Perusahaan Analitik Esports, FanAI Dapatkan Investasi Rp112,6 Miliar

Di tengah hype soal esports, semakin banyak investor yang bersedia menanamkan modal di perusahaan terkait esports. FanAI baru saja mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan pendanaan Seri A sebesar US$8 juta (sekitar Rp112,6 miliar). Pendanaan ini dipimpin oleh konglomerasi bisnis asal Jepang, Marubeni Corporation. FanAI adalah perusahaan yang menawarkan jasa analitik pada sponsor dan pengiklan di esports untuk menghitung dan mengoptimalkan biaya yang mereka keluarkan di industri competitive gaming. CEO FanAI, Johannes Waldstein mengatakan, kucuran dana segar ini akan mereka gunakan untuk memperkuat bisnis mereka yang telah ada di Eropa dan Inggris Raya, serta melakukan ekspansi bisnis ke kawasan Asia Pasifik, dimulai dari Jepang. Selain itu, mereka juga akan menambah pekerja mereka, dari 20 orang menjadi 30 orang.

“Kami akan meluncurkan platform bagi merek dan agensi serta melakukan ekspansi ke bidang analitik hiburan dan olahraga profesional,” kata Waldstein, dikutip dari LA Business Journal. Dia mengatakan, Marubeni adalah investor yang sangat cocok untuk mereka. “Mereka adalah salah satu trading house terbesar di Jepang dan memiliki posisi kuat di Asia Pasifik, yang merupakan pasar gaming dan esports terbesar, lebih besar dari Amerika Serikat. Mereka juga memiliki divisi baru di Amerika Serikat dan kami adalah salah satu perusahaan yang menerima investasi pertama mereka.” Saat ini, FanAI beroperasi di Inggris dan Jerman. Meskipun begitu, mereka tidak memiliki kantor di kedua negara tersebut. Mereka hanya bekerja sama dengan rekan lokal yang akan bertanggung jawab atas klien dan menjual produk FanAI. Namun, mereka berencana untuk membuka kantor di Jepang pada 2020 atau 2021.

Sumber: Aithority
Sumber: Aithority

Pada Januari 2019, FanAI mengakuisisi Waypoint Media, memungkinkan mereka untuk mendapatkan akses ke data pengguna platform streaming Twitch. Dengan data ini, FanAI dapat mengetahui berapa lama waktu yang dihabiskan oleh penonton di Twitch. Selain itu, mereka juga bisa mengetahui konten yang audiens tonton dan tingkat loyalitas para penonton pada seorang streamer atau merek tertentu. “Ini adalah analitik in-depth yang klien kami gunakan untuk memilih streamer atau influencer mana yang harus mereka ajak kerja sama untuk meningkatkan jangkauan mereka,” kata Waldstein. Layanan streaming memang menjadi bagian penting dari esports. Meskipun Twitch masih menjadi platform streaming nomor satu secara global, YouTube Gaming dan Microsoft Mixer mencoba untuk bersaing dengan platform milik Amazon tersebut. Salah satu cara yang mereka gunakan adalah menawarkan kontrak eksklusif pada sejumlah streamer. Beberapa streamer yang akhirnya memutuskan unutk pindah dari Twitch antara lain Tyler “Ninja” Blevins, Michael “Shroud” Grzesiek, dan Jack “CouRage” Dunlop.

Sejak didirikan pada 2016, FanAI telah mendapatkan total investasi sebesar US$12,5 juta (sekitar Rp176 miliar). Waldstein mengatakan, pendanaan Seri A kali ini akan cukup untuk digunakan sepanjang tahun depan. Namun, mereka harus mengumpulkan investasi Seri A sebesar US$10 juta (sekitar Rp141 miliar) sebelum mereka mulai mengejar pendanaan Seri B pada 2021.

Sumber header: The Esports Observer

Investor 100 Thieves Siapkan Rp1,4 triliun untuk Investasi Khusus Esports

Perusahaan manajemen investasi Artist Capital Management berhasil mengumpulkan US$100 juta (sekitar Rp1,4 triliun) untuk Artist Esports Edge Fund, yang akan menginvestasikan dana tersebut ke perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang esports. Mereka melakukan ini karena mereka percaya, pada akhirnya, esports akan tumbuh lebih besar daripada industri olahraga tradisional.

Ada beberapa alasan mengapa Artist Capital Management percaya, esports akan tumbuh pesat di masa depan. Dari segi penonton, jumlah penonton esports terus tumbuh dari tahun ke tahun. Diperkirakan, tahun ini, jumlah penonton esports mencapai 194 juta orang dan akan naik menjadi 276 juta orang pada 2022. Umur para penonton esports juga relatif muda jika dibandingkan dengan penonton olahraga tradisional. Sebanyak 79 persen penonton esports berumur di bawah 35 tahun. Sementara dari segi pemasukan, nilai industri esports diperkirakan akan mencapai US$2,9 miliar pada 2022. Artist Capital Management juga percaya, keberadaan liga dengan sistem franchsie akan mendorong pertumbuhan esports. Salah satu liga esports yang menggunakan sistem franchise adalah Overwatch League dari Activision Blizzard. Pada tahun depan, Activision Blizzard juga akan mengadakan Call of Duty League dengan format serupa. Di Indonesia, satu-satunya liga yang menggunakan model franchise adalah Mobile Legends Professional League dari Moonton. Memang, penggunaan sistem franchise pada liga esports berhasil menarik lebih banyak sponsor. Namun, para pelaku esports masih mempertanyakan apakah sistem franchise memang akan menjadi tren di masa depan.

CEO Matthew “Nadeshot” Haag dan COO 100 Thieves, John Robinson. | Sumber: VentureBeat
CEO Matthew “Nadeshot” Haag dan COO 100 Thieves, John Robinson. | Sumber: VentureBeat

“Berkaca dari evolusi industri terkait internet lainnya, kami merasa, sejumlah perusahaan esports akan menguasai sebagian besar pemasukan di pasar esports,” kata Chief Investment Officer, Artist Capital Management, Josh Dienstag, seperti dilaporkan VentureBeat. “Kami harap, kami bisa bekerja sama dengan para penguasaha yang sedang mengembangkan platform yang akan menjadi penguasa pasar.” Pada Juli 2019, Edge Fund telah memimpin investasi seri B senilai US$35 juta untuk 100 Thieves, organisasi esports asal Los Angeles, Amerika Serikat. Ketika itu, Dienstag juga ditunjuk masuk menjadi anggota dewan dari organisasi esports tersebut. Selain 100 Thieves, Edge Fund juga memiliki investasi di Washington Esports Ventures, yang merupakan pemilik dari tim Overwatch League, Washington Justice. Dalam waktu 10 tahun, Edge Fund berencana untuk bisa menemukan perusahaan esports sebagai rekan dalam jangka panjang.

