Clubhouse Luncurkan Dukungan Spatial Audio, Buat Percakapan Jadi Terasa Lebih Hidup

Spatial audio, atau yang juga dikenal dengan istilah 3D audio, terus menjadi tren yang kian populer di industri audio. Platform demi platform secara bergantian menghadirkan dukungan terhadap fitur ini. Setelah Apple Music, kini giliran Clubhouse yang mengadopsi teknologi spatial audio.

Lewat siaran pers, Clubhouse menjelaskan bahwa fitur spatial audio ini dirancang supaya para pengguna bisa merasa lebih larut dalam percakapan, dan membuat pembicara di dalam ‘ruangan’ yang sedang kita singgahi seperti sedang berada di dekat kita. Alhasil, pengalaman mendengarkan yang didapat jadi terasa lebih hidup.

Dari perspektif sederhana, teknologi spatial audio bekerja dengan meniru cara manusia menangkap dan memproses suara ketika berada di ruangan yang sama. Clubhouse pun lanjut menjelaskan bagaimana otak manusia dapat bekerja ibarat instrumen luar biasa yang mampu memproses isyarat seperti jarak, frekuensi, dan getaran untuk lebih memahami dari mana suatu suara berasal.

Guna menciptakan pengalaman spatial audio ini, software rancangan Clubhouse pertama-tama akan menetapkan posisi setiap pembicara di sebuah ‘ruangan’, dan secara merata menetapkan posisi tersebut agar seluruh pengguna dapat merasakan pengalaman mendengarkan suara dengan lebih jelas dan maksimal.

Selanjutnya, software tersebut akan mengaktifkan HRTF (Head Related Transfer Function) dan beberapa pemroses suara tambahan untuk tiap suara agar suara pembicara dapat terdengar seakan-akan datang dari suatu posisi yang spesifik. Software ini bahkan bisa diaplikasikan ke sumber stereo, semisal musik, untuk kemudian memberikan pengalaman dan efek stereo layaknya di suatu lingkungan spasial.

Clubhouse percaya fitur spatial audio ini juga dapat membuka lebih banyak peluang bagi para kreator untuk bereksperimen. Clubhouse mencontohkan suatu room yang sedang menceritakan sebuah cerita horor. Berkat spatial audio, audiens dapat mendengar lebih jelas suara roh jahat yang sedang bergerak di sekitar rumah, atau bahkan yang berbisik di telinga mereka.

Lalu untuk pertunjukan musik atau komedi, audiens dapat mendengarkan suara tepuk tangan atau suara tawaan secara jelas dari orang-orang yang berada di room yang sama. Sekali lagi, tujuannya adalah memberikan pengalaman mendengarkan yang lebih hidup dan mendekati aslinya.

Fitur spatial audio ini sudah mulai tersedia di aplikasi Clubhouse versi iOS, sementara versi Android-nya dipastikan bakal secepatnya menyusul. Pengguna tidak diwajibkan memakai perangkat khusus untuk bisa menikmatinya, namun Clubhouse menyarankan penggunaan headphone atau earphone (wired maupun wireless) demi mendapat pengalaman yang terbaik.

Gambar header: Dmitry Mashkin via Unsplash.

VZR Model One Andalkan Manipulasi Akustik untuk Menyajikan Audio 3D Secara Akurat

Tidak setiap hari Anda mendengar istilah “audiophile gaming headset“, apalagi yang berasal dari perusahaan tidak dikenal. Sentimen itulah yang saya dapatkan ketika mendengar soal headset bernama VZR Model One berikut ini.

Sepintas, kelihatannya memang tidak ada yang istimewa dari headset ini. Kelebihan utamanya terletak pada teknologi CrossWave yang pengembangnya patenkan. Dari perspektif sederhana, CrossWave pada dasarnya dirancang untuk mengemulasikan efek audio 3D yang lebih akurat ketimbang yang dihasilkan oleh bermacam teknik lain.

Untuk mewujudkannya, VZR rupanya tidak mau bergantung pada software. Teknologi CrossWave ini melibatkan semacam filter yang VZR sebut dengan istilah “acoustic lens” untuk membentuk ulang gelombang suara yang keluar dari unit driver. Hasil akhirnya, kalau kata VZR, adalah efek yang sangat mendekati cara kerja indera pendengaran yang sebenarnya.

