Hak Untuk Dilupakan: Manfaat Perlindungan dan Potensi Penyalahgunaan

Internet adalah tempat yang bebas bagi publik untuk menyimpan data dan mengabarkan peristiwa. Meskipun terdapat berbagai peraturan yang berusaha untuk mengelola dan membatasi kebebasan tersebut, pada kenyataannya, teknologi internet berkembang relatif lebih cepat daripada ketentuan hukum dapat mengimbanginya.

Informasi yang terdapat di internet bisa dalam bentuk data yang kita unggah sendiri atau diunggah oleh orang lain. Foto memalukan yang kita post sendiri bisa kita hapus dengan mudah. Namun, bagaimana jika foto tersebut di-copy oleh orang lain, atau bahkan menjadi viral atau meme, dan sulit bagi kita untuk meminta orang-orang tersebut untuk menghapusnya satu-persatu. Bagaimana jika foto memalukan tersebut memberikan kita ketenaran yang tidak diinginkan atau bahkan sampai mengganggu karier? Pertanyaan yang sama berlaku bagi jenis-jenis informasi lainnya, seperti tweet, status update, maupun laporan berita.

Setiap orang memiliki masa lalu dan mungkin kejadian-kejadian tersebut sudah tidak relevan dengan kehidupan kita sekarang. Internet dan teknologi cloud membuat kita sulit untuk mengubur masa lalu itu. Maka, munculnya ‘hak untuk dilupakan’ adalah perkembangan hukum yang wajar dalam era digital ini.

Apa itu ‘hak untuk dilupakan’?

The right to be forgotten atau hak untuk dilupakan sudah menjadi perbincangan di Uni Eropa sejak tahun 2006. Menurut Mantelero Alessandro, profesor Hukum Perdata dari Italia, hak untuk dilupakan berangkat dari keinginan individual untuk menentukan sendiri arah pengembangan hidup mereka secara otonom, tanpa terus-menerus dikenai stigma sebagai konsekuensi dari tindakan tertentu yang mereka lakukan di masa lalu.

Hak ini mulai diberlakukan saat seorang warga Spanyol merasa pemberitaan mengenai suatu hutang di masa lalunya sudah tidak relevan lagi untuk diberitakan, sebab ia telah melunasi hutang tersebut. Ia menggugat Google supaya menghapus seluruh tautan pemberitaan tersebut dari search result sebagai wujud haknya untuk dilupakan. Google membela diri dari permintaan tersebut sebab mereka ingin menjadi platform informasi yang netral. Namun Google kalah dan hak untuk dilupakan ini menjadi preseden yang berlaku terhadap seluruh pengendali data di Uni Eropa.

Perlu dicatat bahwa dalam kasus ini, penghapusan tautan hanya dilakukan di search engine, sementara tautannya sendiri masih bisa ditemukan di situs berita yang bersangkutan. Dengan berlakunya hak untuk dilupakan secara menyeluruh di Uni Eropa, hak ini juga dapat diberlakukan terhadap media berita dan media sosial.

Perdebatan soal hak untuk dilupakan sesungguhnya mendasar secara konsep dan filsafat hukum. Ketika diturunkan menjadi diskursus antara hak untuk dilupakan versus hak kebebasan berekspresi, hak asasi manusia dapat menjadi pedang bermata dua. Kedua hak tersebut merupakan hak asasi manusia. Tidak sedikit yang mengkritik hak untuk dilupakan sebagai suatu bentuk penyensoran dan penulisan ulang sejarah.

Hak untuk dilupakan vs hak atas informasi

Hak untuk dilupakan tidak sama dengan hak privasi. Hak privasi adalah hak atas informasi-informasi pribadi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi identitas seorang individu dan berpotensi membahayakan keselamatan individu tersebut, seperti alamat, nomor telepon, catatan kesehatan, dan lain-lain. Sedangkan hak untuk dilupakan berhubungan dengan informasi akan seorang subyek di internet pada periode waktu tertentu.

Terlepas dari kontroversinya, hak untuk dilupakan dapat dimanfaatkan untuk hal-hal baik. Korban dari revenge porn atau perbuatan asusila dapat menggunakan hak ini untuk menghentikan, atau setidaknya membatasi, distribusi konten tentang dirinya di internet. Remaja Gen Z atau bayi-bayi yang sudah punya akun Instagram sendiri karena orang tuanya, yang menyesali keberadaan konten digital dirinya, juga dapat memanfaatkan hak yang sama untuk menghapus konten tersebut.

Namun, bagaimana dengan seorang dokter yang pernah melakukan malpraktik atau pengobatan yang sempat menjadi sorotan? Dokter itu bisa saja menggunakan hak untuk dilupakan demi mengubur informasi soal malpraktiknya di masa lalu. Kerugian terbesar tentunya adalah bagi konsumen yang perlu mengambil keputusan dengan informasi menyeluruh.

Pada skala lebih kecil, jika kita pernah diberitakan melakukan tindakan kriminal atau memiliki konten memalukan di akun atau situs publik, dan kita tidak mau informasi tersebut mempersulit kita mencari kerja, pantaskah hak untuk dilupakan digunakan dalam hal ini? Apakah pemberi kerja berhak untuk mengetahui informasi ini, meskipun kita merasa informasi tersebut sudah tidak relevan?

Hak untuk dilupakan ini sudah dimanfaatkan oleh Dejan Lazic, pianis dari Uni Eropa, untuk menghapus resensi jelek soal musiknya di internet. Penerapan hak untuk dilupakan sangat nyata dalam kehidupan publik di internet dan berpengaruh langsung terhadap kebutuhan akan informasi masyarakat.

Bagaimana pengaturan Hak Untuk Dilupakan dalam Perubahan UU ITE?

Oktober lalu, DPR telah mengesahkan perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Salah satu perubahan itu adalah penambahan ketentuan Pasal 26 soal perlindungan data pribadi di internet. Berdasarkan pemberitaan Kominfo, penambahan Pasal 26 adalah:
(a) setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan; dan
(b) setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.

Hingga saat ini, saya belum berhasil mendapatkan teks asli Perubahan UU ITE, sehingga saya hanya mengandalkan pemberitaan Kominfo. Ada beberapa hal yang dapat ditanggapi:

(a) Definisi ‘tidak relevan’ terlalu rancu. Informasi apa yang masih relevan dan tidak relevan? Apakah Perubahan UU ITE akan menjelaskan ukuran dari ‘tidak relevan’? Belajar dari perkembangannya di Uni Eropa, perlu ada pengecualian terhadap informasi yang diunggah sehubungan dengan kegiatan jurnalistik dan resensi karya seni, supaya hak-hak warganegara akan informasi tetap terjamin. Pengadilan Uni Eropa secara eksplisit mengklarifikasi bahwa hak untuk dilupakan tidaklah absolut dan akan selalu perlu diseimbangkan dengan hak-hak fundamental warganegara, seperti kebebasan berekspresi. Pemberitaan Kominfo tidak memperlihatkan pengecualian tersebut.

(b) Siapa yang dimaksud dengan ‘Penyelenggara Sistem Elektronik’? Berdasarkan definisinya di UU ITE, penyelenggara yang dimaksud akan meliputi seluruh pengendali data di internet, seperti search engine dan media digital, termasuk media sosial dan blog pribadi. Namun, ketentuan ini menjadi tidak berlaku bagi search engine dan media non-Indonesia karena perbedaan yurisdiksi. Jika pemerintah Indonesia tidak berhasil menggalakkan kewajiban OTT untuk memiliki badan hukum di Indonesia, hak untuk dilupakan tidak bisa diterapkan terhadap OTT asing.

(c) Apa yang dimaksud dengan ‘menghapus’? Apakah menghapus berarti meniadakan tautannya saja, atau menghapus laman yang bersangkutan sekaligus?

(d) Penggunaan hak untuk dilupakan mengharuskan adanya penetapan pengadilan, yang mana memakan waktu dan biaya. Sisi positifnya adalah Penyelenggara Sistem Elektronik tidak bisa mengelak. Penetapan pengadilan juga memastikan hak untuk dilupakan tidak dapat digunakan begitu saja. Di sisi lain, jika Penyelenggara Sistem Elektronik keberatan untuk menghapus data, mereka harus melakukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung. Hakim sebagai penentu apa yang ‘relevan’ jadi memiliki beban baru untuk memahami internet, termasuk soal integritas dan distribusi informasi di internet, serta hubungannya dengan konteks sosial dari informasi tersebut. Ketiadaan preseden juga berpotensi mengakibatkan penetapan hakim berbeda dari kasus ke kasus, sehingga dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum.

(e) Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengatur mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan. Akan tetapi belum jelas apakah Perubahan UU ITE akan menentukan standar mekanisme itu. Mungkinkah hal tersebut akan diserahkan sepenuhnya ke Penyelenggara Sistem Elektronik?

(f) Bagaimana jika Penyelenggara Sistem Elektronik menolak untuk menghapuskan Informasi Elektronik yang bersangkutan? Apakah mereka dapat dikenakan denda atau upaya hukum lainnya? Pemberitaan Kominfo tidak menggambarkan sanksi tersebut.

Saya turut menekankan perlu ada mekanisme tambahan supaya hak untuk dilupakan tidak disalahgunakan oleh pemangku kepentingan. Pasal 27 ayat (3) soal penghinaan dan pencemaran nama baik di internet cenderung dapat disalahgunakan oleh pejabat dalam melawan kritik terhadap pemerintah. Ketentuan hak untuk dilupakan berpotensi untuk disalahgunakan dalam konteks yang serupa.

Beberapa media nasional telah menyampaikan kekhawatiran mereka soal ‘penyensoran’ ini. Pemerintah dan penegak hukum perlu mengimbangi kekhawatiran tersebut dengan menentukan koridor-koridor yang jelas dalam penggunaan hak untuk dilupakan. Jika tidak, hak untuk dilupakan hanya akan menambah pekerjaan rumah, bukannya memberikan solusi keamanan dan kenyamanan berinternet.


Disclosure: Fallissa Putri, S.H. adalah konsultan hukum dan advokat dari Klikonsul, konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com

Kuda Trojan Alibaba bagi Asia Tenggara

Sudah enam bulan berlalu sejak Alibaba mengakuisisi Lazada, platform ecommerce paling populer di Asia Tenggara. Sejak terbitnya berita ini, para pengamat dan kritikus mendebatkan baik tidaknya kerja sama ini bagi kedua belah pihak, bagaimana hal ini akan mempengaruhi para rival seperti MatahariMall, Tokopedia dan Orami, dan bagaimana wilayah ini nantinya akan dibanjiri oleh produk murah asal Tiongkok.

Sementara itu, para pendiri startup dan VC saling menepuk pundak masing-masing karena hal ini telah menaruh wilayah Asia Tenggara di peta persaingan global dan diharapkan bisa merangsang lebih banyak pendanaan dan exit perusahaan di masa di depan.

Namun demikian, semua orang sepertinya lupa untuk berpikir lebih jauh dari hanya observasi superfisial semata. Akuisisi Lazada oleh Alibaba lebih dari sekadar menumbuhkan GMV (gross merchandise value) ritel mereka, membuktikan bahwa Jack Ma adalah Jack Ma dan mengapa ia selalu beberapa langkah di depan dalam permainan ini. Mereka yang merayakan berita ini, khususnya yang berada di sektor ritel, mungkin akan berakhir mengigit lidah mereka sendiri.

Peter Thiel, PayPal, dan Pentingnya Distribusi

Peter Thiel mendirikan PayPal pada tahun 1998 dan membangunnya menjadi salah satu platform pembayaran terbesar di dunia dengan 145 juta pengguna aktif bulanan yang memproses hingga 9 juta transaksi per hari. PayPal menjadi perusahaan publik pada tahun 2002 dan kemudian diakuisisi oleh eBay dengan harga $1.4 milyar. Setelah tumbuh lebih besar dari eBay, PayPal kemudian memisahkan diri dari eBay pada tahun 2015 dan melakukan IPO keduanya, menjadikan perusahaan ini bernilai $46.6 milyar dan membuatnya melampaui nilai pasar eBay yang ‘hanya’ $34 milyar.

Namun demikian, tanpa eBay, PayPal mungkin tidak akan eksis hari ini. Dalam bukunya ‘Zero to One’, Peter Thiel bercerita bagaimana PayPal hampir gagal jika bukan karena keberuntungan mereka bertemu dengan apa yang kemudian akan menjadi channel distribusi terbesar mereka, mesin pertumbuhan, dan kemudian pengakuisisi: eBay.

PayPal fokus untuk menargetkan Power Seller yang dimiliki eBay — yang bertanggung jawab akan banyaknya pesanan melalui eBay — dan kemudian menambahkannya dengan membayar mereka untuk setiap pendaftaran pengguna dan undangan ke teman, secara efektif menjadikan PayPal sebagai sebuah platform pembayaran mainstream.

Tidak heran jika Peter Thiel merupakan seorang advokat yang mengutamakan distribusi, di samping membangun produk yang hebat.

“Distribusi yang buruk – bukan produk — adalah penyebab kegagalan nomor satu. Jika Anda bisa membuat satu saja channel distribusi bekerja dengan baik, Anda bisa memiliki bisnis yang hebat. Jika Anda mencoba beberapa namun tidak menguasai satu pun, Anda akan gagal.” tulis Thiel.

eBay mengakselerasi pertumbuhan PayPal karena jangkauan dan kecepatan transaksinya — pemakaian yang tinggi menjadikan perusahaan pembayaran terus berkembang. Distribusi adalah apa yang dibutuhkan Alibaba dari Lazada. Namun untuk apa? Tentu saja bukan untuk produk murah asal Tiongkok.

Di Dalam Perut Sang Raksasa

Dalam waktu yang kurang lebih bersamaan dengan akuisisi PayPal, eBay juga berusaha mendapatkan market share lebih di Tiongkok melalui investasi yang berkembang menjadi akuisisi dari perusahaan EachNet di 2002, yang pada saat itu adalah marketplace C2C terbesar di Tiongkok.

Merespon hal ini, Alibaba meluncurkan Taobao pada May 2003 yang kemudian mengalahkan EachNet dalam menjadi marketplace ecommerce C2C terbesar di Tiongkok. Dalam waktu 3-4 tahun, market share eBay di pasar C2C jatuh dari 72% ke 8% dan menyebabkan mereka kemudian mundur dari kompetisi ini sementara dominasi Taobao terus menanjak hingga mencapai lebih dari 80% pada tahun 2007.

Setelah peluncuran Taobao, Alibaba mengenalkan Alipay pada tahun 2004, sebuah platform pembayaran pihak ketiga untuk membantu memfasilitasi transaksi yang terjadi di Taobao. Saat ini, Alipay adalah platform pembayaran pihak-ketiga terbesar di Tiongkok dengan dominasi pasar sebesar 70%, memiliki lebih dari 400 juta pengguna dan memproses lebih dari 80 juta transaksi per harinya (dibandingkan PayPal yang berjumlah 9 juta).

Jika PayPal fokus kepada platform pembayaran online peer-to-peer (P2P) yang berdasarkan email dan terhubung dengan kartu kredit, Alipay terhubung dengan rekening bank dan memiliki layanan yang disesuaikan dengan pasar di Tiongkok, seperti layanan escrow.

Menurut Jack Ma, budaya Tiongkok, meskipun menghargai nilai kepercayaan dan integritas, tidak memiliki sistem yang menjaga nilai ini. Sebagai hasilnya, fitur escrow dari Alipay merupakan solusi yang tepat untuk menjembatani kurangnya kepercayaan dan menggeser perilaku konsumen ecommerce Cina dari cash-on-delivery (COD) ke mobile payment yang mendominasi 68% dari transaksi saat ini.

Memanfaatkan 400 juta penggunanya dan menjangkau platform-platform ecommerce milik Alibaba, Alipay telah tumbuh lebih dari sekadar platform pembayaran berbasis internet menjadi sebuah raksasa finansial dan banking yang juga mengancam para pemain finansial lama.

