Twitter Luncurkan Aplikasi Twttr untuk Jadi Lahan Uji Coba Fitur-fitur Baru

Bukan hal mengherankan jika terdengar di telinga Anda kabar tentang Twitter  yang sedang sibuk mencari cara untuk mengubah bagaimana percakapan terjadi di platform miliknya. Untuk sampai ke tujuan itu, kemaren waktu setempat Twitter resmi meluncurkan aplikasi prototipe bernama Twttr yang nantinya dipergunakan sebagai ladang ujicoba fitur baru sebelum dirilis ke publik. Tetapi sayangnya Twttr saat ini hanya bisa dipergunakan oleh mereka yang sudah disetujui.

Hanya mereka yang telah mendaftarkan diri dalam Prototype Program-lah yang berkesempatan mencicipi aplikasi Twttr. Namun dari pantauan Dailysocial, tautan Prototype Program yang dirilis bulan lalu oleh Twitter masih bisa diakses, menandakan siapapun masih bisa bergabung di dalamnya dengan harapan di kemudian hari Twitter kembali membuka gelombang kedua untuk merasakan aplikasi Twttr.

Dikutip dari Techcrunch, tujuan utama dari peluncuran Twttr adalah untuk menguji format percakapan baru dengan goal yang ingin dicapai adalah menemukan cara yang lebih mudah untuk membaca dan mengikuti diskusi yang terjadi di Twitter. Perubahan itu mencakup pemilihan warna yang sengaja dibedakan antara komentar dan postingan asli.  Meski saat ini fokus pada engagement, Twttr sangat mungkin untuk dipergunakan untuk project eksperimen lainnya.

Di gelombang pengujian pertama ini disebutkan melibatkan ribuan pengguna yang berdiam di US dan Jepang. Platform sistem operasi yang dipilih pun baru terbatas di iOS saja. Artinya, Twttr didistribusikan melalui program beta TestFlight milik Apple.

Oculus Pamerkan Headset VR Purwarupa yang Lebih Canggih dari Rift

Sejak mulai bermain di ranah VR selama empat tahun dan menggelontorkan modal sebesar US$ 3 miliar, Facebook akhirnya mempersilakan publik memesan produk yang selama ini menjadi visi perusahaan dalam meramu headset virtual reality portable ideal: Oculus Go. Begitu ditunggunya perangkat itu, stok di Amazon segera ludes hanya beberapa jam setelah tersedia.

Alasan laris manisnya Oculus Go tak sulit ditebak. Head-mounted display ini bisa bekerja mandiri tanpa dukungan perangkat lain, menyimpan hardware  bertenaga untuk menghidangkan kualitas visual yang lebih baik dibandingkan headset berbasis smartphone, serta dijajakan di harga kompetitif. Namun bahkan sebelum Oculus Go benar-benar sampai di tangan konsumen, Facebook sudah memamerkan model purwarupa yang lebih canggih dari Oculus Rift.

Dalam konferensi F8 yang dilangsungkan hari Rabu silam, Facebook menyingkap HMD prototype ‘Half Dome’. Desain headset ini hampir identik dengan varian Oculus Rift standar, tetapi mempunyai sejumlah bundaran (benjolan) kecil di sisi depan – mengingatkan saya pada cekungan-cekungan bundar di HTC Vive. Facebook dan Oculus belum memberi tahu apa gunanya. Saya pribadi menerka, bagian tersebut berhubungan dengan fungsi pelacakan posisi.

Oculus

Aspek paling unik di Half Dome terletak di dalam, dan belum pernah dimanfaatkan oleh HMD komersial lain. Headset tersebut menyimpan mekanisme yang memungkinkan bagian lensa bergerak maju dan mundur dari mata pengguna secara cepat saat menangani aplikasi virtual reality. Maria Fernandez Guajardo selaku head of product management Oculus menamakan sistem ini sebagai displayvarifocal‘.

Display varifocal dapat menyesuaikan jarak lensa ke mata dalam hitungan di bawah milimeter. Dengan kemampuan tersebut, Half Dome bisa membuat detail pada gambar lebih ‘jernih’, misalnya teks. Meski demikian, sejauh ini belum diketahui apakah kapabilitas itu dimungkinkan karena headset sanggup mendeteksi fokus mata kita atau memanfaatkan software untuk ‘mendekatkan’ konten ke mata.