Manipulasi akustik semacam ini tentu akan lebih relevan dalam jangka panjang ketimbang mengandalkan chip DSP (digital signal processing) yang kemungkinan bakal terasa ketinggalan zaman hanya dalam beberapa tahun saja. Fokus pada aspek akustik juga bisa jadi jaminan atas performa headset saat dipakai untuk mendengarkan musik atau menonton film.

Semua itu mungkin terdengar kelewat ambisius, terutama untuk perusahaan yang belum punya nama seperti VZR. Namun kepercayaan diri itu rupanya didasari oleh pengalaman panjang pendirinya di industri audio. Co-founder VZR adalah Vic Tiscareno, sosok yang dulunya sempat menjabat sebagai Senior Acoustics and Audio Engineer di Apple selama 7 tahun.

Kontribusi terbesarnya buat Apple adalah membantu mengembangkan laboratorium pengujian akustik pertama milik Apple. Namun Vic bilang bahwa teknologi CrossWave ini sama inovatifnya seperti banyak teknologi yang pernah ia garap buat Apple selama ini.

Bagi sebagian besar orang, audio 3D mungkin terkesan sebatas gimmick. Namun kalau melihat perkembangannya, sepertinya trennya memang mengarah ke sana. Kalau perlu bukti, coba lihat Sony, yang merilis PlayStation 5 bersama dengan headset baru demi berfokus pada penyajian audio 3D.

Rencananya, VZR Model One bakal dipasarkan mulai kuartal kedua tahun ini dengan banderol $349. Bukan harga yang murah, tapi paling tidak masih lebih terjangkau daripada produk serupa macam Audeze Mobius.

Sumber: TechRadar dan Digital Trends.

Xbox Series X dan Series S Jadi Console Pertama yang Mendukung Dolby Vision dan Dolby Atmos

Xbox Series X dan Xbox Series S akan dipasarkan secara luas mulai 10 November 2020. Selain memulai era console next-gen secara resmi, keduanya bakal jadi game console pertama yang membawa dukungan teknologi Dolby Vision sekaligus Dolby Atmos untuk keperluan gaming.

Kabar ini dikonfirmasi langsung oleh Dolby sendiri. Dukungan terhadap Dolby Atmos akan hadir lebih awal, sedangkan Dolby Vision baru akan menyusul di tahun 2021. Atmos dirancang untuk menyuguhkan suara surround yang sangat optimal, sedangkan Vision didesain sebagai alternatif yang lebih superior ketimbang format HDR yang lebih umum seperti HDR10.

Dibandingkan dengan tampilan standar, Dolby Vision diklaim mampu menyajikan highlight 40x lebih terang, shadow 10x lebih gelap, dan color depth hingga 12-bit. Dari kacamata sederhana, bagian yang terang akan kelihatan lebih terang dengan teknologi Dolby Vision, dan bagian yang gelap kelihatan lebih gelap, semuanya tanpa mengorbankan tingkat detail pada gambar.

Ilustrasi perbedaan tampilan menggunakan Dolby Vision dan tidak / Dolby
Ilustrasi perbedaan tampilan menggunakan Dolby Vision dan tidak / Dolby

Tentu saja ini tidak berlaku untuk semua game. Sejauh ini baik Dolby maupun Microsoft belum punya daftar resminya, tapi setidaknya game seperti Mass Effect Andromeda maupun Battlefield 1 sudah sejak lama menawarkan dukungan Dolby Vision di PC. Andai koleksi game yang mendukung ternyata cuma sedikit, hal itu bisa dibilang wajar mengingat Dolby memang menarik biaya lisensi untuk Vision.

Ini juga bukan pertama kalinya kita mendengar nama Dolby Vision disebut-sebut bersama console Xbox. Sebelum ini, Xbox One X sebenarnya juga sudah mendukung teknologi Dolby Vision, akan tetapi implementasinya tidak pernah melebihi fase beta testing.

Untuk Dolby Atmos, beberapa judul game yang sudah dikonfirmasi bakal mendukung teknologi audio 3D tersebut mencakup Cyberpunk 2077, Gears 5, Call of Duty Warzone, Ori and the Will of the Wisps, dan F1 2020.

