OnePlus 8T Concept Punya Panel Belakang yang Bisa Berganti Warna Sesuai Pola Pernafasan

Januari lalu, OnePlus memperkenalkan konsep smartphone pertamanya, yakni OnePlus Concept One yang dibekali kamera belakang yang bisa ‘menghilang’. Di penghujung 2020 ini, OnePlus rupanya masih punya satu lagi konsep smartphone yang tidak kalah menarik.

Dijuluki OnePlus 8T Concept, perangkat ini secara mendasar identik dengan OnePlus 8T yang dirilis di bulan Oktober lalu. Namun seperti yang bisa kita lihat, bagian belakangnya tampak berbeda, dan di sinilah letak inovasi yang ingin OnePlus demonstrasikan.

Corak unik tersebut dapat berganti warna antara abu-abu atau biru, dan rahasianya terletak pada lapisan film yang berisikan metal oxide di balik panel kaca belakangnya. Ketika dialiri tegangan listrik dalam jumlah yang berbeda, ion-ion logam di dalamnya akan aktif dan warnanya pun berubah.

Apa gunanya? Yang paling sederhana tentu saja adalah sebagai indikator notifikasi, di mana bagian belakangnya bakal berganti warna ketika ada panggilan telepon masuk. Yang lebih kompleks adalah sebagai perangkat biofeedback untuk memonitor laju pernafasan seseorang, dan ini dapat dicapai berkat modul radar mmWave yang tertanam di tonjolan kamera belakangnya.

mmWave? Ya, teknologinya mirip seperti yang digunakan pada jaringan 5G mmWave, akan tetapi fungsinya di sini adalah untuk “merasakan, membayangkan, mencari, dan melacak objek” dengan mentransmisikan dan menerima gelombang elektromagnetis. Pada praktiknya, ada banyak yang dapat dibaca oleh modul radar ini; bukan hanya gerakan tangan (gesture) saja, tapi juga laju pernafasan, dan bagian belakangnya tadi dapat berganti warna sesuai dengan pola pernafasan yang ditangkap.

Seperti halnya OnePlus Concept One, sejauh ini OnePlus sama sekali belum menyinggung soal rencananya memproduksi massal 8T Concept. Lewat kedua konsep smartphone ini, OnePlus pada dasarnya ingin menunjukkan kepada dunia bahwa inovasi yang sepintas hanya terkesan baik untuk aspek estetika sebenarnya juga punya nilai fungsional yang menarik.

Pada OnePlus Concept misalnya, lapisan kaca electrochromic yang dapat memburam itu tak hanya berguna untuk menyembunyikan kamera saja, tapi sekaligus menjadi ND filter ketika dibutuhkan. Lalu pada OnePlus 8T Concept, panel belakang yang dapat berganti warna tadi rupanya juga dapat menjadi alat bantu medis ketika ditandemkan dengan teknologi radar mmWave.

Sumber: The Verge dan OnePlus.

OPPO Ungkap Konsep Foldable Smartphone yang Sangat Unik

OPPO X 2021 yang diperkenalkan pada ajang OPPO Inno Day bulan lalu bukan satu-satunya smartphone konsep berdesain unik yang sedang OPPO godok. Di event China International Industrial Design Expo (CIIDE) baru-baru ini, OPPO memamerkan konsep foldable smartphone yang benar-benar penuh intrik.

Sejauh ini cuma dijuluki “slide-phone“, mekanisme folding-nya sepintas mengingatkan saya pada Motorola Razr maupun Samsung Galaxy Z Flip, dengan dimensi yang tidak lebih besar dari kartu kredit dalam posisi terlipat. Namun yang membuatnya sangat unik adalah adanya lebih dari satu engsel pada layarnya, sehingga perangkat dapat digunakan dalam tiga mode yang berbeda, tidak melulu dengan layar yang terbuka lebar.

Pada mode yang pertama misalnya, pengguna dapat membuka hanya sepertiga dari total layarnya untuk melihat jam maupun notifikasi. Mode selanjutnya adalah mode selfie, dan terakhir ada mode full-screen dengan layar yang lebih lebar dari biasanya, yang bisa berguna untuk menampilkan kontrol virtual tambahan maupun multitasking.

Selama berpindah dari satu mode ke yang lain, fungsi tombol di bagian sampingnya juga berubah mengikuti kebutuhan. Sisi sampingnya juga menjadi rumah untuk sebuah stylus. Konsep unik ini merupakan hasil kolaborasi langsung antara OPPO dan studio desain asal Jepang, Nendo.

Selain slide-phone tadi, kolaborasi OPPO dan Nendo turut melahirkan konsep lain yang tak kalah unik, yang mereka juluki dengan istilah “music-link“. Konsep ini melibatkan banyak perangkat, mulai dari smartwatch, smart speaker sampai wireless charger, akan tetapi yang menjadi bintang utamanya adalah TWS unik berbentuk seperti gagang telepon.

Idenya adalah, cukup dengan menyimpan TWS dalam charging case lalu meletakkannya di atas smart speaker, maka musik secara otomatis akan bertransisi dari TWS ke speaker. Namun seandainya tidak ada fitur tersebut pun wujud TWS-nya sudah sangat mengundang perhatian, terutama berkat kemampuannya ditancapkan satu sama lain sehingga membentuk seperti sebuah donat.

Namanya konsep, kedua perangkat ini mungkin masih lama sebelum bisa direalisasikan, atau malah tidak sama sekali. Terlepas dari itu, yang perlu kita soroti adalah bagaimana produsen smartphone terus mengeksplorasi beragam desain demi mengatasi tren bertambah besarnya layar smartphone, yang tentunya dapat berpengaruh banyak terhadap aspek ergonomi.

Sumber: OPPO.

Alice Adalah Konsep Kamera dengan Sensor MFT dan Menggabungkan Kekuatan AI Smartphone

Fotografi merupakan aspek penting dari sebuah smartphone. Setiap model smartphone baru dirilis, kamera selalu menjadi sorotan utama dan teknologinya terus menerus berkembang.

Kedepannya apakah mungkin kamera smartphone memiliki sistem lensa yang bisa diganti? Atau justru sebaliknya, pabrikan kamera mengadopsi sistem operasi Android dan menghadirkan fungsi smartphone di kamera mirrorless. Sayangnya saat ini belum kesana, tetapi konsep kamera bernama ‘Alice’ mendekatinya.

Alice adalah interchangeable lens camera dengan sensor Micro Four Thirds (MFT) yang terintegrasi dengan smartphone. Kamera ini memiliki chip AI khusus dengan machine learning untuk mendorong batasan dari apa yang dapat dilakukan oleh sebuah kamera.

Saat ini, kamera Alice masih dalam prototipe konsep dan akan tersedia di platform crowdfunding Indiegogo pada bulan Februari 2021 mendatang. Kamera ini dirancang oleh kolaborasi tim engineer, data scientist, dan content creator di Inggris sejak bulan November 2019 dan pada bulan Juli 2020 desain konsep ketiga Alice telah terbentuk berdasarkan umpan balik customer. Mereka juga telah mewawancari 1.000 fotografer dan videografer untuk mendengar keluh kesahnya dan menjawabnya lewat Alice.

5f17f3c4d278cc45971ffe32_website-3-gigapixel-scale-2_00x

Kamera ini tidak memiliki layar sendiri, jadi kita bisa memasangkan smartphone untuk mengendalikan pengaturan kamera, termasuk untuk melihat pratinjau dan meninjau foto. Kamera dan smartphone akan berkomunikasi menggunakan koneksi nirkabel 5GHz. Berkat chip AI yang dimilikinya, kamera akan menawarkan kemampuan dan teknik baru untuk autofocus, autoexposure, colour science, dan banyak lagi.

5f17f472a22e253e30dcc51d_iPhone-X-XS-11-Pro-–-8_2x_iphonexspacegrey_portrait-p-1080

Anda tentu setuju bahwa fitur-fitur berbasis AI di kamera smartphone selangkah lebih maju dibanding di kamera digital. Bayangkan semua kelebihan tersebut dikombinasikan dengan sensor sebesar Micro Four Thirds dan dukungan berbagai lensa berkualitas tinggi.

Untuk menjawab kebutuhan selfie dan vlogging, smartphone juga bisa dipasangkan secara terbalik dan kita bisa menggunakan sebagian layar smartphone untuk menyesuaikan komposisi. Penyimpanannya menggunakan Micro SD dan hasilnya bisa segera ditransfer untuk diedit dan dibagian ke media sosial.

5f17f4171e5dbcd12cb80393_transparent-1-gigapixel-scale-2_00x-p-500_copy

Alice dapat merekam video 4K pada 30p atau Full HD pada 60p dan kita bisa memanfaatkan Alice untuk melakukan live streaming. Ukuran piksel besar dan struktur Quad Bayer memberikan performa di kondisi pencahayaan rendah lebih baik dan dynamic range lebih luas.

Harga normal Alice Camera nantinya dibanderol £750 atau sekitar Rp14,3 juta. Namun untuk pengguna awal lewat pemesanan di Indiegogo harga £450 dan £550 dengan deposit sebesar £50, kemudian akan dikirim mulai bulan Maret 2021.

Sumber: DPreview

Dell Pamerkan Laptop Berlayar Lipat dan Berlayar Ganda, Concept Ori dan Concept Duet

Lenovo ThinkPad X1 Fold rupanya bukan satu-satunya foldable laptop yang tengah dipamerkan di ajang CES 2020. Dalam kesempatan yang sama, Dell pun turut menyingkap foldable laptop versinya sendiri, tidak ketinggalan juga sebuah laptop berlayar ganda ala Microsoft Surface Duo.

Dell menamai foldable laptop-nya Concept Ori, dan sesuai namanya, Dell belum punya rencana untuk memproduksinya secara massal. Namanya berasal dari kata “origami”, sebab seperti halnya ThinkPad X1 Fold, layar milik Concept Ori juga bisa dilipat dengan mudah. Ukuran layarnya pun mirip di angka 13 inci.

Dell Concept Ori

Dell tidak membeberkan terlalu banyak detail mengingat perangkat ini baru berstatus konsep, namun premis yang ditawarkan sejatinya tidak jauh berbeda dari besutan Lenovo. Dari kacamata sederhana, anggap saja Dell Concept Ori maupun Lenovo ThinkPad X1 Fold sebagai tablet Windows yang dapat dilipat saat sedang tidak digunakan.

Dell Concept Duet

Untuk yang berlayar ganda, Dell menamainya Concept Duet. Sama-sama berstatus konsep, kedua perangkat ini mencerminkan kesiapan Dell untuk menyambut era baru di industri laptop. Faktor lain yang juga menjadi pertimbangan terkait status konsepnya adalah sistem operasi; Microsoft belum merilis Windows 10X secara resmi, sehingga wajar apabila Dell memilih untuk menunggu.

Concept Duet sendiri punya banyak kemiripan dengan Surface Duo. Sepasang layar 13,4 incinya disambungkan oleh engsel 360 derajat, dan keduanya sama-sama mendukung input via sentuhan jari atau stylus. Juga mirip dengan Surface Duo adalah aksesori keyboard Bluetooth yang dapat dipasangkan ke salah satu layarnya, menutupi separuh bagiannya.

Dell Concept Duet

Sejauh ini Dell belum menyinggung soal ketersediaan sama sekali. Seperti yang saya bilang, kemungkinan besar Dell menunggu Windows 10X diluncurkan secara resmi, atau bisa juga mereka ingin melihat dulu bagaimana respon publik terhadap Lenovo ThinkPad X1 Fold dan Microsoft Surface Duo sebelum ikut berpartisipasi.


Sumber: SlashGear dan Dell.

Razer Project Ariana Sajikan Pengalaman Gaming yang Immersive Tanpa Melibatkan VR

Project Valerie bukan satu-satunya kejutan Razer untuk CES 2017. Mereka rupanya juga telah menyiapkan konsep lain yang tak kalah radikal. Didapuk Project Ariana, Razer pada dasarnya ingin menyuguhkan pengalaman gaming yang lebih immersive tanpa melibatkan virtual reality.

Project Ariana pada dasarnya merupakan sebuah proyektor 4K yang punya fungsi utama untuk memperluas tampilan game yang tampak di monitor. Sederhananya, Project Ariana akan memberikan Anda sebuah layar raksasa, meski fokusnya tetap berada di monitor Anda di tengah.

Untuk bisa mewujudkan semua ini, lensa fisheye saja tentunya tidak cukup. Project Ariana juga harus dilengkapi dengan sepasang kamera 3D beserta software pendampingnya agar bisa mendeteksi posisi monitor sekaligus bentuk ruangan dan faktor-faktor pendukung lainnya.

Tidak cuma lensa fisheye, Project Ariana turut mengemas sepasang kamera 3D dan teknologi Razer Chroma / Razer
Tidak cuma lensa fisheye, Project Ariana turut mengemas sepasang kamera 3D dan teknologi Razer Chroma / Razer

Project Ariana juga mengandalkan teknologi Razer Chroma yang sekarang terdapat pada hampir semua produk buatan Razer. Chroma pada dasarnya memungkinkan perangkat untuk berkomunikasi dengan game secara real-time demi menyajikan efek pencahayaan – atau proyeksi video dalam kasus ini – yang sesuai.

Project Ariana sejauh ini memang baru berupa konsep, akan tetapi Razer sudah punya prototipenya dan tidak segan mendemonstrasikannya di hadapan pengunjung CES 2017 di Las Vegas. Razer juga optimis bisa merilis versi finalnya ke konsumen pada akhir tahun ini juga.

Kalau Anda masih penasaran bagaimana Razer bisa menumbuhkan kesan immersive tanpa melibatkan VR, video di bawah bisa menjawabnya.

Sumber: Razer dan Gizmodo.

Razer Umumkan Project Valerie, Konsep Laptop Gaming dengan Tiga Monitor Sekaligus

Sejak pertama berdiri, Razer dikenal sangat berani bereksperimen dengan konsep-konsep perangkat gaming yang cukup radikal macam Project Christine. Meski memang tidak ada yang bisa memberikan kepastian terkait realisasi dari konsep-konsep ini, apa yang Razer lakukan setidaknya bisa memberikan gambaran mengenai masa depan industri gaming.

Dalam perhelatan CES 2017, Razer kembali tampil dengan konsep yang tidak kalah ekstrem. Didapuk Project Valerie, Razer merancang konsep ini sebagai laptop gaming pertama yang memiliki lebih dari satu monitor. Tiga buah tepatnya, yang masing-masing berukuran 17,3 inci dengan resolusi 4K dan dukungan teknologi Nvidia G-Sync.

Dua monitor tambahan tersebut tersembunyi di balik monitor utamanya saat sedang tidak digunakan. Begitu diaktifkan, keduanya akan keluar dari huniannya secara otomatis, menyesuaikan angle dengan sendirinya supaya pemain bisa menikmati konten seoptimal mungkin dalam sudut pandang seluas 180 derajat.

Project Valerie dalam posisi tertutup, dengan tebal bodi tak lebih dari 3,8 cm / Razer
Project Valerie dalam posisi tertutup, dengan tebal bodi tak lebih dari 3,8 cm / Razer

Secara fisik, Project Valerie mengambil Razer Blade Pro sebagai basisnya, lengkap hingga jeroan-jeroannya yang mencakup GPU Nvidia GTX 1080 – krusial untuk menenagai tiga monitor sekaligus dengan resolusi total 12K – plus keyboard mekanik berwujud tipis rancangan Razer sendiri.

Semuanya dikemas dalam sasis aluminium unibody dengan tebal tak lebih dari 3,8 cm dan bobot kurang dari 5,4 kg. Razer juga merancang power adapter-nya seringkas mungkin supaya aspek portable tetap bisa dikedepankan.

Razer Project Valerie memang baru sebatas konsep, tapi saya cukup optimis Razer sanggup merealisasikannya. Potensi pasarnya pun cukup kuat seandainya Razer bisa mematok harga yang masuk akal, bukan cuma di kalangan gamer saja, tapi juga para kreator dari berbagai bidang.

Sumber: Razer.

Rayakan Ulang Tahun ke-100, BMW Pamerkan Motor Futuristis Dengan Kecerdasan Buatan

BMW mulai memproduksi motor sejak berakhirnya Perang Dunia pertama dan brand tersebut kini dikenal sebagai BMW Motorrad. Demi menjaga tradisi, sang produsen asal Jerman itu masih memanfaatkan konfigurasi flat twin boxer, namun mereka tentu saja punya visi akan masa depan alat transportasi. Dan di momen ulang tahun ke-100, BMW menyingkap gagasan terbarunya.

Dalam acara yang dilangsungkan di Santa Monica, BMW Group memamerkan beberapa kendaraan konsep futuristis, dan BMW Motorrad Vision Next 100 merupakan salah satu di antaranya. Dalam mengembangkan ide-ide tersebut, BMW berpedoman pada prinsip ‘efficient dynamics‘, tapi kali ini mereka lebih menitikberatkan faktor dinamika. Alhasil, Motorrad Vision Next 100 tidak seperti kendaraan roda dua yang biasa kita lihat.

BMW Motorrad Vision Next 100 1

Penampilan Motorrad Vision Next 100 lebih unik dari wujud Lightcycle Tron yang kadang dijadikan standar rancangan motor masa depan. Frame tubuhnya menyerupai segitiga, dikombinasi garis-garis sejajar. Di tengah, BMW menempatkan mesin boxer klasik, dimaksudkan agar mempunyai benang merah dengan R32, motor pertama buatan BMW. Tempat duduk, cover frame dan sayap terbuat dari bahan karbon, dan Motorrad Vision Next 100 kabarnya akan ditenagai ‘bahan bakar non-bensin’.

Lalu untuk menyempurnakan kesan futuristis itu, BMW menghilangkan semua tombol di area depan, kecuali sebuah switch merah di ujung setang sebelah kanan.

BMW Motorrad Vision Next 100 2

BMW juga berencana mengimplementasikan struktur ‘flexframe‘, sebuah bahan yang memungkinkan sepeda motor menikung tanpa memerlukan engsel atau sambungan. Idenya adalah, ketika pengendara menggerakkan setang, Motorrad Vision Next 100 segera menyesuaikan frame-nya.

Meski baru berupa gagasan, kemampuannya tidak kalah mutakhir. BMW bermaksud membekali motor dengan kecerdasan buatan sehingga kita tidak perlu lagi mengenakan baju pelindung dan helm ketika mengendarai Motorrad Vision Next 100. AI tersebut memungkinkan tersedianya fitur self-balancing, menjaga posisi kendaraan tetap lurus sewaktu berhenti dan miring secara optimal saat belok.

BMW Motorrad Vision Next 100 3

Selain itu, Motorrad Vision Next 100 juga dibekali Digital Companion, bertugas memberikan masukan pada pengemudi serta menyarankan hal-hal esensial sehingga Anda memperoleh pengalaman berkendara terbaik. Terdapat pula aksesori pelengkap bernama The Visor, berbentuk seperti kacamata, dengan fungsi menyajikan field of vision yang luas serta info-info penting terkait kondisi jalan. Ia mampu merespons serta menyesuaikan gerakan mata.

Jika kebetulan sedang berada di wilayah Los Angeles, Anda bisa melihat langsung Motorrad Vision Next 100 di Barker Hangar, terbuka untuk publik mulai tanggal 13 sampai 16 Oktober.

BMW Motorrad Vision Next 100 4

Via Bloomberg & Arstechnica. Sumber: BMW.

Hasselblad Pamerkan Konsep Kamera Medium Format Berdesain Modular

Di saat Fujifilm tengah memamerkan prototipe kamera mirrorless medium format-nya, dedengkot kamera medium format Hasselblad malah ‘bermain-main’ dengan konsep kamera modular bernama V1D 4116 Concept dalam rangka memperingati ulang tahun perusahaan yang ke-75 (1941 – 2016), sehingga muncullah label “4116” pada namanya.

Lewat konsep ini, Hasselblad ingin mencoba merefleksikan pencapaian mereka di masa lalu dengan kemajuan teknologi modern. Desain V1D banyak terinspirasi oleh kamera klasik Hasselblad V yang serba kotak. Pun demikian, kubus aluminium ini bisa diperluas fungsionalitasnya dengan bantuan sejumlah modul.