Keunggulan prototype Half Dome lainnya adalah pemakaian lensa yang lebih besar. Saat Oculus Rift dan HTC Vive menyuguhkan field of view seluas 110-derajat, unit baru ini menjanjikan FoV 140 derajat. Namun buat sekarang, Oculus belum mengungkap detail Half Dome secara lebih rinci; di antaranya resolusi, jenis layar (OLED atau LED) hingga apakah headset akan kembali menggunakan desain Fresnel seperti Rift.

Oculus juga belum menginformasikan kapan rencananya teknologi-teknologi baru Half Dome akan dituangkan menjadi produk konsumen. Namun mengevaluasi dari penyajiannya, boleh jadi ia akan disiapkan sebagai penerus atau vesi lebih canggih dari Rift, seperti Vive dan Vive Pro; dan tetap memanfaatkan PC untuk mengolah konten.

Sumber: Arstechnica.

North Star Ialah Headset AR Racikan Leap Motion yang Didukung Penuh Teknologi Pelacak Gerakan

Leap Motion mulai mencuri perhatian khalayak melalui pengenalan periferal gesture ‘The Leap’ di tahun 2012. Meski respons user kurang antusias saat perangkat itu mulai dipasarkan, tim developer terus mengekspansi fungsinya hingga bisa dipasangkan ke Oculus Rift serta menawarkan solusi pelacakan gerakan tangan buat headset VR berbasis smartphone.

Dan kemarin, perusahaan asal San Francisco itu mengumumkan rencananya untuk fokus pada pengembangan headset augmented baru bernama North Star. Aspek yang membuat North Star berbeda dari perangkat AR kompetitor adalah dukungan penuh teknologi motion sensing, sehingga memungkinkannya membaca gerakan wajah serta tangan, dan kemudian mengubahnya menjadi input. Tentu saja kapabilitas hand gesture tracking sendiri adalah ciri khas produk Magic Leap.

Leap Motion North Star 1

Unit purwarupa North Star mempunyai wujud sangat eksentrik, mengingatkan saya pada alat di film sci-fi atau cyberpunk tahun 80-an. Perangkat ini dibekali  strap mirip PlayStation VR, namun kesamaannya berakhir di bagian visor. Di sana, pengguna disuguhkan display yang diposisikan menghadap kaca semi-transparan raksasa melengkung di depan. Visor tersebut juga sangat unik karena memiliki struktur V yang mengarah ke dalam.

Pendekatan seperti ini krusial untuk menunjang sistem ellipsoidal reflectors di sana. Dari yang saya baca, komponen kaca elips tersebut mempunyai lapisan perak untuk menghasilkan efek cermin, mampu memantulkan dan dilewati cahaya dengan persentase seimbang di 50:50. Berkat canggihnya mekanisme mata manusia, kita tetap bisa melihat jelas objek saat mengenakan North Star, sembari mendapatkan modifikasi elemen visual khas AR.

Magic Leap memanfaatkan panel LCD 5,5-inci di belakang reflektor sebagai unit penghasil elemen AR. Tiap mata disuguhkan ‘display‘ beresolusi 1440x2560p, frame rate 120fps, serta mendapatkan ruang penglihatan seluas 75 derajat vertikal dan 105 derajat horisontal (dengan overlap stereo 60 persen).

North Star dirancang agar mampu melacak gerakan mata dan wajah pengguna secara presisi, serta didukung rangkaian speaker di dekat telinga untuk memudahkan kita mendeteksi lokasi objek AR. Headset juga ditunjang sensor hand tracking 180 derajat sebagai sarana Anda berinteraksi dengan konten augmented reality. Saat memakainya, sistem dapat menyuguhkan sensasi menggunakan teknologi hologram ala film Iron-Man yang intuitif serta akurat.

Developer mengakui bahwa proyek North Star baru saja dimulai. Mereka berharap kreasinya ini bisa menginspirasi sistem-sistem eksperimental generasi baru yang bisa merevolusi pengalaman penggunaan dan pemanfaatan teknologi AR. Tebakan saya, butuh beberapa tahun lagi hingga North Star bisa sampai ke tangan konsumen.

Sumber: Leap Motion.

