakan akan bernilai hampir US$3 miliar pada 2023. Saat ini, sumber pendapatan utama industri esports masih sponsorship. Memang, belakangan, semakin banyak perusahaan yang tak ada kaitannya dengan esports yang mulai tertarik untuk masuk ke ranah competitive gaming, mulai dari perusahaan makanan seperti Dua Kelinci, layanan keuangan seperti GoPay, sampai perusahaan otomotif seperti Audi. Salah satu alasan merek non-endemik tertarik untuk mendukung tim atau liga esports adalah karena audiens esports yang relatif muda. Honda, misalnya, mendukung liga League of Legends di kawasan Amerika Utara demi mendekatkan diri dengan kalangan milenial dan gen Z.

Selain umur penonton yang relatif muda, merek non-endemik menjadi tertarik untuk menjadi sponsor esports karena jumlah penonton esports yang terus naik. Jumlah audiens esports sangat dipengaruhi oleh ketersediaan konten. Sayangnya, membuat konten esports tidak mudah. CFO Activision Blizzard Dennis Durkin mengatakan, konten pertandingan esports harusnya dibuat sedemikian rupa sehingga orang awam sekalipun bisa memahami jalannya pertandingan. Ini mendorong NODWIN Gaming untuk bekerja sama dengan Blink untuk membuat AI yang dapat memilih momen terbaik dari sebuah pertandingan esports. Selain itu, AI ini juga akan dapat membuat potongan video yang menunjukkan highlight pertandingan dan menampilkan konten dalam banyak perspektif. Semua ini dapat dilakukan secara real-time sehingga video langsung bisa disiarkan pada penonton.

Sumber: TalkEsport
Sumber: TalkEsport

“Kami senang karena bisa bekerja sama dengan perusahaan sebesar Blink untuk memberikan konten berkualitas dan juga platform untuk berinteraksi pada komunitas esports,” kata CEO dan pendiri NODWIN Gaming, Akhsat Rathee, menurut laporan The Esports Observer. “Acara besar seperti PMCO dapat menghasilkan konten sampai ribuan jam dan Blink memungkinkan kami untuk mengakses momen terbaik dari turnamen tersebut secara real-time.” Memang, AI buatan NODWIN Gaming dan Blink ini akan digunakan untuk pertama kalinya dalam PUBG Mobile Open di India.

AI buatan NODWIN dan Blink ini akan memudahkan proses pembuatan video, baik untuk penyelenggara turnamen maupun streamer individual. Dengan bantuan AI ini, biaya untuk memproduksi bisa ditekan atau membuat proses membuat konten menjadi lebih cepat.

NODWIN Gaming adalah perusahaan asal India yang membuat konten untuk esports dan game, seperti Esports 360 dan The Cosplay Genie Show. Sementara Blink adalah perusahaan di bawah Amazon yang bergerak di bidang otomatisasi. Blink mengklaim, mreeka adalah perusahaan pertama yang menggabungkan teknologi AI, suara, dan visual untuk menganalisa turnamen esports secara real-time serta memilih momen paling menarik untuk disiarkan di platform streaming dan media sosial. Continue reading NODWIN dan Blink Buat AI untuk Mudahkan Pembuatan Konten Esports

Platfrom Streaming Game VR, LIV Dapatkan Investasi Rp36,7 Miliar

Platform streaming Virtual Reality, LIV, mendapatkan pendanaan Seri A sebesar US$2,6 juta (sekitar Rp36,7 miliar). Pendanaan kali ini dipimpin oleh Hiro Capital, perusahaan venture capital yang memang memfokuskan diri untuk menyokong perusahaan-perushaaan yang bergerak di bidang esports dan game.

LIV didirikan pada 2016 oleh AJ Shewki (Dr Doom), Steffan “Ruu” Donal, dan teman-teman mereka yang pernah bekerja sabagai streamer Twitch, developer game, dan mantan pemain competitive game. Mereka semua pernah mencoba headset VR dan percaya bahwa VR memiliki potensi besar di industri hiburan dan esports. Namun, ketika mereka mencoba untuk melakukan streaming game VR, mereka merasa bahwa pengalaman menonton para penonton tidak memuaskan.

“Alat yang digunakan untuk menyiarkan game PC tidak bisa menunjukkan intensitas yang kami rasakan saat bermain game VR,” kata Dr Doom, CEO dan Co-founder LIV, pada VentureBeat. “Di VR, tubuh Anda menjadi alat untuk mengendalikan game, dan itulah salah satu alasan mengapa bermain game VR menarik. Ketika bermain game VR, Anda akan merasa seolah-olah Anda masuk dalam dunia game, tapi penonton tidak akan bisa merasakan hal tersebut kecuali jika kita menunjukkan bagaimana pemain berinteraksi dengan keadaan di sekeliling mereka. Dan inilah awal mula kami — kami ingin memberikan pengalaman menonton game VR yang lebih baik.”