Di kubu lawan, sejauh ini belum ada kabar apakah PlayStation 5 juga bakal menawarkan dukungan yang sama. Untuk Dolby Atmos, sepertinya tidak mengingat Sony merancang teknologi audio 3D-nya sendiri yang bernama Tempest; sedangkan untuk Dolby Atmos, keputusan Sony untuk tidak mengadopsi teknologi yang bukan standar (seperti HDR10+ besutan Samsung) pada lini TV-nya bisa menjadi indikasi bahwa PS5 hanya akan mendukung HDR10 standar ketimbang Dolby Vision.

Sumber: TechRadar.

Aplikasi Microsoft Soundscape Bantu Kaum Tuna Netra Bernavigasi dengan Teknologi Audio 3D

Tahun lalu, Microsoft menciptakan sebuah aplikasi iPhone yang dapat membantu kaum tuna netra memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Tahun ini, Microsoft kembali menyentuh proyek lamanya yang dimulai di tahun 2014, yang bertujuan untuk memudahkan kaum tuna netra bernavigasi di dalam kota.

Proyek ini pada dasarnya memanfaatkan teknologi audio 3D untuk memberikan gambaran yang cukup jelas terkait keberadaan sang pengguna. Jadi selagi berkelana bersama anjing pemandu, pengguna bisa memanfaatkan audio cue dari headphone untuk mengira-ngira posisinya di suatu lokasi, memudahkan mereka untuk menentukan arah selanjutnya.

Sebelumnya, teknologi ini harus mengandalkan headphone khusus, tapi berkat hasil kerja keras tim Microsoft Research, pengguna sekarang bisa memakai headphone atau earphone lain, asalkan yang stereo. Komponen lain yang dibutuhkan adalah sebuah aplikasi iPhone bernama Soundscape, yang sejauh ini baru tersedia di Inggris.

Microsoft Soundscape

Selagi pengguna berjalan, kombinasi headphone dan aplikasi Soundscape ini akan membacakan nama-nama jalan atau bahkan nama toko yang dilewati. Fitur lain yang menarik adalah Beacon, di mana pengguna bisa menetapkan titik tertentu di suatu lokasi, semisal sebuah gedung tinggi atau patung besar di dekat tempat tujuan, lalu aplikasi akan memandunya menuju ke sana.

Microsoft menegaskan bahwa Soundscape bukan bertujuan menggantikan alat bantu lainnya seperti tongkat atau anjing pemandu, melainkan justru untuk melengkapinya. Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah supaya kaum tuna netra bisa lebih percaya diri mengunjungi banyak lokasi baru, bukan lokasi itu-itu saja setiap harinya.

Sumber: Microsoft.

Sony Hadirkan Pengalaman Audio 3D di PS4 Lewat Platinum Wireless Headset

Perhatian terhadap ranah audio 3D jadi meningkat setelah VR tersedia untuk publik. Sudah ada banyak pilihan sistem audio tiga dimensi buat pengguna PC, tapi butuh kolaborasi erat antara developer dan produsen hardware demi mengimplementasikan teknologi ini di console. Kabar gembiranya, Sony mengabarkan mereka siap menghidangkan audio 3D di PlayStation 4.

Melalui blog PlayStation, Sony mengumumkan agenda untuk merilis Platinum Wireless Headset, sebuah headphone gaming premium yang dirancang buat menghidangkan ‘suara surround virtual’ 7.1, ditenagai teknologi 3D racikan sang console maker sendiri. Seluruh kemampuan tersebut dikemas dalam perangkat berdesain elegan. Dan tentu saja, Platinum mendukung penuh PlayStation VR.

Sony Platinum Wireless Headset 1

Penampilan Platinum Wireless Headset terlihat serasi dengan console. Headband-nya merupakan kombinasi dari plastik hitam bertekstur ala PlayStation 4 dan logam, lalu Sony membubuhkan logo ‘PS’ di kedua ujungnya. Bagian belakang earcup over-ear-nya memiliki pola garis lingkaran, dipadu bantalan berlapis kulit sintetis, kemudian ada kain pelapis biru di sisi dalamnya.

Sony Platinum Wireless Headset 2

Sony memanfaatkan konstruksi tangguh demi memastikan daya tahan produk, namun mereka juga tidak melupakan aspek kenyamanan serta berupaya meminimalisir bobotnya. Platinum diklaim tetap nyaman digunakan dalam sesi gaming berdurasi lama.