Adidas Buat Sepatu Berbahan Sutra Sintetis Pertama di Dunia

Pencarian ide mengenai alas kaki masa depan tidak pernah ada habisnya. Konsep sepatu yang bisa mengikat talinya sendiri muncul puluhan tahun lalu di film Back to the Future II, tapi baru sekarang teknologi tersebut hadir buat publik lewat Nike HyperAdapt 1.0. Namun ketika Nike menitikberatkan aspek kepraktisan, sang kompetitor utama fokus pada material penyusun.

Dalam acara Biofabricate Conference di kota New York, produsen perlengkapan olahraga asal Jerman itu menyingkap sepatu pertama di dunia yang terbuat dari sutra sintetis. Material bernama serat Biosteel itu dikembangkan oleh perusahaan bioteknologi AMSilk dan menjadi bahan dasar prototype Futurecraft Biofabric. Sepatu tersebut juga dirancang agar saat tak lagi dipakai, ia akan terurai sepenuhnya secara alami (100% biodegradable).

Adidas Futurecraft Biofabric 1

Berdasarkan gambar yang telah dipublikasi, Futurecraft Biofabric mempunyai penampilan ala sepatu olahraga biasa. Tubuhnya berongga sehingga sirkulasi udaranya optimal, lalu bagian sol dan talinya juga terlihat normal. Menariknya, penggunaan Biosteel memungkinkan Adidas memangkas bobotnya. Futurecraft Biofabric 15 persen lebih ringan dari sepatu dari serat sintetis biasa, namun sama kuatnya dengan bahan natural.

Dari keterangan vice president of strategy creation Adidas James Carnes, sepatu konsep tersebut mewakilkan inovasi premium. Dengan memanfaatkan serat BioSteel di produk mereka, Adidas merasa telah mencapai sebuah level baru menuju terobosan di bidang bionik, dan satu langkah mendekati revolusi di ranah olahraga. Selanjutnya, Adidas dan AMSilk akan terus mengeksplorasi pemakaian Biosteel di produk lain dan memproduksinya secara massal.

Adidas Futurecraft Biofabric 2

Seperti yang sempat dibahas sebelumnya, serat Biosteel dapat terurai 100 persen. Adidas menjelaskan bahwa inilah manifestasi komitmen mereka pada konsep ramah lingkungan. Berawal dari penggunaan plastik, Adidas beralih ke plastik daur ulang, dan selanjutnya melangsungkan kolaborasi bersama Parley for the Oceans. Sejak saat itu, mereka terus berkiblat pada sains dan prinsip alam.

Tahu ini Adidas memang tampak sibuk berinovasi. Belum lama mereka mengungkap Futurecraft Tailored Fibre, yaitu produk berbasis teknik fabrikasi baru yang memungkinkan konsumen mengustomisasi sepatunya. Futurecraft Tailored Fibre menggunakan kombinasi serat natural dan sintetis, dapat direkayasa agar sepatu bisa lebih pas di kaki pemiliknya. Selain itu, Adidas juga membuka fasilitas Speedfactory pertama mereka, yaitu pabrik berisi robot yang mampu memotong waktu produksi dari hitungan minggu jadi cuma beberapa jam saja.

Di press release, Adidas memang belum menginformasikan kapan sepatu Biosteel itu akan mulai tersedia untuk publik. Tapi melihat dari kesiapan Futurecraft Biofabric, saya menerka momen itu tiba tak lama lagi.

Gambar: Hypebeast.

Nissan Gandeng Tim F1 Untuk Garap Mobil Elektrik Futuristis BladeGlider

Kepopularitasan Tesla serta munculnya berbagai konsep mobil sport bermesin elektrik dari para produsen ternama perlahan-lahan menyingkirkan anggapan bahwa kendaraan EV tidak bisa tampil keren dan kurang dapat diandalkan. Nissan sendiri sudah lama diketahui mencoba menggarap mobil elektrik futuristis, diungkap perdana di Tokyo Motor Show tiga tahun silam.

Dan di minggu ini, Nissan kembali menyingkap versi ‘advanced  prototype‘ dari kendaraan bernama BladeGlider tersebut. Nissan telah memperbarui berbagai aspek di sana demi satu tujuan: menyuguhkan sebuah mobil elektrik yang menyenangkan dikendarai. Meski terdengar simpel, perusahaan otomotif Jepang itu membutuhkan waktu dua tahun lebih untuk menggodok sisi desain sampai teknologi mesinnya. Alhasil, BladeGlider selangkah mendekati tahap produksi.

