Deutsche Telekom Sponsori League of Legends Premier Tour

Deutsche Telekom menjadi sponsor terbaru dari League of Legends Premier Tour, liga untuk kawasan Jerman, Austria, dan Swiss. Sebelum ini, Premier Tour telah mendapatkan sejumlah sponsor, baik perusahaan teknologi seperti HyperX maupun perusahaan yang tak ada sangkut pautnya dengan gaming dan esports, seperti perusahaan minyak dan gas Shell, perusahaan asuransi BARMER dan R+V Versicherung, merek snack NicNac’s dan juga merek pizza La Mia Grande.

Ini bukan pertama kalinya Deutsche Telekom mendukung dunia esports dengan menjadi sponsor. Sebelum ini, Deutsche Telekom telah menjadi sponsor dari salah satu organisasi esports asal Jerman, SK Gaming. Sama seperti kebanyakan organisasi esports, SK Gaming berlaga di berbagai game esports, salah satunya League of Legends. Tim League of Legends mereka turut berlaga dalam liga Eropa, League of Legends European Championship (LEC). Selain League of Legends, mereka juga memiliki tim dan pemain yang berlaga di Clash Royale, FIFA, Hearthstone, dan SMITE.

SK Gaming Prime | Sumber: Twitter
SK Gaming Prime | Sumber: Twitter

Premier Tour Winter Cup akan diadakan pada 30 November 2019 di Ratiopharm Arena. Dalam turnamen tersebut, akan ada 12 tim Jerman yang bertanding. Salah satunya adalah SK Gaming Prime, yang merupakan tim akademi dari SK Gaming. Tim League of Legends tersebut dibuat pada 2014. Pada Premier Tour Winter Berlin tahun lalu, SK Gaming Prime hanya berhasil menjadi juara empat. Namun, mereka berhasil menjuarai Summoner’s Inn League Season 2 dan menjadi juara dua di European Masters 2019 Spring pada April lalu. Sepanjang 2019, mereka telah memenangkan hadiah sebesar US$45.500.

Premier Tour pertama kali diadakan pada 2018. Liga yang secara khusus menargetkan kawasan Jerman, Austria, dan Swiss ini merupakan bagian dari European Regional Leagues (ERL). Riot Games, developer League of Legends mengadakan ERL dengan tujuan untuk mencari pemain berbakat di negara-negara Eropa. Ini akan memudahkan organisasi esports yang bertanding di liga Eropa LEC untuk mencari pemain baru. Memang, regenerasi pemain masih jadi salah satu momok di dunia esports. Pada Juli lalu, Riot Games, Freaks 4U Gaming, dan Lagardère Sports mengumumkan kerja sama untuk mengadakan liga baru sebagai pengganti Premier Tour. Namun, tujuan dari diadakannya liga tersebut masih sama, yaitu untuk mengembangkan ekosistem bagi para pemain League of Legends di negara-negara berbahasa Jerman.

Sumber: The Esports Observer

Ukir Sejarah, VKLiooon Jadi Hearthstone Global Champion Perempuan Pertama

Xiaomeng “VKLiooon” Li mengukir sejarah dengan memenangkan Hearthstone Grandmasters Global Finals di BlizzCon 2019. Dia merupakan pemain perempuan pertama yang mendapatkan gelar Hearthstone Global Champion. Li masuk ke Hearthstone Grandmasters Global Finals setelah memenangkan Gold Open Tianjin Master Group Season 1 Playoffs. Di sana, dia juga merupakan pemain perempuan pertama yang memenangkan turnamen tersebut. Sepanjang turnamen dunia Hearthstone di Anaheim, California, Amerika Serikat, Li tak pernah kalah. Pada pertandingan final, dia melawan Brian “bloodyface” Eason dan berhasil menang dengan skor 3-0. Menurut laporan Digital Trends, satu hal yang menarik, pada pertandingan terakhir, Li mengalahkan deck Quest Druid milik Eason menggunakan Highlander Hunter, deck yang sering digunakan di competitive scene di Asia Pasifik, tapi diragukan oleh pemain profesional dan caster asal negara Barat.

“Salah satu faktor yang memungkinkan saya menang adalah fakta bahwa saya merasa, saya tidak cukup hebat jika dibandingkan dengan semua pemain yang ada di turnamen ini,” kata Li, seperti dikutip dari The Washington Post. “Inilah yang memotivasi saya untuk bekerja lebih keras dari mereka semua dan membuat saya lebih berhati-hati dalam mengambil setiap langkah dan strategi yang saya gunakan.” Terlahir di kawasan Xinjiang, Tiongkok, Li mulai tertarik untuk bermain Hearthstone ketika dia berkuliah di Southwest University of Political Science and Law. Dia mengaku, dia tak terlalu senang dengan jurusan yang dia ambil. Dia memutuskan untuk mencoba menjadi pemain profesional. Dan dia sukses.

Salah satu masalah yang dihadapi oleh Li dalam karirnya sebagai pemain profesional adalah seksisme. Perempuan berumur 23 tahun ini bercerita tentang pengalaman buruknya. “Dua tahun lalu, saya ingat saya ikut serta dalam kompetisi besar,” katanya dengan air mata berlinang, lapor ESPN. “Saya sedang mengantre untuk mendaftarkan diri. Dan ada satu laki-laki yang berkata pada saya, ‘Kamu perempuan. Kamu tidak seharusnya mendaftarkan diri. Turnamen ini bukan untukmu.’ Dan di sinilah saya sekarang, dengan dukungan dari semua fans.” Li lalu mendorong para gamer perempuan lain untuk tak takut bertanding di turnamen esports. “Saya hanya ingin memberitahu semua perempuan yang memiliki mimpi untuk bertanding di turnamen esports: Jika kamu mau dan percaya akan kemampuanmu, lupakan masalah gender dan kejar mimpimu,” kata Li. “Selama kamu mau bisa bermain dengan baik, kamu bisa, tak peduli apa gendermu.” 

Sebagai profesional, Li berlatih sekitar lima jam setiap harinya. Selain itu, dia juga menonton turnamen profesional untuk mempelajari strategi bersama kekasihnya, Syf, pemain Hearthstone profesional yang bermain di Team Invictus Gaming, organisasi esports asal Tiongkok. “Saya rasa, asalkan semua orang mencoba untuk lebih baik pada perempuan di esports dan lebih menghargai mereka, saya pikir, akan ada lebih banyak perempuan yang berkompetisi di esports dan memiliki pencapaian yang tak kalah dari pemain pria,” kata Li.

Di Indonesia, sejumlah tim esports ternama telah memiliki tim khusus perempuan, seperti Belletron, The Prime Angels, Victim Babes, ONIC Ladies, dan lain sebagainya. Turnamen esports khusus tim perempuan juga ada, walau jumlahnya tak sebanyak turnamen esports untuk pria. Sayangnya, dari segi total hadiah, turnamen untuk perempuan biasanya memiliki hadiah yang jauh lebih kecil. Misalnya, juara pertama PUBG Mobile Indonesia Championship (PINC) 2019 mendapatkan Rp400 juta, sementara hadiah untuk pemenang PINC Ladies Tournament hanyalah Rp10 juta. Inilah salah satu masalah yang coba Shinta Dhanuwardoyo, CEO dan Pendiri Bubu.com selesaikan ketika dia mengadakan Bubu Esports Tournament (BEST) yang menawarkan hadiah yang sama dalam turnamen PUBG Mobile untuk pria dan perempuan.

