RedDoorz Seriusi Model B2B, Bidik Segmen Pelanggan Korporasi

RedDoorz mengumumkan telah membukukan pendapatan lebih dari Rp1 miliar dari segmen B2B pada semester pertama 2024. Prestasi ini mencerminkan pertumbuhan signifikan dalam permintaan dan kontribusi pendapatan dari pasar korporasi.

Head of Corporate Sales RedDoorz Indonesia Alif Aldila, menyatakan bahwa potensi di pasar korporasi sangat besar, dan perusahaan akan terus fokus menciptakan solusi inovatif untuk memenuhi kebutuhan mitra dan pelanggan.

“Kami senang dengan peluang yang ada saat ini dan yakin akan mencapai hasil positif yang berkelanjutan,” ujarnya.

Selama dua tahun terakhir, pasar korporasi RedDoorz tumbuh sebesar 195%, dengan lebih dari 3.000 perusahaan bermitra. Mitra tersebut termasuk Badan Usaha Milik Negara, perusahaan migas, instansi pendidikan, fintech, dan perusahaan ekonomi kreatif seperti rumah produksi film.

Permintaan akomodasi dari segmen korporasi tersebar di berbagai daerah seperti Sumatra Utara (Medan), Yogyakarta, Jawa Timur (Malang), dan Kalimantan Timur (Samarinda dan Balikpapan). Rata-rata, korporasi memiliki tingkat okupansi 100 hingga 200 kamar per malam setiap bulannya.

“Pencapaian ini menjadi tonggak penting yang didukung oleh penerapan struktur tarif baru dan strategi kemitraan yang kuat di pasar korporasi RedDoorz. Meski demikian, kami tetap berdedikasi untuk hasil maksimal di semua lini bisnis,” tutup Alif.

Pasar korporasi memberikan berbagai manfaat bagi mitra properti dan korporasi. Bagi pemilik properti, tidak hanya meningkatkan pendapatan, tetapi juga meningkatkan kualitas dan rating properti, serta pendapatan yang stabil. Sementara bagi korporasi, mereka mendapatkan harga spesial dengan potongan 30%, kamar gratis tambahan, komisi untuk pemesan pertama, serta jaminan properti berkualitas dengan harga terjangkau.

RedDoorz terus berinovasi di industri perhotelan dengan mengubah inventaris yang terfragmentasi menjadi akomodasi bermerek terstandar, menggunakan aplikasi seluler dan saluran digital untuk mendorong permintaan konsumen yang kuat. Didirikan pada 2015, RedDoorz telah berkembang di pasar regional. Kini beroperasi di Indonesia, Singapura, Filipina, Vietnam, dan Thailand, dengan lebih dari 3.700 mitra properti secara global.

Di Indonesia, RedDoorz bersaing langsung dengan sejumlah penyedia layanan serupa. Beberapa di antaranya OYO, Singgahsini by Mamikos, dan Bobobox. OYO juga memiliki cakupan di pasar regional, baru-baru ini mereka mengumumkan pendanaan $50 juta atau setara Rp810 miliar dari jajaran investor yang difasilitasi InCred Wealth and Investment.

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

OYO Umumkan Pendanaan Rp810 Miliar Difasilitasi InCred Wealth and Investment

OYO, platform global penyedia akomodasi budget, mengumumkan meraih pendanaan $50 juta atau setara Rp810 miliar dari jajaran investor yang difasilitasi InCred Wealth and Investment. Diklaim putaran ini menarik minat tinggi dari investor dengan permintaan melebihi 2,5x dari yang ditawarkan, mencapai $120 juta. Hal ini dinilai menunjukkan kepercayaan pasar yang kuat terhadap proposisi nilai perusahaan.

OYO juga telah mendapatkan persetujuan pemegang saham untuk meningkatkan modal saham dari $108 juta menjadi $161 juta, memberi perusahaan fleksibilitas untuk menawarkan saham baru dan mengejar peluang masa depan.

Di saat yang bersamaan, OYO sedang menyelesaikan re-payment untuk mengoptimalkan struktur permodalan dan mengurangi beban pembiayaan. Targetnya adalah mengumpulkan dana hingga $450 juta melalui penjualan obligasi dolar, yang diharapkan dapat menghemat bunga tahunan sebesar $15 juta.

Pada tahun pertama fiskal 2024, OYO melaporkan laba bersih setelah pajak sebesar $12 juta. Keberhasilan ini mendorong Fitch Rating untuk meningkatkan peringkat OYO dari ‘B-‘ menjadi ‘B’. Moody’s Investor Service juga memberikan rating B3 kepada OYO, mencatat pengendalian biaya dan pertumbuhan bisnis yang diharapkan akan meningkatkan EBITDA menjadi $125 juta pada tahun fiskal 2025.

Bersamaan dengan berita ini, OYO mengumumkan penunjukan Sumer Juneja dari SoftBank Vision Fund sebagai Direktur non-eksekutif. Saat ini OYO menawarkan lebih dari 40 produk dan solusi kepada lebih dari 170.000 pemilik properti di India, Eropa, Asia Tenggara, dan 35 negara lainnya untuk menyediakan akomodasi hemat budget kepada pelancong.

Di Indonesia, OYO bersaing langsung dengan sejumlah penyedia layanan serupa. Beberapa di antaranya Reddoorz, Singgahsini by Mamikos, dan Bobobox.

Seperti diberitakan sebelumnya RedDoorz sendiri cukup optimis untuk bisa meningkatkan bisnisnya tahun ini. Mereka membidik profitabilitas secara penuh pada 2024 usai merealisasikan arus kas positif (secara grup) pada kuartal akhir 2023. Terlepas dengan situasi pasar yang tengah tidak menentu, RedDoorz mencatat pertumbuh pendapatan sebesar 30% pada 2023 dan menjaga momentum pertumbuhannya di kisaran 30%-50% pada tahun ini.

