Pekan 1 Big League IGL 2019, Dominasi SFI Kenny “Rainesual” Melawan Freaks Bryan

Akhir pekan kemarin (12 Mei 2019) menjadi pertandingan perdana Big League Indonesia Gaming League 2019. Mempertandingkan pemain FIFA 19 FUT dari segala penjuru Indonesia, 24 pemain yang sudah lolos dibagi menjadi dua grup, Big East dan Big West. Menariknya, walau drawing bersifat acak, namun pembagian dua grup seakan seperti sudah direncanakan.

Grup Big East menjadi grup neraka yang berisikan para pemain-pemain FIFA 19 FUT kelas kakap. Pada grup tersebut Anda bisa melihat nama-nama seperti Kenny “Rainesual” Prasetyo dari tim SFI, Ega “Eggsy” dari tim RRQ, Icanbutsky dari PG.Barracx, dan beberapa pemain jagoan lainnya.

Sementara grup Big West banyak berisikan pemain-pemain underdog. Beberapa nama di antaranya adalah gerombolan komunitas Sukabumi seperti Rakel Ramadhan dan Arlan Paranti. Tetapi terselip juga nama besar seperti Raja Pugu, yang mungkin akan jadi batu sandungan besar terhadap para pemain underdog tersebut.

 

Dari match yang dijalankan pada akhir pekan kemarin, dua yang menarik untuk disimak adalah pertandingan antara Kenny SFI vs Freaks Bryan pada grup Big East, dan Raja Pugu vs DMC Andri pada grup Big West. Pertandingan antara Kenny SFI melawan Freaks Bryan jadi menarik karena seperti bertemu mantan, Kenny harus melawan tim yang pernah menaungi dirinya, yaitu Freaks.

Pertarungan antara Kenny melawan Bryan terbilang cukup berat sebelah karena dominasi yang ditunjukkan oleh Kenny. Oper-operan yang apik ditambah skill mengendalikan bola yang baik dari Kenny berhasil bikin Bryan kewalahan. Akhirnya setelah pertandingan Home-Away total gol 5-1 didapatkan dengan skor leg 1 adalah 3-0 untuk Kenny, skor leg 2 adalah 2-1 untuk Kenny.

Terkait pertandingan pekan pertama IGL 2019, Kenny sedikit bercerita soal pengalamannya melawan Freaks Bryan. “Saat leg 1 aku menang dengan cukup meyakinkan dengan skor 3-0. Penyebabnya adalah karena aku bisa cetak gol di awal-awal, sehingga aku bisa pegang kendali match.” Jawab Kenny.

“Masuk leg 2, Bryan ternyata mengubah taktiknya. Dia main high pressure yang berhasil membuat aku jadi kewalahan walaupun unggul 2-0. Dia sempat cetak gol dan membuat skor jadi 2-1, tapi sayangnya nggak sempat membalas, dan skor tersebut bertahan sampai akhir”. Kenny menceritakan soal leg 2 saat melawan Freaks Bryan.

Sumber: SFI Esports
Sumber: SFI Esports

“Aku merasa sudah bermain dengan baik, tapi masih ada peluang yang belum bisa aku maksimalkan. Itu adalah PR buat aku untuk berlatih lagi. Kenapa? Kalau kita nggak bisa memaksimalkan peluang, bisa jadi hasil akhir pertandingan malah tak seperti yang diharapkan”. Kenny bercerita sambil refleksi diri atas pertandingannya melawan Freaks Bryan pada pekan 1 IGL.

Pertandingan Indonesia Gaming League 2019 akan berlanjut lagi pada pekan ini, tepatnya hari Jumat, 17 Mei 2019, pukul 20:30. Pertandingan semakin panas pada pekan ini, dengan kehadiran pertandingan-pertandingan seperti PG.Barracx Icanbutsky melawan Abdul Rozak pada grup Big East, ataupun Rakel Ramadhan melawan Raja Pugu di grup Big West.

Anda bisa subscribe kanal Youtube Indonesia Gaming League untuk lanjutan pertandingan IGL 2019!

16 Tim Rainbow Six: Siege Terbaik Dunia Akan Bertanding di Turnamen Raleigh Major

Turnamen Major tahunan Rainbow Six: Siege untuk tahun 2019 segera digelar! Setelah sukses dengan Six Major 2018 di kota Paris, kali ini Ubisoft akan memboyong Six Major 2019 ke kota Raleigh, North Carolina, Amerika Serikat. Terdapat 16 tim yang akan bertanding dalam Raleigh Major, ditarik dari jalur kualifikasi, undangan, dan wilayah kompetisi berbeda-beda. Mereka terdiri atas tim-tim berikut.

  • 1 juara Six Invitational 2019: G2 Esports (EU)
  • 8 finalis Pro League Season IX:
    • Evil Geniuses (NA)
    • DarkZero (NA)
    • Team Empire (EU)
    • LeStream Esport (EU)
    • FaZe Clan (LATAM)
    • Immortals (LATAM)
    • Fnatic (APAC)
    • Nora-Rengo (APAC)
  • 4 tim hasil Open Qualifier:
    • Amerika Utara
    • Eropa
    • Amerika Latin
    • Asia-Pasifik
  • 1 juara Allied Esports Vegas Minor
  • 1 juara DreamHack Valencia
  • 1 tim undangan dari negara tuan rumah

Dibandingkan dengan Paris Major tahun lalu Raleigh Major ini mengalami peningkatan dalam aspek hadiah, yaitu dari US$350.000 menjadi US$500.000 (sekitar Rp7,2 miliar). Ini menunjukkan bahwa skena esports Rainbow Six: Siege masih terus berkembang. Seluruh tim di atas akan memperebutkan gelar juara dan hadiah dengan pembagian sebagai berikut.

  • Juara 1: US$200.000
  • Juara 2: US$80.000
  • Juara 3 – 4: US$40.000
  • Juara 5 – 8: US$20.000
  • Juara 9 – 12: US$10.000
  • Juara 13 – 16: US$5.000
Rainbow Six: Siege Raleigh Major - Poster
Sumber: Ubisoft

Raleigh Major akan diadakan di bulan Agustus, tepatnya tanggal 12 Agustus 2019. Selama 2 hari tim-tim partisipan akan bertanding di fase Group Stage yang tertutup dari publik, kemudian dilanjutkan ke Public Event di tanggal 16 – 18 Agustus 2019. Acara ini mangambil lokasi di Raleigh Convention Center yang memiliki kapasitas penonton hingga 15.000 orang. Tentu saja, bagi penggemar yang tidak bisa datang langsung ke venue, Ubisoft juga akan menayangkan pertandingan-pertandingannya secara live via Twitch.

Raleigh Major merupakan turnamen Major kedua yang digelar resmi oleh Ubisoft. Usia turnamen ini masih cukup muda mengingat game Rainbow Six: Siege itu sendiri sudah dirilis sejak tahun 2015. Major memang merupakan salah satu inisiatif baru dari Ubisoft untuk menciptakan ekosistem esports Rainbow Six: Siege yang berkelanjutan. Karena itulah dari awal Ubisoft ingin turnamen Major diadakan di negara yang berbeda setiap tahunnya.

