Traveloka Segera Tutup Layanan Pembayaran Tagihan

Traveloka tengah memangkas sejumlah layanan yang dianggap kurang menopang bisnis inti perusahaan. Layanan pembayaran tagihan dan top-up akan segera berhenti beroperasi pada Oktober 2023. Hal ini telah diinformasikan pada laman “My Bills” di aplikasi Traveloka.

Tidak hanya itu, produk investasi ‘Tabungan Emas Pegadaian di Traveloka’ yang sempat diluncurkan bekerja sama dengan PT Pegadaian juga sudah tidak lagi beroperasi. Informasi terkini di aplikasi, layanan ‘Gold’ di Traveloka kini sudah tidak tersedia, dan pengguna diarahkan untuk membuat akun langsung di Pegadaian.

Ketika pandemi Covid-19 melanda, salah satu industri yang paling terpukul adalah travel dan pariwisata. Ketika itu, bisnis Traveloka terbilang sedang berada di puncak kejayaan. Beberapa inisiatif baru digulirkan, termasuk fitur PayLater, serta optimalisasi layanan Xperience untuk mendukung kegiatan rekreasi penggunanya.

Namun, dampak pandemi semakin terasa dan hal ini mendorong perusahaan untuk melakukan sesuatu. Dalam usaha bertahan di situasi pandemi, Traveloka bertransformasi menjadi sebuah lifestyle superapp, dengan semangat agar perusahaan tetap relevan dengan kebutuhan gaya hidup masyarakat.

Sembari menanti industri perjalanan dan pariwisata pulih usai pandemi, Traveloka memutuskan untuk masuk ke layanan food delivery dengan TravelokaEats dan healthtech melalui produk asuransi. Perusahaan juga mengembangkan produk baru di unit bisnis keuangan, disusul dengan layanan online grocery lewat brand Traveloka Mart.

Pada akhirnya, tidak semua layanan ini bisa bertahan. September 2022, perusahaan mengambil langkah efisiensi bisnis yang berujung pada penutupan layanan pesan-antar makanan dan logistik ‘Traveloka Eats’ dan ‘Traveloka Send’. Penutupan ini menyusul layanan online grocery Traveloka Mart yang sudah tutup akhir Agustus 2022.

Pihaknya mengaku pemberhentian kedua layanan ini adalah bagian dari strategi bisnis dan prioritas perusahaan. Ketika itu, sektor perjalanan dan pariwisata disebut tengah bangkit dan Traveloka siap menyambut hal ini dengan fokus pada bisnis inti perusahaan.

Tren perjalanan diprediksi meningkat pada beberapa tahun ke depan. Menurut laporan e-Conomy SEA 2022, sektor perjalanan menunjukkan tren pemulihan yang bertahap dan akan mencapai pemulihan penuh pada 2023 dan 2024. Salah satu sektor yang paling berpengaruh adalah perjalanan domestik yang menunjukkan pemulihan lebih cepat.

Fokus ke bisnis inti

Di akhir tahun 2022 lalu, Traveloka meluncurkan tagline baru, “Life, Your Way”. Dengan tagline ini, Traveloka menegaskan komitmennya sebagai platform travel nomor satu di Asia Tenggara yang menghadirkan pengalaman konsumen dengan mengedepankan teknologi melalui beragam solusi layanan perjalanan.

Berdasarkan data internal Traveloka pada kuartal III/2022, terdapat peningkatan pemesanan hingga lima kali lipat untuk perjalanan destinasi internasional, dan lebih dari 30 persen peningkatan pemesanan pada perjalanan destinasi domestik. Selain itu, pemesanan tiket pesawat juga mengalami peningkatan hingga empat kali dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Dalam menyediakan ragam produk yang relevan dan memudahkan konsumen, Traveloka menerapkan tiga kunci utama, yakni solusi produk serta layanan yang menyeluruh, jaminan layanan berkualitas dan fitur-fitur terbaik untuk meningkatkan kenyamanan konsumen, serta best value deals yang menguntungkan bagi konsumen.

Beberapa layanan yang sudah tersedia dalam aplikasi, termasuk program loyalitas ‘Traveloka Points’ dan ‘Traveloka Priority’ yang menawarkan keuntungan eksklusif seperti diskon hotel dan prioritas layanan pelanggan.

Selain itu juga ada fitur ‘Reschedule+’ yang memungkinkan konsumen mengubah tidak hanya jadwal penerbangan, tetapi juga destinasi dan maskapai. Traveloka juga siap memperkuat posisinya di Asia Tenggara, termasuk Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.

Dalam wawancara terakhir bersama DailySocial.id, CMO Traveloka Shirley Lesmana meyakini kemampuan dan kesiapan Traveloka untuk dapat terus beradaptasi guna merespon kebutuhan konsumen saat ini dan di masa depan.

“Dengan menjadi brand yang semakin berpusat pada konsumen, kami berharap Traveloka dapat menjadi inspirasi sekaligus platform travel pilihan konsumen dalam mewujudkan aspirasi, mengeksplorasi berbagai destinasi baru, serta menemukan hidden gems untuk lebih memaknai hidup.” Tutup Shirley.

Imbas Pariwisata Lokal Meningkat, Bisnis Hotel Bujet Melesat

Genap tiga tahun terkena dampak pandemi, industri pariwisata tanah air diprediksi memasuki babak baru tahun ini. Pemulihan sudah terlihat dan industri ini perlahan mulai bangkit. Hal ini juga tercermin dari kenaikan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia serta peningkatan jumlah perjalanan domestik..

Berdasarkan data BPS, dari Januari hingga Oktober 2022, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 3,92 juta kunjungan, naik 215,16 persen dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisman pada periode yang sama di tahun 2021. Peningkatan juga terlihat dari angka perjalanan domestik di Indonesia.

Di akhir tahun 2022 lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan bahwa Indonesia telah memecahkan all time record dengan lebih dari 800 juta pergerakan wisatawan domestik sepanjang tahun. Angka ini melampaui jumlah perjalanan domestik sebelum pandemi sebanyak 722,16 juta pada 2019.

Jumlah perjalanan domestik di Indonesia selama 2012-2021 (dalam juta). Sumber: Statista

Bangkitnya industri pariwisata turut menghadirkan peluang dan tantangan baru bagi para pelaku industri. Pasalnya selama pandemi ada pergeseran kebiasaan berlibur pada masyarakat dan para pelaku usaha terkait yang ingin mengembangkan bisnisnya harus berusaha untuk tetap relevan dengan tren dan kebutuhan masyarakat saat ini.

Pergeseran tren pariwisata

Pada 2021, ketika pembatasan interaksi mulai longgar dan akses vaksin sudah merata, wisatawan domestik menjadi penggerak kinerja sektor ini. Mengingat risiko virus masih tinggi, alih-alih melakukan perjalanan internasional, wisatawan gencar mengeksplorasi wisata domestik. Menurut data Statista, terdapat lebih dari 603 juta perjalanan domestik terjadi di Indonesia.

Berdasarkan data Pegipegi Travel Report 2022 , hasil survei secara online terhadap lebih dari 450 pelanggan menunjukkan bahwa 49 persen responden telah traveling lebih dari lima kali, dan 44 persen lainnya traveling sebanyak 2–4 kali sepanjang tahun. Sebagian besar dari mereka menyukai traveling di dalam kota maupun menuju destinasi-destinasi di luar kota.

Terkait perencanaan kegiatan liburan, mayoritas responden atau sekitar 82 persen, mengalokasikan budget secara rinci untuk kebutuhan traveling, mencakup biaya transportasi, akomodasi, konsumsi, dan kebutuhan lainnya. Adapun rentang alokasi budget yang dikeluarkan responden untuk satu kali perjalanan yaitu sekitar Rp1 juta–Rp3 juta (sebesar 36 persen) dan Rp3 juta–Rp5 juta (sebesar 25 persen).

Sumber: Pegipegi Travel Report 2022

Melihat data di atas, salah satu yang diproyeksi akan menjadi tren masa depan industri pariwisata adalah budget travel yang berarti bepergian dengan biaya minim. Dari sini, lahir beberapa konsep liburan baru. Salah satunya staycation, konsep ini mengedepankan sisi praktis liburan yang dilakukan di rumah atau area dalam kota.

Di samping itu, satu hal yang juga memengaruhi pariwisata lokal semakin meningkat adalah konsep kerja di beberapa perusahaan yang masih menerapkan WFA atau work from anywhere. Hal ini memungkinkan para pekerja untuk lebih fleksibel dan bisa bekerja dari mana saja, termasuk area wisata. Tren liburan sambil bekerja ini juga disebut workation.

Laporan dari Asia Travel Leaders Summit juga menyebutkan bahwa karakter wisatawan milenial Indonesia merupakan yang paling memperhatikan keterjangkauan harga jika dibandingkan dengan karakter wisatawan China, Singapura, dan India. Pertumbuhan tren budget travel ini tentunya mendorong bisnis hotel bujet yang sebagian besar dipilih karena keterjangkauan harga.

Industri hotel bujet mulai ekspansi

Di Indonesia sendiri, industri hotel bujet mulai ramai ketika pemain global masuk dan menyasar pasar Indonesia. RedDoorz menjadi salah satu pionir yang masuk ke Indonesia di tahun 2015. Perusahaan menganut model bisnis bekerja sama dengan properti yang bersifat kecil dan independen.

Pada dasarnya, model bisnis ini tidak jauh berbeda dengan pemain hotel bujet terbesar di India, OYO, yang akhirnya ikut masuk ke pasar Indonesia di tahun 2018. Kedua platform ini menawarkan renovasi, pengelolaan manajemen hotel, serta pemberdayaan bagi pegawai dalam mengelola akomodasi.

Selain mengakibatkan perubahan tren, kehadiran pandemi juga melahirkan fenomena baru yang tengah berlangsung di industri hotel bujet. Jika sebelumnya kebanyakan hotel berbintang memperluas jangkauan dengan membuka cabang hotel bujet, kini hotel bujet mulai memperluas jangkauan dengan menambahkan segmen pelanggan, termasuk premium.