Application Information Will Show Up Here
Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

Bobobox Dikabarkan Galang Pendanaan Seri B Rp128 Miliar, Salah Satunya dari Kakao Investments [UPDATED]

Startup akomodasi berbasis teknologi Bobobox dikabarkan telah menggalang pendanaan putaran pendanaan seri B. Putaran ini bernilai $8,3 juta (lebih dari Rp128 miliar).

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari VentureCap, sejumlah investor turut serta dalam putaran tersebut, di antaranya Kakao Investments, Best Trade Developments Limited, Bravo Castle Limited, Emtek, dan investor terdahulunya, Alpha JWC Ventures.

Bobobox merupakan startup ketiga asal Indonesia yang bergabung ke dalam portofolio Kakao, setelah Kopi Kenangan dan GoWork.

Kepada DailySocial, perwakilan Bobobox membenarkan informasi terkait pendanaan ini. Kemudian, perwakilan Emtek membenarkan adanya investasi ini, namun turut disampaikan juga bahwa investasi ke Bobobox telah diberikan oleh perseroan sejak dua tahun yang lalu.

Hubungan antara Co-founder Bobobox Indra Gunawan dengan Emtek bukanlah baru. Sebagai konteks, Indra sebelumnya pernah merintis startup game Artoncode Indonesia pada 2012. Startup tersebut diakuisisi oleh Emtek, yang saat itu memegang lisensi BBM, pada dua tahun kemudian.

Bobobox terakhir kali mengumumkan pendanaan Seri A senilai $11,5 juta pada Mei 2020. Horizons Ventures dan Alpha JWC Ventures menjadi investor lead dalam putaran tersebut.

Berdiri sejak 2018 di Bandung, Bobobox berambisi ingin menjadi perusahaan gaya hidup yang relevan bagi generasi muda dengan menyediakan pengalaman tidur dan istirahat yang berkesan melalui inovasi teknologi, desain modular yang ramah lingkungan.

Diklaim saat ini perusahaan memiliki lebih dari 1.262 kamar, terdiri dari Bobocabin (elevated camping), Bobopod (hotel kapsul), dan Boboliving (indekos/co-living) yang tersebar di 28 lokasi di Indonesia, seperti Bandung, Banyumas, Bogor, Kintamani, Malang, Ubud, Toba Samosir, umba, dan Yogyakarta.

Adapun untuk tingkat okupansi kamar rata-rata dapat dipertahankan di angka 90%. Sebanyak 80% pesanan penginapan dilakukan secara langsung (direct-transaction) melalui aplikasi Bobobox.

Dengan konsep teknologi ramah lingkungan, perusahaan ikut meramaikan tren wellness tourism yang kian populer di tahun ini. Dari riset berbagai sumber seperti Agoda Travel Trend Survey (2023) dan Wellness Tourism Global Market Report 2023, nilai pasar dari wellness tourism berpotensi tembus $2,1 triliun serta peningkatan CAGR sebesar 12,42% pada tahun 2030.

Hal ini salah satunya didukung dengan peningkatan preferensi wisatawan, terutama di kalangan generasi muda yang cenderung memilih wellness tourism bertemakan alam terbuka. Data menunjukkan 41% generasi milenial sudah mulai menganggarkan untuk investasi di wellness experience, salah satunya wellness tourism tersebut.

*) Kami menambahkan pernyataan tambahan dari Emtek dan Bobobox

Application Information Will Show Up Here

RedDoorz Targetkan Capai Profitabilitas Tahun Ini, Rencanakan IPO di 2027

Melalui model bisnisnya yang unik, RedDoorz ingin mendukung lanskap hotel tradisional dan membuka peluang baru bagi para traveler yang mencari alternatif akomodasi yang terjangkau dan nyaman. Sejak meluncur tahun 2015, platform budget hotel ini telah mengalami transformasi dan mulai fokus ekspansif di pasar utamanya, yakni Indonesia dan Filipina.

Kepada DailySocial.id, Founder & CEO RedDoorz Amit Saberwal mengungkapkan rencana perusahaan yang ingin mencapai profitabilitas tahun ini dan mempercepat ekspansi.

Fokus sebagai multi-brand hospitality platform

RedDoorz mulai menempatkan posisi mereka sebagai multi-brand terbesar di kategori hospitality di Asia Tenggara. Fokus perusahaan juga kembali kepada core business, yaitu penyediaan kamar kepada turis lokal dengan pendekatan kepada harga dan kualitas menyesuaikan standardisasi perusahaan.

Indonesia sebagai pasar terbesar bagi RedDoorz, telah memberikan kontribusi paling signifikan untuk perusahaan. Hal tersebut dilihat dari makin banyaknya jumlah mitra hotel hingga potensi pasar yang semakin meningkat jumlahnya.

Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta masih termasuk dalam kategori lokasi yang memiliki mitra hotel paling besar jumlahnya, demikian juga dengan jumlah pengguna. Bali yang sejak tahun 2021 lalu mulai kembali membuka diri untuk turis lokal dan asing, dinilai juga mulai mengalami pertumbuhan positif.

“Pemulihan pandemi di Indonesia terbilang lambat prosesnya, berbeda dengan negara di barat seperti Amerika Serikat dan Eropa. Namun demikian saat ini mulai terlihat pertumbuhan yang positif. Di RedDoorz sendiri kami mendapatkan momentum tersebut tahun ini saat bulan suci ramadan,” kata Amit.