Sumber header: Helena Kristiansson/Provided by Blizzard Entertainment via ESPN

AlphaStar, AI Buatan DeepMind Dapatkan Gelar Grandmaster di StarCraft II

Seiring dengan semakin canggihnya teknologi artificial intelligence, semakin banyak juga cara untuk mengaplikasikan AI dalam bisnis, seperti penggunaan chatbot sebagai bagian dari customer service. Di industri game dan esports, AI juga memiliki berbagai kegunaan, misalnya untuk membuat strategi dan melatih para pemain. Tak berhenti sampai di situ, AI kini juga dapat bertanding di level yang sama dengan gamer profesional. DeepMind baru saja mengumumkan bahwa AI buatan mereka, AlphaStar, berhasil mencapai ranking Grandmaster dalam StarCraft II. Itu artinya, AI ini dapat mengalahkan 99,8 persen pemain game buatan Blizzard tersebut.

Ada tiga ras yang bisa Anda mainkan di StarCraft II, yaitu Terran, Protoss, dan Zerg. Karena itu, DeepMind melatih tiga jaringan syaraf yang berbeda untuk menguasai permainan tiga ras tersebut. Untuk melatih AlphaStar, DeepMind menggunakan database yang disediakan oleh Blizzard. Dari sini, sang AI belajar untuk mengambil keputusan dari para pemain terbaik. Setelah itu, DeepMind membuat AI tiruan dan mengadunya dengan satu sama lain. DeepMind juga membuat “exploiter agent” yang berfungsi untuk menemukan celah dalam strategi yang digunakan oleh AlphaStar.  Pada Januari 2019, DeepMind mengumumkan, AlphaStar dapat mengalahkan pemain-pemain profesional terbaik dalam 10 pertandingan. Ketika itu, AI buatan DeepMind itu hanya kalah dari Grzegorz “MaNa” Komincz dalam pertandingan terakhir.

Sumber: DeepMind
AlphaStar versus Grzegorz “MaNa” Komincz. | Sumber: DeepMind

Satu hal yang menarik, DeepMind membatasi AlphaStar sehingga ia hanya bisa melihat bagian dari game yang memang bisa dilihat oleh gamer manusia. Tak hanya itu, AI ini juga dibatasi sehingga ia hanya dapat melakukan 22 action dalam lima detik, sama seperti yang dapat dilakukan manusia. AlphaStar adalah AI pertama yang bisa mencapai level Grandmaster, level tertinggi di StarCraft II. Sebelum ini, DeepMind — yang ada di bawah naungan Alphabet, perusahaan induk Google — juga membuat AI untuk bermain go. AI yang dinamai AlphaGo itu berhasil mengalahkan pemain Go profesional. Namun, StarCraft II memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dari board game seperti go. Dalam StarCraft II, yang menggunakan sistem real-time dan bukannya turn-based, seorang pemain harus mengumpulkan mineral untuk membangun markas, membuat unit pekerja, dan melakukan upgrade. Setiap saat, pemain memiliki 100 triliun triliun (10^26) keputusan yang bisa mereka ambil. Dampak dari keputusan yang mereka ambil juga tidak langsung terlihat, yang membuat game ini menjadi semakin rumit.

“Sepanjang sejarah, pencapaian pengembangan AI selalu ditandai dengan pencapaian dalam game. Sejak komputer bisa memahami go, catur, dan poker, StarCraft dianggap sebagai tantangan berikutnya,” kata David Silver, DeepMind Principle Research Scientist, seperti disebutkan oleh The Verge. “Game ini jauh lebih kompleks daripada catur, karena pemain mengendalikan ratusan unit sekaligus; lebih rumit dari go, karena ada 10^26 opsi dalam setiap gerakan; dan pemain memiliki informasi yang lebih sedikit daripada ketika bermain poker.”

Silver mengatakan, mereka mengembangkan AlphaStar bukan untuk menggantikan pemain esports profesional, tapi untuk membuat AI belajar untuk menyelesaikan permasalahan di dunia nyata. “Satu hal penting yang membuat kami tertarik dengan StarCraft adalah karena game ini memiliki masalah yang merepresentasikan masalah di dunia nyata,” kata Silver, dikutip dari BBC. “Kami melihat StarCraft sebagai benchmark untuk memahami cara kerja AI dan membuat AI yang lebih baik.” Dia mengatakan, teknologi yang mereka dapatkan dari pengembangan AlphaStar dapat digunakan dalam teknologi yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari asisten virtual, robot, sampai mobil otonom, karena ketiga kegiatan ini memaksa AI untuk mengambil keputusan berdasarkan informasi yang tak lengkap.

Apa pendapat pemain profesional?

Menurut Raza “RazerBlader” Sekha, salah satu pemain StarCraft II terbaik di Inggris Raya, mengakui bahwa performa AlphaStar memang mengagumkan. Namun, dia melihat AI itu masih memiliki beberapa kelemahan. Opininya terbentuk setelah dia bertanding melawan AlphaStar sebagai Terran dan melihat permainan antara sang AI dengan pemain lain. “Ada satu game ketika seorang pemain menggunakan komposisi pasukan yang aneh, dia hanya menggunakan pasukan udara — dan AlphaStar tidak tahu cara mengatasi hal ini,” kata Sekha, dikutip dari BBC. “Sang AI gagal beradaptasi dan akhirnya harus menyerah kalah. Ini menarik karena pemain yang baik biasanya memiliki gaya bermain standar, sementara pemain yang lebih lemah justru memiliki gaya permainan yang tidak biasa.”

Sementara Joshua “RiSky” Hayward, pemain terbaik di Inggris Raya, tidak mendapatkan kesempatan untuk melawan AlphaStar. Namun, dia memerhatikan pertandingan sang AI sebagai Zerg. Dia mengatakan, AlphaStar memiliki gaya bertarung yang unik sebagai seorang Grandmaster. “Ia tak membuat keputusan yang paling efisien,” ujarnya. “Tapi, ia dapat mengeksekusi strateginya dan melakukan beberapa hal dalam satu waktu, sehingga ia bisa mendapatkan ranking cukup tinggi.”

Mainline Dapat Investasi Sebesar Rp95,3 Miliar

Mainline, perusahaan manajemen dan software turnamen esports asal Amerika Serikat, baru saja mendapatkan investasi Seri A sebesar US$6,8 juta (sekitar Rp95,3 miliar). Pendanaan kali ini dipimpin oleh Work America Capital. Selain perusahaan modal ventura itu, sejumlah investor pribadi yang bergerak di ranah olahraga juga ikut serta dalam pendanaan untuk Mainline ini. Mainline menyebutkan, dana ini akan mereka gunakan untuk mengembangkan platform turnamen esports mereka. Selain itu, mereka juga akan menambah pekerja di bidang sales, marketing, dan development. Mereka juga berencana untuk menambah klien dan meningkatkan pangsa pasar mereka.

Pada awalnya, Mainline adalah bagian dari FanReact (yang kini bernama Truss) dan secara khusus menargetkan esports di tingkat universitas. Esports di tingkat perkuliahan memang tumbuh dengan sangat cepat. Penyelenggara turnamen esports tingkat universitas terbesar, Tespa, memiliki 850 sekolah sebagai anggota, hampir 2.000 pemain, dan telah memberikan total hadiah sebesar US$3 juta. Tak hanya di tingkat kuliah, esports di tingkat SMA juga menunjukkan potensi. Platform penyedia turnamen esports untuk siswa SMA, PlayVS dan All-Star eLeague, belum lama ini telah mendapatkan pendanaan. Meskipun begitu, Mainline kini tak hanya fokus pada esports di tingkat kuliah. Sekarang, mereka juga membantu penyelenggaraan turnamen esports profesional. Mereka telah memiliki sejumlah klien ternama, seperti Dreamhack, PUBG Corp., dan Clutch Gaming. Mereka juga membantu ESPN dalam mengadakan Collegiate Esports Championship. Sejauh ini, Mainline telah membantu pengadaan ribuan turnamen esports online dan offline.