Pada tahun 2011, Alipay berpisah dari Alibaba untuk menjadi Ant Financial Services Group, yang melayani mulai dari pembayaran online, peminjaman mikro, hingga perbankan dan skor kredit. Menilai dari putaran pendanaan terakhirnya yang bernilai $4,5 miliar di awal tahun ini, perusahaan ini sekarang dihargai sebesar $60 miliar, menjadikannya perusahaan teknologi non-publik paling berharga setelah Uber.

Dengan perlengkapan perang ini, Ant Financial mencari peluang untuk berekspansi ke pasar baru dan selama beberapa waktu telah mencoba menjejakkan kakinya ke Asia Tenggara. Perusahaan ini sebenernya telah mendirikan entitas di Singapura cukup awal pada tahun 2010 namun tidak memiliki channel distribusi yang layak. Keberuntungan Ant Financial nampaknya muncul pada awal tahun ini.

Mengincar Kesempatan Pembayaran di Asia Tenggara

Dari berbagai sisi, ecommerce di Asia Tenggara sama dengan ecommerce di Tiongkok 8 tahun yang lalu. Pada tahun 2008, cash-on-delivery (COD) masih menjadi metode pembayaran yang dominan di Cina, menguasai hingga lebih dari 70% total pembayaran.

Saat ini, Asia Tenggara sangat bergantung kepada COD ketika berbelanja online, menyumbang hingga 70% dari total transaksi.

Untuk menghilangkan ketergantungan konsumen yang tinggi terhadap COD, banyak startup yang memiliki modal besar atau berasal dari konglomerat yang telah berusaha untuk menyelesaikan masalah pembayaran ini, termasuk Omise (Thailand), Doku (Indonesia), LINE Pay (Thailand), dan True Money (Thailand).

Namun demikian, meski dengan PR dan hype media yang besar, solusi asal dalam negeri ini belum bisa menggeser konsumen dari COD karena banyak dari usaha yang dilakukan ini hanyalah “teknologi demi kepentingan teknologi” semata — membangun mobil yang lebih cepat saat yang dibutuhkan adalah jalanan yang lebih banyak.

Tantangan Produk

  • Platform seperti Omise dan 2C2P hanyalah gerbang pembayaran dan tidak menawarkan solusi yang lebih baik bagi ruang C2C dan P2P yang besar yang diprediksi oleh Google dan Temasek mencapai ‘beberapa milyar dollar’. Para payment gateway ini terutama masih memproses kartu kredit dan, dengan penetrasi kartu kredit di pasar berkembang Asia Tenggara masih bernilai hanya satu digit, tidak terlalu mengatasi masalah utama yang ada. Selain itu, solusi ini juga tidak menawarkan obat dari masalah kepercayaan yang sering menghalangi transaksi C2C dan P2P — terutama escrow.
  • 2C2P dan Omise juga berisiko ditinggalkan pengguna karena tidak adanya ikatan apapun dengan pengguna akhir, yang berarti jika ada alternatif yang lebih murah dan lebih baik muncul tidak ada yang bisa menghentikan para merchant untuk beralih ke produk tersebut. Taobao mengharuskan pengguna untuk mendaftar ke Alipay, sehingga membuatnya lebih mudah untuk meyakinkan platform ecommerce non-Taobao untuk turut mengadopsi Alipay.
  • Rabbit LINE Pay, sebelumnya LINE Pay, tidak pernah menangkap jumlah market share yang dominan meski dengan asosiasinya dengan LINE, platform berkirim pesan populer yang memiliki 33 juta pengguna di Thailand. Layanan ini juga terbatas karena hanya melayani kartu kredit, lagi-lagi tidak memecahkan masalah fundamental kurangnya penetrasi kartu kredit di wilayah ini.

Tantangan Distribusi

  • Meski dengan usaha yang baik untuk memberikan konsumen dengan pilihan metode pembayaran kedua, startup fintech seperti Digio dan Deep Pocket hanya membangun dompet mobile sebelum memecahkan masalah utamanya.
  • Sangat sulit bagi dompet mobile untuk digunakan secara luas saat awareness masih sangat rendah dan pengguna tidak memiliki insentif yang kuat (biasanya finansial) untuk untuk mengadopsinya. Akuisisi pengguna kemudian menjadi mahal tanpa adanya channel distribusi yang terpaut.

Tantangan (Kurangnya) Praktik Penggunaan

  • Salah satu dompet mobile terdepan di Thailand yang dimiliki oleh Ascend, True Money, tersambung dengan bank besar di Thailand dan memiliki akses distribusi ke perusahaan-perusahaan di portfolio konglomerat CP, termasuk lebih dari 19 juta pelanggan mobile.
  • Namun demikian, True Money dilaporkan hanya memiliki 100,000 pengguna aktif bulanan dari 6 juta pengguna yang terdaftar sejak 2014. Praktik penggunaan True Money saat ini hanya terbatas pada top-up telepon seluler, top-up online game, dan pembayaran tagihan dan pembayaran di konter, biasanya di toko 7-11 yang dimiliki oleh CP.

Ecommerce merupakan penggunaan yang lebih jelas dan natural bagi dompet mobile dan karena itu True Money juga digunakan sebagai metode pembayaran di perusahaan ecommerce milik Ascend seperti WeMall dan WeLoveShopping. Namun demikian, dengan total gabungan trafik mereka yang hanya mencapai 26% dari total trafik Lazada, Ascend masih memiliki jalan yang panjang untuk mengikuti jejak Peter Thiel dan mengubah properti ecommerce mereka menjadi tempat bertumbuh bagi solusi pembayaran mereka.

Akuisisi Lazada: Strategi Kuda Trojan?

Langkah Alibaba ke Asia Tenggara tidak pernah hanya tentang menumbuhkan GMV ritel mereka. Dalam jangka panjang, bukan masalah mengalahkan rival Lazada atau mencari pasar baru di luar Tiongkok; semua ini tentang mendapatkan akses ke basis pelanggan besar di pasar yang kekurangan infrastruktur ecommerce-nya sangat mirip dengan Tiongkok pada masa permulaannya. Permainan akhir Jack Ma adalah untuk mengenalkan dan memonetisasi produk dan layanannya yang lain, dimulai dengan Alipay.

Kuda trojan Alibaba
Kuda trojan Alibaba

Mengadopsi Alipay akan berperan besar dalam pertumbuhan ecommerce di skala regional dan Lazada pada khususnya. Adopsi secara luas dari sebuah platform pembayaran nyaman yang menjembatani krisis kepercayaan antara pembeli dan penjual akan berujung kepada kenaikan transaksi secara keseluruhan seperti yang telah terlihat di Tiongkok, pasar ecommerce terbesar si dunia dalam hal penetrasi dan GMV-nya.

Berita tentang pembelian 20% saham Ascend Money, induk perusahaan True Money, oleh Alibaba yang datang hanya beberapa bulan setelah pembelian Lazada, menunjukan master plan Jack Ma bagi Asia Tenggara mulai membuahkan hasil.

Semua ini lebih dari hanya sekadar Alipay dan memfasilitasi pembayaran di marketplace. Seperti yang telah disebutkan di atas, Ant Financial, induk perusahaan Alipay, mengoperasikan seluruh ekosistem finansial digital di Tiongkok yang terdiri, namun tidak terbatas, dari: Yu’e Bao, dana bersama terbesar di Tiongkok dalam rangka investor dengan aset sebesar $108 miliar; Zhaocai Bao, sebuah platform peminjaman P2P dengan transaksi sebesar $32 miliar di tahun pertamanya; dan Sesame Credit, sebuah sistem credit-scoring yang didasarkan dari — bisa Anda tebak — data ecommerce.

Dan sektor finansial hanyalah permulaan. Jack Ma, di dalam surat bagi pemegang sahamnya di tahun 2015, mengisyaratkan banyaknya hal yang masih akan datang:

“Strategi grup Alibaba adalah untuk membangun infrastruktur ecommerce untuk masa depan. Ecommerce hanyalah langkah pertama. […] Sekitar setengah dari tenaga kerja Alibaba Grup dan perusahaan terafiliasinya, termasuk Ant Financial dan Cainiao, bekerja di area-area penting bagi ekosistem kita, termasuk logistik, finansial internet, big data, cloud computing, mobile internet, periklanan dan juga yang disebut Industri double H – Health and Happiness (bisnis kesehatan dan hiburan digital berbasis big data yang akan memerlukan 10 tahun untuk menjadi data-driven)”

Karena itu, seharusnya bukan para peritel seperti MatahariMall atau Central yang khawatir akan meningkatnya kompetisi; namun para bank, penyedia asuransi, rumah sakit dan yang lainnya yang harus bersiap menerima pecutan keras.

Sebagai kilasan apa yang mungkin akan terjadi di Asia Tenggara, kita hanya perlu melihat apa yang terjadi pada Uber baru-baru ini di Tiongkok.

Belajar dari Tiongkok atau Bagaimana Strategi Kuda Trojan Alibaba Membunuh Uber Tiongkok

“Uber tidak kalah dari Tiongkok pada tahun 2016. Mereka kalah di 2014 saat baru masuk, dan menyadarinya 2 tahun kemudian.” — Wang Di, Pengguna Quora

Alibaba, bekerja sama dengan rival lama mereka Tencent, mengadopsi strategi yang mirip di Tiongkok untuk menyingkirkan Uber. Orang luar sudah sering mendengar alasan strategi buku teks klasik “bagaimana-perusahaan-internet-asing-gagal-di-Tiongkok” seperti kurangnya pelokalan (halangan bahasa/budaya), kurangnya koneksi/guanxi, perlindungan pemerintah dan kurangnya pelaksanaan hukum IP.

Meskipun semua hal ini memiliki perannya sendiri, tidak satupun menjelaskan alasan utama mengapa Uber mengalami kegagalan di Cina.

Uber gagal karena mereka mengira bahwa persaingan mereka hanya di ruang transportasi dengan Didi. Yang tidak mereka ketahui, pemegang saham mayoritas Didi, Alibaba dan Tencent, bermain dengan peraturan yang sama sekali berbeda. Bagi Alibaba (dan Tencent), Didi bukanlah hanya aplikasi penyedia jasa transportasi; strategi Didi dan tujuan tersembunyinya adalah untuk berperan sebagai channel akuisisi scalable Alipay Wallet, versi mobile dari Alipay, serta WeChat Wallet milik Tencent, menurut jawaban brilian di situs Quora ini:

Sekitar tahun 2012, kesuksesan besar WeChat membantu banyak perusahaan IT di Tiongkok untuk menggeser fokus mereka ke pasar aplikasi mobile. Sementara itu, meski dengan beberapa suspensi, pemerintah mulai mendukung pembangunan pembayaran mobile. Semuanya telah siap bagi Tencent dan Alibaba untuk meluncurkan aplikasi pembayaran mobile mereka untuk menjadi hal yang besar. Semua, kecuali kebiasaan pengguna di Tiongkok.

Masyarakat di Tiongkok belum terlalu familiar dengan pembayaran mobile pada saat itu. Bahkan, belum ada sama sekali sebuah grup masyarakat di dunia yang secara signifikan lebih baik pada saat itu. Lebih lagi, masyarakat Tiongkok sangat berhati-hati saat melakukan proses pembayaran, dan banyak dari mereka bukanlah penggemar gadget terbaru.

Namun mereka semua menyukai diskon atau pembayaran kembali! Satu dollar yang dihemat adalah satu dollar yang dihasilkan.

Aplikasi pemanggil taksi Didi dan Kuaidi menjadi pengenalan trafik pengguna yang sempurna.

Anda bisa menggunakan Didi untuk memanggil taksi dan membayar 30 yuan secara tunai, namun jika Anda membayar taksi dengan menggunakan Tencent Wallet (diarahkan dari Didi), Anda hanya harus membayar 10 yuan. Apakah Anda bersedia untuk menghemat 20 yuan—$3 atau 4—dengan menggunakan fitur yang sudah tersedia di aplikasi tersebut? Hanya dengan memencet di sini dan di sana? Tentu saja.

Dan sekarang Anda telah tersambung dengan WeChat Wallet. Seperti yang diinginkan oleh Tencent.

Dengan Didi sebagai channel distribusi penting bagi Alipay Wallet, Alibaba berhasil mengakuisisi lebih banyak pengguna ke dalam ekosistem layanannya termasuk Taobao, Tmall, Ant Finance dan lebih banyak lagi, yang memimpin monetisasi ke seluruh produk lainnya. Uber hanya memiliki transportasi.

Tencent dan Alibaba telah menaruh jumlah uang yang sangat banyak untuk membayar subsidi pembayaran kembali ini. Terlalu banyak untuk sebuah aplikasi pemanggil taksi, namun sangat wajar jika Anda ingin menandai wilayah Anda di pasar terbesar dengan sistem pembayaran mobile yang paling terdepan di dunia.

Masa Depan Bagi Asia Tenggara

Dengan didaulatnya Asia Tenggara sebagai pasar ecommerce yang besar dan belum terjamah selanjutnya di dunia, kita akan melihat banyak pemain yang mensubsidi jalan mereka demi mencapai pertumbuhan melalui diskon dan kupon. Tidak mengherankan, kritikus sering melihat cara ini sebagai perlombaan ke bawah bagi semua pihak.

Tidak selamanya benar. Sebagaimana contoh yang telah ditunjukan Uber Cina kepada kita, hal ini hanya akan gagal bagi para perusahaan yang tidak melihat gambar yang lebih besar dan tidak mampu memonetisasi melalui set produk atau layanan yang berbeda, baik saat ini maupun di masa depan.

Dengan mempertimbangkan hal ini, seseorang bisa berargumen bahwa Alibaba mendapatkan penawaran yang baik dengan Lazada, terutama mengingat kesempatan jangka panjang yang ada di Asia Tenggara melebihi ecommerce ritel. Saham Alibaba pun mengkonfirmasi hal ini—Harga saham Alibaba melonjak naik setelah berita akuisisinya diumumkan pada 12 April dan meningkat 35% sejak saat itu (per 3 Oktober 2016).

Akuisisi Alibaba secara luas dianggap kemenangan bagi pertumbuhan ecommerce di Asia Tenggara namun berapa banyak di antara kita yang siap menghadapi fakta bahwa piala apapun yang kita dapatkan tidaklah berbentuk kuda unicorn namun mungkin kuda yang lain?


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Sheji Ho dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Menyambut Musim Diskon Online: Bagaimana Asia Tenggara Menirukan Fenomena Online Tiongkok

Bagi para pembelanja online, 11.11 telah menjadi fenomena belanja tersendiri. Acara diskon online terbesar di Tiongkok ini diprakarsai oleh raksasa ecommerce Alibaba, di mana besaran diskon dari para penjual yang berpartisipasi berkisar dari 25%-70% dan mencatat rekor $5 miliar produk terjual dalam 90 menit pertama pada tahun lalu.

Alibaba, yang memiliki marketplace online Tmall dan Taobao, berhasil menjual produk seharga $14.3 miliar selama periode diskon tahun lalu, yang ditargetkan kepada 386 juta pengguna aktif tahunan – angka yang lebih besar dari populasi di AS.

Fortune menyebut kampanye ini, cukup akurat, sebagai “Black Friday on steroids”.

Penghasilan gabungan dari Black Friday dan Cyber Monday, periode sale terbesar di Amerika Utara, berjumlah $7.54 miliar pada tahun lalu, yang walaupun mengesankan namun hanya merupakan setengah dari pemasukan Alibaba di periode penjualan yang sama.