Ditambahkan olehnya, sebelum pandemi jumlah okupansi RedDoorz telah mencapai 60%, namun saat ini baru mencapai 44%; diperkirakan akan terus bertambah ke depannya.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, saat perusahaan harus memberikan awareness kepada pengguna dan mitra terkait dengan layanan dan teknologi yang ditawarkan RedDoorz, saat ini masyarakat Indonesia mulai dewasa atau mature dan mengerti model bisnis dan layanan yang ditawarkan.

Kondisi ini ternyata mempengaruhi perusahaan untuk memberikan ragam layanan yang berbeda. Bukan hanya hotel bintang dua dengan harga miring, namun pilihan hotel lainnya yang masuk dalam kelas premium. Tercatat saat ini RedDoorz telah memiliki opsi penginapan yang berbeda. Mulai dari Sans Hotels, Koolkost, RedPartner, Sunerra Hotels, UrbanView Hotels, RedLiving dan The Lavana.

Pilihan hotel di RedDoorz / RedDoorz
Opsi hotel di RedDoorz / RedDoorz

Pilihan tersebut juga diklaim bisa memberikan peluang bagi mitra hotel RedDoorz untuk mengedepankan konsep staycation dan desain “Instagrammable”, yang saat ini mulai banyak dicari oleh masyarakat luas terkait dengan pilihan penginapan mereka.

Target capai profitabilitas

Hingga 2023, RedDoorz sudah memiliki 10 juta pengguna aplikasi dan bermitra dengan 3.200 mitra properti yang tersebar di 257 kota di Indonesia. Meskipun masih mengendalkan pihak ketiga untuk pemesanan, namun tercatat sebanyak 70% pemesanan atau booking berasal dari aplikasi RedDoorz.

“Fokus kami dalam 3-6 bulan ke depan adalah mencapai profitabilitas. Selain itu kami juga optimis dapat menambah revenue, menambah jumlah mitra hotel. Di sisi lain kita juga memangkas pengeluaran dengan menerapkan sistem otomisasi. Ke depannya kami ingin mencapai profitabilitas dan melancarkan rencana IPO tahun 2027 mendatang,” kata Amit.

Disinggung apakah RedDoorz masih berencana untuk melakukan kegiatan penggalangan dana, menurut Amit jika memang ada investor yang menawarkan dan waktunya tepat, peluang tersebut tentunya tidak akan mereka lewatkan. Namun demikian perusahaan masih fokus kepada pengembangan bisnis.

Tahun 2019 lalu perusahaan telah memperoleh pendanaan seri C senilai $70 juta (mendekati 1 triliun Rupiah). Putaran pendanaan tersebut dipimpin Asia Partners dengan partisipasi dua investor baru, Rakuten Capital dan Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund. Investor sebelumnya, Qiming Venture Partners dan International Finance Corporation (IFC) juga kembali memberikan dukungannya dengan ikut berpartisipasi.

Potensi pasar dan kompetisi

Salah satu keunggulan yang diklaim hanya dimiliki oleh RedDoorz saat ini sebagai hospitality platform adalah, keberadaan mereka di Indonesia sejak tahun 2015. Sulitnya perusahaan untuk mempelajari pasar dan perilaku konsumen secara menyeluruh, saat ini ternyata telah menjadi kunci sukses RedDoorz masih bisa bertahan dibandingkan pemain lainnya.

Beberapa pemain yang sebelumnya sempat hadir di Indonesia di antaranya adalah AiryRooms (tutup layanan tahun 2020) dan ZenRooms (dikabarkan berubah menjadi Yanolja).

Sementara itu operator hotel bujet OYO yang sempat mengalami pasang-surut berbisnis, masih mampu bertahan dan mengestimasi total Gross Booking Value (GBV) pada tahun buku 2023 naik 23% menjadi $1,3 miliar dibandingkan tahun lalu di mana bisnis akomodasi memberikan kontribusi tertinggi.

Terkait dengan adanya potensi pemain baru asing dan lokal yang menghadirkan solusi serupa, Amit menyebutkan hal tersebut tidak menjadi masalah. Dilihat dari masih besarnya peluang bagi mereka untuk menjangkau lebih banyak pemilik hotel skala UMKM di Indonesia dan pengalaman mereka selama ini menyasar segmen budget hotel dengan mengedepankan teknologi di Indonesia.

“Kami memosisikan diri kita seperti Marriot untuk hotel bintang dua. Kami adalah perusahaan teknologi yang menyasar kepada industri yang masih belum tersentuh dengan teknologi,” kata Amit.

RedDoorz juga telah mengumumkan pencapaian BEP di 2022 dengan pertumbuhan pendapatan lima kali lipat. Selain Indonesia, RedDoorz juga beroperasi di Singapura, Vietnam, Filipina, dan Thailand.

Di bulan Oktober 2022, RedDoorz Indonesia dan Filipina disebut telah mencapai break even point (BEP) atau tidak lagi merugi. Fokus perusahaan saat ini adalah Indonesia dan Filipina yang ditargetkan menjadi dua pasar terbesar mereka di Asia Tenggara.

“Berbeda dengan Indonesia yang kebanyakan didominasi oleh turis lokal, di Filipina banyak warga negaranya yang bekerja di luar negeri kembali ke kampung halaman saat liburan natal. Kondisi tersebut menjadikan hotel kita menjadi pilihan untuk tempat tinggal dalam kurun waktu yang tidak lama. Mereka yang kemudian menjadi target pengguna kita di Filipina,” kata Amit.

Application Information Will Show Up Here

OYO Indonesia Genjot Akomodasi di Segmen Bisnis dan Premium

Oravel Stays Ltd, induk usaha dari operator hotel bujet OYO, mengungkap bahwa EBITDA positif diperkirakan bakal terealisasi untuk pertama kalinya pada tahun buku 2023. Pihaknya mengestimasi EBITDA yang disesuaikan pada semester II tahun buku 2023 naik tiga kali lipat menjadi $24 juta dibandingkan semester I.