“Artist Capital Management adalah rekan yang sangat baik; mereka mengerti industri esports dan menghargai perbedaan yang kami miliki dari organisasi esports lain dan mendukung visi kami. Industri esports pada dasarnya adalah industri hiburan yang terus berubah dan kami senang kami bisa bekerja sama dengan perusahaan yang menyadari tren ini,” kata President dan Chief Operating Officer 100 Thieves, John Robinson dalam pernyataan resmi. Belakangan, memang semakin banyak investor yang tertarik untuk masuk ke dunia esports. Ini dianggap sebagai tandar bahwa industri esports, yang masih sangat muda, sudah mulai matang.

Sumber header: The Esports Observer

Pentingnya Regulasi di Tengah Perkembangan Pesat Esports

Saat ini, semakin banyak merek non-endemik yang masuk ke dunia esports. Jadi, jangan heran jika Anda melihat merek makanan seperti Sukro melekat di jersey tim esports seperti RRQ atau mendengar merek AXE bekerja sama dengan EVOS Esports. Dan hal ini terjadi secara global. Menurut laporan Esports Observer, pada Q3 2019, ada 75 kontrak sponsorship dari merek non-endemik, baik sponsor untuk tim profesional ataupun liga esports. Dalam acara Social Media Week yang digelar di Senayan City, Co-founder EVOS Esports, Hartman Harris mengatakan bahwa esports bisa menjadi jalan bagi merek yang ingin mendekatkan diri dengan generasi muda. Memang, menurut Goldman Sachs, 79 persen penonton esports memiliki umur di bawah 35 tahun. Kabar baik bagi para sponsor esports, jumlah penonton esports diperkirakan masih akan terus naik. Pada tahun ini, jumlah penonton esports secara global diperkirakan mencapai 194 juta orang, sementara pada 2022, angka ini diduga akan naik menjadi 276 juta orang.

“Industri esports sekarang sedang bagus-bagusnya. Banyak merek non-endemik yang melirik, merek makanan dan minuman dan lain sebagainya,” kata Ketua Federasi Esports Indonesia (FEI), Andrian Pauline, yang juga merupakan CEO RRQ. “Pada lima atau sepuluh tahun lalu, semua sponsor di esports itu pasti perusahaan yang ada kaitannya dengan komputer atau dengan industri. Tahun ini, esports juga sudah mulai dilirik pemerintah karena terpilih sebagai salah satu cabang untuk SEA Games di Filipina.”

Sementara itu, dari sudut pandang sponsor, Assistant Vice President, BCA, Rendy Alimudin mengatakan bahwa ketika mereka hendak mendukung liga atau tim esports, mereka telah mempertimbangkan target yang ingin mereka capai. “Kita sudah memikirkan soal ROI (Return of Investment) dari awal,” katanya. Dia mengatakan, salah satu tujuan BCA terjun ke esports adalah untuk memperkenalkan produk mereka ke komunitas gamer. “Mendengar dari para gamer, mereka butuh apa, agar kami bisa membuat produk yang sesuai dengan hobi mereka sehingga produk kami bisa digunakan dalam waktu lama,” ujarnya. Selain itu, dia mengatakan, mereka juga ingin mendukung komunitas gamer agar bisa tumbuh dan berkembang.

Sumber: Dokumentasi Hybrid
Sumber: Dokumentasi Hybrid

Walau industri esports semakin matang, tapi masih ada banyak masalah yang harus dihadapi oleh para pelaku esports. Menurut AP, salah satunya adalah ketiadaan regulasi dan standarisasi. Pemain esports profesional juga biasanya sangat muda, mereka bisa memulai karir ketika mereka berumur belasan tahun dan pensiun sebelum mereka berumur 30 tahun. Karena pemain esports biasanya masih muda dan belum memiliki pengalaman bekerja di dunia profesional, ini memunculkan risiko eksploitasi pemain. “Banyak kasus, tim-tim esports memanfaatkan ketidaktahuan sang atlet. Di sinilah fungsi FEI, untuk melindungi pemain. Dalam jangka panjang, jika industri ingin sustain, talent harus dijaga. Kalau mereka merasa dimanfaatkan, dan tidak ada regenerasi, tidak ada pemain baru, industri bisa collapse,” kata AP.

Hartman juga mengakui akan adanya masalah ini. “Kita punya tanggung jawab untuk memberikan edukasi, menjadi esports player itu seperti apa. Dari sisi kontrak, ketika menjadi pemain pro atau semi-pro, mereka bisa mendapatkan benefit sepertii apa,” katanya. Dia menyebutkan, jika para pemain merasa mereka tereksploitasi, ini dapat menyebabkan masalah. Tanpa keberadaan pemain esports, pada akhirnya tim esports juga akan menghilang. Memang, di luar Indonesia, para pemain esports bahkan telah membuat asosiasi sebagai wadah mereka untuk berkomunikasi dengan developer, seperti yang dilakukan oleh para pemain Fortnite dan Counter-Strike: Global Offensive profesional.

FEI sendiri baru berdiri pada akhir Oktober 2019. Salah satu fokus mereka adalah untuk membuat standarisasi kontrak untuk pekerja esports, termasuk kontrak pemain dan talenta. AP mengatakan, FEI berusaha untuk inklusif, mengakomodasi semua kepentingan pelaku esports, mulai pemain, tim, talent, sampai penyelenggara turnamen. Untuk memastikan bahwa tidak ada pertikaian antara para pelaku esports — contohnya antara pemilik tim dan pemain — FEI memastikan bahwa mereka memiliki perwakilan dari semua pihak. “Misalnya, untuk talent, kita memang ada perwakilan yang memang bekerja sebagai talent,” ungkapnya. Dengan begitu, orang yang mewakilkan memang bisa mengerti apa yang terjadi. “Kita juga cukup transparan. Tujuan kami adalah memastikan industri esports sustainable.”

Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Social Media Week

Studi Kasus tentang Umur Pro Player: Adakah Tempat Bagi Gamer Tua di Industri Esports?

Performa atlet olahraga biasanya sangat dipengaruhi oleh kebugaran fisiknya. Seiring dengan bertambah umur, kebugaran fisik biasanya akan mengalami penurunan. Namun, itu bukan berarti seorang atlet tak lagi dapat meraih gelar juara. Serena Williams misalnya. Petenis perempuan asal Amerika Serikat itu masih bisa memenangkan Wimbledon ketika dia berusia 35 tahun. Seorang atlet biasanya mengompensasi penurunan performa akibat umur dengan bermain dengan lebih cerdas, berdasarkan pengalaman mereka.

Memang, meski kebugaran fisik seorang atlet menurun seiring dengan bertambahnya umur, pengalaman justru hanya terus bertambah. Namun, jika dibandingkan dengan atlet olahraga tradisional, umur pensiun atlet esports lebih singkat. Dari kebanyakan contoh yang kami temukan, umur pro player paling ideal ada di 20an. Padahal, jika kita melihat sejarah atlet sepak bola, Pele masih mampu membawa Brazil jadi juara dunia di usia 30 tahun (Piala Dunia tahun 1970). Buffon masih bermain untuk tim kasta tertinggi, PSG, saat sudah berusia 41 tahun. Sebaliknya, sekilas pemain esports “hanya” harus duduk di depan layar dan bermain game. Meski memang anggapan itu salah. Anda bisa membaca tentang pengorbanan yang harus dilakukan atlet esports di sini.

