Oculus Pamerkan Headset VR Purwarupa yang Lebih Canggih dari Rift

Sejak mulai bermain di ranah VR selama empat tahun dan menggelontorkan modal sebesar US$ 3 miliar, Facebook akhirnya mempersilakan publik memesan produk yang selama ini menjadi visi perusahaan dalam meramu headset virtual reality portable ideal: Oculus Go. Begitu ditunggunya perangkat itu, stok di Amazon segera ludes hanya beberapa jam setelah tersedia.

Alasan laris manisnya Oculus Go tak sulit ditebak. Head-mounted display ini bisa bekerja mandiri tanpa dukungan perangkat lain, menyimpan hardware  bertenaga untuk menghidangkan kualitas visual yang lebih baik dibandingkan headset berbasis smartphone, serta dijajakan di harga kompetitif. Namun bahkan sebelum Oculus Go benar-benar sampai di tangan konsumen, Facebook sudah memamerkan model purwarupa yang lebih canggih dari Oculus Rift.

Dalam konferensi F8 yang dilangsungkan hari Rabu silam, Facebook menyingkap HMD prototype ‘Half Dome’. Desain headset ini hampir identik dengan varian Oculus Rift standar, tetapi mempunyai sejumlah bundaran (benjolan) kecil di sisi depan – mengingatkan saya pada cekungan-cekungan bundar di HTC Vive. Facebook dan Oculus belum memberi tahu apa gunanya. Saya pribadi menerka, bagian tersebut berhubungan dengan fungsi pelacakan posisi.

Oculus

Aspek paling unik di Half Dome terletak di dalam, dan belum pernah dimanfaatkan oleh HMD komersial lain. Headset tersebut menyimpan mekanisme yang memungkinkan bagian lensa bergerak maju dan mundur dari mata pengguna secara cepat saat menangani aplikasi virtual reality. Maria Fernandez Guajardo selaku head of product management Oculus menamakan sistem ini sebagai displayvarifocal‘.

Display varifocal dapat menyesuaikan jarak lensa ke mata dalam hitungan di bawah milimeter. Dengan kemampuan tersebut, Half Dome bisa membuat detail pada gambar lebih ‘jernih’, misalnya teks. Meski demikian, sejauh ini belum diketahui apakah kapabilitas itu dimungkinkan karena headset sanggup mendeteksi fokus mata kita atau memanfaatkan software untuk ‘mendekatkan’ konten ke mata.

Keunggulan prototype Half Dome lainnya adalah pemakaian lensa yang lebih besar. Saat Oculus Rift dan HTC Vive menyuguhkan field of view seluas 110-derajat, unit baru ini menjanjikan FoV 140 derajat. Namun buat sekarang, Oculus belum mengungkap detail Half Dome secara lebih rinci; di antaranya resolusi, jenis layar (OLED atau LED) hingga apakah headset akan kembali menggunakan desain Fresnel seperti Rift.

Oculus juga belum menginformasikan kapan rencananya teknologi-teknologi baru Half Dome akan dituangkan menjadi produk konsumen. Namun mengevaluasi dari penyajiannya, boleh jadi ia akan disiapkan sebagai penerus atau vesi lebih canggih dari Rift, seperti Vive dan Vive Pro; dan tetap memanfaatkan PC untuk mengolah konten.

Sumber: Arstechnica.

[Rumor] Battlefield V Juga Akan Hidangkan Mode Battle Royale?

Berdasarkan laporan tim analis Newzoo di akhir bulan Maret kemarin, begitu besarnya fenomena battle royale, hampir sepertiga gamer di platform PC saat ini tengah menikmati genre last man standing itu. Dan meski jadi pionir, jumlah pemain PUBG ternyata berhasil dilewati oleh Fortnite dengan 16,3 versus 14,6 persen. Dan kini, para developer besar maupun kecil tampak berbondong-bondong memeriahkan pesta battle royale.