Mengutip pemberitaan Inc42, kenaikan tersebut terjadi berkat pengurangan sejumlah elemen biaya sehingga perusahaan dapat menikmati efisiensi operasional, pertumbuhan di segmen bisnis, dan profitabilitas operasional yang terus berlanjut.

Dalam keterangan resminya, OYO mengestimasi total Gross Booking Value (GBV) pada tahun buku 2023 naik 23% menjadi $1,3 miliar dibandingkan tahun lalu di mana bisnis akomodasi memberikan kontribusi tertinggi. OYO juga menambah tim di Business Development untuk mendongkrak penambahan jumlah properti sekitar 15% pada semester II tahun buku 2023. 

Segmen bisnis memang tengah digencarkan OYO di Indonesia sebagai salah satu core market-nya di Asia Tenggara dan global. Disampaikan di blog resminya, Global CBO & CEO di Asia Tenggara dan Timur Tengah Ankit Tandon mengatakan permintaan terhadap kebutuhan akomodasi business travel mulai meningkat.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga melaporkan bahwa pergerakan wisatawan domestik mencapai 633 juta-703 juta per Oktober 2022. Di tahun ini, pergerakan wisatawan domestik diestimasi meroket 1,2 miliar-1,4 miliar. Kemudian, konsultan properti Jones Lang LaSalle (JLL) memperkirakan volume investasi bisnis hotel di Indonesia mencapai $300 juta di 2023.

Selain korporasi, pihaknya berencana melipatgandakan volume hotel premium di tahun ini. Saat ini, OYO menghadirkan akomodasi di segmen mid-premium melalui Townhouse Oak, Townhouse, Collection O, dan Capital O.

Di samping itu, Ankit menilai Indonesia adalah pasar paling matang dalam skala dan unit ekonomi. Pihaknya berupaya untuk mengambil peran sebagai katalisator demi memaksimalkan potensi pasar lokal dan inovasi teknologi untuk mengatasi kebutuhan pasar. “Kami siap untuk melayani customer dengan memaksimalkan pertumbuhan portofolio, inovasi teknologi, dan pilihan perjalanan domestik yang lebih accessible,” tuturnya.

Akomodasi bisnis

Pada 2022, OYO memaparkan ada kenaikan pemesanan pada segmen korporasi di Indonesia sebesar 237% menjadi 253 korporasi dari tahun sebelumnya yang hanya 75 korporasi. Pemesanan tersebut datang dari sektor keuangan, teknologi, startup, serta ritel dan logistik yang berlokasi Jakarta, Tangerang, Surabaya, Bekasi, dan Medan. Utamanya disumbang dari sektor keuangan yang menjadi kontributor terbesar bagi OYO Indonesia.

Pertumbuhan ini mengindikasikan bahwa business travel mulai berangsur bangkit dikarenakan pemerintah Indonesia bertahap melonggarkan travel restriction. Tingkat vaksinasi Covid-19 di kalangan masyarakat juga terus bertambah.

OYO juga mulai memperkuat inovasi untuk menghadirkan pengalaman dan fitur baru kepada para pelancong. Menurut Ankit, kemampuan beradaptasi masa kini dapat menghasilkan pertumbuhan lebih tinggi. Pihaknya memberikan keleluasaan kepada tim teknologi untuk bereksperimen dan menemukan cara baru dalam mengurangi kompleksitas dan meningkatkan penghematan biaya.

Saat ini, OYO menawarkan opsi storefront yang luas mulai dari aplikasi OYO, web dan mobile web, hingga platform OTA. Selain itu, pihaknya juga mengembangkan OYO 360 atau tool berbasis AI untuk self-onboarding dengan two-click platform.

Navigasi strategi

Sejumlah platform penyedia akomodasi atau OTA telah menavigasi strateginya agar dapat keluar dari tekanan situasi yang sempat menurunkan layanannya. RedDoorz yang merupakan pesaing kuat OYO juga baru saja mengumumkan pencapaian BEP di 2022 dengan pertumbuhan pendapatan lima kali lipat.

Dalam paparannya, petinggi RedDoorz mengumumkan strategi bisnis menjadi new-age hospitality. Salah satunya masuk ke bisnis properti lewat merek “Sans Hotel” yang telah digaungkan dari akhir 2020. Sans Hotel mengincar pelancong dari generasi Z dan milenial yang memadukan teknologi pintar dan harga terjangkau.

RedDoorz mengklaim telah mengakomodasi sekitar 3.000 properti di 257 kota di Indonesia. Jumlah tersebut tumbuh 55% sejak 2019. Pihaknya juga menyebut bahwa perubahan strategi ini membuktikan resiliensi bisnis RedDoorz di tengah pandemi.

Sementara, OYO mencakup pencapaian baru dengan 100 juta unduhan di global pada 2021. Per Januari 2020, OVO mengakomodasi sebanyak 43.000 properti dan 1 juta kamar di 800 kota di dunia. Pesaing lain yang tersisa kini adalah Zen Rooms. Sebelumnya, ada Airy yang akhirnya menyerah pada Mei 2020.

Application Information Will Show Up Here

Strategi “New-Age Hospitality” Mengantar RedDoorz Capai BEP di 2022

Startup jaringan perhotelan di Asia Tenggara, RedDoorz, berhasil membuktikan strategi mereka dalam bertahan di masa pandemi. Di tahun 2022, perusahaan mencatat pertumbuhan pendapatan hingga 5x lipat dibandingkan sebelum pandemi.

Sebelumnya, mereka sempat mengumumkan rencana perubahan strategi bisnisnya untuk menjadi perusahaan new-age hospitality. Salah satu strategi utama perusahaan adalah membangun merek hotel baru “Sans Hotel” di akhir tahun 2020.

