Strategi Startup Perjalanan Wisata dan Aktivitas Lokal, Belajar dari Penutupan Tripvisto

Ditutupnya salah satu layanan marketplace aktivitas dan perjalanan wisata Tripvisto sekitar bulan Oktober lalu menyisakan sebuah pertanyaan besar. Ada apa dengan bisnis ini yang memiliki potensi cerah dengan target pasar yang menggiurkan, terutama kalangan millennial.

Tripvisto merupakan startup yang fokus dengan bisnis ini sejak tahun 2014 dan telah menerima pendanaan dalam jumlah relatif besar ($1 juta di putaran pendanaan terakhirnya) dan didukung investor ternama (East Ventures, Gobi Partners).

Didirikan Bernardus Sumartok, yang sebelumnya juga sempat menutup bisnis serupa, Flamingo, Tripvisto sendiri sempat mengalami pertumbuhan bisnis yang positif dengan merekrut anggota tim yang cukup banyak, pindah ke kantor yang lebih besar, hingga menghadirkan ribuan perjalanan wisata lokal hingga mancanegara.

Kerasnya bisnis di sektor ini akhirnya mendorong Tripvisto untuk tidak meneruskan bisnisnya. DailySocial sendiri belum memperoleh konfirmasi langsung dengan Sumartok, namun pandangannya soal sektor marketplace perjalanan wisata bisa disimak di video liputan DScussion #59 kami.

Sektor yang terlalu fragmented

Di Indonesia sendiri saat ini cukup banyak startup serupa yang mencoba menghadirkan marketplace aktivitas dan perjalanan wisata lokal hingga asing.

Salah satu startup yang baru saja meluncurkan layanan serupa adalah Triprockets. Startup ini menerapkan cara yang sama dilakukan Airbnb, yaitu sharing economy atau ekonomi berbagi antar pengguna. Triprockets disebutkan didirikan demi memberikan alternatif pilihan kegiatan wisata yang unik baik di Indonesia maupun negara lainnya.

Terkait dengan kegagalan yang dialami layanan serupa, CMO Triprockets Raymond Iskandar mengungkapkan hal tersebut cukup mengejutkan namun menyadari bahwa sektor tours and activities mungkin bisa dikatakan sebagai satu-satunya ladang hijau di dalam industri pariwisata.

“Tapi namanya sebuah ladang yang hijau, itu juga berarti banyak hal yang masih harus dilakukan. Jadi bukannya tidak mungkin dalam 5 tahun ke depan kita masih membangun blok pondasi dasar buat bisnis kita.”

Raymond melanjutkan sektor ini terbilang masih sangat fragmented. Ada ribuan perusahaan operator kecil menengah yang tersebar di seluruh dunia. Hal tersebut yang menyulitkan bisnis untuk dapat bertindak sebagai agregator dalam satu website. Berbeda halnya dengan industri lain di segmen ini, seperti hotel atau penerbangan (OTA). Saat ini menjual produk mereka relatif lebih mudah secara online dengan data yang telah tersedia.

“Sedangkan dalam kategori tour dan aktivitas tidak semudah itu, karena mencakup segala hal-hal kecil mulai dari multi-day tour, tour harian, tour jalan kaki, bersepeda, kelas memasak hingga harga tiket masuk taman hiburan. Jadi bisa dibayangkan bagaimana sulitnya membuat mereka terhubung dan ‘berbicara dalam bahasa yang sama’, mengkategorikan mereka dalam satu kategori yang konsisten saja sudah merupakan tantangan tersendiri,” kata Raymond.

Model bisnis yang terlalu “luas”

Sementara bagi Traventure, marketplace yang mencoba menemukan para kreator wisata dengan para pencari kreasi wisata baru di Indonesia, melihat fenomena yang terjadi untuk Tripvisto adalah karena terlalu luasnya layanan yang dihadirkan. Tripvisto dianggap kesulitan untuk fokus menjual paket.