CEO Mainline, Chris Buckner | Sumber: Houston Business Journal / JONATHAN ADAMS
CEO Mainline, Chris Buckner | Sumber: Houston Business Journal / JONATHAN ADAMS

“Industri gaming dan esports tengah berkembang pesat; sayangnya, penyelenggaraan turnamen esports tak memiliki keberlanjutan yang jelas, membuat esports tak bisa tumbuh di sejumlah pasar yang berpotensi,” kata CEO Mainline, Chris Bucker, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Pada klien kami, Mainline memberikan tool untuk mengadakan acara esports yang meriah yang akan mengubah industri esports yang kini semakin dewasa. Ini akan menguntungkan para pemain, siswa, dan ekosistem esports secara keseluruhan.” Eksekutif Mainline berasal dari berbagai perusahaan esports ternama, seperti ESL, Dreamhack, Tespa, NRG Esports, Blizzard, Twitch, dan Sony Pictures Entertainment.

“Sama seperti industri lain yang berkembang pesat, ada masalah di esports yang hanya bisa diselesaikan dengan inovasi baru,” kata Mark Toon, Managing Partner, Work America Capital, menurut laporan VentureBeat. “Mainline membuat standar dan mengoptimalkan industri esports, membuka jalan bagi lebih banyak pemain dan tim untuk ikut serta, dan menciptakan kemungkinan diadakannya turnamen esports yang lebih besar dan lebih baik. Mainline memiliki visi yang menempatkan mereka pada posisi strategis untuk menyelenggarakan turnamen di semua level, dari amatir, tingkat universitas, dan profesional.”

Vindex Resmi Diluncurkan, Dapatkan Investasi Senilai Rp842 Miliar

Vindex, perusahaan yang hendak membangun infrastruktur esports, resmi beroperasi. Bersamaan dengan itu, mereka juga mengumumkan pendanaan Seri A sebesar US$60 juta (sekitar Rp842 miliar). Vindex didirikan oleh Mike Sepso dan Sundance DiGiovanni, dua pendiri Major League Gaming (MLG) — yang diakuisisi oleh Activition Blizzard pada 2015 — serta Bryan Binder dan Jason Garminse, investor pribadi dan wirausahawan fintech. Vindex ingin menjadi penyedia teknologi dan layanan untuk membantu para pelaku esports, seperti publisher game, penyelenggara liga, dan tim profesional, untuk berinteraksi dengan para fans mereka di seluruh dunia.

Esports telah mengalami pertumbuhan pesat selama hampir dua puluh tahun, dan saya bangga karena saya bisa menjadi bagian dari industri ini,” kata CEO Vindex, Mike Sepso, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Yang lebih penting, esports mendorong pertumbuhan di industri game dan membuat fans menjadi lebih aktif berinteraksi. Kami ada untuk memudahkan proses itu, membuat interaksi dengan fans menjadi lebih menyenangkan dan lebih mudah.”

Pada saat peluncurannya, Vindex juga mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi Next Generation Esports (NGE) dan peluncuran perusahaan Esports Engine. Kedua perusahaan ini bergerak dalam bidang terkait operasi, produksi, dan teknologi esports. Para pendiri dan manajemen senior dari dua perusahaan itu akan tetap duduk di jabatan mereka saat ini. Selain itu, mereka juga akan menjadi bagian dari tim kepemimpinan Vindex. Didirikan oleh Adam Apicella, yang juga pernah bekerja di MLG, Esports Engine berusaha untuk membantu publisher dan tim esports profesional terhubung dengan para fans. Sementara NGE adalah perusahaan produksi esports asal California, Amerika Serikat. Vindex berencana untuk mempertahankan dan mengembangkan semua kerja sama yang telah Esports Engine dan VGE buat selama ini.

Sumber: MLG via Dot Esports
Sumber: MLG via Dot Esports

Dengan bergabungnya Esports Engine dan NGE di bawah Vindex, ini menjadikan Vindex sebagai platform penyedia infrastruktur esports terbesar yang ada saat ini. Karena itu, tak heran jika Pendiri Gotham Asset Management, Joel Greenblatt tertarik untuk menanamkan investasi di Vindex. Dia percaya, Vindex akan bisa menyelesaikan salah satu masalah yang ada di esports. “Publisher game dan penyelenggara liga game harus bisa memenuhi permintaan yang tinggi dari para fans yang jumlahnya terus bertambah,” kata Greenblatt pada CNBC. “Tidak mudah untuk memenuhi permintaan akan program, konten, dan acara esports yang sangat tinggi.” Dia percaya, industri esports memiliki potensi besar. Namun, dia merasa, potensi itu hanya bisa direalisasikan jika ada infrastruktur yang mumpuni untuk mendukung meroketnya jumlah penonton esports.

Selain modal, Vindex juga memiliki anggota dewan yang berpengalaman, seperti Steve Bornstein, veteran broadcast olahraga yang pernah menjadi CEO ESPN dan NFL Network serta ikut bekerja sama dengan Sepso di Activision untuk meluncurkan divisi esports mereka. “Saya tak pernah merasa seantusias ini sejak saya menjadi CEO ESPN. Saya melihat tingkat antusiasme dan talenta yang sama di Vindex,” ujar Bornstein, dikutip dari Aithority. “Orang-orang di Vindex telah mencapai berbagai pencapaian besar di industri esports dan memiliki visi yang jelas dalam fase berikutnya dari pertumbuhan indsutri esports. Saya senang bisa ikut membantu merealisasikan potensi dari pasar esports global.”

Membawa Esports ke Sekolah, Mungkinkah?

Di tengah perkembangan esports yang sangat pesat, memulai karir sebagai pemain profesional bukan sekadar mimpi. Di Indonesia, ada beberapa tim profesional yang menawarkan pelatihan bagi gamer yang ingin naik level menjadi pemain profesional, seperti TEAMnxl> dengan NXL Esports Center dan RRQ dengan RRQ Academy. Pelatihan serupa juga bisa Anda temukan di Singapura dan Tiongkok. Beberapa universitas di Inggris Raya dan Amerika Serikat membawa pendidikan esports ke level yang lebih tinggi dengan menawarkan program S1 di bidang esports.

University of Staffordshire adalah salah satunya. Ryan Chapman, yang masih berumur 18 tahun, adalah salah satu mahasiswa jurusan esports di universitas tersebut. Dia mengaku, pada  awalnya, orangtuanya skeptis ketika dia mengatakan ingin mengambil jurusan esports. “Tapi, kini mereka tahu seberapa besar industri ini, betapa cepatnya pertumbuhan industri esports. Mereka sekarang benar-benar mendukung saya karena esports adalah industri yang besar,” kata Champan, menurut laporan CBS News. Tidak tanggung-tanggung, bersamaan dengan program S1 esports, University of Staffordshire juga meluncurkan program S2 esports. Universitas itu bukanlah satu-satunya perguruan tinggi yang tertarik dengan pendidikan esports. Becker College juga memperkenalkan program “Bachelor of Science” untuk manajemen esports pada Oktober 2019 setelah melakukan “soft release” pada tahun lalu. Para mahasiswa di jurusan esports tak melulu bermain game. Di kampus, mereka sebenarnya mempelajari kemampuan terkait marketing dan manajemen industri esports.