Kebugaran fisik juga penting bagi atlet esports. Hendry ‘Jothree’ Handisurya yang mewakilkan Indonesia di cabang Hearthstone dalam SEA Games 2019, pernah menjelaskan betapa pentingnya kesehatan fisik bagi seorang atlet esports. Hal lain yang penting bagi seorang pemain esports adalah reaction time, yaitu waktu yang diperlukan seseorang untuk bereaksi ketika mereka mendapatkan stimulus. Semakin baik reaction time seorang gamer, biasanya performanya juga semakin baik. Masalahnya, sama seperti kebugaran fisik, reaction time akan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya umur.

Pada 2014, Joe Thompson — yang ketika itu masih menjadi murid Ph.D psikologi di Saint Francis University — membuat studi pada lebih dari 3.000 pemain StarCraft II pada rentang umur 16 tahun sampai 44 tahun. Dari studi itu, dia menemukan bahwa reaction time menurun seiring dengan bertambahnya umur pemain. Temuan ini tidak mengejutkan sebenarnya karena Anda juga pasti menyadari bahwa seseorang jadi lebih lambat bereaksi saat mereka bertambah tua. Satu hal yang menarik dari studi Thompson adalah reaction time mulai mengalami penurunan ketika seseorang masih sangat muda, yaitu 24 tahun. Seolah itu tidak cukup buruk, berdasarkan studi Thompson, seorang pemain tidak bisa memulihkan reaction time mereka setelah mengalami penurunan. Pertanyaannya: apakah pengalaman seorang atlet esports cukup untuk mengompensasi penurunan performa akibat turunnya reaction time?

Sumber: Vox
Sumber: Vox

Sama seperti atlet olahraga tradisional, seorang atlet esports juga semakin berpengalaman seiring dengan bertambahnya umur. Semakin tua seorang pemain, seharusnya mereka bisa menggunakan taktik yang lebih cerdas. Namun, tak begitu faktanya, menurut studi yang dilakukan pada 2017. Studi ini dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama bertujuan untuk memahami kaitan antara tingkat kecerdasan seseorang dengan performa mereka saat bermain game MOBA seperti League of Legends dan Dota 2.

Di bagian ini, para peneliti menguji tingkat kecerdasan para pemain LoL lokal dengan meminta mereka untuk membuat strategi secara mendadak. Para peneliti kemudian membandingkan tingkat kecerdasan pemain dengan matchmaking ranking (MMR) mereka. Sesuai dugaan, semakin cerdas seseorang, semakin tinggi pula ranking-nya. Pada bagian kedua, para peneliti membandingkan ranking pemain di empat game (Destiny 2, League of Legends, Battflefield 3, dan Dota 2) dengan umur pemain. Athanasios Kokkinakis, penulis utama studi ini, menemukan, ranking tertinggi dipegang oleh pemain yang memiliki umur pada awal sampai pertengahan 20 tahun. Itu artinya, umur yang lebih tua tak menjamin strategi yang lebih baik.

Sementara itu, studi tentang dampak umur pada perilaku pemain Battlefield yang dilakukan Shoshanna Tekofsky pada 2016 menunjukkan bahwa grafik yang membandingkan umur pemain dan performa mereka biasanya memiliki bentuk U terbalik. Jadi, performa pemain remaja cukup baik, performa di awal 20-an tahun adalah yang terbaik, dan pada akhir umur 20-an, performa atlet esports akan mengalami penurunan. Untuk membuat studi ini, Tekofsky menggunakan data dari lebih dari 10 ribu pemain Battlefield.

Dia mengaitkan umur pengguna dengan berbagai achievement dalam game , seperti score, penggunaan class ability, dan apakah pemain sukses mencapai objektif dalam game. Dari studi ini, Tekofsky menemukan, rasio kill dan death tertinggi ada pada pemain pada akhir masa remaja dan pemain yang ada di awal umur 20-an. Rasio kill dan death ini mengalami penurunan pada pemain di pertengahan dan akhir 20 tahunan. “Secara umum, puncak performa terjadi ketika seseorang berumur 20-an,” kata Tekofsky, seperti dikutip dari VICE.com.

Apa itu artinya tak ada tempat untuk pemain yang berumur tua? 

Ialah Stan Horaczek, seorang pria berumur 36 tahun yang ingin bermain Overwatch bersama anaknya yang berumur 9 tahun. Ketika dia masih kuliah, dia ikut serta dalam kompetisi LAN Unreal Tournament. Meskipun begitu, dia tetap kesulitan untuk bisa mengimbangi permainan sang anak. “Pada satu titik, terlihat jelas bahwa dia bermain dengan jauh lebih baik dari saya,” katanya pada VICE. “Saya senang bermain dengan anak saya, tapi saya merasa saya mengecewakannya ketika kami bermain bersama.” Karena itu, dia lalu mengambil waktu ekstra untuk berlatih dan belajar strategi dalam bermain Overwatch. Setelah sang anak tidur, dia menghabiskan waktu ekstra untuk bermain Overwatch. Tak hanya itu, dia juga membaca strategi tentang cara memainkan karakter main-nya, Moira. Pada akhirnya, Horaczek merasa dia bisa menyeimbangi permainan sang anak. Sayangnya, ini hanya berlaku ketika mereka bermain Overwatch. Saat mereka bermain game lain, seperti Fortnite, Horaczek kembali mengalami masalah. “Anak saya bisa mencoba game baru dan belajar sambil memainkannya,” kata Horaczek. “Otak tua saya tidak bisa belajar dengan kecepatan yang sama.”

Padahal, generasi milenial tumbuh besar di tengah-tengah sejumlah teknologi baru, termasuk game. Menurut Nielsen, 40 persen audiens game adalah generasi milenial. Selain itu, generasi milenial juga memainkan game online lebih sering daripada Gen X dan mereka juga menonton siaran Twitch sesering Gen Z. Generasi milenial merupakan juga generasi yang paling banyak menghabiskan uang di game jika dibandingkan dengan generasi lain. Sayangnya, ini tidak diikuti dengan performa permainan yang baik.

Memang mudah untuk menyalahkan umur atas penurunan performa seseorang dalam bermain game, baik gamer amatir ataupun profesional. Namun, keberadaan video game sendiri masih cukup muda. Studi yang dilakukan terkait performa bermain game dan umur masih belum konklusif. Masih ada banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan tentang mengapa keahlian seseorang dalam bermain game mengalami penurunan. Salah satu faktor yang harus diperhitungkan adalah pengalaman hidup. Karena, seseorang yang tumbuh besar dengan ikut serta dalam turnamen LAN akan memiliki pengalaman berbeda dengan remaja yang tumbuh besar menonton pemain profesional bermain game esports.