Berita besar terkait battle royale terdengar belum lama ini. Kemarin, sejumlah narasumber menyampaikan bahwa Activision berencana menggantikan mode campaign single-player tradisional di Call of Duty: Black Ops 4 dengan battle royale. Dan berdasarkan laporan terkini, formula serupa kemungkinan juga akan diterapkan sang rival, Electronic Arts, di permainan terbaru seri Battlefield.

Kepada VentureBeat, seorang narasumber anonim yang mengklaim punya kedekatan dengan DICE menyampaikan bahwa studio asal Swedia itu sedang menguji mode battle royale untuk dibubuhkan pada Battlefield V. Meski eksistensinya sudah diketahui sejak awal bulan Maret 2018 berkat bocoran screenshot versi developer build, EA sebetulnya belum mengumumkan Battlefield V secara resmi.

Menurut sang informan, saat ini pengembangan mode battle royale masih berada di tahap purwarupa dan belum mendapatkan persetujuan dari Electronic Arts. Kita boleh berasumsi, porsi ini akan menghidangkan medan tempur berisi ratusan pemain. Namun bahkan jika akhirnya nanti memperoleh lampu hijau dari sang publisher, penerapannya boleh jadi berbeda dari ekspektasi kita.

Ada kemungkinan battle royale di Battlefield V dihadirkan sebagai update, akan menyusul setelah permainan itu dirilis. EA sendiri punya banyak pengalaman dalam menyuguhkan DLC. Konten-konten tambahan pasca-rilis ini menjadi salah satu elemen krusial dalam memperpanjang umur game mereka. Tapi kita tahu, kekeliruan publisher dalam penyajian microtransaction di Battlefront II sempat menuai kontroversi.

Walaupun bukan game pertama yang mengusungnya, PlayerUnknown’s Battlegrounds punya andil besar dalam mempopulerkan battle royale. Sejak versi early access-nya tersedia tahun lalu, kita telah menyaksikan sendiri bagaimana ia berhasil menumbangkan Dota 2 sebagai permainan terpopuler di Steam. PUBG juga memulai demam battle royale, yang menyebabkan banyak developer – besar ataupun kecil – turut mengadopsi genre ini.

Melihat dari perspektif tersebut, kesempatan untuk menghasilkan pemasukan dari battle royale memang terlalu menggiurkan untuk diabaikan, apalagi kita membahas perusahaan game seperti EA. Namun jika semua developer berlomba-lomba menyajikan mode last man standing tanpa memberikan inovasi berarti, saya khawatir di waktu dekat genre ini akan jadi membosankan.

Lewat Project Zanzibar, Microsoft Memanfaatkan Karpet Pintar Sebagai Perangkat Kendali Interaktif

Satu aspek yang membuat keberadaan mainan tetap tidak bisa digantikan oleh video game adalah kehadiran objek fisiknya dan sensasi menyentuhnya. Sudah banyak upaya dilakukan untuk memadukan keduanya, seperti contohnya yang disuguhkan Lego lewat AR-Studio. Namun para peneliti Microsoft punya pendekatan super-unik dalam mengombinasikan kedua hal ini: melalui karpet.

Tim yang terdiri dari ilmuwan asal Cambridge dan Redmond itu memperkenalkan Project Zanzibar, sebuah platformsensing‘ berwujud karpet fleksibel yang mampu mendeteksi, menemukan, dan berkomunikasi dengan objek serta sentuhan pengguna. Berbekal ‘karpet pintar’ ini, kita bisa menggunakan benda-benda fisik untuk memanipulasi serta mengendalikan konten digital.

Portabilitas merupakan salah satu faktor andalan Project Zanzibar. Alat ini bisa memanfaatkan unit layar yang ada buat menampilkan konten (misalnya tablet). Selanjutnya, Anda dapat memakainya di mana pun – di ruangan berbeda dalam rumah hingga dibawa piknik atau berlibur. Saat tidak digunakan, Anda bisa menggulung Zanzibar layaknya karpet biasa.

Di fungsi hiburan, Project Zanzibar memungkinkan kita ‘mendigitalisasi’ mainan-mainan fisik serta memberikan efek suara pada tiap adegan di atasnya (misalnya mengeluarkan suara letupan ketika peluru dilepas dari meriam mainan), berinteraksi dengan konten digital menggunakan objek fisik (misalnya kartu atau jenis permainan tabletop), hingga mempersilakan anak-anak menciptakan film stop-motion berbekal action figure, kamera dan mainan-mainan ala prop film.