Sony Platinum Wireless Headset 3

Semua switch, tombol dan port diposisikan di earcup. Di sana Anda bisa menemukan tombol chat, power, mute, serta switch buat mengaktifkan audio 3D. Sony juga membekali Platinum dengan sepasang microphone boom noise cancelling. Mic tersebut dapat membungkam suara-suara bising di sekitar Anda serta mampu menangkap suara secara optimal seperti apapun cara kita mengenakan headphone.

Sony Platinum Wireless Headset 4

Audio surround 7.1 3D adalah daya tarik utama dari Platinum Wireless Headset. Sony menjanjikan output suara yang kaya, serta memudahkan pengguna mengetahui lokasi spesifik arah datangnya bunyi-bunyian. Untuk menyajikannya, produsen memanfaatkan sepasang driver 50-milimeter, mampu menghidangkan bass sampai nada tinggi secara detail. Anda juga dipersilakan melakukan konfigurasi via app companion, tersedia di PS Store.

Dalam peluncurannya nanti, Uncharted 4: A Thief’s End akan jadi game pertama yang mendukung fitur audio 3D di Platinum Wireless Headset. Judul-judul lain segera menyusul, antara lain MLB The Show 17, Uncharted: The Lost Legacy, serta Days Gone. Headset tersambung secara wireless ke PS4 melalui dongle, dan uniknya lagi, Platinum juga kompatibel ke PC.

Sony Platinum Wireless Headset sudah bisa di-pre-order diAmazon, ditawarkan seharga US$ 160, dan akan mulai tersedia tanggal 12 Januari 2017 nanti.

Sumber: PlayStation.com.

Dua Earphone Wireless Baru Erato Audio Ini Suguhkan Audio 3D dan Baterai Mumpuni

Teknologi 3D audio memperoleh perhatian setelah banyak orang mulai memahami kecanggihan dan potensi virtual reality. Ia merupakan satu dari banyak faktor penunjang VR, dan dengan dukungannya, pengalaman menikmati konten jadi mengingkat. Tapi tentu suara tiga dimensi tidak eksklusif untuk VR saja, ia bisa diterapkan ke bidang penyajian musik secara wireless.

Beberapa bulan sesudah sukses melangsungkan kampanye penggalangan dana Apollo 7, tim Erato Audio asal Amerika Serikat kembali memperkenalkan kreasi baru mereka, yaitu dua buah produk bernama Muse 5 dan Rio 3. Rio 3 disiapkan buat menemani Anda berolahraga, sedangkan Muse 5 diklaim sebagai earphone wireless 3D sejati pertama. Dalam pembuatannya, Erato berupaya memastikan kedua earphone dapat tersuguh di harga terjangkau serta tak lupa melengkapinya dengan teknologi inovatif.

Muse 5

Desain Muse 5 berkiblat pada tipe Apollo 7 dan mempunyai karakteristik hampir serupa. Ia disiapkan sebagai jawaban atas kekurangan perangkat audio in-ear yang ada di pasat saat ini. Mayoritas, produk memiliki kelemahan di bagian segel lubang telinga, menyebabkan turunya level bass serta mutu suara secara keseluruhan. Buat mengatasinya, Muse 5 mengusung eartip FitSeal berbahan silikon. Berbeda dari earphone tradisional, eartip bisa dikustomisasi ke sembilan konfigurasi berbeda.

Erato Muse 5 1

Untuk performa suara, Erato membekali Muse 5 dengan teknologi EratoSurround, sehingga suara bukan hanya datang dari kiri, kanan, atas dan bawah; namun memberi efek spasial (jarak). Device sanggup menghidangkan musik hingga empat jam, juga dilengkapi case charger dengan baterai cadangan berkapasitas tiga kali baterai build-in Muse 5.

Erato Muse 5 2

 

Rio 3

Rio 3 sendiri merupakan jawaban atas terbatasnya durasi playback earphone wireless. Ia menyimpan unit baterai lithium raksasa di dalam, menjanjikan kemampuan menghidangkan lagu non-stop hingga enam jam tanpa membuat perangkat jadi berat: Rio 3 cuma berbobot 14-gram saja. Wujudnya cukup berbeda dari Muse 5, ia memanfaatkan rancangan kait, mampu mencengkram telinga dengan mantap tanpa menyebabkannya jadi tidak nyaman – cocok dipakai ketika berolahraga.