Pendapatan Alibaba di Single's Day vs Cyber Monday di Amerika Serikat
Pendapatan Alibaba di Single’s Day vs Cyber Monday di Amerika Serikat

Latar Belakang Budaya 11.11

‘Single’s Day’ awalnya berasal dari Universitas Nanjing pada tahun 1993 di mana sekumpulan grup para orang lajang berkumpul untuk merayakan status ketidak-terikatan mereka dengan cara berbelanja. Pada tahun 2009, Jack Ma, Chairman dari Grup Alibaba, melihat potensi hal ini kemudian menciptakan acara belanja online bagi para kaum muda ini, memposisikan hari ini untuk memanjakan diri sendiri.

‘Single’s Day’ kemudian meraih pamornya dan dimonetisasi oleh Alibaba, menjadikan hari ini sebagai pertunjukan perbelanjaan online di platform marketplace mereka dan mendorong transaksi bisnis selama periode sepi di Tiongkok, antara Golden Week pada bulan Oktober dan Tahun Baru Tiongkok di bulan Januari hingga Februari. Hal ini juga pertama kali diperkenalkan saat ecommerce sedang meledak di Tiongkok, menghasilkan pertumbuhan sebesar 5,470% bagi program diskon “Double 11” selama 2009 dan 2013.

rts6cc7-1024x813

Perusahaan ini sejak saat itu telah menjadikan istilah tersebut sebagai merk dagang mereka pada Desember 2012, yang memungkinkan mereka mengambil aksi hukum terhadap outlet media yang menerima iklan dari kompetitor yang secara spesifik menggunakan istilah ini.

Diskon 11.11 juga telah mencapai ratusan juta pembelanja Tiongkok di luar kota besar seperti Beijing dan Shanghai, yang mengandalkan Taobao dan Tmall karena mereka tidak memiliki mall besar di kota mereka.

Program marketing offline yang mereka lakukan juga berkontribusi kepada kesuksesan 11.11. Dengan menghadirkan selebritas global seperti Daniel Craig dan Kevin Spacey ke acara launching-nya, Alibaba menjadikan fenomena belanja ini sebagai acara yang patut untuk dirayakan.

Untuk pertama kalinya sejak promosi 11.11 diluncurkan, Grup Alibaba telah mengumumkan bahwa acara tahun ini akan berlangsung selama 24 hari dan bukannya 24 jam. Mereka juga akan menandai acara ini dengan memperkenalkan teknologi virtual reality milik Alibaba, Buy+, yang menjanjikan pembelanja sensasi berbelanja langsung ke toko ritel melalui headset VR. Tahun ini juga akan melihat ekspansi 11.11 ke Hong Kong dan Taiwan.

Dengan kesuksesan kampanye 11.11 dari Alibaba, tidak mengherankan jika Asia Tenggara kemudian mengikuti jejak Tiongkok. Meskipun bukan untuk merayakan status-kesendirian, marketplace online besar seperti Lazada dan Moxy (sekarang dikenal sebagai Orami) telah mengadopsi kampanye 11.11 Alibaba dengan versi mereka sendiri.

lazada1111-1024x762

Pemain online berada di bawah tekanan untuk melakukan dan berpartisipasi selama periode ini karena banyak brand besar dan peritel yang mulai menawarkan diskon yang lebih besar dan lebih baik berkat modal yang lebih besar dan jumlah merchant yang lebih banyak.

Di Asia Tenggara, para marketplace menggunakan periode 11.11 sebagai tes lakmus untuk melihat seberapa baik performa mereka dibanding para kompetitor di pasar lokal.

11.11 Versi Asia Tenggara

Mulai dari merekrut tenaga kerja tambahan hingga memastikan para pembelanja mengetahui program diskon ini, marketplace menggunakan strategi media sosial hingga berbulan-bulan sebelum acara tersebut berlangsung dan mengkalkulasi prediksi stok yang ada untuk memastikan acara diskon ini sukses.

Inilah bagaimana pemain-pemain terbesar di Asia Tenggara memanfaatkan momentum 11.11:

Marketing blitz: Personalisasi sosial adalah kunci

Sebagai marketplace ecommerce terbesar di wilayah ini, Lazada telah mengadaptasi 11.11 dan mengekstensikannya dengan acara 12.12 milik mereka pada 12 Desember dan menyebutnya sebagai ‘The Online Revolution’, yang dimulai pada tahun 2012.

Lazada Thailand mencatat pertumbuhan di GMV mereka hingga $40 juta selama 10-12 Desember 2015 dan melihat kenaikan pertumbuhan partisipasi dari konsumen mereka. Lazada Thailand mencatat 300% kenaikan pesanan dibandingkan periode yang sama pada 2014.

“Di Thailand, kami melihat channel marketing yang paling sukses biasanya sangat sosial,” ujar Baptiste Le Gal, CMO Lazada Thailand. “Manajemen hubungan konsumen adalah channel utama untuk memberikan penawaran yang cocok dengan ketertarikan mereka.”

Tren konsumen pun mengalami sedikit berubahan di Thailand. Baptiste melihat bahwa barang elektronik yang biasanya menjadi kategori paling populer, telah digantikan oleh kategori yang lebih mengarah ke segmen gaya hidup seperti kesehatan & kecantikan dan peralatan rumah tangga di platform mereka.

Adopsi mobile yang tinggi di Thailand juga berkontribusi kepada prilaku konsumen saat berbelanja di Lazada.

Dengan pasar yang mengutamakan mobile berarti Lazada harus berfokus dengan aspek mobile di channel mereka dan memastikan bahwa aplikasi mobile Lazada telah optimal untuk memastikan pengalaman pengguna yang baik selama periode kampanya tersebut. Marketplace ini juga telah meluncurkan iklan ‘make your dreams come true’ di Singapura, untuk menyambut acara besar ini.

Zalora, portal fashion milik Rocket Internet, juga mengikuti formula Rocket dengan menawarkan diskon hingga 80% baik untuk 11.11 dan 12.12. Strategi marketing Zalora Indonesia untuk mempromosikan kampanye ini dilakukan dari bulan Oktober hingga ke grand finale di 12.12, dimulai dengan Zalora Great Sale yang tengah berlangsung, yang bisa digunakan para pembelanja untuk mempersiapkan mereka di acara utamanya.

“Pada tahun 2015, keseluruhan penjualan untuk 12.12 naik hingga 30 kali dibanding penjualan rata-rata di hari biasa, dengan brand yang berpartisipasi juga melihat kenaikan penjualan meski masa kampanye telah berakhir,” ujar Priyanto Lim, Head of Marketplace di Zalora Indonesia.

9695706_zalora-1212-online-fever_t82ab5e6d

Namun memberikan diskon besar saja tidaklah cukup. Zalora Indonesia mengadakan kompetisi online, menyediakan hadiah ekstra dan menggunakan endorsement selebritas di media sosial sebagai bagian dari promosi untuk menciptakan hype acara diskon besar ini. Intinya, para konsumen akan dibanjiri dengan insentif dan pemicu untuk melakukan pembelian.

Nampaknya, spekulasi bahwa brand merasa tertekan untuk berpartisipasi dan melakukan potongan biaya untuk bisa berkompetisi dengan merchant yang lain tidak mengurangi pengaruh dari kampanye ini.

“Kontra dari apa yang disebutkan di artikel tersebut, brand sangat bersedia untuk bekerja sama dengan kami karena mereka juga diuntungkan dengan ekstra trafik [yang dihasilkan],” ujar Priyanto.

Marketplace bagi perempuan, Orami fokus dengan menghasilkan konten original bertema ‘Single’s Day’ dan memanfaatkan komunitas mereka untuk menghasilkan trafik ke website dan berinteraksi dengan pembelanja dibanding melakukan kampanye promosi besar-besaran.

“Untuk mendorong interaksi media sosial, Orami juga menggunakan Facebook sebagai cara untuk menciptakan interaksi dengan pengguna melalui permainan online yang bertemakan Single’s Day,” ujar Shannon Kalayanamitr, co-founder dan CMO Orami.

Menargetkan wilayah mobile-centric

Shopee, platform belanja mobile milik Garena, merilis mega sale versi mereka untuk pertama kalinya tahun ini, menyebutnya 9.9 pada 9 September. Diuntungkan dengan pertumbuhan pesat pasar mobile yang berada di wilayah ini, platform ini menyasar para konsumen mobile-first di Thailand dengan cara merilis produk yang sudah didiskon besar-besaran secara berkala sepanjang hari untuk menjaga antisipasi konsumen mereka.

Situs website Shopee bahkan menerbitkan jadwal diskon sebelumnya sehingga pembeli dapat mengatur alarm bagi produk yang mereka incar, menciptakan mentalitas ‘ready-set-go’ bagi pembeli untuk mendorong daya saing dan membuat mereka berbelanja lebih.

Shopee-9.9-Mobile-Shopping-Day_square

Penyedia layanan niche turut berpartisipasi

11.11 juga telah menginspirasi penyedia layanan online di Asia Tenggara untuk mengikuti tren prilaku online ini.

Penyedia bahan makanan on-demand, HappyFresh Indonesia, menawarkan hingga 30% diskon untuk produk yang paling populer dalam kampanye marketing mereka tahun lalu.

489ffa98-be06-4d73-bfea-8f802dfd59ba

Dan pemain baru di sektor yang sama di Thailand, honestbee, saat ini bekerja dengan jaringan supermarket populer di Thailand, Villa Market untuk memasuki sektor ‘barang kebutuhan sehari-hari’ yang termasuk air, makanan segar dan daging. Barang-barang ini semua akan menjadi bagian dari kampanye promosi besar layanan pengiriman ini.

Ketika bahan makanan didiskon, pembeli cenderung menyimpan ‘persediaan’, terutama ketika membeli secara online dengan pilihan yang lebih luas.

“Kami melihat pola pembelian pelanggan kami untuk melihat jenis barang apa yang populer di kalangan pembeli. Sebagai contoh, pelanggan di wilayah pemukiman sering memesan air mineral dan buah segar dengan volume besar, sehingga kami harus mengantisipasi bahwa sektor ini mungkin akan mengalami lonjakan pada kampanye 11.11 kami,” ujar Piyawat Laiphithak, Marketing Manager di honestbee Thailand.

honestbee juga berencana melakukan gimmick bertema ‘Singles Day’ dengan memberikan makanan ringan seperti gummy bears dan popcorn untuk pembeli.

11.11 Logistik: Apa yang terjadi di balik layar?

Ungkapan “dibutuhkan seluruh desa untuk membesarkan seorang anak” cocok untuk diterapkan di sini, jika kita menukar anak dengan kampanye secara online skala besar. Bagaimana perusahaan ecommerce memastikan fungsi optimal selama waktu yang sibuk ini?

Bagi penyedia solusi ecommerce, aCommerce, mereka telah merencanakan sekitar dua bulan sebelumnya untuk mengakomodasi lonjakan pesanan untuk klien yang berpartisipasi dalam acara diskon ini.

“Kami meningkatkan tenaga kerja kami sebesar tiga kali melalui kontrak sementara dan menjalankan operasi 24 jam selama masa lonjakan seperti 11.11 untuk memastikan permintaan pelanggan dapat terpenuhi,” Phensiri Sathianvongnusar, COO di aCommerce Thailand menyampaikan.

Staf sementara dipekerjakan melalui agen dan mendapatkan pelatihan khusus selama 2-3 hari untuk tugas mereka sebelum acara penjualan akbar ini.

Selama periode lonjakan, aCommerce juga menggunakan platform multi-shipping untuk memanfaatkan lebih dari 20 jaringan kurir untuk memastikan bahwa pengiriman dilakukan tepat waktu, demi performa terbaik dan memastikan tidak ada penjualan yang dibatalkan, karena waktu dan kecepatan adalah hal yang paling penting selama masa kampanye.

acom-1024x462

“Inventory planning sangatlah penting untuk kampanye seperti 11.11 dan 12.12, jadi kami menggunakan data historis dari peristiwa di tahun-tahun sebelumnya untuk menentukan jenis produk apa yang cenderung populer selama periode diskon ini dan menghindari kekurangan stok,” tambah Phensiri.

Untuk para brand yang tidak berpartisipasi dalam kampanye 11.11, mereka adalah bagian dari jalur ekspress yang menjamin bahwa produk mereka masih tetap menjadi prioritas selama masa kampanye.

Sebuah liga tersendiri

Menggunakan kampanye 11.11 Tiongkok sebagai latar belakang, pasar online Asia Tenggara mengukir mega sale versi mereka sendiri yang tidak bisa dengan hanya meniru Alibaba untuk meraih kesuksesan.

Asia Tenggara berpotensi dapat melompati Tiongkok dengan ledakan pertumbuhan mobile di kawasan ini dan meningkatnya kelas menengah. Kampanye besar seperti 11.11 akan terus bertumbuh setiap tahunnya seiring dengan semakin banyaknya konsumen yang masuk ke online. Platform mobile-first seperti Shopee sudah bergerak cepat dan menangkap pasar mobile yang tengah berkembang di Asia Tenggara, mencerminkan kenaikan dari belanja mobile di Tiongkok, di mana 72% dari pembelian selama tahun lalu saat 11.11 berasal dari mobile.

Respon positif dan durasi kampanye merupakan bukti tumbuhnya antusiasme kawasan ini dengan ecommerce, mungkin merupakan indikasi positif bahwa kita beringsut menjauh dari bayang-bayang Tiongkok.


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Anutra Chatikavanij dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

5 Alasan Lazada Mengakuisisi RedMart

Spekulasi yang muncul akhir pekan lalu bahwa Lazada, online marketplace terdepan di Asia Tenggara, yang dikabarkan ingin mengakuisisi startup online grocery asal Singapura, Redmart seharga $30-40 juta, telah terkonfirmasi. Lazada, yang baru mendapat suntikan dana segar sebesar $1 miliar dari Alibaba, sebelumnya tidak dikenal dengan kebiasaan mengadopsi model dengan aset berat; bahkan mereka secara aktif mencoba berubah menjadi model marketplace sepenuhnya, khususnya setelah akuisisi Alibaba.

Lalu mengapa perusahaan yang satu ini kemudian ingin mengakuisisi sebuah peritel bahan makanan online? ecommerceIQ membagi beberapa kemungkinan alasannya:

1. Bergabung dengan arena baru yang sedang berkembang

Elektronik, kesehatan & kecantikan, pakaian, kebutuhan rumah tangga, Lazada menawarkan semua kategori ini, kecuali barang yang mudah rusak/bahan makanan.

Bahan pangan online telah hadir di Amerika Utara sejak tren Dot-com namun baru akhir-akhir ini menjadi populer melalui model on-demand, pertama kali dikenalkan oleh Instacart dan sejak saat berkembang dengan kehadiran Google dan Postmates yang memenuhi ruang ini.

Sektor bahan makanan offline di Singapura bernilai dengan estimasi sebesar SG$5.5 miliar pada 2014, sementara ritel bahan makanan online diperkirakan berharga SG$120 juta dan hanya menyusun 1-2% dari seluruh pasar bahan makanan di Singapura. Hal ini menunjukan bahwa semakin banyak pekerja profesional dan keluarga yang rela mengeluarkan uang untuk mendapati kenyamanan bahan makanan mereka dikirimkan ke pintu depan mereka.

Dari semua negara Asia Tenggara, Singapura memiliki penetrasi internet tertinggi dan kemampuan berbelanja terbesar, menjadikan pasar ini paling siap untuk model bisnis seperti ini. ECOMScape: Singapore menunjukan banyaknya pemain, baik dari tradisional peritel bahan makanan offline maupun pemain online murni, yang turut bergabung di sektor e-grocery ini dengan harapan bisa mendapatkan bagian di pasar online ini.

Landscape E-Commerce Food Grocery Singapura
Lanskap E-Commerce Food Grocery Singapura
Lanskap E-Commerce Ritel Singapura
Lanskap E-Commerce Ritel Singapura

“Strategi untuk memasuki ruang ini adalah mencari pemain lokal yang telah menunjukan traksi dan membeli mereka untuk mendapatkan pijakan yang kuat dan kita akan melihat banyak (kejadian) seperti itu,” ujar Vinnie Lauria, Founding Partner dari Golden Gate Ventures, yang telah berinvestasi di marketplace seperti Carousell dan penjual bahan makanan online Redmart.