Melalui ‘brand’ ini, RedDoorz membidik pelancong dari generasi Z dan milenial dengan mengedepankan konsep akomodasi yang youthful, design-inspired, dan warmth dengan memadukan teknologi pintar dan harga terjangkau.

Perubahan strategi ini terbukti mendorong pengembangan jumlah properti perusahaan mencapai 55 persen sejak tahun 2019. Hingga saat ini, RedDoorz telah mengakomodasi sekitar 3 ribu properti di 257 kota di seluruh Indonesia. Pencapaian ini menjadi sebuah pembuktian resiliensi bisnis RedDoorz di tengah masa pandemi.

Diluncurkan sejak tahun 2015, Indonesia menjadi pasar terbesar RedDoorz. Meskipun begitu, RedDoorz juga beroperasi  di Singapura, Vietnam, Filipina, dan Thailand. Di bulan Oktober 2022, RedDoorz Indonesia dan Filipina disebut telah mencapai break even point (BEP) atau tidak lagi merugi.

Regional VP Marketing RedDoorz Henry Manampiring mengungkapkan, “Melalui implementasi strategi dan fundamental bisnis yang berfokus kepada property owners dan customers, kami berhasil memenuhi janji kami untuk mencapai BEP di tahun 2022.” Dengan pencapaian ini, setiap pemasukan yang didapatkan perusahaan ke depannya akan terhitung sebagai keuntungan.

Memasuki tahun 2023, RedDoorz membagikan beberapa strategi dan rencana untuk meningkatkan kinerja bisnis ke depannya. Salah satunya dengan memperbarui sistem loyalty program menjadi lebih sederhana untuk meningkatkan pengalaman pemesanan dan menginap. RedDoorz juga akan memperkuat jaringan offline seller dan memperluas jangkauan propertinya.

VP of Multibrands RedDoorz Adil Mubarak juga menambahkan, “Melalui berbagai strategi dan inisiatif, perusahaan menargetkan untuk meningkatkan jumlah properti hingga dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya dan mencapai BEP untuk RedDoorz Southeast Asia di Q4 2023.”

Industri budget hotel di Indonesia

Berdasarkan data BPS, jumlah usaha penyedia akomodasi, termasuk hotel berbintang di Indonesia pada tahun 2021 tercatat sebesar 24.1 ribu, menurun dari tahun sebelumnya di tengah tekanan dari pandemi Covid-19. Angka tersebut menurun 10,43% dari tahun sebelumnya. Walaupun tren penurunan terjadi di seluruh kategori, akomodasi seperti hotel melati dan vila terpukul lebih keras.

Memasuki tahun 2022, industri pariwisata mulai kembali bangkit. Menurut data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), pergerakan wisatawan domestik di tahun 2022 sudah menunjukkan angka yang positif. Tercatat per November 2022 terdapat 800 juta pergerakan, di atas target yaitu 550 juta pergerakan.

Dari sisi online travel agent (OTA), kebangkitan juga tengah dirasakan beberapa pemain di tanah air. Salah satunya Tiket.com yang di masa pandemi telah meluncurkan beberapa inovasi baru dengan menawarkan pengalaman online. Dalam wawancara bersama DailySocial.id, CEO Tiket.com George Hendrata mengungkap bahwa di masa pandemi sekalipun, pasarnya masih bertumbuh.

Dalam pasar hotel budget Indonesia, OYO sebagai pesaing langsung RedDoorz tengah mengembangkan jumlah pilihan akomodasi segmen premiumnya. Perusahaan juga menargetkan untuk melengkapi properti dengan perangkat teknologi yang dapat membantu pelanggan merancang, dan menjalankan penawaran promosi mereka sendiri untuk meningkatkan okupansi dan mendukung pemaksimalan pendapatan.

Di Indonesia sendiri, selain RedDoorz dan OYO, beberapa perusahaan yang menawarkan fasilitas hotel budget adalah Bobobox dan ZenRooms. Startup sejenis lainnya, Airy, sudah lebih dulu gulung tikar. Platform tidak lagi menampilkan listing untuk pemesanan di atas tanggal 31 Mei 2020.

Application Information Will Show Up Here

Platform Manajemen Hotel “Zuzu Hospitality” Dikabarkan Galang Dana Tambahan Dipimpin JG DEV

Platform SaaS manajemen hotel Zuzu Hospitality Solutions (rebrand dari Zuzu Hotels) dikabarkan menggalang pendanaan lanjutan sebesar $10,9 juta (sebesar 158 miliar Rupiah). Menurut sumber, putaran ini dipimpin oleh JG DEV, diikuti Visor Ventures.

JG DEV atau JG Digital Equity Ventures, merupakan venture arm dari JG Summit Holdings, Inc., konglomerat digital terkemuka di Filipina, yang berfokus pada Asia Tenggara. Menurut informasi yang kami dapat, investor sebelumnya turut berpartipasi, seperti Wavemaker Partners, Line Ventures. Ada juga Seeds Capital selaku investor baru di putaran ini.

Saat dihubungi DailySocial.id, Co-founder Zuzu Hospitality Vikram Malhi enggan membicarakan terkait pendanaan yang diterima perusahaan. Ia pun menjanjikan pembaruan bisnis yang lengkap dari Zuzu dalam beberapa bulan mendatang. “Terima kasih telah menghubungi kami. Kami tidak tertarik untuk mendorong terlalu banyak hanya pada berita pendanaan saat ini,” ucapnya.

Putaran Seri A sebelumnya berhasil direngkuh perusahaan pada Maret 2019 sebesar $3,7 juta, yang dipimpin Wavemaker Partners, investor yang turut menemani perjalanan Zuzu sejak pendanaan awal.

