Exploring Monetizing Opportunities in E-commerce Companies

E-commerce companies considered tend to burn money for the highest GMV as a metric. Above all, in principle, companies of any kind is required to make a profit. This is where the business development team took part to look for profitable business opportunities.

Regarding this topic, #SelasaStartup invited Blibli Histeria’s Vice President of Business Development & Project Lead, Cindy Kalensang as the speaker. Cindy is to discuss further on various business development tasks, their relation to finding business opportunities for e-commerce services, and how they are implemented in Blibli.

VP Of BizDev Blibli Cindy R Kalensang / Blibli
Blibli’S VP Of BizDev Cindy R Kalensang / Blibli

Generating business model

Cindy explained the basic task of business development is to develop a business for better growth, by exploring new business partnerships and so on. Therefore, he worked with various teams from Blibli’s other divisions for coordination.

In developing new business models, the business development team identifies underserved consumer needs in order to provide the right solution, called product market fit. “Product market fit is the one that needs to be iterated because consumers are looking for value, not only originality.”

Blibli started operating in 2011 using the B2C business model, as they wanted to guarantee the authenticity of goods to consumers. Therefore, Blibli collaborates with lots of brand partners. In this business, Blibli is taking a commission as a way of monetization.

The company has warehouses located at some spots throughout Indonesia to support its business model, especially to speed up delivery to consumers. Over time, the situation has changed, as a result, Blibli has developed other business models for B2B2C.

“Therefore, the process is to buy goods in large quantities, then store them and distribute them to our warehouse. Then, for B2B2C, revenue comes from margins, while B2C is from commissions,” he explained.

From the current business model, the problem remains for all e-commerce companies, it’s the uneven distribution process. This is because the majority of producers and distributors are located in Java. Eventually, the decision is final to open a new business model, it is C2C which all parties can participate in solving the problem.

“We open C2C, it opens for sellers, but we still curate [the onboarding process] and don’t let them sell fake[not original] items.”

Implementing new business model

Cindy continued, the competition of e-commerce services in Indonesia has gotten supper tight. It is visible through the number of e-commerce companies that adopted the “burning money” strategy by advertising on television for the sake of new consumer acquisitions.

“Actually, we are not only here to sprint but stay for the marathon. Blibli stands to be sustainable. That’s why we must remain loyal to our unique value proposition. The money-burning promo is normal because we want to acquire consumers, the most important thing is that the ongoing delivery value that stated Blibli’s difference from other players.”

Blibli’s business model continues to develop, from pure B2C, now B2B2C and entering C2C. Cindy said, the company continues to be adaptive to the situation. Blibli is also trying a new business model that is a subscription.

This is already running for the BlibliMart grocery service. Cindy explained that the subscription model is quite attractive and considered the key to success for Spotify. Initially, in enjoying music, people were accustomed to buying cassettes or CDs in physical form. Then, Apple comes and offers digital purchases per song.

“Spotify sees that people are saturated with music. In the end, they are offered streaming songs for free, but there are advertisements. They share profit with advertisers. Then they innovate with the subscription model. This is the model we are currently exploring. Amazon is successful with this model, offering one year of free shipping. ”

Cindy thought the trial subscription model at BlibliMart is quite on-point because it will be easier for consumers to buy certain needs at a much cheaper price. “Instead of buying when it’s sold out, it’s better to arrange the purchase. Goods are sent every two weeks. That is our value proposition by making a budget, therefore, spending is more efficient,” she concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
header: Depositphotos.com

Menggali Peluang Monetisasi di Perusahaan E-commerce

Perusahaan e-commerce identik dengan kesan gemar bakar duit untuk mencetak GMV setinggi-tingginya sebagai metrik. Jauh dari itu, pada khitahnya perusahaan apa pun itu bisnisnya dituntut untuk menghasilkan keuntungan. Di sinilah tugas business development mencari peluang-peluang bisnis apa saja yang bisa dihasilkan.

Dalam membahas topik ini, #SelasaStartup mengundang Vice President of Business Development & Project Lead Blibli Histeria Cindy Kalensang sebagai pembicara. Cindy akan membahas lebih lanjut mengenai apa saja tugas business development, kaitannya dalam mencari peluang bisnis untuk layanan e-commerce, dan bagaimana implementasinya di Blibli.

VP Of BizDev Blibli Cindy R Kalensang / Blibli
VP Of BizDev Blibli Cindy R Kalensang / Blibli

Mengembangkan model bisnis

Cindy menerangkan, tugas dasar dari seorang business development adalah mengembangkan bisnis agar lebih baik pertumbuhannya, dengan cara eksplorasi kerja sama bisnis baru dengan partner dan sebagainya. Oleh karena itu, ia bekerja dengan berbagai tim Blibli dari divisi lain untuk koordinasinya.