Dengan mengakuisisi Redmart, Lazada akan turut masuk ke dalam kompetisi bahan makanan online yang sudah sengit namun dengan reputasi yang terjamin dan Alibaba di sudut mereka, mereka memiliki kemampuan untuk mengurangi kerugian operasional Redmart dan menjadi pemain baru yang kuat. Akuisisi Redmart oleh Lazada sebenernya menyelamatkan startup tersebut untuk berakhir menjadi Webvan selanjutnya, pionir penjual bahan makanan online yang membakar uang terlalu cepat.

“Sebagai bagian dari strategi pertumbuhan kami, kami selalu mencari cara untuk melayani konsumen kami lebih baik dengan menambahkan kategori-kategori produk baru dan memperbaiki penawaran layanan kami,” komentar Maximilian Bittner, Group CEO Lazada, tentang akuisisi ini.

Dengan pendekatan multi-kategori, akuisisi Redmart ini akan memungkinkan Lazada untuk memaksimalkan pendapatan per pengguna Redmart untuk melebihi penjualan bahan makanan yang sering dicirikan oleh margin yang tipis.

2. Lelong, lelong!

Asia Tenggara sangat menyukai penawaran yang bagus dan tidak heran bahwa Redmart diam-diam menempatkan menaruh diri mereka di pasaran setelah laporan kerugian operasional sebesar $21 juta pada 2015 dan kewajiban perusahaan yang dinilai sebesar $125 juta muncul pada awal tahun ini. Terdengar juga rumor bahwa pada awal tahun ini Redmart berusaha mendapatkan suntikan dana baru sebesar $100 juta namun belum ada konfirmasi apapun. $30-40 juta bukan lah harga yang buruk bagi startup yang telah mendapatkan pendanaan lebih dari $59 juta dari Softbank, Garena dan didukung oleh selebritas tech seperti co-founder Facebook, Eduardo Saverin.

Lazada dengan percaya diri melakukan akuisisi ini karena tahu mereka bisa mengoptimalkan biaya operasional dengan memanfaatkan armada mereka sendiri untuk melakukan pengiriman melalui LEX. Sebagai perbandingan dengan kompetitor mereka, Honestbee dan HappyFresh, model bisnis Redmart bekerja cukup baik:

Sumber: Tech In Asia
Sumber: Tech In Asia

3. Distribusi lebih lanjut untuk Alipay

Pilihan pembayaran Redmart saat ini meliputi PayPal dan kartu kredit. Tidak akan lama sebelum Lazada mengimplementasikan Alipay di situs mereka dan memungkinkan para pembelanja untuk membayar bahan makanan mereka melalui Alipay. Bahan pangan adalah gerbang yang tepat untuk membuat pengguna ketagihan untuk melakukan pembelanjaan online — dibutuhkan semua orang dan memiliki harga rata-rata yang cukup rendah. Seperti Alibaba yang memanfaatkan Didi di Cina untuk membuat penggunanya mendaftarkan diri ke Alipay Wallet dengan mensubsidi pesanan taksi, mereka akan menggunakan bahan pangan dari Redmart untuk menarik masyarakat di Asia Tenggara bergantung dengan Alipay.

Ant Financial, perusahaan di balik Alipay telah melakukan beberapa langkah untuk melancarkan ekspansi global mereka dan memastikan bahwa metode pembayaran tersebut tersebar di seluruh Asia Tenggara. Perusahaan ini telah memiliki partnership dengan banyak perusahaan, termasuk Concardis, Ingenico, Wirecard dan Zapper di Eropa, First Data dan Verizone di Amerika Utara dan Paysbuy dan Counter Services di Asia Tenggara.

Alipay adalah sistem pembayaran dan transfer uang online terbesar di Cina dengan lebih dari 450 juta pengguna aktif. Tidak akan lama atau terlalu sulit bagi Jack Ma untuk mengeluarkan Kuda Trojan-nya.

4. Mendapatkan tenaga kerja e-commerce

Tantangan SDM bukanlah konsep yang baru bagi perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara. Dengan mengakuisisi Redmart, Lazada mendapatkan 200 pegawai in-house secara instan yang sudah terlatih di bidang khusus ecommerce. Kemampuan mengakuisisi bakat yang memiliki pengetahuan luas dan terampil akan memudahkan Lazada untuk mengekspansi ecommerce kategori bahan pangan secara cepat di negara Asia Tenggara lainnya di mana Lazada berada selain Singapura. Indonesia, Thailand, Filipina dan Malaysia mempunyai pengeluaran konsumen untuk makanan dan minuman tidak beralkohol yang masing-masing sebesar $130.2 miliar, $63.3 miliar, $51.3 miliar dan $25 miliar (Agriculture Canada). Dan selain itu…

5. Amazon segera hadir di Asia Tenggara

Raksasa ecommerce asal AS, Amazon akhirnya mengumumkan rencana mereka memasuki Asia Tenggara via Singapore pada Q1 2017 dan Lazada perlu menjaga keunggulan kompetitif mereka. Amazon telah memulai Amazon Prime dengan versi yang telah disesuaikan di Cina agar mampu berkompetisi lebih baik dengan Alibaba dan kemungkinan besar juga akan memperkenalkan layanan eksklusif yang sama di Asia Tenggara yang membuat konsumen mereka di AS sangat loyal kepada marketplace ini — seperti Amazon Fresh dan Amazon Prime.

Amazon Fresh diluncurkan pada tahun 20o7 dan saat ini berada di 17 pasar. Pembelanja hanya butuh membayar $14.99 per bulan untuk layanan ini namun membutuhkan keanggotaan Amazon Prime — sebuah layanan yang masih belum direplikasi Lazada untuk penggunanya.

“Standar bagi ritel bahan makanan sangat tinggi. Supermarket dan penjual bahan pangan adalah salah satu peritel yang terbaik di dunia.” Ajay Kava, Vice-President dari Amazon Fresh, menyampaikan kepada The Daily Telegraph.

“Kami percaya bahwa kunci dari kesuksesan jangka panjang Amazon Fresh adalah untuk menggabungkan harga yang murah, pilihan yang beragam, metode pengiriman yang cepat dan pengalaman pengguna yang dikenal dan dicintai oleh para pengguna Amazon.”

Biarkan penajaman pisau dapur ini dimulai.

Mari menajamkan pisau untuk perang e-commerce yang lebih besar tahun depan
Mari menajamkan pisau untuk perang e-commerce yang lebih besar tahun depan


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Cynthia Luo dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Tentang Startup yang Bakar Duit dan yang Disebut “Bisnis Beneran”

Startup scene di Indonesia semakin intense beberapa tahun terakhir ini. Berbagai jenis perusahaan digital bermunculan dengan bermacam model bisnis, dibarengi dengan berseliweran Venture Capital yang nongol, entah dari luar negeri maupun lokal.

Bisnis dan kegiatan yang berputar di perusahaan-perusahaan startups ini, juga semakin berkembang. Ada media yang khusus meliput tentang startup, perusahaan pembuat software khusus startup, hingga juga bisnis coworking space yang klien-kliennya adalah perusahaan startup.

Masih teringat jelas kehebohan ketika Tokopedia mendapatkan pendanaan 100 juta dollar di tahun 2014? Barusan juga MatahariMall dapet segitu, tapi sekarang ngga heboh-heboh amat 🙂

Well, belakangan ini — Ada Gojek yang barusan dapet 550 juta dollar, kemudian FoodPanda yang stop beroperasi karena disinyalir kehabisan uang. Semakin hari semakin banyak berita tentang startup A yang dapet pendanaan sekian juta dolar, dan startup B yang tiba-tiba harus tutup karena berbagai alasan; kehabisan dana, atau berencana untuk pivot ke bisnis yang lain.

Dan beberapa hari lalu; saya tergelitik membaca sebuah status facebook yang entah kenapa nongol di linimasa saya; yang kira-kira begini:

“Semakin banyak bisnis startup yang terbukti kayak judi, mendingan bisnis riil saja”

— otomatis membuat saya berpikir keras; errrrr…

Lalu saya ingat lagi sih tentang teman yang mengomentari tentang startup dengan membandingkan bisnis dia sendiri; “Ya kalau aku bisnis riil gini beda sih itungannya, harus untung beneran..”

Hmm. Sepertinya cukup banyak miskonsepsi di masyarakat — yang menganggap bahwa bisnis startup itu lawan kata dari bisnis riil atau beneran. Artinya, bisnis startup ya bukan bisnis beneran, alias bisnis palsu a.k.a abal-abal.

Kalau dilihat dari asal-katanya, startup bisa diartikan sebagai “baru mulai”. Artinya ya semua bisnis yang barusan saja mulai (walaupun ini relatif, tapi cukup banyak yang sepakat bahwa sebelum 3 tahun bisa jadi patokan).

Nah saya mau mencoba menjelaskan tentang perbandingan antara startup dengan “bisnis beneran”. Agar memudahkan, mari kita bayangkan sebuah analogi perbandingan antara sebuah situs e-commerce atau virtual mall, dengan mall “beneran”, dengan tokoh fiktif Amir dan Umar — dalam perspektif valuasi perusahaan.

Cerita Amir

Amir adalah anak seorang konglomerat. Bapaknya mempunyai bisnis properti sukses dan terbiasa membangun perumahan, perkantoran serta pusat perbelanjaan. Setiap hari jumat, Bapak Amir selalu mengajak Amir untuk pergi main golf. Berikut pembicaraan mereka:

Bapak: “Amir, sudah saatnya kamu mengikuti jejak Bapak di bisnis properti. Cobalah kamu beli salah satu tanah dari perusahaan keluarga kita dengan harga dan kamu bangun sesuatu di atasnya. Nanti Bapak kasih modalnya.”

Jadilah Amir bikin mall.

Ideation & Building Stage

Karena Bapaknya kaya raya, maka Amir bisa mengalokasikan dana Rp 125M buat bikin mall tersebut. Hal yang pertama dilakukan Amir adalah membeli tanah untuk membangun Mall tersebut. Dibutuhkan 10,000 m2 (1 hektar) bidang tanah yang terletak di area strategis. Harga pasarannya sebenarnya per m2 adalah Rp 4jt/m2 — akan tetapi karena Amir membeli tanah dari perusahaan Bapaknya, maka dia mendapat harga murah, cuman Rp 2.5jt/m2.

Dengan 2.5jt/m2, maka cukup Rp 25M saja untuk membeli tanah yang dibutuhkan. Sampai disini, uang Amir masih tersisa Rp 100M di bank, dan valuasi perusahaan sudah seketika naik menjadi Rp 140M (cash 100M + nilai aset tanah 40M).

Dengan 100M tersisa, Amir mulai membangun Mall yang dia rencanakan. Berbagai kanal alokasi dana terkucur — dari konsultan bangunan, kontraktor, hingga tim manajemen dan marketing yang dia sewa. Butuh waktu 1 tahun kira-kira hingga Mall tersebut mulai dibangun, dengan biaya total Rp 75M.
Selama pembangunan, tim marketing Amir juga sudah beroperasi, mereka telah mulai menawarkan kepada pemilik bisnis — pemilik restoran, pemilik merek fesyen, optik, coffee shop, dan department store. Oh ya, tidak ketinggalan bioskop. Beberapa merek dan kategori bisnis seperti department store, bioskop dan brand yang sangat kuat dan ada di mana-mana disebut sebagai Anchor tenants.

Product/Market Fit & Growth Hack

Satu tahun kemudian, ketika sudah siap beroperasi, belum banyak penyewa, tetapi sudah ada beberapa anchor tentant. Mereka mau masuk ke dalam Amir Mall dan membuka gerai, karena ditawarkan harga yang sangat murah — bahkan hingga gratis sama sekali. Kenapa? Karena dengan mereka masuk, Mall sudah mulai beroperasi dan bisa menarik pengunjung. Bagi bisnis Mall, anchor tenants ibarat MVP (Minimum Viable Products).

Seminggu sebelum hari pembukaan, dipasang iklan di semua media hingga seluruh penduduk kota tahu tentang Amir Mall. It’s the talk of the town. Semua orang tertarik untuk datang mengunjungi Mall baru tersebut. Para pemilik bisnis yang sebelumnya sudah ditawari space, baik yang sudah menyewa maupun belum — oleh tim marketing diundang kembali sebagai tamu VIP.

Pada hari pembukaan, pengunjung berjubel, dan para tamu VIP a.k.a calon penyewa sebagian besar langsung menandatangani kontrak untuk menyewa space di Amir Mall. Launchingnya sukses besar!

Seminggu setelah Mall beroperasi, Amir mengajak meeting para manajemen dan mengundang konsultan untuk menghitung valuasi bisnis dia sekarang. Ternyata space yang disewakan di Mall tersebut sudah terisi sebesar 80% pada minggu pertama; 20% untuk anchor tenant, dan 60% oleh tenant baru yang baru saja mendaftar.

Monetization

Pada tahun pertama, Amir hanya menarik sewa sebesar Rp 8jt /m2 per tahun saja (belum termasuk service charge, listrik, dsb) — sedangkan space yang ditawarkan sebesar 10,000 m2 (ada 4 lantai dengan tiap lantainya seluas 2,500m2). Artinya, pada tahun pertama, pendapatan sewa bersih Amir Mall tercatat sebesar Rp 48M.

Konsultan kemudian menghitung dengan detil semua aset yang dimiliki Amir Mall sekarang. Nilai tanah bangunan ternyata sudah naik drastis karena begitu Amir Mall dibangun, maka tanah-tanah disekitarnya naik harga. Sekarang nilai tanah sudah mencapai Rp 6jt /m. Artinya, tanah Amir senilai Rp 60M. Kemudian nilai bangunan ditaksir senilai Rp 60M juga. Rugi sih, karena pembangunannya mencapai Rp 75M, tetapi nilai taksiran memang tidak akan sama dengan nilai riilnya.

Valuation

Untuk valuasi bisnis Mall sendiri ternyata pihak konsultan menyarankan metode sederhana = total nett revenue x 5 tahun, karena diprediksi dalam 5 tahun bisnis ini akan berjalan lancar. Untuk gaji karyawan dan pengeluaran lain dihitung Rp 1M per bulan, atau Rp 12M per tahun. Karena patokan yang ada adalah gross revenue sebesar Rp 48M / tahun, maka total per tahun dihitung laba bersih adalah sebesar Rp 36M.

Sampai disini, valuasi bisnis Amir Mall adalah sebesar:
Tanah Bangunan (10,000m2) = Rp 120M
Dana tunai di Bank = Rp 25M
Valuasi bisnis (5 tahun x Rp 36M) = Rp 180M
Total = Rp 325M.

Wow, fantastik! Dalam 2 tahun, modal (bapaknya) Amir sebesar Rp 125M telah berkembang sebesar 2.6 x lipat! Amir hari itu pulang dengan bangga. Malam itu dia punya jadwal untuk makan malam bersama Bapaknya, dan situlah dia menceritakan pada sang Bapak bahwa dia telah sukses membangun bisnisnya.

Sang Bapak mendengarkan dengan seksama, sambil menepuk bahu Amir;
“Hebat nak, teruskan ya..”
..tapi Amir merasa bahwa respon dari Bapak sungguh datar..

Cerita Umar

Sore sebelum Amir pulang, sang Bapak sebenarnya nongkrong di salah satu anchor tenant, sebuah coffeeshop berlogo warna hijau di Amir Mall. Dia ingin melihat bagaimana hasil kerja anaknya. Bapak Amir duduk sendirian sambil melihat orang ramai lalu lalang. Karena coffeeshop ini berada di dekat pintu masuk, dia juga bisa melihat di seberang jalan; sebuah pembangunan sebuah gedung bertingkat yang sepertinya baru saja dimulai.