RedDoorz mulai menerapkan strategi baru untuk menjadi perusahaan new age hospitality dengan membangun merk hotel baru “Sans Hotel” di akhir tahun 2020. Melalui brand ini, perusahaan menargetkan pelancong dari generasi Z dan milenial dengan mengedepankan konsep akomodasi yang youthful, design inspired, dan warmth, memadukan teknologi pintar dan harga terjangkau.

Perubahan strategi ini terbukti menghantarkan perusahaan mencapai break even point (BEP) atau tidak lagi merugi.

“Melalui implementasi strategi dan fundamental bisnis yang berfokus kepada property owners dan customers, kami berhasil memenuhi janji kami untuk mencapai BEP di tahun 2022,” ujar Regional VP Marketing RedDoorz Henry Manampiring.

Selain Sans Hotel, RedDoorz juga memiliki Urbanview Hotel untuk para urban traveler, Sunerra Hotel yang cocok bagi keluarga yang menginginkan layanan berkelas, KoolKost yang cocok untuk akomodasi jangka panjang, serta The Lavana yang akan segera diluncurkan. Selama tujuh tahun beroperasi, RedDoorz telah mengakomodasi sekitar 3 ribu properti di 257 kota di seluruh Indonesia.

Country Operation Head OYO Indonesia Hendro Tan mengungkapkan, “Tren perjalanan saat ini menunjukkan bahwa wisatawan mencari tempat menginap yang nyaman, sehingga permintaan pada akomodasi premium diperkirakan akan naik secara signifikan.”

OYO sendiri disebut tengah menggenjot akomodasi di segmen bisnis dan premium di Indonesia sebagai core market-nya di Asia Tenggara dan global. “Indonesia menjadi kunci dari rencana pertumbuhan bisnis dalam skala global, OYO telah membuktikan transformasinya, dan berfokus pada properti premium,” tegasnya.

Beberapa pilihan akomodasi segmen premium OYO, termasuk Townhouse OAK, Townhouse, Collection O, dan Capital O. “Kami juga ingin menjalin kemitraan yang kuat dengan pelanggan kami di kota-kota bisnis dan kota tujuan rekreasi, dengan penetrasi yang lebih kuat ini kami yakin untuk terus menambah portofolio kami untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, serta menerapkan lokalisasi produk dan layanan,” tutupnya.

Dengan konsep yang berbeda, bobobox menyasar pasar hotel bujet di Indonesia dengan menawarkan layanan hotel kapsul yang mengutamakan efisiensi ruang. Didirikan pada 2018, bisnis hotel kapsul Bobobox telah melejit dengan total okupansi sebanyak 922 kamar di 16 lokasi yang tersebar di sejumlah kota besar di Indonesia.

Perusahaan juga memiliki cabang premium yang diberi nama bobocabin. Tahun ini, Bobocabin menjadi fokus ekspansi Bobobox dengan menjangkau lebih banyak daerah di Indonesia, diantaranya Padusan, Jawa Timur, dan Ubud, Bali. Harapannya, ekspansi yang dilakukan Bobobox dapat berkontribusi terhadap perekonomian serta pemberdayaan sosial daerah setempat.

Tantangan dan peluang

Industri pariwisata memang sempat mengalami titik terendah pada awal pandemi yang memicu pembatasan mobilitas masyarakat secara besar-besaran. Pada 2020, salah satu pelaku industri, Airy, memutuskan untuk menutup bisnis secara permanen setelah dilaporkan telah memberhentikan 70 persen jumlah karyawannya.

Hal ini juga menimpa pelaku industri lainnya seperti OYO yang mencatat tingkat okupansi mitra hotel anjlok sebanyak 60%. Tidak hanya kondisi fisik, mental pun juga terdampak. RedDoorz sendiri sempat meluncurkan program Hope Hotline untuk menyediakan layanan sesi penyuluhan kepada mitra secara online.

Di samping pandemi, CEO Bobobox Indra Gunawan juga mengungkapkan bahwa selama beberapa dekade, ada beberapa hal yang masih menjadi penghambat terbesar dari bisnis akomodasi, seperti modal yang tinggi, standar yang tidak konsisten, dan profitabilitas yang rendah. “Hal inilah yang ingin kami lawan di Bobobox,” tegasnya.

Selain skena jaringan hotel kapsul, bobobox juga menawarkan model bisnis kemitraan untuk investor yang berminat masuk ke bisnis bobobox. Mereka dapat terlibat pendanaan proyek, maupun bekerja sama terkait kepemilikan lahan.

Di tengah isu perlambatan ekonomi global, perekonomian nasional terus menunjukkan resiliensi dan beranjak pulih lebih cepat. Hal tersebut tercermin dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan IV-2022 yang tumbuh solid sebesar 5,01% (yoy). Pertumbuhan ekonomi Indonesia di sepanjang tahun 2022 bahkan mencapai 5,31% (ctc), kembali mencapai level sebelum pandemi.

Melihat hal ini, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga optimistis bahwa Indonesia memiliki potensi wisatawan domestik yang cukup besar untuk menyokong industri pariwisata tanah air. Tahun ini, pemerintah telah menargetkan sekitar 1,2-1,4 miliar pergerakan perjalanan wisatawan domestik serta 3,5-7,4 juta kunjungan wisata mancanegara.

Pada awal Februari 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mengumumkan total 5,47 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2022 penuh. Angka ini memang masih jauh dari total kunjungan sebelum Covid-19 sebanyak 16,11 juta wisatawan pada 2019. Namun, krisis COVID-19 telah merusak jumlah wisatawan Indonesia secara struktural. Maka dari itu, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar dan proses yang tidak instan untuk bisa pulih secara menyeluruh.

George Hendrata Turns Tiket.com Business Around with Strong Company Culture

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

The tourism sector is one of the worst affected by the impacts of COVID-19, blocking the economies, livelihoods, public services, and opportunities on all continents. As Indonesia’s President Joko Widodo announced an end to the public activity restrictions, this will significantly affect the travel industry, including OTAs regaining their dominant position within travel distribution.

George Hendrata has an educational background in tech from Columbia University and MBA from Harvard Business School. He has working experience  in several multinational companies, including Motorola & Boston Consulting Group, and became the Director of Djarum’s Business Diversification before taking the opportunity with tiket.com. With his persistent character and creative mind, George turns tiket.com around and makes it blossom.

Nobody expects that the travel sector would be a bridge to disseminate something horrible such as coronavirus disease. As much as we cannot believe it, Covid-19 has been staying in this country for over three years now. However, due to hard work across sectors, we can at least say that the pandemic has been handled. It is now the time for the travel industry to rise again.

During six years with George, the t-fam (tiket.com employees) has grown significantly and managed to survive this pandemic without doing any layoffs to the core team. At the end of last year, tiket.com along with Blibli and Ranch Market announced a unified omnichannel ecosystem called blibli-tiket. The initial public offering (IPO) is said to be the 5th largest listing ever on the IDX, and the 2nd largest last year.

Alongside his current position as the CEO of tiket.com, George also likes to mentor and invest in companies. He said it gives him an opportunity to share ideas, learn new things, help entrepreneurs, and contribute to the economy.

DailySocial had the opportunity to have an exclusive interview with George Hendrata and discuss his career journey and leadership. Below is the complete version of his story.

I’m not sure to say that we are past the pandemic. However, the pandemic has transformed many lives and significantly affect some industries, including the OTA business. I want to know how are things going on in the OTA sector nowadays, especially tiket.com?

At that time (the first case in China), we still think that we were immune to this. When it finally happened, we were expecting the revenue would get to zero. Many customers asked for a refund and reschedule. Obviously, we have to focus on our people, that is our consumers, our partners, and our t-fam. We reinforced our Customer Service team, seconded by other teams in order to take care of all the issues. Because of this focus on people, we gained market share even during the pandemic.

Our travel partners, such as airlines, tour operators, and accommodations are deeply affected. Their businesses went down significantly. Not long after, they had to lay off. Even though business was slow, we kept trying to promote our partners. Since our customers were not able to explore international destinations, they started to explore their own backyards. Many visited Labuan Bajo or Raja Ampat for the first time. Fortunately, during the pandemic, hotel room occupancy was higher than expected, due to people doing staycation and staying during quarantine.

During the crisis, we have to creatively look for opportunities. Due to covid, our customers prefer to travel with their families, stay outdoors, and avoid common areas. Hence, we launched alternative accommodation (villas) category called tiketHomes.

Currently, tiket.com has 3.6 million accommodation listings in total, including 2.2 million tiketHomes listings. The pandemic also hits hard on the economy. People may have reduced buying power when it comes to travel. Hence we try to solve this issue by offering Tiket Paylater. Now, our customers can enjoy purchasing travel products and installments.

PPKM restrictions have shut down offline attractions. We experimented with offering online attractions. To our surprise, it turned out that people not only like to scream when they go to theme parks but also in their own homes while watching online horror live shows; and customers are willing to pay for this. 2022 is getting off to a great start with all the offline concerts, events & attractions coming back. To date, the offline and online combination has created almost 8 times the volume compared to before the pandemic.

To date, the travel & lifestyle sector recovery has been amazing. There is no longer PPKM in the 2nd quarter of 2022. By September 2022, based on national data, the flight industry has recovered around 65% by seats; domestic recovery is about 70% and international recovery is about 55%In accommodations, the occupancy rate has reached the pre-pandemic level. Travel in the 4th quarter of 2022 has gone very strong. This makes 2022 the best year ever at tiket.com, in terms of bookings.

Originally, Tiket.com was founded in 2011. An interesting fact, you joined the OTA later in 2017. Who are you before the CEO of tiket.com?

I graduated from Columbia University and majored in electrical engineering in VLSI (Very Large Scale Integrated circuit). I used to work for a mobile phone company, Motorola, before I finished my MBA from Harvard Business School and joined Boston Consulting Group. Djarum Group wanted to diversify the business, and that attracted me to join the business development/diversification team as Business Development Director.