Kenaikan IQ masyarakat di berbagai benua | Sumber: World in Data
Kenaikan IQ masyarakat di berbagai benua | Sumber: Our World in Data

Kokkinakis mengaitkan tentang performa generasi muda yang lebih baik dengan Flynn Effect. “Pada dasarnya, dalam satu abad terakhir, generasi muda memang mendapatkan nilai yang lebih baik dalam tes IQ jika dibandingkan dengan generasi tua,” kata Kokkinakis. “Sebagian orang percaya, ini karena nutrisi yang lebih baik. Sementara sebagian yang lain percaya, generasi muda lebih baik dalam mengerjakan tes.” Dia menganggap, inilah yang terjadi di dunia game dan esports. Generasi milenial memang generasi pertama yang terjun dalam competitive gaming, tapi generasi muda justru mendapatkan untung lebih besar karena mereka bisa mengakses pengetahuan yang dikumpulkan oleh generasi yang lebih tua berdasarkan pengalaman mereka. Gamer muda tak lagi perlu bereksperimen untuk menemukan strategi terbaik dalam sebuah game, mereka bisa menemukan strategi itu di internet dan menerapkannya langsung dalam game. Kokkinakis memberikan contoh, 10 tahun lalu, tips untuk bisa bermain CS:GO lebih baik mungkin hanyalah untuk menembak musuh tepat di kepala. Tapi sekarang, seorang pemain bahkan bisa melatih dirinya untuk terbiasa dengan efek recoil dari senjata.

Omongan Kokkinakis disetujui oleh Eric “adreN” Hoag, pemain CS:GO berumur 29 tahun yang kini menjadi pelatih dari Team Liquid dan pernah menjadi pemain esports selama hampir sepuluh tahun. Menurutnya, ada dua alasan mengapa pemain esports kini menjadi semakin muda. Pertama, pemain muda memiliki waktu yang lebih banyak untuk berlatih. Kedua, mereka mewarisi pengetahuan, tips, dan trik dan generasi yang lebih tua. Inilah yang menyebabkan munculnya banyak talenta muda sekarang.

“Ada begitu banyak detail di Counter-Strike, jika Anda tidak bermain terus-terusan, perlahan, performa Anda akan turun,” kata Hago. “Saat Anda masih muda, Anda bisa menemukan hal-hal kecil baru dalam game itu. Muncul banyak pemain baru, mereka hanya tahu CS:GO terbaru yang dimainkan saat ini, jadi mereka tidak punya kebiasaan buruk dari ketika mereka bermain Counter-Strike: Source, atau Counter-Strike 1.6 (yang merupakan salah satu versi tertua dari CS). Mereka lahir ketika game yang kini dipertandingkan telah ada, dan telah diketahui cara untuk mengeksploitasi game dan menguasai mekanik game. Saya rasa, bagi pemain yang lebih tua, sulit untuk menyesuaikan diri.”

Bagaimana dengan pemain profesional di Indonesia?

Farand “Koala” Kowara, yang masih aktif bermain sebagai anggota Alter Ego walau kini dia telah berumur 31 tahun, berbagi sedikit pengalamannya sebagai pemain esports. Dia bercerita, dia menjadi pemain Dota 2 profesional ketika dia masih berumur 17 tahun. Ketika itu, dia menjadi pro karena bermain memang hobinya. Dia mengakui, seiring dengan bertambahnya umur, dia merasa bahwa reaction time-nya mulai mengalami penurunan. Menurut perkiraannya, waktu reaksinya mulai mengalami penurunan pada umur 28 tahun. “Tapi, primanya sih pas umur 17 tahun,” katanya saat dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat.

Farand "Koala" Kowara | Sumber: ggScore
Farand “Koala” Kowara | Sumber: ggScore

Sementara ketika ditanya tentang cara yang dia lakukan untuk mengatasi masalah akibat menurunnya reaction time, dia menjawab bahwa dia menjadi lebih sering bermain. “Intinya, reaction time segala macam turun belum tentu benar. Bisa jadi itu apa yang ada di kepala kita sendiri, lebih ke masalah mental saja,” ungkapnya. Sekarang, dia memang masih aktif sebagai pemain Dota 2 profesional. Namun, dia mengaku bahwa dia telah mempertimbangkan untuk pensiun beberapa kali. “Tapi ujung-ujungnya rindu adrenalin saat bertanding,” ujarnya, menjelaskan alasannya untuk kembali ke competitive gaming scene. Ke depan, dia bercerita, rencananya setelah pensiun adalah untuk menjadi shoutcaster.

Kesimpulan

Studi yang dilakukan tentang performa seorang gamer dan umur memang mengesankan bahwa tak ada lagi tempat bagi pemain esports yang sudah “berumur” — yang mungkin sebenarnya masih dianggap muda di luar scene esports. Namun, sebenarnya, tak ada yang menghentikan seseorang untuk bermain, sebagai hobi atau sebagai profesional, ketika dia telah mencapai umur tertentu. Isaak Hayik mencetak rekor sebagai pemain sepak bola profesional tertua dengan umur 73 tahun. Dan dia tetap ingin bermain. Sementara pada 2017, sebuah tim CS:GO bernama Silver Snipers menarik perhatian banyak orang karena anggotanya berada di rentang umu 62 tahun sampai 81 tahun. Ketika itu, mereka masih berlatih secara rutin dan ingin bisa bertanding di turnamen Dreamhack. Tentu saja, ketika sudah mulai menua, pencapaian seorang atlet mungkin tak lagi sehebat ketika dia masih di umur prima.

Dan jika seorang atlet esports memutuskan untuk pensiun, bukan berarti mereka tak lagi bisa berkontribusi di dunia esports. Setelah selesai berkarir sebagai pemain, seseorang bisa menjadi pelatih. Dan pelatih memiliki peran penting dalam pengembangan talenta di masa depan, walau mungkin, pelatih tak lagi jadi sorotan masyarakat. Pelatih tak hanya dicari oleh tim profesional, tapi juga sekolah yang ingin menyediakan program esports. Mantan pemain profesional juga bisa menjadi pelatih dari pemain amatir. Walau ini belum menjadi tren di Indonesia, tapi di Amerika Serikat, semakin banyak pemain amatir yang mencari pelatih untuk bisa bermain lebih baik walau mereka tak memiliki aspirasi untuk menjadi pemain profesional.

Opsi lain yang bisa dipertimbangkan mantan pemain profesional adalah dengan menjadi bagian dari manajemen tim esports. Lagi-lagi, ini adalah pekerjaan di belakang layar. Meskipun begitu, peran manajemen tim juga penting dalam keberlangsungan esports sebagai ekosistem. Jadi, bagi pemain esports yang memang merasa sudah waktunya pensiun tapi masih ingin berkecimpung di dunia esports, tak usah berkecil hati, masih ada pekerjaan lain yang bisa Anda lakukan selain menjadi pemain.

Sumber header: Lenovo via The Verge

Semakin Banyak Investor di Esports, Tanda Industri Semakin Matang

Tahun ini, valuasi industri esports menembus US$1 miliar untuk pertama kalinya, menurut Newzoo. Industri esports juga diperkirakan masih akan terus tumbuh. Menurut data Goldman Sachs, nilai industri esports akan mencapai hampir US$3 miliar pada 2022. Saat ini, sumber pemasukan utama industri esports adalah sponsorship (38 persen) dan iklan (22 persen). Namun, pada 2022, diperkirakan bahwa hak siar media akan menjadi sumber pemasukan utama industri esports dengan kontribusi 40 persen pada total pendapatan.