Umar, baru saja mendarat dari Singapore — dia datang untuk menghadiri acara pernikahan teman lama, tetapi karena belum jam check-in maka dia mampir di Mall tersebut. Dia masuk ke coffeeshop pertama paling dekat dengan pintu masuk, dan mencari tempat duduk.

“Boleh ikut duduk di sini Pak? Kebetulan meja semua penuh dan sepertinya Bapak sendirian..”

Bapak Amir sedikit kaget, lalu mendongak sambil melihat pemilik suara serta menjawab: “Oh, silahkan..”

“Luar biasa ya Pak, perkembangan kota ini. Ini mall masih baru ya? Ramai banget ya?” sembari Umar menarik kursi dan menghempaskan badannya.

“Iya, baru saja dibuka seminggu lalu.” jawab Bapak Amir, sembari memperhatikan penampilan anak muda ini. Sepertinya seumuran anaknya, tapi berpenampilan lebih kasual. Kaos oblong, jeans dan sepatu kets; tidak seperti anaknya si Amir, yang berkemeja rapi kemana-mana.

“Oh, kalau di seberang sana, Mall juga ya pak? Kayaknya baru dibangun juga dan tadi sempat lihat ada papan namanya — sepertinya bakal jadi pusat perbelanjaan juga tuh.” kata Umar.

“Sepertinya sih begitu. Dan di ujung jalan di sebelah sana juga bakal ada Mall baru. Sepertinya jalan ini bakal dipenuhi dengan pusat perbelanjaan nantinya.” jawab Bapak Amir.

“Wah, kalau sepanjang jalan Mall semua, trus persaingan jadi ketat sekali dong pak? Kalau ngga salah pertumbuhan penduduk kota ini hanya 5% per tahunnya padahal. Kuenya ngga nambah yang mau makan tambah banyak dong ?” kata Umar.

“Hehehe maaf pak, saya sok tahu nih kayaknya. Kenalkan dulu Pak, nama saya Umar. Kebetulan dulu juga kecil di kota ini.” lanjut Umar, merasa lancang.

“Nama saya Kamirun mas, biasa dipanggil Pak Amir. Kebetulan saya juga punya anak seumuran dengan Anda, namanya Amir juga. Cuman, kalau saya dipanggil Amir — ejaan Indonesia, kalau anak saya, huruf vokalnya A & I nya itu diucapkan kayak mirip film seri jaman saya dulu it — The A-Team.”

Mereka lalu berjabat tangan.

Bapak Amir lalu meneruskan; “Oh, memang — persaingan semakin ketat, tetapi target pasar dari pusat perbelanjaan-pusat perbelanjaan ini bukan hanya dari penduduk kota lho. Semakin ramai jalan ini, maka akan semakin menarik orang dari kota-kota lain juga. Nah, karena semakin ramai, maka harga tanah juga naik. Artinya selain dari business profit, juga ada capital gain yang signifikan setiap tahunnya karena pertumbuhan nilai properti.”.

Lalu dia menjelaskan panjang lebar tentang model bisnis bikin pusat perbelanjaan, dan bagaimana ketika bisnis rugi, aset properti nilainya tetap naik dan secara keseluruhan bisnis ini ngga akan rugi. Bapak Amir juga dengan bersemangat menceritakan bagaimana Ciputra dan taipan bisnis lain yang bergerak di properti, dan masuk sebagai orang-orang terkaya di Indonesia.

Walau tidak secara langsung berkata tentang apa bisnis dia, Umar bisa menangkap bahwa bisnis Bapak Amir ini juga properti karena dia tahu sekali luar dalam tentang bisnis tersebut. Karena Bapak Amir juga bisa menyebutkan dengan detil mengenai Mall ini, Umar juga menebak bahwa mall tempat mereka berada sekarang juga milik dia, atau paling tidak milik anggota keluarganya.

“Wah, nantinya jadi kayak Orchard Rd gitu dong ya Pak jalan ini? isinya mall semua.” tukas Umar.

“Nah, betul itu, Anda pernah ke sana?” tanya Bapak Amir.

“Lumayan sering sih pak, paling tidak sebulan sekali. Kebetulan baru saja mendarat dari sana ini, ada meeting berturut-turut selama beberapa hari di Singapur minggu ini.”

“Wah, hebat juga Anda. Kerja atau bisnis?” tanya Bapak Amir penasaran.

“Kebetulan saya bisnis juga pak, yaa masih baru jalan sekitar 3 tahun ini. Kalau orang bilang, masih startup,” jawab Umar.

“Bisnis bidang apa mas? Kok sampai meeting-meeting di Singapur? Ekspor impor?” pak Amir semakin penasaran.

“Bukan Pak. Saya sekarang ini mengelola marketplace digital. Mungkin mirip dengan Mall sih, tapi tidak ada wujud fisiknya sama sekali. Semuanya digital, dan hanya transaksi ya hanya bisa dilakukan di internet. Ada orang yang jual barang disitu, lalu ada yang berminat beli. Nah, bisnis saya ini mempertemukan kedua pihak tersebut. Misal ada orang yang mau jual buku langka karangan Enid Blyton yang ditandatangani penulis langsung — padahal dia tidak punya toko buku; maka orang ini jualan di marketplace saya, dan ketemu oleh peminat yang mau beli.”

Ideation & Building Stage

Gantian kini Umar bercerita panjang lebar tentang marketplace yang dia kelola. Bermula dari meninggalnya Ayah Umar 3 tahun yang lalu yang tidak mewariskan banyak uang, tapi satu ruangan penuh dengan buku-buku koleksi almarhum.

“Saya masih ingat sekali isi surat warisan Ayah saya pak. Ini saya bahkan punya copy digitalnya” ujar Umar, sambil menunjukkan layar tabletnya, setelah beberapa kali klik untuk membuka sebuah file.

Umar, anakku satu-satunya.
Maafkan ayahmu yang tidak bisa meninggalkan warisan berupa harta maupun tanah yang berharga, karena Ayah yakin kamu bisa mendapatkan harta atau membeli tanah sendiri dengan hasil keringat dan otakmu yang encer itu.
Tapi yang Ayah tinggalkan jauh lebih berharga; ilmu pengetahuan dan kebajikan. Jendela-jendela menuju pelosok dunia. Lorong-lorong menuju balik ruang otak para cendekiawan.
Untukmu, Ayah wariskan perpustakaan pribadiku. Didalamnya terdapat ratusan, mungkin ribuan buku-buku pilihan, yang bahkan banyak ditandatangani langsung penulisnya.
Pergunakanlah warisanku ini dengan caramu sendiri, agar kamu bisa menguasai duniamu.

“Setelah pemakaman, 3 hari berikutnya saya habiskan untuk mulai menyortir koleksi buku Ayah saya. Saya masih belum tahu mau diapakan dengan seluruh buku ini. Ya memang sih, ini sumber ilmu pengetahuan dan jendela dunia. tapi setelah saya cek, hampir seluruh bukunya ada dijual di Amazon, dan kalau yang buku-buku lama, sudah ada copy digitalnya di internet dan bisa di unduh gratis. Pusing saya pak, bingung mau diapain.” Umar meneruskan.

“Lalu Anda apakan semua warisan buku-bukunya mas?” Bapak Amir bertanya sambil dia menerawang — dia sendiri belum terpikir tentang warisan yang ingin dia tinggalkan. Terbayang wajah keluarganya; anaknya, Amir, lalu orang-orang yang bakal benar-benar kehilangan kalau dia tidak ada, kemudian tak lupa juga wajah-wajah para pecundang yang dalam hati akan kegirangan kalau dia meninggal.

“Saya jual pak..” Umar menjawab dengan singkat dengan intonasi datar.
“Pertimbangan saya; yang pertama — saya tidak punya kemampuan mengelola perpustakaan. Saya jarang di rumah, dan perpustakaan pribadi Ayah saya adalah ruangan yang paling jarang saya masuki. Dan walaupun hobi saya membaca, tapi saya juga suka bepergian sehingga membawa-bawa buku-buku berat dalam ransel saya sepertinya bukan pilihan bagus.” kata Umar, sambil menunjuk ke tas ransel dia.

“Pertimbangan berikutnya, karena seluruh isi buku yang ada di perpustakaan Ayah, sekarang bisa saya dapatkan di gawai saya. Saya bisa membacanya kapan saja. Jadi buku-buku koleksi Ayah sebenarnya ngga ada gunanya kalau saya pakai sendiri.” Umar menjelaskan.

“Anda jual ke mana itu mas?” Bapak Amir bertanya, setengah penasaran setengah jengah — dia membayangkan kalau suatu hari nanti warisan yang dia berikan ke keluarga tidak dirawat, tapi dijual begitu saja.

“Tadinya saya iklankan di koran, tapi tidak laku. Saya coba tawarkan ke toko-toko buku, malah saya diketawain karena mereka juga mati-matian jualan buku. Trus saya coba tawarkan ke forum-forum online, itu lumayan pak — laku karena ternyata banyak juga kolektor buku yang berminat. Saya waktu itu sudah jual belasan buku koleksi dengan nilai jutaan rupiah. Sampai akhirnya kena kasus buku sudah saya kirim, duitnya ngga sampai ke saya.” ujar Umar.

“Kok bisa? Bukannya kalau jualan gitu nunggu duitnya dikirim dulu baru barangnya dikirim ya?”

“Nggak pak. Orang juga ngga mau metode gitu, makanya ada bisnis namanya rekening bersama atau rekber. Semacam escrow gitu sih kalau istilah bank. Cuman ini ternyata rekbernya bermasalah, pembeli udah transfer ke rekber, saya udah kirim bukunya, eh duitnya ngga ditransfer ke saya.” jelas Umar

“Lho kok gitu? Ngga dilaporin ke polisi?”

“Udah sih. Kasusnya udah rame tuh Pak, coba cari saja di Google tentang kasus itu pak. Udah ketangkep sih, dan mau nyicil mengganti rugi. Tapi ya gitu kan trus ribet ngurusnya, jadi kapok saya pake rekber dan jualan di forum lagi.”

“Trus, dijual kemana?” Bapak Amir mulai sudah mulai hilang jengahnya. Dia mulai memahami isi surat wasiat Bapak Umar — bahwa beliau mempercayakan warisannya untuk dipergunakan sesuai cara Umar sendiri. Jadi tidak ada kewajiban Umar juga buat terus menyimpan buku-buku berharga itu.

Product/Market Fit & Growth Hack

“Saya akhirnya coba bikin situs sendiri pak, khusus buat jualan buku-buku edisi kolektor. Namanya BukuLapuk.com. Semua buku saya foto dan saya kasih resensi singkat, juga saya kasih profil penulis serta link langsung ke penulisnya. Nah, setiap penulis itu saya kontak, mention atau tag di media sosial mereka. Karena deskripsi tentang mereka itu saya bikin unik dan lucu, dan buku yang dijual sudah tidak terbit lagi, maka rata-rata penulis itu akan share di akun mereka sendiri. Jadilah banyak orang yang datang berkunjung, dan akhirnya beli buku di situs saya.” lanjut cerita Umar.

“Bentar-bentar mas, katanya tadi bisnisnya marketplace? Kok ini jualan buku? Bedanya sama buku toko buku online kayak Garukmedia itu apa ya?” potong Bapak Amir.

“Iya pak, tadinya kan emang toko buku lama dan yang saya jual sendiri. Tapi di situ saya juga mengelola forum khusus buat peminat buku-buku antik. Nah, lama-lama ternyata terbentuk forum jual beli barang-barang antik antar sesama anggota. Akhirnya saya fasilitasi untuk memudahkan orang buat jualan barang antik, dan juga memudahkan orang-orang untuk melihat-lihat jualannya, sekalian pembayarannya juga saya urusi Pak. Jadilah BukuLapuk.com itu marketplace khusus buku langka dan barang-barang antik yang pertama,” jelas Umar.

“Kalau yang jualan buku saya sih paham mas. Tapi kalau marketplace itu, dapat untungnya darimana ya? Apa anda mengenakan komisi dari setiap barang yang dijual?” Bapak Amir penasaran bertanya.

Scale

“Nggak pak. Selama 3 tahun terakhir semuanya gratis. Transaksi jual beli kita fasilitasi tanpa bayar sedikitpun. Yang penting jumlah anggotanya semakin banyak, dan terbentuk ekosistem. Kalau dari awal dikenakan komisi, mana ada yang mau jual barang di tempat saya Pak. Dengan cara begini, 3 tahun berdiri kami sudah mencatat terjadi lebih dari 1 juta penjual Pak,” Umar menjelaskan.

“Lho, mana bisa begitu? Pasti kan banyak biaya yang dikeluarkan juga — apalagi dengan 1jt+ anggota, saya yakin butuh banyak SDM untuk mengelolanya kan?” tanya Bapak Amir.

“Sebenarnya beberapa bulan pertama, itu relatif sedikit sekali biaya yang saya keluarkan sih Pak, itu nutup dari biaya penjualan buku-buku Ayah saya. Sampai kemudian total penjual jumlahnya hingga seribuan lebih, saya mulai kewalahan menangani komplain pembeli yang nakal, atau penjual yang rewel. Yang jualan siapa, barangnya dikirim ke mana, komplainnya ke saya. Pusing saya Pak waktu itu..”

“Dan Anda tidak mengenakan komisi sedikitpun? Ngga juga penjual dikenakan biaya perbulan? Lalu bagaimana untungnya?”

“Nah, Pak. Memang jika dibandingkan dengan bisnis konvensional seperti Mall yang Bapak ceritakan ini misalnya — ada beberapa perbedaan, tetapi sebenarnya juga banyak benang merah yang sama juga. Kalau Bapak tadi cerita kalau buat bikin Mall itu butuh investasi besar diawal, untuk membeli tanah dan bangunan dengan arsitektur yang bagus, itu tujuannya buat apa Pak?”

“Lho ya biar orang-orang pada datang dong. Kalau banyak pengunjung, nanti dia kan lihat-lihat barang yang ada di Mall ini, atau datang ke restoran, atau ke coffeeshop kayak kita ini. Orang belanja, nanti pemilik toko dapat untung, dan kita kenakan biaya sewa. Kan jelas tuh bisnisnya, duitnya darimana — ngga kayak bisnis Anda ini..”

Monetization

“Saya jelas tidak berencana membuat yayasan non-profit pak, tapi dengan banyaknya transaksi yang terjadi sekarang, BukuLapuk.com sekarang mendapatkan keuntungan dari orang yang ingin produknya tertampil di depan calon pembeli. Dengan cara ini, penjual memiliki kemungkinan lebih besar produknya laku. Kami menyebutnya sebagai premium user. Mereka ini bisa memilih metode komisinya ke BukuLapuk.com — mau bayar setiap kata kunci yang di cari oleh calon pembeli, atau memberikan komisi setiap produknya laku.”

“Wah, bisa begitu ya? Sekarang berapa transaksi itu tiap bulannya mas? Hmmm.. kalau 1 juta penjual, rata2 jualan 2x barang saja perbulan, berarti udah ada 2 juta transaksi ya tiap-tiap bulannya? Kalau kira-kira harga barang antik pasti lebih dari Rp 200 ribu kan, misal ini rata-rata Rp 250,000 berarti total transaksi sebulannya Rp 500,000 x 1 juta; jadi 500 miliar sebulan mas?”

“Kira-kira segitu bener pak. Lebih dikit sih, tapi angkanya ngga meleset-meleset banget kok.”

“Lalu berapa penjual yang menjadi premium user? Pastinya orang lebih suka barangnya laku, jadi lebih banyak orang yang jadi premium user ya? Separonya lebih gitu?”

