Daftar Para Pemilik Tim di Overwatch League

Blizzard menerapkan hal berbeda ketika pertama kali memperkenalkan Overwatch League. Mereka menggunakan nama kota untuk tim-tim yang bermain. Karena itu, para penggemar Overwatch League banyak yang tidak tahu mengenai pihak di balik tim-tim ini.

Selain itu, Overwatch League juga merupakan liga berbayar (franchise) dengan nilai investasi sebesar US$20 juta atau setara dengan 57 rumah seharga Rp5 miliar. Berarti, ada penyandang-penyandang dana di balik tim-tim OWL yang mungkin tidak bisa dianggap kelas teri. Jadi, tanpa basa basi lagi, inilah daftar para pemilik tim-tim Overwatch League.

Atlanta Reign

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Tim ini dimiliki oleh Atlanta Esports Ventures yang merupakan kerja sama antara Province, Inc dan Cox Enterprises. Province adalah sebuah firma penasihat keuangan untuk perusahaan di Amerika Serikat. Sedangkan Cox Enterprises adalah perusahaan di bidang otomotif, telekomunikasi, dan media massa.

Boston Uprising

Sumber: Daily Mail
Sumber: Daily Mail

Kraft Group merupakan pemilik dari Boston Uprising. Bukan Kraft Foods Inc, tetapi Kraft Group di sini adalah sebuah perusahaan di bidang olahraga dan real estate. Mereka juga pemilik dari salah satu tim NFL yaitu New England Patriots. Kraft Group juga telah membuka Helix Esports Arena di Boston.

Florida Mayhem

Twitter: FLMayhem
Sumber: FLMayhem

Florida Mayhem baru saja mengubah warna khas dari tim mereka di musim 2020 ini. Misfits Gaming adalah pemilik dari Florida Mayhem. Misfits Gaming merupakan organisasi esports asal Inggris yang memiliki beberapa divisi seperti CS:GO, League of Legends, Super Smash Bros, dan Ultimate Marvel vs Capcom 3. Mereka juga menerima bantuan dana dari klub bola basket NBA yaitu Miami Heat.

Houston Outlaws

Sumber: Twitter CheckpointXP
Sumber: Twitter CheckpointXP

OpTic Gaming adalah pemilik pertama dari Houston Outlaws. Pada tahun 2019.  Immortals mengakuisisi OpTic Gaming dan mendapatkan kepemilikan atas Houston Outlaws. Namun, Blizzard memutuskan untuk tidak memperbolehkan satu pihak memiliki lebih dari satu tim yang ada di Overwatch League — mengingat Immortals merupakan pemilik dari Los Angeles Valiant. Dengan demikian, Immortals menjual kepemilikan Houston Outlaws kepada Beasley Broadcast Group.

London Spitfire

Sumber: Dexerto
Sumber: Dexerto

Cloud9 adalah tentu tidak asing bagi Anda penggemar esports. Cloud9 adalah pemilik dari juara musim pertama Overwatch League yaitu London Spitfire. Menariknya, Cloud9 selalu mengambil pemain asal Korea Selatan untuk bermain di London Spitfire sejak musim pertama sampai sekarang.

New York Excelsior

Sumber: HotSpawn
Sumber: HotSpawn

NYXL merupakan tim favorit saya sendiri di Overwatch League berkat permainan Mcree dan Blackwidow dari Dohyeon “Pine” Kim yang di luar nalar manusia. NYXL dimiliki oleh Sterling.VC. Fred Wilpon selaku Co-Founder dari Sterling Equities juga merupakan pemilik dari Klub baseball New York Mets.

Paris Eternal

Sumber: InvenGlobal
Sumber: InvenGlobal

Mungkin Anda belum pernah mendengar pemilik dari Paris Eternal yaitu DM-Esports. Tetapi Anda pasti pernah mendengar klub sepak bola Olympique de Marseille. DM-Esports dijalankan oleh Presiden dari McCourt Global yaitu Drew McCourt. McCourt Global adalah perusahaan di bidang real estate yang juga memiliki klub bola Olympique de Marseille.

Philadelphia Fusion

Sumber: NBC Sports
Sumber: NBC Sports

Comcast Spectator merupakan perusahaan telekomunikasi di Amerika Serikat sekaligus pemilik dari Philadelphia Fusion. Comcast Spectator memiliki nama besar di dunia olahraga Amerika Serikat. Mereka juga memiliki klub yang bermain di NHL yaitu Philadelphia Flyers dan klub NBA Philadelphia 76ers. Comcast Spectator juga telah menjalin kerja sama dengan SK Telecom untuk mengembangkan tim League of Legends legendaris yaitu T1.

Toronto Defiant

Sumber: Twitter Toronto Defiant
Sumber: Twitter Toronto Defiant

Overactive Media yang mengakuisisi organisasi esports Splyce adalah pemilik dari Toronto Defiant. Dengan akuisisi ini, mereka juga memiliki tim League of Legends yang bermain di LEC. Overactive Media dipimpin oleh mantan CEO Komite Olimpiade Kanada yaitu Chris Overholt.

Washington Justice

Sumber: Twin Galaxies
Sumber: Twin Galaxies

Washington Esports Ventures yang dijalankan oleh Mark Ein adalah pemilik dari Washington Justice. Klub Bola Tennis Washington Kastles yang bermain di World TeamTennis juga dimiliki oleh Mark Ein.

Chengdu Hunters

Sumber: heroesneverdie
Sumber: heroesneverdie

Bagi Anda penggemar esports tentu tahu Nimo TV yang menjadi platform live stream bagi para pemain profesional Mobile Legends. Nimo TV dimiliki oleh perusahaan asal Tiongkok yaitu Huya Inc. Huya TV merupakan pemegang hak siar atas beberapa turnamen esports seperti LCS, LEC, LCK dan ESL. Huya Inc. merupakan pemilik dari Chengdu Hunters.

Dallas Fuel

Sumber: Esports Observer
Sumber: Esports Observer

Bagi Anda yang mengikuti ranah kompetitif Overwatch sebelum Overwatch League. Tentu Anda mengenal Brandon “Seagull” Larned dari Team Envy. Setelah kemunculan Overwatch League, Team Envy Overwatch akhirnya berubah menjadi Dallas Fuel. Team Envy menerima bantuan dana dari Hersh Family Investments sejumlah US$20 juta.

Guangzhou Charge

Sumber: The Game Haus
Sumber: The Game Haus

Zhong Naixiong adalah konglomerat asal Tiongkok yang merupakan founder dari Nenking Group dan juga pemilik dari Guangzhou Chage. Nenking Group bergerak di bidang keuangan, real estate, farmasi dan olahraga. Nenking Group juga memiliki klub bola basket Guangzhou Long-Lions dan klub bola di Perancis yaitu FC Sochaux-Montbéliard.

Hangzhou Spark

Sumber: The Game Haus
Sumber: The Game Haus

Bilibili adalah perusahaan video platform asal Tiongkok yang memegang kepemilikan atas Hangzhou Spark. Bilibili juga memiliki hak siar atas Overwatch League 2019 dan Worlds di Tiongkok. Tencent Holdings membeli 25 juta lembar saham Bilibili pada tahun 2018 kemarin. Saya juga menyarankan Anda untuk melihat halaman Instagram dari Hangzhou Spark. Mereka memiliki desain yang unik dalam melakukan post di sosial media.

Los Angeles Gladiators

Sumber: Dexerto
Sumber: Dexerto

Denver Nuggets dan klub sepak bola Arsenal merupakan saudara dari Los Angeles Gladiators. Karena kedua tim ini dimiliki oleh Kroenke Sports & Entertainment. Tetapi, kegiatan operasional Los Angeles Gladiators dijalankan oleh Sentinels.

Los Angeles Valiant

Sumber: OCRegister
Sumber: OCRegister

Sempat saya bahas di kepemilikan Houston Outlaws, Immortals adalah pemilik dari Los Angeles Valiant. Immortals adalah organisasi esports yang dibentuk pada tahun 2015 dan memiliki banyak divisi seperti League of Legends, CS:GO, Super Smash Bros dan Dota 2. Immortals mendapat bantuan dana dari Anschutz Entertainment Group, Steve Kaplan selaku Co-Owner dari klub bola basket Memphis Grizzlies, CEO dari Honest Co. yaitu Brian Lee dan mantan CEO dari eBay yaitu Meg Whitman. AEG sendiri juga memiliki saham di tim NBA Los Angeles Lakers.

San Fransisco Shock

Sumber: Dexerto
Sumber: Dexerto

Andy Miller adalah CEO dari NRG Esports, Co-Owner dari klub bola basket Sacramento Kings, mantan Vice President Mobile Advertising Apple Inc. dan salah satu pemilik dari San Fransisco Shock. Nama besar seperti Shaquille O’Neal dan Jennifer Lopez adalah investor untuk NRG Esports.

Seoul Dynasty

Sumber: Hot Spawn
Sumber: Hot Spawn

Samsung Galaxy merupakan tim League of Legends yang memutuskan untuk merubah nama menjadi Gen.G dan melebarkan sayap ke Overwatch atas kepemilikan Seoul Dynasty. Gen.G mulai berfokus di esports Amerika Utara dengan membentuk tim Fortnite, Apex Legends dan CS:GO.

Shanghai Dragons

Sumber: Esports Heaven
Sumber: Esports Heaven

Publishing partner dari Blizzard di Tiongkok yaitu NetEase adalah pemilik dari Shanghai Dragons. Walaupun kepemilikan Blizzard sebagian dipegang oleh Tencent, Blizzard sendiri lebih sering melakukan kegiatan bisnisnya dengan NetEase. Shanghai Dragons terkenal karena tidak mendapatkan kemenangan satupun di musim inaugural pertama.

Vancouver Titans

Sumber: Hot Spawn
Sumber: Hot Spawn

Banyak sekali tim NHL yang bersaudara dengan tim yang bermain di Overwatch League. Termasuk Vancouver Titans yang bersaudara dengan Vancouver Canucks. Karena kedua tim ini dimiliki oleh Aquilini Investment Group. Rogers Arena yang menjadi tempat diselenggarakan turnament The International 2018 juga dimiliki oleh Aquilini Investment Group. Di tahun 2019, Aquilini GameCo mengakuisisi Luminosity Gaming yang telah membantu mereka menjalankan kegiatan operasional dari Vancouver Titans.

[REVIEW] Lokapala, Status Beta yang Penuh Keterbatasan

Awal Februari ini khalayak gamers Indonesia disemarakan dengan rilisnya Lokapala: Saga of Six Realms. Masuk masa pra-pendaftaran sejak November 2019 lalu di Play Store, iterasi MOBA pertama pengembang Indonesia ini segera mendapat sambutan positif. Banyak yang tidak sabar untuk mencoba dan memainkannya.

Proyek ambisius ini dibesut oleh ANANTARUPA Studio, gamedev lokal yang sudah beroperasi sejak tahun 2011. Kini, walau masih menyandang status beta, Lokapala sudah dapat diakses secara terbuka di Play Store. Namun demikian, saya merasa bahwa perilisan beta terbuka Lokapala masih terlalu terburu-buru. Kenapa? Karena banyak hal di dalam game ini yang terlihat seperti masih setengah jadi. Lebih lanjut, mari simak ulasan saya terhadap MOBA lokal Indonesia yang satu ini.

MOBA Indonesia yang Kurang Indonesia

Dalam MOBA, satu hal yang konsisten selalu muncul adalah karakter yang dapat kita gunakan di dalam permainan. Ada beberapa sebutan untuk karakter ini, ada yang menyebutnya Hero ada yang menyebutnya Champion. Lokapala sendiri memilih menyebut karakter-karakter heroik yang akan bertarung bersama Anda di dalam permainan sebagai Ksatriya.

Untuk rilisan pertama, Lokapala menghadirkan 15 Ksatriya, yang semuanya bisa Anda coba dan mainkan. Namun sayang, beberapa karakter yang dihadirkan pada Lokapala mungkin belum tentu dikenal oleh orang Indonesia sendiri. MungkIn pendapat saya ini muncul karena nilai pelajaran sejarah Indonesia saya tidak terlalu baik, saat masih bersekolah dulu…hehehe.

Sumber: Facebook Fanpage Lokapala
Beberapa Ksatriya yang dihadirkan di dalam Lokapala. Sumber: Facebook Fanpage Lokapala

Hal ini mungkin karena beberapa Ksatriya mungkin memang bersifat orisinil atau dibuat sendiri oleh tim ANANTARUPA Studio. Tetapi saya merasa agak sayang jika tidak ada karakter-karakter populer, karena bisa jadi membuat pemain enggan mencoba game ini. Padahal Lokapala bisa saja memunculkan Ksatriya dari sejarah atau cerita rakyat populer seperti Gajah Mada sang Mahapatih Kerajaan Majapahit , atau tokoh kenamaan dalam pewayangan seperti Gatot Kaca.

Untungnya ANANTARUPA Studio sudah melakukan beberapa usaha untuk memperkenalkan cerita orisinil Lokapala kepada khalayak. Salah satunya seperti contoh di bawah ini, sebuah postingan media sosial yang bercerita asal pertarungan Lokapala. Ceritanya, pertarungan di Lokapala berdasarkan kepada konsep multiverse, yaitu penggabungan berbagai ruang dan waktu dalam satu semesta.

Sumber: Facebook Fanpage Lokapala
Sumber: Facebook Fanpage Lokapala

Mengutip dari laman resmi Lokapala, para Ksatriya yang bertarung datang dari enam Loka (alam semesta) yang tergabung di dalam Lokapala, yaitu Narakaloka, Pretaloka, Tiraccanaloka, Manusyaloka, Asuraloka, dan Svargaloka. Dari 6 Loka yang diceritakan, muncullah karakter-karakter yang ada di Lokapala. Beberapa ada yang datang dari sejarah Vijaya atau Pangeran Wijaya dan beberapa ada yang orisinil seperti Ilya yang ceritanya datang dari masa depan.

Selain soal daftar Ksatriya yang dihadirkan, ada satu hal lagi yang buat saya merasa menjadi poin penting kenapa Lokapala menjadi game Indonesia yang kurang Indonesia. Lokapala kehilangan satu hal penting yang bisa membantu game ini lebih mudah diterima oleh gamers Indonesia, yaitu in-game language Bahasa Indonesia. Ya Anda tidak salah dengar, versi beta Lokapala yang menekankan khasanah lokal Indonesia lewat latar tempat dan cerita karakter Ksatriya malah hadir menggunakan Bahasa Inggris, dan tidak ada opsi Bahasa Indonesia.

Ini sebenarnya cukup membingungkan, karena saya merasa tidak ada alasan yang tepat untuk menggunakan bahasa Inggris pada Lokapala. Jika alasannya untuk mengincar pasar global, rasa-rasanya Lokapala terbilang sudah ketinggalan cukup jauh jika dibanding beberapa pengembang lain yang sudah lebih dulu terjun di pasar MOBA untuk mobile.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Amat disayangkan, Lokapala versi beta malah tidak memiliki opsi bahasa Indonesia, Alhasil,cerita Pangeran Wijaya dari kerajaan Singhasari jadi agak sulit dipahami karena menggunakan bahasa Inggris. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Jika alasannya untuk mengenalkan budaya Indonesia ke khalayak global, orang Indonesia sendiri saja mungkin belum mengenal Ksatriya yang dihadirkan dalam Lokapala. Jawaban untuk semua ini sebenarnya adalah dengan menghadirkan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia ke dalam game. semoga saja update berikutnya dapat menghadirkan in-game language, dan mungkin juga menghadirkan voice-act bahasa Indonesia. Apalagi, menurut opini saya personal, membaca cerita legenda Indonesia dengan bahasa ibu akan terasa lebih nyaman dan mudah dimengerti.

Walau dengan segala kekurangannya, saya cukup mengapresiasi bagaimana tim pengembang ANANTARUPA membangun cerita dunia Lokapala, terutama dari cerita 6 Loka yang menjadi satu di dalam arena pertarungan Lokapala. Dalam hal lore Ksatriya, walau orisinil, namun sayangnya cerita yang disajikan masih  terlalu singkat. Hal ini membuat saya tidak bisa mengenal asal muasal sang Ksatriya secara lebih mendalam.

Sisi Indonesia lain yang menurut saya patut diapresiasi adalah musik yang disajikan oleh Inharmonics. Composer yang juga mengisi musik pada game Legrand Legacy ini berhasil memunculkan nuansa peperangan penuh semangat khas MOBA sembari tetap menonjolkan khazanah Indonesia dalam musik yang mereka sajikan pada menu utama. Dalam musik tersebut, musik orkestra yang modern melebur halus dengan aksen khas etnis lewat gamelan Jawa, yang hampir membuat saya lupa dengan pengalaman bermain Lokapala yang akan saya jelaskan pada poin berikutnya.

Esports Game Pertama Indonesia yang Belum Esports Ready

Istilah “esports ready” pertama muncul sebagai meme di tengah perbincangan komunitas ketika PUBG dijadikan esports untuk pertama kalinya. Istilah tersebut muncul karena pada awal rilis, PUBG mendukung kegiatan esports untuk game tersebut. Sementara core gameplay PUBG masih memiliki terlalu banyak kendala teknis seperti respon yang tidak sinkron, serta bug di sana dan sini.

Pada kasus PUBG, kendala tersebut terjadi karena PUBG adalah game multiplayer online pertama yang mempertemukan 100 orang sekaligus secara real-time. Kejadiannya Bluehole mungkin mirip dengan ANANTARUPA. Lokapala sudah dicap sebagai game esports pada saat perilisan beta, mungkin karena mereka memilih genre MOBA. Namun nyatanya, Lokapala belum esports ready, yang mungkin disebabkan karena ANANTARUPA belum punya banyak pengalaman membuat real-time online multiplayer yang kompleks seperti MOBA.