Dalam mengembangkan model bisnis baru, tim business development mengidentifikasi underserved consumer needs agar dapat memberikan solusi yang tepat, disebut product market fit. “Product market fit inilah yang harus diiterasi sebab konsumen itu looking for value, enggak cuma orisinalitas.”

Pada awal Blibli beroperasi pada 2011 menggunakan model bisnis B2C, karena ingin menjamin keaslian barang sampai ke tangan konsumen. Untuk itu, Blibli banyak bekerja sama dengan brand partner. Dalam menjalankan bisnis ini, cara Blibli monetisasi adalah mengambil komisi.

Perusahaan memiliki pergudangan yang tersebar di berbagai titik di Indonesia untuk mendukung model bisnisnya tersebut, terlebih agar barang cepat sampai ke konsumen. Seiring berjalannya waktu, kondisi semakin berkembang alhasil Blilli mengembangkan model bisnis lainnya ke B2B2C.

“Jadi prosesnya kita beli barang dalam jumlah banyak, lalu taruh dan didistribusikan ke warehouse kita. Jadi kalau B2B2C itu revenue-nya dari margin, sementara B2C itu dari komisi,” terangnya.

Dari model bisnis yang sekarang, masih menyisakan masalah yang dihadapi oleh semua perusahaan e-commerce yakni proses distribusi yang tidak merata. Lantaran, produsen dan distributor itu mayoritas terletak di Pulau Jawa. Akhirnya diputuskan untuk membuka model bisnis baru, yakni C2C agar semua pihak bisa berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah tersebut.

“Kita buka C2C, open untuk seller, tapi tetap kita kurasi [proses onbording] jangan sampai mereka jual barang yang enggak ori.”

Mengaplikasikan model bisnis baru

Cindy melanjutkan, persaingan layanan e-commerce saat ini di Indonesia sudah sengit. Bisa dilihat dari berapa banyak perusahaan e-commerce yang mengambil strategi “bakar duit” dengan beriklan di televisi demi akuisisi konsumen baru.

“Sebenarnya kita hadir enggak hanya untuk sprint tapi marathon, Blibli berdiri untuk tetap sustain. Makanya kita harus tetap setia dengan unique value proposition. Promo bakar-bakar duit itu normal karena kita mau acquire konsumen, yang terpenting adalah proses delivery value berjalan bahwa Blibli itu berbeda dengan pemain lainnya.”

Model bisnis Blibli kini terus berkembang, dari awalnya murni B2C, kini sudah B2B2C dan sudah menyentuh C2C. Menurut Cindy, perusahaan terus adaptif dengan perusahaan. Salah satu model bisnis baru yang sedang dicoba oleh Blibli adalah berlangganan (subscription).

Ini sudah berjalan untuk layanan grocery BlibliMart. Cindy menjelaskan model bisnis berlangganan sangat menarik dan menjadi kunci sukses di Spotify. Awalnya dalam menikmati musik orang dibiasakan untuk membeli kaset atau CD yang berbentuk fisik. Lalu masuk Apple yang menawarkan pembelian digital per lagu.

“Spotify lihat orang punya masa jenuh dengan musik, akhirnya ditawarkan streaming lagu secara gratis, namun ada iklan. Mereka profit sharing dengan pengiklan. Lalu mereka berinovasi dengan model subscription. Ini model yang sedang kita explore, Amazon sukses dengan model ini, menawarkan free shipping selama satu tahun.”

Menurut Cindy, percobaan model berlangganan di BlibliMart cukup tepat karena memudahkan konsumen untuk membeli kebutuhan yang sudah pasti dengan harga yang jauh lebih murah. “Daripada belinya pas sudah habis, lebih baik sudah diatur pembeliannya. Barang dikirim setiap dua minggu sekali. Itu value proposition kita dengan membuat budget sehingga pengeluaran lebih hemat,” pungkasnya.

Gambar header: Depositphotos.com

Riset PwC tentang Consumer Behaviour dan Layanan E-Commerce di Indonesia

Maraknya layanan e-commerce di Asia Tenggara kerap menjadi bahan riset dan analisa bagi lembaga survei hingga perusahaan konsultan internasional. Salah satu perusahaan yang tertarik untuk membuat rangkuman consumer behavior, tren dan strategi bermanfaat untuk penggiat startup dan pelaku layanan e-commerce adalah PricewaterhouseCoopers atau biasa disingkat PwC, perusahaan yang bergerak di sektor jasa konsultansi yang secara profesional menangani beberapa bidang yaitu akuntansi, jasa profesional, perpajakan, konsultansi.

Kepada media, hari ini PwC menjabarkan informasi menarik sarat dengan data dan prediksi yang bisa digunakan oleh pihak terkait untuk menganalisa dan memberikan layanan terbaik kepada konsumen. Survei yang dilakukan di 29 negara termasuk Indonesia, Vietnam, Thailand, Singapura, Filipina dan Malaysia ini, menghasilkan tren yang sarat dengan hal-hal penting dan pastinya patut untuk dicermati.

Indonesia sendiri terdapat 500 responden yang di survei oleh PwC, secara keseluruhan terdapat 24 ribu lebih data yang dikumpulkan dari survei yang dilakukan secara global oleh PwC.

Kebangkitan konsumen dari kalangan millennial

Faktanya adalah diperkirakan 70% konsumen di kawasan Asia Tenggara akan memasuki usia 40 pada tahun 2020. Hal tersebut menandakan untuk saat ini target pasar dan konsumen paling aktif adalah mereka yang berada pada usia aktif bekerja, kerap menghabiskan waktu online, menyukai teknologi dan inovasi terkini dan tentunya early adopters dari teknologi terbaru.

Terkait dengan motivasi dari kalangan tersebut untuk membeli produk secara online di Indonesia adalah, harga serta pilihan produk yang beragam dalam aplikasi mobile dan desktop. Tingginya penetrasi smartphone low cost di Indonesia sebanyak 43,7% juga menjadi pemicu makin banyaknya kunjungan ke berbagai situs e-commerce di Indonesia.

Termasuk catatan PwC adalah tingginya pengguna internet di Asia Tenggara yang diperkirakan bakal mencapai sekitar 350 juta pengguna hingga tahun 2020. Indonesia sendiri memberikan kotribusi saat ini sekitar 136 juta pengguna internet aktif.

Alasan pengguna membeli produk secara online

Kurangnya rasa percaya atau trust dari pengguna terhadap situs layanan e-commerce dan pembelian lainnya secara online di Indonesia, menjadi salah satu alasan mengapa masih sedikit masyarakat Indonesia tertarik untuk membeli atau membayar produk secara online.

Alasan lain pada akhirnya konsumen tertarik untuk membeli produk secara online adalah return goods policy sebanyak 37%, ulasan produk dari pembeli lainnya di situs sebanyak 29%, fasilitas atau fitur yang memungkinkan pembeli melihat stok barang secara online sebanyak 29%, barang yang tidak pasaran sebanyak 28% dan yang paling penting adalah kemudahan serta tampilan yang menarik dari situs serta aplikasi mobile layanan e-commerce sebanyak 28%.

PwC juga mengemukakan kategori produk yang paling banyak dibeli secara online, yaitu buku, musik, film, dan video game sebanyak 59%, baju dan sepatu sebanyak 53%, produk kecantikan 48%. Sementara untuk kebutuhan sehari-hari seperti produk groceries lebih banyak dibeli secara offline, hanya 27% orang membeli produk tersebut secara online.

Solusi pemasaran digital

Salah satu solusi pemasaran yang dicermati PwC untuk meningkatkan jumlah akuisisi pelanggan adalah melalui pemasaran digital yang efektif. Agar bisa mewujudkan hal tersebut, perusahaan wajib untuk merekrut dan berinvestasi kepada pegawai yang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang baik dalam hal pengetahuan seputar media sosial.

Dari data yang ada PwC menyimpulkan sebanyak 57% promosi dan pemasaran yang efektif adalah melalui Facebook dan Twitter. Sementara promosi secara visual yang efektif dan viral adalah melalui Instagram, Snapchat, Pinterest dan Youtube sebanyak 44%. Situs yang memiliki multibrand juga merupakan cara yang bisa diterapkan untuk menambah jumlah pelanggan.

Rangkuman singkat PwC

Secara keseluruhan dalam waktu dua tahun terakhir jumlah pembeli produk secara online di Indonesia meningkat secara signifikan. Sementara sekitar 36% konsumen di Indonesia membeli produk secara online tiap bulannya. Smartphone akan menjadi perangkat unggulan untuk pembelian produk secara online di masa mendatang. Konsumen di Indonesia memiliki jumlah trust tertinggi melakukan belanja secara online dibandingkan konsumen di negara Asia Tenggara lainnya.