“Ngga Pak. Lebih banyak penjual yang masih merasa sayang harus memberikan komisi atau bayar tiap kata kunci. Jadi, cuman 5% saja kira-kira yang jadi premium user. Nah tapi, karena dari 5% ini otomatis bisa jualan lebih laris, maka kira-kira 20% transaksi itu adalah dari premium user yang memberikan komisi ke kita.”

“Jadi ada Rp 100M transaksi yang kasih komisi ya? Itu komisinya berapa persen?” sembari Bapak Amir memakai kacamatanya dan dia mulai membuka situs BukuLapuk.com, langsung klik menuju bagian “FAQ Penjual”.

Walaupun sudah berumur, tetapi untuk masalah teknologi, Bapak Amir tidak pernah mau ketinggalan. Beliau langsung bisa menemukan bagian ketentuan dan syarat menjadi premium user di BukuLapuk.com — dan sejenak kemudian, setelah mulutnya komat-kamit membaca beberapa paragraf yang ada, dia menggebrak meja!

“Gila! 5% komisi, berarti Anda bisa dapat 5M perbulan lebih ya? Berarti lebih besar dari bisnis Mall punya anak saya ini dong!”

Beberapa pengunjung meja sebelah sontak kaget dan menengok ke arah mereka. Umar juga setengah kaget, apalagi Bapak Amir — yang barusan menyadari kalau dia berkata terlalu kencang.

“Eh maaf, maaf..” sambil tangannya membentuk isyarat permintaan maaf kepada orang-orang disekitarnya.

“Tapi beneran Mas, saya ngga ngira kalau bisnis digital atau startup bisa untung sebanyak itu. Pantesan kok saya baca di situs-situs kayak TengsinAsia gitu, ada aja berita pendanaan sampai ratusan juta dolar — itu sebenernya duitnya itu buat apa dan ngapain gitu lho. Lha wong sudah jalan sendiri, berprofit gitu kenapa kok harus ada investor? Mending dikelola sendiri kan Mas..” lanjut Bapak Amir

“Analoginya begini sih pak; tadi kan Bapak cerita tentang Capital Gain dari bisnis properti atau pusat perbelanjaan. Kan naiknya nilai tanah tergantung dari ramainya lokasi tersebut — atau lebih tepatnya lagi, lembaga appraisal resmi yang menilai sebuah properti akan menggunakan referensi dari transaksi jual-beli tanah di dekat lokasi tersebut. Kalau misalnya kita beli tanah di sebuah lokasi dengan harganya Rp 3 juta/m2, tapi tahun depan ternyata tanah di sebelahnya persis nilainya sudah jadi Rp 6 juta/m2, otomatis kan nilai tanah kita kan juga dinilai naik..”

“Iya itu benar, tapi hubungannya apa ya?” Bapak Amir tidak sabar memotong.

“Kalau di startup; ketika terjadi pendanaan, artinya ada saham yang diperjualbelikan. Dana yang masuk ditukar dengan sebagian dari saham perusahaan tersebut. Nah, katakanlah misalnya yang dijual pada saat seed funding adalah 10% saham dan dibeli dengan harga 1 juta dolar, berarti kan nilai keseluruhan perusahaan atau valuasinya adalah 10 juta dolar kan.. Padahal bisa saja awalnya startup itu dibangun dengan modal dengkul dan otak saja.”

“Wah, itu perusahaan Anda dihargai segitu mas?”

“Bukan Pak, ini contoh saja kok..” Umar merendah.

“Lho itu terus uangnya buat apa? Bukannya perusahaannya sudah untung ya?”

“Belum Pak, itu kan dibuat untung baru-baru saja. Tiga tahun pertama kan seperti saya bilang tadi, semua gratis tis buat seluruh pengguna.”

“Maksudnya dibuat untung gimana? Ya kan niatnya memang cari untung kan? Saya kok ngga paham ya..”

Valuation

“Begini pak.. Memang mungkin saja sejak baru ribuan saja anggota, kita sudah bisa memungut komisi atau biaya per bulan. Tapi dengan begitu, pertumbuhan anggotanya pasti melambat. Udah gitu, bisa saja ada orang dengan ide yang sama bisa meniru dan kemudian membuat layanan yang sama persis walau beda nama — dan digratiskan. Kalau begitu kan berarti nyari untung kecepetan sama saja dengan bunuh diri Pak,“ jelas Umar.

“Nah, pendanaan dari Venture Capital itu untuk biaya marketing dan operasional untuk terus menambah lagi jumlah anggota dan transaksi yang ada, sampai pada titik dimana terbentuk ekosistem dimana setiap anggota ini benar-benar membutuhkan BukuLapuk.com sebagai media jualan dan mencari barang mereka. Kalau sudah begitu — baru deh bisa mulai cari duit dari situ.” sambung Umar.

“Kemudian, pada saat pendanaan berikutnya, atau biasa disebut series A, B dan seterusnya, disini founder sudah mulai jual sebagian dari saham ditukar dengan cash. Atau, paling tidak mendapatkan gaji atau bonus yang nilainya signifikan. Ngga ada aturan baku dalam pendanaan, tapi kebanyakan setiap pendanaan itu akan membuat nilai perusahaan naik 10x lipat atau lebih — dimana Founder kehilangan 10–20% tetapi total nilai dari saham yang dia pegang naik berkali-kali lipat,” Umar kembali menjelaskan.

“Hmmm.. jadi sebenernya mirip ya dengan bisnis Mall ya. Kalau bikin Mall kan modal gede dulu buat bikin gedungnya biar orang pada datang, begitu buka langsung ramai — langsung dapet duit. Kalau startup digital; mulai dari kecil dulu, modal gedenya dibutuhkan ketika semakin banyak orang yang datang, biar terus tambah ramai. Sama-sama nilai perusahaannya bertambah kalau pengunjung, pembeli dan penjualnya semakin banyak..,” kata Bapak Amir.

“Nah, bedanya Pak, bisa dikatakan bahwa marketplace kayak BukuLapuk.com punya saya ini, atau saingan saya TukuPidio.com — dulunya ini emang cuma forum tempat orang jual beli DVD film, trus berkembang jadi marketplace juga — itu potensi pertumbuhannya hampir tidak terbatas, atau istilahnya scalable,“ sambung Umar.

“Maksudnya scalable gimana ya?”

“Gini Pak. Misalnya Amir Mall ini, kalau sudah penuh seluruh space-nya, trus gimana? Atau ketika libur panjang dan parkiran di bawah penuh, apa yang bisa dilakukan?”

“Ya sudah memang kapasitasnya segitu. Pasti ada limitasinya lah. Trus misalnya memang sudah full capacity, ya rencananya bikin Mall lagi dong..” jawab Bapak Amir.

“Itu namanya repeatable, tapi ngga scalable. Kalau marketplace digital, tidak ada limitasinya Pak. Saya bisa punya jutaan penjual dan pembeli. Tidak dibatasi oleh besarnya gedung atau lebarnya tempat parkir. Nah kalau idealnya, memang bisnis startup digital itu harus punya 3 sifat — 2 yang tadi itu yaitu scalable dan repeatable, terus satu lagi: profitable.”

“Hmm ya, paham sekarang. Wah sekarang nilai perusahaan dan saham Anda di BukuLapuk sudah jutaan dolar ya mas?” Bapak Amir mengangguk-angguk kagum, sembari memperhatikan Umar yang sudah beberapa kali melirik jam tangannya.

“Baik Pak, senang sekali berkenalan dengan Bapak. Saya harus pergi sekarang tampaknya. Kapan-kapan kita ketemu lagi ya Pak..” Umar pamit kepada Bapak Amir.

“Wah, saya yang harus berterim kasih. Bisa saya minta no telpnya untuk kapan-kapan saya ajak ngobrol lagi?”

Mereka kemudian bertukar nomor telepon, dan Umar berlalu. Bapak Amir kemudian pulang ke rumah, karena dia juga sudah berjanji untuk bertemu anaknya.

Epilog

Ada beberapa tahap yang sebenarnya sama-sama ditempuh pada cerita Amir dan Umar, yaitu Ideation, Building Stage, Product/Market Fit, Growth Hack, dan Monetization. Bedanya, pada bisnis konvensional seperti bikin Mall, tidak ada tahap Scale.

Tidak ada bisnis yang tidak berisiko. Dan tidak semua orang cocok terjun dalam bisnis; baik “bisnis beneran” atau “bisnis startup” (iya, dikasih tanda petik maksudnya nyindir orang-orang yang bikin dikotomi antara keduanya).
Dan tidak pernah ada jalan yang mudah untuk berhasil di bisnis. Realitasnya, hanya sebagian kecil bisnis yang berhasil. Apalagi bisnis startup digital. Contoh cerita sukses diatas ya karena memang yang dipilih yang bagian suksesnya. Yang gagal lebih banyak.

Angkat topi, dan angkat jempol buat seluruh founder startup yang sudah mulai menjalankan bisnisnya. Bagi yang belum dan baru akan — hitung bener-bener segala aspek; dan jangan percaya-percaya banget sama motivator. Ambil yang masuk akal dan logis saja — karena belum tentu yang ngasih nasehat motivasi juga pernah mengalaminya.

Buatlah startup dengan memecahkan masalah yang benar-benar ada.

The real entrepreneur is a problem solver, not a money hunter.

If you already found your problems big enough to be solved, then go, do it, build your startup with everything you got. With all your heart, tears and blood. It’s gonna be worth it. Been there, done that.


Disclosure: Tulisan tamu ini dibuat oleh Andy Fajar Handika dan dipublikasi ulang melalui penyuntingan atas izin penulisnya. Sumber aslinya bisa diakses di sini.

Andy adalah CEO Kulina, situs pesan katering online. Kulina memecahkan masalah makan sehari-hari yang mahal di kota besar karena tingginya harga sewa space bagi restoran, dengan menawarkan langganan katering makan siang terjangkau di Jakarta mulai dari Rp 20.000/porsi.

Indonesia E-commerce Landscape: 6 Poin Utama dari Pertarungan Online di Indonesia

Untuk ‘memenangkan’ sebuah pasar, publikasi online akan berkata define your brand‘, tentukan keunggulan kompetitif brand Anda, pastikan produk Anda cocok dengan pasar, bangun database pelanggan, dan/atau pasarkan ke seluruh dunia. Dan meskipun bisnis Anda harus melakukan semua strategi ini, langkah pertama yang harus dilakukan setiap perusahaan, lama atau baru, adalah mengidentifikasi pemain kunci yang sudah ada di lapangan.

Asia Tenggara telah menjadi hotspot untuk saturasi berkat pertumbuhan yang fantastis – sektor online diperkirakan akan mencapai lebih dari $87 miliar pada tahun 2025 dan banyak pemain global seperti Alibaba and Amazon berebut untuk mendapatkan bagian dari kue ecommerce.

Namun yang pendatang baru sering abaikan atau terlambat mencari tahu ketika memasuki wilayah ini adalah sifat fragmentasinya. Setiap negara memiliki satu set keunggulan dan tantangan yang berbeda.

Bagi setiap pemain yang ingin merebut pangsa pasar Asia Tenggara, kunci untuk membuka potensi ini adalah pengetahuan lokal. Beberapa pemain berbeda hadir di beberapa segmen pasar dan beberapa mendominasi segmen niche tertentu, berharap untuk memecahkan masalah atau menangkap kesempatan yang belum dimanfaatkan, akan tetapi tantangan ecommerce berbeda-beda di setiap perbatasan.

The ECOMScape Series oleh ecommerceIQ bertujuan untuk memberikan Anda gambaran lengkap dari ekosistem ecommerce di masing-masing negara Asia Tenggara dari bisnis yang berjualan, ke spesialis yang menyediakan solusi online untuk mereka, terus hingga ke konsumen akhir. Kami berharap ini akan membantu Anda menavigasi ruang yang sangat kompetitif ini. Mari kita mulai dengan pasar terbesar dan paling menjanjikan di kawasan ini, Indonesia.

Indonesia Ecommerce Landscape: 6 Poin Kunci yang Bisa Diambil dari Kondisi Pasar yang Sedang Berlangsung

Negara ini sedang berada di jalur untuk menjadi salah satu pasar terbesar di Asia dengan potensi untuk menguasai 52% dari seluruh nilai ecommerce di Asia Tenggara pada tahun 2025.

Meskipun valuasi ecommerce yang sebesar $46 miliar menjadikannya pusat perhatian investor dan perusahaan asing dan menarik mereka untuk berdatangan, pemain lokal tidak terintimidasi oleh kehadiran pemain global. Apa lagi yang bisa kita lihat dari ekosistem ecommerce di Indonesia?

1. Pemain lokal mendominasi pasar, terutama di sektor niche

Perusahaan yang dikelola oleh orang Indonesia terlihat bermunculan di setiap sektor ecommerce di Indonesia, terutama C2C, Lifestyle & Travel dan niche yang lebih kecil yang jatuh di bawah kategori ‘Others’. Ini termasuk marketplace seperti Cipika, Qlapa, dan KuKa yang menjual produk lokal dan buatan tangan, serta Limakilo, marketplace yang ditargetkan untuk memfasilitasi petani lokal.

Kategori 'Others' di bawah sektor B2C diisi oleh pemain niche
Kategori ‘Others’ di bawah sektor B2C diisi oleh pemain niche

Beberapa perusahaan lokal seperti  Shoot Your Dream dan AkuLaku juga memahami titik lemah sistem pembayaran di pasar ini dan kemudian memungkinkan pelanggan untuk membeli produk menggunakan angsuran di situs mereka tanpa kartu kredit.

Menargetkan segmen konsumen yang lebih kecil untuk pemain lokal adalah salah satu cara untuk memberdayakan UKM lokal untuk merambah ranah online. Hal ini juga berarti kompetisi yang lebih sedikit karena pemain asing dan besar biasanya akan mencoba bersaing untuk mendapatkan pengguna yang lebih ‘mainstream’ seperti Lazada, Elevenia dan MatahariMall.

Salah satu alasan keberhasilan perusahaan yang dimiliki oleh orang Indonesia adalah karena keakraban mereka dengan tren dan perilaku lokal. Perusahaan-perusahaan ini, seperti Bukalapak, menyesuaikan kampanye marketing untuk mencocokkan dengan preferensi budaya dan mengidentifikasi lebih baik dengan pelanggan.

Kampanye video viral Bukalapak untuk Hari Belanja Online 12-12 tahun lalu, memperlihatkan CEO mereka menciptakan inisiatif marketing buatan rumah dan beranggaran kecil sambil 'meminta maaf' pada eksekutif di mana-mana karena mengganggu dan menurunkan produktivitas karyawan mereka dengan diskon besar yang ditawarkan mereka.
Kampanye video viral Bukalapak untuk Hari Belanja Online 12-12 tahun lalu, memperlihatkan CEO mereka menciptakan inisiatif marketing buatan rumah dan beranggaran kecil sambil ‘meminta maaf’ pada eksekutif di mana-mana karena mengganggu dan menurunkan produktivitas karyawan mereka dengan diskon besar yang ditawarkan mereka.

Di antara 20 situs top di Indonesia yang diambil dari SimilarWeb di bawah kategori ‘Shopping‘ ini, lebih dari setengahnya adalah perusahaan asli Indonesia.

3

Bahkan OLX and iProperty, yang memiliki keuntungan dari sumber daya yang luas dan berada di posisi teratas dari niche mereka seperti yang bisa dilihat di  bagian ‘Classifieds’ dulunya adalah perusahaan lokal yang diakuisisi oleh pemain regional.

2. Brand.com dan munculnya omni-channel

Model ecommerce yang paling populer di Indonesia saat ini adalah marketplace seperti Tokopedia dan Lazada. Bahkan di sektor vertikal seperti Fashion & Apparels, Electronics & Gadgets dan produk Local & Handcrafted, pilihan yang dominan masih marketplace.