Sumber: The Esports Observer
Pertandingan esports tingkat perkuliahan | Sumber: The Esports Observer

“Banyak orang tidak sadar tentang industri esports,” kata Matt Huxley, dosen di Digital Institute London dari Staffordshire University. Huxley mengajar tentang cara untuk menyelenggarakan turnamen esports. Dia berkata, belajar tentang esports mirip dengan jurusan tentang manajemen olahraga. “Jika Anda ingin menjadi direktur klub sepak bola, Anda tidak belajar untuk bermain bola, Anda belajar bisnis tentang transfer pemain, bagaimana Anda bisa mengelola stadion, dan kemampuan operasional lainnya.”

Chichester University mempekerjakan mantan pro gamer Rams “R2K” Singh sebagai dosen di program esports mereka, yang menyertakan pelajaran tentang cara bermain FIFA dan League of Legends. Ohio State University juga dikabarkan berencana untuk membuka program S1 jurusan esports dan game. Salah satu hal yang dipelajari mahasiswa di sini adalah cara mengaplikasikan game ke industri kesehatan dan obat-obatan.

Game tak lagi dimainkan oleh anak-anak dari basement rumah mereka,” kata Dean of Becker’s College’s School of Design and Technology, Alan Ritacco. “Pemain esports ternama sekarang memiliki penghasilan yang sama dengan atlet bintang di olahraga tradisional, seperti golf atau tennis.” Omongan Ritacco bukanlah omong kosong. Tim OG, yang memenangkan The International 2019, mendapatkan US$15,6 juta. Itu berarti, masing-masing anggota OG mendapatkan lebih dari US$3,1 juta. Sebagai perbandingan, Tiger Woods “hanya” mendapatkan US$2,07 juta setelah memenangkan Masters 2019. Sementara pemenang Wimbledon di kategori solo, Novak Djokovic dan Simona Halep, masing-masing mendapatkan US$2,9 juta.

Esports di dunia pendidikan Indonesia

Di Indonesia, ada setidaknya 20 kampus dan sekolah yang menawarkan program pendidikan game. Sayangnya, belum ada institusi pendidikan formal yang berani menyediakan program khusus untuk esports. Pada Maret 2019, Imam Nahrawi, yang ketika itu masih menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, membuat wacana untuk memasukkan esports ke dalam kurikulum sekolah. Dia mengatakan, esports dapat melatih fisik dan mental pemain. Dan memang, atlet esports tak hanya harus jago dalam bermain, tapi juga dapat berpikir strategis dan memiliki fisik yang tangguh. Hendry “Jothree” Handisurya yang mewakili Indonesia dalam pertandingan esports Hearthstone di SEA Games 2019 mengatakan, latihan fisik merupakan bagian dari persiapan di Pelatnas. Dalam pertandingan esports, pemain dipaksa untuk memutar otak selama berjam-jam. Agar dapat memberikan performa yang optimal, sang atlet harus memiliki fisik yang tangguh.

Saat Imam Nahrawi mengungkap wacananya untuk memasukkan esports ke kurikulum, ide ini disambut dengan baik oleh para murid SMA. Namun, ada juga pihak yang menentang, seperti pemerhati pendidikan dari Universitas Multimedia Nusantara, Doni Koesoma. “Kurikulum itu kalau mau ditambahkan materi pembelajaran, itu ada aturannnya. Jadi artinya kita tidak bisa setiap kali ada kebutuhan, kepentingan, lalu kemudian semua akan dimasukkan ke dalam kurikulum,” katanya, dikutip dari Antara News. Jika pemerintah ingin memasukkan esports ke dalam sekolah, dia menyarankan agar esports dimasukkan hanya sebagai kegiatan ekstrakurikuler.

Ki-ka: Merril Riandi dan Coach Michael Chandra | Sumber: Dokumentasi Hybrid
Ki-ka: Merril Riandi dan Coach Michael Chandra | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Dalam acara RRQ Academy yang diadakan di Raffles College pada Senin, 28 Oktober 2019, Head of RRQ Academy, Merril Riandi mengatakan bahwa membawa esports ke kurikulum bukanlah hal yang mudah. “Banyak pintu yang harus dibuka satu per satu. Salah satu yang ada, Federasi Esports Indonesia. Itu bisa jadi pondasi. Dari asosiasi, esports bisa diakui secara resmi oleh pemerintah,” ujarnya. Dia mengatakan, Indonesia memiliki talenta esports yang tak kalah jika bertanding di kancah internasional. Ini terbukti ketika Indonesia memenangkan medali emas dalam cabang esports Clash Royale ketika esports masuk sebagai pertandingan eksibisi di Asian Games 2018. Untuk memasukkan esports ke sekolah, Riandi merasa, hal ini bisa dimulai dari kegiatan ekstrakurikuler. “Di sekolah kan sudah ada ekskul olahraga, seperti basket atau tenis meja. Sebenarnya, esports bisa masuk di situ,” ungkapnya. Dan sama seperti pelajaran olahraga, esports di sekolah tak melulu hanya bermain game, tapi juga mempelajari teori yang ada. “Sejak kecil, anak-anak sudah pegang smartphone, ada akses ke dunia game. Kenapa nggak coba diarahkan ke sesuatu yang lebih positif?”

Tantangan membawa esports ke dunia pendidikan

Yohannes P. Siagian yang pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA 1 PSKD dan Vice President EVOS Esports menyayangkan fakta bahwa Imam Nahrawi tak pernah memberikan rencana yang konkret terkait wacananya untuk memasukkan esports ke sekolah. “Tapi overall, menurut saya memasukan esports ke program sekolah merupakan hal yang positif. Banyak benefit yang bisa didapat murid dari esports,” ujarnya ketika ditemui oleh Hybrid pada Rabu, 30 Oktober 2019. Soal jenjang sekolah, dia mengatakan bahwa esports belum pantas untuk dimasukkan ke kurikulum SD, tapi sudah bisa dimasukkan ke kurikulum SMP. “Yang penting, ada title yang kontennya cocok dengan jenjang umur,” katanya.

Menurut Yohannes, durasi waktu yang ideal untuk pelajaran esports di sekolah adalah empat sampai enam jam per minggu, yang dibagi dalam dua pertemuan. “Kalau hanya kumpul satu kali seminggu untuk main bersama dan tidak ada upaya pengembangan skill, itu bukan esports,” ujarnya. Dia merasa. pihak sekolah harus dapat membedakan antara “gaming” dan “esports“. Dalam esports, murid tak hanya bermain untuk bersenang-senang, tapi ada pengajaran dan tujuan yang jelas, untuk meningkatkan kemampuan siswa.

Menurutnya, inilah mengapa mencari pelatih yang mumpuni menjadi salah satu tantangan tersulit dalam membawa esports ke sekolah. “Coaching sangat penting dan kendala paling besar dalam mengembangkan esports di sekolah adalah coach,” ujarnya. Saat ini, mencari pelatih yang memang ahli lebih sulit dari sekadar mencari sponsor. Alasannya karena memang belum ada pelatih yang hebat di Indonesia. Selain itu, orang yang memiliki kemampuan untuk menjadi pelatih biasanya lebih memilih untuk menjadi pelatih tim profesional daripada pelatih di sekolah. “Nyari coach yang kompeten itu susahnya bukan main. Jangankan di level sekolah, di level pro saja cari coach susah. Nggak ada yang mau jadi coach, semua mau jadi pemain,” dia bercerita.