We have been blessed to run successful businesses in FMCG, consumer electronics, financial services, telecom infrastructure, natural resources, and tech. By being exposed to these businesses, I realized that my strength is in either starting up or turning around. With tiket.com, we saw an opportunity to turn around the business, and I took it.

I led the due diligence for tiket.com and fell in love with the founders. As we interviewed our travel partners, it was clear that there is a space to compete with the current market leaders. They would like to have a better relationship with online travel agents. On the other side, customers also need options. Hence I believe that we should go ahead.

How was your early days with tiket.com? How did you take the succession?

One of the issues with companies that have been stagnating is that typically the positive energy & spirit is no longer there. Typically the star employees have left as well. The first thing I did was to speak to the employees. We were around 250 people with about 60 people in the tech team.

I interviewed them one by one, asking simple fundamental questions. After the assessment, I asked, “Do you believe that we can be number one?”. The ones who said yes, became part of tiket 2.0 The ones who said no left, as they didn’t find the place right for them. We grew our tech from about 60 people to about 500 people in 5 years. tiket.com currently has around 1200 employees.

Today’s tech companies are fraught with layoff news. However, (so far) tiket.com has managed to survive the pandemic without any. What kind of insights can you share about this current issue?

We call our employees the t-fam. Yes, we did not do any layoffs. We focus on strengthening our core team and downsizing only the outsourced workers.

However, it all comes down to the hiring process. We are being prudent in our hiring, by being careful and selective. We are doing selective hiring to complete our manpower planning, instead of massive hiring. Therefore, in the downturn, we did not have to downsize as much. To build an effective team, company values & culture is very important. This depends on what the company is all about.

Also, it depends on what the leaders and management are like. Company culture can’t differ much from the leaders’ culture. If the leaders do not embody the intended company culture, the culture won’t stick. tiket.com is a startup that disrupts the travel space. It needs people who are “hungry” to meet the unmet needs. To find areas where you can disrupt, and where you can provide value for customers.

Also, we need to be “agile” as customers’ demands will be changing over time like in factories, where arguably the most important asset is the machine, and the most important asset for start-ups is its people. Therefore, we need to be “people-oriented” Also, a dream is only a dream if doesn’t get implemented. In order to implement well, we need to have a “performance orientation” to monitor whether products are being launched well and timely.

Lastly, we need people to join us not only with their arms and legs but also with their hearts and minds. For that, you have to be a unique “you”, so you can be creative in your approach we put the initials together, and it will form the word “HAPPY”, that is the culture of tiket.com. This is what glues us together. When people are engaged, they are more passionate in delivering apps that people love. That is our vision.

In October 2022, Blibli, tiket.com, and Ranch Market announced a merger into BlibliTiket. What is the story behind this merger, and what changes after?

The beauty of a merger with Blibli and Ranch Market is that we don’t need to overextend ourselves to reach a bigger market. We have seen some companies trying to increase the total addressable market by going into areas that are not natural extensions. We are not going that way.

People typically travel between 3-4X per year, maybe buy through e-commerce every couple of weeks, and buy groceries every couple of days. This merger offers a very unique combination of travel, e-commerce, and grocery, naturally allowing more frequent, and deeper engagement with our combined customers.

The three platforms have proven profitable business models worldwide. As we offer each other services and provide single sign-on, it will naturally extend the overlap between three different businesses and increase the synergy of the whole ecosystem. With the synergy, you’ll be able to acquire more customers into each other’s platform and create a bigger, better ecosystem.

Based on the study by Frost & Sullivan and Euromonitor, eCommerce in Indonesia is projected to reach US$150 billion by 2025. The travel & lifestyle market is projected to be US$ 41 billion. Most OTAs are also profitable and publicly listed. International Air Transport Association (IATA) said Indonesia will be the 4th largest travel market in the world by 2030.

Grocery, which is served by Ranch Market is projected to be USD 245 billion by 2025. The combined total addressable market is USD 436 billion by 2025. This is about one-third of Indonesia’s current GDP. It is HUGE. We want to create an ecosystem of choice through omnichannel. Indonesia will still have a huge offline market, even though the online market grows rapidly. Hence omnichannel is the right strategy for Indonesia.

Integrating two companies is hard enough, let alone three. How would you overcome the challenges?

Any merger is never easy. The important thing is that the people involved understand that unity brings bigger synergy. Each of the businesses has a different natural frequency, and the current customer overlap is small. By bringing each platform’s customers into a single ecosystem, we have a better picture of the consumer journey. Our recommendation will become sharper, and consumers will become more sticky and loyal.

Corporate action allows us to improve our corporate structure to grow better. Being a public company also means better corporate governance. We can attract more talents as we can provide ESOP During this volatile equity market condition, we have successfully executed the 2nd largest tech IPO in Asia Pacific in 2022, and the 5th largest of all time in IDX. It gives us a lot of confidence to move forward.

Our focus is on the fundamentals of the business. The support from investors during the IPO provides the confidence that this is a good company to back and that the company is going to be there for the long run. We believe this successful IPO also shores up confidence in Indonesia’s tech startups.

During your 6-year journey with Tiket.com, have you ever thought of starting something new or shifting industry

I personally love people, I love to connect. I like to share ideas and learn new things. Also, I’m obsessed with building GREAT products to meet unmet needs. When I was developing mobile phones, I used to bring 4 mobiles to take the same pictures and compare the quality of the mobile cameras. I love the challenge to start a greenfield operation or turn a company around. With deep curiosity, there are lots of things that interest me.

Personally, I like mentoring and investing in companies. It gives me an opportunity to share ideas, learn new things, support entrepreneurs and contribute to the economy. In terms of investment, in my opinion, if you have experience operating a company, your investment acumen sharpens.

What is your projection for the OTA business in 2023 and forward?

First, the OTA sector is consumer tech, meaning that the size of the business is driven by the number of consumers. With a large population in Indonesia (about 270 million), and South East Asia (about 600 million), this will continue to grow. Second, the travel sector usually grows at 2-3 times the GDP growth. Since online travel penetration in Indonesia is still increasing, online travel usually grows at about 2X the total travel growth. The year 2022 growth is much faster than the typical year, due to revenge travel post covid.

Indonesia’s internet economy will likely reach $330 billion in value by 2030, almost double the current Southeast Asia’s digital economy value of $170 billion, according to a recent report by Google, Temasek, and Bain released in 2021.

Third, Indonesia’s GDP per capita is currently at USD 4000 per capita. Travel inflection point typically happens at USD 7000 per capita level, as we have seen in other markets. As Indonesia crosses this GDP per capita level, travel growth (and OTA growth) is expected to accelerate even more.

I am optimistic that 2023 will be a better year than 2022 in terms of travel. However, we also need to be prepared should things don’t turn out as rosy, by controlling our expenses well. Personally, I think when we finally overcome the pandemic, we’ve grown even stronger. It’s just like the saying “What doesn’t kill you makes you stronger”.

OYO Indonesia Genjot Akomodasi di Segmen Bisnis dan Premium

Oravel Stays Ltd, induk usaha dari operator hotel bujet OYO, mengungkap bahwa EBITDA positif diperkirakan bakal terealisasi untuk pertama kalinya pada tahun buku 2023. Pihaknya mengestimasi EBITDA yang disesuaikan pada semester II tahun buku 2023 naik tiga kali lipat menjadi $24 juta dibandingkan semester I.

Mengutip pemberitaan Inc42, kenaikan tersebut terjadi berkat pengurangan sejumlah elemen biaya sehingga perusahaan dapat menikmati efisiensi operasional, pertumbuhan di segmen bisnis, dan profitabilitas operasional yang terus berlanjut.

Dalam keterangan resminya, OYO mengestimasi total Gross Booking Value (GBV) pada tahun buku 2023 naik 23% menjadi $1,3 miliar dibandingkan tahun lalu di mana bisnis akomodasi memberikan kontribusi tertinggi. OYO juga menambah tim di Business Development untuk mendongkrak penambahan jumlah properti sekitar 15% pada semester II tahun buku 2023. 

Segmen bisnis memang tengah digencarkan OYO di Indonesia sebagai salah satu core market-nya di Asia Tenggara dan global. Disampaikan di blog resminya, Global CBO & CEO di Asia Tenggara dan Timur Tengah Ankit Tandon mengatakan permintaan terhadap kebutuhan akomodasi business travel mulai meningkat.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga melaporkan bahwa pergerakan wisatawan domestik mencapai 633 juta-703 juta per Oktober 2022. Di tahun ini, pergerakan wisatawan domestik diestimasi meroket 1,2 miliar-1,4 miliar. Kemudian, konsultan properti Jones Lang LaSalle (JLL) memperkirakan volume investasi bisnis hotel di Indonesia mencapai $300 juta di 2023.

Selain korporasi, pihaknya berencana melipatgandakan volume hotel premium di tahun ini. Saat ini, OYO menghadirkan akomodasi di segmen mid-premium melalui Townhouse Oak, Townhouse, Collection O, dan Capital O.

Di samping itu, Ankit menilai Indonesia adalah pasar paling matang dalam skala dan unit ekonomi. Pihaknya berupaya untuk mengambil peran sebagai katalisator demi memaksimalkan potensi pasar lokal dan inovasi teknologi untuk mengatasi kebutuhan pasar. “Kami siap untuk melayani customer dengan memaksimalkan pertumbuhan portofolio, inovasi teknologi, dan pilihan perjalanan domestik yang lebih accessible,” tuturnya.

Akomodasi bisnis

Pada 2022, OYO memaparkan ada kenaikan pemesanan pada segmen korporasi di Indonesia sebesar 237% menjadi 253 korporasi dari tahun sebelumnya yang hanya 75 korporasi. Pemesanan tersebut datang dari sektor keuangan, teknologi, startup, serta ritel dan logistik yang berlokasi Jakarta, Tangerang, Surabaya, Bekasi, dan Medan. Utamanya disumbang dari sektor keuangan yang menjadi kontributor terbesar bagi OYO Indonesia.