Pasca-pivot dan tidak menjalankan bisnis budget hotel (B2C), Zuzu fokus memberikan solusi manajemen untuk sistem operasi hotel (B2B). Melalui implementasi sistem digital miliknya, rata-rata hotel dapat menghadirkan efisiensi untuk meningkatkan pendapatan online hingga 30%.

Misi Zuzu ialah memastikan hotel dapat fokus memberikan suguhan layanan terbaik bagi para tamunya, tanpa harus pusing mengurus operasional dan implementasi perangkat lunak yang berbelit untuk pelayanan.

Cakupan operasionalnya tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Thailand, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan berkantor pusat di Singapura. Diklaim pada 2020 kemarin, solusi Zuzu telah dimanfaatkan oleh lebih dari 2 ribu mitra hotel di regional Asia Pasifik.

Di Indonesia sebelumnya juga sudah ada layanan serupa yang memberikan sistem operasi untuk membantu manajemen perhotelan. Salah satunya ialah Caption, startup hospitality berbasis di Yogyakarta, namun demikian akhirnya tutup.

Industri pariwisata mulai pulih

Mengacu dari data Badan Pusat Statistik (BPS), secara kumulatif sepanjang kuartal I 2022 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia mencapai 74.380 kunjungan, naik 228,24% dibandingkan periode yang sama tahun 2021. Pada Maret 2022, jumlah kunjungan wisman melonjak sebesar 203,94% dibandingkan Maret 2021. Tercatat jumlah kunjungan wisman melalui bandara Ngurah Rai-Bali menunjukkan peningkatan yang luar biasa sebesar 487 ribu persen, dari 3 menjadi 14.617 kunjungan.

Momentum mudik dan libur Lebaran 2022 akan menjadi sinyal positif bagi industri pariwisata lokal, seiring dengan pelonggaran kebijakan Covid-19. Tren perjalanan di momentum libur Lebaran tahun ini pun diprediksi masih akan mengikuti tren 2021.

Menurut OYO Travelopedia 2021, yang telah melakukan survei kepada 2 ribu partisipan di berbagai negara, termasuk di Indonesia, menunjukkan adanya peningkatan tren selama 2021 dalam hal perjalanan menuju destinasi di wilayah terpencil dan dekat dengan nuansa alam, hingga preferensi bepergian jalur darat dengan kendaraan pribadi atau road-trip.

Selain itu, lebih dari sepertiga responden Indonesia mengungkapkan lebih menyukai dan memilih bepergian dengan mobil atau sepeda motor pribadi untuk melakukan perjalanan melalui jalan darat. Diperkirakan juga pada momen libur Lebaran 2022, hampir 40% pemudik akan menggunakan jenis kendaraan pribadinya untuk melakukan perjalanan ke kampung halamannya. Dalam hal menginap pun, hotel menjadi pilihan utama dibanding tipe akomodasi lainnya.

Pulihnya sektor pariwisata menjadi sinyal positif bagi pelaku bisnis hospitality, termasuk untuk platform pendukung bisnis seperti yang disuguhkan Zuzu. Ini juga menjadi momentum bagi para pebisnis untuk mengejar kembali capaian yang mungkin sempat tersendat akibat berbagai pembatasan di tengah pandemi.

PouchNATION Alih Fokus ke Sektor Perhotelan, Traveloka Kembali Berikan Pendanaan

Traveloka kembali terlibat dalam pendanaan PouchNATION. Saat ini startup berbasis di Singapura tersebut tengah menggalang pendanaan untuk putaran lanjutan, beberapa investor mulai berpartisipasi di tahap bridge round. Selain Traveloka, pemodal lain yang turut andil adalah SOSV, Artesian, Found Ventures, Huashan Capital, dan beberapa angel investor.

Sebelumnya pada Juni 2019, Traveloka memimpin putaran pendanaan seri B PouchNATION. Kala itu startup pengembang layanan pemesanan tiket hiburan TIX.id juga turut terlibat memberikan investasi.

Kini masuk ke industri perhotelan

Dana segar yang didapat akan dimanfaatkan PouchNATION untuk mempercepat pertubuhan bisnis platform perhotelan. Lewat produk “Contactless Hospitality PouchNATION”, mereka membantu pengelola hotel meningkatkan standar higienis dan memberikan pengalaman tanpa kontak bagi para tamu yang menginap.

Pengalaman yang diberikan, setelah tamu tiba akan diberikan kartu atau gelang NFC yang berfungsi sebagai pengenal digital, kunci pintu, serta dompet digital untuk mengakses berbagai layanan yang disediakan. Hal ini memungkinkan tamu untuk membeli makanan dan minuman, atau menukarkan voucher sarapan tanpa kontak fisik.

Awalnya solusi gelang NFC ini diterapkan PouchNATION untuk tiket masuk ke pagelaran acara, menggantikan tiket kertas yang sebelumnya banyak dipakai. Selain memudahkan verifikasi, teknologi yang diterapkan juga memungkinkan penyelenggara acara melakukan analisis, misalnya terkait arus keluar-masuk pengguna, untuk kebutuhan pelaporan. Kini PouchNATION juga mulai menyematkan fitur fintech ke dalam platformnya, sehingga memungkinkan perangkat yang diberikan memproses pembayaran.

Pergeseran fokus bisnis ini tak lain disebabkan karena dampak pandemi. Kegiatan acara seperti festival musik, konferensi, dll yang menjadi pasar utama PouchNATION harus ditiadakan atau digelar secara online.

“Kami selalu merasa bahwa adopsi teknologi yang lebih cepat dapat memainkan peran besar dalam memberikan pengalaman yang lebih baik bagi industri perhotelan. Memang, pandemi telah mempercepat tren itu dan saat ini banyak penyedia perhotelan merangkul teknologi contactless untuk menjamin standar higienitas yang lebih tinggi bagi tamu mereka,” ujar VP Growth PouchNATION Ricardo Santos.