Sumber: LIV.tv
Sumber: LIV.tv

LIV akan menggunakan pendanaan Seri A ini untuk merekrut lebih banyak orang untuk mengembangkan platform streaming VR mereka. Selain itu, mereka juga akan menjalin kerja sama dengan lebih banyak game studio untuk mengintegrasikan platform mereka dengan game buatan para developer. Sebelum ini, LIV telah mendapatkan pendanaan Seed dari Seedcamp asal London, Techstars asal Los Angeles, dan Credo Ventures dari Prague. Ketika itu, Jaroslav Beck dari Beat Games dan kreator Oculus Rift, Palmer Lucky juga ikut mendukung pendanaan untuk LIV. Dalam pendanaan Seri A kali ini, selain Hiro Capital, Credo Ventures dan Seedcamp juga ikut.

Managing Partner, Hiro Capital, Luke Alvarez mengatakan bahwa pendanaan atas LIV merupakan pendanaan pertama mereka di bidang Esports/Streaming. Dia juga menyebutkan, saat ini, pasar VR memang masih kecil, tapi audiens streaming sudah besar. Sementara itu, Partner, Credo Ventures, Ondrej Bartos berkata, “VR telah menjadi industri yang menjanjikan selama beberapa waktu dan kami percaya, teknologi yang LIV buat akan dapat merealisasikan potensi di pasar VR.”

Sumber header: PYMNTS.com

Industri Esports Tumbuh Pesat, Fasilitas Esports di AS Menjamur

Esports tengah berkembang pesat, mendorong semakin banyak perusahaan untuk menjadi sponsor dan investor. Karena itulah, dalam beberapa tahun belakangan, semakin banyak liga dan tim esports yang muncul. Memang, esports berbasis digital. Meskipun begitu, penyelenggara turnamen esports tetap memerlukan stadion dengan kapasitas yang cukup besar untuk mengadakan turnamen esports. Inilah yang mendorong pertumbuhan bisnis pembangunan stadion khusus esports. Walau di Indonesia jumlah stadion khusus esports tak banyak, di Amerika Serikat dan Tiongkok, semakin banyak pihak yang tertarik untuk membuat stadion khusus esports.

Salah satu stadion khusus esports yang tengah dibangun adalah Fusion Arena. Biaya membangun stadion berkapasitas 3.500 kursi ini mencapai US$50 juta. Stadion milik Comcast Spectator tersebut akan menjadi markas untuk tim Overwatch League mereka, Philadelphia Fusion. Mulai tahun depan, Overwatch League memang akan menggunakan sistem kandang-tandang, mendorong tim-tim yang ikut serta di dalamnya untuk membuat markas sendiri.

Brian Esposito, Vice President of Partnership, Spectra, yang merupakan agen sales eksklusif dari Fusion Arena mengatakan bahwa stadion ini memang dibuat khusus untuk esports. “Kami tidak mencoba melakukan retrofit, kami memang membuat stadion ini khusus untuk para penggemar esports,” katanya, seperti dikutip dari The Esports Observer. Dia mengatakan, lain halnya dengan kebanyakan stadion olahraga tradisional, semua kursi di Fusion Arena akan menghadap ke panggung utama. Fusion Arena dibangun di Philadelphia Sport Complex, yang merupakan pusat dari olahraga di kota tersebut. Selain sebagai tempat bertanding, Fusion Arena ini juga akan digunakan sebagai tempat latihan tim esports.

Fusion Arena | Sumber: fusionarenaphilly.com
Fusion Arena | Sumber: fusionarenaphilly.com

Saat ini, Esposito tengah mencari sponsor pada tingkat founder. Proses ini tak jauh berbeda dengan proses pembangunan stadion untuk olahraga tradisional. Sayangnya, dia enggan untuk memberitahukan pihak yang menjadi calon pembeli, tapi dia mengaku dia akan mengumumkan soal sponsorship ini pada akhir tahun 2019 atau awal 2020. Fusion Arena sendiri baru akan dibuka pada 2021. Namun, Spectra ingin bisa mendapatkan sponsor di awal proses pembangunan sehingga pihak sponsor juga bisa menentukan desain dari stadion tersebut.

Di Amerika Serikat, perusahaan properti juga tertarik untuk masuk ke ranah esports. Simon Property Group menanamkan investasi US$5 juta di Allied Esports untuk menyediakan fasilitas esports di sejumlah pusat perbelanjaan mereka. Dengan begitu, mereka bisa mengadakan kompetisi esports di mall-mall mereka. Di Indonesia, cukup banyak turnamen esports yang diadakan di mall, seperti Legion of Champions yang diadakan di Mall Taman Anggrek pada awal November 2019.