Pertumbuhan ini mengindikasikan bahwa business travel mulai berangsur bangkit dikarenakan pemerintah Indonesia bertahap melonggarkan travel restriction. Tingkat vaksinasi Covid-19 di kalangan masyarakat juga terus bertambah.

OYO juga mulai memperkuat inovasi untuk menghadirkan pengalaman dan fitur baru kepada para pelancong. Menurut Ankit, kemampuan beradaptasi masa kini dapat menghasilkan pertumbuhan lebih tinggi. Pihaknya memberikan keleluasaan kepada tim teknologi untuk bereksperimen dan menemukan cara baru dalam mengurangi kompleksitas dan meningkatkan penghematan biaya.

Saat ini, OYO menawarkan opsi storefront yang luas mulai dari aplikasi OYO, web dan mobile web, hingga platform OTA. Selain itu, pihaknya juga mengembangkan OYO 360 atau tool berbasis AI untuk self-onboarding dengan two-click platform.

Navigasi strategi

Sejumlah platform penyedia akomodasi atau OTA telah menavigasi strateginya agar dapat keluar dari tekanan situasi yang sempat menurunkan layanannya. RedDoorz yang merupakan pesaing kuat OYO juga baru saja mengumumkan pencapaian BEP di 2022 dengan pertumbuhan pendapatan lima kali lipat.

Dalam paparannya, petinggi RedDoorz mengumumkan strategi bisnis menjadi new-age hospitality. Salah satunya masuk ke bisnis properti lewat merek “Sans Hotel” yang telah digaungkan dari akhir 2020. Sans Hotel mengincar pelancong dari generasi Z dan milenial yang memadukan teknologi pintar dan harga terjangkau.

RedDoorz mengklaim telah mengakomodasi sekitar 3.000 properti di 257 kota di Indonesia. Jumlah tersebut tumbuh 55% sejak 2019. Pihaknya juga menyebut bahwa perubahan strategi ini membuktikan resiliensi bisnis RedDoorz di tengah pandemi.

Sementara, OYO mencakup pencapaian baru dengan 100 juta unduhan di global pada 2021. Per Januari 2020, OVO mengakomodasi sebanyak 43.000 properti dan 1 juta kamar di 800 kota di dunia. Pesaing lain yang tersisa kini adalah Zen Rooms. Sebelumnya, ada Airy yang akhirnya menyerah pada Mei 2020.

Application Information Will Show Up Here

airasia Super App Indonesia Resmi Diluncurkan, Hadirkan Layanan “Ride-Hailing” di Bali

Setelah sebelumnya mengumumkan beberapa layanan baru, airasia Super App Indonesia akhirnya resmi meluncur di tanah air pada 2 November 2022 kemarin. Pertama kali hadir di Malaysia pada 2020, Indonesia menjadi negara ketiga setelah Thailand dan Filipina untuk ekspansi regional airasia Super App.

Sejak pandemi memukul bisnis perjalanan dan pariwisata, Capital A (sebelumnya AirAsia Group) diketahui secara aktif menghadirkan layanan baru sebagai upaya menumbuhkan pendapatan non-maskapainya. Dengan kehadiran superapp ini, pengguna diharapkan bisa merasakan pengalaman liburan yang lengkap melalui satu aplikasi.

Dalam peresmian yang berlangsung di Bali ini, turut hadir secara virtual CEO airasia Super App Amanda Woo. Ia mengaku sangat optimis dan menyebut Indonesia memiliki potensi pertumbuhan yang sangat kuat. Meskipun persaingan superapp lokal telah didominasi sejumlah pemain utama, ia yakin dengan diferensiasi dan pendekatan berbeda yang dilakukan perusahaan.

“Kami percaya tidak ada superapp lain di luar sana yang benar-benar dapat menyatakan diri sebagai travel super app dan mampu memberikan pengalaman secara menyeluruh kepada penggunanya dengan menggabungkan segmen perjalanan dan gaya hidup dalam satu platform,” ujarnya.

Faktanya, airasia Super App merupakan satu-satunya travel superapp yang memiliki maskapai sendiri. Posisi ini memungkinkan perusahaan untuk mengoptimalkan database pengguna yang luas serta memperkuat segmen perjalanan. Secara keseluruhan, AirAsia sudah melayani lebih dari 51 juta penumpang dengan lebih dari 128 destinasi di 21 negara.

Dengan platform Online Travel Agent (OTA) yang terintegrasi, pengguna airasia Super App dapat melakukan pemesanan tiket pesawat dengan lebih dari 700 maskapai global dan memiliki pilihan akomodasi di lebih dari 700.000 inventori hotel seluruh dunia. Hingga saat ini, jumlah pengguna aktif harian airasia Super App disinyalir ada sekitar 1,25 juta orang.

Sebenarnya upaya menjadi travel superapp juga didengungkan unicorn lokal Traveloka. Konsepnya serupa, menggabungkan layanan akomodasi, pengalaman liburan, sampai dengan keuangan di dalam satu aplikasi.

airasia ride

Di kesempatan yang sama, airasia Super App sekaligus meluncurkan layanan transportasi ride-hailing roda empat, airasia ride. Sebelumnya, layanan airasia money dan food delivery sudah lebih dulu meluncur di Indonesia. Saat ini jangkauan layanan airasia ride baru sebatas Bali saja, namun pihaknya optimis bisa menjangkau pasar yang lebih luas.

Sebelumnya, airasia sempat mencuri perhatian dengan menawarkan kesempatan bagi pengemudi airasia ride untuk menjadi karyawan tetap dengan gaji bulanan lebih dari Rp10 juta di Malaysia. Ketika disinggung terkait benefit para pengemudi di Indonesia, pihaknya masih enggan memberi komentar. Layanan airasia ride sendiri sudah membuka pendaftaran untuk posisi driver sejak Oktober 2022.

“Kami akan terus mengupayakan bahwa tarif yang diterima pengemudi dipastikan adil. Hal ini merujuk pada salah satu nilai yang kami tawarkan yaitu Super Value, dengan berkomitmen memberikan tarif terbaik tidak hanya bagi para pengguna, tetapi juga pengemudi,” ujar Country Head of E-Commerce airasia Super App Arbi Wienandar.

Untuk bisa menikmati layanan ini, pengguna dapat mengunduh aplikasi airasia Super App, lalu geser ke kategori Delivery dan pilih menu ride. Kemudian, pilih titik tujuan yang diinginkan dan metode pembayaran sebelum memesan. Untuk saat ini, pilihan pembayaran yang tersedia hanyalah tunai atau kartu kredit/debit online.

Ketika disinggung mengenai target, pihaknya belum mau menjelaskan secara detail. Namun, perusahaan mengungkapkan fokus utamanya adalah untuk mengembangkan destinasi wisata utama dengan menyasar turis mancanegara, dimulai dari Bali. “Kami ingin mengoptimalkan layanan ini di Bali terlebih dulu,” tegas Arbi.

Di Indonesia sendiri, pemain ride-hailing masih didominasi duo hijau Grab dan Gojek. Bukan hanya itu, di Bali, airasia ride di Bali juga memiliki kompetitor lain, yaitu Maxim dan InDriver. Nama terakhir yang disebut memiliki pendekatan yang cukup berbeda dengan memungkinkan penumpang untuk mematok tarif di awal.

Application Information Will Show Up Here

Mengulik Lebih Dalam Ambisi “airasia SuperApp” di Indonesia

AirAsia bermula dari sebuah ide untuk menghadirkan moda perjalanan udara yang terjangkau untuk semua kalangan; dan menggerakkan industri perjalanan di Asia. Bisnis dimulai dengan 2 pesawat udara, melayani 6 rute di Malaysia pada Januari 2022.

20 tahun berselang, mimpi itu telah membuahkan jutaan ide baru yang berhasil menopang pertumbuhan bisnis perusahaan. AirAsia kini berkembang menjadi sebuah maskapai yang melayani lebih dari 128 destinasi di 21 negara. Tidak hanya itu, bisnisnya kini telah merambah dunia digital, menyediakan semua kebutuhan perjalanan dan pariwisata dalam satu aplikasi yang dinamakan “airasia SuperApp”.

Transformasi digital airasia sudah dimulai sejak awal beroperasi di tahun 2002 dengan memperkenalkan layanan online booking melalui situs resminya. Kemudian, melakukan ekspansi regional ke beberapa negara tetangga, termasuk Indonesia. AirAsia Indonesia diluncurkan pada tahun 2005, ketika itu pengguna internet di tanah air ada di angka 16 juta orang.

Satu dekade berlalu, perkembangan teknologi internet turut mengakselerasi demokratisasi di berbagai industri, termasuk perjalanan. Jika sebelumnya masyarakat masih bergantung pada travel agent untuk mengatur jadwal mereka, hadirnya OTA (Online Travel Agent) memungkinkan individu untuk bisa mengatur rencana perjalanan mereka sendiri. Beberapa pemain yang sudah dikenal termasuk Traveloka, Tiket.com, Pegipegi, dan sejumlah lainnya.

Pandemi Covid-19 berdampak terhadap semua industri di dunia, perjalanan dan pariwisata termasuk yang paling parah. Pembatasan interaksi mengharuskan masyarakat untuk tidak melakukan perjalanan. Akibatnya, sejumlah penerbangan sempat ditiadakan, para penyedia akomodasi merasa kesulitan karena kamar tidak terisi, begitu pula fasilitas ride-hailing yang sepi penumpang.