Menurut survei yang dilakukan oleh Foley & Lardner LLP dan The Esports Observer pada 200 eksekutif dari berbagai perusahaan yang bergerak di bidang esports, sebagian besar responden masih memperkirakan bahwa sponsorship dan iklan sebagai dua sumber pemasukan utama di industri esports. Menariknya, lebih banyak responden yang percaya bahwa in-game purchase akan memberikan kontribusi yang lebih besar pada pemasukan di industri esports daripada hak siar media. Memang, banyak game esports yang bisa dimainkan dengan gratis, seperti Dota 2, Counter-Strike: Global Offensive, dan Player Unknown’s Battleground Mobile. Karena game bisa dimainkan dengan gratis, pihak developer atau publisher biasaya mengandalkan micro-transaction atau pembelian dalam game sebagai sumber pemasukan.

Sumber pendapatan esports menurut survei. | Sumber; The Esports Observer
Sumber pendapatan esports menurut survei. | Sumber: The Esports Observer

Responden dari survei ini juga memperkirakan, investasi di industri esports masih akan terus naik. Memang, belakangan, semakin banyak investor yang mengkhususkan diri di industri esports atau gaming yang muncul. Sebanyak 47 persen responden menduga, jumlah investasi dari dana pribadi atau venture capital akan bertambah. Ini menunjukkan bahwa esports sebagai industri telah semakin matang, karena semakin banyak investor yang berani untuk menanamkan modal di bidang ini.

“Semakin banyaknya perusahaan venture capital dan pendanaan pribadi yang melibatkan diri dalam esports merupakan bukti nyata bahwa investor tradisional percaya akan keberlanjutan industri esports dan telah membuat keputusan finansial yang menunjukkan bahwa esports kini adalah bagian dari budaya masyarakat,” kata Bobby Sharma, Special Adviser to the Sports & Entertainment Group, Foley & Lardner LLP, dalam laporan survei ini. “Para investor bertaruh untuk mengambil kesempatan di esports, melihat betapa besarnya penonton competitive gaming.”

Esports adalah fenomena global. Namun, 60 persen responden percaya, kawasan yang paling menjanjikan dalam waktu lima tahun ke depan adalah Amerika Serikat. Sementara 56 persen berpendapat bahwa Tiongkok adalah kawasan yang paling menjanjikan. Meskipun begitu, sejumlah responden juga percaya bahwa kawasan lain akan bertumbuh, seperti India (32 persen), Asia Tenggara (24 persen), dan Amerika Latin (22 persen).

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Ini bukan berarti industri esports telah bebas dari masalah. Sebanyak 68 persen responden mengatakan bahwa kecurangan dan match fixing tetap menjadi ancaman bagi industri esports karena berpotensi membuat penonton mempertanyakan legitimasi pertandingan esports. Kebanyakan responden (47 persen) percaya, alasan mengapa match fixing tetap terjadi adalah karena ketiadaan alat untuk memonitor tindakan curang. Sementara 36 persen percaya bahwa kecurangan terjadi karena kemudahan untuk mendapatkan kode cheat dan 36 persen lainnya mengaku percaya bahwa alasan pemain berbuat curang karena gaji atau hadiah yang diterima pemain dirasa terlalu kecil sehingga mereka tergoda untuk menerima sogokan.

Saat ini, sebagian besar esports ada di bawah kendali sejumlah developer game, seperti Overwatch League di bawah Activision Blizzard dan Mobile Legends Professional League di bawah Moonton. Terkait hal ini, 95 persen responden percaya bahwa ini akan memiliki dampak negatif. Kekhawatiran terbesar dari para responden adalah para developer akan membatasi akses ke API (Application Programming Interfaces) pada game mereka buat, sehingga aplikasi lain tak bisa terhubung ke game tersebut. Hal lain yang dikhawatirkan para responden adalah pihak developer atau publisher akan membatasi tim yang boleh ikut serta dalam sebuah turnamen atau liga esports. Ini ada kaitannya dengan penggunaan model franchise dalam sebuah liga esports, yang memang menuai pro dan kontra.

Pada akhirnya, survei ini menunjukkan bahwa esports berpotensi untuk tumbuh besar di masa depan jika para pelakunya berhasil mengatasi berbagai masalah yang ada saat ini, seperti kecurangan dan model turnamen yang ideal untuk digunakan.

Akankah Model Franchise di Liga Esports Jadi Tren di Masa Depan?

Saat ini, semakin banyak pihak yang tertarik untuk mendukung esports, baik sebagai sponsor ataupun investor. Salah satu hal yang membuat investor berani untuk berinvestasi besar-besaran di industri esports adalah penggunaan model franchise pada turnamen esports. Di Indonesia, model franchise hanya digunakan oleh Moonton pada Mobile Legends Professional League Season 4. Meski memiliki sejumlah kelebihan, penggunaan model franchise menuai pro dan kontra, bahkan di kalangan pelaku esports. Dalam liga yang menggunakan sistem franchise, sebuah tim harus membayar sejumlah uang untuk ikut serta dalam sebuah turnamen. Di kasus MPL Season 4, masing-masing tim harus membayar Rp15 miliar. Salah satu argumen pihak yang mendukung penggunaan sistem franchise adalah model franchise membuat struktur liga esports menjadi lebih mudah dimengerti oleh calon investor dan pengiklan, yang berarti akan semakin banyak pihak yang tertarik untuk menjadi sponsor atau pengiklan.

“Penggunaan model franchise memberikan kestabilan pada para tim dan menjamin komitmen tim pada penyelenggara turnamen,” kata Bryce Blum, pendiri ESG Law dan Theorycraft, yang sering menjadi pengacara dari banyak tim ternama di Amerika Utara, menurut laporan The Esports Observer. “Model franchise menawarkan framework yang memudahkan semua pihak yang terlibat dalam mengambil keputusan dan kejelasan dalam pembagian pendapatan — bagi penyelenggara liga, model franchise memberi jaminan bahwa sebuah tim tidak akan mendadak mengundurkan diri. Komitmen ini bisa sangat berharga.” Di luar Indonesia, ada sejumlah liga yang menggunakan sistem franchise, seperti Overwatch League dan League of Legends Championship Series yang merupakan liga di kawasan Amerika Utara. Tahun depan, Activision Blizzard juga akan menggunakan model franchise untuk Call of Duty League. Namun, juga banyak game yang turnamennya tidak menggunakan model franchise, seperti Dota 2, Counter-Strike: Global Offensive, dan Fortnite.