CEO Allied, Frank Ng mengatakan, fasilitas yang dibangun oleh Allied dengan Simon akan dijadikan sebagai pusat komunitas esports. Dengan begitu, para pengunjung pusat perbelanjaan di bawah Simon akan mendapatkan pengalaman yang berbeda dari berkunjung ke mall lain.

“Sebagai industri, esports masih bayi, masih sangat muda… tapi, satu faktor yang sangat penting adalah kita harus bisa menyajikan pengalaman menonton offline, sama seperti ketika Anda menonton konser untuk musik, film, atau teater,” kata ng. “Anda harus memiliki tempat fisik untuk memberikan kesan otentik sehingga para hardcore player akan menjadi influencer untuk menyebarkan informasi dari ke semua orang, karena itulah, kami membuat pusat untuk komunitas, yang akan berperan penting dalam industri.”

Selain itu, Nerd Street Gamers juga berusaha untuk menyediakan tempat untuk bermain yang disebut sebagai Localhost. Mereka sadar, tidak semua orang memiliki akses ke perangkat atau jaringan internet yang memadai untuk bermain game esports. Visi mereka didukung oleh perusahaan retail Five Below, yang baru saja memimpin pendanaan Seri A.

Sumber header: fusionarenaphilly.com

Berinvestasi di League of Legends Championship Series, Apakah Menguntungkan?

Sejak 2017, Riot Games menggunakan model franchise untuk League of Legends Championship Series, liga LoL untuk kawasan Amerika Utara. Dalam liga yang menggunakan model franchise, tim yang hendak bertanding harus membayar sejumlah uang untuk membeli slot dari liga tersebut. Echo Fox mengeluarkan US$10 juta untuk membeli slot LCS pada 2017. Belum lama ini, slot tim Echo Fox dibeli oleh Evil Geniuses. Menurut orang yang mengaku tahu tentang transaksi ini, Evil Geniuses mengeluarkan US$33 juta. Ini menunjukkan bahwa harga slot franchise LCS naik 230 persen dalam waktu dua tahun.

Selain itu, Michael Prindiville, CEO Dignitas, mengaku bahwa prioritasnya setelah dia menjabat sebagai CEO Dignitas adalah untuk mendapatkan slot LCS. Dignitas akhirnya bisa kembali ke LCS setelah mereka melakukan merger dengan Clutch Gaming. Nilai merger ini dikabarkan mencapai US$20 juta. Dalam daftar 13 perusahaan esports dengan nilai terbesar menurut Forbes, 9 di antaranya merupakan pemegang slot franchise untuk liga League of Legends di Amerika Utara dan Eropa. Masing-masing perusahaan memiliki nilai lebih dari US$120 juta. Namun, itu bukan berarti organisasi esports yang ikut berlaga dalam LCS atau liga LoL lainnya sudah mendapatkan untung dari liga tersebut.

Menurut Will Hershey, co-founder dan CEO Roundhill Investments, alasan mengapa organisasi esports tertarik berlaga di liga League of Legends adalah karena popularitas dari game buatan Riot Games tersebut. Berbeda dengan olahraga tradisional yang keberadaannya tidak tergantung pada satu perusahaan, keberlangsungan esports sangat tergantung pada sang developer. Jika Riot memutuskan untuk menutup League of Legends, maka liga esports dari game itu juga akan mati. Namun, 10 tahun sejak dirilis, League of Legends masih populer. Pada 2018, Riot mendapatkan US$1,4 miliar dari game yang bisa dimainkan secara gratis tersebut. Ini menjadikan League of Legends sebagai game dengan pendapatan terbesar nomor tiga, menurut data SuperData.

“Jika Anda ingin terlibat dalam satu game, League of Legends adalah pilihan yang paling masuk akal,” kata Hershey, dikutip dari The Washington Post. “Game ini tidak hanya berumur panjang, tapi juga memberikan kontribusi besar pada pendapatan publisher. Pendapatan dari sebuah game adalah faktor paling penting yang harus dipertimbangkan ketika Anda hendak menanamkan investasi.”

Sumber: leagueoflegends.com
Sumber: leagueoflegends.com

Hal lain yang menjadi pertimbangan calon investor adalah hak siar media, menurut Josh Champan, co-founder dan Managing Partner, Konvoy Ventures, perusahaan venture capital yang fokus pada industri game dan esports. “Saya rasa, liga ini akan menghasilkan banyak uang. Apakah ini akan menguntungkan tim esports, tergantung pada besar investasi dari masing-masing tim dan pembagian pendapatan dari hak siar media untuk setiap tim.”