Berbeda dari sistem kompetisi game lain (misalnya Capcom Pro Tour atau Dota Pro Circuit) yang setiap musimnya selalu dimulai dari nol lagi, kompetisi dalam Rainbow Six: Siege justru saling tersambung antara satu dengan yang lain. Sebagai contoh, salah satu slot kualifikasi Raleigh Major ini datang dari juara Six Invitational 2019. Padahal salah satu slot kualifikasi Six Invitational 2019 itu justru datang dari juara Paris Major 2018. Nantinya pun kemungkinan besar juara Raleigh Major akan maju ke Six Invitational 2020.

Dengan sistem ini, tim-tim yang berprestasi bisa terus berkompetisi di level tinggi dan berpeluang lebih besar meraih uang hadiah. Sementara itu Ubisoft juga memfasilitasi level kompetisi di bawahnya dengan turnamen dan liga kelas menengah, seperti The Go4 Cup dan Rainbow Six Challenger League. Memang hasilnya adalah sistem kompetisi yang sedikit rumit karena saling berkaitan satu sama lain. Namun bagi para atlet dan tim esports yang terlibat di dalamnya, sistem ini memberikan komitmen jangka panjang serta peluang kesuksesan finansial yang lebih baik.

Sumber: Ubisoft

Opini Shroud tentang Mengapa Battle Royale Tidak Akan Sukses Sebagai Esports

Battle royale dalam beberapa tahun terakhir sudah menjadi genre besar di dunia esports. Apalagi dua raksasa battle royale dunia yaitu PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG) dan Fortnite Battle Royale sama-sama menunjukkan dukungan maksimal terhadap ekosistem esports mereka. Termasuk mengadakan kompetisi-kompetisi besar kelas dunia, seperti PUBG Mobile Star Challenge dan Fortnite World Cup yang kini sedang berjalan.

Akan tetapi di balik gegap gempitanya turnamen-turnamen tersebut dan jutaan dolar hadiah yang menyertainya, battle royale sudah lama memunculkan kekhawatiran. Banyak pihak—baik atlet, kreator konten, atau tim—merasa bahwa battle royale tidak nyaman untuk dimainkan secara kompetitif, bahkan mungkin tidak akan bertahan lama.

Screenshot dari PlayerUnknown's Battleground

Salah satu figur publik yang baru-baru ini angkat suara tentang hal ini adalah shroud (Michael Grzesiek), mantan atlet profesional Counter-Strike: Global Offensive yang kini dihormati sebagai pemain battle royale terbaik di jagat Twitch. Dilansir dari Dot Esports, shroud sempat berkata di tayangan live stream miliknya bahwa battle royale memang menyenangkan untuk dimainkan secara kasual, tapi sebagai esports tidak akan sukses karena terlalu mengandalkan keberuntungan.

“Anda tidak mungkin menghilangkan RNG (random number generator) di awal game, tentang siapa yang mendapat loot apa. Hal itu akan tetap ada, itulah yang membuat (battle royale) menarik. Tapi seiring waktu berjalan, yang membuatnya jadi kurang menarik adalah di mid-game. Karena di mid-game semua orang bersembunyi, lalu late game jadi kacau-balau karena semua orang tadi bersembunyi saat mid-game,” papar shroud.

Alur permainan seperti ini, kata shroud, pada akhirnya menghasilkan kejadian di mana “ada 40 orang yang bertarung di akhir”. Dengan pertempuran sedemikian rusuh di circle (area pertempuran) yang sangat kecil, peran keahlian bermain jadi berkurang dan kemenangan lebih ditentukan oleh siapa yang lebih beruntung saja. Menurut shroud seharusnya tidak seperti itu. Bila ada unsur keberuntungan di awal game itu tidak apa-apa, namun jangan sampai keberuntungan menentukan hasil seluruh pertandingan. “Pasti ada jalan keluarnya,” kata shroud kemudian.

Sistem battle royale dalam dunia esports memang sedikit kurang seimbang, karena penggunaan sistem poin yang ditentukan oleh peringkat akhir tiap rondenya. Meski ada poin bonus dari hasil kill, pada akhirnya hasil terbaik ditentukan oleh siapa yang paling lama bertahan hidup. Karena itu menghindari pertempuran merupakan taktik valid, namun akan membuat pertandingan jadi tidak menarik ditonton.

Turnamen Twitch Rivals Apex Legends beberapa waktu lalu sedikit mengubah hal itu dengan cara memberikan poin lebih sedikit pada tim yang menang. Hanya tim peringkat 1 yang mendapat poin, yaitu senilai 5 poin saja, sementara setiap kill akan memberikan 1 poin. Jadi tim yang tereliminasi di tengah ronde sangat mungkin memperoleh hasil lebih tinggi daripada tim yang berhasil “Chicken Dinner”.

Apex Legends sendiri memang merupakan game dengan irama permainan cepat, dan memiliki arena lebih kecil dari battle royale pada umumnya. Jadi membuat pertandingan heboh yang penuh aksi di Apex Legends cenderung lebih mudah. Developer battle royale lain perlu memutar otak untuk menciptakan keseruan yang sama, agar esports battle royale jadi lebih seru untuk ditonton dari awal hingga akhir.

Sumber: Dot Esports

Buah Investasi di Awal Maret, EVOS Buka Lowongan Psikolog Esports

EVOS Esports sempat menjadi perbincangan menarik di bulan Maret 2019 lalu, karena saat itu mereka mengumumkan pendanaan besar-besaran dari berbagai investor lokal dan asing. Meski EVOS tak mengungkap siapa saja yang turut ambil bagian, investasi tersebut tetaplah cukup menghebohkan sebab nominalnya yang besar, yaitu mencapai Rp50 miliar. Ini juga menjadikan EVOS organisasi esports pertama di Asia Tenggara yang melakukan fundraising dari investor asing.

Pendiri EVOS Esports, Hartman Harris, menyatakan bahwa investasi ini akan digunakan untuk pengembangan infrastruktur seperti dukungan psikolog, fasilitas training kelas internasional, dan sebagainya. “Kami menghadirkan para pelatih yang berpengalaman dan menguatkan peran analisis untuk menghasilkan tim yang solid, profesional, dan meningkatkan performa EVOS di industri ke depannya,” papar Harris waktu itu.

EVOS Capital
Tim juara dunia harus didukung dengan fasilitas kelas dunia juga | Sumber: EVOS

Kini kita sudah bisa melihat sebagian hasil dari investasi tersebut, setidaknya dari sisi pengembangan sumber daya manusia. Dalam situs pencarian kerja JobStreet.com, EVOS terlihat memasang lowongan untuk beberapa posisi seperti yang mereka sebutkan dulu. Beberapa di antaranya yaitu posisi Psikolog Esports, Assistant Personal Trainer (pelatih fitness), Senior Graphic Design, hingga Finance & Accounting Manager.

Dari semua tawaran tersebut, mungkin Psikolog Esports adalah posisi yang paling menarik. Isu kesehatan mental untuk atlet esports adalah masalah nyata yang sudah diakui oleh tim-tim kelas dunia, namun memang sering kali belum menjadi prioritas. Apalagi di negara Indonesia, di mana stigma negatif terhadap kesehatan mental masih cukup kuat. Melihat organisasi besar seperti EVOS mengambil langkah konkret untuk mengatasi masalah tersebut rasanya cukup menyenangkan, dan saya berharap tim-tim lain bisa mengikuti jejak EVOS dalam hal ini.