Model ini populer karena mengakomodasi tumbuhnya minat UKM dan brand yang ingin membawa bisnis mereka secara online namun kekurangan modal atau tidak mau mengambil risiko melompat online dengan kedua kaki.

4

Namun, dengan semakin dewasanya industri dan brand yang menyadari pentingnya memiliki saluran online, lebih banyak yang kemudian mengadopsi strategi brand.com untuk menjangkau pelanggan secara langsung.

Adidas, HP and Kiehl’s  ini adalah beberapa nama-nama brand besar di bidang mereka masing-masing yang mengakui potensi online. Tidak hanya sebatas brand, peritel offline juga ikut loncat ke kereta ecommerce.

MatahariMall and MAPEmall hanya dua contoh dari peritel dengan modal besar yang baru saja bergabung dengan ruang online dan hal inipun terbayar. MAP, perusahaan induk dari MAPEmall, mengumumkan pertumbuhan laba 78% y.o.y pada bulan Agustus dan menyatakan usaha online mereka sebagai salah satu pendorongnya.

Dengan semakin banyaknya konsumer yang menuntut kenyamanan berbelanja di mana saja dan kapan saja, sangatlah penting bagi para peritel untuk melengkapi jaringan offline mereka dengan strategi online untuk menciptakan pengalaman omni-channel.

3. Sektor B2B perlahan-lahan mendapatkan momentum

B2C bukan satu-satunya sektor yang telah melihat peningkatan adopsi strategi online. Peritel industrial terbesar di Indonesia, Kawan Lama, adalah salah satu pemain awal yang membuat lompatan ke ecommerce di sektor ini.

Perusahaan ini meluncurkan situs shoppable yang memenuhi kedua pelanggan B2B dan B2C mereka, setelah melihat trafik yang tinggi dari konsumen yang mengunjungi katalognya, menunjukkan perubahan perilaku pelanggan. Peritel besar lainnya yang mengikuti strategi ini adalah Electronic City.

5

Namun, meskipun adanya dorongan untuk B2B ecommerce di Indonesia dengan pembentukan Indonetwork, sebuah direktori online dan pasar bagi UKM yang melayani B2B dan B2C, pemain di sektor ini masih sangat langka. Bizzy dan Mbiz adalah satu-satunya marketplace B2B signifikan yang diluncurkan setahun belakangan.

6

4. Riset pasar sangat dibutuhkan

Karena masih barunya kehadiran ecommerce di Asia Tenggara, hanya ada segelintir sumber daya yang ada untuk membantu bisnis membuat keputusan. Bahkan perusahaan riset termuka seperti Nielsen mengalami kesulitan memperoleh data pasar cukup untuk membuat laporan yang komprehensif.

7

Kurangnya pengetahuan dan wawasan mempengaruhi pertumbuhan ecommerce karena eksekutif dipaksa untuk membuat keputusan strategis berdasarkan insting mereka sehingga mengakibatkan para brand konservatif menjadi ragu untuk going online.

ecommerceIQ bertujuan untuk menjembatani kesenjangan pengetahuan di Asia Tenggara dengan menyediakan riset pasar untuk eksekutif dalam bentuk puncak, laporan, wawasan dan data.

5. Hadirnya lebih banyak pilihan pembayaran untuk menjangkau populasi unbanked

Dengan lebih dari separuh penduduk di Indonesia masih tidak memiliki rekening bank dan penetrasi kartu kredit yang hanya 1.4%, pembayaran menjadi salah satu hambatan terbesar untuk pertumbuhan ecommerce di negara ini.

Perusahaan telko di Indonesia adalah salah satu kontributor kunci yang membantu membangun ekosistem ecommerce dengan meluncurkan mobile wallet versi mereka sendiri, metode pembayaran yang populer. Hal ini tidak mengherankan, mengingat bahwa setiap perusahaan telko memiliki website ecommerce mereka sendiri.

Salah satu Payment Gateway yang populer adalah Adyen, sebuah sistem pembayaran unicorn yang digunakan oleh Uber dan yang terbaru, Grab dan aCommerce. Payment Gateway ini menawarkan pilihan secara offline dan online yang dipercaya oleh pengguna lokal, seperti transfer via ATM.

6. Diversifikasi jasa pengiriman

Infrastruktur sering diakui sebagai salah satu hambatan utama bagi ecommerce di kawasan ini, terutama Indonesia di mana kurangnya transportasi umum, rumitnya kondisi geografis kepulauan dan kurang berkembangnya jalanan menimbulkan masalah serius.

Aplikasi pemesanan kendaraan pun memperluas penawaran mereka sampai ke layanan kurir untuk memenuhi permintaan yang terus berkembang. Gojek, misalnya, sebuah startup transportasi tradisional telah menjadi metode pengiriman pilihan yang dipilih oleh para pedagang C2C dan pembelinya karena menawarkan jasa pengiriman di hari yang sama dan memiliki sistem pelacakan dengan harga yang terjangkau.

8

Kategori pemain third-party logistic (3PL) atau logistik pihak ketiga juga sangat jenuh di Indonesia. Brand disediakan begitu banyak pilihan sehingga menjadi tugas yang memakan waktu untuk menemukan satu yang sesuai dengan kebutuhan bisnis dan konsumen mereka. Teknologi multi-shipping dari aCommerce atau Alibaba ‘Cainiao’ bertujuan untuk menghemat waktu dengan menggabungkan pilihan terbaik berdasarkan harga dan tujuan.

Potensi ecommerce di Indonesia telah menggoda banyak pemain, baik asing maupun lokal, untuk memasuki pasar ini. Namun, masih jauh perjalanannya sebelum pemenang yang jelas muncul dari medan perang ini.


Disclosure: Tulisan ini diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Tips Manajemen Stres dari Para CEO

Stres merupakan hal yang wajar yang sering dialami manusia ketika sedang bekerja. Tinggi rendahnya tingkatan stres bisa dipengaruhi beberapa hal, seperti jumlah pekerjaan, lingkungan kerja dan hal-hal lain. Tingkat stres yang tinggi dapat berpengaruh terhadap kinerja kita sebagai pekerja di kantor. Stres yang tinggi akan cendrung membuat kita tidak tidak bersemangat, bingung apa yang harus dilakukan dan mengakibatkan hal-hal negatif lainnya.

Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi faktor-faktor umum penyebab stres:

1. Pekerjaan yang Banyak

99,99% pekerja pasti setuju bahwa beban kerja yang terlalu banyak dan berat akan membuat mereka mengalami stress di tempat kerja. Banyaknya beban pekerjaan yang dipikul akan membuat kita menggunakan seluruh kapasitas tenaga fisik dan juga pikiran yang dimiliki sehingga akan menyebabkan efek lelah

2. Lingkungan dan Rekan Kerja yang Tidak Produktif

Beberapa hal yang membuat seseorang betah di tempat kerja adalah lingkungan kantor dan juga rekan kerja termasuk para atasannya. Jika kita bekerja di lingkungan yang tidak kita sukai, dikelilingi dengan rekan kerja yang pemalas dan para atasan yang tidak supportive. Hal-hal ini akan meningkatkan tingkat stress kita di kantor.

3. Faktor Pribadi

Selain penyebab-penyebab eksternal atau yang berasal dari luar, terkadang stress juga disebabkan dari diri sendiri atau bisa disebut juga faktor internal. Permasalahan pribadi dengan pasangan, permasalahan keluarga, masalah finansial dan masalah-masalah pribadi lain yang tak jarang ikut mempengaruhi performa di tempat kerja.

Menjadi seorang CEO atau pemimpin di suatu perusahaan merupakan tantangan yang besar bagi seseorang, karena seorang CEO merupakan nahkoda yang menentukan kearah mana perusahaan akan berlayar. Ia bertanggung jawab terhadap kinerja tim secara keseluruhan. CEO-lah yang menjadi sorotan publik ketika terjadi permasalahan di perusahaan tersebut. Tingkat stres CEO dapat dipastikan tinggi. Yang membuat para CEO hebat adalah kemampuan mereka untuk mengatasi stres mereka.

Berikut ini adalah beberapa tips manajemen stres dari para CEO yang bisa kita pelajari bersama.

1. Keep it Simple ala Co-Founder Apple Steve Jobs

Co-Founder Apple Steve Jobs
Co-Founder Apple Steve Jobs

Siapa yang tidak tahu Steve Jobs? Orang yang paling berjasa di dunia Apple. Kerja keras dan kreativitasnya membuat Apple kini menjadi perusahaan raksasa di dunia. Menjadi Co-Founder dan CEO sekaligus pasti membuat seseorang merasa stress akibat banyaknya pekerjaan dan masalah yang harus diselesaikan. Untuk mengatasinya, Steve Jobs menggunakan prinsip “Keep it Simple”. Maksudnya, ketika ia merasa stres karena pekerjaan, ia akan berusaha untuk tenang dan tidak gegabah.

Steve Jobs juga tidak suka membesar-besarkan suatu masalah, sehingga setiap masalah yang datang dan menyebabkan dirinya semakin stres akan ia atasi dengan cara menganggap masalah tersebut kecil dan mudah diatasi. Pola pikir seperti ini yang akhirnya membuat masalah tersebut benar-benar terasa ringan dan bisa ia hadapi. Untuk mendapat ketenangan, meditasi dan yoga adalah cara yang terbaik.

2. Hilangkan Rasa Takut ala Founder dan CEO Tesla Elon Musk

Pendiri Tesla Elon Musk
Pendiri Tesla Elon Musk

Stres dan rasa takut merupakan satu paket yang tidak terpisahkan. Disadari atau tidak, rasa takut yang ada di diri kita akan semakin liar dan menjadi-jadi jika kita terus memikirkan sesuatu yang menakutkan tersebut. Beberapa di antara kita kerap kali menakutkan hal-hal buruk yang belum terjadi. Nah, itu dia yang akhirnya membuat kita semakin stres dan tidak bisa mengontrol rasa stres kita. Elon Musk menyarankan kita untuk menghilangkan rasa takut tersebut agar Anda bisa mengambil keputusan dengan jernih juga mengerjakan pekerjaan dengan lebih fokus.

3. Jangan Berhenti Apapun yang Terjadi ala CEO Krux Digital Inc Tom Chaves

CEO Krux Digital Tom Chavez
CEO Krux Digital Tom Chavez

Saran selanjutnya datang dari Tom Chaves, CEO Krux Digital Inc. Saat kamu berada di tengah-tengah pekerjaan yang menggunung dan beban kerja lainnya sampai kamu merasa stres, pastinya kamu ingin bersembunyi dan menghilangkan diri dari kantor. Daripada menghindar, lebih baik kita bisa mengikuti saran Tom Chaves, seorang CEO yang sangat gentleman karena dia memiliki prinsip apapun yang terjadi harus dihadapi dan jangan lari. Meskipun terdengar gila tapi itulah kenyataan yang kamu hadapi dan kamu harus terus selesaikan pekerjaan atau masalah tersebut satu persatu.

4. Berolahraga ala CEO iPrice Group David Chmelar

CEO iPrice David Chmelar
CEO iPrice David Chmelar

Kalau kamu sudah cukup tidur, cukup makan, cukup keras bekerja tetapi masih belum bisa mengatasi rasa stres tersebut sekarang saatnya kamu untuk berolahraga. CEO iPrice Group, sebuah layanan e-commerce yang tersebar di 7 negara, David Chmelar, selalu berolahraga saat ia merasa stres. Pergi ke gym atau jogging di taman kota adalah alternatif paling sederhana yang ia lakukan untuk berolahraga. Saat berolahraga itulah ia akan merasa kembali bersemangat, lebih segar, dan siap menghadapi segudang pekerjaan yang menantinya di kantor.


Disclosure: Tulisan tamu ini dibuat oleh Santika Juliawati. Ia bisa dikontak melalui LinkedIn.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan iPrice Group

The Push Evolution

Mobile phones have become the medium of choice for users to access information and buy products. Though many leading apps have garnered millions of installs worldwide, retaining users remains the key challenge in determining success. In order to survive, mobile apps must combat churn by meeting the consumer’s ever-changing expectations.

The average mobile user has begun to expect more personalized interactions with brands. This is at the crux of enhanced user engagement and retention rates, and marketers have been exploring various methods to engage and re-engage their app users. Among these, push notifications have proven to be the most powerful, owing to their ability to reach users and their (now) non-intrusive nature as compared with other channels.

Push notifications have gone through several phases of evolution in terms of content format, trigger points, and personalization scale. Each of the four major phases of evolution of the famed push notification has its pros and cons in features, some of which have been completely phased out.

If you are a beginner than learn more about push notifications and browser push notifications here.

Static push

The static push was fairly primitive, rather like the primate phase of human evolution. It couldn’t stand on its own two feet, but provided a great launching point for future evolution. An app marketer would send a push message — such as “20% off on shades this summer” — to all app users at a particular time of a day. This message sent to the entire user-base was generic, time-based, and completely un-personalized. CTR of such notifications used to be a meagre 1% or less, meaning users mostly ignored static push messages.

Segment level personalized push – text format

The next step in the evolution of push was the neanderthal stage. In this phase, user data was integrated to add the “fire” that push notifications needed. Information about app users began to play a critical role in the marketers’ efforts to understand user behavior and customize messaging. Users were segmented based on distinct personas that reflected their in-app behavior. Messaging was then customized for each segment, and an in-app event was defined as the trigger point, such as a product page view, drop off from cart, etc. CTR levels climbed a bit to about 3%, owing to a relatively greater level of customization. The fire created by user data and persona targeting reinvigorated customers looking for engagement.

User level personalized push – with product image

The next stage of evolution brings us to the upright-human equivalent of the push notification, capable of using various tools such as segmentation, which was a level deeper in personalization. Push messaging wasn’t customized to entire segments of user personas any more; instead, it was customized to each individual user. Another significant development on the content front was that, along with text, images could also be included in the push — such as of the product last viewed by each particular user. This product banner would be deep-linked to the product view in the app, and helped marketers connect with more users. CTR thus went up to an average of 8%.

Multiproduct push carousel

The latest iteration of push is likened to modern man, fully capable of accomplishing everything its predecessors could, but adding the ability to anticipate. This is the multi-product carousel. It allows push messages to feature not only the user’s last visited product, but five other recommended products as well. The push is more dynamic, as the user can scroll through the products within the push itself. Machine learning algorithms help marketers determine which five products to recommend based upon a number of parameters. At Vizury, we’ve observed incredible initial results from the multi-product push notifications sent out of our Mobile Marketing Platform, generating up to 30% CTR.

While it’s tough the say what will come next, it is clear that the mobile app is here to stay. And because of its adaptability, push is one of most compelling engagement tools. Mobile marketing automation platforms are helping app marketers make sense of user data and personalize push for better engagement and eventual transactions. There is detailed guide on rich media push notification here.

There is more to push notifications in this year with browser push notifications.

Push notification function has evolved and now it's more important than ever / Vizury
Push notification function has evolved and now it’s more important than ever / Vizury


Disclosure: This guest post written by Chetan Kulkarni. Chetan is the Co-founder and CEO at Vizury, a growth marketing technology company. He co-founded Vizury in 2008 after realising the opportunity to bring together the power of data, technology and marketing.

He holds an MBA from the Indian Institute of Management Lucknow, India and a Bachelors of Engineering in Computer Science from National Institute of Technology, Surathkal, India.

Control Your Emotion

Time to time in the reality of life, we have to face with a situation that will evoke our emotional feelings, either be it frustration, sadness, anger, fear, happiness, pity or even love.

As humans, we are all born with emotional functions. Our hormones inside our body play a big role to create our mood, for an example when we are in the state of hunger, the Serotonin hormone is produced in our body, and this is usually the usual suspect that makes us grumpy. Interesting!

Having emotional feelings are part and parcel of being human beings. However if we follow our emotional intuition too much, rather than our logical sense, could put us humans in a dangerous position.