“Sedangkan Traventure berangkat sebagai antitesisnya, kami berangkat dengan visi mengumpulkan dan mengaktifkan setiap orang di indonesia untuk bisa membuat dan menampilkan paket trip kreasi mereka sendiri. Kami menyebutnya bottom-up approach. Kami ingin koleksi kami mirip dengan Tripvisto, kaya dan beragam. Tapi juga dimiliki oleh banyak pihak (marketplace) dan koleksinya alternatif,” kata Co-Founder Traventure Bondan Sentanu Mintardjo kepada DailySocial.

Kendala lain yang masih dihadapi bisnis ini adalah sulitnya mengkuantifikasi harapan market (online) akan produk yang abstrak seperti experience dan activity yang menjadi komoditas di sini.

“Pergeseran gaya hidup (yang berhubungan dengan gap generasi) juga harus dipelajari secara detil untuk memastikan dengan jelas demografi market yang mau disasar, karena sifat dan kebutuhannya beda satu dengan lainnya,” kata Bondan.

Ciptakan mindset survive, kreatif dan beradaptasi

Baik Triprockets dan Traventure hingga kini masih berusaha untuk menemukan momentum yang tepat agar bisnis bisa tumbuh dengan cepat. Untuk itu salah satu kunci kesuksesan yang mereka yakini adalah bertahan dan lebih kreatif. Keduanya melihat segmen bisnis ini menjadi sangat ideal dan sudah sangat tepat diluncurkan saat ini menargetkan kalangan millennial yang menggemari kegiatan wisata unik dan menarik.

“Sebetulnya menurut saya, saat ini adalah saat yang paling baik untuk sektor ini di mana dengan menurunnya generasi baby boomers yang sebelumnya mendominasi pasar travel dunia, akan semakin memudahkan kita untuk penetrasi pasar oleh generasi yang lebih muda,” kata Raymond.

Sementara menurut Bondan, agar bisnis bisa survive, idealnya startup yang berencana untuk menjalankan bisnis serupa bisa tampil lebih kreatif, Jangan mendikte market dengan koleksi trip “usang”.

“Bisnis wisata adalah bisnis kreatif dan sustainable, maka hargai nature bisnis ini dengan cara yang sama. Traventure sendiri masih dalam perjalanan menuju ke arah tersebut, jalan terjal dan berliku masih harus ditempuh, dan meminjam semangat traveling, di situ letak keseruannya,” kata Bondan.

Hal lain yang digarisbawahi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan menghindari untuk terlalu “mencintai” model bisnis yang dimiliki. Mereka juga harus fokus ke tujuan akhir startup, yaitu memberi pelanggan apa yang mereka inginkan terlepas dari model bisnis yang dimiliki.

“Bahkan sebuah perusahaan raksasa saja akan gagal kalau kita tidak mampu berubah dan beradaptasi. Triprockets dulu memulainya dengan menjual tiket atraksi, aktivitas dan tours dengan pola two-sided B2C marketplace yang saya rasa sama persis dengan konsep Tripvisto. Tapi di perjalanan it just turned out this peer-to-peer marketplace was the best way to serve great activity experiences untuk pelanggan kami. If this hadn’t worked out then keep adapt your business model,” kata Raymond.

Hal senada diutarakan Bondan dengan bisnis paket wisata unik yang dijalankannya. Meskipun masih berusia belia, namun Bondan dan tim percaya bisnis ini akan mengalami pertumbuhan yang positif nantinya.

“Hipotesis yang kita percaya, dan selama berjalannya Traventure ini masih konsisten, adalah bagaimana memberikan “rasa manusia” kepada platform aplikasi kita, bukan sekedar etalase kaku. Karena kembali lagi, yang kita jual adalah experience yang hubungannya dengan pemenuhan rasa/spritualitas pembeli,” kata Bondan.