Project Zanzibar 1

Kecanggihan Zanzibar bukan hanya tertelak pada kesanggupannya merasakan sentuhan di permukaan, tapi juga kemampuan mendeteksi objek yang melayang di atasnya. Selain itu, ia sanggup membaca gerakan, mengidentifikasi tipe benda berbeda, orientasi arah, dapat mengetahui eksistensi dari objek sekunder di atas benda utama, hingga bisa mentenagai perangkat berbeda via metode wireless charging.

Project Zanzibar 2

Di dalam, Microsoft memanfaatkan kombinasi dari sensor kapasitif dan NFC, lalu Zanzibar tersambung ke unit display melalui kabel USB ataupun Bluetooth.

Tentu saja karpet pintar ini tak hanya berguna sebagai mainan, tapi juga dapat dimanfaatkan jadi alat edukasi. Misalnya untuk belajar mengenal alfabet: app akan memunculkan satu huruf, dan anak-anak diminta menemukan huruf tersebut dan menggosoknya di permukaan Zanzibar. Alternatif lainnya, app dapat mengeja alfabet stiker yang Anda taruh di atas karpet.

Project Zanzibar membuka peluang baru penyajian konten hiburan dan edukasi. Namun ada banyak proyek eksperimen Microsoft yang akhirnya tidak direalisasikan jadi produk konsumen. Semoga Zanzibar bukan salah satu di antara mereka.

North Star Ialah Headset AR Racikan Leap Motion yang Didukung Penuh Teknologi Pelacak Gerakan

Leap Motion mulai mencuri perhatian khalayak melalui pengenalan periferal gesture ‘The Leap’ di tahun 2012. Meski respons user kurang antusias saat perangkat itu mulai dipasarkan, tim developer terus mengekspansi fungsinya hingga bisa dipasangkan ke Oculus Rift serta menawarkan solusi pelacakan gerakan tangan buat headset VR berbasis smartphone.

Dan kemarin, perusahaan asal San Francisco itu mengumumkan rencananya untuk fokus pada pengembangan headset augmented baru bernama North Star. Aspek yang membuat North Star berbeda dari perangkat AR kompetitor adalah dukungan penuh teknologi motion sensing, sehingga memungkinkannya membaca gerakan wajah serta tangan, dan kemudian mengubahnya menjadi input. Tentu saja kapabilitas hand gesture tracking sendiri adalah ciri khas produk Magic Leap.

Leap Motion North Star 1

Unit purwarupa North Star mempunyai wujud sangat eksentrik, mengingatkan saya pada alat di film sci-fi atau cyberpunk tahun 80-an. Perangkat ini dibekali  strap mirip PlayStation VR, namun kesamaannya berakhir di bagian visor. Di sana, pengguna disuguhkan display yang diposisikan menghadap kaca semi-transparan raksasa melengkung di depan. Visor tersebut juga sangat unik karena memiliki struktur V yang mengarah ke dalam.

Pendekatan seperti ini krusial untuk menunjang sistem ellipsoidal reflectors di sana. Dari yang saya baca, komponen kaca elips tersebut mempunyai lapisan perak untuk menghasilkan efek cermin, mampu memantulkan dan dilewati cahaya dengan persentase seimbang di 50:50. Berkat canggihnya mekanisme mata manusia, kita tetap bisa melihat jelas objek saat mengenakan North Star, sembari mendapatkan modifikasi elemen visual khas AR.

Magic Leap memanfaatkan panel LCD 5,5-inci di belakang reflektor sebagai unit penghasil elemen AR. Tiap mata disuguhkan ‘display‘ beresolusi 1440x2560p, frame rate 120fps, serta mendapatkan ruang penglihatan seluas 75 derajat vertikal dan 105 derajat horisontal (dengan overlap stereo 60 persen).