Menurut lowongan kerja di atas, posisi Psikolog Esports di EVOS punya tanggung jawab untuk “menciptakan program manajemen stres bagi para pemain esports. Berikut ini beberapa syarat yang diminta pada pelamar:

  • Memiliki gelar Master di jurusan Psikologi Klinis.
  • Memiliki lisensi psikolog.
  • Memiliki pengalaman dengan klien yang mengalami masalah stres/depresi.
  • Kemampuan bahasa Inggris yang baik, verbal maupun tertulis.
  • Bersedia ditempatkan di Pantai Indah Kapuk.

Sementara jumlah gaji yang ditawarkan berkisar antara Rp7 – 9 juta. Melihat syarat yang diajukan, tampaknya EVOS memang serius ingin menjadikan psikolog sebagai salah satu kru yang berperan besar dalam performa tim, sesuai dengan visi EVOS untuk membangun ekosistem esports dalam negeri dan menciptakan standar baru tentang bagaimana seharusnya sebuah organisasi esports beroperasi.

Sumber: JobStreet.com

Team Secret Juarai Major Kedua di MDL Disneyland Paris Major 2019!

Setelah perjalanan panjang selama kurang lebih satu pekan, 12 Mei 2019 kemarin menjadi puncak gelaran MDL Disneyland Paris Major 2019. Penuh dengan berbagai pertarungan sengit, babak Grand Final akhirnya mempertemukan dua legenda Dota, Clement “Puppey” Ivanov dari Team Secret melawan Kuro “Kuroky” Salehi dari Team Liquid.

Pertandingan antar keduanya berlangsung dengan cukup sengit. Pertandingan dibuka dengan permainan Dark Seer yang sangat brilian dari Ivan “Mind_Control” Borislavov. Berkali kali berhasil membuat Secret kelimpungan, bahkan juga berhasil mendaratkan Vacuum yang membuat Secret berada dalam posisi yang buruk. Morphling Amer “Miracle-” Al-Barkawi berhasil melakukan tugasnya sebagai carry pembersih dengan sangat baik, bahkan sampai mendapat quad-rampage ketika sedang berusaha meruntuhkan pertahanan Team Liquid.

Sumber: Twitter @MarsMedia
Sumber: Twitter @MarsMedia

Tetapi kemenangan game pembuka bukan jaminan kemenangan bagi Team Liquid. Michat “Nisha” Jankowski dan kawan-kawan justru mengamuk di game-game selanjutnya. Pada game-game selanjutnya Liquid jadi semakin kesulitan. Akhirnya Secret melakukan reverse sweep, menjadi juara MDL Disneyland setelah kalahkan Liquid 3-1.

Membahas soal kemenangan Team Secret dalam pertandingan ini, kami berdiskusi dengan salah satu sosok shoutcaster tersohor di kancah Dota Indonesia, Gisma “Melondoto” Priayudha. Menurut sosok yang kerap disapa Melon ini, kunci kemenangan Secret sebenarnya terletak pada permainan mereka di early game.

“Mereka rotasi 3 orang bersama-sama untuk culik musuh di berbagai tempat. Lalu sampai menit 15an mereka baru mulai coba menyebar membantu atau menjaga Nisha. Alhasil networth Nisha sama Midone jadi tak beda jauh. Dua carry jadi, kemenangan jadi cukup  mudah bagi Team Secret” jawab Melon mengomentari match antara Secret melawan Liquid di Grand Final MDL Disneyland Paris Major 2019.

Lebih lanjut bicara soal game terakhir, kami membicarakan soal draft Team Liquid yang cukup bisa dipertanyakan. “Salahnya Liquid mengira bisa menghentikan Sven dan Templar Assassin cuma dengan bermodal Earthshaker saja. Nyatanya, butuh timing yang tepat agar strategi ini berhasil. Pada prakteknya, Secret main berani di game ini, terutama Nisha. Liquid kaget merespon hal ini, akhirnya mereka tidak sempat bereaksi, sehingga membuat permainan bisa selesai dengan cukup cepat.” jawab Melondoto.

Kemenangan ini memberikan Team Secret total hadiah sebesar US$350 ribu atau sekitar Rp5 miliar dan juga Poin DPC sebesar 4950 poin. Dengan ini maka Team Secret masih tetap menjadi pemuncak klasemen di Dota 2 Pro Circuit musim 2018-2019 dengan perolehan sebesar 14250 poin.

Tencent Umumkan Detail AOV World Cup dan Honor of Kings World Champion Cup 2019

Arena of Valor dan Honor of Kings adalah dua game yang sebetulnya sama, tapi berbeda dari segi konten dan bahasa. Bila Honor of Kings adalah versi eksklusif Tiongkok dan memiliki hero-hero yang terinspirasi legenda Tiongkok pula, Arena of Valor adalah versi internasional yang mengusung pahlawan-pahlawan mancanegara.

Karena perbedaan ini, basis penggemar Arena of Valor pun berbeda dengan Honor of Kings, begitu juga dengan ekosistem kompetitifnya. Untungnya Tencent Games tak pilih kasih, mereka mau memfasilitasi keduanya. Seperti yang baru-baru ini diumumkan, Tencent akan segera menggelar dua kejuaraan dunia secara terpisah. Pertama yaitu Arena of Valor World Cup 2019, dan yang satu lagi yaitu Honor of Kings World Champion Cup 2019.

Honor of Kings World Champion Cup 2019
Honor of Kings World Champion Cup 2019 | Sumber: Jeff Chau

Arena of Valor World Cup (AWC) 2019 akan digelar di kota Da Nang, Vietnam, pada bulan Juni – Juli 2019. Ini berbeda dari AWC 2018 yang mengambil tempat di Los Angeles. Jumlah hadiahnya pun berbeda, namun sayangnya mengalami sedikit penurunan dari US$550.000 menjadi US$500.000 saja (sekitar Rp7,2 miliar). Arena of Valor di Barat memang sempat kesulitan meraih minat pasar, namun Ramon Hermann dari Tencent America yakin bahwa game ini memiliki masa depan yang cerah di sana.

AWC 2019 diikuti oleh 12 tim dari 9 wilayah berbeda, salah satu di antaranya adalah wilayah baru yang memang server-nya baru dibuka pada November 2018 kemarin, yaitu Jepang. Sisanya adalah tim-tim dari Tionghoa Taipei (Taiwan), Thailand, Vietnam, Indonesia, Korea, Tiongkok, wilayah gabungan Singapura, Malaysia, dan Filipina, serta wilayah gabungan Amerika Utara, Eropa, dan Amerika Latin.

AWC 2019 - Global Ban Pick 1
AWC 2019 menerapkan sistem baru yaitu Global Ban Pick | Sumber: Garena
AWC 2019 - Global Ban Pick 2
AWC 2019 menerapkan sistem baru yaitu Global Ban Pick | Sumber: Garena

Sementara itu, Honor of Kings World Champion Cup (KWCC) 2019 akan digelar di tiga negara berbeda. Fase grup akan digelar pada tanggal 10 – 21 Juli di Seoul, Korea Selatan. Kemudian babak playoff digelar pada tanggal 27 Juli – 3 Agustus di Kuala Lumpur, Malaysia. Terakhir, babak final digelar pada tanggal 10 Agustus di Shenzhen, Tiongkok, yang juga merupakan kota tempat markas Tencent Games berada.

Hadiah yang dijanjikan oleh KWCC 2019 pun lebih besar dari AWC 2019, yaitu senilai 16.000.000 Yuan atau kurang lebih Rp33,6 miliar. Dari seluruh hadiah itu, 42% akan jatuh ke tangan tim yang menjadi juara. KWCC 2019 diikuti oleh 12 tim, terdiri dari 2 tim teratas King Pro League (KPL) dan 2 tim teratas Korea King Pro League (KRKPL) Spring Season, 4 tim dari KPL hasil kualifikasi, serta 4 tim KRKPL hasil kualifikasi juga.

Meski hanya diikuti oleh dua liga saja (KPL dan KRKPL), bukan berarti tidak ada tim dari negara selain Tiongkok dan Korea Selatan di sini. KRKPL sebetulnya diikuti oleh tim dari berbagai negara, termasuk dari Eropa, Amerika, Hong Kong, dan Makau. Nah, kira-kira siapa wakil Indonesia yang akan maju ke ajang AWC 2019 nantinya ya?

Sumber: Esports Insider, The Esports Observer

Telaah Kelayakan Profesi Atlet Esports Sebagai Mata Pencaharian Umum

Atlet esports dewasa ini telah menjadi profesi yang menjanjikan. Sama seperti atlet-atlet olahraga seperti sepak bola atau bola basket, seorang pemain profesional yang berkompetisi di level tinggi bisa memiliki penghasilan yang luar biasa besarnya, bahkan dielu-elukan sebagai seorang selebritas. Apalagi bila mereka bermain di negara-negara maju yang sudah punya ekosistem esports mapan, seperti Amerika Serikat, Tiongkok, atau Korea Selatan.

Akan tetapi terkadang mungkin kita lupa keberhasilan meraih ketenaran besar dan menjadi miliarder itu tidak dimiliki oleh semua orang. Di antara sekian banyak pemain esports, hanya segelintir yang bisa menjadi top player dan bermain di level tertinggi. Sebagian lainnya yang bermain di tim kecil tentu akan mendapat penghasilan kecil juga, bahkan di beberapa kasus malah tidak mendapat bayaran.

Mirip seperti profesi industri hiburan ataupun profesi atlet olahraga lainnya, esports bisa dibilang termasuk mata pencaharian yang “high risk high reward”. Seberapa besar risikonya, dan bagaimana nasib para pemain yang tidak termasuk dalam jajaran top player tadi? Untuk memahami kenyataan di lapangan secara lebih jelas, kita dapat melihat terlebih dahulu penghasilan atlet esports di berbagai negara. Berikut ini beberapa datanya.

Amerika Serikat

Mencari data tentang penghasilan setiap atlet esports secara pasti adalah hal yang cukup sulit karena pada umumnya organisasi tidak mau membuka informasi tersebut ke publik. Namun sesekali ada beberapa tim, pemain, atau lembaga survei yang mau membeberkannya dalam acara khusus. Contohnya di bulan April 2019 kemarin, ketika Komisaris League of Legends Championship Series (LCS) Chris Greeley mengungkap gaji para atlet esports di liga Amerika Serikat tersebut.

Riot Games menerapkan aturan dalam LCS di mana setiap tim peserta harus menggaji atletnya sebesar minimal US$75.000 (Rp1,1 miliar) per tahun. Akan tetapi secara rata-rata, pemain-pemain profesional LCS memiliki gaji sekitar US$320.000 (Rp4,6 miliar). Data ini hanya berupa gaji pokok, tidak termasuk bonus atau uang hadiah turnamen.

Overwatch League (OWL) juga memiliki aturan gaji serupa, namun batas minimalnya lebih kecil yaitu US$50.000 (Rp715,9 juta). Sementara itu pemain OWL terkenal bisa mendapat gaji US$150.000 (Rp2,15 miliar) per tahun, seperti yang diterima sinatraa (Jay Won) ketika bergabung dengan tim NRG.

Sebagai perbandingan, gaji rata-rata penduduk Amerika serikat di tahun 2019 ini menurut U.S. Bureau of Labor Statistics adalah sekitar US$46.644 per tahun, atau kurang lebih Rp667,9 juta. Dapat kita lihat bahwa baik di LCS ataupun OWL, gaji minimum yang ditawarkan sudah lebih tinggi dari penghasilan penduduk rata-rata negeri Paman Sam.

Korea Selatan

Korsel adalah negara yang maju di dalam bidang esports. Ini dapat dilihat dari pendapatan para atletnya yang bisa mencapai angka sangat tinggi. Sebagai contoh, atlet-atlet yang bermain di League of Legends Championship Korea (LCK) rata-rata memperoleh gaji tahunan senilai 175.000.000 Won (Rp2,1 miliar), bahkan pemain paling top bisa meraih sampai 500.000.000 Won per tahun (Rp6,1 miliar).

League of Legends - Mata
Mata (Cho Se-hyeong), atlet LoL Korsel yang sempat “merumput” di Tiongkok | Sumber: The Rift Herald

Akan tetapi raihan gaji sedemikian besar hanya dirasakan segelintir orang, sekitar 5% dari jumlah pemain keseluruhan. Sebagian besar atlet (37,2%) justru hanya memiliki pendapatan antara 20.000.000 – 50.000.000 Won. Ini bahkan lebih rendah daripada rata-rata penghasilan penduduk Korsel yang nilainya adalah sekitar 63.000.000 Won (Rp770 juta) per tahun).

Korsel juga sempat dikabarkan memiliki masalah di cabang StarCraft II, di mana tim-tim esports sepakat untuk memberikan gaji tidak lebih dari 75.000.000 Won (Rp913,7 juta) kepada para atletnya. Akan tetapi kabar ini muncul di tahun 2016, jadi bisa saja sekarang kondisinya sudah berubah.

Tiongkok

Dengan populasi dan pangsa pasar begitu besar, Tiongkok dikenal sebagai salah satu negara top di bidang esports. Bahkan sangat sering ada atlet dari luar negeri yang bermain untuk tim Tiongkok karena tergiur dengan gaji yang ditawarkan. Beberapa waktu lalu, JD Gaming yang merupakan tim untuk League of Legends Pro League (LPL) sempat buka-bukaan tentang gaji atlet mereka.

Pemain baru yang bermain di tim akademi JD Gaming (Joy Dream) akan mendapat gaji minimal 250.000 Yuan (Rp524,2 juta). Ini masih berada di bawah gaji rata-rata penduduk Tiongkok yang ada di angka 293.000 Yuan (Rp614,6 juta), akan tetapi perbedaannya tidak sedrastis Korsel. Sementara itu atlet di tim inti JD Gaming memiliki gaji minimal 500.000 Yuan, alias Rp1,05 miliar per tahun.

Bila berbicara top player di Tiongkok, hanya langit yang menjadi batasnya. Contoh saja Vici Gaming, pemain paling mahal di divisi Dota 2 mereka dapat menerima gaji hingga 8.000.000 Yuan per tahun (Rp16,8 miliar), dan ini di tahun 2016. JD Gaming di tahun 2019 menawarkan gaji maksimum yang menyentuh angka 10.000.000 Yuan (Rp20,1 miliar). Ini angka yang fantastis.

Indonesia

Kita sudah melihat gambaran kehidupan atlet esports di beberapa negara maju. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Pertama-tama kita harus tahu dulu berapa gaji rata-rata penduduknya. Badan Pusat Statistik di akhir tahun 2018 menyatakan bahwa gaji rata-rata buruh laki-laki Indonesia ada di angka Rp3.060.000 per bulan. Sementara buruh perempuan mendapat rata-rata Rp2.400.000 juta per bulan.

Salah satu tim Indonesia yang pernah membuka nilai nominal gaji adalah EVOS Esports. Dalam sebuah wawancara di tahun 2018, General Manager EVOS Esports Indonesia Aldean Tegar (sekarang menjabat Assistant Vice President) menyebut bahwa gaji pokok tim Dota 2 EVOS adalah sekitar Rp5.000.000 – 6.000.000 per bulan. Laporan dari TribunNews juga menyebutkan gaji pokok Rp6.000.000 untuk divisi Mobile Legends, tapi kemudian ditambah Rp4.000.000 dari pihak Mobile Legends Professional League (MPL), dan bonus sebesar Rp1.000.000 setiap kali mereka mengikuti turnamen.

Di luar EVOS, Donkey (Yurino Putra) yang merupakan pemain Mobile Legends asal Surabaya pernah membeberkan gaji beberapa tim lain. Salah satunya Louvre yang ia sebut sebagai tim dengan penawaran tertinggi, yaitu Rp35.000.000 per bulan. Ia juga menyebut bahwa tim REVO eSports menawarkan gaji di atas Rp5.000.000 per bulan, tapi tidak memberi angka pastinya.

Mobile Legends - Donkey
Donkey dikenal sebagai pemain yang ahli di posisi Tank | Sumber: Donkey

Angka-angka di atas menunjukkan bahwa profesi atlet esports di Indonesia layak dijadikan mata pencaharian. Namun di sisi lain, salah satu mantan pemain Team NXL yaitu Afrindo “G” Valentino pernah mengungkap fakta yang cukup miris. Dalam wawancara bersama Tirto, ia mengaku hanya mendapat Rp500.000 per bulan sebagai gaji pokoknya. Ini ditambah dengan bonus Rp2.000.000 bila berhasil masuk top global ranking, serta Rp3.900.000 per minggu dari pihak Moonton yang dibagi dengan rekan-rekan setimnya.

Kesenjangan jadi masalah utama

Seperti badan usaha pada umumnya, tim esports pun pada dasarnya adalah sebuah organisasi yang bertujuan untuk mencari untung. Besaran gaji yang dapat mereka keluarkan sebagai biaya operasional pun sangat tergantung dari kesuksesan serta ketenaran tim itu sendiri.

Newzoo melaporkan bahwa sebagian besar (82%) revenue di bidang esports datang dari investasi brand yang terdiri atas sponsorship, hak media, serta iklan. Jadi penghasilan ini berkaitan sangat erat dengan exposure, alias jumlah publikasi yang bisa didapatkan oleh suatu tim.

Masalahnya, tidak semua tim bisa mendapatkan exposure yang sama. Tim-tim terkenal yang sering juara turnamen tentu akan mendapat exposure lebih besar. Begitu pula tim-tim yang bertanding di liga dan turnamen besar, seperti OWL, LCK, atau MPL. Namun jumlah tim yang bisa tampil di liga-liga besar ini terbatas. MPL misalnya, hanya bisa diikuti oleh 12 tim tiap musimnya. Sementara AOV National Championship (ANC), meski jumlah slotnya lebih banyak, tetap saja terbatas pada 32 tim.

Layaknya atlet-atlet sepak bola yang bermain bukan di divisi utama, tim-tim yang tidak lolos ke liga esports terbesar harus puas dengan exposure terbatas dan gaji terbatas pula. Memang ada jalan lain untuk memperoleh penghasilan, misalnya dari streaming, penciptaan konten, hingga menjadi brand ambassador suatu produk. Tapi jalur-jalur ini pun bergantung pada popularitas. Selain kemampuan bermain, kepribadian di depan kamera hingga penampilan fisik juga jadi aset penting yang harus dimanfaatkan secara maksimal.

Tingginya minat masyarakat terhadap esports seolah jadi pedang bermata dua. Di satu sisi, semakin banyak peminat artinya pasar semakin luas, dan itu akan membuat semakin banyak brand tertarik untuk berinvestasi dalam industri ini. Di sisi lain, pertumbuhan ini juga akan memunculkan lebih banyak pemain-pemain “biasa”, yang dalam perjalannya, mungkin tidak akan pernah meraih kesuksesan finansial besar seperti JessNoLimit.

Bukan bermaksud mematahkan kepercayaan bahwa impian itu pasti akan jadi nyata bila kita mau berusaha. Namun kenyataan memang tidak bisa memfasilitasi semua orang secara merata. Tidak mungkin tim Mobile Legends yang ada di Indonesia masuk ke dalam MPL semua. Dalam sepak bola yang usianya sudah berabad-abad pun banyak pemain profesional yang seumur hidupnya tidak pernah jadi juara Premier League. Lalu bagaimana nasib atlet-atlet level “biasa” seperti ini?

Saudara e-Sports | Robox
Saudara e-Sports (SES), salah satu tim esports yang memulai dari bawah  | Sumber: Garena

Memandang atlet esports sebagai profesi secara utuh

Bila kita kembali ke tujuan awal dari sebuah profesi, sebetulnya sederhana saja. Seseorang menjalani sebuah profesi pastilah untuk bisa mencari makan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Terlepas dari pada akhirnya ia jadi kaya raya atau tidak, setidaknya tujuan yang satu ini merupakan hal wajib yang tidak bisa dilepaskan.

Dengan berkaca pada tujuan dasar tadi, maka tujuan industri esports berikutnya sudah jelas, yaitu membuat para atlet profesional setidak-tidaknya dapat memperoleh penghasilan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, seminimal mungkin gaji seorang atlet esports hendaknya setara dengan nilai Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) tempat ia berdomisili.

Di sinilah pemerintah memiliki peran penting. Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia mengatur bahwa setiap badan usaha wajib memberikan upah sesuai nilai minimum yang telah ditetapkan. Tim-tim esports besar memang pada umumnya sudah memberikan gaji di atas UMK, namun kita tidak tahu sebanyak apa atlet-atlet “underpaid” yang tak terekspos. Pengakuan negara terhadap status atlet esports sebagai sebuah profesi serta penerapan aturan ketenagakerjaan dapat menjadi dukungan besar bagi perlindungan kesejahteraan para atlet ini.

Developer dan penerbit game, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan kompetisi resmi, juga punya andil besar. Bila kita lihat dalam data di atas, sudah ada beberapa liga yang menerapkan aturan soal gaji minimum para atletnya, seperti OWL dan LCS. Sebagai kompensasi, liga-liga tersebut memberikan komitmen berupa wadah kompetisi jangka panjang kepada tim partisipan.

Ini juga menguntungkan para brand, karena kompetisi jangka panjang artinya mereka mendapat ruang untuk beriklan lebih banyak. Apalagi di OWL setiap tim juga merupakan perwakilan dari suatu kota, mirip seperti liga sepak bola. Artinya brand punya kesempatan untuk memanfaatkan keunikan kota tersebut sebagai pendukung metode periklanan. Brand lokal tiap kota juga punya peluang besar untuk beriklan, karena mereka memiliki basis pasar yang sangat dekat.

Esports butuh wadah kompetisi kelas menengah

Penciptaan wadah kompetisi jangka panjang dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama adalah sistem franchising, seperti yang dilakukan OWL. Cara kerja sistem ini adalah dengan membuka slot bagi tim-tim yang ingin berkompetisi di OWL dengan syarat pendaftaran berupa pembayaran sejumlah uang. Kompetisi berbayar sekilas memang terdengar negatif, tapi dengan cara ini, komitmen tim dengan OWL menjadi lebih kuat. OWL juga berhak menerapkan kewajiban-kewajiban lain kepada tim selain soal gaji minimum, misalnya kewajiban untuk mempromosikan ekosistem esports lokal, program akademi dan regenerasi, dan sebagainya.

Overwatch League - New York Excelsior
Overwatch League sudah lama memperhatikan masalah sustainability | Sumber: Blizzard

Untuk memfasilitasi atlet-atlet yang belum bisa bermain di level kompetisi tertinggi, Blizzard juga memiliki program kompetisi kelas menengah yang disebut Overwatch Contenders. Dalam kompetisi ini, tim-tim besar yang merupakan partisipan OWL diberi kesempatan untuk mendirikan divisi Academy untuk bertanding di Overwatch Contenders. Sambil menyelam minum air, kompetisi ini bisa membantu para atlet esports yang belum menjadi top player untuk mendapat exposure, memperoleh penghasilan, sekaligus mengasah kemampuan bermain.

Cara kedua adalah cara yang dilakukan oleh Ubisoft dalam Rainbow Six: Siege Pro League. Liga ini menerapkan pendaftaran terbuka, namun menyediakan wadah kompetisi bagi tim-tim yang masih berada di level bawah—bukan hanya kualifikasi, tapi juga kejuaraan sendiri yang bernama Challenger League. Ibarat sepak bola divisi 2, liga ini menawarkan hadiah walau jumlahnya tak besar, dan setiap tim memiliki kesempatan untuk mendapatkan exposure.

Tim-tim terbaik Challenger League nantinya berhak mendapatkan promosi ke Pro League yang merupakan liga utama, begitu pula tim-tim Pro League bisa saja degradasi ke liga bawahnya. Sistem ini memunculkan dinamika yang menarik karena popularitas sebuah tim bisa naik turun secara lebih luwes, meskipun tentunya tetap ada beberapa tim mainstay yang hampir tak mungkin sampai terdegradasi.

Peran lain developer/penerbit game terhadap kesejahteraan atlet juga bisa datang dari program revenue sharing. Perputaran uang di industri esports begitu besar, dan developer game populer bisa mendapat pemasukan hingga jutaan dolar tiap harinya. Para pelaku industri esports ini sebetulnya bisa dipandang sebagai “alat marketing” juga bagi para developer, jadi sudah sewajarnya mereka turut dapat bagian karena telah membantu membuat suatu game jadi lebih populer.

Beberapa game besar seperti Dota 2 dan Rainbow Six: Siege sudah menerapkan program revenue sharing itu. Caranya yaitu dengan menciptakan in-game item yang berhubungan dengan atlet atau tim esports tertentu. Pasar yang hendak diraih tentulah para penggemar atlet/tim yang bersangkutan, dan hasil penjualan berbagai item ini nantinya akan dibagi sesuai dengan suatu perjanjian kerja sama. Game yang sudah memiliki ekosistem esports cukup besar dan stabil hendaknya memiliki program revenue sharing seperti ini agar dapat membantu meningkatkan kesejahteraan atlet-atlet esports di bawahnya.

Sustainability demi jaminan masa depan

Industri esports saat ini diprediksi masih akan terus berkembang, setidaknya hingga tahun 2021. Akan tetapi pasti akan tiba masanya perkembangan itu terhenti, dan industri esports masuk ke tahap kedewasaan. Bila sudah demikian, fokus industri esports harus bergeser dari mengincar pertumbuhan menjadi mengincar keberlanjutan (sustainability). Lagi pula, bila esports terbukti hanya merupakan sebuah bubble, dampaknya bagi industri esports sendiri akan buruk karena dapat membuat para stakeholder enggan terjun dan berinvestasi.

Industri yang sustainable juga penting agar para gamer muda yang ingin menjadi atlet esports di masa depan dapat mengejar impian mereka dengan lebih yakin. Tanpa adanya sustainability, dan tanpa adanya jaminan kesejahteraan untuk level kompetisi menengah, esports akan jadi profesi elit yang manfaatnya hanya dapat dinikmati oleh segelintir top player saja. Padahal dengan nilai revenue global yang mencapai US$1,1 miliar (sekitar Rp15,8 triliun), potensi untuk persebaran kesejahteraan itu jelas ada.

Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, rasanya developer dan penerbit game adalah kunci dari penanganan masalah kesenjangan ini. Merekalah yang dapat mencetuskan program-program dengan sifat mengikat kuat, seperti sudah dilakukan OWL. Tinggal apakah mereka mau melakukannya, dan kapan?

Amerika Serikat Akan Regulasi Loot Box, Apa Artinya Untuk Ekosistem Esports?

Perkara microtransaction dan loot box atau sistem gacha sudah beberapa waktu lalu menjadi perdebatan badan legislatif pemerintahan di Barat sana. Setelah beberapa negara di Eropa angkat bicara soal hal ini, Amerika Serikat kini akhirnya turut bicara soal permasalahan ini.

Masalah ini terangkat ke permukaan setelah senator Amerika Serikat, Josh Hawley, mencanangkan sebuah peraturan untuk meregulasi microtransaction di dalam game. Proposal regulasi tersebut diberi nama sebagai The Protecting Children from Abusive Games Act. Mengutip rilisan pers sang senator, sesuai dengan namanya, kebijakan ini dibuat dengan fokus untuk melindungi anak dari praktek monetisasi eksploitatif lewat sistem pay to win dan loot box yang umum ada di dalam game.

Maka dari itu, jika regulasi ini berhasil diterima oleh pemerintahan, badan legislatif Amerika Serikat akan melarang penjualan loot box pada game yang dirancang untuk pemain berusia di bawah 18 tahun. Jadi, hanya game dengan rating 18+ yang bisa memiliki sistem loot box di dalamnya.

Sumber:
Senator Josh Hawley, sosok yang mencanangkan kebijakan regulasi loot box di Amerika Serikat. Sumber: News-Leader

Entertainment Software Association (ESA), yang merupakan regulator dari sistem rating ESRB langsung angkat bicara soal hal ini. Mengutip Esports Insider, berikut apa yang dikatakan ESA: “beberapa negara termasuk Irlandia, Jerman, Denmark, Australia, New Zealand, dan Britania Raya sudah menyatakan bahwa loot box bukan perjudian.”

“Kami ingin berbagi kepada pak Senator soal perangkat dan informasi yang disediakan oleh pihak industri game. Perangkat tersebut memungkinkan para orang tua untuk mengendalikan pengeluaran mata uang nyata di dalam game. Alat tersebut memungkinkan para orang tua kini dapat membatasi atau bahkan melarang pembelian di dalam game dengan menggunakan perangkat parental control yang mudah digunakan”.

Perdebatan soal microtransaction dan loot box sudah terjadi sejak beberapa waktu lalu. Tiongkok dan Korea Selatan sudah terlebih dahulu meregulasi sistem loot box. Pada dua negara tersebut, pengembang game harus mengungkap besaran kesempatan untuk mendapatkan berbagai item yang ada di dalam sebuah loot box.

Australia juga sempat memperdebatkan soal hal ini. Mereka juga merupakan negara pertama yang melakukan riset dan mengatakan bahwa loot box punya sifat mirip seperti judi secara psikologis. Pada akhirnya, Australia mencoba menerapkan regulasi yang mirip seperti apa yang diajukan oleh senator Amerika Serikat tersebut, membatasi penjualan loot box pada game dengan rating 18+ saja. Sayangnya regulasi tersebut belum diterima oleh pihak legislatif Australia.

Apa Arti Regulasi Microtransaction Terhadap Ekosistem Esports?

Sumber: Dota 2 Official Blog
Sumber: Dota 2 Official Blog

Pada akhirnya, kita tidak bisa melepaskan antara regulasi microtransaction di dalam game dengan ekosistem esports. Hal ini mengingat beberapa game esports yang sifatnya kompetitif juga turut menggunakan sistem ini. Game-game tersebut menggunakan sistem dalam bentuk loot box, untuk memberikan berbagai macam skin yang bisa mempercantik penampilan karakter di dalam game. Contoh nyatanya adalah game seperti CS:GO, Overwatch, atau Dota 2.

Lalu bagaimana dampak regulasi loot box dan microtransaction terhadap ekosistem esports? Hal tersebut sebenarnya tergantung bagaimana bentuk regulasinya, dan bagaimana hubungan antara sistem microtransaction yang diterapkan di dalam game, dengan ekosistem esports yang sudah berjalan.

Mari kita berandai-andai ada regulasi yang isinya melarang sepenuhnya microtransaction yang bersifat pay to win serta loot box. Kalau regulasi ini berlaku secara internasional, mungkin hype dan hadiah Dota 2 The International mungkin tidak akan sebesar seperti sekarang. Kenapa? Sistem Battle Pass di Dota 2 merupakan sebuah bentuk microtransaction yang menggunakan sistem loot box, dan terintegrasi dengan kompetisi Dota 2 The International.

Jadi kalau regulasi tersebut melarang sistem loot box, maka Battle Pass mungkin jadi terbatas hanya pembelian Battle Pass Level 1 saja. Anda jadi tidak dapat membeli level untuk membuka skin yang menggunakan sistem loot box. Tidak bisa membeli level, berarti tidak ada kontribusi hadiah untuk Dota 2 The International. Artinya hadiah TI akan jadi lebih kecil, yang membuat hype Dota 2 The International menurun.

Scene CS:GO juga bisa jadi scene esports lain yang turut terkena dampaknya. Hype ekosistem esports CS:GO dijaga lewat item in-game yang sifatnya loot box. Memang ekosistem esports CS:GO tidak seperti Dota, yang mana pemain dapat menggunakan microtransaction untuk menyumbang total hadiah turnamen. Namun tanpa kehadiran item in-game berupa sticker yang dijual lewat sistem loot box, ekosistem esports CS:GO mungkin tidak akan hype seperti sekarang.

Soal microtransaction dan loot box sebenarnya memang lebih esensial untuk diperdebatkan, dibanding soal dampak konten game terhadap perilaku kekerasan. Sebab sistem ini seperti buah simalakama, satu sisi memberi keuntungan dan berfungsi menjaga game tetap hidup. Pada sisi lain, tak bisa dipungkiri sistem ini punya dampak tersendiri di dalam masyarakat.

Pemerintah Indonesia sebenarnya harus mulai sadar soal masalah ini. Apalagi setelah kasus anak membeli item in-game tanpa pengawasan orang tua yang sempat merebak waktu itu.

Capcom Raih Pemasukan Rp13 Triliun, Siap Jadikan Esports Sektor Prioritas

Capcom belakangan ini terlihat seperti sedang berapi-api sekali. Dalam dua tahun terakhir, mereka telah berhasil menelurkan sejumlah game yang kesemuanya selalu laris manis dan mendapat penerimaan baik di pasaran. Lihat saja Monster Hunter: World, Devil May Cry 5, Resident Evil 2, hingga Mega Man 11. CEO Capcom USA, Kiichiro Urata, bahkan dengan bangganya pernah membuat pernyataan bahwa “Capcom telah kembali!” ketika Devil May Cry 5 hendak dirilis.

Dengan jajaran produk yang demikian berkualitas, tak heran bila kemudian kondisi keuangan Capcom pun berada di atas angin. Beberapa waktu lalu Capcom merilis siaran pers berisi laporan keuangan untuk tahun fiskal yang berakhir pada tanggal 31 Maret 2019. Laporan itu menunjukkan bahwa perusahaan ini telah mencetak rekor pemasukan tahunan tertinggi sepanjang masa selama dua tahun berturut-turut.

Total penjualan yang dicapai Capcom tahun ini mencapai lebih dari 100 miliar Yen, atau setara dengan Rp13 triliun. Angka ini mengalami peningkatan 5,8% dibandingkan tahun fiskal sebelumnya. Menurut Capcom, faktor utama yang mendongkrak pemasukan tersebut adalah bisnis penjualan konten digital, ditambah dengan kesuksesan Resident Evil 2 dan Devil May Cry 5 yang populer secara global.

Monster Hunter: World mencetak rekor tersendiri dengan angka penjualan sebanyak 12 juta unit di seluruh platform, menjadikannya judul game dengan penjualan tertinggi sepanjang sejarah Capcom. Sementara itu divisi bisnis alat-alat hiburan (Amusement Equipment) mengalami penurunan penjualan hingga 56,1%, namun pada akhirnya tetap tertutup oleh pencapaian divisi-divisi lainnya.

Divisi Amusement Equipment ini adalah divisi yang menangani penjualan berbagai mesin hiburan arcade, termasuk di antaranya mesin pachinko dan pachislot. Di tahun fiskal ini Capcom sempat merilis mesin pachislot berbasis Street Fighter V serta Resident Evil, namun penjualannya tidak memuaskan. Penjualan arcade game juga lesu, menurut Capcom karena kurangnya produk baru yang dirilis.

Satu sektor yang mendapat perhatian khusus adalah esports, yang mana masih tumbuh subur secara global dan belakangan ini semakin mendapat perhatian di Jepang. Capcom sadar akan potensi sektor ini dan berkomitmen akan menggandakan usaha untuk menjadikannya sektor prioritas. Saat ini misi mereka adalah meningkatkan jumlah player base di seluruh dunia melalui berbagai liga yang berbasis franchise Street Fighter.

Komitmen tersebut dapat kita lihat dari pembentukan anak perusahaan baru—yang bernama Capcom Media Ventures—untuk menangani bisnis esports dan lisensi media. Beberapa programnya yang akan diluncurkan dalam waktu dekat adalah liga Street Fighter tingkat amatir serta tingkat universitas di Amerika Serikat, serta pembuatan film-film berbasis properti intelektual milik Capcom.

Meskipun esports di Capcom saat ini sedang berjalan dengan baik, sebetulnya masih ada banyak hal di sektor ini yang perlu mendapatkan peningkatan. Satu yang paling terlihat jelas adalah kualitas dari produk game kompetitif buatan Capcom itu sendiri. Street Fighter V: Arcade Edition memang bagus, akan tetapi game ini sempat mengecewakan banyak penggemar karena kurangnya konten. Sekarang pun Street Fighter V: Arcade Edition masih banyak dikritik karena banyaknya transaksi mikro. Apalagi semenjak perilisan karakter Kage, Capcom masih belum mengumumkan update apa-apa lagi.

Marvel vs. Capcom Infinite, yang seharusnya bisa menjadi esports besar seperti prekuelnya, juga kurang sukses di pasaran sebab dianggap sebagai produk yang kurang berkualitas. Sempat beredar rumor bahwa Marvel dan Capcom sedang mengembangkan versi baru dari Marvel vs. Capcom Infinite dengan judul Marvel vs. Capcom 4, namun hingga kini belum ada kabar resmi tentangnya.

Di tahun fiskal berikutnya, Capcom memperkirakan adanya penurunan penjualan sebesar 15 persen. Ini wajar karena sejauh ini memang belum ada judul besar yang dijadwalkan untuk terbit hingga Maret 2020 nanti, walaupun bila Marvel vs. Capcom 4 betul-betul terjadi mungkin hal itu bisa berubah. Usaha Capcom untuk mengembangkan ekosistem esports global adalah teladan yang patut diapresiasi, namun mereka juga tidak boleh lupa bahwa kunci utama untuk mendatangkan player base yang besar adalah kualitas dari produk itu sendiri. Kita tunggu saja bagaimana strategi Capcom berikutnya.

Sumber: Capcom

Dota 2 MDL Paris Major 2019 Sejauh Ini, Barat Mendominasi, Tiongkok Kembali Lesu?

Saat ini sedang berjalan kompetisi Major dari Dota 2 Pro Circuit musim 2018-2019. Kompetisi tersebut adalah Mars Dota 2 League Disneyland Paris Major. Kompetisi yang jadi unik karena bertanding di taman hiburan Disneyland ini, memperebutkan total hadiah sebesar US$1 juta dan poin DPC sebesar 15.000 poin.

Saat ini, turnamen yang berlangsung sampai 12 Mei 2019 mendatang ini sudah memasuki fase bracket. Apa saja yang sudah terjadi? Berikut rekap singkat dari Hybrid.co.id

Tim Barat yang Masih Dominan

Sumber: Twitter @MarsMedia
Sumber: Twitter @MarsMedia

Kalau mengikuti TI Curse, tahun ganjil memang tahun milik tim-tim asal Barat di kancah kompetisi Dota 2. Ternyata, kutukan tersebut masih belum terpatahkan sampai sekarang. Tim Barat masih mendominasi di tahun ganjil, setidaknya jika berdasarkan bracket MDL Paris Major. Sekarang tersisa empat tim di upper bracket, dan semuanya adalah tim Barat, Team Secret, EG, NiP, dan OG.

Belakangan, tim asal Barat memang cenderung sedang dominan. Dari 5 besar peringkat DPC saja, ada tiga tim asal Barat yaitu Virtus Pro, Team Secret, dan Evil Geniuses. Apalagi Team Secret yang belakangan sempat menang beruntun di dua turnamen, Chongqing Major 2019 dan ESL One Katowice.

Membahas soal tim Barat, memang menarik membahas Team Secret pada musim ini. Selain performa mereka yang mendadak jadi sangat kuat, sosok wonderkid Michat “Nisha” Jankowski juga jadi hal lain yang menarik untuk di simak. Selama MDL Team Secret kembali menunjukkan permainannya dengan sangat baik.

Tercatat mereka berhasil sapu bersih fase grup. Mereka sempat tersandung satu kali saat melawan PSG.LGD di babak bracket, namun tetap berhasil memenangkan permainan berkat draft Pudge yang unik yang dimainkan oleh Ludwig “Zai” Wahlberg. Menariknya, walau bicara soal dominasi Barat, Virtus Pro malah terjungkal pada awal-awal bracket.

Mereka melawan juara TI tahun lalu, OG. Pertandingan sebenarnya berjalan cukup sengit di awal-awal, tapi entah kenapa VP malah goyah setelah rentetan kesalahan yang dilakukan. Pertandingan selesai dengan cukup cepat, VP tergelincir ke lower bracket setelah kalah 2-0 dari OG. Padahal performa VP terbilang sedang cukup konsisten belakangan. Berhasil menangkan satu major dan menjadi runner-up di dua major lainnya.

Pada sisi lain, Ninja in Pyjamas, juga menjadi tim Barat lain yang menjadi algojo tim Dota Tiongkok selain dari Team Secret. Melawan Vici Gaming, dua game berjalan dengan cukup cepat, kedua tim saling bertukar poin dengan sttrategi permainan agresif. Game terakhir, Phantom Lancer dari Marcus “Ace” Hoelgaard berhasil meng-carry tim dengan sangat baik. Mendominasi sepanjang permainan, amankan 10 ribu net-worth dalam 16 menit, Ace membuat VG jadi kelimpungan. Tak terhentikan, permainan selesai dalam 32 menit, kemenangan bagi NiP.

Performa Tim Tiongkok yang Masih Dipertanyakan

Sumber: Twitter @MarsMedia
Sumber: Twitter @MarsMedia

Kerangka narasi kancah kompetitif Dota internasional secara umum berkutat di sekitar tim Dota Barat melawan tim Dota Tiongkok. Sayangnya beberapa musim belakangan bukanlah musim yang baik bagi tim Dota asal Tiongkok. Bermula dari kegagalan PSG.LGD merengkuh tahta juara dunia di tahun genap, The International 2018, kini performa permainan Tiongkok di kancah Dota internasional semakin berangsur menurun.

Pada MDL Paris Major 2019, Tiongkok diwakili oleh tiga tim, PSG.LGD, Keen Gaming, dan Vici Gaming. Ketiganya bisa dibilang cukup kuat, masih masuk 10 besar peringkat DPC 2019. Terakhir kali Vici Gaming yang jadi ujung tombak kebanggaan Tiongkok, berhasil jadi juara di DreamLeague Stockholm Major setelah mengalahkan Virtus Pro.

Namun demikian, kini keadaan benar-benar sedang sangat tidak baik bagi wakil-wakil Tiongkok dalam kompetisi MDL Paris Major 2019. Entah apa yang terjadi pada tim-tim Tiongkok, ketiganya kini terhempas ke lower bracket setelah kalah melawan tim-tim Barat.

Padahal kalau bicara roster, ketiga tim tersebut sebenarnya punya pemain-pemain yang berkualitas. PSG.LGD masih dengan roster yang sama dengan TI 2018 lalu. Vici Gaming juga tidak banyak melakukan perubahan secara roster, masih dengan Zhang “Paparazi” Chengzun sebagai ujung tombak dan kawan-kawan. Keen Gaming juga punya roster yang cukup lumayan, ada Hu “Kaka” Liangzhi yang memandu kawan-kawannya.

Berada di lower bracket, ketiga tim Tiongkok ini tinggal punya satu kesempatan lagi untuk bertahan di MDL Paris Major. PSG.LGD bertemu di Complexity Gaming, sementara Vici Gaming harus perang saudara dengan sesama tim Tiongkok, Keen Gaming.

Akankah tim Tiongkok bisa merebut gelar juara TI di tahun genap dari tim Barat? Kalau bicara MDL Paris Major, harapan terbesar mungkin terletak pada Vici Gaming. Mengingat PSG.LGD yang terbilang inkonsisten belakangan, saya personal tak terlalu berharap banyak pada Lu “Somnus” Yao dan kawan-kawan, walau sebenarnya mendukung PSG.LGD. Terlebih, ada Virtus Pro yang mungkin akan dihadapi PSG.LGD pada bracket selanjutnya.

MDL Paris Major 2019 akan berlanjut lagi sore ini. Kompetisi ini akan melanjutkan pertarungan hidup dan mati bagi para tim yang sudah terhempas di babak lower bracket. Anda dapat menyaksikan pertandingan tersebut secara langsung di kanal Twitch.tv @MDLDisney. Jadi, apakah Anda pendukung tim Barat atau tim Tiongkok di esports Dota 2?