In business, there is a saying “Don’t take it personal, its only business”. The reason many people use this statement is because people mistakenly mix emotional feelings when doing business. At most times, business and logic sense is more required than emotional sense, to be more successful. For example, when one of your best friend or immediate family member is in a desperate moment in their business, they then propose us to partner in a project which may not have equal benefits, between them and us.

What would you do in that moment?

Do we have to accept the terms merely because we feel bad when we reject their proposal, or do we accept it because we feel pity to them due to knowing their desperate situation? Or we accept the project because we want to help them.

This is the moment where we separate ourselves as a business person or a friend. As a Good friend or family member, we can give our time to listen and give an equal chance to present their business project proposal. When we start helping without emotional sense, we can advise our friends and family members to revise their proposed project towards a win-win situation for both parties. However, we should turn down the offer if they insist to be one-sided. Is this being cold hearted? Don’t think so, as long as we put emotions aside.

Imagine if you accept the project because you feel bad or pity about him, you may help him/her just for the short term, however we will not teach our friend or family member to be better or to have a sustainable business and life.

Overconfidence is a powerful source of illusions, primarily determined by the quality and coherence of the story that you can construct, not by its validity. If people can construct a simple and coherent story, they will feel confident regardless of how well grounded it is in reality.

Control your emotion is one specific topic discussed in Thinkfresh book / Thinkfresh
Control your emotion is one specific topic discussed in Thinkfresh book / Thinkfresh


Disclosure: This guest post is written by Danny Oei Wirianto, GDP Venture’s CMO and Thinkfresh’s author.

DailySocial supports Thinkfresh book that will be officially published on September 27, 2016

About Thinkfresh book:

Daily inspiration and reminder for readers about what is important in life & career, and give a self-assurance toward themselves. Simple and easy to understand writing. And also full of wonderful illustrations!

http://thinkfresh.id

Runtuhnya Era Retailer Tradisional

Kuartal lalu, Amazon baru saja membukukan kinerja terbaiknya yang tercatat menghasilkan $29,1 miliar, menandakan pertumbuhan year-on-year sebesar 28%, lebih besar dari proyeksi sebelumnya yaitu $27,99 miliar. Hasil ini menandakan kuartal keempat Amazon berhasil menghasilkan profit secara berturut-turut dan memberikan penghasilan bersih tertinggi di sejarah perusahaan tersebut sebesar $513 juta.

Hasilnya? Harga saham Amazon menembus rekor dengan harga $767,74 per lembar. Selama dua tahun terakhir, saham Amazon berhasil naik lebih dari dua kali lipat, sementara retailer tradisional seperti Macy mengalami stagnansi atau bahkan penurunan. Dan ini hanyalah awal dari keberhasilan Amazon dan runtuhnya model ritel tradisional.

Mengapa ada yang ingin berinvestasi di saham Amazon pada harga yang sedang mahal-mahalnya? Sederhana. Dominasi Amazon dan nilai sahamnya hanya akan terus meningkat dengan adanya pergeseran dari ritel offline menuju e-commerce dalam skala global. Penetrasi e-commerce di Amerika Serikat sendiri saat ini “hanya” 7,7%. Bayangkan berapa kenaikan harga saham Amazon jika jumlah ini menginjak 50%?

Performa saham Amazon selama 10 tahun terakhir dibanding sejumlah retailer besar
Performa saham Amazon selama 10 tahun terakhir dibanding sejumlah retailer besar. Investasi sebesar $1000 di saham Amazon tahun 2006 akan dihargai $26.993 saat ini (tidak disesuaikan dengan inflasi [Google Finance]

Metrik jangka-pendek tradisional menghambat visi strategis jangka panjang bagi retailer tradisional

Ketika berbicara dengan para peritel tradisional di Asia Tenggara tentang melakukan e-commerce, pertanyaan yang selalu muncul adalah “Berapa Biaya Penjualan (Cost of Sales, CoS) untuk berinvestasi dan mengembangkan bisnis e-commerce saya?” Dalam e-commerce dan ruang teknologi, banyak dari kita yang sudah akrab dengan menggunakan metrik seperti biaya akuisisi pelanggan (customer acquisition cost, CAC), nilai pelanggan seumur hidup (customer lifetime value, CLV), dan laba atas investasi (returns of investment, ROI).

Namun, metrik yang paling umum bagi pelaku ritel offline adalah biaya penjualan yang merupakan investasi marketing dibagi dengan pendapatan. Ini adalah persentase dari penghasilan peritel tradisional yang dialokasikan untuk biaya marketing dalam anggaran tahunan mereka.

CoS untuk pengecer tradisional biasanya sekitar 5%, didorong oleh trafik warisan offline dan brand awareness. Bagi e-commerce, terutama untuk beberapa tahun pertama dan tergantung pada seberapa agresif bisnis mengakuisisi pelanggan untuk merebut pangsa pasar, jumlah ini bisa berada di antara 50-150%. Jelas, angka ini jauh lebih tinggi dari yang para peritel tradisional biasa keluarkan dan, sebagai hasilnya, merupakan alasan utama para pelaku bisnis offline batal pindah ke e-commerce.

Untungnya, CoS turun ketika jumlah SKU online mengalami kenaikan online, menghasilkan trafik online yang lebih banyak, ukuran keranjang belanja yang lebih besar, dan pembelian berulang lebih sering. Dalam jangka panjang, saat bisnis ecommerce bisa membangun database pelanggan mereka dan menemukan beberapa cara untuk memonetisasinya (lebih lanjut tentang ini nanti), CoS akan menurun dan berpotensi menjadi sebanding dengan nilai pada channel ritel offline. Data internal aCommerce menunjukkan contoh retailer online multi-kategori di Thailand memulai dengan sekitar 25% CoS dan kemudian turun ke 5-10% pada akhir tahun pertama dan 5-8% pada akhir tahun kedua.

Sayangnya, sebagian besar peritel tradisional di Asia Tenggara gagal untuk mengadopsi visi jangka panjang dan tidak pernah membuat lompatan awal ke ecommerce. Kurangnya bakat di wilayah ini juga memperburuk masalah karena banyaknya pengecer yang tidak punya pilihan selain untuk menempatkan orang ritel offline ke posisi ecommerce yang pola pikirnya tidak lebih dari musim liburan selanjutnya.

Di tahun pertama, Cost of Sales melonjak, tapi kemudian stabil di kisaran 15% saat mencapai akhir tahun kedua [Sumber: data internal aCommerce, Mei 2015]
Di tahun pertama, Cost of Sales melonjak, tapi kemudian stabil di kisaran 15% saat mencapai akhir tahun kedua [Sumber: data internal aCommerce, Mei 2015]

Mengontrol last-mile: Bukan tentang siapa yang menjual produk fisik lebih banyak, namun siapa yang memiliki pelanggan

Pengecer tradisional sering melihat ecommerce hanya sebagai cabang toko lainnya, hanya saja secara online. Pola pikir ini yang mencegah mereka melihat skema besar yang ada di dunia online.

Unilever tidak mengakuisisi Dollar Shave Club (DSC) sebesar $1 miliar untuk pisau cukur yang lebih baik, mereka membeli hubungan langsung yang dimiliki DSC dengan lebih dari tiga juta anggota (didominasi laki-laki) dan potensi untuk menjual kepada mereka produk dan jasa yang berkaitan. Daripada pergi melalui pengecer seperti Walmart, Unilever sekarang bisa menghampiri konsumen secara langsung dengan segala manfaatnya termasuk margin yang lebih tinggi dan wawasan pelanggan yang lebih dalam.

Alibaba tidak membeli Lazada sebagai saluran distribusi untuk produk buatan Cina, mereka membeli hubungan langsung dengan pelanggan dan kekuatan distribusi untuk membawa produk dengan margin yang lebih tinggi dan jasa lainnya seperti pembayaran dan asuransi.

Hanya masalah waktu sebelum Jack Ma membawa kuda trojannya dalam bentuk Ant Finance dan semua produk terkait seperti Alipay (platform pembayaran pihak-ketiga) dan Yu’e Bao (dana bersama online) ke Asia Tenggara. Sepak terjang Alibaba ke dalam asuransi melalui Zhongan dan kerjasama dengan AXA yang baru-baru ini diumumkan menunjukkan masa depan di mana Alibaba bisa meningkatkan pendapatan rata-rata per pengguna melalui menjual produk non-fisik secara online.

Xiaomi sebenernya hampir sama saja dengan memberikan smartphonenya secara gratis dengan menjualnya dengan harga yang sangat murah dan margin yang sangat tipis. Tujuan mereka adalah untuk mengumpulkan basis pengguna yang besar dan memonetisasikannya melalui penjualan produk mereka yang lainnya, mainan mewah, perangkat lunak, serta online dan mobile advertising. Dengan lebih dari 170 juta pengguna pada tahun 2016, Xiaomi memiliki pengguna lebih dari Snapchat (70+ juta) dan hampir menyusul LINE (220 juta).

Peritel internet murni akan membawa permainan mereka ke para peritel tradisional offline

Para peritel tradisional masih percaya bahwa mereka memiliki satu keuntungan yang unik lebih dari para pemain online: toko fisik mereka. Semua hype dan buzz tentang ritel omnichannel menjadi secercah harapan bagi para pemain seperti Macy’s dan Walmart. Bahkan saat Macy’s menutup toko fisiknya, mereka tetap berusaha menunjukkan permainan omnichannelnya dengan mengubah toko-toko yang masih hidup sebagai ruang pameran tempat fulfillment-center mini bagi in-store pickup untuk pesanan online.

Saat ini, perusahaan tidak lagi memisahkan penjualan online dalam pelaporan kepada investor, dengan alasan garisnya telah menjadi kabur antara website dan toko fisik. Walmart, setelah melewatkan perahu ecommerce, telah meningkatkan dua kali lipat usaha omnichannelnya, memperluas layanan beli online dan pick up di toko’ menjadi sekitar 30 pasar di AS.

Sayangnya, bahkan keuntungan tersebut perlahan terkikis oleh para pemain online yang secara cekatan bergerak ke offline, bukan untuk distribusi tetapi lebih sebagai perpanjangan dari merek online mereka.

“Dengan membuka toko fisik, brand meningkatkan kesadaran konsumen dan kemudian trafik situsnya. Para disruptor ini melihat internet sebagai cara untuk membangun bukti dari sebuah konsep dan akses ke modal murah sebelum kemudian melompat ke ritel ” – L2 Inc.

Warby Parker memiliki 12 lokasi ritel di seluruh AS dengan rencana untuk membuka tujuh lainnya. Hal yang sama berlaku untuk Birchbox, penyedia subskripsi online peritel kecantikan yang memiliki toko utama di SoHo, New York dan berencana untuk membuka setidaknya dua lainnya pada akhir 2016. Bahkan Amazon meluncurkan toko fisik pertamanya di Seattle pada akhir tahun 2015 dan toko kedua direncanakan akan dibangun di Southern California.

Bertentangan dengan strategi merchandise ritel tradisional, toko-toko ini biasanya berfokus untuk menampilkan sebanyak mungkin variasi produk mereka, termasuk SKU “long tail” mereka. Tujuannya bukan untuk menjual di toko; namun agar para pelanggan dapat merasakan brand dan produknya sehingga meningkatkan kemungkinan mereka untuk membeli online.

“Toko-toko ini membawa sedikit persediaan fisik dan dirancang untuk membantu pelanggan mencari ukuran yang ideal dan cocok untuk mereka. Pendekatan ini merupakan gema dari website mereka, memberikan setiap satu item kesempatan sendiri untuk bersinar” -Erin Ersenkal, Chief Revenue Officer Bonobos.com

Tidak sulit untuk membayangkan Alibaba dan Lazada membuka toko offline di seluruh Asia Tenggara sebagai channel marketing dan branding mereka. Dengan kurangnya saluran akuisisi pelanggan secara online dan offline dan meningkatkan biaya per klik di pasar negara berkembang di Asia Tenggara seperti Thailand, Indonesia, dan Vietnam, memiliki saluran eksklusif sendiri memberikan keunggulan kompetitif yang kuat lebih dari peritel tradisional maupun pemain online lainnya.

Pemain online yang mendirikan toko offline cenderung lebih sukses dibanding yang sebaliknya
Pemain online yang mendirikan toko offline cenderung lebih sukses dibanding yang sebaliknya [L2]

Peran e-commerce bagi pengecer tradisional

Pengecer offline tradisional tersisa dengan dua pilihan jika berbicara tentang adopsi ecommerce:

1. Ecommerce sebagai cabang toko lainnya
Perlakukan toko online seperti toko fisik lainnya dan ukur performanya dengan metrik penjualan yang sama (contoh: 5%), atau dalam istilah Jack Ma, “Ecommerce sebagai makanan penutup, bukan hidangan utama.” Jangan berharap pertumbuhan yang memuaskan dengan pendekatan ini karena metrik jangka pendek tidak bisa dibandingkan dengan investasi awal yang besar di awal. Ancaman jangka panjang di sini adalah bahwa brand yang dijual oleh peritel akan keluar dan pergi langsung ke konsumen untuk mendapatkan margin yang lebih tinggi, data pelanggan, dan transparansi. Langkah Unilever untuk membeli Dollar Shaving Club contohnya, dan pisau cukur hanya awalnya.

2. Ecommerce sebagai saluran untuk memiliki pelanggan
Gunakan ecommerce sebagai sebuah saluran yang scalable dan hemat biaya dalam jangka panjang untuk mendapatkan dan memiliki hubungan langsung dengan pelanggan sendiri. Kemudian, gunakan hubungan ini untuk menjual lebih banyak produk, baik fisik dan non-fisik, terutama produk ber-margin tinggi seperti jasa keuangan (asuransi, pinjaman) dan iklan. Dengan memiliki lebih banyak pelanggan, pengecer meningkatkan daya tawar brand mereka vis-à-vis yang semakin banyak mengambil pilihan untuk memotong pengecer dan pergi langsung.

Tidak semua pengecer di Asia Tenggara menggunakan e-commerce hanya sebagai sebuah cabang toko lain pada umumnya. MatahariMall milik Lippo Group adalah salah satu contohnya. Dengan dukungan yang kuat dan pandangan jangka panjang dari John Riady, pewaris kerajaan Lippo, MatahariMall.com dengan cepat menjadi pesaing nomor satu Lazada di Indonesia. Tidak saja bergerak di ritel, MatahariMall juga akan memberikan jasa pembayaran dan keuangan melalui kemitraan dengan Grab. Di Thailand, Central Group adalah meningkatkan permainan ecommerce dengan mengakuisisi Zalora Thailand dan Vietnam, dan Cdiscount Vietnam.

Ini adalah bukti bahwa untuk bertahan hidup, pengecer offline tradisional seperti Matahari, Central Group, atau The Mall Grup butuh secara sukses menemukan kembali diri mereka untuk mengantisipasi kedatangan para pemain internet lainnya seperti Lazada yang pindah ke wilayah mereka.

Peritel tradisional juga perlu khawatir tentang brand online yang bisa saja keluar dari rangkaiannya dan mengadopsi model langsung ke konsumen mereka, seperti yang sudah terlihat pada Nike. Namun, taruhan terbaik adalah bagi para peritel pintar yang bisa membangun ekosistem mereka sendiri, hubungan pelanggan sendiri (misalnya asuransi, iklan, jasa) yang sebagian besar semakin digital dan memonetisasinya melalui banyak cara serta tidak lagi menjajakan produk dengan margin yang rendah. Kemudian, dan hanya kemudianlah, baru para peritel tradisional sebagai distributor bisa bertahan dari disintermediasi yang dibawa kepada mereka berkat teknologi.

Jangan sampai bisnis Anda bernasib seperti Circuit City
Jangan sampai bisnis Anda bernasib seperti Circuit City


Disclosure: Tulisan ini dibuat oleh Sheji Ho dan disadur oleh Rara Kinasih setelah melalui penyuntingan. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.