Yohannes Siagian. Sumber: Bolasport.com
Yohannes Siagian. Sumber: Bolasport.com

Masalah lain dalam membawa esports ke dunia pendidikan adalah orangtua. Sebagian orangtua percaya, esports berpotensi untuk merusak anak. Padahal, menurut Yohannes, ada banyak soft skills yang bisa dipelajari oleh siswa jika mereka aktif dalam esports, seperti strategi, problem solving, dan juga komunikasi. Anak juga bisa belajar tentang cara mengatasi tekanan dan cara menghadapi kekalahan. Memang, ada orangtua yang sangsi akan keuntungan yang didapat oleh para pemain esports, tapi Yohannes percaya bahwa selama pihak sekolah dapat memberikan penjelasan yang baik dan konsisten akan manfaat esports, orangtua akan paham. Untuk memberi pemahaman pada orangtua, guru memang harus rela untuk bekerja ekstra. Dia menyayangkan, banyak guru di Indonesia yang enggan untuk menghabiskan waktu dan tenaga ekstra untuk memberikan penjelasan. Sambil bercanda, dia berkata bahwa kebanyakan guru di Indonesia saat ini akan segera beranjak pulang ketika bel tanda pulang sekolah berbunyi. Pada saat yang sama, jika guru tak kooperatif dan memiliki pemikiran kolot, mereka justru bisa menjadi tantangan lain dalam membawa esports ke pendidikan. Dia lalu berbagi cerita tentang usahanya sebagai kepala sekolah PSKD untuk mengadakan program esports. Berdasarkan pengalamannya, tak banyak guru yang menentang rencananya. Dia merasa, hanya ada satu atau dua guru yang memang berumur tua — 50-60 tahun — yang menyatakan keberatan akan program esports.

Sebenarnya, tak aneh jika banyak orangtua yang masih sangsi tentang program esports di sekolah. Sebagai industri yang masih baru, memang masih banyak orang yang tak paham dengan esports. Karena itulah, para pelaku esports harus melakukan edukasi. Yohannes mengatakan, idealnya, semua pelaku yang berkecimpung di dunia esports — mulai dari pemain dan tim profesional, penyelenggara, panitia, hingga organisasi-organsisasi esports seperti FEI (Federasi Esports Indonesia), IESPA (Indonesia Esports Association), dan AVGI (Asosiasi Olahraga Video Games Indonesia) — harus ikut berkontribusi dalam mengembangkan esports dengan memberikan edukasi pada masyarakat. “Cuma, kadang, mereka saling tunggu-tungguan,” keluhnya. Banyak pihak yang lebih memilih untuk menggunakan dana yang mereka miliki untuk melakukan hal lain daripada edukasi.

Kalau sekolah mau memulai program esports, mulai dari mana?

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh DS Research, dua dari lima game esports yang paling populer di Indonesia saat ini adalah game mobile. Meskipun begitu, secara global, turnamen untuk game-game esports PC seperti Dota 2, Counter-Strike: Global Offensive, dan Overwatch juga masih diminati. Sementara game esporst fighting seperti Tekken 7 atau olaharga seperti FIFA, juga memiliki fans tersendiri. Lalu, jika sekolah memang ingin mengadakan program esports, sebaiknya platform apa yang mereka harus gunakan?

Mobile,” jawab Yohannes cepat. “Karena paling murah, paling accessible.” Selain itu, investasi awal yang perlu dikeluarkan oleh sekolah juga bisa ditekan. “Tidak mudah bagi sekolah untuk menyediakan PC gaming,” ujarnya. Dia memperkirakan, jika sebuah sekolah ingin memastikan program esports berjalan dengan baik, diperlukan setidaknya 10 PC gaming, yang memiliki harga setidaknya Rp12 juta. Itu artinya, sekolah harus menyiapkan setidaknya Rp120 juta. Dia bercerita, berdasarkan pengalamannya untuk membuat laboratorium esports di PSKD, selain investasi awal, pihak sekolah juga harus mempertimbangkan hal lain seperti maintenance. Selain itu, dengan memilih platform mobile, siswa yang ingin berlatih bisa menggunakan smartphone mereka sendiri. Jadi, pihak sekolah tak perlu khawatir siswa akan merusak PC yang disediakan oleh sekolah.

Ilustrasi.
Ilustrasi.

Sekarang, mulai banyak turnamen yang ditujukan untuk tingkat pelajar dan mahasiswa. Sebut saja High School League dari JD.ID, yang mengadu Dota 2. Dalam konferensi pers, pihak JD.ID menjelaskan bahwa alasan mereka memilih Dota 2 adalah untuk memudahkan pihak sekolah mengawasi siswa yang ikut dalam turnamen agar mereka tidak bermain di dalam kelas. Saat ditanya tentang pengawasan murid di kelas, Yohannes mengatakan, biasanya, siswa yang ikut serta dalam esports akan memiliki disiplin diri yang lebih baik, sama seperti murid yang ikut dalam kegiatan kompetitif lain, seperti basket atau musik. Karena, dia menegaskan, berlatih untuk bertanding dalam turnamen berbeda dengan sekadar bermain game. “Harus ada titik dimana kita percaya sama murid,” katanya. Dia mengungkap, murid yang bertanding di kompetisi lain, seperti olahraga tradisional, juga harus dipercaya untuk tidak mengorbankan pendidikan mereka demi berlatih.

Walau Yohannes percaya pembinaan esports sebaiknya dilakukan sejak muda — layaknya pembinaan atlet olahraga tradisional– dia juga mengatakan, pengadaan jurusan esports di universitas Indonesia juga memiliki prospek yang menarik. “Kampus yang pertama buka (jurusan esports), akan langsung full kuotanya,” ujarnya percaya diri. “Memang perlu, dari segi manajemen dan bukan pemain. Orang sering salah paham, jurusan esports dikira hanya main. Padahal, definisi esports adalah kompetisi yang dilakukan melalui media digital.” Dia merasa, saat ini industri esports masih sangat muda dan belum berkembang. Dan walau pemain profesional selalu menjadi sorotan media, ada banyak pihak lain yang terlibat dalam esports, mulai dari pihak manajemen tim esports sampai penyelenggara turnamen.

Mencari talenta vs eksploitasi anak

Jika dibandingkan dengan pekerja kantoran, umur karir atlet relatif singkat. Rata-rata umur pensiun pemain bola adalah 35 tahun, menurut Professional Footballers’ Association (FPA). Umur atlet esports bisa lebih singkat dari itu. Tak sedikit atlet esports yang puncak karirnya saat mereka berumur belasan tahun. Misalnya, Kyle “Bugha” Giersdorf memenangkan Fortnite World Cup ketika dia masih berumur 16 tahun. Sayangnya, itu berarti, atlet esports pensiun ketika umur mereka masih muda, pada umur 20-an. Setelah pensiun, sebagian pemain profesional seperti Michael “Shroud” Grzesiek memutuskan untuk menjadi streamer. Ada juga pilihan untuk menjadi pelatih pemain amatir.

Pusat esports di UC of Berkeley | Sumber: PC Gamer
Pusat esports di UC of Berkeley | Sumber: PC Gamer

Yohannes percaya, atlet bisa berprestasi karena dia dibina sejak dini. Dan hal ini tidak hanya berlaku untuk esports, tapi juga olahraga tradisional, seperti bulu tangkis. Musisi atau penari balet juga biasanya sudah memulai latihan sejak usia muda. Namun, tak semua orang memiliki pendapat yang sama dengan Yohannes. Sebagian orang menganggap remaja yang menjadi atlet esports sebagai eksploitasi anak. Sebelum beranjak dewasa, seorang anak tidak seharunya bekerja. Yohannes mengatakan, memang, dalam dunia ideal, remaja seharusnya fokus pada pendidikan mereka dan bukannya memikirkan cara mencari uang. Sayangnya, dunia yang kita tinggali jauh dari ideal. “Kalau pilihannya antara menjadi pemain esports atau bekerja di sawah, pilih yang mana?” tanyanya. Tak sedikit anak yang harus putus sekolah karena keluarga mereka tak sanggup untuk membiayai.