Chapman mengatakan, hak siar media untuk liga esports akan berbeda dari hak siar untuk liga olahraga tradisional seperti NFL, liga american football di Amerika Serikat. NFL memiliki kontrak senilai SU$27,9 miliar selama 9 tahun dengan CBS, NBC, dan FOX. Sebagai perbandingan, pada 2016, Riot menjual hak siar esports League of Legends selama 7 tahun pada BAMTech dengan nilai US$300 juta, menurut Wall Street Journal. Perjanjian ini lalu diperbarui pada 2018, ketika Disney mengakuisisi BAMTech. Hak siar esports LoL kemudian dipindahtangankan ke platform streaming ESPN+. Sayangnya, tidak diketahui berapa besar nilai dari perjanjian hak siar baru tersebut.

Sumber: Geek.com
Sumber: Geek.com

Untuk memperkirakan nilai hak siar esports League of Legends, Chapman menggunakan Overwatch League (OWL) dari Activision Blizzard sebagai perbandingan. Twitch membayar US$90 juta untuk mendapatkan hak siar eksklusif dari OWL selama dua tahun. Sejak September 2017 sampai Agustus 2019, Overwatch memiliki jumlah penonton rata-rata 33.987 setiap bulannya. Itu artinya, Twitch membayar US$1.324 untuk satu penonton. Sementara itu, League of Legends memiliki jumlah rata-rata penonton 116.669 orang. Dengan harga yang sama, maka hak siar eksklusif untuk esports League of Legends akan bernilai US$154,5 juta per tahun.

Namun, Chapman dan Hershey percaya, Twitch membayar harga terlalu mahal untuk hak siar eksklusif akan OWL. Chapman memperkirakan, channel resmi Twitch OWL hanya berkontribusi US$8,2 juta dari total pendapatan iklan Overwatch League selama periode dari September 2018 sampai Agustus 2019. Angka ini jauh lebih rendah dari harga US$45 juta yang dibayarkan oleh Twitch. Meskipun begitu, Hershey tetap percaya bahwa hak siar media akan menjadi sumber pendapatan utama dari sebuah liga, selain dari sponsorship dan penjualan merchandise.

“Ada satu perbedaan besar antara esports dan olahrga tradisional,” kata Hershey. “Penonton harus rela membayar jika mereka ingin menonton pertandingan olahraga tradisional Tapi, selama ini, mereka bisa menonton esports dengan gratis. Jadi, ini adalah salah satu masalah besar yang harus diselesaikan oleh penyelenggara industri esports.”

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Saat ini, setidaknya 35 persen dari total pendapatan LCS masuk ke kantong pemain, 32,5 persen untuk tim, dan 32,5 persen sisanya untuk Riot. Menurut Hershey, pada 2018, masing-masing tim mendapatkan hampir US$1 juta. Pada tahun ini, dia memperkirakan angka itu naik menjadi sekitar US$1 juta sampai US$2 juta. “Masih jauh lebih rendah dari jumlah yang mereka bayarkan untuk mendapatkan slot franchise LCS,” katanya. “Tapi, sekarang, kita masih ada di tahap awal dalam memonetisasi liga esports.”

Chapman berharap, para pemilik slot LCS mengerti bahwa investasi mereka tidak akan berbuah dalam waktu dekat. Dia memperkirakan, diperlukan waktu bertahun-tahun sebelum para peserta LCS bisa mendapatkan untung. Hal ini tidak hanya terjadi pada esports League of Legends, tapi juga pada Activision Blizzard, yang menggunakan sistem franchise untuk menyelenggarakan Overwatch League dan Call of Duty League pada tahun depan.

Ini tidak membuat Prindiville dari Dignitas gentar. Dia mengatakan, dia tidak memiliki rencana untuk keluar dari scene esports League of Legends dalam waktu dekat. “Kami rasa, esports ini masih bisa bertahan selama 50 tahun lagi,” katanya. “Dalam waktu pendek, pendapatan akan datang dari sponsorship dan hak siar media. Dalam jangka panjang, kami ingin memiliki slot ke sejumlah franchise penting seperti LCS, karena nilainya akan naik seiring dengan waktu. Dalam 10-20 tahun lagi, siapa yang tahu berapa harga dari slot LCS? Begitulah cara Anda membangun perusahaan besar, inilah cara untuk mendapatkan kembali jutaan dollar yang telah Anda keluarkan.”

Sumber header: Business Insider

Q3 2019, Activision Blizzard Kesulitan Pertahankan Jumlah Pemain

Activision Blizzard mendapatkan US$1,28 miliar pada Q3 2019, lebih tinggi dari perkiraan mereka, yang hanya mencapai SU$1,1 miliar. Meskipun begitu, pendapatan mereka pada kuartal ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pendapatan mereka pada Q3 2018, yang mencapai US$1,51 miliar. Pendapatan developer atau publisher game memang biasanya dipengaruhi oleh game yang mereka luncurkan. Namun, mereka juga harus memerhatikan jumlah pemain dan tingkat engagement pemain dari game-game yang telah mereka rilis.

Meskipun pendapatannya pada Q3 2019 lebih baik dari perkiraan, Activision kesulitan untuk mempertahankan jumlah pemain aktif. Selama dua tahun belakangan, muncul tren penurunan dalam jumlah pemain aktif bulanan game-game mereka, seperti Call of Duty, Overwatch, dan World of Craft. Dan hal ini terjadi di semua divisi mereka, mulai dari Activision, Blizzard, sampai King. Menurut Motley Fool, penurunan engagement pemain ini memang belum memberikan dampak besar pada pendapatan Activision Blizzard secara keseluruhan. Namun, jika tren ini terus berlanjut, hal ini akan memengaruhi pendapatan Activision Blizzard di masa depan.

Jumlah pemain dari masing-masing divisi Activision Blizzard | Sumber data: Motley Fool
Jumlah pemain dari masing-masing divisi Activision Blizzard | Sumber data: Motley Fool

Esports jadi salah satu cara bagi Activision Blizzard untuk menarik pemain baru. Dengan model franchise, Overwatch League terbukti cukup sukses, dan Activision Blizzard berencana untuk menggunakan model serupa untuk Call of Duty League yang akan diadakan pada tahun depan. Secara teori, esports seharusnya bisa meningkatkan jumlah pemain atau membuat gamer menjadi lebih aktif bermain. Diperkirakan, esports menjadi salah satu pendorong tumbuhnya pasar game di Asia Tenggara dan Taiwan dalam waktu beberapa tahun ke depan. Sayangnya, kesuksesan Activision Blizzard dalam menyelenggarakan liga esports, tampaknya tak membantu mereka menambah jumlah pemain aktif bulanan.

Strategi lain yang Activision Blizzard lakukan untuk meningkatkan engagement pemain adalah dengan meluncurkan game Call of Duty Mobile. Game ini memang sukses. Dalam waktu satu bulan setelah diluncurkan, game tersebut telah diunduh 148 juta kali. Meskipun begitu, kesuksesan COD Mobile mungkin tak memberikan dampak yang terlalu besar pada keuangan Activision Blizzard secara keseluruhan.

CEO Activision Blizzard, Bobby Kotick mengatakan bahwa mereka puas dengan game baru yang mereka luncurkan, tapi dia juga mengungkap, mereka harus mempersiapkan diri untuk menghadapi Q4 2019. Dia memperkirakan, pengeluaran mereka akan naik selama musim liburan. Selain COD Mobile, World of Warcraft Classic juga mendapatkan sambutan yang cukup baik. Selain meluncurkan game baru, Activision Blizzard juga memberikan update pada sejumlah game lama mereka, seperti Candy Crush, yang masih menguasai pasar game niche. COO Coddy Johnson mengaku, mereka puas dengan momentum dari sejumlah franchsie mereka, yang menunjukkan potensi besar. Pada saat yang sama, CFO Dennis Durkin memeringatkan bahwa mereka tetap harus berhati-hati pada Q4 2019.

Pada 2020, target Activision Blizzard adalah untuk menambah jumlah pemain aktif dari game-game mereka. Untuk mencapai hal ini, para eksekutif perusahaan bahkan siap untuk menomorduakan keuntungan perusahaan. Keputusan ini mungkin akan memengaruhi pendapatan perusahaan pada 2019. Namun, jika mereka berhasil menambah jumlah pemain aktif, mereka akan dapat meningkatkan keuntungan yang mereka dapatkan di masa depan.

Sumber header: Dot Esports

Google Targetkan Gamer Perempuan dengan Stadia Controller

Dunia game dan esports masih sering diidentikkan sebagai dunia pria. Karena itulah, perusahaan pembuat konsol seperti Sony dan Microsoft biasanya menggunakan desain dan warna yang maskulin untuk controller konsol mereka. Controller PlayStation misalnya, hadir dalam warna hitam. Selain itu, banyak controller PlayStation yang tampil dalam warna neon atau dengan corak camo. Sementara itu, controller Xbox juga biasanya memiliki warna maskulin seperti biru elektrik. Nintendo adalah salah satu perusahaan pembuat konsol yang berusaha untuk menarik perhatian para gamer perempuan dan tak hanya gamer pria. Ketika perusahaan asal Jepang itu meluncurkan Nintendo Switch, mereka juga menyediakan konsol itu dalam warna cerah seperti kuning dan turquoise.

Google sebentar lagi akan meluncurkan layanan cloud gaming mereka, Stadia. Bersamaan dengan itu, mereka juga akan memperkenalkan Stadia controller. Salah satu strategi yang mereka gunakan untuk bersaing dalam industri game yang diperkirakan memiliki nilai US$152 miliar ini adalah dengan menargetkan para gamer perempuan, yang memang belum mendapatkan banyak perhatian. Inilah alasan mengapa Google meluncurkan Stadia controller dalam tiga warna: hitam, putih, dan hijau Wasabi.

Sebelum mereka menentukan hijau Wasabi sebagai salah satu warna untuk controller-nya, Google melakukan polling pada ribuan gamer tentang warna yang sebaiknya mereka gunakan. Menurut Director of Design, Google, Isabelle Olsson, hijau Wasabi dipilih karena warna ini disukai baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Warna hijau Wasabi dari Stadia controller. | Sumber: Julian Chokkattu/Digital Trends
Warna hijau Wasabi dari Stadia controller. | Sumber: Julian Chokkattu/Digital Trends

“Baik pria dan perempuan senang dengan warna ini. Warna hijau Wasabi disukai kedua gender, tapi tetap ekspresif,” kata Olsson, dikutip dari CNN Business. “Sulit untuk menemukan warna seperti itu.” Tak hanya masalah warna, Google juga mencoba untuk mendesain Stadia controller agar ia nyaman untuk digenggam oleh perempuan, yang biasanya memiliki tangan lebih kecil dari pria. Google mengaku bahwa mereka memang sengaja melakukan ini.

“Controller ini dibuat agar nyaman untuk digunakan baik oleh pria yang memiliki tangan besar atau perempuan yang memiliki tangan lebih kecil,” kata Google Industrial Designer, Jason Pi. Strategi yang Google gunakan ini bisa menjadi kunci untuk bagi mereka untuk bersaing dengan Sony, Nintendo, dan Microsoft serta mendapatkan gamer yang lebih beragam. Menurut Entertainment Software Association, di Amerika Serikat, 46 persen gamer adalah perempuan. Sementara survei yang dilakukan oleh Google Play dan Newzoo menunjukkan bahwa 49 persen mobile gamer adalah perempuan. Inilah yang membuat TouchTen tertarik untuk menggarap game untuk perempuan ketika mereka mendapatkan kucuran dana segar pada Oktober 2019.

“Salah satu keuntungan yang Google miliki jika harus melawan Xbox atau PlayStation adalah mereka tidak memiliki ‘kultur gamer‘ yang harus mereka penuhi,” kata Laine Nooney, Assistant Professor dan ahli sejarah video game di New York University.

Sumber header: Twitter

2023, Nilai Industri Game di Asia Tenggara dan Taiwan Diperkirakan Capai Rp116,8 Triliun

Pendapatan industri game untuk kawasan Greater Southeast Asia (GSEA), yang mencakup Asia Tenggara dan Taiwan, diperkirakan akan naik dari US$5 miliar (sekitar Rp70,4 triliun) pada 2019 menjadi lebih dari US$8,3 miliar (sekitar Rp116,8 triliun) pada 2023, menurut laporan dari Niko Partners. Salah satu hal yang mendorong pertumbuhan industri game adalah bertambahnya jumlah gamer, baik gamer mobile maupun gamer PC. Jumlah gamer mobile diduga akan naik dari 227 juta orang pada 2019 menjadi 290,2 juta pada 2023. Sementara jumlah gamer PC akan menjadi 186,3 juta pada 2023, naik dari 154,3 juta pada tahun ini. Esports menjadi salah satu hal lain yang mendorong pertumbuhan industri game di kawasan Asia. Karena, kebanyakan gamer di Asia juga aktif dalam esports. Data dari Niko Partners menunjukkan, sebanyak 95 persen gamer PC dan 90 persen gamer mobile aktif dalam esports.

“Asia Tenggara tidak hanya menjadi tempat berkembangnya industri game, kawasan ini juga menjadi pusat dari esports secara global,” kaat Lisa Cosmas Hanson, Managing Partner, Niko Partners, dikutip dari VentureBeat. “Perusahaan Asia Tenggara, Garena telah mendapatkan pendapatan lebih dari US$1 miliar (Rp14 triliun). Ini berarti, kawasan tersebut tak lagi bisa diacuhkan.” Game Free Fire dari Garena terbukti sukses di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Belum lama ini, secara global, game itu telah menghasilkan pendapatan lebih dari US$1 miliar (sekitar Rp14 triliun). Tak hanya itu, di kawasan Asia Tenggara, Free Fire sukses menjadi game battle royale nomor satu. Total jumlah pemain Free Fire mengalahkan total jumlah pemain Fortnite dan Player Unknown’s Battleground.

Sumber: Niko Partners via VentureBeat
Sumber: Niko Partners via VentureBeat

Hal lain yang mendorong pertumbuhan pasar gaming di kawasan GSEA adalah keberadaan jaringan 5G. Diperkirakan, jaringan 5G akan digelar di negara-negara GSEA pada 2020. Hal ini akan memicu pertumbuhan industri mobile gaming. Pada 2023, penetrasi internet di kawasan Asia Tenggara dan Taiwan diperkirakan akan mencapai lebih dari 99 persen, naik dari 77 persen pada 2019. Meskipun begitu, negara-negara GSEA tampaknya tetap menjadi negara mobile-first, yang berarti, kebanyakan orang mengakses internet melalui smartphone. Pengguna smartphone di kawasan GSEA juga diperkirakan akan naik, dari 527 juta orang menjadi 679 juta pda 2023. Sekitar 40 persen pengguna smartphone bermain game. Karena itulah, semakin banyak pengguna smartphone, semakin bertambah pula jumlah gamer mobile.