Nissan BladeGlider 1

BladeGlider ‘v2’ merupakan working prototype, memiliki penampilan menyerupai mobil balap DeltaWing, bertubuh aerodinamis memanjang. Dengan mengurangi lebar di sisi depan kendaraan, BladeGlider mampu membelah angin lebih efektif tanpa memengaruhi setir. Kendaraan mempunyai sepasang pintu yang terbuka ke belakang, dan menempatkan pengemudi di sisi tengah layaknya McLaren F1. Berdasarkan rasio panjang, lebar dan wheelbase-nya, BladeGlider mempunyai dimensi hampir setara Ford Focus atau Nissan Leaf.

Nissan BladeGlider 3

Inkarnasi terbaru BladeGlider ini dikerjakan bersama-sama oleh Nissan dan Williams Advanced Engineering, tim yang telah lama berkiprah di ranah Formula 1. Artinya jangan mengherankan jika BladeGlider mengusung sejumlah aspek mobil balap, walaupun pada dasarnya ia bukan untuk balapan: susunan roda ala DeltaWing, dan kendaraan juga menggunakan dua buah layar di sisi display utama buat menggantikan cermin spion samping.

Performanya juga sama sekali tidak buruk. BladeGlider dibekali dua motor 130kW di masing-masing roda belakang, menghasilkan kekuatan 260-break horse power dan torsi 706,4-Newton-meter. Di atas aspal, kendaraan elektrik ini mampu melesat dari 0- ke 100-kilometer per jam dalam kurang dari lima detik, sanggup mencapai kecepatan maksimal di 185-kilometer per jam dengan membawa dua orang penumpang.

Nissan BladeGlider 2

Nissan BladeGlider menyajikan tiga mode mengemudi, yaitu Agile, Drift dan tanpa bantuan. Kehadiran mode Drift mengindikasikan kemampuan mobil di jalan berbelok-belok, dan mungkin dengannya, janji Nissan terhadap mobil yang menyenangkan untuk dikendarai dapat terpenuhi.

Untuk sekarang, hanya ada dua unit working  prototype BladeGlider; dan Nissan juga belum menjelaskan rincian soal kapasitas dan waktu charge baterai. Akan tersedia dua opsi warna, yaitu ‘stealth orange‘ dan ‘cyber green‘, mengindikasikan niatan produsen untuk merilisnya meski belum memberi tahu waktunya.

Via CNET & Top Gear.

Pakaian Superflex Simpan Sejumlah Kemampuan Jubah Batman

Batman dan Iron Man memperlihatkan bahwa kita tidak perlu terpapar sinar gamma atau digigit laba-laba radioaktif untuk jadi superhero; cukup butuh teknologi dan modal yang besar. Karakter-karakter fiktif itu juga menginspirasi peneliti dalam menciptakan penemuan inovatif, biasanya ditujukan buat membantu orang-orang dengan keterbatasan fisik.

Kreasi terbaru tim developer Kalifornia yang merupakan spin-off dari SRI International ini adalah alternatif dari exoskeleton biasa. Mereka memperkenalkan Superflex, pakaian yang memberikan penggunanya kekuatan ‘manusia super’. Device didesain agar bisa dimanfaatkan ke beragam keperluan, dari mulai untuk membantu penyandang cacat, orang berusia lanjut, hingga para prajurit.

Perbedaan utama Superflex dan exoskeleton standar terletak pada rancangannya. Ketika varian biasa berwujud besar karena harus menopang komponen-komponen robotik, Superflex hadir lebih simpel, layaknya pakaian biasa. Versi prototype-nya bisa dikenakan seperti baju selam, menutupi seluruh tubuh. Superflex dibekali sistem canggih, dapat membagi beban secara merata ke lengan, kaki dan badan.

Superflex menyimpan serangkaian sensor, mampu membaca dan mempelajari gerakan invidu, lalu secara cerdas menambahkan tenaga di lokasi serta momen yang tepat. Lewat teknik tersebut, pemakaian baterai juga jadi lebih hemat. Hal ini merupakan langkah jitu karena meskipun kemajuan teknologi komputasi berjalan begitu pesat, komponen baterai dan motor masih saja berukuran besar. Di masa pengembangannya, developer memang belum siap mengungkap info lebih detail, termasuk mengenai daya tahan baterai.