Jadi fokus bisnis selanjutnya

Model bisnis Contactless Hospitality ini dinilai telah terbukti dan diterima oleh pasar. Dari implementasi yang sudah dilakukan di 7 negara, solusi PouchNATION diklaim telah digunakan 2 juta tamu hotel dan membukukan $100 juta nilai transaksi.

Selanjutnya perusahaan akan memusatkan perhatian bisnis ke sana. Disampaikan juga sudah ada sejumlah rencana besar di tahun 2022 untuk menguatkan kehadirannya di Asia Tenggara dan Amerika Latin dengan produk SaaS untuk membantu industri perhotelan mentransformasi layanan mereka.

“PouchNATION saat ini sedang dalam diskusi untuk menutup putaran pendanaan tambahan untuk memperluas sistem SaaS di luar perbatasan Asia dan mengejar strategi yang benar-benar global,” imbuhnya.

RedDoorz Umumkan Perubahan Strategi, Masuk ke Bisnis Properti Lewat “Sans Hotel”

Platform pemesanan hotel online RedDoorz mengumumkan rencana perubahan strategi bisnisnya untuk menjadi perusahaan new-age hospitality terbesar di Asia Tenggara. Salah satunya strategi utama perusahaan adalah membangun merek hotel baru “Sans Hotel” yang bakal hadir pertama kali pada November ini.

Sans Hotel membidik pelancong dari generasi Z dan milenial dengan mengedepankan konsep akomodasi yang youthful, design-inspired, dan warmth dengan memadukan teknologi pintar dan harga terjangkau.

Apalagi, data BPS mencatat populasi usia produktif (15-64 tahun) diestimasi mencapai 179,1 juta orang pada 2020, 63,5 juta berasal dari kalangan milenial. Ini menjadikan milenial sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, termasuk sektor pariwisata.

Dihubungi DailySocial secara terpisah, VP Operations RedDoorz Adil Mubarak mengatakan bahwa rencana untuk menjadi platform multibrand sudah dipertimbangkan sejak lama, bahkan sebelum terjadi Covid-19. Ini merupakan visi baru perusahaan untuk menjadi ekosistem produk yang mendukung kebutuhan dari setiap merek.

“Saat ini, finansial kami berada dalam posisi baik, terutama dalam mengeksekusi perubahan strategi kami dan meluncurkan Sans Hotel. Sejak hari pertama, kami fokus untuk membangun bisnis dengan fundamental keuangan yang kuat karena memungkinkan kami berpikir konkret terhadap fase pertumbuhan berikutnya,” jelasnya.

Adil menyadari bahwa industri pariwisata dan hospitality terpukul hebat akibat pandemi, tak terkecuali bisnis RedDoorz yang terdampak sejak Maret 2020. Kendati demikian, ia memastikan bahwa pihaknya tetap memperhitungkan secara matang segala hal termasuk biaya yang akan dikeluarkan meski masuk ke lini bisnis baru di masa pandemi ini.

“Di kuartal ketiga ini, kami mengalami pertumbuhan bisnis yang positif. Hal inilah yang memastikan kami bisa keluar dari badai pandemi ini dan muncul dengan langkah yang tepat. Kami menantikan fase pemulihan,” tambah Adil.

RedDoorz mencatat, di sepanjang Maret-Oktober 2020 layanan pemesanan kamar di platformnya naik sebesar 80 persen, sedangkan layanan hunian meningkat hingga 50 persen. Mengutip laporan STR Hotel Database, RedDoorz menyebut pencapaian di periode tersebut terbilang di atas rata-rata dari total okupansi nasional yang hanya 36 persen.

Menurut Adil, RedDoorz kini sedang mempersiapkan beberapa properti yang akan menjadi Sans Hotel. Untuk tahap awal, RedDoorz menargetkan pembangunan lima Sans Hotel di area Jabodetabek hingga akhir 2020.

“Kami ingin meng-cater semua kebutuhan travel semua kalangan. Bukan berarti mitra-mitra hotel kami belum cukup, tetapi kehadiran Sans Hotel akan memberikan nuansa berbeda bagi pasar milenial dan gen Z,” tuturnya.

Pihaknya optimistis industri pariwisata dan hospitality segera pulih meski masih di situasi pandemi. Alasannya, laporan terbaru McKinsey terkait industri pariwisata menyebutkan bahwa ada tren permintaan laten untuk traveling seiring dengan larangan berlibur dihapus. Bahkan masyarakat diprediksi bakal melakukannya sebelum vaksin Covid-19 tersedia.

Selain itu, mengutip riset dari Blackbox dan Dynata, Adil mengungkapkan bahwa sebanyak 44 persen dari responden saat ini lebih memilih melakukan perjalanan domestik ketimbang internasional karena faktor kesehatan dan keamanan. Artinya, pariwisata domestik diperkirakan bakal semakin diminati.

Peluncuran Sans Hotel diharapkan dapat memperkuat strategi RedDoorz menjadi platform multibrand hospitality. Terutama setelah perusahaan meluncurkan layanan co-living KoolKost di awal 2020, platform ini ditargetkan dapat menjadi one-stop platform untuk memenuhi kebutuhan akomodasi.

Application Information Will Show Up Here

Effectivity of Business Pivot from Three Startups Amid Pandemic

Business pivot is not a new thing for startups. Usually, this action is taken when a business is difficult to progress, aka not growing. In the Covid-19 pandemic situation, many startups have pivoted. This is not because the business is not growing, but the act must be taken due to survival.