Sementara itu, pada Juni 2019, Newzoo mengeluarkan laporan tentang keadaan industri game secara global. Pada tahun 2019, pendapatan dari industri game mencapai US$152,1 miliar (sekitar Rp2.141 triliun), naik 9,6 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. Asia Pasifik menjadi kawasan dengan kontribusi terbesar. Dengan pemasukan indutri game mencapai US$72,2 miliar (sekitar Rp1.016 triliun), kawasan Asia Pasifik berkontribusi hingga 47 persen pada total pasar game di dunia. Game mobile masih menjadi segmen dengan pertumbuhan paling besar. Pada 2022, pendapatan dari mobile gaming diperkirakan mencapai US$95,4 miliar (sekitar Rp1.343 triliun). Smartphone menjadi pendorong utama dari pertumbuhan industri mobile game, dengan kontribusi pada pendapatan industri mobile gaming sebesar US$79,7 miliar (sekitar Rp1.122 triliun). Meskipun begitu, pertumbuhan industri mobile game di kawasan negara-negara berkembang seperti Amerika Utara, Eropa Barat, dan Jepang mulai melambat. Pertumbuhan industri mobile game terbesar justru terjadi di kawasan negara berkembang, seperti Asia Tenggara, India, Timur Tengah, dan Afrika Utara.

Sumber header: Pixabay

Immortal Gaming Jual Tim Overwatch League, Houston Outlaws

Immortals Gaming Club menjual Houston Outlaws, tim yang berlaga di Overwatch League (OWL) pada perusahaan media multi-platform, Beasley Media Group. Immortals mendapatkan hak kepemilikan atas Houston Outlaws ketika mereka mengakuisisi Infinite Esports and Entertainment, yang saat itu masih menjadi perusahaan induk Outlaws. Sejak awal, Immortals memang berencana untuk menjual Outlaws karena mereka telah memiliki tim Los Angeles Valiant, yang juga berlaga di Overwatch League. Sayangnya, tak diketahui berapa jumlah uang yang dikeluarkan Beasley untuk mendapatkan Outlaws. Diperkirakan, nilai franchise untuk Overwatch League mencapai sekitar US$40 juta sampai US$60 juta. Organisasi esports yang membeli franchise ketika Overwatch League pertama kali diadakan hanya perlu mengeluarkan uang sekitar US$20 juta. Namun, sejak saat itu, harga franchise OWL telah naik.

“Sebagai pemilik tim franchise Overwatch League, Los Angeles Valiant, kami senang untuk menyambut Beasley Media Group, Caroline Beasley, Chris Roumayeh, dan keseluruhan grup Beasley/Team Renegades ke Overwatch League,” kata CEO Immortal Gaming Club, Ari Segal, seperti dikutip dari VentureBeat. “Mereka memiliki rencana yang menarik untuk memperkuat hubungan antara Outlaws dan para penonton di Houston dan mereka merupakan pemilik yang strategis dari aset ini. Kami juga ingin berterima kasih pada Bobby Kotick, Dennis Durkin, Pete Vlastelica, dan keseluruhan tim Activision Blizzard karena telah memfasilitasi transaksi ini.”

Logo Houston Outlaws| Sumber: VentureBeat
Logo Houston Outlaws| Sumber: VentureBeat

Sebelum manajemen Houston Outlaws dipindahtangankan ke Beasley, Activision Blizzard bertanggung jawab atas bisnis dan operasi tim tersebut. Beasley Broadcast Group adalah perusahaan yang mengoperasikan sejumlah jaringan radio di Amerika Serikat, negara asalnya. Sebelum mengakuisisi Houston Outlaws, Beasley telah masuk ke ranah esports dengan mengakuisisi Team Renegades pada April 2019 dan CheckpointXP pada 2018. Checkpoint adalah siaran radio esports selama dua jam yang dibuat dua minggu sekali. Saat ini, acara tersebut disiarkan di 70 stasiun radio di Amerika Serikat. CheckpointXP juga memiliki podcast harian di Twitch. CEO Beasley Media Group, Carolina Beasley mengatakan, pengalaman dan investasi perusahaan di divisi khusus esports — BeasleyXP — akan menjadi kunci yang membuat perusahaan mendapatkan untung dari esports.