Menyikapi Jurang antara Kebutuhan dan Penyediaan Sumberdaya Manusia di Bidang Teknologi

Geliat pertumbuhan bisnis startup di Indonesia mulai menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan. Kendati demikian, ada hal yang miris diungkapkan Reuters soal minimnya sumber daya manusia (SDM) sesuai dengan kebutuhan industri. Setiap tahun padahal ratusan universitas rutin mencetak wisudawan dan wisudawati di jurusan teknologi. Benarkah ini semata soal institusi pendidikan yang tidak bisa keep up dengan sektor industri atau apakah ada faktor lain?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, DailySocial mengumpulkan pendapat dari penggiat startup, orang yang pernah berkecimpung di institusi pendidikan, dan investor. Responsnya dan strateginya untuk mengatasi permasalahan tersebut cukup bervariasi.

Bernardus Sumartok, CEO Tripvisto, mengakui industri startup di Indonesia sangat membutuhkan sumberdaya bertalenta tinggi untuk bekerja di perusahaan. Namun, ketersediannya masih sangat minim. Padahal, lanjut dia, saat melakukan tes kerja pihaknya memberikan tugas calon kandidat tergolong dasar.

Ambil contoh, untuk kandidat Engineer, mereka diharuskan menunjukkan keahliannya dalam database design yang penting untuk membangun platform dengan skala dan arsitektur yang bagus.

Sumartok melanjutkan, kandidat yang berkualitas dan bisa langsung bergabung sangat sedikit sekali dibandingkan jumlah lulusan fresh graduate jurusan teknologi di Indonesia.

Menurutnya, hal ini disebabkan mayoritas lulusan pada akhirnya memilih bekerja di startup yang lebih well funded dan well established.

“Alasan itu semua bisa dimengerti, akan tetapi selagi masih muda sebaiknya banyak belajar di startup yang baru berdiri sebab banyak hal yang bisa dipelajari di sana,” ujarnya.

Pernyataan Sumartok didukung oleh Willson Cuaca, Managing Partner East Ventures. Menurutnya, terjadi mismatch antara supply dan demand. Lebih banyak demand daripada supply. Mahasiswa lulusan teknologi informasi (TI) sangat banyak. Namun, mencari yang pintar, berdedikasi tinggi, dan jujur tidak banyak.

Dia berpendapat solusinya tergantung dari mahasiswa itu sendiri, sebab mereka sendirilah yang mengerti bagaimana posisinya di kampus dan di industri.

Willson mengatakan, “Mahasiswa perlu agresif mencari cara bagaimana mendapatkan capacity building yang mumpuni sebelum lulus kuliah, biasanya dengan belajar dari luar kampus. Namun mahasiswa yang cenderung pasrah hanya menerima ilmu dari kampus saja, biasanya di tempat kerja juga kurang bagus prestasinya.”

Masalah multidimensi

Romi Satria Wahono, CEO PT Brainmatics Cipta Informatika, mengakui fakta SDM bertalenta tinggi masih sulit ditemui di Indonesia. Menurutnya, kurangnya SDM untuk memenuhi kebutuhan industri termasuk ke dalam masalah multidimensi.

Pertama, universitas yang sering terlambat merespon untuk melakukan pembaruan dari segi kurikulum hingga kualitas pendidik. Kedua, dosen sebagai aktor utama pendidikan dan pembimbing mahasiswa tidak memiliki kreativitas untuk memperbaiki materi ajar dan mengupdate buku teks yang digunakan.

Terakhir, mahasiswa Indonesia yang cenderung pasif, tidak kreatif, dan tidak kritis hanya mendengar dan menaati apa yang dikatakan dosen.

“Padahal sudah fatsun dalam pendidikan jangan pernah menjadikan dosen sebagai sumber utama referensi,” ujarnya.

Oleh karena itu, sambungnya, seorang pendidik diharapkan melakukan updating materi ajar dengan standar internasional, kemudian memberi kesempatan magang kepada mahasiswanya mengerjakan proyek riil di industri. Hal ini untuk melatih kemampuannya dan mempraktikkan secara langsung apa yang disampaikan di dalam kelas.

“Mahasiwa juga perlu banyak bergaul, bergerak, kreatif, dan berani mencoba berbagai hal. Selain itu, jadikan technopreneur sebagai satu-satunya karier hidup,” terang Romi.