Pengembang menyingkap alasan mereka menciptakan Superflex: alat bantu jalan memang menjadi solusi termurah bagi orang yang memiliki keterbatasan dalam bergerak, namun alat-alat tersebut dinilai ‘melemahkan, menghilangkan harga diri, mengekang, dan menyebabkan berbagai macam masalah psikologis’.

Presiden SRI Ventures Manish Kothari menyatakan, “Tujuan Superflex adalah menghilangkan segala beban psikologis dan mengembalikan martabat sang user.”

Superflex tidak menyuguhkan kemampuan mobilitas penuh seperti exoskeleton SuitX, Hyundai ataupun Panasonic. Aspek andalan di Superflex ialah kapabilitas adaptasi sensor yang mendukung gerakan pemakai.

Tipe purwarupa Superflex memerlukan waktu lima menit buat dikenakan, tapi versi retailnya nanti akan lebih ringkas (dapat dipakai kurang dari dua menit), serta lebih hemat tempat dan praktis. Buat sekarang, developer belum memberi tahu kapan Superflex tersedia dan berapa harganya.

Sumber: MIT Technology Review.

Teknologi Pre-Touch Microsoft Lebih Canggih dari Apple 3D Touch

3D Touch adalah salah satu fitur andalan yang Apple sematkan di iPhone 6S. Berkatnya, smartphone mampu mengukur intensitas sentuhan – dapat membedakan tap normal atau tekanan kuat pada layar, diakui sebagai lompatan besar dalam penyajian touchscreen. Menariknya, terdengar kabar bahwa Microsoft sedang meramu teknologi sejenis tapi lebih canggih.

Melalui blog resmi, Microsoft memperkenalkan teknologi bernama Pre-Touch Sensing for Mobile Interaction. Meskipun pengembangannya masih dalam wilayah handset ber-touchscreen, pemakaian Pre-Touch tidak membutuhkan sentuhan. Metodenya mirip Samsung Air View, namun sang raksasa dari Redmod itu betul-betul menitikberatkan detail dan akurasi. Alhasil, Anda bisa menavigasi konten smartphone tanpa perlu menyentuhnya, membuat prosedurnya jadi efisien.

Pre-Touch memberikan kemampuan pada smartphone untuk mendeteksi posisi jari di sekitar layar termasuk saat Anda menggenggamnya. Seiring penggunaan, ia dapat beradaptasi terhadap cara kita berinteraksi dengan handset. Contoh sederhana: ketika Anda sedang menyaksikan video, tidak ada UI yang mengganggu. Interface baru akan keluar sewaktu jari mendekat, dan seperti biasa, Anda dapat mem-pause atau menggerakkan slider.

Pusat dari kapabilitas Pre-Touch terletak pada komponen touchscreen self-capacitive. Sebelumnya, teknik kendali hands-free seperti ini biasanya mengandalkan kamera depan di device atau mungkin ultrasonic, tapi versi Microsoft tersebut sepenuhnya memanfaatkan bagian layar. Pre-Touch mendongkrak tingkat akurasi dan keleluasaan pengoperasian via gesture, serta membantu bidang kolaborasi edit konten.

Seperti yang telah dibahas sedikit sebelumnya, Microsoft juga memodifikasi Pre-Touch agar mengetahui bagaimana cara Anda menggunakan device. Jika kebetulan Anda sedang memegangnya di tangan kanan dan mencoba mengakses konten (misalnya dengan jempol), UI akan dimunculkan di area yang mudah dijangkau. Hal serupa berlaku untuk tangan kiri. Berkat Pre-Touch, smartphone seolah-olah mengerti maksud Anda bahkan sebelum disentuh.

Lewat video yang diunggah minggu lalu, Microsoft memperlihatkan beberapa aspek yang terbantu karena Pre-Touch. Misalnya sewaktu menjelajahi web, hyperlink akan muncul seandainya device mendeteksi satu jari, lalu eksplorasi tab dapat diteruskan dengan merentangkan dua jari atau lebih.

Microsoft belum menginformasikan kapan Pre-Touch akan hadir di produk konsumen. Di sesi demo, tampaknya Microsoft memakai perangkat prototype. Semoga saja fitur ini segera diimplementasikan oleh para pencipta handset.