Penonton di Overwatch League | Sumber: Activision Blizzard
Penonton di Overwatch League | Sumber: Activision Blizzard

Bagi tim esports, penggunaan model franchise menawarkan jaminan bahwa mereka akan tetap dapat ikut serta dalam sebuah turnamen, tak peduli bagaimana performa mereka sepanjang liga. Misalnya, sebelum Riot menggunakan model franchise untuk LCS, mereka menggunakan sistem terbuka yang memungkinkan sebuah tim mendapatkan promosi atau terdemosi, tergantung pada performa mereka. Ini membuat tim enggan untuk menanamkan investasi besar dan membuat rencana jangka panjang karena sebuah tim bisa mendadak terdemosi keluar dari liga jika performa mereka tidak cukup baik. Walau model franchise memiliki sejumlah kelebihan, itu bukan berarti semua turnamen esports harus menggunakan model franchise. Jeremy Dunham, Vice President Psyonix Studios, publisher Rocket league mengatakan bahwa ada banyak model lain yang bisa digunakan pada turnamen esports.

“Kita tidak bisa mengatakan bahwa model franchise adalah model yang tepat untuk digunakan pada semua scene esports profesional di dunia karena akan ada beberapa game dan liga yang tidak cukup besar untuk menggunakan sistem franchise, yang memerlukan dana dan peraturan yang ketat,” kata Blum. Dia juga mempertanyakan apakah biaya yang dikeluarkan oleh tim esports pada awal turnamen memang sesuai dengan apa yang mereka dapatkan. Tim Hybrid membuat perhitungan tentang apakah investasi yang dikeluarkan tim MPL Season 4 memang pantas. Blum juga membahas tentang motivasi sebuah publisher dalam mengembangkan esports dari game mereka. Misalnya, Epic Games dianggap lebih tertarik untuk mengembangkan Fortnite sebagai game untuk gamer individual daripada sebagai game esports. Karena itu, mereka tak segan untuk mengubah berbagai elemen dalam game dan memasukkan hal-hal random pada game, sehingga game ini sulit untuk dikuasai oleh para pemain profesional.

Sumber: Epic Games
FOrtnite World Cup | Sumber: Epic Games

Sementara itu, sebagian pelaku esports percaya, tak semua liga esports cocok untuk menggunakan model franchise. Para fans juga merasa, menggunakan model franchise menghilangkan elemen akar rumput dari ekosistem esports. Dengan model franchise, tim yang dapat berlaga dalam sebuah turnamen hanyalah tim yang bisa membayar investasi di awal. Itu artinya, meskipun sebuah tim profesional memiliki kemampuan yang mumpuni, bisa jadi mereka tak bisa ikut serta dalam sebuah liga karena tak bisa atau tak mau membayar biaya investasi di awal. Sementara pada sistem terbuka (non-franchise), semua orang berhak untuk mencoba ikut serta dalam sebuah turnamen atau liga esports. Inilah alasah mengapa Epic Games bisa mengklaim bahwa ada 60 juta orang yang mencoba untuk lolos kualifikasi Fortnite World Cup. Tak hanya itu, sistem turnamen terbuka juga biasanya memiliki jaringan distribusi dengan lebih luas. Biasanya, penggunaan model franchise akan memunculkan kontrak eksklusif untuk hak siar media. MIsalnya, hak siar Overwatch League dipegang oleh ABC/ESPN dan Twitch. Jadi, konten turnamen tersebut tak akan muncul di YouTube.

Masalah lain akibat penggunaan model franchise adalah ada beberapa tim esports yang mengundurkan diri dari liga. Hal ini terjadi pada Call of Duty League. Tim 100 Thieves memutuskan untuk mundur setelah Activision Blizzard mengumumkan mereka akan menggunakan sistem franchise pada liga Call of Duty pada tahun depan. Dalam sebuah video, pendiri 100 Thieves, Matt “Nadeshot” Haag menjelaskan bahwa salah satu alasannya adalah karena biaya yang harus mereka keluarkan untuk ikut serta yang dianggap terlalu mahal. Selain itu, 100 Thieves juga ingin untuk membangun fanbase secara global. Sementara sistem Call of Duty didasarkan pada kota asal tim esports, seperti Overwatch League.

Demi Kembangkan Esports League of Legends, Riot Keluarkan Rp1,4 Triliun per Tahun

Riot Games selalu berusaha untuk membuat acara pembukaan League of Legends World Championship (LWC) yang megah, seperti menggunakan teknologi Augmented Reality untuk membuat seekor naga raksasa mengitari stadion pada 2017. Global Manager Riot Games, Derric Asiedu mengatakan bahwa setiap tahun, mereka menghabiskan US$100 juta (sekitar Rp1,4 triliun) untuk mengembangkan esports League of Legends dan mereka tidak akan mendapatkan untung dalam waktu dekat. Meskipun begitu, Global Head of Esports, Riot Games John Needham tetap optimistis tentang prospek esports di masa depan. Salah satu alasannya adalah karena semakin banyak perusahaan yang mendukung LWC dalam jangka panjang, seperti OPPO dan Axe.

“Pendapatan kami tumbuh 50 persen pada tahun ini, dan kemungkinan, akan kembali tumbuh 50 persen pada tahun depan,” kata Needham pada The Esports Observer. “Kami menargetkan esports bisa menjadi sustainable pada tahun ke-10. Saya tidak tahu apakah hal ini sudah pernah dilakukan di olahraga tradisional, tapi saya sangat percaya diri tentang bisnis esports di masa depan.” Satu hal yang Needham tonjolkan adalah fakta bahwa pemain dan penonton League of Legends masih sangat muda. Kebanyakan penonton esports memang memiliki umur di bawah 35 tahun. Inilah yang membuat semakin banyak perusahaan non-endemik tertarik untuk menjadi sponsor liga atau tim esports.

Dari pengalaman Riot dalam mengadakan, LWC, tampaknya, tak hanya perusahaan yang tertarik untuk masuk ke dunia esports, tapi juga pemerintah. Tahun ini, babak final LWC diadakan di Paris, Prancis, dan Riot mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah kota Paris. Konferensi pers dari LWC diadakan di Eiffel Tower dan sejumlah politikus penting hadir dalam acara tersebut. Dan ini tak hanya terjadi pada turnamen League of Legends, tapi juga turnamen esports lain seperti Rainbow Six. Mengingat turnamen esports bisa menumbuhkan perekonomian lokal sebuah kota, tak heran jika pemerintah juga berlomba-lomba untuk mengadakan turnamen esports di kotanya.

John Needham, Global Head of Esports, Riot Games | Sumber: The Esports Observer
John Needham, Global Head of Esports, Riot Games | Sumber: The Esports Observer

Menurut data dari Esports Charts, babak final dari LWC, yang mempertemukan FunPlus Phoenix dari Tiongkok dan G2 Esports dari Eropa ditonton oleh 104 juta orang di Tiongkok dan 3,7 juta orang di dunia. Walau jumlah penonton ini terdengar banyak, tapi jumlah penonton babak final kali ini hanya mencapai setengah dari jumlah penonton babak final LWC pada tahun lalu, seperti disebutkan oleh Abascus News. Tahun lalu, penonton dari Tiongkok mencapai 200 juta. Tidak heran, karena tahun lalu adalah kali pertama tim dari Tiongkok — Invictus Gaming — lolos babak kualifikasi LWC dan bahkan membawa pulang Summoner’s Cup. Menariknya, pertandingan antara FunPlus Phoenix dan G2 Esports lebih populer secara global. Tahun lalu, jumlah penonton di dunia hanya mencapai 2 juta, sementara tahun ini angka itu naik hampir dua kali lipatnya.