Karena ini adalah masalah multidimensi, maka industri harus lebih sabar berhubungan dengan lingkungan akademik. Lingkungan akademik pun harus bisa lebih cepat merespons kebutuhan industri. Dua sinergi antar kedua belah pihak itu dibutuhkan meski keduanya mengejar key performance indicator (KPI) yang berbeda.

Akademisi mengejar kontribusi pengetahuan baru dalam bentuk publikasi karya ilmiah, sementara industri mengejar kontribusi untuk masyarakat berbentuk produk yang bermanfaat.

Menciptakan solusi

Ketimbang menyalahkan universitas, dosen, atau mahasiswa, Gibran Huzaifah, CEO eFishery, punya solusi sendiri menghadapi minimnya sumberdaya dengan mencari referensi talenta baru dari tim yang sudah direkrut. Menurutnya, jalur tersebut lebih berpotensi mendapatkan talenta yang sesuai keinginan sebab berada dalam ruang lingkup yang sama.

“Kemudian, kami menjual value dan visi dari perusahaan kepada calon pekerja, enggak hanya menjual dari segi business as usual,” terangnya.

Adrian Li, Managing Partner Convergence Ventures, menambahkan untuk mengatasi ketimpangan ada baiknya mempertimbangkan untuk memperkerjakan talenta yang pernah bekerja di startup luar negeri. Secara jangka pendek solusi tersebut cukup membantu perusahaan untuk mengisi kekosongan talenta. Pasalnya, kebanyakan dari mereka sudah multitalenta.

Sementara itu, untuk jangka panjang, perusahaan startup perlu melakukan investasi ke kampus demi menciptakan talenta yang sesuai kebutuhan industri sekaligus mempersingkat gap antara supply dan demand.

Di sisi lain, menurut Romi, untuk menciptakan solusi di lingkungan akademis pihaknya mendorong agar dosen dapat lebih fokus pada metode pembelajaran yang lebih fundamental dan belajar cepat tanpa banyak teori. Caranya bisa dengan mengadakan seminar dengan narasumber yang sesuai.

Romi melanjutkan, kampus harus didorong untuk merangkul perusahaan startup dalam internship dengan program yang terstruktur dan banyak melibatkan mahasiswa ke dalam real life project demi mengasah problem solving skill, bukan sekedar mengerjakan pekerjaan administrasi yang dianggap low value.


Yenny Yusra dan Amir Karimuddin berkontribusi dalam pembuatan artikel ini.

DScussion #59: Tripvisto dan Tantangan Layanan Marketplace Wisata di Indonesia

Sebagai layanan marketplace paket liburan pertama di Indonesia, Tripvisto mengukuhkan posisinya sebagai salah satu marketplace tour dan activity yang mampu bertahan menjalankan bisnisnya. Banyak tantangan yang dihadapi oleh Tripvisto, mulai dari meyakinkan pengguna untuk menggunakan layanan paket liburan di Tripvisto, menambah jumlah traksi dan cashflow, hingga memperluas pasar.

Dalam DScussion edisi kali ini, CEO Tripvisto Bernardus Sumartok berbagi cerita tentang strategi yang dijalankan menghadapi kompetisi yang ada dan sejauh mana teknologi mempengaruhi keberhasilan layanan paket liburan seperti Tripvisto.

Sumartok: Pengalaman Kegagalan Eksekusi Flamingo Jadi Pelajaran Besar Menjalankan Tripvisto

Layanan Marketplace Paket Perjalanan Tripvisto / Tripvisto

Enam bulan lalu, marketplace online untuk aktivitas perjalanan dan wisata Tripvisto yang baru digawangi tiga orang Co-Founder mengumumkan perolehan tahap awalnya. Sekarang Tripvisto telah memiliki tujuh orang pegawai, dengan fokus perusahaan untuk mengembangkan tim ke customer service dan engineering sebagai core business Tripvisto. CEO Tripvisto Sumartok, yang sebelum pernah mendirikan layanan serupa Flamingo, mengatakan kesalahan eksekusi yang terdahulu menjadi pelajaran besar saat menjalankan Tripvisto.