North Star dirancang agar mampu melacak gerakan mata dan wajah pengguna secara presisi, serta didukung rangkaian speaker di dekat telinga untuk memudahkan kita mendeteksi lokasi objek AR. Headset juga ditunjang sensor hand tracking 180 derajat sebagai sarana Anda berinteraksi dengan konten augmented reality. Saat memakainya, sistem dapat menyuguhkan sensasi menggunakan teknologi hologram ala film Iron-Man yang intuitif serta akurat.

Developer mengakui bahwa proyek North Star baru saja dimulai. Mereka berharap kreasinya ini bisa menginspirasi sistem-sistem eksperimental generasi baru yang bisa merevolusi pengalaman penggunaan dan pemanfaatan teknologi AR. Tebakan saya, butuh beberapa tahun lagi hingga North Star bisa sampai ke tangan konsumen.

Sumber: Leap Motion.

Nissan Gandeng Tim F1 Untuk Garap Mobil Elektrik Futuristis BladeGlider

Kepopularitasan Tesla serta munculnya berbagai konsep mobil sport bermesin elektrik dari para produsen ternama perlahan-lahan menyingkirkan anggapan bahwa kendaraan EV tidak bisa tampil keren dan kurang dapat diandalkan. Nissan sendiri sudah lama diketahui mencoba menggarap mobil elektrik futuristis, diungkap perdana di Tokyo Motor Show tiga tahun silam.

Dan di minggu ini, Nissan kembali menyingkap versi ‘advanced  prototype‘ dari kendaraan bernama BladeGlider tersebut. Nissan telah memperbarui berbagai aspek di sana demi satu tujuan: menyuguhkan sebuah mobil elektrik yang menyenangkan dikendarai. Meski terdengar simpel, perusahaan otomotif Jepang itu membutuhkan waktu dua tahun lebih untuk menggodok sisi desain sampai teknologi mesinnya. Alhasil, BladeGlider selangkah mendekati tahap produksi.

Nissan BladeGlider 1

BladeGlider ‘v2’ merupakan working prototype, memiliki penampilan menyerupai mobil balap DeltaWing, bertubuh aerodinamis memanjang. Dengan mengurangi lebar di sisi depan kendaraan, BladeGlider mampu membelah angin lebih efektif tanpa memengaruhi setir. Kendaraan mempunyai sepasang pintu yang terbuka ke belakang, dan menempatkan pengemudi di sisi tengah layaknya McLaren F1. Berdasarkan rasio panjang, lebar dan wheelbase-nya, BladeGlider mempunyai dimensi hampir setara Ford Focus atau Nissan Leaf.

Nissan BladeGlider 3

Inkarnasi terbaru BladeGlider ini dikerjakan bersama-sama oleh Nissan dan Williams Advanced Engineering, tim yang telah lama berkiprah di ranah Formula 1. Artinya jangan mengherankan jika BladeGlider mengusung sejumlah aspek mobil balap, walaupun pada dasarnya ia bukan untuk balapan: susunan roda ala DeltaWing, dan kendaraan juga menggunakan dua buah layar di sisi display utama buat menggantikan cermin spion samping.

Performanya juga sama sekali tidak buruk. BladeGlider dibekali dua motor 130kW di masing-masing roda belakang, menghasilkan kekuatan 260-break horse power dan torsi 706,4-Newton-meter. Di atas aspal, kendaraan elektrik ini mampu melesat dari 0- ke 100-kilometer per jam dalam kurang dari lima detik, sanggup mencapai kecepatan maksimal di 185-kilometer per jam dengan membawa dua orang penumpang.

Nissan BladeGlider 2

Nissan BladeGlider menyajikan tiga mode mengemudi, yaitu Agile, Drift dan tanpa bantuan. Kehadiran mode Drift mengindikasikan kemampuan mobil di jalan berbelok-belok, dan mungkin dengannya, janji Nissan terhadap mobil yang menyenangkan untuk dikendarai dapat terpenuhi.

Untuk sekarang, hanya ada dua unit working  prototype BladeGlider; dan Nissan juga belum menjelaskan rincian soal kapasitas dan waktu charge baterai. Akan tersedia dua opsi warna, yaitu ‘stealth orange‘ dan ‘cyber green‘, mengindikasikan niatan produsen untuk merilisnya meski belum memberi tahu waktunya.