“Bagi orangtua, membiarkan anaknya pergi jauh bukanlah perkara simpel. Jangankan ketika anak masih SMP, berangkat kuliah saja, terkadang orangtua tak membiarkan anak keluar dari kota tempatnya tinggal,” ujar Yohannes. “Tapi, kita juga harus melihat apa yang bisa didapatkan si anak.” Dia berkata, jika hidup sang anak menjadi lebih baik setelah dia memutuskan untuk pergi dari kampung halamannnya — demi menjadi atlet esports atau mengejar beasiswa misalnya — maka itu tidak termasuk eksploitasi anak. Dia mengakui, garis antara eksploitasi anak dan usaha untuk membantu anak mendapatkan masa depan yang lebih baik memang sangat tipis.

Dia berkata, manajemen tim esports juga memiliki tanggung jawab dalam menjamin masa depan para atletnya, terutama yang masih muda. “Ada tim yang menawarkan homeschooling,” katanya. Ketika seorang anak memutuskan untuk berhenti sekolah atau tidak kuliah demi menjadi atlet profesional dan bergabung dengan sebuah tim, Yohannes merasa, pendidikan sang atlet menjadi tanggung jawab tim sampai pendidikan sang anak berakhir. “Karena komitmen si anak untuk berhenti sekolah bukan komitmen satu, dua tahun, tapi sampai sekolah/kuliah selesai. Seharusnya, tim memberikan homeschooling sampai dia lulus,” katanya. “Tim juga harus mengupayakan pendampingan agar si atlet tak keluar dari rel.” Karena, mudah bagi para atlet esports — yang biasanya sudah mendapatkan gaji besar di usia muda — untuk terjerumus.

Dia merasa, eksploitasi anak adalah ketika sebuah tim mengajak atlet untuk keluar dari sekolah dan tak bertanggung jawab atas masa depannya, misalnya dengan memutus hubungan kerja secara sepihak ketika performa sang atlet menurun walau sang atlet telah rela untuk keluar dari sekolah. Dia membandingkan dengan sistem beasiswa olahraga di PSKD. “Beasiswa berlaku sampai lulus. Kecuali murid buat pelanggaran yang parah, terkait perilaku, beasiswa takkan dicabut,” ujarnya. Jika sang penerima beasiswa ternyata tak memiliki performa yang baik, dia merasa, itu adalah kesalahn sekolah dalam memilih dan membina siswa. Pada akhirnya, dia mengatakan bahwa apakah anak menjadi korban eksploitasi ketika mereka bergabung dengan tim esports adalah masalah serius yang seharusnya dibahas secara mendalam. Di industri esports, seharusnya ada guideline untuk menentukan apakah sebuah tim melakukan eksploitasi anak. Sayangnya, dia tak melihat organisasi yang mumpuni untuk membuat guideline tersebut.

Akhir kata…

Esports akan menjadi industri yang besar. Menurut Goldman Sachs dan Newzoo, dalam waktu tiga tahun, esports akan menjadi industri dengan nilai miliaran dollar. Namun, valuasi industri esports bukan satu-satunya indikator yang menunjukkan esports akan terus berkembang di masa depan, tapi juga dari segi penonton. Jumlah penonton esports diperkirakan mencapai 194 juta pada tahun ini dan akan naik menjadi 276 juta orang pada 2022. Dan sebanyak 79 persen penonton esports adalah orang-orang di bawah umur 35 tahun, yang kini tak lagi menonton media tradisional seperti televisi. Ini menunjukkan esports akan menjadi salah satu opsi hiburan bagi para generasi milenial dan gen Z.

Namun, sama seperti segala sesuatu yang baru, esports juga memiliki dampak negatif. Dan wajar jika masyarakat memiliki kekhawatiran akan esports, terutama jika pengetahuan tentang competitive gaming minim. Tapi, itu seharusnya tidak dijadikan alasan untuk tidak ikut serta dalam industri esports. Karena, kemajuan zaman tak terelakkan, layaknya teknologi yang awalnya ditakuti dan kini justru terbukti memudahkan kehidupan banyak orang. Risiko akan selalu ada. Esports bukanlah pengecualian. Yang bisa kita lakukan adalah mengedukasi diri sendiri agar kita bisa meminimalisir risiko.

Sumber header: Wikipedia

Astralis Group Ingin IPO di Denmark

Industri esports kini tak lagi dipandang sebelah mata berkat jumlah penontonnya yang terus naik. Pada tahun ini, jumlah penonton esports diperkirakan mencapai 194 juta orang, dengan 79 persen di antara mereka berumur di bawah 35 tahun. Pada 2022, jumlah penonton esports diduga akan naik menjadi 276 juta orang. Fakta bahwa sebagian besar penonton esports masih muda membuat banyak perusahaan tertarik untuk menjadi sponsor, bahkan merek yang tak ada sangkut pautnya dengan esports, seperti Honda dan Audi. Selain sponsor, esports juga menarik semakin banyak investor. Tak aneh, mengingat valuasi industri esports diperkirakan akan mencapai US$2,9 miliar pada 2022, naik dari US$1,1 miliar pada 2019. Semua ini adalah kabar baik bagi pelaku industri esports, termasuk organisasi esports.

Sekarang, kebanyakan tim esports tak lagi berdiri sendiri, tapi menjadi bagian dari organisasi yang lebih besar yang membawahi beberapa tim sekaligus. Salah satunya adalah Astralis Group. Nama Astralis paling dikenal sebagai tim Counter-Strike: Global Offensive. Tim asal Denmark ini baru saja memenangkan StarLadder Berlin Major 2019 dan Intel Extreme Masters XIII Katowice Major. Mereka juga berhasil memenangkan US$1 juta dari Intel Grand Slam Season 1 setelah memenangkan 3 turnamen Major dalam waktu 10 turnamen. Walau Astralis identik dengan tim CS:GO, ada beberapa tim esports lain yang bernaung di bawah Astralis Group. Dua di antaranya adalah Origen yang berlaga di turnamen League of Legends dan Future FC tim FIFA 19 yang baru diumumkan pada Agustus 2019 lalu. Di tengah industri esports yang tengah subur, Astralis Group mengumumkan bahwa mereka berencana untuk melakukan penawaran saham perdana (IPO) di Nasdaq First North Growth Market di Denmark, yang merupakan negara asal mereka. Mereka ingin melakukan IPO pada tahun 2019.

Sumber; The Esports Observer
Tim-tim yang menjadi bagian dari Astralis Group | Sumber: The Esports Observer

Jangan heran jika Astralis Group berencana untuk melakukan IPO. Memang, organisasi esports sekarang sudah beroperasi layaknya perusahaan. Sebuah perusahaan biasanya melakukan IPO ketika mereka tak lagi bisa mendapatkan modal melalui permodalan pribadi. Dengan melakukan IPO, sebuah perusahaan bisa mendapatkan investasi dari mana pun, memungkinkan mereka untuk mendapatkan dana dalam jumlah besar. Astralis Group Co-founder dan CEO, Nikolaj Nyholm merasa Astralis Group telah memiliki pondasi yang kuat berkat berbagai prestasi yang telah mereka dapatkan. Sekarang, mereka ingin mengembangkan produk dan bisnis mereka dengan melakukan IPO, lapor The Esports Observer. Dana yang Astralis Group dapatkan dari IPO akan digunakan untuk membuat fasilitas, tools untuk meningkatkan performa, mengembangkan Astralis Group sebagai organisasi, channel media, dan platform komersil.