Via Digital Trends.

Project Arena Ialah Disc Battle ala Tron yang Disuguhkan Lewat Virtual Reality

Jauh sebelum khalayak menyadari potensi besar virtual reality, CCP Games sudah sibuk mengembangkan kontennya. EVE Valkyrie, spin-off dari game MMO EVE Online, sengaja didesain untuk headset VR – menjadi salah satu permainan yang menemani peluncuran Rift dan juga akan dibundel bersama PSVR. Namun bagi CCP, perjalanan mereka di ranah itu masih panjang.

Developer asal Islandia tersebut meneruskan investasi mereka di bidang VR, dan kali ini diketahui sedang bereksperimen menyajikan pengalaman VR ‘full-body‘ melalui karya digital proof-of-concept bernama Project Arena. Gagasan di belakang pembuatannya memang tak seambisius The Void, namun ia tidak kalah unik. Project Arena menuntut Anda menggerakkan tubuh, tepatnya seperti disc battle di film Tron.

Project Arena dipamerkan kepada pengunjung EVE Fanfest 2016 minggu lalu. Di mode Brawl, peserta diadu dalam pertarungan lempar-melempar disc satu lawan satu, menyerupai air hockey. Namun bukannya mencoba memasukkan lempengan ke gawang, misi Anda ialah mengarahkan disc ke lawan. Yang membuatnya jadi lebih rumit adalah tiap orang mempunyai disc sendiri, dan ia akan memantul di tembok virtual.

Game prototype ini disuguhkan melalui Oculus Rift, namun komponen terpenting di sana adalah Oculus Touch. Di tiap tangan, motion controller berfungsi sebagai tameng dan sarung tangan untuk melempar disc. Skor diperoleh jika disc berhasil mengenai tubuh rival Anda. Hal ini tak semudah teorinya karena pemain dapat menangkis dan menghindar.

Untuk melempar disc, pemain cukup menekan tombol di Touch, mengayunkannya seperti bola baseball, kemudian melepasnya di momentum yang tepat. Menurut pengakuan Andy Kelly dari PC Gamer, Project Arena membuat Anda lupa sedang mengenakan headset. Tangan virtual menyamai gerakan dengan mulus, dan saat disc mulai beterbangan, insting mendorong Anda untuk menghindar.

Project Arena 1

Via PC Gamer, Sigurdur Gunnarsson selaku teknisi VR CCP Newcastle yang turut mengerjakan EVE Valkyrie memberi komentar, “Perkembangan virtual reality sangat menarik tapi juga mengintimidasi. Sebagai penggemar berat VR, ini hanyalah permulaan. [Di masa depan] kita akan melihat ke belakang dan sadar betapa kunonya teknologi saat ini. Kami akan meneruskan perjalanan ini dan berupaya untuk selalu di garis depan.”

Ada peluang CCP tidak berencana meluncurkan Project Arena sebagai produk retail, tapi bayangkan istimewanya jika ia dijadikan esport. Game-game simpel namun distingtif seperti Project Arena inilah yang sekarang dibutuhkan virtual reality.

Sumber lain: RoadtoVR.

Mirip Kamera Compact, Light L16 Sebetulnya Ialah 16 Kamera Jadi Satu

Kita tahu, perkembangan teknologi kamera menyebabkan evolusi dinamis di ranah fotografi. Smartphone kini menjadi alternatif kamera point-and-shoot; dan meskipun boleh dibilang hampir tidak tergantikan, cukup banyak profesional mulai beralih dari DSLR ke mirrorless. Dan boleh jadi, karya garapan tim Light berpeluang meninggalkan jejak signifikan di industri tersebut. Continue reading Mirip Kamera Compact, Light L16 Sebetulnya Ialah 16 Kamera Jadi Satu

Simak Aksi Penerbangan Dua Drone Prototype Garapan Sony

Ketika diucapkan, brand Sony dapat memicu ingatan orang pada perangkat berbeda, bisa jadi kamera, music player, smartphone, TV sampai console game. Sony mengklaim, seorang jurnalis pernah menyebut mereka sebagai kelinci percobaan karena eksperimen Sony akhirnya diikuti oleh produsen lain. Tapi buat kali ini, Sony-lah yang berupaya mengejar satu tren baru. Continue reading Simak Aksi Penerbangan Dua Drone Prototype Garapan Sony