Via CNET & Top Gear.

Pakaian Superflex Simpan Sejumlah Kemampuan Jubah Batman

Batman dan Iron Man memperlihatkan bahwa kita tidak perlu terpapar sinar gamma atau digigit laba-laba radioaktif untuk jadi superhero; cukup butuh teknologi dan modal yang besar. Karakter-karakter fiktif itu juga menginspirasi peneliti dalam menciptakan penemuan inovatif, biasanya ditujukan buat membantu orang-orang dengan keterbatasan fisik.

Kreasi terbaru tim developer Kalifornia yang merupakan spin-off dari SRI International ini adalah alternatif dari exoskeleton biasa. Mereka memperkenalkan Superflex, pakaian yang memberikan penggunanya kekuatan ‘manusia super’. Device didesain agar bisa dimanfaatkan ke beragam keperluan, dari mulai untuk membantu penyandang cacat, orang berusia lanjut, hingga para prajurit.

Perbedaan utama Superflex dan exoskeleton standar terletak pada rancangannya. Ketika varian biasa berwujud besar karena harus menopang komponen-komponen robotik, Superflex hadir lebih simpel, layaknya pakaian biasa. Versi prototype-nya bisa dikenakan seperti baju selam, menutupi seluruh tubuh. Superflex dibekali sistem canggih, dapat membagi beban secara merata ke lengan, kaki dan badan.

Superflex menyimpan serangkaian sensor, mampu membaca dan mempelajari gerakan invidu, lalu secara cerdas menambahkan tenaga di lokasi serta momen yang tepat. Lewat teknik tersebut, pemakaian baterai juga jadi lebih hemat. Hal ini merupakan langkah jitu karena meskipun kemajuan teknologi komputasi berjalan begitu pesat, komponen baterai dan motor masih saja berukuran besar. Di masa pengembangannya, developer memang belum siap mengungkap info lebih detail, termasuk mengenai daya tahan baterai.

Pengembang menyingkap alasan mereka menciptakan Superflex: alat bantu jalan memang menjadi solusi termurah bagi orang yang memiliki keterbatasan dalam bergerak, namun alat-alat tersebut dinilai ‘melemahkan, menghilangkan harga diri, mengekang, dan menyebabkan berbagai macam masalah psikologis’.

Presiden SRI Ventures Manish Kothari menyatakan, “Tujuan Superflex adalah menghilangkan segala beban psikologis dan mengembalikan martabat sang user.”

Superflex tidak menyuguhkan kemampuan mobilitas penuh seperti exoskeleton SuitX, Hyundai ataupun Panasonic. Aspek andalan di Superflex ialah kapabilitas adaptasi sensor yang mendukung gerakan pemakai.

Tipe purwarupa Superflex memerlukan waktu lima menit buat dikenakan, tapi versi retailnya nanti akan lebih ringkas (dapat dipakai kurang dari dua menit), serta lebih hemat tempat dan praktis. Buat sekarang, developer belum memberi tahu kapan Superflex tersedia dan berapa harganya.

Sumber: MIT Technology Review.

Teknologi Pre-Touch Microsoft Lebih Canggih dari Apple 3D Touch

3D Touch adalah salah satu fitur andalan yang Apple sematkan di iPhone 6S. Berkatnya, smartphone mampu mengukur intensitas sentuhan – dapat membedakan tap normal atau tekanan kuat pada layar, diakui sebagai lompatan besar dalam penyajian touchscreen. Menariknya, terdengar kabar bahwa Microsoft sedang meramu teknologi sejenis tapi lebih canggih.

Melalui blog resmi, Microsoft memperkenalkan teknologi bernama Pre-Touch Sensing for Mobile Interaction. Meskipun pengembangannya masih dalam wilayah handset ber-touchscreen, pemakaian Pre-Touch tidak membutuhkan sentuhan. Metodenya mirip Samsung Air View, namun sang raksasa dari Redmod itu betul-betul menitikberatkan detail dan akurasi. Alhasil, Anda bisa menavigasi konten smartphone tanpa perlu menyentuhnya, membuat prosedurnya jadi efisien.