Memang, pada kenyataanya membuat game online bersifat real-time seperti MOBA punya kerumitan dari sisi teknis. Jika Anda belum tahu, ada dua jenis online games berdasarkan cara game tersebut terkoneksi ke server. Ada real-time online seperti MOBA, yang mana satu player bertemu dengan player lain secara langsung. Ada asynchronous online games, yang mana walau online, namun player satu dengan player tidak bertemu secara langsung seperti Clash of Clans.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Menghubungkan 10 pemain bermain di dalam satu server secara berbarengan tidak bisa dibilang mudah, terutama bagi pengembang Indonesia yang masih minim pengalaman. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Walau ini adalah MOBA pertama, tapi Anantarupa bukanlah pengembang lokal Indonesia pertama yang bisa membuat real-time online multiplayer game. Sebelumnya ada juga Minimo, pengembang yang berbasis di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, yang membuat game bertemakan balap off-road bernama Mini Racing Adventures.

Kembali membahas Lokapala, kesulitan teknis ini diakui sendiri oleh sang pengembang. Jika Lokapala memang belum “esports ready“, jadi sudah sampai mana sebenarnya rilisan beta Lokapala? Maafkan jika saya terlalu jujur namun saya merasa Lokapala sebenarnya belum pantas untuk dirilis secara open beta. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya karena Lokapala memiliki beberapa masalah fundamental, yang membuat core game experience menjadi tidak nyaman.

Sebelum menuju ke dalam permainan, masalah sudah muncul, yaitu ketika kita tap tombol dan ingin melakukan Find Match. Setelah masuk Lobby dan menekan tombol Start, Lokapala malah memunculkan kode error seperti yang satu ini.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Melihat error seperti ini, yang terbesit di pikiran saya adalah melakukan reset Lobby dengan menekan tombol back yang ada di pojok kiri atas. Apa yang terjadi? Ya, muncul kode error lagi yang membuat saya terjebak di dalam Lobby.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono
Kalau sudah begini, apa daya. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Jika hal ini terjadi, mau tidak mau jalan terakhir adalah tinggal melakukan reset game. Force close game tersebut lewat tombol recent apps, lalu buka kembali.

Setelah beberapa saat, saya akhirnya berhasil masuk ke dalam game. Saat berada di dalam permainan saya melihat banyak elemen lain di dalam game yang juga masih kurang sempurna. Seperti 3D model karakter yang terlihat kurang realistis, atau animasi karakternya yang terlalu kaku. Tapi itu mungkin tidak terlalu masalah karena 3D model karakter Mobile Legends pun demikian ketika baru pertama kali dirilis.

Masuk ke dalam game saya menemukan satu hal lagi yang cukup mengganggu, masalah tersebut datang dari model bush atau brush. Kalau Anda sering main MOBA, Anda tentu tahu mekanik bush, tempat berupa semak-semak yang bisa digunakan pemain untuk bersembunyi. Pada kebanyakan MOBA bush biasanya berbentuk seperti namanya, yaitu semak rumput yang tinggi dan lebat.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Edit: Akbar Priono
Perbandingan bentuk dan warna bush antara Lokapala dengan dua MOBA terpopuler di mobile. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi – Edit: Akbar Priono

Pada Lokapala visual bush memiliki dua hal yang menurut saya cukup mengganggu. Pertama, bentuknya bukan semak rumput, melainkan terlihat seperti tanaman berbunga dengan warna yang sangat mencolok. Kedua, warna antar bush juga tidak konsisten yang mungkin bisa membuat pemain baru kebingungan. Bush bagian tengah berwarna ungu, sementara pada bush bagian pinggir terlihat berwarna merah. Semoga saja nantinya model bush bisa diperbaiki sambil tetap menunjukan ciri khas tersendiri yang membedakan Lokapala dari MOBA lain.

Berlanjut ke dalam permainan, semua berjalan lancar, setidaknya sampai beberapa menit game berjalan. Seiring waktu, permainan jadi terasa laggy. Keadaan tersebut bisa jadi datang dari dua hal, masalah optimasi game engine dan masalah optimasi server.

Dari sisi optimasi game engine, saya saat itu mencoba bermain dengan menggunakan pengaturan grafis tertinggi rata kanan. Setelah beberapa saat bermain, semakin lama animasi karakter menjadi stutter atau patah-patah setelah beberapa saat bermain. Belum lagi animasi atau gerakan karakter ketika menyerang atau mengeluarkan skill juga terasa sangat kaku, yang juga membuat saya jadi sulit menilai apakah hal tersebut merupakan stutter atau memang animasi karakter yang kurang rapih.

Hal ini terjadi mungkin karena saya menggunakan mode High Frame Rate. Jika rumor Lokapala menggunakan game engine yang sama dengan AOV dan Mobile Legends benar, maka kejadian ini jadi cukup masuk akal. Karena pada AOV dan Mobile Legends sekalipun, mode High Frame Rate kerap kali tidak stabil.

Selain itu perasaan lag juga muncul dari sisi koneksi. Ketika itu ping permainan saya hanya 8 – 16ms saja, namun pada beberapa momen saya merasakan delay yang sangat mengganggu. Beberapa kali di dalam permainan, skill yang saya lempar malah telat keluar membuatnya jadi tidak mengenai musuh. Jika ini terus terjadi, tentunya akan menjadi sangat mengganggu bagi para pemain. Apalagi jika mengatakan Lokapala sebagai game esports, hal ini tentu akan menjadi sangat kontradiktif, karena dalam permainan esports respon adalah segalanya.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Glitch Haya menyebabkan pedangnya tidak kembali setelah dilemparkan. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Sisi gameplay berikutnya adalah dari sisi hitbox. Hitbox sendiri adalah sebutan untuk sebuah kotak tak terlihat yang mendeteksi tumbukan antar objek (contohnya hero dengan skill). Pada Lokapala hitbox bisa dibilang masih inkonsisten. Jadi jika kita melempar skillshot ke satu titik tipis tertentu di bagian tubuh Ksatriya musuh, efeknya bisa jadi kena bisa jadi tidak.

Belum lagi masih ada beberapa glitch grafis yang terasa, seperti pedang Ksatriya Haya yang tertinggal setelah dilemparkan. Lalu masalah targeting yang membuat skill terlempar entah ke mana jika kita mentargetkan skill secara otomatis. Ditambah lagi efek serangan dan angka indikator damage juga terlihat kurang jelas, yang bisa membuat bingung, apakah serangan Anda sudah kena atau belum.

Lalu bagaimana dengan balancing? Rasanya agak sulit untuk bisa menilai balancing pada Lokapala jika pengalaman bermain saja masih kurang nyaman, mulai dari awal hingga akhir permainan. Satu kali saya sempat bermain menggunakan Skar, menggunakan build tank, dan menemukan ternyata hero tersebut punya damage yang cukup lumayan besar meski mayoritas item yang saya gunakan adalah item defense.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Ksatriya Haya sedang menaiki Vahana. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Mungkin satu yang cukup berbeda adalah ketidakhadiran mekanik Recall di dalam Lokapala. Recall digantikan dengan Vahana, semacam tunggangan yang sifatnya mempercepat pergerakan Anda dari satu titik ke titik lain di area map. Vahana bisa digunakan kapanpun, namun untuk mengaktifkannya Anda harus berdiam sejenak atau chanelling selama beberapa detik. Jika Anda terkena damage saat sedang mengendarai Vahana, Anda akan terjatuh dan terkena stun untuk sesaat.

Jika Anda sudah pernah memainkan MOBA mobile lainnya, mekanisme ini mungkin terasa cukup menyulitkan. Saya pun merasa demikian, karena walau Vahana mempercepat pergerakan, tanpa mekanisme Recall Anda bisa saja tertangkap ketika darah sedang sekarat. Belum lagi mekanisme ini juga terbilang cukup boros waktu, terutama jika Anda sedang push tower terdalam musuh namun sekarat dan harus pulang, menyebabkan Anda harus berjalan dengan jarak yang sangat jauh.

Kesimpulan

Pada akhirnya saya personal merasa keputusan ANANTARUPA merilis Lokapala secara publik agaknya terlalu terburu-buru. Masih terlalu banyak kekurangan pada core gameplay Lokapala. Beberapa contohnya sudah saya jabarkan saat menceritakan pengalaman saya memainkan Lokapala, mulai dari bug untuk Find Match, masalah optimasi grafis dan server, masalah hitbox dan lain sebagainya.

Kalau soal animasi dan grafis, saya rasa hal tersebut masih bisa ditoleransi, karena MOBA lainnya pun punya grafis yang tidak sebegitu bagus pada hari pertama rilis. Namun kalau soal core gameplay, saya rasa keputusan untuk merilis Lokapala secara terbuka ini berpotensi memunculkan masalah bagi sang pengembang. Bagaimanapun, impresi pertama tetap merupakan hal penting bagi pemain. Jika impresi pertama saja sudah buruk, karena terlalu banyak masalah teknis di dalam game, pemain bisa saja enggan untuk mencoba bermain kembali meski Lokapala sudah berkembang menjadi lebih baik.

Tetapi, tetap ada beberapa hal yang patut diapresiasi dari Lokapala. Beberapa di antaranya seperti story dunia Lokapala yang orisinil atau art karakter yang cukup baik. Menurut saya salah satu elemen terbaik dalam game ini adalah soundtrack menu utama. Penggabungan aksen modern lewat musik orkestra khas MOBA dengan aksen khas etnik Indonesia lewat gamelan Jawa berhasil membuat saya lupa dengan segala permasalahan teknis yang ada di dalam game ini.

Lokapala saat ini masih dalam status beta. Semoga saja seiring waktu, pengembang bisa berkomitmen untuk terus memperbaiki Lokapala dari berbagai sisi dan menjadi game yang lebih baik. Karena bagaimanapun, mengembangkan game MOBA ibarat lari marathon, yang pengembangannya akan terus berjalan selama game-nya masih dimainkan…

[Report Analysis] Korelasi antara Jaringan Internet Nirkabel dengan Esports

Bisakah Anda membayangkan jika di tengah pertandingan final The International 2019, OG melawan Team Liquid, mendadak koneksi internet mati? Keberlangsungan pertandingan sangat tergantung pada koneksi internet. Karena itu, dalam turnamen esports, pihak penyelenggara biasanya menggunakan jaringan kabel, yang lebih stabil daripada WiFi atau jaringan seluler. Masalahnya, akan sangat merepotkan untuk mengimplementasikan jaringan kabel ke smartphone. Padahal, belakangan, mobile esports juga mulai menjadi populer, terutama di negara-negara mobile first seperti Indonesia, India, dan Brasil.

Inilah yang mendorong Opensignal, perusahaan analitik mobile, untuk melakukan studi terkait hubungan antara kualitas jaringan mobile di berbagai negara dengan pengalaman bermain mobile game. Untuk mengumpulkan data dari studi ini, Opensignal meneliti 37,8 juta perangkat dari pengguna yang ada di 100 negara.

Bagaimana Opensignal memberikan penilaian pada pengalaman bermain?

Pengalaman bermain cenderung subjektif. Jadi, hal pertama yang Opensignal lakukan dalam studi ini adalah membuat model Mean Opinion Score (MOS) untuk mengetahui kaitan antara perhitungan teknis jaringan dengan pengalaman bermain game. Untuk membuat model MOS, Opensignal melakukan tes laboratorium terkait sejumlah mobile game. Untuk menentukan model MOS, Opensignal menguji beberapa mobile game dengan genre yang berbeda-beda dalam laboratorium. Caranya adalah dengan meminta sekelompok orang untuk memainkan game-game populer dalam keadaan jaringan yang berbeda-beda. Setelah itu, para pemain diminta untuk memberikan nilai atas pengalaman bermain mereka, dengan nilai dari 0 sampai 100.

Inilah kategori penilaian pengalaman bermain game yang dibuat oleh Opensignal:

85<100: Sangat baik
Kualitas jaringan sangat baik. Game responsif dan hampir semua responden mengaku tidak mengalami masalah apapun.

75<85: Baik
Kualitas jaringan baik. Ketika responden melakukan action, game responsif. Kebanyakan responden mengaku tidak mengalami masalah.

65<75: cukup
Responden merasa pengalaman bermain mereka “rata-rata”. Sebagian besar responden mengakui bahwa mereka mengalami masalah delay ketika mereka mengambil action.

40<65: buruk
Kualitas jaringan buruk. Game kurang responsif ketika pemain mengambil action. Sebagian besar responden mengaku bahwa pengalaman bermain di jaringan ini tidak menyenangkan.

0<40: sangat buruk
Hampir semua responden mengatakan bahwa mereka mengalami delay ketika bermain dan tidak bisa mengendalikan karakter dalam game sesuai dengan keinginan mereka. Game tidak responsif, membuat para responden merasa bahwa mereka tidak bisa bermain di jaringan ini.

Ranking: Singapura di peringkat 1, Indonesia di 55

Dari studi yang dilakukan oleh Opensignal, diketahui bahwa negara dengan jaringan nirkabel terbaik untuk bermain game adalah Singapura dengan nilai 85,5. Sementara itu, Belanda ada di posisi nomor dua dengan skor 85,4, disusul oleh Jepang dengan nilai 85,43. Sementara itu, Indonesia ada di peringkat ke 55 dengan nilai 63,6. Ini berarti, kualitas jaringan di Tanah Air masuk dalam kategori Buruk. Anda bisa melihat peringkat masing-masing negara dalam gambar di bawah ini.

Sumber: Opensignal
Sumber: Opensignal

Opensignal melakukan pengujian pada sejumlah game dengan berbagai genre, termasuk olahraga, MOBA, dan battle royale. Menariknya, ketika mereka menyempitkan pengalaman bermain pada game bbattle royale saja, Belanda naik ke peringkat satu, menggeser Singapura ke posisi kedua. Sementara itu, peringkat Korea Selatan melonjak naik dari 14 menjadi 4.

Ada beberapa alasan mengapa Opensignal sengaja membahas pengalaman bermain game battle royale secara khusus. Salah satu alasannya adalah karena game battle royale tengah sangat populer. Siapa yang tidak pernah mendengar PUBG Mobile atau Free Fire? Di negara-negara Barat, Fortnite menjadi game battle royale pilihan. Per Maret 2019, game buatan Epic Games itu telah memiliki 250 juta pengguna. Alasan lain mengapa Opensignal membahas game battle royale secara khusus adalah karena pengalaman bermain game battle royale sangat tergantung pada kualitas jaringan.

Misalnya, ketika Anda memainkan game strategi melawan satu orang, sekalipun ada masalah pada jaringan, hal ini mungkin tidak akan memengaruhi kesempatan Anda untuk menang. Lain halnya dengan game battle royale yang mempertemukan 100 orang sekaligus dalam satu pertandingan. Saat bermain game battle royale, kualitas jaringan berpengaruh besar terhadap kesempatan seseorang untuk menang.

Masalah yang mungkin terjadi

Dalam studinya, Opensignal juga membahas tentang masalah yang terjadi pada jaringan dan dampaknya pada pengalaman bermain.

1. Packet loss
Saat bermain game, server dan perangkat pemain saling mengirimkan paket data. Ketika seseorang bermain game dalam jaringan internet yang kualitasnya tidak terlalu baik, ada kemungkinan terjadi packet loss, yang bisa menyebabkan game menjadi tidak responsif. Contohnya, ketika Anda hendak bergerak mundur, tapi karakter Anda tetap diam di tempat karena terjadi packet loss. Masalah ini tidak hanya membuat pemain lebih sulit untuk menang (pemain lain bisa menembak seorang pemain yang diam saja), tapi juga membuat pemain merasa kesal saat bermain.

2. Latensi
Idealnya, ketika Anda bermain game multiplayer, Anda harus bermain dengan jaringan yang berlatensi rendah. Pada dasarnya, latensi adalah delay pada transmisi data. Semakin tinggi latensi jaringan, semakin besar delay dalam game. Memang, jaringan mobile biasanya selalu memiliki latensi yang lebih tinggi dari jaringan kabel. Meskipun begitu, keberadaan 4G telah membuat latensi jaringan mobile menjadi lebih baik. Diperkirakan, jaringan 5G akan membuat latensi jaringan nirkabel menjadi semakin rendah.

3. Jittery
Jiterry terjadi ketika packet data sampai dalam waktu yang berbeda-beda. Ketika packet data dikirimkan dari server ke perangkat pemain, ada waktu delay sebelum packet data itu sampai. Waktu delay ini beragam, dan inilah yang menyebabkan jittery. Jika sebuah packet data sampai terlalu lambat, ada kemungkinan packet data itu diacuhkan karena memang sudah tidak lagi relevan.

Rata atau tidaknya kualitas jaringan di masing-masing Benua

Singapura menjadi negara dengan kualitas jaringan mobile terbaik. Sementara Jepang ada di posisi ketiga. Meskipun peringkat satu dan tiga dipegang oleh negara Asia, kawasan Asia Pasifik menjadi benua yang kualitas jaringan nirkabelnya paling beragam. Dari semua negara di Asia Pasifik, hanya 8 persen yang masuk dalam kategori Sangat Baik dan 15 persen masuk dalam kategori Baik. Sebagian besar masih masuk dalam kategori Cukup (27 persen) dan Buruk (31 persen). Beberapa negara Asia Pasifik yang dianggap memiliki jaringan nirkabel yang Baik antara lain Hong Kong, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Sementara Indonesia masuk dalam kategori Buruk.

Sumber: OpenSignal
Sumber: OpenSignal

Secara keseluruhan, Eropa adalah benua dengan kualitas jaringan nirkabel terbaik. Hal ini terlihat dari fakta bahwa 8 dari 10 negara dengan jaringan mobile terbaik berasal dari Eropa. Sementara dalam top 25, sebanyak 19 negara merupakan negara Eropa. Menariknya, negara-negara di Amerika Utara justru tak masuk daftar 25 besar, kecuali Kanada, yang duduk tepat di ranking 25. Amerika Serikat ada di peringkat 35 sementara Meksiko ada di posisi 61.

Dibandingkan dengan kawasan Asia Pasifik dan Eropa, kawasan Amerika Tengah dan Selatan memiliki rata-rata yang tidak terlalu baik. Tidak heran, karena memang tidak ada negara yang memiliki jaringan yang sangat bagus di kawasan ini. Paraguay menjadi negara di kawasan Amerika Tengah dan Selatan yang memiliki skor paling tinggi dengan nilai 72,5, menempatkan negara itu dalam kategori Baik.

Sementara Brasil mendapatkan nilai 65,4. Ini berarti, para pemain di kedua negara merasa bahwa pengalaman bermain mereka “rata-rata” dan masih mengalami delay dalam game. Sebanyak 13 dari 15 negara di kawasan Amerika Tengah dan Selatan yang masuk dalam studi Opensignal masuk dalam kategori Buruk. Sementara dalam kawasan Afrika dan Timur Tengah, sebanyak 86 persen negara-negara di sini masuk dalam kategori Buruk atau Sangat buruk.

Korelasi antara kualitas jaringan dengan prestasi negara dalam mobile esports

Opensignal mencoba untuk membandingkan kualitas jaringan mobile sebuah negara dengan total hadiah turnamen yang dimenangkan oleh negara-negara tersebut. Misalnya, Amerika Serikat adalah negara dengan jumlah atlet esports terbanyak (15.940 orang) dan total hadiah kemenangan terbesar (US$136,7 juta). Meskipun begitu, kualitas jaringan mobile mereka tidak terlalu bagus.

Begitu juga dengan Korea Selatan, yang dikenal sebagai negara yang menghasilkan banyak atlet esports berbakat hingga banyak atlet mereka yang “diimpor” ke tim dari kawasan lain, seperti Eropa dan Amerika Utara. Namun, soal kualitas jaringan nirkabel, Korea Selatan hanya mendapatkan nilai 79,9, membuatnya jatuh dalam kategori Baik dan bukannya Sangat Baik.

Anda bisa melihat korelasi antara kualitas jaringan di sebuah negara dengan hasil kemenangan mereka pada gambar di bawah.

Sumber: Opensignal
Sumber: Opensignal

Sayangnya, perbandingan yang mereka lakukan sepertinya kurang relevan. Kenapa? Karena negara-negara seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan banyak mendulang hadiah esports dari platform PC, bukan mobile seperti The International (Dota 2), League of Legends World Championship, dan Rainbow Six Invitational. Meski begitu, di sisi lain, jika kita lihat 3 negara dengan kualitas internet nirkabel terbaik (Singapura, Jepang, dan Australia) juga tidak berarti mampu menghasilkan para pemain esports yang berkualitas.

Contohnya:

  • Juara dunia Mobile Legends (M1 World Championship) adalah EVOS Esports dari Indonesia.
  • Juara PUBG Mobile tingkat internasional terakhir (PMCO Fall Split Global Finals 2019
  • Juara Arena of Valor International Championship 2019 adalah Team Flash dari Vietnam
  • Juara FreeFire World Series adalah Team Corinthians dari Brazil.

Namun demikian, bukan berarti jaringan nirkabel bisa dibiarkan begitu saja. Seiring dengan naiknya popularitas mobile esports, maka kualitas jaringan mobile juga akan menjadi sorotan. Apalagi negara-negara mobile first seperti Indonesia, yang warganya memang mengenal internet melalui perangkat mobile dan memang lebih suka bermain di smartphone.

Kenapa mobile game dan mobile esports penting?

Jika Anda adalah penganut paham PC Master Race, Anda pasti tahu bahwa gamer yang bermain game di perangkat mobile masuk dalam kelas “wildlife”, yang merupakan kasta paling rendah. Meskipun mobile game sering diledek, tak bisa dipungkiri bahwa pendapatan industri mobile game sudah sangat besar. App Annie memperkirakan, pada 2020, nilai industri mobile game akan mencapai US$100 miliar (sekitar Rp1.380 triliun). Dengan asumsi harga Lamborghini Aventador adalah Rp8,7 miliar, Anda bisa membeli 158 ribu unit mobil mewah itu dari total pendapatan industri mobile game.

Sumber: Imgur
Sumber: Imgur

Di Asia, mobile game juga sangat populer. Sementara di Indonesia, lebih dari 70 persen masyarakatnya bermain mobile game. Masalahnya, kualitas jaringan mobile yang tidak terlalu baik berarti pengalaman bermain yang tidak maksimal. Apalagi jika game yang dimainkan adalah game battle royale. Namun, jangan khawatir, ini tidak membuat developer meninggalkan negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Sebaliknya, ada beberapa developer yang justru memilih untuk mengembangkan versi lite dari game mereka. Contohnya, Tencent dan PUBG Corp. yang merilis PUBG Mobile Lite. Tentu saja, ada beberapa keterbatasan dalam game versi lite. Dalam PUBG Mobile Lite, peta dalam game lebih sempit dan jumlah pemain dibatasi menjadi 60 orang dan bukannya 100 orang.

Jika dibandingkan dengan nilai pasar mobile game dunia, pasar mobile game Indonesia terbilang kecil. Menurut Statista, pasar mobile game Indonesia hanya bernilai US$672 juta. Meskipun begitu, pasar mobile game di Indonesia dianggap masih memiliki potensi besar untuk tumbuh. Potensi pasar mobile game begitu menggiurkan sehingga perusahaan seperti Telkom pun tertarik untuk terjun ke dunia game. Salah satu hal yang mereka lakukan adalah dengan membuat inkubator untuk developer lokal.

Tiga mobile esports terpopuler. | Sumber: Escharts
Tiga mobile esports terpopuler. | Sumber: Escharts

Sementara soal mobile esports, saat ini, esports memang masih didominasi oleh game-game PC dan konsol. Dalam daftar 15 game esports yang memberikan dampak paling besar pada ekosistem versi The Esports Observer, tidak ada satupun mobile game yang masuk dalam daftar itu. Walaupun begitu, mobile esports kini tengah berkembang. Apa indikasinya? Jumlah penonton yang terus naik.

Menurut Esports Charts, Arena of Valor menjadi mobile game yang paling banyak ditonton dengan total durasi video ditonton mencapai 72 juta jam. Sementara itu, PUBG Mobile ada di posisi kedua dengan total jam ditonton mencapai 55,5 juta jam. Turnamen PUBG Mobile yang paling populer adalah PUBG Mobile Club Open Spring Split Global Finals. Pada puncaknya, ada 596 ribu orang yang menonton turnamen tersebut. Sementara PMCO SEA League menjadi turnamen dengan jumlah penonton yang paling banyak. Ke depan, ekosistem PUBG Mobile masih akan terus berkembang. Alasannya, karena Tencent memang serius untuk mengembangkan scene esports dari PUBG MObile. Mereka telah menyiapkan US$5 juta untuk sebagai total hadiah dalam turnamen PUBG Mobile tahun ini. Selain Tencent, Supercell juga mengaku bahwa mereka ingin mengembangkan scene esports dari Clash of Royale tahun ini.

Penutup

Mobile game sering dipandang sebelah mata. Tapi, itu tidak menghentikan pertumbuhan mobile gamer. Selain itu, spesifikasi smartphone yang semakin mumpuni juga membuat mobile game bisa menjadi semakin kompleks.

Soal esports, mobile game juga kurang mendapatkan perhatian, khususnya di negara-negara Barat. Namun, di kawasan Asia Tenggara, mobile game masih menjadi raja. Ke depan, keberadaan 5G hanya akan membuat pertumbuhan mobile esports menjadi semakin pesat. Sayangnya, Indonesia masih belum bisa menikmati jaringan 5G.

Satu hal yang harus diingat, esports adalah industri yang masih sangat baru, yang memberikan ruang untuk berkembang yang sangat luas. Pertumbuhan mobile esports bukan berarti kematian esports untuk PC atau konsol. Kemungkinan, setiap bagian dari esports — PC, mobile, atau konsol — akan terus berkembang, menguasai kawasan negara yang berbeda-beda. Misalnya, League of Legends sangat populer di Tiongkok, Korea Selatan, dan negara-negara Barat. Namun, gaungnya tak pernah terdengar di Indonesia. Sebaliknya, di Indonesia, Mobile Legends adalah salah satu game esports yang sangat populer. Tapi di tingkat global, ekosistem esports Mobile Legends justru tak terlalu berkembang.

Jika game esports untuk PC bisa tumbuh berdampingan dengan mobile esports, itu justru menguntungkan semua orang.

Sumber: Opensignal

Sumber header: Dot Esports

Seperti Apa Kondisi Bursa Transfer dan Kontrak Pemain Esports?

Dulu, hidup sebagai gamer profesional bukanlah hal yang mudah. Biasanya, mereka harus menggantungkan diri pada hadiah turnamen yang mereka dapatkan. Masalahnya, ketika itu, total hadiah yang ditawarkan turnamen esports juga belum sebesar sekarang. Saat ini, berkat dukungan dari berbagai pihak, termasuk merek non-endemik dan investor, esports sudah jauh berkembang. Para pemain esports tak hanya mendapatkan hadiah dari turnamen yang mereka menangkan, mereka juga mendapatkan gaji tetap dari organisasi tempat mereka bernaung.

Oh iya, artikel kali ini adalah pembahasan soal kontrak pemain esports secara luas. Jika Anda lebih tertarik dengan bagaimana caranya bisa bergabung dengan tim esports, Anda bisa membaca artikel ini: 5 Cara untuk Direkrut Jadi Pemain Esports Profesional.

Para pemain yang berlaga di turnamen internasional, mereka bisa menerima gaji hingga miliaran rupiah per tahun, seperti pemain profesional League of Legends di Amerika Utara dan Eropa atau pemain di Korea Selataan. Lee Sang-hyeok alias Faker, yang dianggap sebagai pemain League of Legends terbaik sepanjang masa, pernah ditawari untuk menentukan besar gajinya sendiri ketika dia ditawari untuk pindah. Tentu saja, gaji para pemain esports tidak bisa dipukul rata.

Lalu, apa yang menentukan besar gaji seorang pemain?

Salah satu hal yang menentukan besar gaji pemain adalah game yang mereka mainkan. Setiap game esports biasanya memiliki peraturan sendiri. Biasanya, ketat atau tidaknya peraturan di scene sebuah game esports tergantung pada publisher game itu. Misalnya, dalam esports League of Legends, Riot Games turun tangan langsung dalam penyelenggarakan turnamen. Sementara Valve biasanya tak banyak ikut campur dalam scene Counter-Strike: Global Offensive.

G2 Esports. | Sumber: Nexus League of Legends
G2 Esports. | Sumber: Nexus League of Legends

Dalam kasus League of Legends, Riot menentukan gaji minimal yang diterima oleh pemain di tim yang berlaga di liga League of Legends untuk kawasn Amerika Utara. Riot bukan satu-satunya publisher yang membuat regulasi tentang gaji minimal pemain. Activision Blizzard juga melakukan hal yang sama dengan Overwatch League. Sementara itu, dalam kasus CS:GO, yang memiliki sistem terbuka, tidak ada peraturan yang menentukan besar gaji pemain. Selain itu, juga tidak ada batasan minimal atau maksimal terkait harga transfer dari seorang pemain. Beberapa narasumber The Esports Observer yang aktif dalam scene esports CS:GO mengeluhkan bahwa mekanisme pasar terbuka membuat harga transfer pemain sangat fluktuatif.

Mekanisme Transfer Pemain

Sekali lagi, bursa pasar pemain di masing-masing game esports berbeda-beda. League of Legends adalah salah satu game yang memiliki peraturan ketat soal transfer pemain karena Riot memang langsung turun tangan. Mengingat industri esports sendiri masih relatif muda, Riot membuat peraturan bursa transfer pemain berdasarkan pada olahraga tradisional. Regulasi yang dibuat oleh Riot ini bersifat internasional, karena liga League of Legends memang diadakan di berbagai belahan dunia. Dengan adanya regulasi dari Riot, maka kontrak antara tim esports dan pemain memiliki standarisasi.

Salah satu hal yang dilarang oleh Riot adalah poaching, yaitu ketika pemain mendorong pemain lain untuk pindah ke tim lain. Riot bahkan menentukan waktu untuk melakukan transfer. Selain itu, mereka juga menyediakan waktu diskusi agar tim yang hendak membeli pemain bisa mengobrol langsung dengan pemain itu. Pada dasarnya, semua peraturan ini dibuat agar tim tidak melakukan transfer pemain di tengah musim. Selain Riot, Blizzard adalah publisher lain yang membuat peraturan ketat terkait Overwatch League.

Ketika hendak membeli pemain dari tim lain, sebuah tim wajib untuk melakukan pemeriksaan background, untuk memastikan bahwa pemain tidak memiliki catatan kriminal. Biasanya, hal ini dilakukan sebelum pemain menandatangani kontrak. Sementara itu, tugas untuk memastikan bahwa calon pemain tidak pernah melakukan tindakan curang, ini tidak hanya menjadi tanggung jawab tim sendiri, tapi juga publisher game. Karena hanya publisher yang mengetahui sejarah lengkap pemain selama mereka bermain satu game. Untungnya, para pemain profesional biasanya hanya menggunakan satu akun. Jadi, tidak sulit untuk memeriksa sejarah permainan mereka, apakah mereka pernah melakukan kecurangan atau tidak.

Bagaimana Cara Tim Mencari Pemain Potensial?

Waktu untuk melakukan transfer pemain terbatas, jadi sebuah tim biasanya telah mengambil ancang-ancang sebelum waktu transfer pemain dibuka. Masing-masing tim memiliki caranya tersendiri dalam mencari pemain yang ingin mereka ambil. Biasanya, pelatih atau General Manager yang berdiskusi tentang transfer pemain. Satu hal yang pasti, tawaran transfer tidak diberikan di tengah musim pertandingan. Kedua tim yang hendak melakukan transfer akan berdiskusi untuk memindahkan pemain pada musim berikutnya. Tentu saja, keputusan untuk melakukan transfer atau tidak baru akan diambil setelah tim memiliki kesempatan untuk berdiskusi dengan calon pemain di luar musim pertandingan.

Sumber: Wykrhm Reddy/Twitter
Sumber: Wykrhm Reddy/Twitter

Beberapa orang dalam di organisasi esports League of Legends, Dota 2, dan CS:GO mengaku kesulitan ketika mereka harus berurusan dengan pemain yang sudah memiliki nama. Alasannya, pemain yang sudah bermain lama dan menjadi favorit para fans akan memiliki ekspektasi tinggi akan gaji yang mereka dapat. Sementara tidak semua tim dapat atau mau membayar gaji tersebut.

Pemain yang memiliki sejarah panjang berani menuntut gaji tinggi karena mereka bisa menarik fans. Di dunia esports, para fans biasanya lebih setia pada seorang pemain atau sebuah tim daripada organisasi esports yang menjadi tempat atau tim bernaung. Misalnya, ketika semua anggota tim Dota 2 dari Team Liquid memutuskan untuk membentuk tim baru setelah The International 2019, fans tim tersebut akan tetap mendukung tim itu, meski mereka telah berubah menjadi Nigma.

Masalahnya, industri esports cenderung lebih muda jika dibandingkan dengan industri olahraga tradisional. Data tentang para pemainnya juga belum lengkap. Jadi, sulit bagi tim untuk menentukan nilai dari seorang pemain, apakah mereka memang pantas untuk menuntut gaji selangit. Namun, performa bukan satu-satunya faktor yang menentukan apakah sebuah tim akan membeli sebuah pemain atau tidak. Potensi monetisasi dan endorsement menjadi faktor lain yang diperhatikan. Karir pemain esports tidak panjang. Biasanya, pada pertengahan 20-an, performa pemain esports sudah mulai menurun. Meskipun begitu, seorang pemain tetap bisa dipertahankan jika dia memiliki nilai lain, misalnya, mereka bisa menarik merek untuk melakukan endorsement.

Bagaimana dengan Bursa Transfer di Indonesia?

Sama seperti di dunia internasional, peraturan tentang transfer pemain esports di Indonesia masih tergantung pada publisher game, ungkap Wijaya Nugroho, Business Development, Esports Manager dari SEA (aka Garena). Ada publisher yang telah membuat regulasi terkait transfer pemain profesional dalam scene esports dari game yang mereka rilis, ada juga yang belum. “Kami ada di game Free Fire dan Arena of Valor,” kata Wijaya ketika ditanya apakah Garena telah menerapkan peraturan terkait game esports yang mereka naungi. “Untuk Call of Duty: Mobile belum, karena masih baru dan sedang disiapkan ekosistemnya.”

Wijaya menjelaskan, saat ini, regulasi yang ada telah mengatur tentang perlindungan dari poaching alias “pencurian” pemain dari tim lain. Selain itu, SEA juga telah membuat acuan kontrak antara player dan tim jika ada yang hendak melakukan transfer, walau dia mengaku bahwa belum ada ketentuan terkait harga maksimal atau minimal untuk transfer pemain. Tentang regulasi yang dibuat oleh SEA, Wijaya berkata, “intinya, kita set up gaji minimal bagi tim yang ingin dilindungi dari poaching. Konsepnya, tim wajib buka negoisasi ke pemilik player/tim, tidak boleh langsung ke player. Kalau melanggar, akan kena sanksi berat.”

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Lebih lanjut, Wijaya menyebutkan bahwa tujuan SEA membuat regulasi terkait pemain yang berlaga di game mereka adalah untuk memastikan tidak ada pihak yang dirugikan. Mereka juga memiliki tim pengawas untuk memastikan tidak ada pihak yang melanggar peraturan yang telah mereka buat. Soal hukuman, dia menyebutkan, “Hukumannya beragam, mulai dari peringatan, sanksi administrasi sampai diskualifikasi.” Namun, dia menyebutkan, selama ini, belum ada tim yang melanggar peraturan yang telah mereka tetapkan.

SEA juga telah menentukan waktu untuk transfer pemain. Misalnya, Free Fire memiliki dua fase untuk pertukaran pemain. Fase pertama jatuh pada tanggal 25 Desember 2019. Sementara fase kedua pada 8 Februari 2020, yang ditujukan untuk Free Fire Master League.

Kontrak pemain di mata pemilik tim esports

Setelah dua tim esports setuju untuk melakukan transfer pemain, tahap selanjutnya adalah tanda tangan kontrak. Masalahnya, kebanyakan pemain profesional masih sangat muda. Tidak sedikit yang belum berumur 18 tahun, belum dianggap dewasa di mata negara. Ketika membahas tentang ini, Bos BOOM Esports, Gary Ongko mengaku bahwa hal ini justrunya menyulitkan dirinya sebagai employer. Alasannya karena pemain belum memiliki disiplin tinggi. “Buat saya susah, karena ya mereka ngerasa ini kayak TK, kadang-kadang ngambek keluar seenak jidat. Tapi saya pribadi tidak pernah ada masalah, karena saya selalu sewa legal advice untuk semua hal,” ujarnya sambil tertawa.

Berdasarkan pengalaman memimpin BOOM Esports, dia merasa masih cukup banyak kontrak pemain esports profesional yang menurutnya “nggak benar”. Dia memberikan contoh, “Seperti, pemain di bawah 18 tahun, tapi yang tanda tangan bukan orangtua. Atau tidak ada materai pada kontrak. Atau tim tidak membayar gaji pemain, tapi ketika pemain hendak dibeli oleh tim lain, pihak manajemen tim justru meminta pemain dibeli.” Padahal, dia menyebutkan, hukum Indonesia mengatur, jika sebuah organisasi tidak membayar gaji pekerjanya selama beberapa bulan, maka kontrak secara otomatis dianggap batal. Sementara jika ada dua tim yang memperebutkan satu pemain, dia menjelaskan, biasanya kedua tim akan melakukan diskusi untuk mencari jalan tengah.

Lalu, bagaimana kontrak yang ideal?

Gary percaya, “kontrak standar” yang bisa digunakan di segala situasi adalah hal yang mustahil dibuat. Masing-masing kontrak pemain dengan tim profesional berbeda. “Kontrak standar untuk pemain bola/basket/olahraga yang sudah ratusan tahun saja enggak ada,” katanya. Dia mengambil contoh Richard Sherman, atlet american football. “Dia negoisasi kontrak, gaji utamanya kecil, tapi dia minta banyak insentif. Pada awal musim, dia diketawain. Tapi setelah dia masuk Super Bowl (liga utama untuk american football), tidak ada lagi yang menertawai dia.”

Richard Sherman. | Sumber: Twitter
Richard Sherman. | Sumber: Twitter

Lebih lanjut dia menjelaskan, “intinya, kontrak itu kan sesuatu yang disetujui oleh kedua belah pihak sehingga mereka tanda tangan. Makanya, tidak akan ada kontrak standar.” Sebelum ini, Federasi Esports Indonesia (FEI) mencoba untuk membuat guidelines tentang apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh tim dan pemain esports dalam membuat kontrak untuk memastikan bahwa kontrak tetap etis. Dia memberikan contoh kontrak etis yang pernah dia lihat. “Saya pernah melihat beberapa kontrak yang memiliki klausul, ‘kalau keluar dari tim A, tidak boleh main game B untuk dua tahun.’ Itu sama saja kontrak seumur hidup. Dalam dua tahun, game sudah akan berubah dan karirnya sudah habis.”

Gary berkata, pembagian total hadiah adalah salah satu hal lain yang harus diatur dalam kontrak. Dua organisasi esports besar di Indonesia, RRQ dan EVOS Esports, mengungkap bahwa selama ini, pemain biasanya mendapatkan persentase yang lebih besar dalam pembagian hadiah. “Jelaskan tentang pembagian prize pool. Jelaskan gaji dan klausul tentang naik gaji. Misalnya, pemain naik gaji kalau tim lolos ke Mobile Legends Pro League atau syarat lain. Sementara pemain di bawah umur 18 tahun, orangtua harus tanda tangan,” ujar Gary. “Kalau pihak pertama melakukan sesuatu, pihak kedua bisa menuntut hal-hal tertentu.”

Menurut Gary, baik pihak manajemen tim dan pemain sama-sama bisa membuat masalah. Sambil tertawa dia menjelaskan, “intinya, sekarang kontrak nggak terlalu dihargai. Player kalau mau keluar, bertingkah. Tim juga kalau tidak senang dengan player, jadi bertingkah, misalnya pemain tidak digaji.” Gary menjelaskan, untuk memastikan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan, baik pemain ataupun tim, mereka harus membaca kontrak tersebut dengan hati-hati. “Jangan ngasal tanda tangan,” tutupnya.

Kesimpulan

Regulasi tentang transfer pemain di dunia esports tergantung pada publisher game itu sendiri. Sebagian publisher, seperti Riot dan Blizzard, memiliki peraturan yang cukup ketat dengan menentukan waktu transfer dan gaji minimal pemain. Namun, ada juga game esports yang tidak memiliki regulasi terkait transfer pemain, seperti CS:GO. Di Indonesia, SEA alias Garena cukup peduli dengan regulasi terkait game yang mereka rilis.

Sementara itu, soal kontrak pemain, terlepas dari besarnya uang yang mengalir ke industri esports, masih ada pihak yang tidak profesional dalam membuat kontrak. Mengingat kontrak mengikat secara hukum, maka sebelum setuju dan membubuhkan tanda tangan dalam kontrak, ada baiknya kedua belah pihak membaca kontrak dengan seksama.

Malas dengan bahasa hukum yang terlalu formal? Anda selalu bisa mencari bantuan pengacara untuk membantu Anda memahami kewajiban dan hak yang Anda terima berdasarkan kontrak. Namun, Anda harus siap merogoh kocek demi menyewa pengacara. Per jam, jasa pengacara bisa dihargai Rp1 juta sampai Rp2 juta. Sementara jika Anda hanya ingin jasa baca kontrak, biaya yang harus Anda siapkan adalah Rp750 ribu per kontrak.

Sumber header: Twitter

6 Tips Push Rank PUBGM Untuk Pemain Tingkat Lanjut

Mendaki rank atau push rank, memang bukan hal yang mudah. Pada dasarnya mendaki rank memang sebuah kegiatan yang menantang ketahanan, ketajaman dan konsistensi permainan Anda dari waktu ke waktu. Jadi, sebenarnya jangan heran jika rank Anda masih staganan, atau malah turun terus, karena menaikkan rank memang tidak semudah yang Anda kira. Jika Anda sudah kehabisan akal, ada beberapa tips agar permainan Anda naik tingkat jadi lebih baik. Berikut beberapa di antaranya:

1) Hindari Kesalahan Pemula

Sumber:
Tidak memprediksi circle bisa dibilang salah satu kesalahan pemain pemula. Sumber:

Mati karena tidak waspada, bertahan di tempat yang tidak strategis, lupa membawa suatu perlengkapan, tidak memperhatikan arah circle, menyerang dengan sembrono, adalah daftar kesalahan-kesalahan yang biasanya dilakukan para pemula. Jika Anda ingin rank terus naik, maka Anda harus terus mengoptimasi permainan Anda, membuatnya jadi tanpa celah.

Berhubung banyak hal di PUBG Mobile bisa berjalan secara otomatis, penting bagi Anda untuk lebih menyadari setiap pergerakan Anda di dalam permainan. Bermain tidak harus selalu cepat dan terlalu waspada dengan keadaan, terkadang Anda juga bisa santai dan menyadari setiap gerakan yang Anda lakukan.

Contohnya ketika looting, setelah kondisi cukup aman coba periksa tas Anda, Apakah semua peralatan sudah lengkap? Periksa map, lihat posisi circle berikutnya. Jika posisi Anda jauh dari circle, coba cari tempat paling strategis di dalam circle, rencanakan jalur rotasi paling aman. Saat menemui musuh di tempat yang ingin Anda tempati, coba lihat sekeliling, cari jalur terbaik bagi Anda untuk menyerang musuh yang sedang bertahan. Jika main TPP, jangan lupa musuh juga punya kamera Third-Person seperti Anda, yang menguntungkan saat dalam posisi bertahan. Mereka bisa saja bersembunyi, namun tetap melihat pergerakan Anda, jadi jangan terlalu sembrono.

2) Gunakan Pengaturan Grafis dan Kontrol Ternyaman

Sumber:
Kontrol claw mungkin banyak dipakai pro player, tapi belum tentu itu nyaman bagi semua orang. Sumber: Twitter @pcgame

Jika bicara pengaturan dalam sebuah game, menurut saya tidak ada satupun pengaturan yang bisa dibilang terbaik. Kalau tidak ada yang terbaik, lalu pengaturan apa yang harus dicari? Tentunya pengaturan paling nyaman, yang membuat Anda bisa bermain dengan tanpa celah. Dalam PUBG Mobile, menurut saya setidaknya ada tiga elemen pengaturan yang perlu diperhatikan.

Pertama adalah grafis. Menurut opini personal saya, game competitive shooter seperti PUBG Mobile sebenarnya tidak terlalu butuh kualitas grafis terbaik, namun butuh frame-per-second tertinggi agar Anda tidak telat merespon keadaan. Jika smartphone Anda mumpuni, atur Graphics pada tingkat Smooth dan Frame Rate pada tingkat Extreme. Jangan lupa juga untuk coba-coba Style grafis di dalam game. Style Colorful mungkin bisa membantu memudahkan Anda menemukan musuh karena grafis yang kontras, namun pada intinya Anda bisa coba Style grafis satu per satu yang Anda rasa paling nyaman.

Kedua adalah layout kontrol. Pemain PUBG Mobile biasanya terbagi ke dalam beberapa golongan kontrol, ada pemain dua jari jempol, pemain empat jari bergaya claw, atau pemain kontrol tiga jari. Anda bisa gunakan salah satu yang menurut Anda paling nyaman. Jika Anda bingung, Anda juga bisa melihat referensi layout kontrol milik pemain profesional dan mencobanya.

Ketiga adalah Sensitivity. Pengaturan ini juga personal bagi setiap pemain. Ada pemain yang nyaman dengan Sensitivity rendah ada yang tidak. Ada yang suka pakai kontrol Gyroscope ada yang tidak. Anda harus rajin bereksperimen mengatur ini, sampai menemukan pengaturan paling nyaman bagi Anda. Lagi-lagi, Anda bisa mencari referensi pengaturan pemain profesional jika Anda kebingungan mencari pengaturan yang tepat.

3) Main Squad Dengan Mental Individualis

Sumber:
Bermain Squad tanpa teman mabar? Tak usah khawatir, mute semua dan main dengan mentalitas individualis. Sumber: Youtube iGameplay1224

Sebenarnya tidak terlalu masalah jika Anda ingin menaikkan rank Squad namun tak punya kawan mabar. Pada rank awal, anggaplah Silver sampai Platinum, permainan masih bisa dimenangkan walau Anda main sendirian melawan Squad. Namun, sebelum mulai bermain persiapkan mental individualis terlebih dahulu.

Jadi ketika bermain, hanya pikirkan keselamatan Anda sendiri tanpa harus peduli teman random yang Anda temui melalui matchmaking. Jangan lupa, matikan fitur voice communication yang mungkin akan menguji kesabaran Anda nantinya. Tak perlu mendengarkan atau memberi komando, bermain mengikuti insting saja. Kalau Anda melihat ada satu kawan yang jago segera ikuti, juga tak usah ragu untuk meninggalkannya jika kemampuannya menyedihkan.

4) Belajar Mengambil Keputusan

Sumber:
Revive atau habisi musuh? Merupakan salah satu skenario pengambilan keputusan terpenting. Sumber: Cnet.com

Satu kemampuan yang paling terlatih dari banyak game kompetitif biasanya adalah kemampuan pengambilan keputusan atau decision making. Tetap looting atau rotasi? Rotasi lewat mana? Bertahan atau agresif? Revive atau habisi musuh? Itu mungkin hanya baru beberapa keputusan saja yang harus Anda buat.

Nyatanya masih banyak lagi yang harus diputuskan dan Anda harus memutuskannya dengan cepat di dalam game ini. Jika ada tips yang harus saya katakan soal pengambilan keputusan, mungkin ada dua hal yang penting Anda catat, yaitu percaya diri dan jangan panik.

Soal percaya diri, intinya jangan ragu ketika membuat keputusan di dalam game. Jangan merasa takut disalahkan atas keputusan yang Anda buat. Revive atau habisi? Jika Anda percaya diri untuk menghabisi musuh lakukan saja! Walau nantinya berakhir gagal, tak usah khawatir, karena masih ada game berikutnya untuk membalas hal tersebut. Tetapi harap bedakan percaya dengan keras kepala. Anda juga harus rajin melakukan evaluasi atas keputusan-keputusan yang Anda lakukan. Jika itu salah, Anda harus menerimanya, dan coba buat keputusan berbeda pada skenario yang sama.

Kedua adalah jangan panik. Tetap tenang adalah kunci dari game seperti Battle Royale. Semakin Anda tenang, semakin tajam keputusan yang Anda buat. Bagaimana agar tetap tenang? Kembali kepada poin pertama soal menghindari kesalahan pemula dan menyadari permainan. Dalam skenario pertarungan, jika Anda menyadari secara tenang di mana posisi Anda dan musuh, Anda bisa dengan lebih mudah dan lebih baik memutuskan untuk kabur atau konfrontasi karena sudah menyadari keadaan tersebut.

5) Gunakan Gadget Untuk Menambah Pengalaman Bermain Anda

Sumber: GearBest
Sumber: GearBest

Walau mungkin dilarang dalam turnamen tingkat profesional, namun saya tetap merasa tidak ada salahnya untuk menggunakan gadget-gadget canggih dalam bermain untuk mendaki rank PUBG Mobile. Hal ini bisa Anda lakukan terutama jika Anda main PUBG Mobile sepenuhnya hanya untuk senang-senang saja. Kenapa demikian? Karena menggunakan gadget akan membuat pengalaman bermain Anda jadi lebih penuh dan menyenangkan.

Jika Anda bermain PUBG Mobile, sebenarnya ada beberapa gadget menarik selain dari sekadar trigger untuk menembak dengan jari telunjuk. Salah satunya adalah satu set lengkap dengan fitur grip seperti joystick, kipas pendingin, power bank, dan trigger telunjuk untuk memudahkan Anda menembak. Gadget seperti ini cukup marak dijual, yang bisa Anda cari dengan mudah di berbagai kanal laman ecommerce.

6) Beli Royale Pass, Kenapa Tidak?

Sumber: Screenshot Pribadi
Sumber: Screenshot Pribadi

Ini mungkin sedikit melenceng dari tips untuk menjadi jago. Menurut saya, jika Anda menginvestasikan waktu untuk mendaki rank PUBG Mobile, penampilan karakter yang keren bisa menjadi hadiah yang terus memotivasi Anda untuk terus bermain. Maka dari itu, Royale Pass bisa menjadi penawaran terbaik.

Mengapa demikian? Soalnya, hanya dengan modal Rp150.000, Anda sudah bisa menikmati bermacam-macam konten penambahan yang membuat permainan jadi makin semarak; entah itu kostum, skin senjata, parasut, dance emote tambahan, dan lain sebagainya.

Kalau Anda punya dana berlebih, langsung saja beli Royale Pass Elite Upgrade Plus dengan menggunakan Razer Gold. Selain mudah, Razer Gold juga punya berbagai macam voucher game yang Anda butuhkan. Nominal denominasi UC dengan Razer Gold juga sangat beragam, mulai 50 UC (Rp10.000) sampai 2500 UC (Rp500.000). Apalagi Anda juga akan mendapatkan berbagai benefit menarik jika membeli Royale Pass dengan menggunakan Razer Gold, mulai dari skin khusus Scar-L, sampai kesempatan mendapatkan Razer official merchandise, Razer Phone 2, dan Razer Kraken Ultimate.

Semoga semua tips di atas bisa membantu Anda mencapai rank Conqueror di PUBG Mobile. Selamat bermain, selamat berjuang!

razer gold banner

Disclosure: Artikel ini disponsori oleh Razer Gold, layanan virtual credit terbesar di dunia dari Razer untuk para gamer.

Sumber header: PUBG Official

 

Kenapa Investor Percaya Esports Bakal Jadi Industri Bernilai US$1 Miliar?

Industri esports digadang-gadang akan menjadi industri bernilai miliaran dollar dalam waktu beberapa tahun ke depan. Karena itu, tidak heran jika semakin banyak pihak yang tertarik untuk menanamkan investasi di ranah competitive gaming.

Sepanjang tahun 2019, total investasi di bidang esports mencapai US$2 miliar, menurut laporan The Esport Observer. Memang, angka itu turun jika dibandingkan dengan total investasi pada 2018, yang mencapai US$4,5 miliar. Meskipun begitu, jumlah transaksi yang terjadi justru naik 24 persen menjadi 141 pada 2019 ketika dibandingkan dengan tahun 2018. Selain itu, pada 2018, ada dua investasi besar yang membuat total investasi meroket.

Pertama adalah investasi dari Tencent pada layanan streaming Tiongkok, Huya dan Douyu pada Q1 2018. Ketika itu, Tencent juga menanamkan modal ke publisher dan operator game online Shanda Games. Total nilai investasi dari Tencent menembus US$1,5 miliar. Kedua, investasi pada Epic Games, developer dan publisher Fortnite. Investasi yang diberikan pada Oktober 2018 itu bernilai sampai US$1,25 miliar. Dua investasi besar inilah yang membuat total investasi di esports pada 2018 membengkak.

Investasi di bidang esports. | Sumber: The Esports Observer
Investasi di bidang esports pada 2018 dan 2019. | Sumber: The Esports Observer

Semakin banyaknya investor yang menanamkan modal di esports, termasuk venture capital, merupakan bukti bahwa perlahan tapi pasti, industri esports menjadi semakin matang. Tahun lalu, ada beberapa organisasi esports yang mendapatkan kucuran dana segar yang cukup besar, seperti Gen.G yang mendapatkan US$46 juta atau 100 Thieves yang mendapatkan US$35 juta. Walau banyak orang yang mengelu-elukan potensi esports, ada juga orang yang percaya bahwa bisnis tim esports di Amerika Serikat tidak sehat, seperti Mark Cuban. Dia berkata, banyak orang yang menanamkan investasi ke tim esports tak sadar bahwa bisnis itu tak menguntungkan.

Memang, industri esports masih memiliki berbagai masalah. Salah satunya transparansi. Hal ini terlihat ketika Forbes mendapatkan protes setelah membuat daftar perkiraan valuasi dari masing-masing tim esports pada November 2019. Salah satu keluhan yang disampaikan ketika itu adalah valuasi tim dianggap terlalu tinggi jika dibandingkan dengan nilai tangible yang ditawarkan oleh tim tersebut.

Meskipun begitu, para investor tetap percaya, industri esports akan tumbuh dan akan menghasilkan buah manis bagi para investornya. Pertanyaannya, apakah kepercayaan ini memang berdasar?

Life will find a way

Di industri esports, penyumbang pendapatan terbesar secara global masih sponsorship. Tren yang sama juga berlaku di Indonesia. Sayangnya, organisasi esports tidak bisa selamanya menggantungkan diri pada uang dari sponsor.

“Banyak tim akan [mencoba] untuk menjadikan sponsorship sebagai sumber pemasukan utama. Sponsor dan konten adalah sumber pemasukan yang paling sering dibahas kalau berbicara dengan tim esports yang baru dibuat. Tapi, menurut saya, konsep ini tidak sustainable,” ujar Yohannes P. Siagian, Kepala Pengembangan Esports Sekolah PSKD dan yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA 1 PSKD dan Vice President EVOS Esports. “Lama kelamaan, kita melihat jumlah tim yang terus bertambah. Dan kalau seperti itu terus, rasio tim-sponsor akan menjadi tidak viable. Belum lagi masalah tentang ada brand yang merasa bahwa esports tidak membawa keuntungan sesuai harapan mereka di awal. Tim-tim yang akan sukses adalah mereka yang bisa menciptakan sustainable revenue tanpa bergantung pada sponsor.”

Merek-merek non-endemik yang jadi sponsor esports. | Sumber: The Esports Observer
Merek-merek non-endemik yang jadi sponsor esports. | Sumber: The Esports Observer

Memang, saat ini, belum ada organisasi esports yang telah mendapatkan untung. Belum diketahui juga cara yang tepat untuk memonetisasi popularitas tim. Meskipun begitu, itu bukan berarti mereka tidak mencari cara untuk mendapatkan untung. Misalnya, 100 Thieves yang menawarkan merchandise di markas barunya. Di Indonesia, EVOS Esports menjadi contoh tim esports yang mendapatkan untung dari penjualan merchandise. Di M1 dan MPL ID S4, organisasi esports dengan logo harimau putih itu berhasil meraup Rp150 juta. Mereka juga sudah membuka flagship store di Jakarta. Sementara RRQ juga membuka kelas untuk orang-orang yang ingin belajar tentang cara menjadi pemain profesional.

Memang, pendapatan dari penjualan merchandise atau pembukaan kelas dianggap belum cukup untuk mengembalikan biaya untuk membesarkan tim esports. Setidaknya menurut Yohannes. “Biaya untuk tim seperti EVOS dan RRQ itu luar biasa besar. Untuk bisa mendapatkan pendapatan signifikan, mereka harus menjual merchandise dalam jumlah sangat banyak atau memiliki murid akademi yang sangat banyak,” ujarnya. “Ini bisa membantu untuk membuat model sustainable revenue, tapi pendapatan dari merchandise dan pembukaan kelas hanya akan menjadi bagian kecil dari keseluruhan rencana pemasukan.”

Sumber pendapatan organisasi esports juga tak terbatas pada penjualan merchandise. Mereka juga bisa mendapatkan pemasukan ekstra dengan membuat konten atau bisnis properti intelektual. Dalam wawancara dengan Forbes ketika G2 Esports mendapatkan kucuran dana segar, CEO Carlos Rodriguez mengatakan, organisasi esports justru memiliki kesamaan lebih banyak dengan Disney daripada dengan tim NBA LA Lakers. Ini menunjukkan kepercayaannya bahwa di masa depan, organisasi esports akan fokus pada dunia hiburan, konten dan properti intelektual.

Di Indonesia, organisasi esports yang mencoba metode ini adalah EVOS Esports, yang memiliki divisi entertainment sendiri. Menariknya, ketika mendapatkan kucuran dana dari Insignia, dana investasi tersebut digunakan untuk mengembangkan divisi entertainment mereka. “Divisi entertainment mereka dapat memanfaatkan influence mereka untuk menarik perhatian banyak gamer dan enthusiasts. Dari sini, mereka akan dapat menemukan talenta baru,” ujar Insignia tak lama setelah mereka menanamkan modal di EVOS.

Lain halnya dengan Fnatic, yang mencoba untuk melakukan monetisasi dengan membuka bisnis Fnatic Gear pada 2015. Jadi, mereka menyediakan perangkat untuk para pemain yang berarti mereka harus bertanding secara langsung dengan perusahaan peripheral seperti Logitech, HyperX, dan Razer. Sementara itu, Complexity Gaming, yang merupakan bagian dari tim american football Dallas Cowboy hendak fokus pada pengembangan para pemainnya. Untuk itu, mereka akan memanfaatkan pusat pelatihan Dallas Cowboys yang bernilai US$1,5 miliar.

Tergantung dari liga yang diikuti, organisasi esports juga bisa mendapatkan pemasukan dari penjualan tiket. Misalnya, tim-tim Overwatch League dan Call of Duty League. Activision Blizzard menggunakan model franchise pada kedua liga tersebut. Selain itu, mereka juga meniru sistem kandang-tandang yang digunakan di olahraga tradisional. Dengan begitu, tim-tim di OWL dan CDL harus memiliki markas sendiri untuk menjamu musuh yang datang. Activision Blizzard membebaskan organisasi esports untuk menentukan harga tiket untuk pertandingan yang mereka adakan di markasnya. Namun, metode ini baru diterapkan tahun ini. Jadi, belum diketahui apakah penjualan tiket bisa menjadi sumber pemasukan tetap.

Monetisasi Penonton

Salah satu daya tarik industri esports adalah jumlah penontonnya yang banyak dan terus bertambah. Menurut laporan Newzoo, pada 2018, jumlah penonton esports mencapai 380 juta orang. Sementara pada 2021, angka itu diperkirakan naik menjadi 557 juta orang. Memang, sebelum ini, saya pernah menyebutkan bahwa popularitas bukan jaminan untung. Misalnya, di Indonesia, fans esports memang banyak — hal ini terlihat dari membludaknya penonton dalam Mobile Legends Pro League Season 4 — tapi bukan berarti mereka rela membayar tiket.

Oke, sekarang, memang belum ada cara pasti untuk memonetisasi pelanggan. Itu bukan berarti para pelaku esports akan berhenti berusaha. Kemungkinan, mereka akan belajar dari industri olahraga tradisional. Mengingat industri itu memang telah jauh lebih lama ada, tidak aneh jika pelaku esports meniru apa yang pelaku industri olahraga tradisional lakukan. Tentu saja, mereka tidak bisa meniru metode secara sama persis. Mereka harus menyesuaikan metode monetisasi agar cocok untuk digunakan di pasar esports.

Cara membuat fans setia adalah sesuatu yang bisa dipelajari organisasi esports dari olahraga tradisional. Seorang fans sepak bola biasanya rela untuk membeli tiket demi bisa menonton tim jagoannya bermain. Tidak berhenti sampai di situ, mereka juga mau untuk membeli merchandise, seperti jersey pemain misalnya. Dan jangan tanya antusiasme penonton ketika yang bertanding adalah timnas. Inilah yang harus bisa ditiru oleh organisasi esports. (Tapi, tolong, jangan tiru perilaku anarkis dari sebagian fans sepak bola.)

Hal lain yang bisa ditiru oleh pelaku industri esports adalah bagaimana cara untuk memberikan pengalaman menonton langsung yang unik. Memang, kebanyakan (kalau tidak semua) pertandingan esports disiarkan di internet, yang bisa ditonton gratis dari rumah. Namun, pelaku esports seharusnya dapat memberikan pengalaman unik saat penonton datang langsung ke tempat pertandingan. Ini sudah dilakukan oleh Riot Games ketika mengadakan League of Legends World Championship. Pada 2018, Riot menampilkan hologram naga raksasa yang mengelilingi stadion. Ketika itu, mereka juga menampilkan “band virtual” yang berduet langsung dengan musisi di dunia nyata.

Memang, penggunaan teknologi terbaru seperti augmented reality, virtual reality, dan hologram masih memakan biaya yang sangat besar. Namun, ke depan, kemungkinan biaya untuk menggunakan teknologi-teknologi tersebut akan turun, sehingga para pelaku esports akan bisa menggunakannya dengan lebih leluasa untuk menawarkan pengalaman menonton yang unik. Selain menonton pertandingan secara langsung, para fans juga bisa menonton di layar lebar. Potensi akan ini terlihat ketika Imax bekerja sama dengan startup Vindex.

Esports bakal jadi entertainment next gen

Menurut Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer dan Co-Founder dari RevivalTV, bisnis esports memang memiliki potensi yang sangat besar. “Angka US$1 miliar secara global itu sangat mungkin,” katanya saat dihubungi oleh Hybrid melalui pesan singkat. “Esports bakal jadi gede banget dalam waktu 10-15 tahun ke depan. Bagi aku, esports itu bukan hanya industri yang baru, tapi juga merupakan bentuk hiburan untuk generasi berikutnya.” Dia menjelaskan, generasi baby boomers tumbuh dengan menonton pertandingan olahraga tradisional, seperti balap mobil, melalui televisi. Setelah mereka tumbuh besar dan memiliki uang untuk dibelanjakan, mereka menghabiskan uang mereka untuk sesuatu yang mereka sukai tapi tak mereka mampu beli sebelumnya, contohnya mobil.

“Nah, kalau kita lihat generasi muda sekarang (kurang dari 16 tahun), mereka tumbuh besar dengan bermain game di smartphone mereka, entah itu game esports atau bukan,” ujar Irli. “Kebayang kan, kalau nanti mereka sudah besar mereka bakal menghabiskan uang untuk membeli barang yang tadinya mereka tidak bisa beli, karena dilarang orangtua atau tidak punya kartu kredit atau alasan lain. Suka nggak suka, esports adalah next level entertainment.”

Salah satu indikasinya adalah bagaimana perusahaan-perusahaan teknologi besar — Amazon, Facebook, Google, dan Microsoft — berlomba-lomba untuk membesarkan platform streaming game mereka. Mereka bahkan rela mengeluarkan uang besar untuk mendapatkan kontrak eksklusif dengan sejumlah streamer ternama.

Ki-ka: DrLupo, TimTheTatman, Ninja, dan CouRage. | Sumber: Twitter
Ki-ka: DrLupo, TimTheTatman, Ninja, dan CouRage. | Sumber: Twitter

Awal mulanya…

Intergalactic Spacewar Olympics dianggap sebagai turnamen esports pertama di dunia. Turnamen yang mengadu Spacewar! ini diadakan pada 19 Oktober 1972 di Artificial Intelligence Laboratory, Stanford University. Sejak saat itu, dunia game dan competitive gaming telah berkembang pesat. Internet yang semakin cepat dan semakin accessible berarti kompetisi gaming tak harus dilakukan secara offline. Batas negara menghilang. Ini membuat banyak game multiplayer bermunculan. Bermain game tak lagi menjadi hobi bagi segelintir orang. Game telah masuk ke jalur mainstream dan menjadi industri bernilai US$120 miliar.

Kemampuan untuk melakukan streaming tidak hanya mengubah bagaimana game dimainkan, tapi juga mendorong tren baru untuk menonton permainan orang lain, baik untuk melihat kemampuan seseorang yang memang imba atau karena gaya bermain yang menghibur. Menurut data dari YouTube, sepanjang 2019, konten Minecraft berhasil mendapatkan lebih dari 100 miliar view. Selain itu, platform streaming game Twitch juga memiliki ranking yang lebih tinggi dari media sosial Twitter dan situs ecommerce eBay, menurut data dari Alexa. Itu berarti, ada lebih banyak orang yang mengunjungi Twitch daripada Twitter dan eBay. Pada Agustus 2019, Twitch memecahkan rekor baru, total durasi video ditonton di platform itu mencapai satu miliar jam.

Memang, turnamen esports identik dengan siaran di internet, apapun platform yang digunakan. Namun, itu bukan berarti tidak ada pertandingan esports yang ditayangkan di televisi. Pada Maret 2019, ABC menyiarkan babak final dari Overwatch League. Pada hari Sabtu, program tersebut mendapatkan 306 ribu penonton sementara pada hari Minggu, jumlah penonton bertambah menjadi 367 ribu orang. Memang, angka itu relatif kecil jika dibandingkan dengan program televisi lain. Namun, rating dari babak final Overwatch League itu lebih baik dari dugaan, terutama karena siaran OWL tidak digembar-gemborkan. Babak final Overwatch League diadakan di Wells Fargo Center, Philadelphia. Sebanyak 12 ribu orang datang ke sana untuk menonton pertandingan secara langsung.

Semua ini menunjukkan bahwa ada orang-orang yang tertarik untuk menonton konten gaming. Alhasil, semakin banyak turnamen dan liga esports yang bermunculan. Menurut laporan FEE, saat ini, ada 69 liga dan turnamen esports di dunia, sekitar setengah dari total turnamen tersebut baru diadakan dalam waktu lima tahun terakhir. Total hadiah yang ditawarkan oleh turnamen atau liga esports ini pun tidak main-main. The International 2019, yang merupakan turnamen dengan total hadiah terbesar, setidaknya untuk saat ini, menawarkan total hadiah lebih dari US$34 juta.

The International 2019.
The International 2019.

Mengingat industri esports masih relatif muda, belum diketahui cara pasti untuk mendapatkan keuntungan. Karena itu, para pelaku industri esports kini tengah bereksperimen untuk mencari cara yang tepat untuk memonetisasi esports. Activision Blizzard ingin membuat struktur yang jelas dalam pertandingan esports dengan membuat liga berbasis franchise. Saat ini, mereka memiliki dua liga yang sudah berjalan, yaitu Overwatch League dan Call of Duty League.

Saat pertama kali muncul, Overwatch League hanya memiliki 12 tim. Sekarang, terdapat 20 tim yang bertanding. Sementara Call of Duty League hanya memiliki 12 tim. Dikabarkan, Activision Blizzard mendapatkan US$500 juta dari penjualan franchise untuk kedua liga tersebut. Selain biaya franchise, tim yang ingin ikut serta dalam liga buatan Activision Blizzard juga harus mematuhi peraturan yang telah ditetapkan, seperti gaji minimal untuk pemain. Jika sebuah tim tidak memenuhi persyaratan yang ada, publisher bisa melarang tim untuk ikut dalam liga mereka.

Masalah yang muncul dalam masa perkembangan industri esports

Esports telah menjadi industri yang besar dan memiliki potensi untuk berkembang menjadi lebih besar lagi. Yohannes tidak membantah hal itu. Pada saat yang sama, dia juga menganggap bahwa hype esports terlalu dibesar-besarkan. “Esports memang industri yang besar (dan bisa terus berkembang), tapi esports juga industri yang overhyped. Perkembangan yang pesat dari industri esports membuat banyak pihak ingin terjun ke industri ini sehingga hampir setiap minggu, ada kabar tentang tim baru, game baru, atau event baru.”

Masalahnya, dia mengungkap, muncul risiko industri esports tumbuh lebih cepat dari kemampuan industri untuk menopang perkembangan industri itu. “Apalagi kebanyakan pelaku di industri esports lebih fokus di tingkatan atas alias profesional dan bukannya di pembangunan ekosistem,” katanya. Memang, salah satu masalah yang dihadapi para pelaku esports di Indonesia saat ini adalah soal regenerasi.

Sementara menurut Irli, salah satu kendala yang tengah dihadapi industri esports adalah keberadaan dua grup yang ada di kubu yang saling berlawanan. Kubu pertama adalah hardcore gamer yang bekerja di dunia esports atas dasar “passion”. Sementara kelompok kedua adalah para profesional yang melihat esports sebagai industri yang berpotensi untuk diinvestasikan dalam jangka panjang. Dia menjadikan politikus dan investor sebagai contoh. Orang yang masuk dalam kelompok kedua biasanya tahu cara bekerja sebagai profesional, tapi tidak terlalu mengerti industri esports. Sementara grup pertama justru sebaliknya. “Kira-kira, butuh dua tahun bagi kelompok satu dan dua untuk ketemu di tengah-tengah,” ujarnya.

Fortnite World Cup. | Sumber: Epic Games
Fortnite World Cup. | Sumber: Epic Games

Sayangnya, proses adaptasi ini juga tidak bebas dari masalah. “Di belahan dunia manapun belum ada standar soal cara menjalankan usaha di esports,” kata Irli. “Apa yang sukses di Amerika Utara atau Eropa, bisa tidak berjalan di Asia Tenggara. Misalnya, Fortnite, Counter-Strike: Global Offensive, dan League of Legends tidak laku untuk kawasan SEA. Ini tentang siapa yang kuat bertahan, siapa yang sabar dan tidak buru-buru untuk mencari untung sebanyak-banyaknya di dunia esports.” Alasannya, karena esports masih sangat muda. Dia membandingkannya dengan Gempi, anak dari Gading Marten dan Gisel. “Tidak peduli seberapa famous-nya dia, dia nggak bisa dipaksa kerja di kantor. Pada akhirnya, dia masih bayi, perlu dituntun pelan-pelan,” kata Irli.

Dia bercerita, salah satu masalah yang mungkin terjadi adalah jika sebuah merek telah menyiapkan uang hingga miliaran rupiah dan event tersebut dianggap gagal. Memang, semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk masuk ke industri esports, baik dengan mendukung penyelenggaraan turnamen esports atau menjadi sponsor dari organisasi esports, seperti GoPay yang mendukung RRQ. Venture capital pun turut melirik para organisasi esports, seperti Insignia yang mengucurkan dana untuk membesarkan divisi kreator konten dari EVOS Esports. Masalah lainnya adalah belum ada formula pasti untuk memonetisasi industri esports. “Sikut-sikutan antar kubu, politik-politikan, ada yang nipu-nipu, habis ditanamkan investasi, kabur,” ujarnya. “It’s all about trial and error. Kalau ada satu brand yang gagal, brand yang lain bakal belajar. Jika ada satu brand yang sukses, maka pihak lain akan meniru.”

“Sudah banyak banget yang tumbang, seperti tim-tim profesional banyak yang collapse. EO pun banyak yang gagal. Media pun sama. Semua orang pada buru-buru banget di esports. Mereka lupa, bisnis itu marathon, bukan sprint race. Orang-orang yang buru-buru lari di depan tidak akan bisa bertahan. Justru pihak yang tahu cara untuk menghemat energi dan sumber daya mereka dan bisa membangun merek mereka pelan-pelan, merekalah yang akan bertahan,” ujar Irli.

Publisher memegang hak IP dari sebuah game

Sekarang, sponsorship adalah sumber pemasukan utama industri esports. Namun, Newzoo memperkirakan, di masa depan, hak siar media akan menjadi sumber pemasukan terbesar. Demi mendapatkan hak siar atas Overwatch League, Twitch dikabarkan rela menggelontorkan US$90 juta. Namun, kontrak Activision Blizzard dengan Twitch telah habis dan mereka justru membuat perjanjian eksklusif dengan YouTube Gaming. Jika hak siar media memang jadi sumber pendapatan utama, maka ada kekhawatiran bahwa developer/publisher akan bersikap sewenang-wenang.

Tahun lalu, The Esports Observer dan Foley & Lardner LLP memberikan survei pada 200 eksekutif perusahaan yang bergerak di bidang esports. Menurut survei tersebut, 95 persen responden percaya, kendali developer/publisher yang sangat besar atas sebuah liga/game akan berdampak negatif. Mereka khawatir, developer akan membatasi API (Application Programming Interfaces) ke game mereka. Selain itu, juga ada kekhawatiran bahwa publisher sebagai penyelenggara akan membatasi tim yang ikut dalam sebuah turnamen. Inilah yang terjadi dalam liga yang menggunakan sistem franchise, seperti Overwatch League atau Mobile Legends Professional League.

MPL Season 4. | Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
MPL Season 4. | Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Ketika ditanya apakah ada kekhawatiran bahwa developer/publisher akan berlaku semena-mena, Irli optimistis bahwa para pelaku esports tidak akan menggantungkan diri pada kemauan developer. Memang, saat ini, developer masih sangat berkuasa atas game dan scene esports dari game yang mereka buat. “Karena saat ini, cuma mereka yang paling paham sama komunitas game dan komunitas esports-nya,” kata Irli. “Infrastruktur dan regulasi dari pemerintah lokal juga belum ada.” Namun, menurutnya, hanya masalah waktu sebelum pemerintah membuat regulasi untuk memastikan developer/publisher tidak bisa melakukan monopoli. “Nantinya, sama seperti sepak bola, akan ada standarisasi dari federasi atau asosiasi terkait. Fungsinya, untuk melindungi pemain dan juga pelaku industri terkait.”

Memang, publisher sebagai pemilik properti intelektual dari sebuah game adalah pihak yang paling bebas dalam melakukan monetisasi. Dalam peluncuran Flashpoint, liga yang diadakan oleh tim-tim esports sendiri, Co-founder Gen.G Kent Wakeford bahkan mengatakan bahwa terkadang, pihak publisher sebagai penyelenggara dan organisasi esports terasa saling bersaing dengan satu sama lain. Namun, sebuah liga esports tak akan berjalan tanpa keberadaan tim-tim profesional yang berlaga di dalamnya. Jadi, hubungan antara publisher dan organisasi esports adalah simbiosis mutualisme. Selama organisasi esports bisa memposisikan diri agar mereka adalah bagian tak tergantikan dari ekosistem esports, maka mereka akan tetap memiliki bargaining power.

Regulasi

Regulasi atas scene esports sebuah game biasanya ditangani oleh developer. Misalnya, Riot Games menentukan gaji minimal yang harus diberikan oleh tim profesional pada para pemain yang berlaga di League of Legends Championship Series, liga LOL di Amerika Utara. Activision Blizzard juga menentukan hal serupa untuk pemain Overwatch League. Sementara itu, di Turki, pernah muncul skandal, sebuah tim tidak membayar para pemainnya selama beberapa bulan. Alhasil, Riot melarang tim tersebut ikut serta dalam liga League of Legends di Turki.

Di Amerika Serikat, California hendak meloloskan regulasi yang menjamin bahwa pemain esports akan mendapatkan benefit yang sama dengan pekerja tetap developer, seperti asuransi. Di Indonesia, walau ada lebih dari satu asosiasi game dan esports, tapi belum ada peraturan terkait esports. Belum lama ini, juga dibentuk PB Esports. Meskipun begitu, saya agak skeptik. Dalam acara pembentukan PB Esports, “candaan” pertama yang diluncurkan adalah esports bisa digunakan sebagai alat untuk menarik suara milenial dan gen Z pada pemilu presiden berikutnya, yang baru akan diadakan empat tahun lagi.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Ketika membahas tentang ini, Irli mengatakan bahwa regulasi soal esports memang tidak akan bisa dibuat dengan cepat. “Bagi kita yang di esports pun, kita tidak tahu apa yang diperlukan oleh dunia profesional. Regulasi tidak akan jadi dengan cepat, dan belum tentu sesuai,” katanya. “Mungkin, regulasi yang pertama keluar justru yang menguntungkan pihak yang berkuasa secara politik dan bakal ada masalah dengan komunitas esports.” Namun, dia optimistis, keberadaan “orang-orang hebat di esports” seperti AP (CEO RRQ dan Kepala FEI), Garry Ongko (Bos BOOM Esports), dan Giring (Ketua Panitia Penyelenggara, Piala Presiden Esports 2020) akan bisa bertindak sebagai penyeimbang dan menyuarakan opini komunitas esports.

“Tapi, tenang saja, pemerintah dan pelaku esports sekarang setuju, kita harus buat regulasi yang mencegah developer memonopoli market mereka. Intinya, siapa yang mau jualan di Indonesia, harus minta izin ke pemerintah dan bekerja sama dengan perusahaan lokal,” kata Irli. Dia yakin, para developer asing, seperti Tencent tidak akan kehilangan potensi pendapatan karena tidak bisa membuat kegiatan esports.

Esports adalah industri hasil dari spontanenous order

Ada banyak pemegang kepentingan dalam industri esports, mulai dari developer dan publisher game, organisasi esports, pemain profesional, pengiklan sampai pemerintah. Meskipun sekarang esports dinyatakan sebagai industri bernilai besar, masih belum ada bisnis model yang pasti untuk meraih untuk di industri esports.

Menurut FEE, industri esports merupakan hasil dari spontaneous order, sesuatu yang muncul karena tindakan orang-orang dan bukannya sesuatu yang sudah direncanakan. Sepuluh tahun lalu, tidak ada seorang pun yang berpikir bahwa sebuah perusahaan rela mengeluarkan US$100 juta untuk membuat turnamen game yang bisa dimainkan secara gratis. Sepuluh tahun lalu, mungkin tidak ada yang percaya jika seorang remaja bisa membawa pulang US$3 juta setelah memenangkan turnamen game.

Fakta bahwa pemain esports bisa mendapatkan gaji jutaan rupiah — atau mungkin bahkan puluhan juta rupiah untuk pemain yang telah go international — mungkin sesuatu yang sulit untuk diterima nalar. Namun, mekanisme pasarlah yang memungkinkan hal itu terjadi. Sama seperti evolusi home entertainment. Ketiadaan campur tangan dari pemerintahlah yang memungkinkan industri itu tumbuh dan berkembang.

Bagi yang ingin masuk ke dunia esports

Banyak orangtua yang menganggap bahwa bermain game adalah hobi yang tidak ada manfaatnya. Namun, kemunculan esports sebagai industri telah mematahkan tanggapan itu. Menjadi pemain profesional tidak lagi sekadar mimpi di siang bolong. Tentu saja, tugas pemain profesional tidak melulu bermain game. Ada risiko yang harus ditanggung oleh orang-orang yang ingin serius menjadi pemain profesional, mulai dari masalah kesehatan sampai kesulitan dalam menjalin hubungan percintaan. Karir sebagai pemain profesional juga relatif pendek. Tentu saja, karir di dunia esports tidak melulu soal menjadi pemain. Ada banyak karir lain yang bisa dikejar.

Setiap turnamen biasanya memiliki shoutcaster.
Setiap turnamen biasanya memiliki shoutcaster.

Namun, hanya karena esports adalah industri soal game, bukan berarti seseorang bisa bekerja di sini dengan bermain-main. Irli mengatakan, bagi orang-orang yang ingin masuk industri esports, mereka harus bersedia untuk bekerja profesional. “Ini bukan lagi masalah passion atau keinginan untuk berkontribusi dalam esports,” katanya. “You need skills and determination to survive here. Nggak ada yang instan di sini dan industrinya masih belum stabil. Jadi, jika mau terjun ke sini, harus commitment.”

Irli juga menyarankan untuk tidak mengorbankan pendidikan. Dia mengaku, background pendidikan memang tidak selalu menjadi tolak ukur utama dalam mencari pekerjaan di dunia esports. Tapi, dia menegaskan, “kompetisi di industri ini sangat gila. Siapa yang kuat, siapa yang bisa beradaptasi, dia yang bertahan. Setiap hari, banyak orang-orang baru yang hebat di industri ini, baik pro player atau orang di belakang layar. Jadi, pastikan kalian punya skill yang cukup untuk bertahan. Jadi, kalau pun terpental, masih punya asuransi.”

Irli juga menyarankan untuk mengetahui apa yang Anda inginkan dengan terjun ke dunia esports. “Kerja di esports itu ibarat mengabdi. Mesti banyak banget waktu, tenaga, dan modal lainnya yang ditanamkan sebelum Anda bisa mendapatkan uang,” ujarnya. “Banyak banget yang nanya soal jadi pro player atau kerja di esports. Yang mereka nggak tahu adalah seberapa gilanya persaingan di dalam industri. Mereka pikir, mereka bakal auto kaya atau famous begitu menjadi pemain profesional.”

Dia mengatakan, kebanyakan orang berusaha untuk masuk ke esports demi pengakuan, bahwa mereka bisa mendapatkan uang dengan bermain game. Namun, jika tidak hati-hati, ini justru bisa membuat seseorang menjadi sombong. Hybrid pernah membahas tentang beberapa dampak negatif esports dan arogansi adalah salah satunya.

Irli bercerita, pada tahun lalu, ada 10 YouTuber Gaming yang populer. Namun, lebih dari setengahnya sudah tak lagi terdengar namanya. “Ada yang tidak berkembang engagement-nya, ada yang tutup channel, ada yang pensiun, dan lain sebagainya karena mereka nggak paham cara mengaturnya. Ini (esports) dunia kerja, dunia beneran. Nggak ada namanya duduk santai,” ujarnya.

Kesimpulan

Dulu, bermain game dianggap sebagai hobi segelintir orang. Sekarang, jumlah gamer diperkirakan mencapai 3,5 miliar orang, hampir setengah dari total populasi dunia. Seiring dengan berkembangnya teknologi, khususnya internet, game pun menjadi semakin beragam. Selain bermain game, juga muncul kebiasaan untuk menonton orang lain bermain. Komunitas gamer memang sudah mengadakan kompetisi game sejak dulu. Namun, sekarang, kompetisi itu ada di level yang sama sekali berbeda. Keberadaan platform streaming seperti Twitch dan YouTube Gaming memungkinkan banyak orang untuk menonton turnamen game.

Jumlah penonton esports yang mencapai ratusan juta tentu menarik para pengiklan. Karena itulah semakin banyak orang yang tertarik untuk menjadi sponsor dan investor esports. Terlepas besar dana yang sudah dikucurkan ke industri esports, masih belum ada cara pasti untuk mendapatkan keuntungan di sini. Namun, seperti yang disebutkan oleh Head of Global Partnerships Activision Blizzard Esports, Josh Cella dalam CES 2020, lain halnya dengan liga olahraga tradisional, orang-orang memiliki ekspektasi untuk memonetisasi esports. Dengan banyaknya investor yang masuk, tentunya mereka berharap modal yang mereka tanamkan akan kembali (beserta bunga).

Jadi, para pelaku esports pasti akan mencari cara untuk mendapatkan pemasukan yang sustainable, baik dengan menjual merchandise, tiket pertandingan, atau membuat perangkat gaming sendiri. Dan ketika sudah ada yang menemukan cara yang tepat, pelaku yang lain akan meniru. Pada akhirnya, apa yang bos saya sering katakan akan jadi nyata: “Semua akan esports pada waktunya.”

Sumber: The Esports Observer, FEE

Pentingnya Standar Pada Turnamen Fighting Game Indonesia

Seiring dengan perkembangan esports secara umum di Indonesia, komunitas fighting game atau Fighting Game Community (FGC) ternyata juga turut “kecipratan” perkembangannya. Salah satu alasan terbesarnya mungkin datang dari SEA Games 2019, yang turut mempertandingkan Tekken 7, membuat fighting game (FG) mendapat perhatian yang lebih besar. Dampaknya? Turnamen fighting game kini jadi semakin marak.

Sepanjang tahun 2019, setidaknya ada 6 turnamen figthing game di Jabodetabek. Ini saja kita baru menghitung turnamen yang diadakan oleh salah satu tournament organizer tertua di skena FGC Indonesia yaitu Advanced Guard. Belum lagi turnamen-turnamen lainnya seperti Hybrid Cup Tekken 7 Team Fight, atau mungkin turnamen di luar Jabodetabek yang diselenggarakan oleh komunitas seperti Drop the Cap.

Namun demikian, banyaknya turnamen fighting game memunculkan beberapa dampak. Salah satunya adalah penerapan rules yang tidak standar antar kompetisi satu dengan yang lain. Karena perkembangan skena fighting game sudah cukup terasa, saya jadi berpikir bahwa kini sudah saatnya turnamen fighting game, apapun itu menggunakan peraturan standar kompetitif yang berlaku. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan terkait hal ini.

Belajar dari EVO 2008

Anda pecinta FG mungkin sudah tidak asing dengan gelaran Evolution Championship Series atau yang lebih dikenal dengan nama EVO. Berjalan sejak tahun 1996 lalu, EVO selama ini dianggap sebagai turnamen paling bergengsi di kalangan Fighting Game Community (FGC). Selama ini posisi EVO berhasil mempertahankan tradisi kompetisi pada zaman arcade, sampai sekarang menjadi sebuah fenomena global.

Menjadi satu gelaran yang sangat berkaitan erat dengan komunitas pemain fighting game, tak heran jika gelaran ini sangat dihormati oleh komunitas. Tak heran agar EVO bisa mempertahankan nama baiknya, ia harus menggunakan peraturan sesuai standar pada setiap cabang game yang dipertandingkan.

Tapi bukan berarti EVO selalu tanpa celah. Pada EVO 2008, mereka sempat melakukan satu kesalahan yang cukup penting. Kesalahan ini memperuncing pertikaian antara komunitas FG secara umum dengan komunitas Smash. Masalah ini muncul pada saat EVO mengikutsertakan Super Smash Bros. Brawl (Wii) sebagai bagian dari kompetisi EVO 2008.

Dalam pertandingan tersebut, EVO menggunakan satu ruleset yang tidak sesuai standar, yaitu memperkenankan Items di dalam pertandingan. Items dalam Brawl merupakan sebuah benda yang muncul dalam waktu, bentuk, serta efek yang acak. Penambahan ruleset ini mengakibatkan jalannya pertandingan jadi semakin sulit untuk diduga, karena menambah faktor keberuntungan dari kemenangan seorang pemain.

Mengutip dari Red Bull Esports, dikatakan bahwa setelah kejadian tersebut Brawl segera menjadi bahan tertawaan oleh peserta cabang game lain EVO. Penerapan ruleset tersebut berdampak kepada cara pandang FGC terhadap Brawl. Memperuncing hubungan antara FGC dengan komunitas penggemar seri Super Smash Bros (SSB). SSB dianggap bukan bagian dari fighting game oleh komunitas karena anggapan bahwa memenangkan kompetisi SSB tidak selamanya karena jago, tapi bisa jadi karena keberuntungan.

Beberapa tahun berlalu, hubungan antara FGC dengan SSB sudah membaik. EVO Japan 2020 kembali melibatkan komunitas SSB lewat seri terbarunya, Super Smash Bros. Ultimate. Walau sempat menjadi kontroversi karena kompetisinya hanya berhadiah sebuah kontroler saja, namun kemenangan Shutton di sana tetap dihormati oleh komunitas karena kemampuan yang ia tunjukkan.

Sumber: EVO
Sumber: EVO

Kasus EVO 2008 sebenarnya bisa menjadi pelajaran berarti bagi penyelenggara turnamen fighting game di Indonesia. Mengingat fighting game bersifat individual, usaha penyelenggara untuk menjunjung tinggi sportivitas pastinya akan sangat diharapkan. Demi kompetisi yang dianggap adil ataupun demi gengsi yang didapatkan sang juara setelah memenangkan kompetisi tersebut.

Tanpa peraturan yang sesuai standar, mereka yang kalah kompetisi mungkin bisa saja nyinyir, menganggap kompetisi tersebut tidak adil karena peraturannya tidak sesuai standar. Buntut panjangnya, mungkin turnamen tersebut bisa menjadi dipandang buruk oleh komunitas.

Kata Komunitas Fighting Game Indonesia

Seakan tak lengkap jika kita membicarakan hal ini tanpa melibatkan Bram Arman co-founder Advanced Guard, ke dalam perbincangan. Bram mungkin bisa dibilang sebagai dedengkot komunitas fighting game di Indonesia yang menurut saya patut untuk dihormati. Salah satu alasan saya pribadi adalah, karena usahanya untuk terus mengasuh komunitas fighting game di Indonesia yang sudah ia lakukan sejak dari tahun 2012 lalu.

Ia mengatakan, permasalahan ini memang punya pro dan kontra tersendiri, apalagi mengingat jumlah massa FGC di Indonesia tidak sebesar di luar negeri. “Semua pasti ada sisi pro and cons, termasuk jika kita bicara soal turnamen fighting game yang semakin banyak, namun memiliki peraturan yang tidak sesuai standar. Melihat hal ini, pro-nya adalah, exposure buat FGC jadi tambah banyak, terutama Tekken yang belakangan memang marak turnamen. Cons-nya kalau menurut pendapat saya personal, saya merasa miris melihat kejadian seperti ini. Apalagi saya sendiri merasa sudah meluangkan banyak waktu untuk membuat turnamen fighting game sesuai standar dan dengan kualitas yang memadai.” Ucap Bram.

Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard

Terkait soal hal tersebut, kami juga menanyai komunitas Cross Gathering, salah satu komunitas fighting game yang berdomisili di Surabaya, Jawa Timur. Komunitas ini kerap kali membuat turnamen berbagai macam fighting game untuk para penggemarnya yang berada di domisili Jawa Timur dan sekitarnya. Saya pun menanyai pendapat Eko Gunawan sebagai seseorang yang bisa dibilang sebagai salah satu tetua dari komunitas Cross Gathering.

Eko juga punya pandangannya sendiri terkait permasalahan ini. “Menurut saya pribadi, mempertandingkan suatu game dengan peraturan internasional itu banyak untungnya kok bagi penyelenggara. Karena jadinya komunitas tidak ada yang protes, panitia juga harusnya jadi tidak terlalu direpotkan. Mengapa jadi tidak direpotkan? Karena peraturan internasional pasti sudah melalui pertimbangan serta persetujuan dari developer ataupun komunitas. Jadi penyelenggara tinggal pakai saja.” Ucapnya.

Sumber: Drop the Cap
Eko Gunawan (kedua dari kanan) yang juga menjadi runner up di dalam gelaran Hybrid Cup Sumber: Drop the Cap

Memang apa saja yang membuat turnamen fighting game bisa dikatakan sesuai standar? Menurut saya yang paling minimal adalah turnamen tersebut menggunakan game versi terbaru, pemainnya dibebaskan menggunakan controller apapun, dan menggunakan format best-of-3.

Pertama-tama soal versi game yang digunakan. Sebagai perwakilan pemain, saya menanyai pendapat Jovian (Cobus) dari DRivals. Cobus yang merupakan seorang pemain Tekken 7, merasa kehadiran peraturan atau sistem permainan yang tidak standar sedikit-banyak mempengaruhi mentalitas pemain.

“Kalau ditanya pendapat, pasti kecewa kalau peraturannya tidak sesuai standar. Satu yang paling fatal dan beberapa kali gue temukan adalah penggunaan Tekken 7 versi lama untuk kompetisi. Walau ini tidak mempengaruhi level kompetitif dalam turnamen tersebut, tapi gue merasa hal ini mempengaruhi level kompetitif pemain Tekken Indonesia secara keseluruhan. Menurut saya ini membuat pemain Tekken Indonesia tidak terbiasa melatih mental dan skill untuk tingkat lebih tinggi, terutama untuk kompetisi yang menggunakan peraturan standar internasional.” Cobus mengatakan.

Lalu bagaimana kalau bicara soal controller? Bram lalu mengutarakan pendapatnya. “Kalau bicara dalam lingkup FGC, controller itu sangat fatal. Sejak awal, FGC tidak pernah menyamaratakan controller yang harus digunakan dalam sebuah turnamen. Setiap pemain diperkenankan menggunakan controller-nya masing-masing, entah itu Joystick, Arcade Stick, Mixbox, ataupun Keyboard. Kalau sampai dipaksa menggunakan satu jenis controller saja, menurut saya turnamen tersebut malah jadi kurang sportif.”

Sumber: Geek Buying
Sumber: Geek Buying

Jika bicara controller, saya juga setuju dengan pendapat bram. Pemilihan controller ibarat seperti pemilihan sepatu pada pemain bola. Anda tidak bisa mengharuskan semua pemain menggunakan satu jenis sepatu di dalam pertandingan sepak bola. Karena masing-masing pemain punya karakteristik permainannya sendiri, misalnya pemain sayap butuh sepatu yang optimal untuk gerak lincah, sementara pemain tengah butuh sepatu yang optimal untuk mengontrol serta mengumpan bola dengan tepat sasaran.

Kembali membahas fighting game, kenyamanan dan kebiasaan adalah alasan utama dalam pemilihan controller pesertanya. Pemain yang pakai Arcade Stick biasanya sudah mengenal fighting game sejak masih ada di Arcade, jadi mereka tidak bisa dipaksa harus menggunakan Joystick, begitupun sebaliknya. Jadi adil dalam pemilihan controller di fighting game adalah dengan dibebaskan menggunakan apapun. Toh, perbedaan controller tidak mempengaruhi kemampuan Anda bertarung di dalam pertandingan fighting game. Pada EVO saja, banyak juga kok pemain Tekken atau Street Fighter yang masih menggunakan Joystick untuk bertanding di tingkat dunia.

Terakhir adalah soal format best-of-3. Ini juga menjadi penting dalam sebuah pertandingan fighting game. Bram punya pendapatnya sendiri terkait hal ini. “Memang best-of-3 itu menurut saya wajib di dalam fighting game. Kenapa? Karena best-of-1 rentan memunculkan faktor keberuntungan. Kalau skill gap antara pemain satu dengan yang lain sangat jauh, mungkin best-of-1 masih tidak masalah. Tapi bagaimana jika sama-sama jago? Di sini yang tadi saya sebut, rentan memunculkan faktor keberuntungan.” ucap Bram.

Apa yang Harus Komunitas Lakukan

Menghadapi masalah yang kian terasa ini, apa yang sebetulnya harus dilakukan oleh FGC Indonesia? Tidak, saya tentunya tidak akan menyuruh komunitas untuk “memboikot” turnamen yang peraturannya kurang jelas. Karena saya merasa pasti ada solusi yang lebih bijak atas masalah tersebut.

Saya lalu kembali mengutip pendapat Eko dari Crossgathering untuk membahas ini. Eko juga sedikit cerita, bahwa fenomena seperti ini juga beberapa kali terjadi di Surabaya. “Kalau bicara turnamen FG, seperti di Jakarta, paling banyak tetap Tekken. Walau pesertanya mungkin lebih sedikit dibanding Jakarta, namun turnamen Tekken pasti minimal memiliki 32 peserta. Soal turnamen dengan peraturan yang tidak standar? Sudah pasti ada juga di Surabaya.” ucapnya.

Eko lalu melanjutkan apa yang biasa ia lakukan menghadapi masalah tersebut. “Kalau saya sebagai perwakilan komunitas yang peduli dengan game-nya, biasanya akan menghubungi panitia, lalu menawarkan bantuan serta saran agar turnamen bisa berjalan dengan lancar. Beberapa ada yang terbuka, beberapa ada yang tidak mau menerima. Kalau tidak terbuka, biasanya mereka juga yang kerepotan. Akhirnya peserta banyak yang protes karena panitia tidak berpengalaman. Belum lagi kalau turnamen tersebut dibahas secara buruk oleh komunitas, tentunya pihak penyelenggara juga yang rugi.” Tukasnya.

Sumber: Drop the Cap
Antusiasme pemain fighting game di Surabaya yang sama besarnya seperti di Jakarta dan sekitarnya. Sumber: Drop the Cap

Namun demikian Eko juga merasa bahwa masalah tersebut nyatanya di luar kendali komunitas. “Jika kita bicara soal organizer besar yang menyelenggarakan turnamen fighting game dengan hadiah besar tapi peraturannya tidak mengikuti standar, saya merasa itu kembali lagi menjadi hak mereka. Tapi hal ini tentu sangat disayangkan. Kalau saja mereka mau merangkul dan menerima bantuan komunitas, jalannya turnamen tentu akan jadi lebih mulus. Kenapa? Komunitas sudah pasti paham dengan FG yang dipertandingkan serta perangkat mereka juga lebih update. Jadi pada akhirnya jika mau bekerja sama, ini menjadi simbiosis mutualisme kok antara penyelenggara dengan komunitas.” ucap Eko.

Lalu bagaimana jika dari sisi pemain? Apa yang bisa dilakukan oleh para pemain? Seperti tadi yang sudah saya bilang pada awal, “memboikot” rasanya bukan cara yang bijak untuk dilakukan. Perkembangan komunitas mungkin malah terhambat, jika misalnya tindakan tersebut dilakukan. Skenario terburuknya, memboikot mungkin akan menyebabkan perpecahan. Muncul perbedaan kubu antara pemain pro peraturan standar dengan pemain yang tidak terlalu peduli dengan peraturan standar. Akhirnya FGC Indonesia yang belum sempat menjadi lebih besar, malah terpecah belah terlebih dahulu.

Jovian lalu menyatakan pendapatnya. “Menurut saya, satu-satunya langkah yang patut dicoba memang adalah dengan edukasi kepada panitia tersebut setiap kali turnamen. Supaya ke depannya mereka bisa membuat turnamen yang punya peraturan sesuai standar. Karena kalau dari sisi pemain, jujur saja, kami tentunya ingin bisa mendapat kemenangan, ingin mendapat sesuatu dari hasil latihan yang kami lakukan. Jadi mau tidak mau, banyak turnamen juga menjadi keuntungan tersendiri bagi pemain kompetitif seperti saya dan kawan-kawan DRivals.” ucapnya.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Para peserta di dalam gelaran Hybrid Cup Tekken 7 Team Fight. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Bicara soal turnamen, Hybrid juga selalu mencoba menunjukkan bahwa turnamen fighting game harus sesuai dengan standar yang ada. Hybrid Cup, sudah hadir beberapa kali dengan mempertandingkan beberapa macam fighting game, dan selalu menggunakan peraturan sesuai dengan standar kompetitif masing-masing game. Hasilnya adalah komunitas mempercayai turnamen yang diadakan oleh Hybrid, dan puncaknya adalah gelaran Hybrid Cup Series – Play on PC: Fighting Game Tournament yang diikuti oleh hampir 200 peserta.

Bicara soal apa yang harus dilakukan komunitas, Bram memiliki pendapat yang kurang lebih serupa dengan Eko. Menurutnya, kehadiran banyak turnamen dengan rules yang bervariasi ini memang sudah tidak bisa dibendung lagi. “Nyatanya, turnamen seperti ini juga tidak akan sepi.” kata Bram.

“Pemain-pemain fighting game sudah pasti haus kompetisi. Jadi, pemain juga pasti realistis saja, mengapa tidak untuk ikut turnamen seperti ini? Walau peraturannya mungkin tidak nyaman bagi pemain, tetapi mereka pasti punya sisi oportunis, ingin mengejar hadiah, ingin mendapatkan pengakuan, atau sesederhana ikut karena dekat dengan lokasi acara dan ingin jajal kemampuan. Menurut saya hal itu juga tidak salah, karena motivasi masing-masing pemain tentunya berbeda-beda.” Bram menyatakan pendapatnya.

“Pada dasarnya, turnamen fighting game yang merebak memang menguntungkan player. Kalaupun mereka ikut, para player dari komunitas biasanya sharing tips kepada sang penyelenggara, karena mereka sebenarnya juga punya kepedulian yang sama. Cuma, jika bicara dari sudut pandang saya sebagai Tournament Organizer, saya cuma bisa bilang saya berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi komunitas.”

“Maka dari itu saya sejujurnya sangat bersyukur terhadap beberapa pihak yang masih percaya dengan saya, karena kepercayaan tersebut menjadi kesempatan bagi saya dan FGC Indonesia untuk unjuk gigi community effort yang sesungguhnya. Pada akhirnya, passion komunitas bisa berjalan bersamaan kok dengan keinginan pihak-pihak terkait.” Bram memberi pendapatnya seraya menutup perbincangan kami soal standar turnamen fighting game.

Turnamen yang tidak sesuai standar memang kerap kali menjadi masalah bagi komunitas game, tak terkecuali komunitas fighting game. Saya sendiri setuju dengan pendapat para narasumber yang telah membantu saya melengkapi artikel ini, yaitu edukasi tanpa henti dan terus memberi saran kepada penyelenggara yang sudah membuat turnamen fighting game untuk komunitas.

Sumber header: Esports Edition

Review Darksiders Genesis – Gaya Baru Seri Darksiders: Top-Down-Action

Beberapa waktu silam, saya menemukan game yang satu ini dan menyelesaikannya single player campaign-nya dalam waktu 46 jam. Sama seperti review Borderlands 3 yang saya tuliskan sebelumnya, saya juga memainkan semua seri Darksiders; mulai dari Darksiders, Darksiders 2, Darksiders 3, dan Darksiders Genesis.

Buat Anda yang juga memainkan ketiga seri sebelumnya, Anda mungkin terkejut juga saat melihat video gameplay atau trailer-nya yang berubah sudut kameranya jadi top-down. Lalu pertanyaannya, apakah game ini layak dibeli? Inilah review Darksiders Genesis yang akan saya bagi jadi beberapa aspek.

Oh iya, sebelum masuk ke reviewnya, saya memainkan game ini di PC dengan spesifikasi sebagai berikut:

CPU: AMD Ryzen 5 3600
Motherboard: Gigabyte AB-350 Gaming 3
Kartu Grafis: Palit GeForce RTX 2070 Super JS
Memory: G Skill 16GB 3200MHz (running @3600MHz).
Storage: ADATA SX8200 PCIe SSD 1TB

Graphics: 76/100

Mengingat sudut pandangnya yang berubah jadi top-down, Darksidersm Genesis memang jadinya jauh lebih sederhana ketimbang Darksiders 3 yang dirilis tahun 2018 ataupun Darksiders 2. Namun demikian, detail grafisnya masih cukup diperhatikan dengan baik.

Jujur saja, bagi saya pribadi, saya lebih suka game dengan sudut pandang top-down seperti ini namun dengan detail yang baik ketimbang game third-person (dari belakang) ataupun first-person namun dengan kualitas yang seadanya — game-game free-to-play atau game mobile misalnya… uhuk…

Selain itu, dengan grafis yang sederhana, game ini pun jadi ringan dijalankan. Dengan spek yang saya gunakan tadi, game ini bisa berjalan mulus di 165fps (di monitor 165Hz) tanpa gangguan sama sekali. Saya kira hal ini juga penting disebutkan mengingat saya juga kerap menemukan game-game yang grafisnya sederhana tapi tidak mampu berjalan mulus framerate-nya.

Di PS4, harusnya game ini juga bisa berjalan mulus — mengingat kebanyakan game rilisan modern kemarin memang sudah dioptimalisasi untuk console. Red Dead Redemption 2, misalnya, adalah salah satu game yang cukup berat di PC namun cukup mulus saat dijalankan di PS4.

Story: 61/100

Jika ingin ditilik ke belakang, seri Darksiders memang bukan game yang mengedepankan aspek ceritanya. Meski begitu, cerita di setiap Darksiders memang bukan yang sesederhana jagoan melawan penjahat dan jagoannya menang, termasuk di Darksiders Genesis ini.

Ada sedikit plot twist dan intrik politis di setiap game Darksiders. Lore seri Darksiders sendiri memang berkisar soal pertempuran antara Heaven dan Hell dengan The Council yang berperan sebagai penjaga keseimbangan. The Council pun punya 4 penjaga perdamaian yang disebut horse-riders yang ditugaskan untuk menyelesaikan konflik antara pihak-pihak tadi. Keempat horse-riders tadi adalah War (yang dimainkan di Darksiders pertama dan Genesis), Death (dimainkan di Darksiders 2), Fury (Darksiders 3), dan Strife (yang bisa dimainkan di Genesis).

Dengan plot besar tadi, cerita di Darksiders Genesis ataupun Darksiders lainnya berkisar antara intrik dan manipulasi antara ketiga pihak itu. Sekali lagi, bagi saya pribadi, cerita di seri Darksiders memang tidak pernah sekuat game-game fenomenal macam Skyrim, The Witcher, ataupun Mass Effect. Karakter-karakternya pun tidak sekuat itu membangun ketertarikan atau emosi para pemainnya seperti RDR2 yang punya Arthur Morgan atau Handsome Jack di BL2. Namun ceritanya memang tidak sedatar soal pertempuran antara kebajikan dan kebatilan… Pemikiran yang mencoba mengaburkan dikotomi moral antara hitam dan putih selalu saya temukan di setiap Darksiders, termasuk Genesis.

Terakhir dari aspek storyline, penyajian cerita di sini juga ditampilkan dengan sederhana, tanpa cutscenes. Game ini hanya menyuguhkan slideshow gambar saat jeda dari permainan. Lagi-lagi bagi saya, konsep sederhana namun digarap dengan baik itu lebih menyenangkan ketimbang ambisi tinggi yang digarap setengah hati — macam game-game yang pakai cutscenes in-game tapi animasi dan ekspresi mukanya bikin ilfil.

Screenshot from Darksiders Genesis
Screenshot from Darksiders Genesis

Gameplay: 81/100

Bagi saya, inilah aspek paling penting dari sebuah game. Cerita, grafis, audio, karakter, atau apapun itu aspek lainnya tidak akan membuat game-nya asyik dimainkan jika tidak menawarkan gameplay yang menyenangkan.

Darksiders Genesis sebenarnya bisa dibilang menawarkan dua gaya pertempuran yang berbeda tergantung karakter yang Anda gunakan. Saat Anda memainkan Strife, Genesis akan berubah jadi top-down shooter. Sedangkan jika Anda memainkan War, gameplay-nya akan berubah jadi beat ‘em-up dengan sudut pandang top-down. Anda bisa berganti-ganti karakter kapanpun yang Anda mau.

Screenshot from Darksiders Genesis
Screenshot from Darksiders Genesis

Tidak ada level karakter di game ini. Namun progression-nya bisa Anda temukan dalam bentuk Creature Core. Setiap Anda mengalahkan musuh, Anda akan memiliki kesempatan mendapatkan Creature Core dari musuh tersebut. Setiap Creature Core memiliki efek yang berbeda — ada yang sama juga sih. Semakin langka musuhnya, semakin bagus pula efeknya. Efek di sini tidak hanya yang sekadar pasif +Attack, +Defend, dkk. tapi juga ada juga yang proccing (procs). Sayangnya, tidak banyak efek-efek tersebut. Saya pribadi sebenarnya suka dengan mekanisme semacam ini.

Hal tersebut memang jadi membuat game ini terasa grinding dan mengandalkan random loot namun beberapa Creature Core benar-benar membuat permainan terasa berbeda. Sayangnya, kekurangan dari mekanisme ini adalah masih lebih banyak efek status pasif ketimbang yang berupa procs.

Selain soal pertempuran dan progresi karakter, seri Darksiders juga mengusung fitur platformer dan puzzles — meski memang tidak sesulit game-game yang menaruh perhatian ke aspek tersebut. Aspek platformer-nya misalnya tidak sesulit Super Meat Boy ataupun seri Prince of Persia. Aspek puzzle-nya juga demikian. Mungkin tujuan sang developer adalah memberikan variasi yang berbeda agar tidak jenuh selalu bertarung.

Creature Cores. Screenshot from Darksiders Genesis
Creature Cores. Screenshot from Darksiders Genesis

Namun demikian, saya sendiri malah berharap aspek ini tidak ada di seri Darksiders. Fitur pertempuran yang diusung Darksiders dari game pertamanya sudah memuaskan sehingga sebenarnya tak perlu gameplay filler seperti puzzle atau platformer.

Di Genesis, aspek puzzle-nya memang lumayan mudah namun aspek platformer-nya cukup menantang jika Anda ingin mengumpulkan semua collectibles.

Akhirnya

Pertanyaannya, apakah game ini layak dibeli? Bagi saya, mengingat harganya yang murah (sekitar Rp200 ribuan di Steam dan US$40 di PlayStation Store– tak seperti harga game AAA yang berkisar antara Rp600-800 ribu), Genesis layak dibeli buat yang suka dengan seri Darksiders, suka dengan gameplay yang sederhana, ataupun memang sedang kehabisan game untuk dimainkan. Meski mungkin game ini tidak akan jadi kandidat game of the year, Genesis bisa jadi pengisi kekosongan sembari menanti game-game besar yang akan dirilis tahun ini (Cyberpunk 2077, Dying Light 2, ataupun Final Fantasy 7 Remake misalnya).

Antara Esports dan Olahraga: Sebuah Kenyataan Pahit

Pada 2018, esports jadi bagian dari Asian Games yang diadakan di Jakarta, Indonesia; walau hanya sebagai pertandingan eksibisi. Dalam SEA Games yang diadakan di Filipina tahun 2019, esports menjadi cabang olahraga bermedali. Indonesia mendapatkan dua medali perak berkat esports. Salah satu streamer Fortnite terpopuler, Tyler “Ninja” Blevins bahkan percaya, hanya masalah waktu sebelum esports masuk ke Olimpiade. Terkait hal ini, International Olympic Committee mengatakan, mereka hanya akan mempertimbangkan untuk memasukkan game esports yang merupakan simulasi dari olahraga tradisional, seperti sepak bola atau basket. Semua ini menunjukkan bahwa esports semakin dianggap sebagai olahraga. Karena itu, tidak heran jika banyak orang yang membandingkan keduanya seperti dalam total hadiah.

Membandingkan esports dengan olahraga tradisional juga memudahkan para pelaku atau penggemar esports — yang biasanya merupakan anak muda — untuk menjelaskan bahwa industri esports kini telah semakin berkembang dan tak lagi bisa dipandang sebelah mata. Newzoo memperkirakan, industri esports telah bernilai US$1,1 miliar pada tahun 2019. Sementara dari segi penonton, turnamen esports kini mendapatkan viewership hingga jutaan. Tak berhenti sampai di situ, kota tempat diselenggarakan turnamen esports juga mendapatkan untung karena turnamen esports terbukti memberikan dampak ekonomi positif pada perekonomian lokal.

League of Legends World Championship 2019. | Sumber: RIOT GAMES/COLIN YOUNG-WOLFL
League of Legends World Championship 2019. | Sumber: RIOT GAMES/COLIN YOUNG-WOLFL via Forbes

Mantan pemilik Echo Fox dan pemain profesional NBA, Rick Fox membandingkan turnamen esports dengan liga american football. Pada TMZ, dia berkata bahwa jumlah penonton esports kini mulai menyaingi Super Bowl, turnamen american football tahunan yang diadakan oleh NFL (National Football League). “Di Amerika Utara, american football memang populer, tapi olahraga ini tidak ada di level internasional,” kata Fox pada TMZ. “League of Legends adalah acara global. Jumlah penontonnya mulai menyaingi Super Bowl… dan angka ini terus naik setiap tahun.”

Fox bukanlah satu-satunya orang yang membandingkan esports dengan olahraga tradisional. Memang, Fox tidak salah dengan mengatakan bahwa pertumbuhan esports sangat pesat. Sayangnya, membandingkan esport dengan olahraga tradisional, dalam kasus ini american football, tidak memberikan gambaran keadaan industri esports yang akurat.

Membandingkan industri esports — misalnya dari segi jumlah penonton — dengan olahraga tradisional memang akan memudahkan pelaku untuk meyakinkan investor atau sponsor untuk mendukung organisasi atau turnamen esports tertentu. Masalah muncul ketika seseorang atau sebuah perusahaan memilah data yang mereka berikan pada calon investor, membuat industri esports terlihat lebih besar dari sebenarnya, demi mendapatkan investasi. Ini justru bisa melukai reputasi esports sebagai industri, membuat para investor dan sponsor menjadi kehilangan kepercayaan pada para pelaku industri esports.

Esports dan olahraga tradisional terkadang tak bisa dibandingkan

Fox membandingkan League of Legends, salah satu game esports paling populer di dunia (walau tak terlalu terdengar gaungnya di Indonesia), dengan Super Bowl. Menurut data Riot Games, developer League of Legends, jumlah penonton League of Legends World Championship (LWC) pada 2018 mencapai 99,6 juta orang. Sementara penonton Super Bowl pada tahun yang sama mencapai 103,5 juta orang. Itu artinya, esports League of Legends — game yang baru merayakan ulang tahunnya ke-10 pada Oktober 2019 — dapat menyaingi liga american football yang telah berumur puluhan tahun. Tentu saja hal ini sangat membanggakan untuk League of Legends.

Team Liquid saat memenangkan LCS Summer Split 2019. | Sumber: Dot Esports
Team Liquid saat memenangkan LCS Summer Split 2019. | Sumber: Dot Esports

Namun, menurut VPEsports, LWC tidak seharusnya disandingkan dengan Super Bowl karena LWC adalah liga tingkat dunia, sementara Super Bowl hanya mencakup satu negara, yaitu Amerika Serikat. Super Bowl seharusnya dibandingkan dengan League of Legends Championship Series (LCS), liga League of Legends untuk kawasan Amerika Utara. Pada puncaknya, jumlah penonton LCS hanya mencapai 494 ribu orang, jauh lebih rendah dari 103,5 juta orang penonton Super Bowl. Sementara pada tingkat global, LWC seharusnya dibandingkan dengan Piala Dunia. Penonton Piala Dunia mencapai 3,5 miliar orang, setengah dari populasi dunia. Ini akan membuat jumlah penonton LWC menjadi tidak terlihat ada apa-apanya.

Tebang pilih data

Kalau Anda sering mengikuti berita, Anda pasti familier dengan berita berjudul “clickbait“. Fenomena ini tidak hanya terjadi di media berita mainstream, tapi juga media esports. Masalahnya, “wartawan” yang membuat berita sensasional biasanya tidak segan-segan untuk tebang pilih data demi menampilkan berita yang fantastis nan bombastis. Dan ini bisa membuat salah persepsi tentang industri esports.

Kita ambil League of Legends World Championship sebagai contoh. Riot mengklaim bahwa ada 99,6 juta orang yang menonton babak final LWC, dengan 44 juta penonton menonton saat momen puncak. Namun, menurut Esports Charts, pada titik puncak, hanya 2 juta orang — sekitar 4 persen dari total 44 juta orang — yang berasal dari platform di luar Tiongkok. Sementara 96 persen sisanya merupakan penonton dari Tiongkok, yang biasanya memiliki data yang kurang akurat. Ini menunjukkan bahwa, di luar Tiongkok, penonton League of Legends jauh lebih sedikit dari penonton Super Bowl.

Super Bowl Halftime Show. | Sumber: GQ Australia
Super Bowl Halftime Show. | Sumber: GQ Australia

Tak hanya itu, data yang muncul tentang esports juga tak selamanya seragam. Misalnya, Newzoo mengatakan bahwa nilai industri esports pada 2022 akan mencapai US$1,8 miliar, sementara Goldman Sachs memperkirakan bahwa nilai industri esports akan mencapai US$3 miliar pada tahun yang sama. Hal ini juga lah yang mendorong perusahaan seperti Riot Games dan Activision Blizzard untuk bekerja sama dengan perusahaan analitik dan intelijen pihak ketiga, seperti Nielsen. Organisasi esports sekalipun, seperti Astralis Group juga tertarik untuk bekerja sama dengan Newzoo demi memastikan bahwa data yang mereka dapatkan tentang industri esports memang akurat.

Sekalipun tidak ada masalah pada data esports saat ini, meskipun esports memang ditonton ratusan juta orang, ada satu masalah lain yang harus dipertimbangkan: popularitas tak menjamin keuntungan/pendapatan.

Populer =/= untung

Di Indonesia, Mobile Legends jadi salah satu game esports yang paling populer. Moonton juga serius dalam mengembangkan ekosistem esports game mobile tersebut. Total hadiah Mobile Legends Professional League Season 4 mencapai US$300 ribu, membuatnya menjadi turnamen esports dengan hadiah terbesar di Indonesia pada 2019. Tim-tim yang bertanding di MPL juga tim terbaik. Karena itu, jangan heran jika pengunjung MPL selalu ramai.

Meskipun begitu, pada MPL Season 3, jumlah pengunjung turun drastis. Alasannya? Karena tiketnya berbayar. Memang, masyarakat Indonesia sangat sensitif terhadap harga. Di industri lain, seperti smartphone misalnya, harga juga masih menjadi salah satu pertimbangan utama dalam membeli smartphone. Dari sini, kita bisa tarik kesimpulan bahwa esports mungkin memang populer, jumlah fansnya banyak dan masih muda, tapi popularitas tadi tidak serta merta membuatnya jadi mudah untuk menarik pendapatan dari pasar ini.

Sementara itu, di kancah global, Riot mendapatkan US$1,4 miliar dari esports League of Legends sepanjang tahun. Mereka juga mengaku, bagi mereka, esports tak sekadar menjadi alat marketing, tapi sudah menjadi salah satu pilar bisnis mereka. Dari berbagai liga regional League of Legends, dua di antaranya bahkan telah menghasilkan untung, yaitu League of Legends Professional League di Tiongkok dan League of Legends Korea Championship (LCK) untuk Korea Selatan. Namun, ada beberapa turnamen League of Legends yang tak terlalu sukses sehingga memaksa Riot untuk melakukan konsolidasi.

Tencent League of Legends Pro League
LPL adalah liga League of Legends paling prestisius di Tiongkok | Sumber: The Esports Observer

Anda mungkin berpikir, jumlah yang dihasilkan oleh esports League of Legends sudah besar, tapi, angka itu masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pendapatan atau keuntungan yang didapat turnamen olahraga akbar. Piala Dunia 2018 misalnya, meraih pendapatan sebesar US$5,3 miliar dan mendapatkan untung US$3,5 miliar. Sementara pasar liga sepak bola di Eropa memiliki pendapatan sampai US$31,6 miliar. Ini menunjukkan bahwa esports memang masih belum bisa menyaingi olahraga tradisional, seperti sepak bola.

Namun, itu bukan berarti esports tak memiliki potensi. Jika dibandingkan dengan sepak bola, umur esports jauh lebih muda. League of Legends, salah satu game esports terbesar di dunia, diluncurkan pada 2009. Turnamen untuk game tersebut dimulai pada 2011. Sementara kompetisi esports pertama, yaitu Space Invaders Championship yang diadakan oleh Atari, diadakan pada 1980. Sebagai perbandingan, Premier League pertama kali diadakan pada 1992, La Liga pada 1929, dan Piala Dunia telah diadakan setiap empat tahun sekali sejak 1930. Jadi, jangan kecil hati jika esports saat ini masih belum bisa menyamai industri sepak bola. Dari segi umur, industri esports ibarat masih sedang imut-imutnya.

Kesimpulannya…

Sekarang, Anda mungkin mulai meragukan potensi industri esports; mulai berpikir, kalau esports tak lebih dari sekadar hype. Membuat Anda ragu akan potensi esports, bukan itu tujuan dari tulisan ini. Saya percaya, esports memiliki potensi untuk berkembang. Mengingat umur industri esports yang masih muda, tak aneh jika pendapatannya masih belum sebanding dengan industri olahraga tradisional yang telah lama ada. Namun, itu bukan berarti esports tak berpotensi untuk tumbuh besar. Startup seperti GoJek telah membuktikan bahwa startup yang masih muda pun bisa bersaing dengan perusahaan tua seperti BlueBird.

Hanya saja, dalam era post-truth seperti sekarang, Anda bisa mengakses informasi apapun yang Anda mau dengan mudah. Masalah yang ada adalah memastikan Anda tahu informasi secara menyeluruh. Half-truth is more dangerous than a lie. Ketika Anda menemukan informasi baru, pastikan bahwa Anda mendapatkan informasi yang lengkap. Anda harus memastikan bahwa gambar yang Anda lihat memang gambar yang utuh dan bukan satu potong gambar yang sudah dibingkai oleh pihak ketiga.

Sumber header: Colin Young-Wolff/Riot Games via The Washington Post

[Guide] Tiga Cara untuk Melawan Invoker Dota 2

Invoker adalah hero yang digemari oleh banyak pemain. Dari pemain baru sampai ‘joki MMR’ sekalipun akan memakai hero ini. Invoker sangat menyebalkan untuk dilawan dari awal sampai akhir game.

Di awal game ia bisa membantu temannya tanpa berpindah lane dengan skill Sun Strike-nya. Invoker juga memiliki kemampuan farming yang bagus. Ia mempunyai base damage yang besar, sehingga akan mudah untuk mengadu last hit dengan musuhnya. Dengan Forged Spirit dan Alacrity membuatnya mudah untuk menghabiskan jungle camp sendirian. Di late game, Invoker sangat kuat dengan combo skill yang ia miliki. Tornado, Meteor, Cataclysm, dan Deafening blast adalah combo yang paling banyak digunakan. Apabila musuhnya tidak memiliki Black King Bar, sudah pasti invoker bisa membunuh targetnya dengan mudah.

Jadi bagaimana caranya untuk melawan Invoker? Saya akan menekankan 3 cara yang dapat Anda pilih untuk mengalahkan Invoker.

Memiliki gold yang lebih banyak dibandingkan Invoker

Sumber: Polygon
Sumber: Polygon

Yang pertama adalah memenangkan adu farming melawan Invoker. Saya sempat mengatakan bahwa Invoker sangat cepat untuk melakukan farming. Rekor milik saya sendiri adalah menyelesaikan Hand of Midas dalam waktu 3 menit. Guna memenangkan adu farming melawan Invoker, Anda harus menggunakan hero-hero yang jauh lebih mudah untuk memenangkan adu last hit dan lebih cepat untuk menghabiskan jungle camp. 

Ada dua hero yang menurut saya cocok yaitu Shadow Fiend dan Templar Assassin. Shadow Fiend bisa menang melawan hampir semua hero midlane (kecuali melee hero) dengan damage Necromastery yang ia miliki. Shadowraze miliknya dapat melahap jungle camp dengan cepat. Tetapi ada satu kelemahan yang dimiliki Shadow Fiend ketika melawan Invoker. Shadow Fiend sangat mudah untuk dibunuh. Combo yang dibuka dengan Tornado dan disusul dengan Meteor Strike akan langsung membunuh Shadow Fiend. Combo ini bisa Invoker lakukan di awal game. Maka dari karena itu, Shadow Fiend harus menjaga jaraknya dengan Invoker.

Templar Assassin juga memiliki kemampuan adu last hit yang bagus. Tambahan damage dari Refraction sangat membantunya untuk mendapatkan setiap last hit dan deny. Invoker juga sulit untuk melancarkan harassment kepada Templar Assassin karena Refraction dapat menahan damage yang masuk. Bisa dibilang Templar Assassin lebih baik dibandingkan Shadow Fiend dalam menghabiskan jungle camp. Dengan Psi Blades, Templar Assassin memungkinkan dirinya untuk mengambil ancient jungle camp di awal game. 

Kenapa harus lebih kaya dibandingkan Invoker? Tujuannya adalah mengejar item BKB lebih cepat. Jadi ketika Invoker memutuskan untuk menyudahi farming-nya,  Anda sudah memiliki item untuk melawannya.

Buat dia menderita di laning phase

Sumber: tiltreport
Sumber: tiltreport

Hanya ada segelintir hero yang bisa melawan Invoker di laning phase. Tidak heran apabila Kuro “Kuroky” Salehi Takhasomi beberapa kali mengambil Invoker di pick phase pertama. Biasa disebut dengan lane bully, hero-hero ini bisa menekan siapapun yang dia lawan.

Pertama, Broodmother merupakan hero yang sangat menyebalkan untuk Invoker. Bagaimana ia bisa menang melawan Invoker? Spiderling dapat memberikan damage yang besar. Dibantu dengan Medallion of Courage, Broodmother bisa membunuh Invoker dengan cepat. Invoker sendiri tidak dapat mengusir Broodmother dengan mudah. Broodmother memiliki Insatiable Hunger yang memungkinkan dirinya mendapatkan lifesteal yang sangat besar. Walaupun damage dari Invoker memang besar, hit point dari Broodmother pun akan terisi kembali sampai-sampai berani menabrak tower tier 1.

Ada beberapa hero lagi yang berpotensi untuk menekan Invoker di laning phase. Yaitu Kunkka dengan sustainability dan damage besar di Tidebringer nya. Invoker pun akan sulit mengadu last hit dengan hero melee seperti Kunkka.

Patahkan combo-nya

Sumber: DeviantArt

Mungkin ini adalah cara melawan Invoker yang paling mudah. Jangan sampai termakan combo-nya. Kekuatan paling mematikan Invoker adalah di setiap combo skill-nya. Pilihlah hero-hero yang dapat mematahkan combo dari Invoker. Hero dengan escape ability seperti Anti Mage atau Puck tentu akan sangat sulit diincar oleh Invoker. Hero-hero yang memiliki spell immune seperti Lifestealer dan Juggernaut sangat berguna untuk mendekati Invoker ketika berperang.