Jelang Final OMEN Challenger Series, BOOM Esports Tambah Waktu Latihan

Babak final OMEN Challenger Series (OCS) akan diadakan di JCC Senayan pada 1-3 November. Di sini, Anda bisa menonton 12 tim Counter-Strike: Global Offensive yang mewakili 11 negara di kawasan Asia Pasifik dan Jepang. Dalam konferensi pers yang diadakan pada Rabu, 30 November 2019, Indonesia Consumer Personal System Category Lead, HP Inc, Hansen Wijaya mengatakan, OCS memang salah satu acara gaming yang HP nantikan. Dia mengaku bangga karena kali ini, Indonesia menjadi tuan rumah dari OCS Season 2. Sebagai tuan rumah, Indonesia mendapatkan dua slot, yang diisi oleh Syntax Esports yang terpilih dari babak kualifikasi nasional dan BOOM Esports, yang mendapatkan undangan langsung.

Agil “Roseau” Baskoro, yang baru direkrut oleh BOOM Esports pada Juli lalu, mengatakan, dua tim yang mereka waspadai adalah Greyhound Gaming, perwakilan Oceania dan juga ALPHA RED dari Thailand. Meskipun begitu, dia mengaku timnya tetap optimistis. “Kami belum pernah bertemu langsung dengan dua itu dalam turnamen LAN,” katanya. Dia mengaku, sejumlah tim yang turut serta dalam OCS memang memiliki pengalaman bertanding di tingkat regional yang lebih banyak. Namun, mereka justru melihat hal ini sebagai kesempatan. “Ini adalah kesempatan bagi kami untuk melawan tim yang sudah lebih berpengalaman.” Terkait soal persiapan BOOM Esports, dia menyebut, mereka menambah waktu latihan mereka untuk mempersiapkan diri menghadapi OCS. “Yang tadinya berlatih empat kali seminggu, jadi lima kali seminggu. Kami juga menambah jam latihan,” ujar Baskoro. Meskipun begitu, tim juga harus menyesuaikan jadwal dengan salah satu anggotanya yang masih bersekolah. Mengingat tim lawan sudah diketahui, dia bercerita, mereka juga memerhatikan strategi musuh untuk mengantisipasi mereka.

Edo | Sumber: Dokumentasi Hybrid
Edo Jonathan Chandra | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Pertandingan antara 12 tim CS:GO profesional memang menjadi highlight dari OCS, tapi HP juga mengadakan beberapa kegiatan lain untuk memeriahkan kegiatan tersebut, seperti pertandingan tingkat universitas untuk game Player Unknown’s Battleground (PUBG) Mobile dan Dota 2. Edo Jonathan Chandra, Indonesia Market Development Manager, HP Inc. mengatakan, sebelum ini, mereka telah mengunjungi sejumlah kampus untuk mengadakan workshop terkait esports. Selain pertandingan esports, juga ada kompetisi cosplay. Pada tahun lalu, HP memilih PUBG sebagai game untuk dipertandingkan. Kali ini, mereka memilih untuk mengadu CS:GO. Edo mengatakan, alasan mereka memilih CS:GO adalah karena game First Person Shooter itu dianggap sebagai salah satu game esports tertua. “Game besutan Valve ini merupakan cikal bakal dari esports,” ungkapnya. “Di Indonesia, pemain CS:GO juga banyak.”

Inilah 12 tim yang akan bertanding di OCS.

  1. FrostFire (Malaysia)
  2. LETS QUIT (Tiongkok)
  3. AHQ Esports Club (Taiwan)
  4. LAZE (Singapura)
  5. NASR Esports (India)
  6. Team Absolute (Jepang)
  7. BOOM Esports (Indonesia)
  8. Syntax Esports (Indonesia)
  9. Ikarus (Korea Selatan)
  10. Bren Esports (Filipina)
  11. ALPHA RED (Thailand)
  12. Greyhound (Oceania)

Edo mengatakan bahwa OCS terbuka untuk umum. Penonton bisa datang dan menonton secara cuma-cuma, walau mereka tetap harus membeli tiket Indocomtech 2019, yang dihargai Rp35 ribu per orang untuk hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Jika Anda adalah fans CS:GO, Anda bisa datang ke Hall Cendrawasih di JCC Senayan untuk mendukung Syntax dan BOOM yang mewakili Indonesia.

Pemain Amatir Juga Cari Tutor untuk Bisa Bermain Game Lebih Baik

Esports kini tengah menjadi primadona. Semakin banyak investor dan merek non-endemik yang tertarik untuk masuk ke industri esports. Menjadi pemain esports profesional pun tak lagi hanya mimpi. Tim seperti RRQ juga menyediakan pelatihan khusus bagi pemain yang ingin menjadi profesional. Namun, tak semua gamer ingin menjadi profesional. Ada juga gamer yang sudah puas dengan menjadikan bermain sebagai hobi. Itu bukan berarti para pemain ini tak ingin bisa bermain dengan lebih baik. Sebagian dari mereka bahkan rela untuk mencari tutor untuk meningkatkan performa mereka dalam game.

Ialah Anthony Yeo, pria berumur 46 tahun yang ingin bisa menjadi pemain Fortnite yang lebih baik demi bisa menghabiskan waktunya bersama keponakannya, Poppy Ford. Yeo tinggal di Los Angeles sementara Ford tinggal di Australia. Mereka menghabiskan waktu dengan bermain Fortnite. Sayangnya, Yeo mudah panik ketika karakternya ditembak musuh. Dia lalu memutuskan untuk mencari seorang tutor yang bisa mengajarkannya menembak dengan lebih akurat dan membangun cover dengan lebih baik. Dia menemukan Cody Lefevre, guru olahraga SD di Colorado. Untuk berlatih dengan Lefevre, Yeo menghabiskan US$175 (Rp2,5 juta) per 90 menit. Menariknya, orang yang tertarik untuk mencari pelatih agar mereka bisa bermain dengan lebih baik bukan hanya orang dewasa. Orangtua juga mencari pelatih bagi anaknya agar sang anak bisa bermain lebih baik.

Sumber: The Washington Post
Anthony Yeo bersama Poppy Ford yang tengah bermain | Sumber: The Washington Post

Menurut laporan The Washington Post, para pelatih yang mereka wawancara berkata, orangtua ingin agar anaknya bisa bermain dengan lebih baik untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka. Sama seperti ketika seorang anak memiliki prestasi di bidang olahraga atau seni, anak juga memiliki kebanggaan tersendiri jika mereka mahir dalam bermain game. Tugas pelatih adalah membantu murid untuk belajar dengan lebih efisien dan mengajarkan perilaku yang positif dalam bermain game. “Sebagian orang mungkin berpikir bahwa game hanyalah untuk main-main, tapi bermain game bisa mengembangkan karakter anak. Saya bisa membantu mereka untuk menjadi lebih baik,” kata Lefevre. Salah satu hal yang dia ajarkan pada Yeo dan Ford adalah untuk tetap tenang bahkan ketika musuh menyerang.

Yeo menemukan Lefevre di situs Fiverr, marketplace untuk jasa freelance. Selain Fiverr, ada juga berbagai startup yang menyediakan jasa untuk mempertemukan para pelatih game dengan calon murid, seperti G-pprentice. Tak hanya itu, juga ada platform khusus untuk mencari pelatih game seperti Gamer Sensei dan ProGuides. Sistem yang digunakan oleh situs-situs ini serupa seperti layanan ride-hailing yang mempertemukan penumpang dengan pengendara. Harga yang ditawarkan oleh para pelatih juga beragam. Sebagian pelatih menawarkan jasanya dengan harga US$7,5 (sekitar Rp105 ribu) per jam, sementara pelatih yang namanya sudah dikenal, seperti Dmitry “Redmercy” Garanin, bisa mendapatkan lebih dari US$2 ribu (sekitar Rp28 juta) per bulan. Menjadi pelatih juga bisa menjadi opsi karir bagi gamer profesional yang telah mengundurkan diri. Dengan menjadi pelatih, mereka tetap bisa mendapatkan uang dengan memainkan game yang mereka sukai.