Pre-Touch memberikan kemampuan pada smartphone untuk mendeteksi posisi jari di sekitar layar termasuk saat Anda menggenggamnya. Seiring penggunaan, ia dapat beradaptasi terhadap cara kita berinteraksi dengan handset. Contoh sederhana: ketika Anda sedang menyaksikan video, tidak ada UI yang mengganggu. Interface baru akan keluar sewaktu jari mendekat, dan seperti biasa, Anda dapat mem-pause atau menggerakkan slider.

Pusat dari kapabilitas Pre-Touch terletak pada komponen touchscreen self-capacitive. Sebelumnya, teknik kendali hands-free seperti ini biasanya mengandalkan kamera depan di device atau mungkin ultrasonic, tapi versi Microsoft tersebut sepenuhnya memanfaatkan bagian layar. Pre-Touch mendongkrak tingkat akurasi dan keleluasaan pengoperasian via gesture, serta membantu bidang kolaborasi edit konten.

Seperti yang telah dibahas sedikit sebelumnya, Microsoft juga memodifikasi Pre-Touch agar mengetahui bagaimana cara Anda menggunakan device. Jika kebetulan Anda sedang memegangnya di tangan kanan dan mencoba mengakses konten (misalnya dengan jempol), UI akan dimunculkan di area yang mudah dijangkau. Hal serupa berlaku untuk tangan kiri. Berkat Pre-Touch, smartphone seolah-olah mengerti maksud Anda bahkan sebelum disentuh.

Lewat video yang diunggah minggu lalu, Microsoft memperlihatkan beberapa aspek yang terbantu karena Pre-Touch. Misalnya sewaktu menjelajahi web, hyperlink akan muncul seandainya device mendeteksi satu jari, lalu eksplorasi tab dapat diteruskan dengan merentangkan dua jari atau lebih.

Microsoft belum menginformasikan kapan Pre-Touch akan hadir di produk konsumen. Di sesi demo, tampaknya Microsoft memakai perangkat prototype. Semoga saja fitur ini segera diimplementasikan oleh para pencipta handset.

Via Digital Trends.

Prototype BMW i8 Tempuh 480 Km Cuma Berbekal Satu Tangki Hidrogen

BMW i merupakan sub-brand yang difokuskan oleh sang raksasa otomotif Jerman itu pada pengembangan kendaraan elektrik plug-in. Mereka cukup sukses mendorong tipe perdana, BMW i3, masuk ke pasar mainstream. i3 masih terus diproduksi, tetapi BMW sudah mempunyai visi mengenai penjelmaan seri i berikutnya melalui unit purwarupa BMW i8 bertenaga hidrogen. Continue reading Prototype BMW i8 Tempuh 480 Km Cuma Berbekal Satu Tangki Hidrogen

Lexus Berhasil Ciptakan Hoverboard

Tidak ada regulasi resmi yang mengatur soal pembuatan dan pemakaian skateboard. Berdasarkan sejarah, ia dianggap sebagai tren kontemporer sekaligus instrumen olahraga berbasis papan beroda. Itu sebabnya ada banyak sekali desain, misalnya longboard, shortboard, slalom board, wave board, hingga penjelmaan skateboard dalam kisah fiksi ilmiah: hoverboard. Continue reading Lexus Berhasil Ciptakan Hoverboard

Sambut Kebangkitan PC Desktop, MSI Siapkan Nightblade MI dan Aksesori Gaming

Ajang Computex Taipei 2015 menegaskan sebuah tren yang tampaknya kembali muncul belakangan: naiknya minat konsumen akan PC jenis desktop buat keperluan hiburan multimedia standard hingga gaming kelas antusias. Hal itu terbukti dengan merebaknya beragam tipe komputer dari mulai mini PC, small-form factor, hingga momentum kelahiran Steam Machines. Continue reading Sambut Kebangkitan PC Desktop, MSI Siapkan Nightblade MI dan Aksesori Gaming