Erato Rio 3 1

Earphone ini dipersenjatai Comply Diaphragm Driver 14,2mm serta sistem antena canggih, kompatibel ke semua perangkat Bluetooth 4.0. Hebatnya lagi, tiap bagian Rio 3 dapat berfungsi secara individual. Perlu Anda ketahui, Rio 3 tidak menyimpan teknologi EratoSurround, dan ia tidak mempunyai kapabilitas audio 3D.

Erato Rio 3

Muse 5 dan Rio 3 bisa Anda pesan sekarang melalui situs crowdfunding Indie Gogo. Di sana produk mendapatkan diskon, masing-masing dijual seharga US$ 100 dan US$ 70. Proses pengiriman diestimasi akan berlangsung di bulan Desember 2016

Microsoft Kembangkan Teknologi untuk Membantu Kaum Tuna Netra Berkelana di Dalam Kota

Bagi mereka yang punya gangguan indera penglihatan, indera pendengaran pun menjadi senjata utama dalam menjalani kegiatan sehari-hari. Saya yakin semua setuju kalau hal ini jelas bukan sesuatu yang mudah, apalagi jika diminta untuk berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain yang sebelumnya belum pernah disinggahi.

Microsoft, bersama dengan Guide Dogs dan Future Cities Catapult, ingin membuat hal itu menjadi bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Ketiganya sepakat mengerjakan proyek Cities Unlocked di Inggris sejak dua tahun yang lalu. Tujuannya? Membantu kaum tuna netra berkelana di dalam kota.

Tahun lalu, buah pemikiran mereka terealisasi dalam wujud sebuah headset yang berperan sebagai pemandu navigasi, membantu sang pengguna bergerak dari titik A menuju titik B. Namun saat diuji bersama sejumlah orang, rupanya bukan itu yang benar-benar diminta oleh mereka. Mereka lebih memilih mendapatkan panduan terkait “di mana mereka sedang berada” ketimbang “ke mana mereka harus berjalan”.

Berangkat dari kesimpulan tersebut, fase kedua pun dijalankan, dan kini Microsoft bersama kedua mitranya sudah siap memamerkan hasilnya. Bentuknya masih berupa headphone, tapi dengan arahan fungsi seperti yang dijelaskan tadi.

Teknologi audio 3D Cities Unlocked

Headphone ini dibuat oleh perusahaan produsen alat bantu dengar GN Store Nord. Selain speaker, di dalamnya juga tertanam beragam sensor seperti accelerometer, gyrometer dan kompas. Kehadiran komponen-komponen ini berguna untuk memberikan kesan bahwa suara datang dari arah yang berbeda.

Jadi, hanya dengan menekan sebuah tombol pada remote yang tersambung via Bluetooth, pengguna dapat menerima informasi keberadaannya. Setiap info disampaikan berupa suara yang datang dari arah yang berbeda. “Rak sepeda, lima meter”, terdengar di sebelah kanan. Lalu ada nama sebuah toko ternama beserta jaraknya yang terdengar dari belakang telinga kiri.

Teknologi audio 3D ini sejatinya dapat memberikan gambaran cukup jelas terkait keberadaan sang pengguna. Jadi kalau ide sebelumnya adalah membantu berpindah dari A ke B, berkat teknologi ini kaum tuna netra juga mendapatkan opsi untuk mengunjungi C, D, E dan seterusnya.

Dalam prakteknya, dibutuhkan kehadiran smartphone yang bertugas mengumpulkan informasi pemetaan di sekitar. Namun selain memanfaatkan Bing Maps, proyek ini juga melibatkan layanan crowdsouced milik CityScribe yang mengemas informasi tidak umum seperti letak tong sampah, bangku maupun scaffolding dari gedung yang tengah direnovasi.

Lalu ketika pengguna masuk ke dalam gedung, peran GPS akan digantikan oleh Bluetooth beacon yang tersebar di dalam gedung. Tentu saja ini membutuhkan kerja sama khusus dengan pemilik gedung.

Untuk sekarang, Microsoft mengatakan bahwa proyek Cities Unlocked masih jauh dari kata final. Sederet pengujian masih harus dilakukan, yang berarti kehadirannya secara massal pun masih cukup lama.

Sumber: The Telegraph dan TheNextWeb.