Needham percaya, dukungan akan esports akan terus tumbuh. Tahun depan, babak final LWC akan diadakan di Shanghai, Tiongkok. Sebelum memutuskan untuk memilih Shanghai, Needham berkata bahwa ada sejumlah kota yang menawarkan diri untuk menyelenggarakan LWC. “Kami telah melakukan proses bidding. Memang, proses ini tidak seperti proses bidding Olimpiade, tapi kami sedang menuju ke tingkat itu,” ujarnya. Sayangnya, Riot biasanya hanya mengadakan babak final LWC di empat kawasan: Tiongkok, Korea Selatan, Amerika Utara, dan Eropa. Keempat kawasan ini memang kawasan dengan tim tim League of Legends terkuat.

Inilah yang mendorong Riot melakukan konsolidasi turnamen di sejumlah kawasan, seperti di Asia Tenggara. Mulai tahun depan, League of Legends Master Series untuk kawasan Hong Kong, Taiwan, dan Macau akan digabungkan dengan League of Legends Southeast Asia Tour menjadi Pacific League Championship Series. Diharapkan, dengan melakukan konsolidasi liga, ini akan mendorong terciptanya tim-tim yang lebih tangguh, seperti yang terjadi di Eropa dengan League of Legends European Championship (LEC).

Sumber header: Dexerto

Gandeng TobiWan, Stay Campus London Buka Program Pelatihan Talenta Esports

Industri esports tengah berkembang pesat, membuat semakin banyak perusahaan tertarik untuk menjadi sponsor dan investor dari para pelaku di industri ini. Atlet esports memang masih menjadi pusat perhatian, walau sebenarnya, seseorang tak harus menjadi gamer profesional untuk masuk ke dunia esports. Ada berbagai pilihan karir yang tersedia di dunia esports, mulai menjadi bagian dari manajemen organisasi esports sampai menjadi bagian dari perusahaan penyelenggara turnamen esports. Caster menjadi salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan jika Anda tertarik untuk masuk ke dunia esports. Namun, mengingat industri esports masih sangat muda, belum banyak orang yang tahu tentang keahlian yang diperlukan untuk bekerja di indsutri esports. Inilah yang mendorong Stay Campus London, penyedia kursus bahasa Inggris asal London, untuk mengadakan program pelatihan talenta esports. Tujuan dari program ini adalah untuk membantu orang-orang yang tertarik untuk masuk ke industri mempelajari kemampuan yang mereka perlu ketahui.

Director Stay Campus London, Mariana Ulanowicz berkata, “Misi kami di Stay Campus London adalah mengubah cara pandang murid tentang cara belajar bahasa, serta membantu mereka untuk bisa menjadi lebih baik baik dalam kehidupan pribadi, dunia akademis, dan dunia profesional. Esports adalah fenomena digital yang tumbuh menjadi industri bernilai miliaran dollar pada 2019, menangkap perhatian jutaan generasi muda sekarang. Tujuan kami adalah memberikan pengalaman yang tak terlupakan bagi para murid dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk menemukan hal-hal baru, memperbaiki kemampuan berbahasa Inggris mereka, dan memberikan mereka keahlian untuk melanjutkan perjalanan mereka di dunia esports.”

TobiWan. | Sumber: ESL HELENA KRISTIANSSON via forbes
TobiWan. | Sumber: ESL HELENA KRISTIANSSON via Forbes

Program dari Stay Campus London ini ditujukan khusus untuk melatih orang-orang yang tertarik untuk menjadi talenta esports. Untuk menunjukkan keseriusannya, Stay Campus London bahkan menggandeng komentator dan caster esports ternama, Toby “TobiWan” Dawson untuk berbagi pengalamannya dalam bekerja di dunia esports. Dalam program ini, para peserta akan diajarkan tentang cara membuat skenario, vokal, ritme media, dan proses kreatif di balik menjadi caster. Secara total, program ini memiliki durasi waktu selama 20 jam. Di sini, para murid juga akan mendapatkan kesempatan untuk berlatih secara langsung. Jika para peserta merasa apa yang diajarkan masih belum cukup, mereka bisa mengambil kursus ekstra yang memiliki durasi 15 jam. Setelah mengikuti kursus ini, para peserta diharapkan akan bisa mengerti apa yang perlu mereka lakukan unutk menjadi seorang talenta esports, baik di depan atau di belakang kamera.

“Ini adalah program unik untuk menceritakan pengalaman saya selama 15 tahun di industri esports dan membuka jalan karir yang menarik bagi para peserta yang ingin masuk ke dunia esports, karir yang mungkin tak banyak diketahui oleh masyarakat,” kata TobiWan, seperti dikutip dari Esports Insider.

10 Game Terpopuler di Twitch Saat Ini

Walau tak terlalu populer di Indonesia, Twitch masih menjadi platform streaming nomor satu di dunia. Setiap bulan, para penonton Twitch bisa menghabiskan waktu hingga ratusan juta jam untuk menonton para gamer profesional saling bertanding atau menonton streamer. Channel paling populer Twitch bisa mendapatkan penghasilan hingga puluhan ribu dollar dari sponsor, donasi dari penonton, atau biaya berlangganan. Biasanya, channel paling populer di Twitch hanya fokus pada sejumlah game yang memang sedang populer. Meskipun begitu, game-game yang paling sering ditonton di Twitch biasanya berubah.

Inilah 10 game yang paling populer di Twitch, menurut laporan dari Business Insider.

1. League of Legends, total jam ditonton: 125,65 juta jam
Tahun ini, Riot merayakan ulang tahun League of Legends yang ke-10. Salah satu cara Riot untuk merayakan hal ini adalah dengan memamerkan beberapa adaptasi dari League of Legends, mulai dari fighting game, card game, sampai mobile game. League of Legends World Championship juga baru selesai dengan FunPlus Phoenix sebagai juara. Pada Oktober, jumlah penonton League of Legends naik 62 persen jika dibandingkan dengan September. Memang, Riot menjalankan LWC dengan format sedemikian rupa sehingga jumlah penonton bisa terus stabil sepanjang turnamen.

2. Fortnite, total jam ditonton: 79,1 juta jam
Epic Games meluncurkan Fortnite pada 2017. Meskipun game ini bukan game battle royale pertama, tapi ia dengan cepat menjadi populer. Pada Oktober 2019, Epic merilis update besar-besaran pertama, “Chapter 2”. Berkat update ini, jumlah viewership untuk Fortnite di Twitch naik 31 persen pada Oktober jika dibandingkan dengan jumlah viewership pada September. Sekarang, Fortnite memang masih menjadi salah satu game yang paling ditonton, tapi ia sempat merosot ke posisi empat pada pada September.