“Akuisisi Houston Outlaws memperluas platform esports kami yang memang terus berkembang,” kata Beasley. “Mengakuisisi Houston Outlaws adalah kesempatan investasi yang jarang bisa kami dapatkan, karena hanya ada 20 tim yang berlaga di Overwatch League. Dan transaksi ini juga membuat Beasley menjadi rekan dari Blizzard Entertainment dan perusahaan induk mereka, Activision Blizzard, developer dan publisher konten dan layanan interaktif yang ternama di dunia.” Memang, saat ini, semakin banyak investor yang tertarik untuk mendukung esports. Misalnya, Artist Capital Management, investor dari organisasi esports 100 Thieves, minggu lalu mengumumkan bahwa mereka telah menyiapkan dana sebesar US$100 juta (sekitar Rp1,4 triliun) untuk investasi khusus di ranah esports.

Pemilik Tim Olahraga Tradisional Masuk ke Industri Esports Demi Audiens

Esports mulai diakui sebagai olahraga. Karena itu, terkadang, esports dibandingkan dengan olahraga tradisional, misalnya dalam total hadiah yang ditawarkan. Namun, ini tak menghentikan sebagian pemilik klub olahraga tradisional untuk membeli tim esports, seperti Monumental Sports & Entertainment, salah satu perusahaan olahraga dan hiburan terbesar. Mereka memiliki dan bertanggung jawab atas operasional dari beberapa tim olahraga tradisional seperti tim NBA Washington Wizard dan WNBA Washington Mystics. Pada saat yang sama, mereka juga menanamkan investasi di Team Liquid, yang dikenal sebagai salah satu organsiasi esports yang paling sukses dan telah berhasil memenangkan liga League of Legends Championship Series (LCS) untuk kawasan Amerika Utara selama empat tahun berturut-turut.

“Sebagai investor, kami sangat senang,” kata Zach Leonsis, Senior Vice President of Strategic Initiatives for Monumental Sports & Entertainment, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Apa yang orang-orang kadang lupakan adalah liga tradisional seperti NBA sudah hampir berumur 100 tahun; organisasi dan merek yang ada di dalamnya sudah sangat kuat — dan saat ini, kita baru memasuki era awal dari esports.” Dia mengatakan, salah satu alasan Monumental akhirnya memutuskan untuk masuk ke esports adalah karena mereka menyadari, penonton esports biasanya tidak menonton liga olahraga tradisional, seperti NBA. Sama seperti Monumental, alasan Comcast Spectator masuk ke industri esports juga demi menjangkau para audiens, yang jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun. Comcast memiliki tim Overwatch League, Philadelphia Fusion dan bekerja sama dengan SK Telekom untuk berinvestasi di T1 Entertainment and Sports, tim League of Legends yang berlaga di League of Legends Champions Korea (LCK).

Jersey Liquid dan Avengers. | Sumber: The Esports Observer
Jersey Liquid bertema Avengers. | Sumber: The Esports Observer

“Kami puas dengan langkah yang telah kami ambil dan tetap optimistis akan masa depan esports,” kata CEO dan Chairman Comcast Spectator, Dave Scott. “Dari segi finansial, Philadelphia Fusion memberikan performa yang lebih baik dari perkiraan kami selama dua musim. Dan sekarang, kami juga telah melakukan ekspansi ke League of Legends, pasar esports di Korea Selatan dan sejumlah segmen game lain melalui joint venture T1 kami… Dan Fusion Arena, stadion khusus esports dengan kapasitas 3.500 kursi akan memberikan dampak signifikan pada industri esports.” Memang, sekarang, semakin banyak pihak yang tertarik untuk membangun stadion esports sendiri.

Leonsis mengatakan, keuntungan lain yang didapatkan dengan memiliki tim olahraga tradisional dan tim esports adalah mereka dapat belajar dari strategi yang digunakan oleh kedua tim. Tim olahraga tradisional bisa menggunakan strategi yang biasanya digunakan oleh tim esports. Sebagai contoh, tim olahraga tradisional milik Monumental juga memiliki channel Twitch — yang biasa digunakan oleh pelaku industri esports untuk menyiarkan konten video. Di channel Twitch itu, Monumental memamerkan para atlet olahraga tradisional yang juga suka bermain game. Sebaliknya, Monumental bisa membantu Team Liquid untuk membangun markas tempat latihan mereka berdasarkan dari pengetahuan yang mereka dapatkan dengan mengurus tim olahraga tradisional. Bagi tim esports, mereka juga bisa memanfaatkan jaringan koneksi yang telah dibangun sang grup pemilik. Contohnya, berkat grup pemiliknya, Team Liquid bisa bekerja sama dengan Marvel Studios dan membuat jersey Liquid bertema “Avengers”. Ini menunjukkan, olahraga tradisional dan esports tak melulu harus menjadi lawan. Para pelaku industri olahraga tradisional dan pelaku esports justru bisa saling membantu satu sama lain.

Sumber header: Dot Esports