Continue reading Sumartok: Pengalaman Kegagalan Eksekusi Flamingo Jadi Pelajaran Besar Menjalankan Tripvisto

Flamingo Redesigned Its Website to Improve Visitor Experience

The month and a half old travel site Flamingo had just been revamped. The focus of the change is on the user experience in which visitors will be able to discover travel schedules based on the nearest or desired travel dates. Aside from that, Flamingo will also provide a live chat feature on the from page to let visitors discuss about travel packages with Flamingo representatives.

Continue reading Flamingo Redesigned Its Website to Improve Visitor Experience

When Your Hobby Requires You to Travel, Flamingo Travel Site Gives the Solution

A short while ago, a new travel site called Flamingo was launched. I commented earlier that it has an interesting look about it and I can’t help but keep thinking what is so different about this site compared to other travel sites. As it turns out I discovered that Flamingo brings together people with similar interests and to find what we are looking for, we need to travel to the location.

Continue reading When Your Hobby Requires You to Travel, Flamingo Travel Site Gives the Solution

Ketika Hobi Membutuhkan Jalan-Jalan, Situs Travel Flamingo Memberikan Solusinya

Beberapa waktu yang lalu situs travel Flamingo diluncurkan. Saya sempat memberikan komentar awal bahwa tampilannya sangat menarik. Lebih jauh saya terus menduga-duga, hal apa yang menjadi pembeda Flamingo dengan situs travel lainnya. Ternyata hal yang saya temukan adalah Flamingo mengawalinya dengan mempertemukan orang-orang dengan minat sejenis (special interest) dan untuk menemukan hal yang diinginkan, kita perlu melakukan perjalanan secara langsung ke lokasi yang dituju.

Continue reading Ketika Hobi Membutuhkan Jalan-Jalan, Situs Travel Flamingo Memberikan Solusinya

Flamingo Beta Sudah Bisa Diakses, Tawarkan Pengalaman Baru Travelling

Situs travelling baru kembali hadir. Flamingo didirikan oleh Bernadus Sumartok, mantan karyawan Kompas Gramedia digital yang kini tertarik dengan hingar bingar startup. Flamingo menawarkan berbagai paket perjalanan di seluruh Indnesia. Ini mungkin mirip dengan apa yang ditawarkan Valadoo yang baru saja memperbaharui layanan mereka, tetapi Sumartok mengatakan pada kami bakal ada beberapa perbedaan. Situs Flamingo sendiri masih belum berfungsi secara penuh sampai dengan peluncuran resmi mereka hari Selasa minggu depan.

Mari saya ceritakan kesan pertama tentang situs ini. Unsur warna merah muda yang terinspirasi dari burung flamingo mewarnai berbagai aspek situs. Cukup menyegarkan karena biasanya situs startup dihiasi dengan warna biru atau hijau. Situs ini juga cukup mencuri perhatian dengan menawarkan keindahan pemandangan Indonesia.

Continue reading Flamingo Beta Sudah Bisa Diakses, Tawarkan Pengalaman Baru Travelling

Flamingo on Beta Launch, Offering New Experience in Travelling

A new travelling site is coming to town. Flamingo is founded by Bernardus Sumartok, a former Kompas Gramedia digital media employee that turn his head out to startup world. Flamingo offers various travel package all around Indonesia. It might be similar to recently revamped Valadoo, but Sumartok tells us that there are some differences. The site itself isn’t fully functional until its grand launching ceremony next Tuesday.

Let me tell you our first encounter with the site. The spirit of pink in flamingo bird has emerged into pinkish nuance all over the site. It’s quite refreshing since most startup sites are usually covered with blue or green colors. The site is definitely an eye candy by offering tons of beautiful scenery of Indonesia.

Continue reading Flamingo on Beta Launch, Offering New Experience in Travelling