Sumber; Theresa Mertens via The Washington Post
Cody Lefevre | Sumber: Theresa Mertens via The Washington Post

“Saya memilih menjadi pelatih di ProGuides dan bukannya menjadi streamer karena bisa mendapatkan pendapatan lebih dan saya merasa lebih senang saat bermain,” kata mantan pemain League of Legends profesional, Andres Zamora, yang kini menjadi CEO dari Dark Horse, tim esports asal Chili. “Saya membantu para murid dengan apa yang saya tahu dan mereka tetap merasa senang dan bisa belajar, tak peduli apakah mereka menang atau kalah.” Menariknya, tak semua orang menjadi pelatih untuk bisa mendapatkan uang. Misalnya, Kevin Tolin dari Alabama, Amerika Serikat yang mengaku dia menjadi tutor agar bisa bermain bersama dan bersenang-senang dengan murid yang dia ajarkan.

Sumber header: TechSpot

Investor di Industri Esports Semakin Banyak, Gunakan Strategi yang Berbeda

Seiring dengan semakin berkembangnya industri gaming dan esports, semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk menjadi investor di industri tersebut. Karena itu, jangan heran jika ETF (Exchange-Traded Fund) yang bergerak di bidang gaming dan esports semakin menjamur. Pada Selasa, perusahaan ETF Global X mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan Global X Video Games & Esports ETF — yang memiliki ticker symbol HERO — dalam waktu dekat. HERO bukanlah ETF pertama di bidang esports dan gaming. Ada beberapa ETF lain yang telah berdiri, seperti Roundhill BITKRAFT Esports & Digital Entertainment ETF (NERD) dan VanEck Vectors Video Gaming and eSports ETF (ESPO). Meskipun kedua ETF itu bergerak di bidang gaming dan esports, NERD dan ESPO memiliki strategi investasi yang berbeda.

NERD ETF memfokuskan investasi pada perusahaan-perusahaan yang bisnisnya memang terkait langsung dengan esports, termasuk publisher game, platform streaming, penyelenggara turnamen esports, dan perusahaan yang memiliki tim esports. Mereka membagi perusahaan yang mereka investasikan menjadi tiga kategori: Pure-Play, Core, dan Non-Core. Perusahaan yang masuk ke dalam kategori Pure-Play adalah perusahaan yang memiliki bisnis model dan pertumbuhan bisnisnya terkait langsung dengan esports. Sementara perusahaan Core adalah perusahaan yang memiliki keterlibatan yang signifikan di esports, tapi esports bukanlah bisnis utama perusahaan. Terakhir, perusahaan Non-Core adalah perusahaan yang terlibat dalam esports, tapi esports tak memberikan pemasukan signifikan pada perusahaan. Sejumlah perusahaan yang masuk dalam portofolio NERD antara lain Activision Blizzard, platform streaming Tiongkok Huya, Capcom, Sea, dan Take-Two Interactive.

Penonton di Overwatch League | Sumber: Activision Blizzard
Penonton di Overwatch League | Sumber: Activision Blizzard

Investasi terbesar NERD adalah Activision Blizzard. Menurut Seeking Alpha, ini tidak aneh, mengingat Activision Blizzard sukses memonetisasi intelektual properti mereka dengan membuat liga esports, seperti Overwatch League. Co-founder dan CEO Roundhill Investments, Will Hershey menganggap, Overwatch League berhasil menaikkan level esports di Amerika Serikat. Overwatch League menggunakan model franchise, mengharuskan tim yang ingin bertanding di dalamnya untuk membayar sejumlah uang. Pada awalnya, hanya ada 12 slot untuk Overwatch League dan masing-masing tim harus membayar US$20 juta. Tahun ini, jumlah tim di Overwatch League bertambah menjadi 20 slot dan 8 tim baru harus membayar US$35 juta untuk masuk ke liga tersebut. Ke depan, dikabarkan Overwatch League akan menambah jumlah tim hingga 28 tim dan meminta bayaran US$60 juta untuk masuk ke dalam liga. Ini adalah model bisnis yang menguntungkan. Tak berhenti sampai di situ, Activision Blizzard juga akan mengadakan Call of Duty League, menggunakan formula yang sama dengan Overwatch League.

Selain developer game, NERD juga memfokuskan investasinya pada platform streaming seperti Huya dari Tiongkok. Mereka juga memiliki saham di Afreeca, situs streaming game di Korea Selatan. Menariknya, mereka justru tak tertarik untuk membeli saham di perusahaan pembuat hardware, seperti NVIDIA dan AMD atau pembuat konsol, seperti Microsoft, Sony, dan Nintendo. Hersey mengaku, NERD memang lebih mementingkan perusahaan yang lebih terlibat dengan esports. Tak aneh jika mereka fokus pada esports, mengingat pertumbuhan industri esports yang sangat pesat. Pada tahun ini, esports diperkirakan bernilai US$1,1 miliar dan dalam waktu tiga tahun, angka itu akan naik menjadi hampir US$3 miliar, menurut Goldman Sachs.

Selain Huya dan Afreeca, NERD juga memiliki saham di Sea, perusahaan induk Garena. Ini menunjukkan bahwa mereka cukup fokus pada kawasan Asia. Terkait hal ini, Hersey berkata pada CNN Business, “Selama 20 tahun belakangan, ada anak-anak di Korea Selatan yang tumbuh besar dan ingin menjadi gamer profesional. Sementara di Amerika Serikat, esports baru booming dalam satu, dua tahun belakangan, berkat keberdaan Fortnite.”

Sumber: WePC
Sumber: WePC

Sementara itu, ESPO memiliki strategi lain. Mereka tak hanya memfokuskan investasi mereka pada perusahaan streaming dan game, tapi juga hardware. Edward Lopez, Head of ETF Product for VanEck berkata bahwa ESPO memfokuskan investasi mereka pada pada perusahaan yang setidaknya 50 persen dari penjualan mereka datang dari esports dan game. Karena itulah, ESPO juga menanamkan saham di Nvidia dan AMD, yang dikenal dengan kartu grafis dan prosesor buatan mereka. ESPO juga memiliki saham di Nintendo dan perusahaan game Zynga. “Perusahaan-perusahaan ini adalah bagian dari ekosistem gaming, meski mereka tak berperan banyak di esports,” katanya.

Jika menakar keuntungan yang didapatkan, strategi ESPO tampaknya lebih sukses. Data dari Seeking Alpha menunjukkan, keuntungan yang didapatkan ESPO — yang didirikan pada Oktober 2018 — mencapai 25 persen. Sementara keuntungan NERD — yang baru didirikan pada Juni 2019 — hanya mencapai lima persen. Meskipun begitu, industri esports masih akan terus tumbuh. Jadi, tak menutup kemungkinan, akan ada lebih dari satu ETF yang sukses di industri tersebut. “Industri game diuntungkan karena semakin banyak orang yang enggan menonton televisi — tak hanya generasi milenial, tapi juga generasi yang lebih muda,” ujar Lopez. “Gaming adalah bisnis serius dan tak lagi sekadar mainan untuk anak-anak.”