Sumber: Epic Games
Sumber: Epic Games

3. Just Chatting, total jam ditonton: 68,4 juta jam
Pada Agustus 2019, memang mulai terlihat tren semakin populernya fitur Just Chatting. Seperti namanya, dalam sesi Just Chatting, biasanya streamer sekadar mengobrol dengan para penonton atau menunjukkan kehidupan mereka di dunia nyata. Terkadang, streamer juga bisa menggunakan sesi Just Chatting untuk membuka diskusi tentang sebuah kejadian yang ramai dibicarakan.

4. Counter-Strike: Global Offensive, total jam ditonton: 44,77 juta jam
CS:GO diluncurkan pada 2013. Meskipun game ini sudah cukup tua, CS:GO masih cukup digemari. Belum lama ini, CS:GO bahkan mencetak rekor baru dalam jumlah rata-rata pemain. Meski jumlah pemain CS:GO sempat mengalami penurunan, Valve berhasil membuat game ini kembali diminati dengan membuatnya menjadi game gratis pada 2018. Mengingat CS:GO juga memiliki berbagai turnamen esports, tidak heran jika game ini menjadi salah satu game yang paling sering ditonton di Twitch.

5. Grand Theft Auto V, total jam ditonton: 36,89 juta jam
Sejak diluncurkan pada 2013, Grand Theft Auto V berhasil menjadi salah satu game paling laris dengan penjualan mencapai 115 juta copy. Gameplay yang memungkinkan para pemain untuk melakukan apapun yang mereka inginkan juga membuat game ini menarik untuk ditonton.

Sumber: Steam
Sumber: Steam

6. World of Warcraft, total jam ditonton: 36 juta jam
Pada September 2019, World of Warcraft menjadi game terpopuler di Twitch berkat “WoW Classic”, yang menampilkan gameplay game ini pada 2006. Peluncuran WoW Classic ditonton oleh lebih dari satu juta orang pada saat bersamaan. Popularitas game ini juga sempat naik karena perayaan ulang tahun franchise World of Warcraft yang ke-15.

7. Dota 2, total jam ditonton: 30 juta jam
Dota 2 adalah salah satu game PC paling populer dengan jutaan pemain. Selain itu, Dota 2 juga memiliki berbagai turnamen esports dengan The International sebagai turnamen tahunan paling bergengsi. Karena itu, setiap bulan, cukup banyak penonton Twitch yang menonton konten Dota 2.

8. Apex Legends, total jam ditonton: 26,6 juta jam
Apex Legends dari EA adalah salah satu game paling populer tahun ini. Game ini juga masih bisa menarik perhatian penonton Twitch beberapa bulan setelah ia dirilis. Sama seperti Fortnite, Apex Legends merupakan game battle royale. Biasanya, satu match akan berlangsung selama sekitar 20 menit. Ini memudahkan penonton untuk mencerna konten yang disajikan.

Apex Legends - Art 2
Sumber: EA

9. FIFA 20, total jam ditonton: 26,6 juta jam
Dirilis September 2019, FIFA 20 adalah game terbaru dari seri FIFA. Biasanya, para penonton di Twitch tertarik untuk menonton para pemain FIFA profesional saling bertanding dengan satu sama lain. Di Indonesia, FIFA adalah salah satu game esports yang paling dikenal. Tak hanya itu, Indonesia juga memiliki sejumlah atlet esports yang bertanding FIFA, seperti Eggsy dari RRQ yang memenangkan IGL FIFA 19 FUT pada Agustus lalu.

10. Call of Duty: Modern Warfare, total jam ditonton: 2,69 juta jam
Jika dibandingkan dengan sembilan game lainnya, total jam ditonton dari Call of Duty: Modern Warfare memang jauh lebih sedikit. Tidak heran, karena game ini baru diluncurkan pada akhir Oktober. Meskipun begitu, para penonton Twitch tertarik untuk menonton konten game Call of Duty terbaru ini untuk melihat gameplay dari game tersebut.

Federasi Esports SMA Amerika Serikat dan Jepang Jalin Kerja Sama

North America Scholastic Esports Federation (NASEF) dan Japan High School Esports Federation (JHSEF) mengumumkan kerja sama dalam rangka untuk mengembangkan esports di tingkat SMA. Dalam situs resminya, NASEF mengatakan bahwa misi mereka adalah menjadikan esports sebagai platform bagi para siswa untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan kemampuan menyelesaikan masalah sehingga mereka bisa sukses di dunia nyata. Mereka menyebutkan, mereka mencoba untuk mencari hubungan antara esports dan pelajaran di sekolah untuk membuat kurikulum di tingkat SMP dan SMA.

Metode yang digunakan oleh NASEF dianggap sukses sehingga JHSEF tertarik untuk menggunakan metode yang sama di SMA di Jepang. Melalui kerja sama ini, NASEF dan JHSEF akan saling membantu untuk menggunakan esports sebagai platform edukasi bagi siswa SMA di Amerika Serikat dan Jepang. Selain itu, mereka juga akan membahas tentang tujuan mereka dalam memanfaatkan esports untuk mendukung edukasi dan pengembangan teknologi. Setelah tujuan ditetapkan, kedua federasi esports ini akan membuat sistem untuk merealisasikan tujuan mereka tersebut. Representative Director JHSEF, Kimito Kubo mengatakan bahwa kerja sama antara kedua federasi memungkinkan keduanya untuk berdiskusi dan saling bertukar riset akademis terkait esports serta memperluas kesempatan akan pemberdayaan esports di sekolah-sekolah Jepang.

Pusat esports di UC of Berkeley | Sumber: PC Gamer
Pusat esports di UC of Berkeley | Sumber: PC Gamer

“Kami bangga karena JHSEF memutuskan untuk bekerja sama dengan NASEF,” kata Gerald Solomon, Executive Director dari Samueli Foundation dan pendiri dari NASEF, seperti dikutip dari InvenGlobal. “Kami senang melihat para pendidik di seluruh dunia yang memiliki visi jauh ke depan menyadari potensi dari model pembelajaran kami yang menggabungkan esports dan edukasi. Jelas bahwa program kami bisa digunakan pada semua generasi muda; tidak ada batasan — seperti etnis, geografi, gender — yang membatasi anak-anak untuk belajar dan tumbuh berkembang dengan bermain.”

Di Amerika Serikat, esports memang telah mulai merambah sekolah, walau kebanyakan sekolah hanya menjadikan esports sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Menariknya, menurut survei yang diadakan oleh Extreme Networkws dan eCampus News, keberadaan program esports bisa mendorong siswa untuk menjadi lebih rajin pergi ke sekolah. Tingginya minat akan esports di sekolah ini membuat munculnya berbagai startup yang berusaha menyediakan platform esports khusus bagi siswa SMA, seperti PlayVS dan All-Star eSports League. Tak hanya itu, mulai banyak sekolah dan universitas yang memberikan beasiswa pada atlet esports, walau para penerima beasiswa esports masih mengalami sejumlah masalah. Di Indonesia sendiri, Menteri Pemuda dan Olahraga sempat membuat wacana untuk memasukkan esports ke dalam kurikulum SMA, walau rencana itu tak pernah direalisasikan.