The MotherBox Bisa Isi Ulang Baterai Smartphone Anda Dari Jauh

Wireless charger memanfaatkan gelombang elektromagnetik agar bisa melakukan proses isi ulang baterai tanpa kabel. Daya dikirimkan via teknik induksi: medan elektromagnetik dihasilkan oleh kumparan di base, lalu diubah lagi menjadi energi oleh kumparan di perangkat bergerak. Tapi sejauh ini, metode tersebut mengharuskan kita menempelkan device di charger.

Inventor bernama Josh Yank dan tim asal Columbia University mengajukan solusi atas keterbatasan itu lewat device bernama The MotherBox. Diklaim sebagai ‘charger wireless sesungguhnya’, The MotherBox memungkinkan kita men-charge smartphone dari jarak jauh secara nirkabel – sama sekali tidak perlu menyentuh unit charger. Kabar baiknya lagi, device dapat dimanfaatkan baik oleh pemilik perangkat iOS maupun Android.

The MotherBox sebetulnya terdiri dari dua bagian. Jantung dari kemampuannya adalah unit base berbentuk bola poligon. Yank Technologies, startup yang dipimpin oleh Josh Yank, menawarkan dua model, yaitu varian standar (berukuran 15,24×15,24cm) dan MotherBox Mini (8,9×8,9cm). Charger tersebut mampu mengisi baterai beberapa perangkat berbeda, dan bisa tetap berfungsi meski ada penghalang antara charger dan smartphone.

Komponen kedua ialah lapisan receiver tipis buat disematkan ke bagian dalam case. Developer mengabarkan bahwa The MotherBox sudah mendukung handset-handset populer buatan Apple, Samsung, Huawei, LG, HTC dan Google; memanfaatkan connector Lightning, microUSB serta USB type-C untuk menyalurkan tenaga yang diperoleh receiver ke baterai di smartphone.

Dengan The MotherBox, Yank menjanjikan kebebasan pemakaian smartphone meskipun Anda harus mengisi ulang baterai karena perangkat tidak lagi tertahan di suatu tempat. Pengguna bisa tetap melakukan panggilan dan ber-video call tanpa terganggu, atau menonton video sembari tidur-tiduran di atas sofa.

The MotherBox 2

Tentu saja efektivitas performa charging The MotherBox dipengaruhi oleh jarak. Semakin dekat, maka jumlah transfer daya juga jadi lebih besar. Versi standar The MotherBox bekerja efektif di jarak 1,5- sampai 6,1-meter dengan tenaga 2-Watt (waktu charge setara USB 2.0) hingga 10-Watt; sedangkan The MotherBox Mini beroperasi dari jarak 1,5- sampai 3-meter. Walaupun tipe Mini menjangkau jarak lebih pendek, ia dapat mengirimkan notifikasi ketika baterai internal mulai menipis karena tipe ini saja yang menyimpan fitur ala power bank.

Saat ini Josh Yank dan timnya sedang melangsungkan kampanye pengumpulan dana di situs Indie Gogo, menargetkan angka US$ 25 ribu. Di situs crowdfunding itu, The MotherBox bisa Anda pesan seharga US$ 80 (versi biasa) atau US$ 90 (Mini).

Peneliti Columbia University Ciptakan Kamera Fleksibel Dari Lembaran Silikon

Bagi produsen ternama, rivalitas di ranah fotografi umumnya berkaitan dengan kualitas hasil jepretan serta kemudahan pemakaian produk. Namun tanpa adanya beban terhadap tuntutan itu, tim peneliti dari Columbia University bebas bereksperimen di bidang imaging, dan menjajal pendekatan radikal: mereka mencoba menciptakan kamera yang bisa ‘melapisi’ objek.

Hasilnya adalah perangkat fotografi yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Bukannya mengusung konsep tadisional, di mana device meng-capture gambar dari satu titik, peneliti memanfaatkan lapisan fleksibel berisi rangkaian lensa. Menurut tim ilmuwan, penemuan mereka memungkinkan manusia mengabadikan momen di tempat yang tak bisa dijangkau kamera biasa.

Di situs resmi, peneliti menjelaskan cara kerja kamera secara umum. Lensa-lensa ditempatkan dan diselaraskan ke lapisan lentur. Dari sana, field of view dapat diubah cukup dengan menekuknya ke luar atau ke dalam. Namun hal ini tak semudah teorinya, karena masalah pada lensa fleksibel ialah terciptanya jarak pada gambar, membuat informasi antar pixel jadi hilang.

Awalnya, solusi ilmuwan adalah mencantumkan lensa kecil untuk masing-masing pixel, akan tetapi mereka menyadari metode ini tak dapat bekerja optimal. Direktur Computer Vision Lab Columbia University Dr. Shree Nayar menyampaikan pada Digital Trends, jika ada jutaan pixel, maka kamera mustahil dikendalikan. Kendala ini berhasil disingkirkan para ilmuwan menggunakan sifat dasar dari material penyusun lensa.

Kamera tersebut sekilas terlihat seperti solar panel. Saat ditekuk, ia tetap dapat menjepret gambar dalam kualitas tinggi, meski sedikit berubah. Untuk versi purwarupanya, lensa mengusung bahan silikon. Jarak focal antar lensa diramu agar berbeda sesuai tingkat kelengkungannya, memastikan tidak ada informasi yang hilang saat lensa berubah bentuk. Nayar menjelaskan, kuncinya ialah ketepatan pemilihan material dan membentuknya dengan presisi.

“Kami percaya ada banyak skenario penggunaan kamera-kamera dengan format besar tapi berukuran tipis serta lentur. Rangkaian lensa adaptif yang kami kembangkan merupakan langkah penting dalam merealisasikan konsep kamera berwujud lembaran,” kata Dr. Shree Nayar.

Bayangkan suatu hari nanti mobil Anda dilengkapi kamera 360 derajat yang ditaruh di bumper, atau tersedia kamera mungil nan lentur sebesar kartu kredit. Namun tentunya tidak dalam waktu dekat, peneliti masih harus menemukan cara memproduksi kamera fleksibel tersebut secara ekonomis.

Oh kira-kira setahun silam, Nayar dan kawan-kawannya juga sukses menciptakan kamera yang tidak memerlukan baterai.

Sumber: Columbia.edu & Digital Trends.

Kamera Tanpa Baterai Berhasil Diciptakan Tim Riset Columbia Engineering

Lithium-ion saat ini merupakan medium penyimpanan tenaga paling penting bagi hampir seluruh produk consumer electronics, terutama perangkat mobile. Tanpanya banyak hal tidak bisa tercipta, termasuk beragam device spesialis fotografi. Namun apa pendapat Anda jika ada kamera yang sama sekali tidak membutuhkan baterai untuk memasok tenaganya? Continue reading Kamera Tanpa Baterai Berhasil Diciptakan Tim Riset Columbia Engineering

Telecom Operators Reject Net Neutrality

It seems that the net neutrality concept which is becoming a new hit in the U.S is not in line with what the cellular operators in Indonesia crave for. This isn’t surprising actually, particularly considering that Indonesia is a mobile first country in which internet usage is something fundamental among the citizens. Thus, the operators demand for real money out of the usage of their internet services rather than giving them for free (or being limited by certain regulation). Continue reading Telecom Operators Reject Net Neutrality