The pandemic has hit all business sectors, especially the aviation, tourism, and hospitality sectors. As a result, startups that depend a lot on their main income from this sector are forced to rethink their business strategy and take new steps.

It has been eight months since Covid-19 broke out in Indonesia. DailySocial interviewed three CEOs of three Indonesian startups regarding the realization and effectiveness of their business pivots during the pandemic.

Market research before pivot

Before talking about effectiveness and realization, doing a pivot must be accompanied by careful readiness for the target market and business model to be explored. In their interview with DailySocial, Kedai Sayur, Medigo, and Izy admitted to doing market research and survey first.

Please note, the three startups are both playing in the Business-to-Business (B2B) segment. The difference is, both Izy and Kedai Sayur decided to pivot to B2C because of the pandemic. Meanwhile, Medigo, whose pivot has been planned since 2019, has actually been impacted by the pandemic.

Izy’s business model is closely related to hospitality where it provides digitalization of services to encourage increased consumption of hotel and accommodation guests through the platform. For example room service and laundry.

Izy started pivoting in April 2020 after conducting simple market research with several clients and related parties to get initial input. With the same business model, Izy creates new markets by penetrating modern retail and residential settlements.

Meanwhile, Kedai Sayur, which initially served B2B, such as vegetable vendors, cafes, and restaurants, is forced to enter the B2C segment or end-users. Social restrictions have resulted in a decrease in visitor transactions at restaurants and cafes, therefore, managers have to reduce the volume of orders for ingredients.

“We do market research to determine consumer behavior, the need for fresh products that are of interest, and on the lifestyle. This is because B2C and B2B consumer behavior is different,” Kedai Sayur’s Co-Founder and CEO, Adrian Hernanto said.

In Medigo’s case, this platform initially attempted to connect all ecosystems in the health industry from upstream to downstream with hospitals (RS) as an initial approach.

Given the hospital bureaucracy that required a long integration process, Medigo finally pivoted by focusing on clinical management only. In December 2019, Medigo built a Smart Clinic and opened it in February 2020.

“When we developed the clinic management system in early 2019, there were indeed more than 300 clinics that registered. It’s just that the usage is still small. We start researching and surveying the clinic to find out what the problem is. Is technology or is there any major problem that hasn’t been resolved yet?,” Medigo Indonesia’s Co-Founder and CEO Harya Bimo said.

Along the way, Medigo encountered difficulty in executing the pivot. Smart Clinics are run with two business models, namely building their own and collaborating with existing clinics. Problems arise when a pandemic hits.

“When we wanted to build a second Smart Clinic, the situation was not possible because the model had to be monitoring, renovating, where it requires high touch. Meanwhile, we had to be low touch as that time were social restrictions. Here we are rethinking our pivot strategy and partnership model,” said the man who is better known as Bimo.

Pivot realization during pandemic

Approximately almost eight months after the pandemic occurred in Indonesia, the three startups said that they had reaped positive results or responses from the new services they offered to the market.

Although this pivot is temporary, Izy’s Co-Founder and CEO, Gerry Mangentang admitted that he has managed to earn revenue. Even so, his team avoids sharing details regarding the increase in revenue because it is related to internal data with its partners.

“For the core product/service, we will remain the same as before, focusing on the hotel industry. However, this pivoting will be very useful in the future to complement the Izy platform and ecosystem,” he said.

Meanwhile, Kedai Sayur recorded an increase in sales with the demand of more than 50 percent after entering the B2C segment. Adrian said the demand continues to increase because people are getting used to buying foodstuffs, vegetables, and fruits online.

Apart from sales, Adrian said, the company also recorded other positive responses. For example, the number of customer complaints at Kedai Sayur continues to decline every month, followed by an increase in traffic engagement and the number of new users through social media. “To maintain customer satisfaction and loyalty, we accelerate the delivery process from H + 2 to H + 1,” he explained.

Medigo’s entry into the clinical supply chain also recorded a significant increase. At the beginning of the period of social distancing, the company did not immediately reap a business increase because people tend to be afraid to go to hospitals or clinics during that period.

However, its services began to increase with a peak in May up to four times compared to April. He claims that since May until now, the increase has more than quadrupled. “In fact, we already have a healthy margin every month. Therefore, our income is higher than our burn rate,” he said.

Effectivity and metrics used

By optimizing technology, operations, and the right business model, Medigo, Izy, and Kedai Sayur reveal that this pivot is working effectively. However, there is still room for improvement in the future.

In measuring the effectiveness of pivots, Adrian said that his team did not rely solely on traction metrics or the number of transactions alone. They seek to maximize Customer Relationship Management (CRM) by utilizing quality data to get better business prospects.

Previously, Adrian had mentioned that data plays an important role in reading a trend or phenomenon in the digital era. In the context of a pandemic, Adrian said data can show trends in demand for orders or product prices in certain areas.

“The biggest challenge of pivoting into B2C is the big effort in bringing the [name] brand to the wider community with various characteristics. Therefore, we pay close attention to details that can be essential updates to improve our services in the future,”

However, Bimo added, his team did not rely solely on sales metrics to measure the effectiveness of this pivot. Since its debut, Medigo has defined interactivity in the healthcare ecosystem as its “North Star Metric”. This means that these metrics are at the core of growing its main business.

“Our pivot is very effective because it is not only measured from commercial, but also non-commercial. It’s useless if non-commercial is good, but it can’t be monetized because the business model is not yet supported. After the pivot, [non-commercial metric] interactions on our platform increase extraordinary,” Bimo added.

He said the success of this pivot can be maintained if the two metrics can work together. “We run many clinics where patient medical records are stored in our system. If one hospital can handle 900 patients per day, we can manage 60 clinics with 100 patients each per day. This becomes our ‘North Star Metric’ to encourage the interaction of healthcare stakeholders,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian