ESL Luncurkan Kompetisi Dota 2 Nasional di Thailand, Vietnam, dan Malaysia/Singapura

Sebagai organisasi esports terbesar dunia, keseriusan ESL mengembangkan ekosistem game kompetitif tidak hanya terjadi di belahan dunia barat. Belakangan ini mereka juga sudah mulai melakukan ekspansi ke wilayah Asia Tenggara. Bekerja sama dengan Salim Group, ESL meluncurkan lomba skala nasional di Indonesia yang disebut ESL Indonesia Championship. Lalu bagaimana dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya?

ESL Asia telah menjawab pertanyaan tersebut. Rupanya, pada bulan Maret sampai Juni 2019 ini ESL menggelar kompetisi nasional (National Championship) di tiga wilayah sekaligus. Tiga kompetisi itu adalah ESL Thailand Championship, ESL Vietnam Championship, dan ESL MY & SG Championship. Game yang diusung yaitu Dota 2, dengan total prize pool yang ditawarkan ESL mencapai US$36.000 (sekitar Rp509.000.000).

ESL National Championship 2019
ESL National Championship 2019 | Sumber: ESL Asia

ESL menggelar empat babak kualifikasi online sepanjang bulan Maret untuk menentukan tim-tim terbaik dari tiap wilayah. Setiap kualifikasi akan meloloskan dua juara, jadi di akhir kualifikasi online akan didapatkan delapan tim. Tim-tim ini kemudian akan bertarung selama satu season, dari bulan April sampai Mei, hingga ditemukan empat tim terkuat. Merekalah yang akan maju ke babak final offline pada bulan Juni nanti untuk menentukan siapa jawara Dota 2 dari masing-masing wilayah.

Berikut ini jadwal kualifikasi online dari ketiga ESL National Championship di atas:

  • Qualifier 1: Rabu, 13 Maret
  • Qualifier 2: Sabtu, 16 Maret
  • Qualifier 3: Rabu, 20 Maret
  • Qualifier 4: Sabtu, 23 Maret

Tim yang ingin melakukan pendaftaran bisa langsung menuju situs resmi ESL Gaming di sini. Berhubung ini adalah turnamen yang bersifat regional, ESL menerapkan aturan khusus yaitu bahwa minimal 3 dari 5 orang anggota tim harus berasal dari wilayah kompetisi yang dipilih. Selain itu, sebuah tim diperbolehkan mengikuti semua kualifikasi online bila mereka masih belum lolos ke babak liga utama.

Fnatic
Fnatic, salah satu organisasi esports besar berbasis Asia Tenggara | Sumber: Fnatic

“National Championship merupakan wujud komitmen kami untuk menumbuhkan jagoan-jagoan esports lokal di Asia Tenggara. Asia Tenggara mewakili pasar besar yang sarat akan potensi pertumbuhan dan memiliki beberapa tim terbaik di wilayahnya. Kami benar-benar yakin bahwa pendekatan kami dapat membantu memfasilitasi lebih banyak pemain SEA untuk menuju dunia esports internasional, menciptakan kisah Zero to Hero di wilayah ini,” demikian keterangan dari Nick Vanzetti, SVP of ESL Asia-Pacific Japan, dilansir dari VP Esports.

Kepada Hybrid, Vanzetti juga pernah bercerita panjang lebar tentang potensi besar Asia Tenggara yang diincar oleh ESL. Menurutnya, salah satu aspek terpenting untuk ESL agar sukses beroperasi di Asia Tenggara adalah kerja sama dengan partner-partner lokal, termasuk juga merekrut tenaga kerja lokal sebanyak mungkin. Anda dapat menyimak wawancara Hybrid dengan Nick Vanzetti di tautan berikut, atau menonton videonya di bawah.

Sumber: ESL, VP Esports

GEF: Esports dan Olimpiade Harus Saling Belajar dari Satu Sama Lain

Perjuangan para pegiat esports dunia untuk membawa bidang kompetisi ini ke ranah Olimpiade masih belum berakhir, namun saat ini sedang berada di kondisi yang kurang menguntungkan. Pasalnya, ketua Komite Olimpiade Internasional (IOC) sudah menyatakan bahwa esports sulit masuk ke Olimpiade karena di dalamnya terdapat unsur kekerasan yang tidak selaras dengan nilai-nilai Olimpiade. IOC juga telah sepakat bahwa esports tidak akan muncul di Olimpiade Paris 2024. Perjuangan esports untuk diakui masih panjang, setidaknya hingga lima tahun ke depan.

Baru-baru ini, ESL dan The Esports Observer menggelar pertemuan di Katowice, Polandia, untuk mendiskusikan isu-isu esports lebih lanjut. Pertemuan tersebut bernama Global Esports Forum (GEF), dan dihadiri oleh beberapa petinggi esports dunia seperti Michal Blicharz (Vice President of Pro Gaming, ESL), Nicolas Besombes (penasehat Global Association of International Sports Federation), dan lain-lain. Salah satu panel diskusi dalam forum tersebut membahas topik tentang kemungkinan kerja sama antara esports dengan Olimpiade, dan apakah kerja sama itu perlu perlu terwujud.

Esports tidak harus jadi cabang Olimpiade

Menurut Blicharz, sebetulnya esports dan Olimpiade tidak saling membutuhkan bila tujuannya hanya untuk bertahan hidup. Tapi ada banyak aspek di mana dua bidang ini bisa saling membantu. Salah satunya yaitu untuk mengubah paradigma masyarakat banyak, utamanya para orang tua, terhadap video game kompetitif.

“Memiliki keterkaitan dengan Olimpiade adalah sebuah tanda pengakuan. Ini bisa membuka mata banyak orang terhadap esports. Seluruh dunia tahu tentang Olimpiade. Bila esports masuk ke dalam Olimpiade, maka para orang tua atau kakek-nenek akan lebih mudah menerima video game ketika anak-anak mereka berkata (misalnya) ingin bergabung dengan tim Astralis dan beraksi di panggung. Orang-orang berusia 35 tahun ke atas masih memiliki banyak pengaruh di dunia ini,” ujar Blicharz.

Pandangan tersebut senada dengan apa yang diutarakan oleh Yohannes P. Siagian, kepala sekolah SMA 1 PSKD sekaligus juga Vice President EVOS Esports. Dukungan masyarakat terhadap esports ini memang sesuatu yang tidak kasat mata, tapi sebetulnya penting dalam menciptakan ekosistem esports yang berkesinambungan. “Kalau belum ada pengakuan dari masyarakat—masyarakat mainstream, bukan masyarakat gaming—akan ada suatu hambatan sosial pada saat anak-anak atau dewasa muda mau masuk ke gaming,” ujarnya dalam wawancara bersama Hybrid.

Esports juga bisa belajar dari nilai-nilai Olimpiade untuk mendorong gerakan anti korupsi, anti doping, serta perlindungan atlet. Sementara Olimpiade bisa belajar dari dunia esports untuk menyelesaikan beberapa masalah mereka yang sudah lama terjadi di beberapa tahun terakhir. Misalnya di masalah interaksi penggemar (engagement) atau kenyamanan menonton (spectatorship), yang mana keduanya sudah berhasil dilakukan esports dengan sangat baik.

Penting untuk diperhatikan bahwa jalinan kerja sama antara esports dengan Olimpiade itu wujudnya bisa bermacam-macam, tidak hanya berupa “masuknya esports sebagai salah satu cabang medali Olimpiade”. Memang hal itu bisa dibilang merupakan pengakuan tertinggi, tapi sebelum menuju ke sana pun, kedua ekosistem sudah bisa menjalin kerja sama dan saling belajar.