Alih-alih duduk diam meratapi kerugian dan menyerah dengan situasi, maskapai ini mencoba bangkit dengan memaksimalkan potensi digitalnya. Tidak dapat dimungkiri bahwa pandemi menjadi katalis bagi konsumen untuk bermigrasi ke platform digital. Perusahaan melihat hal ini sebagai kesempatan besar untuk melanjutkan transformasi digital hingga akhir, dimulai dengan SuperApp.

airasia SuperApp Indonesia

Inisiatif aplikasi super ini dimulai di Malaysia, menawarkan lebih dari 15 jenis produk dan layanan di bawah tiga pilar utama, yaitu travel, e-commerce, dan fintech dengan airasia rewards, Unlimited, dan airasia pocket sebagai benang merah yang mengikat seluruh ekosistem menjadi satu kesatuan.

Sumber: Laporan tahunan AirAsia 2021

Dalam waktu satu tahun, aplikasi super ini telah berkembang secara fenomenal, tidak hanya meningkatkan produknya dan penawaran layanan untuk menjadi aplikasi perjalanan dan gaya hidup, tetapi juga basis pengguna dan daya tariknya dalam hal volume dan nilai transaksi. Satu per satu layanan ini mulai menggencarkan ekspansi.

Pada April 2022, perusahaan menunjuk Delly Nugraha, yang sebelumnya menjabat CEO Carsome Indonesia, untuk memimpin strategi eksekusi airasia SuperApp Indonesia. Belum lama ini, DailySocial.id diberi kesempatan untuk berdiskusi dengan Delly terkait pengembangan aplikasi super ini di Indonesia.

Delly mengakui, pada dasarnya pengembangan aplikasi super ini dimungkinkan oleh teknologi yang dimiliki perusahaan. “Dulu karena belum banyak yang berani mencoba, selalu ada resistance. Kalau sekarang, penggeraknya juga sudah banyak. Perkembangan internet semakin canggih, jangkauan semakin luas. Kita juga punya sejarah sebagai perusahaan airlines yang sukses. It is only make sense to develop this superapp, and we are optimistic to grow bigger.”

Meskipun belum resmi meluncur, masyarakat Indonesia sudah bisa menggunakan layanan airasia SuperApp secara terbatas. Dalam aplikasinya, terdapat 4 kategori yang ditawarkan yaitu Travel, Delivery, Money, dan Play. Layaknya OTA pada umumnya, layanan ini menawarkan pengalaman berwisata yang terjangkau dan terencana. Mulai dari pemesanan tiket pesawat, hotel, hingga paket liburan yang ekonomis.

Di luar perjalanan, airasia SuperApp juga dilengkapi dengan layanan digital lainnya, termasuk fintech. Pada bulan Maret 2022, layanan marketplace produk finansial airasia Money meresmikan operasional mereka di tanah air, menawarkan solusi keuangan yang terjangkau, dari asuransi, investasi, pengiriman uang, dan penggalangan dana sosial, bersama para mitra.

Selanjutnya, di kategori delivery, layanan pesan-antar makanan airasia Food yang diluncurkan pada bulan yang sama semakin memperluas jangkauannya di beberapa area seperti, Tangerang, Jawa Barat, diikuti oleh Jakarta pada bulan Juni. Saat ini, untuk armada pengantaran makanan, perusahaan bermitra dengan lini bisnis pengantaran Gojek (sekarang GoTo), GoSend.

Keterlibatan airasia dengan Gojek tidak hanya sebatas itu. Sebelumnya, airasia telah mengakuisisi 100% operasional bisnis ride-hailing dan fintech Gojek di Thailand dengan nilai $50 juta atau sekitar 700 miliar Rupiah. Pada kesempatan itu, Tony dan Kevin menyinggung potensi kemitraan bersama selanjutnya tanpa merincikan detailnya.

Dalam menyediakan solusi tersebut, perusahaan bekerja sama dengan mitra. Misalnya, PasarPolis (insurtech), Bareksa (e-investing), Rumah Zakat (lembaga sosial), dan Wise (remitansi) untuk airasia Money. Kemudian, di kategori Play bersama TrueID untuk menyediakan konten streaming audio, video, dan artikel dengan tema travel, food, dan lifestyle yang dapat diakses secara gratis.

Terkait pengembangan superapp ini, Delly juga menegaskan bahwa DNA perusahaan ada pada bisnis perjalanan. Melalui transformasi digital, airasia mencoba menjangkau semua lini bisnis terkait, dan pada akhirnya akan melengkapi bisnis inti. Superapp hadir sebagai value added business untuk bisnis penerbangan airasia.

“Di samping itu, kita melihat ada potensi cross-selling yang sangat besar dalam industri ini. Satu rencana perjalanan bisa melibatkan berbagai aktivitas, mulai dari pemesanan tiket, akomodasi, rekreasi dan lainnya. Dengan menyediakan opsi-opsi tersebut dalam satu platform, kami yakin bisa menopang kinerja SuperApp seterusnya,” ungkapnya.

Tantangan dan peluang

Setidaknya empat layanan yang ditawarkan melalui airasia SuperApp sudah memiliki kompetitornya masing-masing di pasar Indonesia. Dari sisi pengantaran makanan, duopoli GoFood dan GrabFood akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemain baru di industri ini.

Salah satu OTA unicorn, Traveloka, mencoba peruntungan dengan layanan TravelokaEats. Menjelang dua tahun eksistensinya, perusahaan harus rela menutup lini bisnis ini dengan alasan efisiensi per 31 Oktober 2022. Salah satu yang masih bertahan adalah ShopeeFood, juga beberapa layanan pesan-antar makanan restoran tertentu.

Delly tidak melihat keberadaan layanan-layanan tersebut sebagai kompetisi. SuperApp memosisikan diri sebagai pelengkap ekosistem yang sudah ada. “Dari sisi ride hailing, kita tidak bermimpi mengalahkan Gojek atau Grab. Namun, bagaimana caranya market yang belum teredukasi, belum jadi market aktif bisa kita jangkau. Kita mengutamakan kolaborasi.

Kolaborasi dalam hal ini tidak diartikan sebagai kompetisi di dalam. “Kita dukung pihak GoSend untuk mengembangkan bisnis lebih masif, otomatis jangkauan ekspansi juga bertambah. Objektif kita untuk mengantarkan makanan ke konsumen kita juga tercapai. Prinsip kolaborasi lebih dikedepankan daripada kompetisi,” tegas Delly.

Sebagai sebuah entitas yang berbasis di Malaysia, Delly juga mengakui adanya perbedaan kondisi pasar di pusat dan wilayah ekspansi. Di Malaysia sendiri tidak ada ride hailing sepeda motor seperti di tanah air. Menurutnya, selain karena alasan regulasi, karakteristik negara dan populasi juga tidak mendukung adanya layanan ojek online.

Di Indonesia, layanan ride hailing airasia dikabarkan segera mengaspal di pusat pariwisata tanah air, Bali. Terkait armada, Delly mengungkapkan bahwa perusahaan akan bekerja sama dengan rekanan yang sudah memiliki izin. Hal ini merujuk pada regulasi dari pemerintah yang mengharuskan perusahaan memiliki lisensi untuk bisa mengoperasikan bisnis ini.

Dengan lini bisnis yang cukup beragam, perusahaan mengaku bahwa strategi ekspansi juga akan berbeda-beda. “Ride-hailing datang setelah food delivery, karena strategi kita sangat berpatokan dengan kondisi market sekarang dan juga perilaku konsumen yang kita targetkan. Ekspansinya bergantung apa yang ingin kita capai,” pungkas Delly.

Delly juga mengungkapkan bahwa kompleksitas bisnis ini dipengaruhi oleh bermacam-macam aspek, seperti kecukupan sumber daya dan finansial. Airasia melihat hal ini dengan sangat baik dan mempersiapkan semua yang diperlukan agar bisa menggerakkan bisnis.

“Kita punya sumber dayanya, kita punya teknologinya, kita punya supply dan modal. Saya melihat bahwa faktor-faktor dasar untuk sebuah korporasi melakukan aksi membangun sebuah startup dan membuat ekosistem itu sudah diperhitungkan,” ujar Delly.

Dari sisi modal, airasia SuperApp Indonesia masih menerima induksi internal dari induk perusahaan yang di awal tahun ini mengumumkan rebranding menjadi Capital A. Selain itu, perusahaan juga dikabarkan tengah dalam proses penggalangan dana dan berencana untuk segera melantai di bursa New York tahun depan.

Pada tahun 2021, airasia SuperApp diakui oleh Credit Suisse sebagai salah satu dari tiga unicorn di Malaysia, dengan perkiraan nilai lebih dari $1 miliar. Hal ini berhasil dicapai melalui inovasi produk/layanan on-demand yang ditawarkan, termasuk empat produk baru yang telah ditambahkan ke dalam platform untuk memperluas lini bisnisnya.

Disinggung mengenai target, pihaknya masih belum mau membeberkan angka yang spesifik. Saat ini perusahaan masih fokus mengembangkan SuperApp dengan tujuan untuk memberi nilai tambah tidak hanya bagi pelaku industri tetapi juga konsumen di setiap lini bisnis yang ditawarkan.

“Nilai tambah ini kita berikan untuk melengkapi ekosistem perjalanan. Itu yang ingin kita capai. Kemudian, market Indonesia secara umum masih besar sekali dan belum sepenuhnya digarap dengan optimal. Masih ada peluang secara geografis, layanan, juga dari sisi perilaku konsumen,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

[Video] Bobobox Tambah Layanan dan Terapkan “Contactless Experience”

DailySocial bersama CEO Bobobox Indra Gunawan membahas  tantangan yang dihadapi perusahaan selama pandemi dua tahun terakhir. Ia juga bercerita strategi ekspansi yang dilakukannya Bobobox untuk memberikan kemudahan bagi pelanggan mendapatkan penginapan.

Untuk video menarik lainnya seputar strategi bisnis dan kontribusi sejumlah startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi DScussion.

Menempati Posisi Tertinggi: Mengungkap Seluk Beluk Bisnis Traveloka (Bagian 2 dari 2)

Bagian 1 menyajikan perjalanan awal Traveloka serta perkembangannya mulai dari pilihan tiket penerbangan menjadi banyak hal diluar itu.