Nicolas Besombes berkata, “Ketika kita bicara gerakan Olimpiade, isinya bukan hanya perlombaan. Di dalamnya juga ada federasi internasional, dan komite Olimpiade. Sebelum kita bergabung ke dalam program olahraga, yang mana merupakan pengakuan tertinggi, kita punya banyak tahapan untuk dilalui. Esports tidak harus masuk ke dalam program olahraga untuk belajar dari gerakan dan federasi tersebut.”

GEF 2019 - Discussion
Panel diskusi GEF 2019 | Sumber: The Esports Observer

Banyak masalah selain isu kekerasan

Selama ini kesulitan masuknya esports ke Olimpiade selalu dikaitkan dengan kekerasan, tapi sebenarnya banyak kendala yang lebih kompleks dan penting untuk diperhatikan. Salah satunya misalnya masalah properti intelektual.

Berbeda dengan olahraga konvensional, yang kepemilikannya tidak dimonopoli pihak tertentu, setiap cabang esports adalah properti intelektual yang berada di bawah payung penerbit. Satu penerbit dengan penerbit lainnya pada dasarnya adalah saingan bisnis. Bagaimana caranya membuat mereka semua bersatu? Tentu tidak mudah.

Properti intelektual ini kemudian juga berdampak pada kelangsungan hidup suatu cabang esports yang sangat tergantung pada penerbitnya. Bila berbicara tentang olahraga konvensional, hingga sepuluh atau dua puluh tahun lagi pun suatu cabang olahraga akan tetap ada. Tapi bagaimana dengan cabang esports, misalnya Dota 2? Belum tentu.

“Ketika IOC berbicara tentang esports, mereka membicarakan esports secara keseluruhan, bukan sebagai judul-judul (game) terpisah. Tapi bila Anda merupakan pelaku esports Anda tahu bahwa ini semua adalah tentang judul-judul terpisah dan esports hanyalah sebuah istilah umum,” kata Blicharz, “Hal itu membingungkan bagi orang luar. Dan bagaimana bila ada penerbit besar yang menutup esports suatu game? Anda tentu tidak mengira olahraga handball dapat tutup sewaktu-waktu.”

Sementara dari masalah kekerasan, GEF beranggapan bahwa IOC sendiri harus segera mendefinisikan batasan yang jelas. Apa kriteria yang diperlukan suatu game agar boleh masuk ke Olimpiade? Apakah dari rating, atau kriteria lainnya? Pegiat esports perlu mengedukasi pihak penyelenggara Olimpiade tentang hal ini, dan menunjukkan bahwa ada game kompetitif yang memiliki rating untuk semua umur. Misalnya Splatoon untuk genre shooter.

IEM Katowice 2019 - Astralis
Astralis saat menjuarai IEM Katowice 2019 | Sumber: IEM

Blicharz juga menjelaskan bahwa ketika kita sudah bicara esports, gambaran kekerasan dalam suatu game itu sebetulnya menjadi tak penting. “Dalam StarCraft II, Anda harus menghancurkan lawan secara simbolis. Tapi bagi kita, kita tidak melihat perbedaan signifikan (antara StarCraft II) dengan Counter-Strike. Anda tidak mementingkan tampilan grafis, Anda hanya berpikir tentang strategi. Banyak hal yang perlu kita lakukan untuk mengedukasi mereka,” tuturnya.

Misi Olimpiade adalah untuk menyatukan dunia lewat olahraga. Dengan sudut pandang seperti itu, esports juga haruslah merupakan permainan yang bisa diterima oleh seluruh dunia. Banyak cabang esports populer yang mengandung unsur kekerasan sehingga tidak bisa diterima semua orang. Sebaliknya, game yang lebih mudah diterima masyarakat (misalnya seri FIFA) mungkin tidak bisa menarik industri esports keseluruhan. Tidak mudah mempertemukan antara dua kepentingan ini, dan mungkin akan butuh usaha panjang.

Salah satu cara yang mungkin bisa menjadi solusi adalah menggelar ajang terpisah dari Olimpiade, tapi masih berada di bawah payung Olimpiade. Dengan demikian ajang ini bisa memiliki aturan-aturan sendiri, bahkan mungkin jadwal/rentang tahun tersendiri untuk memfasilitasi kebutuhan dunia esports.

Para pegiat esports tidak boleh terlalu terburu-buru dalam memaksakan agendanya, apalagi mengingat Olimpiade adalah tradisi yang sudah berusia sangat tua. Untuk mengubahnya bisa jadi perlu waktu lama. Tapi seandainya pun perlu waktu lama, atau seandainya pun ujung-ujungnya kerja sama ini tidak membuahkan hasil, tetap ada hal yang bisa dipelajari oleh kedua belah pihak.

“Di dunia esports di mana semua hal selalu dilakukan tergesa-gesa, gerakan Olimpiade sudah sangat mapan sehingga mereka bisa menghabiskan waktu lama (untuk berubah). Bergerak lambat adalah sesuatu yang baru dalam dunia esports, dan bila akhirnya tidak membuahkan hasil, itu tidak apa-apa. Mengapa kita tidak belajar saja dari satu sama lain, berbagi pengalaman, dan saling membantu untuk tumbuh?” tutup Besombes.

Sumber: The Esports Observer

Mampukah Jagoan-Jagoan FIFA 19 Indonesia Meraih Kursi di eChampions League FIFA 19?

EA Sports dan UEFA bekerja sama menggelar sebuah kompetisi FIFA 19 yang berjudul eChampions League untuk turut merayakan kemeriahan pesta sepak bola termegah antar klub, Liga Champion. Pasalnya, final eChampions League 2019 ini nantinya akan digelar di Madrid, Spanyol, tanggal 31 Mei 2019 (sehari sebelum final Liga Champion tanggal 1 Juni 2019).

Turnamen bergengsi ini hanya akan mempertandingkan 8 pemain terbaik dari seluruh dunia. Karena itu, akan ada beberapa babak penyisihan yang akan digelar terlebih dahulu. Penyisihan pertama, yang bertajuk eChampions League Global Online Knockout, akan digelar pada tanggal 2-3 Maret 2019 ini. 64 pemain terbaik dari sana akan bertanding lagi di kualifikasi berikutnya tanggal 26-27 April 2019.

Turnamen yang eksklusif untuk PS4 ini menawarkan total hadiah sampai dengan US$280 ribu. Sedangkan sang juaranya berhak mendapatkan uang santunan sebesar US$100 ribu dan 850 poin untuk klasemen FIFA Global Series.

Sumber: AS
Sumber: AS

Dalam rilis resminya, Brent Koning, EA Sports FIFA Competitive Gaming Commisioner mengatakan “membangun kompetisi Liga Champion yang otentik adalah langkah logis selanjutnya untuk melanjutkan ekspansi FIFA 19 buat para pemain ataupun penonton. Para pemain kompetitif kami mencintai UEFA Champions League dan eChampions League menciptakan peluang unik untuk para bintang FIFA mewakili tim mereka dalam sebuah pesta termegah klub sepak bola.”

Menurut cerita dari Ahmad Karim, yang merupakan salah satu pemain FIFA 19 paling senior di Indonesia, akan ada 6 slot yang diberikan untuk para pemain terbaik dari kawasan Asia di kualifikasi pertama nanti. Karena itulah, menurutnya, peluang Indonesia mengirimkan wakilnya cukup besar. Dari informasi yang ia dapatkan, setidaknya ada 7 pemain Indonesia yang akan turun ke lapangan mencoba peruntungan mereka.

Ketujuh pemain tersebut adalah:

  • Kenny “rainesuaL-” Prasetyo dari SFI
  • Ega “Eggsy” Rahmaditya dari RRQ
  • Muhammad “icanbutsky” Ikhsan dari PG.Barracx
  • Fachry “LowlyGentlemen7” Bakrie (belum punya klub esports)
  • Abdul “blackrojacks” Rozak (belum punya klub esports)
  • Ahmad “FadhkarimUG” Karim
  • “Chanks” dari XCN namun memakai IGN netralsquad untuk klasemen FIFA 19 Global Series

7 pemain tadi mungkin memang boleh dibilang sebagai pemain-pemain FIFA 19 terbaik dari Indonesia. Hanya Dennis Pugu (Zeus_Dennis) dari TEAMnxl yang nampaknya akan absen di kualifikasi kali ini.

Kenny Prasetyo sebelumnya bahkan mendapatkan undangan untuk ikut berlaga di FUT Champions Cup di London. Sedangkan Eggsy sempat jadi juara Asia saat masih FIFA 18, di PlayStation League Asia yang digelar di Malaysia. Abdul Rozak juga sebelumnya menjadi juara di turnamen FIFA 19 Kaskus Battleground. Sedangkan icanbutsky, Chanks, dan LowlyGentlemen7 juga sudah biasa terdengar di ajang kompetitif FIFA 19 nasional.

Klasemen sementara FIFA Global Series untuk para pemain dari Indonesia. Sumber: fifa.gg
Klasemen sementara FIFA Global Series untuk para pemain dari Indonesia. Sumber: fifa.gg

Meski begitu, perjalanan kawan-kawan kita tadi juga tidak akan mudah karena ada pemain-pemain terbaik FIFA 19 dari seluruh Asia yang juga siap berlaga seperti shing7160 dari Hong Kong yang sebelumnya lolos kualifikasi Asia untuk FUT Champions Cup April 2019, xMarkoHD dari Australia, ataupun GB.Fenrir dari Malaysia.

Beberapa pemain-pemain kita juga sempat memberikan nama-nama pemain yang menurut mereka paling mengerikan, yang dihimpun langsung informasinya oleh Ahmad Karim. Berikut ini adalah nama-nama pemainnya:

  • xMarkoHD (Australia) menurut Eggsy
  • Nasri121017 (Jepang) menurut icanbutsky
  • Nasri121017 (Jepang) menurut blackrojacks
  • fastblkdude (Singapura) menurut FadhkarimUG
  • Wisuwat (Thailand) menurut Chanks

Kira-kira, apakah ada yang lolos dari 7 jagoan kita tadi? Siapakah 6 pemain yang akan mewakili Asia di kualifikasi eChampions League yang selanjutnya? Apakah ada 1 pemain dari Asia yang mampu menembus ke gelaran utama di Madrid nanti?

Kita tunggu saja ya!

Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Komunitas FIFA 19 Indonesia

 

WCG 2019 Umumkan Empat Cabang Game yang Akan Dipertandingkan

World Cyber Games 2019 (WCG 2019) mengumumkan Dota 2 sebagai salah satu judul game yang akan dipertandingkan. Sebelum Dota 2, mereka sudah mengumumkan 3 game lain yang akan dipertandingkan, yaitu Clash Royale, Honor of Kings (AOV versi lokal Tiongkok), dan Warcraft III: The Frozen Throne.

Nama WCG sebenarnya sudah tidak asing lagi dalam ekosistem esports, apalagi bagi Anda yang sudah mengikuti (atau mungkin menggeluti) jagat gaming kompetitif sejak lama. Memulai event esports mereka sejak tahun 2000, WCG kerap dianggap sebagai salah satu kompetisi esports bergengsi, setidaknya sampai 2013 kemarin.

Perjalanan panjang WCG menggelar event esports selama 14 tahun akhirnya terpaksa terhenti setelah event terakhir mereka di Kunshan, Tiongkok. WCG  akhirnya vakum selama kurang lebih 5 tahun, sampai akhirnya brand ini diakuisisi oleh pengembang Crossfire, Smilegate, dan bangkit kembali.

Sumber:
Sumber: Engadget.com

Mengutip Esports Insider, WCG berencana bangkit di tahun 2018 lewat sebuah event di Bangkok, Thailand. Event tersebut akhirnya gagal terlaksana, sampai mereka pun akhirnya baru betul-betul bangkit setelah mengumumkan WCG 2019 pada September 2018 lalu. 

WCG kabarnya menggunakan waktu vakum mereka untuk mempersiapkan berbagai hal, demi mengembalikan kejayaan brand kompetisi esports tertua di Asia ini. Kabarnya kompetisi WCG 2019 akan hadir dengan panggung berteknologi tinggi dan konsep hiburan modern. Mereka bahkan merilis lagu tema berjudul ‘Beyond the Game’ pada 13 Februari 2019 lalu, yang dibuat oleh DJ internasional ternama, Steve Aoki.

Menurut informasi, WCG 2019 akan diselenggarakan pada 18 – 21 Juli 2019 mendatang di Xi’an, Tiongkok. Kendati demikian, penyelenggara sepertinya masih sedang menggodok banyak hal. Mencoba menghampiri laman wcg.com, saya melihat beberapa informasi masih belum lengkap seperti: jadwal kualifikasi yang masih kosong, serta dua slot coming soon dalam jajaran game yang akan dipertandingkan.

Sumber:
Seperti WESG, WCG juga menggunakan format layaknya olimpiade. Sumber: WESG Official Sites

WCG awalnya adalah branding event esports milik Korea Selatan, yang disokong secara finansial oleh Samsung. Mirip seperti WESG, kompetisi WCG menggunakan format kompetisi layaknya olimpiade dengan menekankan kebanggaan nasionalisme negara.

Pada zamannya, WCG mempertandingkan judul-judul game terpopuler, seperti: Quake III Arena, Age of Empires II, StarCraft: Brood War, Counter Strike 1.6, DotA mod Warcraft III, dan lain sebagainya.

Kompetisi ini juga sempat diadakan di Indonesia, bahkan terhitung sebagai salah satu event esports terbesar kala itu. WCG diadakan di Indonesia pada 9-13 November 2011 lalu, di Epicentrum Walk, dengan mempertandingkan 16 negara dari Asia termasuk Indonesia.

Sumber:
Babak final WCG 2011 yang diadakan di Busan, Korea Selatan. Sumber: GameSpot

Dengan tren kompetisi esports yang sudah berubah, perjuangan WCG untuk menggelar event esports yang sukses mungkin bakal lebih sulit. Kini kebanyakan pengembang ingin punya kendali atas ekosistem esports mereka sendiri, seperti League of Legends dan Overwatch. Alhasil kebanyakan event esports pihak ketiga cenderung dinilai tidak prestis, karena otoritas tertinggi kompetisi dipegang oleh sang pengembang sendiri.

Namun bukan berarti tak ada kesempatan bagi event esports buatan pihak ketiga seperti WCG. Sebab kalau kita mengintip jagat kompetitif Dota, event seperti MDL Macau 2019 dan ESL Katowice 2019 terbukti masih cukup sukses menarik perhatian komunitas gamers. Padahal kedua event tersebut berjalan tanpa memegang status DPC Major/Minor dan tanpa banyak campur tangan pihak Valve.

Mungkin kembali lagi ke inti dari tayangan esports, di mana konten adalah nilai jual utama. Dengan mendorong format nasionalisme negara, konsep hiburan modern, juga sokongan brand esport sebesar WCG, saya rasa WCG 2019 seharusnya bisa sukses jika eksekusinya berjalan dengan baik.

 

Nike Sponsori Liga League of Legends Tiongkok Selama Empat Tahun

Produk pakaian olahraga ternama, Nike, mengumumkan kerjasama dengan TJ Sports untuk sponsori League of Legends Pro League (LPL). Kerjasama ini berjalan mulai dari 2019 sampai 2022. Dalam perjanjian ini, nantinya semua bagian dari LPL termasuk pemain, pelatih, wasit, dan manajer tim, akan secara eksklusif menggunakan pakaian dan sepatu dari Nike.

Liga LoL Esports regional Tiongkok, LPL, bisa dibilang sebagai salah satu liga kasta utama paling kompetitif, selain dari League of Legends Champions Korea (LCK). Dua regional ini bahkan terkenal selalu menjadi rival dalam jagat kompetitif League of Legends internasional. 

Sumber:
Sumber: Dot Esports

Sampai League of Legends World Championship tahun 2017, rivalitas tersebut masih terjadi cukup sengit, walau tim Tiongkok yang diwakili Royal Never Give Up berakhir gagal masuk babak final.

Bukan cuma dalam soal branding saja, tapi dalam kerjasama ini, Nike juga akan menciptakan program latihan fisik untuk tim dan pemain peserta LPL . Hal ini dilakukan demi meningkatkan kesehatan fisik dan stamina para atlet esports yang bermain di LPL.

Mengutip dari Esports Observer, Nike dan LPL dikabarkan juga akan merancang sebuah lini pakaian bertema “Nike & LPL”. Namun hal ini baru akan tersedia bagi publik setelah gelaran Mid-Season Invitational, yang akan diadakan di Taiwan dan Vietnam pada Mei 2019 mendatang.

Finalis dan juara Worlds 2018, Invictus Gaming, berasal dari liga regional Tiongkok, LPL. Sumber
Finalis dan juara Worlds 2018, Invictus Gaming, berasal dari liga regional Tiongkok, LPL. Sumber: LoL Esports Official Media

Terkait kerjasama ini, Lin “Leo” Song sebagai Co-CEO dari TJ Sports mengatakan “Kerjasama antara Nike dengan LPL ini merupakan kerjasama yang sangat signifikan. Kami sangat tak sabar melihat dukungan Nike kepada atlet esports maupun tim peserta LPL”

Awalnya, kerjasama antara TJ Sports dengan Nike akan berlangsung selama lima tahun dengan nilai sebesar US$144 juta (sekitar Rp2 triliun). Namun hal itu tak terjadi dan perjanjian antara Nike dengan LPL hanya berlangsung untuk 4 tahun. Nilai kerjasama ini ditaksir bernilai US$29 juta (sekitar Rp400 miliar), termasuk investasi uang serta berbagai benefit yang diterima oleh LPL.

TJ Sports merupakan perusahaan joint venture antara Tencent dengan pengembang League of Legends, Riot Games, yang dibuat pada Januari 2019 lalu. Fokus TJ Sports adalah pada sisi bisnis dari jagat kompetitif League of Legends seperti: menggelar turnamen, berkolaborasi dengan esports venue, merekrut serta mengelola para talent.

Kendati Esports jarang menampilkan sang pemain, nyatanya sneakers culture juga melekat di kalangan komunitas gamers terutama para atlet esports. Jadi bukan tidak mungkin kerjasama dengan LPL dengan Nike akan semakin meningkatkan brand imaging mereka di komunitas gamers. Sumber:
Sumber: LoL Esports Official Media

Kerjasama antara produk pakaian olahraga dengan bagian dari ekosistem esports ini sebenarnya bukan yang pertama kali. Sebelumnya juga ada brand Puma yang jalin kerjasama dengan salah satu organisasi esports terbesar di Amerika Serikat, Cloud9.

Namun ini adalah kali pertama ada brand pakaian olahraga mensponsori badan liga esports. Hal ini jadi terdengar cukup janggal, mengingat proporsi tayangan esports terbilang lebih berat dari sisi in-game, dengan hanya sesekali menampilkan para pemainnya. Tetapi siapa yang tahu, bisa jadi kerjasama Nike dengan LPL ini berhasil meningkatkan brand imaging mereka di kalangan komunitas gamers.

Tencent dan Garena akan Gelar Arena of Valor World Cup 2019 di Vietnam

Tencent dan Garena mengumumkan bahwa Arena of Valor World Cup 2019 (AWC 2019) akan diadakan di Vietnam. Tahun lalu, event esports AOV tahunan ini diadakan di Los Angeles, Amerika Serika dengan tujuan untuk memikat peminat mobile gaming di barat. Namun sepertinya tahun ini Tencent dan Garena memilih untuk fokus memanjakan penggemar mobile gamers di Asia.

Pemilihan Vietnam sebagai tuan rumah AWC 2019 sebenarnya bisa dibilang langkah masuk akal bagi Tencent dan Garena, mengingat negara tersebut merupakan salah satu regional dengan jumlah pemain Arena of Valor terbanyak. Diterbitkan dengan nama Liên Quân Mobile, Esports Charts mencatat bahwa tayangan liga AOV lokal Vietnam sudah ditonton total selama 5.097.486 jam, dengan jumlah penonton terbanyak secara bersamaan adalah 213.301 penonton.

Dengan diadakannya AWC di Vietnam, tahun 2019 jadi tahun pesta esports bagi negara Vietnam. Pasalnya, selain menjadi tuan rumah event internasional Arena of Valor, Vietnam juga menjadi tuan rumah dari salah satu event kompetisi tengah musim League of Legends terbesar, Mid-Season Invitational.

Sumber:
Sumber: Garena Lien Quan Vietnam

Mengutip sebuah bocoran informasi dari Esports Observer, kompetisi AWC 2019 kabarnya akan membawa sebuah format baru yang membuat pertandingan jadi lebih menarik ditonton. Format tersebut diberi nama “Global Ban Pick”, format yang dirancang agar tim peserta tidak menggunakan hero yang sama secara terus menerus selama kompetisi. 

Jadi semisal kedua tim bertanding dalam seri pertandingan best-of-5, setiap tim hanya boleh menggunakan satu hero sebanyak satu kali dari empat kali permainan yang dijalani; dengan pengecualian jika permainan mencapai ke game 5.

Entah bagaimana format ini akan berdampak kepada para pemain, namun satu hal yang pasti ini akan membuat permainan jadi lebih menghibur. Selama ini baik AOV atau League of Legends menghadapi masalah yang sama, yaitu sedikitnya variasi hero yang kuat untuk bisa digunakan dalam pertandingan kompetitif.

Sumber:
Penjelasan soal apa itu Global Ban Pick mengutip dari laman resmi Lien Quan Mobile. Sumber: Garena Lien Quan Vietnam

Hal ini kadang membuat pertandingan jadi terasa membosankan, apalagi dalam seri-seri panjang seperti best-of-5 atau best-of-7. Para peserta biasanya akan terus mengulang menggunakan hero dan gaya permainan yang sama demi memenangkan pertandingan.

Lalu bagaimana wakil Indonesia untuk AWC 2019? Tahun lalu juara Arena of Valor Star League Season 1, EVOS AOV, langsung dipastikan untuk mewakili Indonesia dalam gelaran AWC 2018. Namun tahun ini, informasi seputar hal tersebut masih belum jelas. Mengingat Garena tidak menyebut apapun tentang AWC 2019, pada saat penganugerahan EVOS AOV sebagai juara ASL Season 2.

Terkait AWC 2019, selain negara tempat diadakan, belum ada pengumuman lebih lanjut seputar tempat, tanggal acara, serta total hadiah yang diperebutkan. AWC tahun lalu memperebutkan total hadiah sebesar US$550 ribu (Sekitar Rp7,7 miliar). Kalau melihat hadiah AoV International Championship 2018 yang meningkat, bukan tidak mungkin hadiah AWC 2019 juga akan meningkat.

Mengintip Serunya EVO Japan 2019 Bersama Komunitas Fighting Game Indonesia

EVO Japan 2019 telah berakhir, mengembalikan Yusuke Momochi ke takhtanya sebagai jawara Street Fighter dunia. Meski bukan merupakan ajang EVO utama yang digelar di Las Vegas, EVO Japan tetap menghadirkan pertarungan-pertarungan level tinggi yang seru. Lebih menarik lagi adalah bahwa ajang ini dihadiri oleh pemain-pemain yang biasanya tak bisa hadir di EVO Las Vegas, seperti juara Tekken 7 EVO Japan 2019 yaitu Arslan Ash dari Pakistan.

Antusiasme EVO Japan juga tinggi di kalangan penggemar fighting game Indonesia. Beberapa di antara mereka bahkan rela terbang ke negeri sakura, bukan hanya untuk menonton pertandingan secara langsung tapi juga untuk ikut bertanding. Seperti apa keseruan EVO Japan 2019 bila disaksikan dari dekat? Berikut ini cerita mereka.

Dari Tokyo menuju Fukuoka

Evolution Championship Series: Japan, alias EVO Japan, pertama kali digelar pada tahun 2018 lalu sebagai perpanjangan dari turnamen EVO yang ada di Las Vegas, Amerika Serikat. Keberadaan EVO Japan membuka peluang besar bagi para pecinta fighting game di Bumi belahan timur untuk berkompetisi di panggung internasional. Pasalnya, tidak semua orang punya cukup modal transportasi serta akomodasi ke Las Vegas, apalagi ada beberapa negara yang sulit untuk mendapatkan visa Amerika Serikat.

Tidak perlu khawatir juga level kompetisinya lebih rendah, karena brand EVO sendiri sudah sangat kuat sebagai wadah berkumpulnya petarung-petarung jago. Apalagi hadiah yang ditawarkan juga cukup besar. EVO Japan 2019 kali ini pun dihadiri oleh wajah-wajah populer dunia fighting game seperti Knee, Tokido, Ogawa, Kazunoko, dan masih banyak lagi lainnya.

Fukuoka Kokusai Center
Fukuoka Kokusai Center, lokasi acara EVO Japan 2019 | Sumber: Fukuoka Kokusai Center

EVO Japan 2018 dulu digelar di kota Tokyo, tepatnya di mal Sunshine City Ikebukuro. Namun EVO Japan 2019 sekarang digelar di kota Fukuoka yaitu di gedung Fukuoka Kokusai Center. Berjarak lebih dari 1.000 Km dari Tokyo, nama Fukuoka mungkin tidak begitu dikenal oleh para penggemar di luar Jepang. Tapi kota ini masih tergolong kota besar, dengan lokasinya yang berada di tepi pantai memberi nuansa wisata tersendiri.

Kontingen Indonesia yang berangkat ke EVO Japan 2019 terdiri dari Bram “buramu” Arman (co-founder Advance Guard) dan Rindradana “Kontoru” Rildo (founder ABUGET). Di lokasi, mereka sempat juga bertemu dengan sekelompok warga Indonesia lainnya, namun sayangnya mereka tidak sempat berbincang banyak. Christian “R-TecH” Samuel (atlet Alter Ego Esports) juga pada awalnya berencana berangkat, bahkan sudah mendapatkan tiket pesawat, tapi batal pergi karena suatu halangan.

Biaya yang dibutuhkan untuk menghadiri EVO Japan secara mandiri jelas jauh lebih murah daripada EVO Las Vegas. Menurut testimoni peserta yang pernah berangkat ke Las Vegas dari Malaysia, total biaya yang dikeluarkan bisa mencapai 4.000 – 5.000 dolar Amerika (sekitar Rp56 – 70 juta). Tapi transportasi dan akomodasi ke EVO Japan bisa didapatkan dengan modal mulai Rp7 juta saja.

Fukuoka Kokusai Center - Indoor
Suasana panggung EVO Japan 2019 di Fukuoka Kokusai Center | Sumber: Dokumentasi Bram Arman

Tentu harga ini bisa lebih mahal tergantung dari jenis transportasi dan penginapan yang dipilih. Sebagai contoh, bila Anda mendapat tiket pulang pergi seharga Rp5 juta, dan hotel seharga Rp1 juta tiap malamnya, maka Anda butuh dana Rp11 juta untuk pergi lalu menginap selama enam malam. Yang jelas masih jauh lebih murah ketimbang terbang ke negeri Paman Sam.

Penyelenggaraan yang lebih rapi

Secara keseluruhan, skema acara EVO Japan 2019 tidak berubah banyak dari tahun sebelumnya. Namun tetap ada perbedaan dari segi fasilitas serta penyelenggaraan, sebagian lebih baik dan sebagian lebih buruk. Contohnya, EVO Japan 2018 menggunakan venue dengan dua hall berbeda, dengan dua lantai berbeda untuk turnamen yang termasuk official tournament. Tahun ini semua official tournament digelar di area yang sama.

EVO Japan 2019 - Hardware Setups
Setup perangkat di EVO Japan 2019 tergolong rapi | Sumber: Dokumentasi Bram Arman

Babak penyisihan tahun lalu memakan waktu hanya satu hari yaitu di hari Sabtu, namun tahun ini dibagi menjadi dua di hari Jumat dan Sabtu. Padahal jumlah game di official turnamen tahun lalu lebih banyak. Hebatnya, meski dengan waktu yang lebih singkat dan padat, penyelenggara EVO Japan 2018 bisa menjalankan turnamen dengan lebih efisien. Sementara di 2019, menunggu peralihan dari Winners’ Bracket ke Losers’ Bracket bisa makan waktu 3 – 4 jam.

Dari segi kenyamanan penonton, EVO Japan tahun 2018 maupun 2019 sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri. Tahun lalu lebih baik karena setiap game memiliki streaming station sendiri, sementara tahun ini hanya ada tiga stage untuk streaming sehingga setiap game harus ditayangkan bergantian. Tapi buruknya, tahun lalu pertandingan final digelar di tempat berbeda (Akihabara) dan tidak semua orang bisa menonton.

EVO Japan 2019 - Street Fighter V: Type Arcade
Kabinet Street Fighter V: Type Arcade | Sumber: Dokumentasi Bram Arman

Tahun lalu, meski punya uang untuk membayar, hadirin tetap harus melalui semacam undian untuk menentukan apakah mereka boleh ikut menonton pertandingan final atau tidak. Kini sistem undian dihilangkan sehingga semua orang dapat menonton, dan acara final digelar di tempat yang sama dengan kualifikasi. Pada hari pertandingan final, area kualifikasi diubah menjadi bangku penonton, trik cukup cerdas untuk memfasilitasi jumlah penonton yang besar.

Kekurangan yang dari tahun lalu masih belum berubah yaitu staf penyelenggaranya yang hanya bisa bahasa Jepang. EVO Japan adalah event besar yang menarik penggemar dari berbagai penjuru dunia, jadi ini cukup menyulitkan bila ada hadirin yang tidak bisa berbahasa Jepang. Selain itu, EVO Japan tetap memiliki antrian yang mengular. Untungnya warga Jepang sangat rapi dalam mengantri.

EVO Japan 2019 - Queue
Jepang memang identik dengan budaya mengantri | Sumber: Dokumentasi Bram Arman

Kompetisi, merchandise, dan pameran

EVO Japan adalah event independen, tidak seperti EVO Las Vegas yang biasanya masuk menjadi bagian dari rangkaian event lain (Tekken Word Tour, Capcom Pro Tour, dsb). Meski demikian, game ini tetap menawarkan hadiah yang cukup menarik. Malah, hadiah Tekken 7 di EVO Japan lebih tinggi daripada hadiah World Circuit Tekken World Tour Final. Berikut ini beberapa game yang dipertandingkan dan hadiahnya.

Tekken 7, Street Fighter V: Arcade Edition

  • Juara 1: 1.500.000 Yen
  • Juara 2: 600.000 Yen
  • Juara 3: 300.000 Yen
  • Juara 4: 180.000 Yen
  • Juara 5: 12.000 Yen x 2 orang
  • Juara 7: 9.000 Yen x 2 orang

BlazBlue Cross Tag Battle, The King of Fighters XIV, Soulcalibur VI, Guilty Gear Xrd REV 2

  • Juara 1: 500.000 Yen
  • Juara 2: 200.000 Yen
  • Juara 3: 100.000 Yen
  • Juara 4: 60.000 Yen
  • Juara 5: 40.000 Yen x 2 orang
  • Juara 7: 30.000 Yen x 2 orang

Deretan judul yang disebut di atas adalah game yang masuk ke official tournament. Selain itu, masih ada juga turnamen sampingan (side tournament) yang digelar oleh komunitas-komunitas fighting game. Side tournament itu meliputi banyak game, termasuk Dead or Alive 6, Dragon Ball FighterZ, Million Arthur: Arcana Blood, Street Fighter II, Capcom vs. SNK 2: Mark of the Millennium 2001, dan lain-lain.

EVO Japan 2019 - Cup Noodles
Tidak semua hal di EVO Japan 2019 berhubungan langsung dengan fighting game | Sumber: Dokumentasi Bram Arman

Beberapa judul di dalam side tournament itu malah cukup nyeleneh, seperti turnamen Catherine: Full Body dan Pop’n Music yang sama-sama bukan fighting game. Karena semua ini bukan turnamen resmi, hadiahnya pun ala kadarnya saja, yaitu hanya berupa kaos polo eksklusif EVO Japan 2019 untuk peraih juara 1. Namun itu tidak mengurangi keseruan para penggemar game yang dilombakan.

Di samping pertandingan, EVO Japan 2019 juga menyajikan berbagai booth menarik, serta merchandise eksklusif dengan harga yang relatif mahal. Salah satunya yang cukup menarik adalah penjualan spare part untuk arcade stick yang merupakan produk buatan Indonesia. EVO Japan juga memiliki berbagai setup untuk mencoba beragam fighting game terbaru. Misalnya demo Kill la Kill: IF dan Street Fighter V: Type Arcade. Untuk game yang kedua ini rupanya masih memiliki bug, karena meskipun menggunakan empat kabinet yang terhubung dengan jaringan LAN, ternyata pertarungan masih mengalami lag cukup parah.

EVO Japan 2019 - Arcade Stick Parts
Segala macam suku cadang arcade stick ada di sini | Sumber: Dokumentasi Bram Arman

Mengadu nasib di negeri orang

Kontoru dan buramu sempat mengikuti turnamen untuk tiga game, yaitu Dragon Ball FighterZ, Street Fighter V: Arcade Edition, serta Tekken 7. Anda mungkin merasa aneh karena game sepopuler Dragon Ball FighterZ tidak masuk official tournament. Beberapa waktu lalu memang sempat ada kasus di mana pihak organizer EVO Japan tidak mendapat izin untuk menggelar turnamen karena masalah hak cipta.

buramu di sini ikut turnamen sekadar iseng saja dan memang bukan pemain Dragon Ball FighterZ tingkat advanced, jadi ia langsung gugur dengan mudah setelah kalah dua kali (Winners’ Bracket dan Loser’s Bracket). Di sisi lain, Kontoru adalah pemain Dragon Ball FighterZ yang berdedikasi. Sepak terjangnya di turnamen ini cukup seru:

  1. Winners’ Bracket: Kontoru vs Setsuo. Setsuo adalah pemain asal Jepang yang tangguh dan rapi dalam permainan. Kontoru pun mengakui bahwa Setsuo sangat kuat, tapi mungkin karena faktor turnamen ia jadi grogi. Kontoru menang dengan skor 2-0.
  2. Winners’ Bracket: Kontoru vs Bunzo. Sebelum bertarung dengan Bunzo, Kontoru sudah terintimidasi oleh lawannya karena melihat baju yang ia gunakan. Bukan sembarang baju, Bunzo mengenakan baju yang menunjukkan bahwa ia pernah meraih Top 8 di turnamen Dragon Ball FighterZ World Tour Saga. Kontoru hanya bisa pasrah kepada Yang Maha Kuasa.
  3. Losers’ Bracket: Kontoru vs Onaha. Meski terlempar ke Loser’s Bracket, perjuangan Kontoru belum berakhir. Ia berhasil menang dengan skor 2-1.
  4. Losers’ Semi Final: Kontoru vs Setsuo. Bertemu kembali dengan lawan pertamanya, terlihat bahwa Setsuo kini sudah dalam kondisi yang lebih sigap. Kontoru harus menerima kekalahan dengan skor 1-2, karena memang lawannya terbukti tangguh.

Sayangnya turnamen Street Fighter V: Arcade Edition bertabrakan dengan turnamen Dragon Ball FighterZ. Meski hanya side tournament, Kontoru ingin lebih fokus pada Dragon Ball FighterZ, sehingga ia meninggalkan turnamen Street Fighter V. Sementara buramu tetap ikut, namun ia mengakui bahwa persiapannya jauh dari cukup.

Sehari sebelumnya buramu sempat mencoba bertanding melawan para pemain perofesional dari tim Atlas Bear, yaitu IamChuan dan GunFight. Ia langsung sadar bahwa perbedaan kemampuannya masih jauh sekali. Namun saat pertandingan, buramu masih sempat mencuri angka dari lawannya. Berikut ini perjuangan buramu:

  1. Winners’ Bracket: buramu vs Sakagami. Sakagami adalah pemain Balrog (Boxer) yang sangat rapi. Perbedaan kemampuan mereka berdua sangat jauh, ditambah buramu tidak familier dengan matchup lawannya. Ia harus menerima kekalahan dengan skor 2-0.
  2. Losers’ Bracket: buramu vs Kuraaken. Terjadi mirror match dengan karakter Urien, dan saat itu buramu sempat mendapatkan kemenangan. Tapi kemudian lawannya berganti karakter ke M. Bison (Dictator). Menurut buramu sebetulnya dari sisi skill ia bisa memberikan perlawanan, namun ia banyak melakukan kesalahan fatal sehingga harus kalah 2-1.
EVO Japan 2019 - Attendees
EVO Japan 2019 dihadiri penggemar fighting game dari berbagai penjuru dunia | Sumber: Dokumentasi Bram Arman

Kontoru kemudian kalah default di pertandingan pertama turnamen Tekken 7, karena saat turnamen berlangsung masih jam 10 pagi dan Kontoru baru saja berkumpul dalam keriaan bersama kawan-kawan komunitas fighting game dari Filipina dan Singapura. Namun ternyata lawannya juga tidak hadir, dan Kontoru beruntung karena ia maju ke pertandingan berikutnya.

Di pertandingan kedua Kontoru masih belum datang ke venue, sementara lawannya sudah hadir, sehingga Kontoru terlempar ke Losers’ Bracket. Pertandingan Loser’s Bracket digelar lebih siang, yaitu pukul 2 siang, sehingga Kontoru bisa mengikutinya. Di sini Kontoru sempat mengalahkan satu pemain yang bernama GEN1US, namun di pertandingan berikutnya kalah oleh takehara0729 yang mengandalkan Leo.

EVO Japan 2019 - Samurai Shodown Booth
Samurai Shodown akan hadir dalam EVO 2019! | Sumber: Dokumentasi Bram Arman

Di tempat lain, buramu berhasil menang mudah di pertandingan pertama Winners’ Bracket. Lawannya, Hanitaro, adalah pemain Armor King dari Jepang yang tidak membuat buramu kesulitan. Menurutnya di Indonesia pun banyak pemain yang lebih jago dari Hanitaro. Tapi kemudian sesuatu yang mengerikan terjadi.

Lawan kedua buramu di Winners’ Bracket adalah Arslan_Ash. Benar sekali, dia adalah pemain asal Pakistan yang pada akhirnya menjadi juara Tekken 7 EVO Japan 2019. buramu sudah kenal siapa lawannya, jadi ia hanya bisa pasrah “terbantai”. Kata buramu, bertarung melawan Arslan_Ash rasanya seperti melawan robot yang mainnya canggih sekali.

EVO Japan 2019 - Casual Play
EVO Japan 2019 juga menyediakan setup untuk permainan kasual | Sumber: Dokumentasi Bram Arman

Di Loser’s Bracket, buramu menang satu pertandingan karena lawannya (SID) tidak hadir. Kemudian ia melawan cyberfoxz, pemain asal Thailand yang mengandalkan Hwoarang. Sama seperti Hanitaro, cyberfoxz masih kalah tangguh dibanding pemain-pemain Indonesia yang biasa dilawan buramu. buramu menang dengan skor 2-1.

Kemudian buramu melawan pemain Korea bernama Emperor of Night. Permainan Jin yang ditunjukkannya sudah selevel dengan pemain-pemain Tekken terbaik Indonesia, jadi buramu kalah 2-0 murni karena perbedaan keahlian. Dengan demikian berakhirlah sepak terjang kedua pemain Indonesia ini di EVO Japan 2019. Tapi masih ada satu orang lagi yang masih bertahan: SKIPAPAP.

EVO Japan 2019 - Retro Arcade Cabinet
Kabinet arcade retro yang cukup langka | Sumber: Dokumentasi Bram Arman

Siapakah SKIPAPAP? Tidak ada yang kenal, namun yang jelas ia adalah orang Indonesia juga. Ia hadir di EVO Japan 2019 bersama beberapa orang temannya, tapi buramu dan Kontoru tidak sempat berkenalan dengan mereka.

SKIPAPAP memenangkan pertanding pertama di Winner’s Bracket, kemudian menang WO atas pemain profesional bernama Pekos. Berikutnya, ia berhadapan dengan JeonDDing, pemain profesional Tekken asal Korea Selatan yang terkenal mengandalkan Eddy dan Chloe. Pertandingan ini juga masuk ke dalam live streaming, sehingga banyak orang Indonesia terheran-heran siapa sebenarnya SKIPAPAP ini. Sayangnya SKIPAPAP kemudian gugur di Losers’ Bracket setelah kalah 2-0 dari General.

EVO Japan 2019 - Dead or Alive 6 Merchandise
Dead or Alive 6 sempat menimbulkan kontroversi karena masalah “core values” | Sumber: Dokumentasi Bram Arman

Demikian cerita tentang keseruan acara EVO Japan 2019 yang berlangsung beberapa waktu lalu. EVO Japan 2019 adalah pengalaman yang sangat menyenangkan. Di sini ada pertandingan, pameran, perbelanjaan, dan yang paling penting, ada komunitas fighting game dari berbagai belahan dunia. Jepang juga merupakan tujuan liburan yang menyenangkan, jadi ada banyak hal lain untuk dinikmati selain EVO Japan itu sendiri.

Ke depannya mudah-mudahan lebih banyak lagi pemain Indonesia yang bisa berangkat ke acara EVO Japan. Malah kalau bisa tidak hanya berangkat, tapi juga meraih prestasi. Maju terus fighting game Indonesia!

Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Advance Guard.

Tak Terkalahkan, Ferox E-Sports Kembali Menangkan ComCup 8

Community Cup (ComCup) 8 kembali digelar pada akhir pekan lalu (23-24 Februari 2019). Setelah dua hari masa pertarungan, ComCup8 sudah menemukan juaranya. Pemenang ComCup 8 adalah tim yang sama dari juara ComCup 7, salah satu tim terkuat di jagat kompetisi Rainbow 6 (R6) Indonesia, yaitu Ferox E-sports.

Nama Ferox E-sports sendiri sudah sangat familiar, apalagi di kalangan komunitas R6IDN. Alasannya adalah karena Ferox E-sports merupakan salah satu tim Indonesia yang bertanding dalam gelaran R6S Pro League, kompetisi R6 paling prestisius seantero dunia.

 

Sumber: Toornament
Sumber: Toornament

ComCup8 ini mungkin bisa dibilang sebagai ComCup paling kompetitif, melihat jajaran tim yang bertanding setidaknya sampai babak semifinal. Tercatat ada 3 nama yang cukup familiar di sini, ada Team Tobat, iNation e-Sports, dan tentu Ferox E-Sports.

Berikut roster pemain tim dari Ferox E-sports yang berhasil menjadi juara ComCup8:

  • Derry “Detrian” Rahadiputra (20 tahun)
  • Reinaldo “Tolji” Gilbert Honantha (17 tahun)
  • Richard “Rixx” Nixon Latif (18 tahun)
  • Muhammad Ihsan “Lonely” Akbar Panggabean (19 tahun)
  • Muhammad Irham “Mizu” Akbar Panggabean (21 tahun)
  • Anthony “Zetosin” Lie (18 tahun)
  • Daffa “Kura” El (16 tahun)

Perjalanan Ferox di ComCup8 ini sebenarnya nyaris terganjal iNation saat keduanya bertemu di babak Semifinal. Namun Ferox berhasil menyudahi perlawanan sengit iNation dengan skor akhir 7-5. Untuk informasi ComCup8 yang lebih detail, termasuk bracket-nya, Anda bisa mengunjungi tautan ke Toornament ini.

Saat ini, Ferox E-Sports masih mengikuti kompetisi Star League juga. Namun dalam kompetisi Star League Divisi 1 tersebut, Ferox E-Sports masih tersungkur di posisi ketujuh dengan cuma mendapatkan 1 poin saja. Apakah kemenangan mereka di ComCup8 ini bisa menjadi momentum comeback di kompetisi-kompetisi lainnya?

Untuk Comcup sendiri, dengan kemenangan berturut-turut dari Ferox, Bobby Rachmadi Putra (Community Leader untuk R6IDN) mengatakan ingin mengubah sistem untuk ComCup 9 dan 10. Pasalnya, tujuan ComCup sendiri adalah untuk memberikan ruang kompetisi yang paling mendasar. Sehingga, lebih banyak lagi tim-tim amatir yang berani untuk berpartisipasi.

Bagaimana kelanjutan Community Cup yang berikutnya? Apakah akan ada tim baru yang berhasil mencuri perhatian di sana?

Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Rainbow Six: Siege Indonesia Community (R6 IDN)

Semua Akan Esports pada Waktunya, Sekalipun Itu Stardew Valley

Game kompetitif alias esports dewasa ini sudah bukan sesuatu yang aneh. Malah, sebagian besar game populer pasti sedikit banyak akan menyentuh dunia esports. Karena itu kami di Hybrid punya sebuah anekdot, “Semua akan esports pada waktunya.” Hanya saja, mungkin yang tidak kami sangka-sangka, adalah bahwa anekdot tersebut ternyata juga berlaku untuk game bercocok tanam sejenis Harvest Moon.

Twitch Rivals adalah seri esports eksklusif yang dirancang khusus untuk para streamer Twitch, dan baru-baru ini, salah satu game yang dipertandingkan adalah Stardew Valley. Hadiah yang ditawarkan pun lumayan besar, dengan total mencapai US$35.000 atau sekitar Rp492.000.000. Padahal hadiah turnamen fighting game saja sering kali tidak mencapai angka setinggi itu.

Turnamen bernama Twitch Rivals: Stardew Valley Challenge ini digelar pada tanggal 26 Februari kemarin dan diikuti oleh 10 tim yang masing-masing terdiri dari 4 streamer. Sistem pertandingannya cukup unik. Pada dasarnya, turnamen ini mengadu para streamer untuk menjadi petani paling sukses dalam rentang waktu yang ditentukan, yaitu enam jam permainan. Kemenangan ditentukan dari keberhasilan tim menyelesaikan beberapa tantangan, antara lain:

  • Jumlah Bundle yang berhasil diselesaikan di Community Center
  • Jumlah Gold yang diperoleh
  • Jumlah lantai yang berhasil dieksplorasi di Mines
  • Jumlah item langka yang berhasil diantarkan ke Museum
  • Kecepatan menangkap kelima Legendary Fish dalam game

Dengan tantangan sedemikian banyak dan waktu begitu terbatas, bisa dipastikan bahwa setiap tim akan mencoba segala macam cara ekstrem untuk menyelesaikannya. Apalagi turnamen ini juga dilengkapi dengan komentator yang membuat tayangan pertandingan jadi lebih seru. Anda dapat menonton keseluruhan pertandingan di rekaman broadcast Twitch Rivals (berdurasi 7 jam).

Twitch Rivals: Stardew Valley - Teams

Tim Kappaross memimpin dalam kategori jumlah lantai Mines yang dieksplorasi, yaitu 120 lantai. Tapi tim Seems Good Farm menang di kategori lain, karena berhasil menangkap empat dari lima Legendary Fish. Kappaross dan Seems Good Farm seri di peringkat satu dalam kategori jumlah Bundle yang diselesaikan. Kategori Museum dimenangkan oleh tim Dad Farm dengan 53 item. Sementara kategori Gold dimenangkan Kappaross dengan jumlah fantastis, yaitu lebih dari 2,9 juta Gold. Sebagai perbandingan, juara dua kategori Gold adalah tim Szczebrzeszyn dengan perolehan “hanya” sekitar 980 ribu Gold.

Memimpin di paling banyak kategori, Kappaross akhirnya keluar sebagai pemenang. Mereka berhasil membawa pulang hadiah senilai US$15.100 (sekitar Rp212,4 juta). Disusul oleh Seems Good Farm dan Szczebrzeszyn di peringkat dua dan tiga. Pencapaian ini bukan tanpa alasan, karena Kappaross sebelumnya telah melakukan empat kali sesi latihan sebelum Twitch Rivals dimulai. Mereka menyambut kompetisi ini dengan serius, dan keseriusan itu akhirnya membuahkan hasil.

Twitch Rivals: Stardew Valley Challenge sekaligus menjadi perayaan ulang tahun Stardew Valley yang dirilis pertama kali pada tanggal 26 Februari 2016 lalu. Pada hari yang sama, developer Stardew Valley yaitu ConcernedApe juga mengumumkan bahwa game ini akan segera dirilis di platform Android, tepatnya pada tanggal 14 Maret. Selamat ulang tahun Stardew Valley, dan semoga ConcernedApe dapat menciptakan Stardew Valley 2 dengan kualitas yang jauh lebih keren lagi.

Sumber: Twitch Rivals, Polygon, Twin Galaxies

Singtel dan SK Telecom Kerjasama Untuk Kembangkan Esports di Asia

Kembangkan sayap lebih lebar, Singtel dan SK Telecom kerjasama tandatangani Memorandum of Understanding (MoU) untuk mengembangkan industri gaming dan esports di Asia.

Nama SK Telecom terbilang sudah tidak asing lagi, apalagi bagi Anda penggemar jagat kompetisi League of Legend. Selain perusahaan telekomunikasi paling besar di Korea Selatan, SK Telecom juga memiliki sebuah tim kuat di liga LoL Korea Selatan. Tim yang diberi nama SKT T1 sempat mendominasi jagat kompetitif LoL internasional beberapa tahun belakangan, serta merupakan tim bagi sang dewa League of Legends, Lee “Faker” Sang-hyeok.

Sumber:
Faker, dewa di jagat kompetitif LoL, midlaner tim SK Telecom T1. Sumber: Dexerto

Walau kerjasama ini terjadi dengan perusahaan telekomunikasi asal Singapura, tapi bukan berarti kerjasama ini tidak ada hubungannya dengan industri gaming maupun esports di Indonesia.

Selain merupakan salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Singapura, Singtel juga merupakan perusahaan induk dari beberapa perusahaan telekomunikasi Asia Tenggara. Salah satu perusahaan yang juga termasuk dalam naungan Singtel Group adalah perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, Telkomsel.

Janji Singtel untuk kembangkan industri gaming dan esports di Asia sebenarnya sudah sempat terjadi sebelumnya. Ketika itu dalam gelaran event esporst PVP Esports Championship, Singtel menandatangani sebuah nota kesepahaman dengan para rekanannya yang berasal berbagai regional yaitu Optus (Australia), Airtel (India), AIS (Thailand), Globe (Filipina), dan tentunya Telkomsel (Indonesia).

Mengutip Esports Insider, Singtel dan SK Telecom akan berkolaborasi untuk saling berbagi, menggunakan platform serta channel yang mereka miliki untuk meningkatkan kualitas event esports serta liga regional, dan menyediakan konten orisinil dan/atau pihak ketiga yang sudah dikurasi untuk portal lokal masing-masing.

Mengingat adanya keterkaitan antara Singtel dengan Telkomsel, saya mencoba mewawancara Rezaly Surya Afhany, selaku Manager Local Developer, Games and Apps Division, Telkomsel

Menurut Rezaly, kerjasama ini kemungkinan bakal mengarah ke dalam penguatan, serta sharing experience gaming business platform pada 2 perusahaan tersebut seperti: direct carrier billing, special data package, media and esports.

“Ini masih baru dalam tahap nota kesepahaman, intinya adalah Singtel Ingin melebarkan sayap lebih besar di Asia. Kami sendiri dalam internal Telkomsel belum menerima informasi lebih lanjut, jadi saya juga belum bisa berkomentar lebih banyak.” Rezaly menambahkan.

Sumber:
Rezaly Surya Afhany (Paling kanan), Manager Local Developer divisi Games and Apps dari Telkomsel, saat menghadiri konfrensi pers Mineski Event Team. Sumber: Duniagames

Sejauh ini Telkomsel, lewat branding Dunia Games, punya andil cukup besar dalam mengembangkan ekosistem esports di Indonesia. Bentuk andil Telkomsel dalam ekosistem esports Indonesia di antaranya adalah: helatan Indonesia Games Championship, membuat tim esports AOV bertajuk DG Esports, serta menggelar sebuah liga amatir bertajuk DG League dan DG Campus League.

Kalau benar nantinya kerjasama antara SK Telecom dengan Singtel juga berdampak kepada ekosistem esports Indonesia, ini tentu akan menjadi sebuah berita baik. Saya pribadi mengharapkan hal ini bisa mendorong kemajuan esports di tanah air Indonesia lebih cepat lagi, jika benar terjadi.