Adalah momen yang pasang surut bagi petinggi Traveloka.

Pada tahun 2018, Derianto Kusuma mengundurkan diri dari posisinya sebagai Chief Technology Officer dan meninggalkan perusahaan dengan alasan “benturan aspirasi.”

Kemudian, pembatasan perjalanan pada tahun 2020 menyebabkan pemesanan dihentikan selama pandemi, yang membahayakan kelangsungan hidup perusahaan. Traveloka harus merumahkan sekitar 100 orang, atau sekitar 10% dari tenaga kerjanya, pada bulan April. Pada bulan Agustus, total pengembalian dana mencapai hampir 100 juta dolar AS. Namun, perputaran cepat ke layanan baru menawarkan jalan hidup, dan Traveloka mampu melakukannya sebagai sebuah perusahaan.

Saat ini, Ferry Unardi masih memimpin sebagai CEO, dengan Albert tetap menjadi bagian dari dewan dan mengawasi operasional sehari-hari sebagai salah satu pendiri perusahaan. Petinggi senior lainnya termasuk mantan konsultan BCG, Caesar Indra, presiden; pengusaha kawakan Alfan Hendro, COO; dan CTO, Ray Frederich, dengan pengalaman sekitar 20 tahun di perusahaan teknologi dan perusahaan konsultan global.

Pandemi belum berakhir, tetapi Traveloka telah membuktikan bahwa mereka dapat melewati situasi yang mengombang-ambingkan bisnis di berbagai skala. Para petinggi mengatakan perusahaan kini bangkit menjadi “lebih kuat” daripada sebelum virus korona menjangkit seluruh penjuru, dan bersiap untuk “simbol ticker” dalam beberapa bulan mendatang.

Bertahan lalu bangkit

Pada tahun 2020, ketika pemesanan perjalanan meredup dalam semalam dan pengembalian dana menggunung, Traveloka membutuhkan uang tunai — secepat mungkin. Memanfaatkan salah satu layanan tekfinnya, perusahaan memulai kampanye “Beli Sekarang, Menginap Nanti”, di mana pengguna dapat membayar voucher hotel dan menggunakannya di kemudian hari. Traveloka Xperience menyelenggarakan aktivitas online seperti kelas memasak dengan chef profesional. Live streaming flash sale dan tur secara langsung menyuguhkan distraksi menyenangkan bagi orang-orang yang terkurung di rumah, bisa jadi menanam ide untuk tujuan liburan ketika perjalanan internasional kembali diizinkan.

Semua inisiatif itu membuat Traveloka bertahan di saat-saat genting. Sekarang, dengan pelonggaran lockdown di Asia Tenggara, lalu lintas platform meningkat ke situasi sebelum pandemi.

Lebih luas lagi, bisnis inti perusahaan, perjalanan, berangsur-angsur pulih. Volume transaksi Traveloka sekarang berada di angka 50%, menurut kepala komunikasi korporat Traveloka, Reza Juniarshah.

Traveloka tetap gesit di tahun 2020 ketika transaksi terkikis. Mereka menawarkan berbagai produk baru untuk mempertahankan arus kas masuk. Dokumentasi oleh Traveloka.

“Sejak Juli tahun lalu, pemulihan terjadi secara konsisten di semua pasar kami, terutama di Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Dengan keberhasilan penerapan langkah-langkah pengelolaan COVID-19 di Thailand dan Vietnam, kepercayaan konsumen terhadap perjalanan semakin meningkat. Di Indonesia, perjalanan domestik sedang meningkat, terutama dengan lonjakan tren staycation yang secara bertahap berkontribusi pada pemulihan sektor pariwisata Indonesia,” sebut Reza.

Berhasil melewati pandemi dan bangkit kembali dalam beberapa bulan terakhir telah membawa angin segar bagi Traveloka. Perusahaan ini adalah salah satu dari sedikit pembangkit tenaga teknologi Asia Tenggara yang bersaing untuk IPO di New York pada tahun 2021. Awal tahun ini, Ferry mengatakan kepada Bloomberg bahwa perusahaan sedang meninjau jalur untuk go public. Investor awal mereka, Willson Cuaca, co-founder dan managing partner East Ventures, menyambut baik rencana ini. Rekam jejak perusahaan melalui pandemi membuktikan bahwa Traveloka cukup dewasa untuk melihat sahamnya diperdagangkan secara publik, menurut Willson.

Bersiap melantai di bursa

“Traveloka sudah siap untuk go public tahun ini dan 2021 adalah waktu yang tepat. Respons mereka terhadap krisis berhasil dengan baik sejak tahun lalu. Pada akhir tahun 2020, mereka telah mencapai profitabilitas dan seiring dengan pemulihan dunia setelah vaksinasi, saya yakin Traveloka juga berada dalam posisi yang baik untuk pulih dengan kuat,” ujar Willson. Traveloka saat ini memiliki valuasi pasar sekitar USD 3 miliar, tetapi Willson percaya bahwa angkanya “harus bernilai jauh lebih tinggi daripada yang diperkirakan”.

Herston Powers dari 1982 Ventures juga percaya bahwa tahun 2021 merupakan waktu yang tepat bagi Traveloka untuk mencatatkan sahamnya di pasar publik. Dengan profit yang berhasil dicetak perusahaan serta kinerja saham Sea Group sebagai pedoman, mungkin tidak ada waktu yang lebih baik dari tahun ini bagi Traveloka dan perusahaan teknologi Asia Tenggara lainnya untuk hijrah ke Wall Street.

“Jendela terbuka lebar dan perusahaan punya beberapa jalur menuju bursa, seperti IPO tradisional, SPAC, atau mendaftar langsung. Kami khawatir bursa IPO akan ditutup sebelum kami melihat gelombang keluar yang berarti dari wilayah tersebut,” ujar Herston.

Herston menambahkan bahwa investor AS bertaruh pada perjalanan global dan hospitality untuk bisa meningkat pesat. “IPO dan kinerja saham Airbnb menunjukkan minat investor di sektor ini, dan kami berharap antusiasme ini menyebar ke Asia Tenggara dan Asia Selatan. Konsumen di pasar negara berkembang yang berkembang pesat, seperti Indonesia, telah terbiasa dengan perjalanan dan rekreasi, dan tren ini tidak akan berhenti meskipun sempat terhenti sejenak di awal pandemi.”

Traveloka telah mengumpulkan total USD 1,2 miliar dalam enam putaran, menurut Crunchbase. Jumlah ini termasuk JD.com, Sequoia Capital, dan Hillhouse Capital Group sebagai investor. Pada 2018, perusahaan unicorn ini diam-diam mengakuisisi tiga saingannya — PegiPegi di Indonesia, Mytour di Vietnam, dan TravelBook di Filipina — dari perusahaan Jepang Recruit Holdings seharga USD66,8 juta. Langkah ini memberi Traveloka pijakan yang kuat di Asia Tenggara dan sekarang memimpin industri OTA di wilayah tersebut.

Perusahaan juga telah melakukan investasi di beberapa startup regional, seperti platform insurtech PasarPolis serta platform loyalitas dan pemasaran Member.id di Indonesia, perusahaan teknologi acara PouchNation Singapura, dan pengembang perangkat lunak POS Vietnam KiotViet. Traveloka adalah salah satu dari dua unicorn Indonesia yang memiliki kehadiran kuat di kawasan ini (yang lainnya adalah Gojek), menyematkan prestise ketika menuju ke bursa.

“Momentum sangat penting bagi Traveloka, karena pasar modal adalah tentang waktu. Anda membutuhkan investor institusional untuk berada dalam mode berisiko. Jika pasar ambruk, tidak ada yang akan keluar untuk IPO,” sebut Herston. “Di luar koreksi pasar besar atau pandemi lainnya, kami sangat optimis terhadap prospek Traveloka sebagai perusahaan terbuka.”

Traveloka dikabarkan telah mengadakan diskusi dengan beberapa perusahaan cek kosong, termasuk entitas yang baru dibentuk seperti Bridgetown Holdings dan Provident Acquisition. Namun, perusahaan belum mengungkapkan detail persiapan IPO-nya. Para petinggi Traveloka mengungkapkan optimismenya terhadap masa depan perusahaan dalam berbagai kesempatan. Berhasil melewati pandemi yang relatif tanpa cedera adalah pencapaian penting. Sekarang, perusahaan tersebut harus membuktikan bahwa mereka cukup dewasa untuk mengikuti jalur yang pertama kali dibuka oleh Sea Group Singapura dan hijrah ke New York.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Menempati Posisi Tertinggi: Mengungkap Seluk Beluk Bisnis Traveloka (Bagian 1 dari 2)

Sepuluh tahun lalu, Ferry Unardi adalah seorang mahasiswa di Harvard Business School. Berasal dari Padang, sebuah kota di Sumatera Barat, Ferry kerap kesulitan ketika ingin melakukan penerbangan dari kampung halamannya ke Amerika Serikat.

Prosesnya sangat rumit. Untuk pulang, Ferry memesan penerbangan untuk membawanya dari Boston ke Jakarta. Ketika sampai di ibu kota Indonesia dia baru bisa membeli tiket tambahan untuk kembali ke Padang, ungkapnya pada majalah Prestige di tahun 2018. Rumit, memakan waktu, dan sulit untuk direncanakan.

Frustrasi dengan masalah yang harus dia hadapi sebagai frequent flyer antara Amerika Serikat dan Indonesia selama sekitar delapan tahun, Ferry memutar otak kewirausahaannya dan mulai mencari solusi, percaya bahwa ini bisa menjadi sebuah bisnis. Dia bekerja sama dengan mantan rekannya bernama Derianto Kusuma, serta seorang teman lama dari sekolah bernama Albert (hanya Albert). Ferry meninggalkan Harvard. Setahun kemudian, ketiganya resmi mendirikan Traveloka di Jakarta.

Nama perusahaan adalah gabungan kata dari bisnis utamanya dan loka, kata Sansekerta yang berarti “dunia” atau “alam semesta”. Seorang juru bicara perusahaan mengatakan Traveloka dimaksudkan untuk diartikan secara harfiah sebagai “dunia perjalanan”.

Sampai ke tahun 2021. Traveloka telah menjadi biro perjalanan online terbesar di Indonesia. Aplikasinya telah diunduh lebih dari 60 juta kali, dan platform ini memiliki sekitar 40 juta pengguna aktif bulanan. Perusahaan juga mengatakan memiliki lebih dari 150 maskapai penerbangan rekanan dengan total 200.000 rute penerbangan internasional dan domestik. Selain itu, lebih dari 800.000 hotel, vila, dan wisma di 100 negara terdaftar.

Valuasi Traveloka kini disinyalir mencapai USD3 miliar. Tahun ini, Ferry berencana membawa Traveloka ke pasar saham AS, kemungkinan melalui merger SPAC untuk menghindari proses IPO konvensional. Sebelum itu terjadi, berikut merupakan seluk beluk yang perlu Anda ketahui tentang perusahaan.

Pencapaian Traveloka

Mari menganalogikan Traveloka sebagai Expedia di Asia Tenggara. Daftarnya mencakup hampir setiap elemen perjalanan – penerbangan, hotel, atraksi, dan aktivitas. Pengguna dapat menyesuaikan dan membayar seluruh rencana perjalanan dalam platform. Layanannya mencakup Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Vietnam, dan Australia.

Traveloka dimulai sebagai situs pencarian dan perbandingan tiket penerbangan, yang secara fungsional mengotomatiskan sebagian tugas agen perjalanan yang Ferry pesan ketika masih di Harvard. Dengan limpahan uang tunai dari East Ventures pada tahun 2012 – beberapa tahun sebelum startup “booming” di Indonesia – ketiga pendiri membangun situs ini. Tidak lama kemudian mereka menyadari bahwa pelanggan menginginkan lebih dari sekedar hasil pencarian. Ada komponen utama yang hilang: jika orang bisa memesan tiket pesawat dan membayar tiketnya hanya dengan beberapa klik, Traveloka bisa benar-benar menjadi biro perjalanan online. Kuncinya adalah kenyamanan yang belum tersedia sebelumnya.

Transformasi itu terjadi pada 2013, namun timnya tidak berhenti sampai di situ. Tahun berikutnya, Traveloka menambah vertikal pemesanan hotel dan meluncurkan aplikasi untuk Android dan iOS. Hal ini sejalan dengan pergeseran kebiasaan di Indonesia – ponsel menjadi hal lumrah, dan orang-orang mulai mengarah ke online. Traveloka bersiap melayani para pelanggan muda yang lebih nyaman membeli melalui perangkat pribadi.

Namun Traveloka telah berkembang jauh melampaui dua suku kata pertama dari namanya. Perusahaan telah terjun ke industri fintech, memastikan bahwa pelanggannya memiliki jalur untuk membayar apa yang dijual Traveloka. Lalu, hal ini menjadi penting untuk memfasilitasi transaksi besar dalam skala massal dari hari ke hari.

Perusahaan dilaporkan mengakuisisi perusahaan pembayaran digital lokal Dimo ​​Pay pada tahun 2018, namun pihaknya masih belum mengakui perannya dalam kesepakatan tersebut. Bagaimanapun, Traveloka merilis fitur PayLater tidak lama kemudian, yang dikembangkan bersama dengan pemberi pinjaman peer-to-peer Danamas. Saat itu, Traveloka adalah perusahaan (bukan fintech) pertama di Indonesia yang memasuki layanan “beli sekarang, bayar nanti”. Langkah tersebut memastikan Traveloka mampu menarik pengguna baru yang bukan nasabah lembaga keuangan formal dan konvensional.

“Kami memulai fintech untuk memfasilitasi pemesanan perjalanan oleh konsumen di Indonesia yang mungkin tidak memiliki kartu kredit atau uang tunai untuk membayar penuh dalam pemesanan perjalanan. Karena banyak pelanggan kami menggunakan aplikasi untuk berbagai transaksi, kami percaya bahwa pendapat pengguna yang kami peroleh memungkinkan kami untuk mengelola penawaran pinjaman kami dengan tepat,” Kepala Komunikasi Korporat Traveloka, Reza Juniarshah mengatakan kepada KrASIA. Perusahaan telah memfasilitasi lebih dari 6 juta pinjaman melalui layanan tersebut, sebutnya. Dan tidak hanya sampai di situ: Traveloka menjalin kemitraan dengan Bank BRI pada 2019, dan keduanya merilis kartu kredit yang dirancang untuk pengguna terdaftarnya. Tahun lalu, Traveloka menjalin kerja sama serupa dengan Bank Mandiri.

Dibalik tingginya valuasi perusahaan

Traveloka menyandang status unicorn pada Juli 2017, ketika mengantongi investasi sebesar USD350 juta dari Expedia, perusahan yang menjadi inspirasi awal Ferry. Daftar pendukungnya juga termasuk Global Founders Capital, GIC sovereign wealth fund Singapura, dan Qatar Investment Authority.

Saat ini, nilai perusahaan ditentukan oleh diversifikasinya, tetapi Traveloka memiliki banyak pesaing saat memasuki arena baru fintech. “Traveloka tidak unik dalam mencoba menangkap nilai peluang fintech di Asia Tenggara. Setiap raksasa teknologi dan perusahaan jasa keuangan tradisional semakin serius tentang strategi fintech mereka karena potensi pasarnya sangat besar, dan kami ikut mengawali sektor ini di kawasan,” kata Herston Powers, mitra pengelola dari 1982 Ventures, yang berinvestasi di perusahaan rintisan fintech dan teknologi perjalanan.

Dengan demikian, pergerakan ini dapat memulai fase baru konsolidasi di Asia Tenggara. Dengan semakin banyaknya perusahaan yang memasuki dunia fintech, akan ada peluang baru bagi startup fintech untuk menjalin hubungan dengan pemain mapan dan mencari jalan keluar melalui merger dan akuisisi, kata Powers.

Inovasi baru telah memperluas jangkauan Traveloka. Pada 2019, jajaran asuransi perusahaan Traveloka Protect diluncurkan. Hal itu menginisiasi program asuransi kesehatan syariah yang disebut Bebas Handal untuk pelanggan Muslim bersama FWD Group yang berbasis di Hong Kong.

Fintech mungkin terbukti menjadi ruang tahan bencana di mana Traveloka dapat tumbuh lebih dalam lagi. Ke depannya, perusahaan berniat fokus di sektor ini. Dalam wawancara dengan KrASIA tahun lalu, salah satu pendiri, Albert, mengatakan Traveloka akan memperluas penawaran fintechnya “secara vertikal dan geografis”. Perusahaan juga dikabarkan sedang mempersiapkan layanan keuangan lokal untuk Thailand dan Vietnam. Baru-baru ini mereka membentuk usaha patungan dengan salah satu bank terbesar di Thailand untuk pengembangan fintech baru, meskipun detailnya belum terungkap.

Mengungguli fintech

Sebagai investor awal, Managing Partner East Ventures, Willson Cuaca optimis dengan status Traveloka sebagai perusahaan multi-vertikal yang sedang berkembang sebagai perusahaan multinasional. “Traveloka memperkenalkan produk ‘beli sekarang, bayar nanti’, kartu kredit, dan pembayaran digital kepada pelanggannya sejak dua tahun lalu. Platformnya sudah matang dan maju, oleh karena itu inilah saat yang tepat untuk memperluas layanan keuangan ke Vietnam dan Thailand,” ujsr Willson.

Selain fintech, Traveloka juga merambah ke layanan gaya hidup dan hiburan. Juga meluncurkan halaman untuk direktori restoran, Kuliner Traveloka, pada tahun 2018. Sub-merek bernama Xperience diluncurkan pada tahun 2019. Terdapat sekitar 15.000 kegiatan di lebih dari 60 negara, mencakup acara, film, serta kelas khusus dan lokakarya.

Layaknya platform besar lainnya yang telah memberikan kemudahan untuk memesan makanan hanya dengan beberapa sentuhan di aplikasi, Traveloka Eats kini menawarkan layanan pengantaran untuk beberapa lokasi, meskipun belum begitu menguasai pangsa pasar Grab Food dan GoFood Gojek, keduanya semakin populer di Asia Tenggara. Namun, Traveloka sedang berusaha untuk menjadi aplikasi yang mencakup semua layanan perjalanan dan gaya hidup di wilayah ini, dan pivot yang dilakukan telah mengakselerasi perusahaan dalam melalui rintangan perjalanan internasional di tahun 2020.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Potensi Traveloka PayLater Bersaing di Pasar Vietnam dan Thailand

Kemunculan paylater atau buy now pay later (BNPL), atau yang di Indonesia dikenal sebagai paylater, yang hadir di dalam platform digital berupaya mendefinisikan ulang persepsi “utang”.

Dalam suatu wawancara, Executive VP Products and Innovation Asia Pacific Mastercard Sandeep Malhotra menerangkan, Covid-19 mampu mengakselerasi transformasi digital di berbagai sektor, termasuk layanan e-commerce tanpa terkecuali.

Transaksi digital beralih secara cepat dan mulus, membuka peluang besar bagi merchant dan issuer yang menawarkan fleksibillitas kepada konsumen untuk membayar nanti saat melakukan pembayaran di toko dan platform online.

“Menggunakan cicilan untuk melakukan pembelian saat ini menjadi lebih populer bagi orang-orang di seluruh dunia yang menginginkan pilihan pembayaran yang lebih luas, kemampuan untuk mengelola arus kas dengan lebih baik, dan kenyamanan menggunakan uang mereka sendiri untuk mengatur pembayaran, sekaligus untuk peralatan rumah tangga, perangkat TV, dan berbagai item lain yang lebih besar,” terangnya Malhotra.

Di negara maju, popularitas BNPL menjamur di banyak negara. Di Amerika Serikat, misalnya, disebutkan BNPL telah menyumbang $24 miliar pada tahun lalu dari total transaksi e-commerce. Angka ini tumbuh drastis daripada volume kartu kredit tradisional. Diproyeksikan transaksi BNPL di seluruh dunia tembus $350 miliar hingga 2025.

Inisiasi BNPL dipionirkan startup yang berada di negara Barat, seperti Klarna (Swedia), Affirm (Amerika Serikat), dan Afterpay (Australia). Di negara-negara Asia Tenggara sendiri, dengan tingkat penetrasi akses produk keuangan yang masih rendah, pemain BNPL kian memberikan warna.

Dalam perjalanannya Asia Tenggara, memiliki sejumlah champion di segmen BNPL dan hadir di lebih dari satu negara. Beberapa nama adalah Akulaku, Kredivo, Atome, Home Credit, Hoolah, OctiFi, Oriente, Pace, dan Pine Labs.

Indonesia, Malaysia, dan Filipina menjadi negara sasaran para pemain di atas.  Thailand dan Vietnam menjadi negara tersisa dengan populasi pemain BNPL yang minim. Singapura tidak masuk dalam radar mengingat posisinya yang dominan di semua aspek ekonomi dibanding negara tetangganya.

Saat ini, Thailand baru dihuni oleh Pace dan Pine Labs, sementara Vietnam dihuni oleh Akulaku, Atome, dan Home Credit. Pemain lain, seperti Hoolah, Oriente, dan Pine Labs, sedang mempersiapkan kehadirannya.

Traveloka, yang memiliki produk BNPL di Indonesia, berencana memboyong layanannya ini ke Thailand dan Vietnam dalam waktu dekat. Mengutip dari Reuters, kehadiran BNPL diharapkan dapat mendongkrak transaksi perjalanan domestik di kedua negara tersebut, mengingat keduanya telah berhasil melalui melampaui level pra-Covid-19.

Kondisi ekonomi di sana merefleksikan kinerja Traveloka yang membaik, terutama di bisnis perjalanan yang diklaim sudah mencetak untung pada akhir tahun lalu. “Rencananya adalah berinvestasi di fintech secara besar-besaran untuk memungkinkan lebih banyak konsumen melakukan perjalanan di kawasan ini,” kata Presiden Traveloka Caesar Indra.

Untuk mewujudkan wacana tersebut, perusahaan sedang berdiskusi dengan calon mitra institusi lokal di kedua negara tersebut.

Traveloka PayLater, yang merupakan produk Caturnusa Finance Sejahtera Finance, juga bermitra dengan Danamas, anak usaha Grup Sinarmas. Indra mengklaim, sejak dirilis dua tahun lalu, layanannya telah memfasilitasi lebih dari enam juta pinjaman.

DailySocial pernah membuat ulasan bagaimana memandang Traveloka (baca: Caturnusa) sebagai perusahaan fintech. Dengan besarnya ticket size belanja produk akomodasi, hal ini menjadi sumber bisnis yang bagus buat perusahaan.

Kondisi di Vietnam dan Thailand

Dalam suatu laporan disebutkan, Singapura, Indonesia, Vietnam, dan Thailand adalah empat negara yang paling menjanjikan buat industri p2p lending. Singapura bisa dibilang pusat regional terkuat di kawasan ini.

Vietnam kaya akan inovasi dan jumlah perusahaan rintisan dari negara tersebut telah meningkat secara eksponensial selama beberapa tahun terakhir. Salah satu pasar yang harus diperhatikan. Sementara Indonesia adalah rumah bagi banyak unicorn dan startup yang menjanjikan dan Thailand adalah penghasil bakat dan inovasi teknologi yang kuat.

Faktor pendorong lainnya, dibalik menariknya Thailand dan Vietnam, selain karena pemain yang masih sedikit, juga potensi adopsi digital yang terus tumbuh. Laporan e-Conomy 2020 menyebutkan, Thailand memiliki pertumbuhan 30% konsumen baru yang berkontribusi terhadap layanan ekonomi digital. Diprediksi GMV dari negara tersebut tumbuh 25% menjadi $53 miliar pada 2025 mendatang dari posisi $18 miliar di 2020.

Sementara Vietnam mencatatkan pertumbuhan 41% konsumen baru yang menggunakan layanan digital sepanjang pandemi. GMV diestimasi tumbuh 19% menjadi $52 miliar pada 2025 dari posisi tahun lalu sebesar $14 miliar.

BNPL sebenarnya bukan konsep baru. Secara konvensional, pengalaman bayar cicilan fleksibel adalah paket yang sudah umum hadir di kartu kredit yang diterbitkan bank. Namun pengalaman tersebut mengharuskan konsumen memiliki rekening bank dan lolos skoring kredit sebelum memiliki kartu kredit.

Metode tersebut membuat besarnya kesenjangan antara unbanked dan underbanked di kawasan ini. Menurut laporan Bain & Company di 2019, lebih dari 70% orang dewasa (sekitar 450 juta orang) masuk ke dalam dua kategori tersebut.

BNPL mengambil metode skoring yang berbeda untuk menyasar pengguna tanpa harus memiliki riwayat kartu kredit. Alhasil dua kategori yang tadinya tidak masuk radar perbankan kini jadi incaran para pemain BNPL, salah satunya Traveloka.

Menurut laporan National Financial Supervision Commission, pinjaman konsumtif di Vietnam berkembang pesat sejak 2015 dengan tingkat pertumbuhan 65% pada tahun 2017 dibandingkan dengan 50,2% pada tahun sebelumnya, persentase pinjaman konsumen dalam total kredit naik menjadi 18% pada tahun 2017 dari 12,3% pada tahun 2016.

Di balik itu, meski sebagian besar masyarakat Vietnam paham teknologi (84% dari populasi adalah pengguna smartphone pada akhir 2017), namun proses mendapatkan pinjaman sebagian besar dilakukan secara manual dan akibatnya, memakan waktu setidaknya 4-5 hari.

Menurut McKinsey, hingga akhir 2019, mayoritas pemain BNPL di Vietnam – delapan dari 16 perusahaan – dimiliki oleh atau bermitra dengan bank dengan pangsa pasar 60%, dipimpin oleh FE Credit, yang memegang hampir 50 persen. Sisanya, diisi pemain non bank yang mulai ramai dengan persentase 25%.

“Bisnis kredit konsumer juga semakin menjadi penyedia utama keuangan tanpa jaminan untuk segmen pelanggan yang secara tradisional tidak akan dilayani oleh bank dan yang harus menggunakan pemberi pinjaman uang,” kata Partner McKinsey & Co. Sumit Popli.

McKinsey juga menemukan bahwa Vietnam memiliki laba atas ekuitas (ROE) yang jauh lebih tinggi untuk kredit konsumen, sebesar 38% dengan margin yang meningkat pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata ASEAN, pada 15%-25%. Selain itu, pangsa pinjaman konsumer dalam total pinjaman Vietnam hanya sekitar 12%, dibandingkan dengan 34% di ASEAN dan 40%-50% di negara-negara maju.

Negara ini sedang bergerak dari fase jaminan tanah ke pinjaman konsumen yang lebih profesional, dengan pemain membangun tim manajemen profesional dan kapabilitas kelembagaan dan mengadopsi infrastruktur digital dan teknologi mutakhir.

Cara yang paling populer untuk perusahaan asing yang ingin masuk ke pasar keuangan Vietnam adalah dengan mengakuisisi saham di bank lokal atau membeli perusahaan keuangan alih-alih mendirikan perusahaan sendiri. Pasalnya, pembiayaan konsumen mengharuskan pemain memiliki pemahaman yang mendalam tentang pasar lokal dan kapabilitas operasional, yang hanya dapat dibawa oleh mitra lokal.

Masataka Yoshida, Senior Managing Director, Head of the Cross-Border Division, and CEO Vietnam Recof Corporation mengatakan, “Mendirikan perusahaan keuangan yang benar-benar baru di Vietnam akan menimbulkan banyak kesulitan hukum dan prosedural, sementara bekerja sama dengan mitra domestik memungkinkan investor asing masuk ke Vietnam dengan lebih cepat dan mudah.”

Kondisi tak jauh berbeda ditunjukkan Thailand. Pinjaman konsumtif baru menyumbang 0,2% dari total pinjaman ritel di industri perbankan Thailand, meskipun ada potensi untuk pertumbuhan lebih lanjut.

Di satu sisi, tantangan para pemain startup fintech di sini adalah mencari cara untuk memanfaatkan database lembaga keuangan mapan untuk skoring kredit. Otoritas Thailand secara hukum melarang startup menggunakan fasilitas berbagi data kredit.

Hal ini menghambat para pekerja lepas, wiraswasta, karyawan, yang belum pernah mendapat akses keuangan dari perbankan karena pendapatannya yang tidak konsisten. Karena alasan inilah sebagian besar perbankan memilih untuk menawarkan pinjaman kepada peminjam yang memiliki riwayat kredit yang baik atau klien baru yang berpenghasilan tetap dengan laporan bank yang diverifikasi.

Penghuni pasar ini dikuasai bank komersial karena punya basis data pelanggan yang besar. Persetujuan pinjaman pada dasarnya masih berdasarkan data konvensional. Dengan kata lain data pendapatan atau laporan bank yang mencerminkan kemampuan membayar utang pelanggan.

Karena kewewenangan ini, perbankan bermitra dengan sekutu bisnis dan penyedia layanan lainnya pada platform online terkemuka, seperti marketplace dan platform pengiriman makanan online besar dengan jaringan toko dan restoran yang luas.

Bank akhirnya mendapatkan akses ke data alternatif dari kelompok sasaran baru calon pelanggan untuk analisis pendapatan yang lebih efisien, misalnya omset penjualan, pesanan pembelian, dan pengembalian dana produk, bersama dengan ulasan produk dan layanan.


*Foto header: depositphotos.com