Hasselblad V1D 4116 Concept tanpa dipasangi modul / Hasselblad
Hasselblad V1D 4116 Concept tanpa dipasangi modul / Hasselblad

Ibaratnya Project Ara tapi untuk kamera; sisi atas, bawah, kiri dan kanan V1D dapat dipasangi sejumlah modul seperti display, viewfinder maupun hand grip. Seandainya diperlukan, pengguna boleh saja memasangkan dua display sekaligus di belakang dan atas V1D.

Desain modular ini juga dapat memanjakan para fotografer kidal, dimana grip-nya yang mengemas tombol shutter bisa diposisikan di sebelah kiri. V1D sederhananya tidak cuma ingin memenuhi kriteria pengguna akan sebuah kamera dengan kualitas gambar terbaik, tetapi juga mengakomodasi perbedaan konfigurasi yang menjadi pilihan masing-masing pengguna.

Display di belakang, viewfinder di atas; atau bisa juga dua display sekaligus di belakang dan atas / Hasselblad
Display di belakang, viewfinder di atas; atau bisa juga dua display sekaligus di belakang dan atas / Hasselblad

Hasselblad menegaskan bahwa V1D baru sebatas konsep dan belum ada prototipe yang bisa didemonstrasikan. Tidak ada yang tahu apakah kamera ini bakal benar-benar direalisasikan menjadi produk final atau tidak, apalagi soal banderol harganya.

Sumber: Hasselblad dan DPReview.

Nissan Gandeng Tim F1 Untuk Garap Mobil Elektrik Futuristis BladeGlider

Kepopularitasan Tesla serta munculnya berbagai konsep mobil sport bermesin elektrik dari para produsen ternama perlahan-lahan menyingkirkan anggapan bahwa kendaraan EV tidak bisa tampil keren dan kurang dapat diandalkan. Nissan sendiri sudah lama diketahui mencoba menggarap mobil elektrik futuristis, diungkap perdana di Tokyo Motor Show tiga tahun silam.

Dan di minggu ini, Nissan kembali menyingkap versi ‘advanced  prototype‘ dari kendaraan bernama BladeGlider tersebut. Nissan telah memperbarui berbagai aspek di sana demi satu tujuan: menyuguhkan sebuah mobil elektrik yang menyenangkan dikendarai. Meski terdengar simpel, perusahaan otomotif Jepang itu membutuhkan waktu dua tahun lebih untuk menggodok sisi desain sampai teknologi mesinnya. Alhasil, BladeGlider selangkah mendekati tahap produksi.

Nissan BladeGlider 1

BladeGlider ‘v2’ merupakan working prototype, memiliki penampilan menyerupai mobil balap DeltaWing, bertubuh aerodinamis memanjang. Dengan mengurangi lebar di sisi depan kendaraan, BladeGlider mampu membelah angin lebih efektif tanpa memengaruhi setir. Kendaraan mempunyai sepasang pintu yang terbuka ke belakang, dan menempatkan pengemudi di sisi tengah layaknya McLaren F1. Berdasarkan rasio panjang, lebar dan wheelbase-nya, BladeGlider mempunyai dimensi hampir setara Ford Focus atau Nissan Leaf.

Nissan BladeGlider 3

Inkarnasi terbaru BladeGlider ini dikerjakan bersama-sama oleh Nissan dan Williams Advanced Engineering, tim yang telah lama berkiprah di ranah Formula 1. Artinya jangan mengherankan jika BladeGlider mengusung sejumlah aspek mobil balap, walaupun pada dasarnya ia bukan untuk balapan: susunan roda ala DeltaWing, dan kendaraan juga menggunakan dua buah layar di sisi display utama buat menggantikan cermin spion samping.

Performanya juga sama sekali tidak buruk. BladeGlider dibekali dua motor 130kW di masing-masing roda belakang, menghasilkan kekuatan 260-break horse power dan torsi 706,4-Newton-meter. Di atas aspal, kendaraan elektrik ini mampu melesat dari 0- ke 100-kilometer per jam dalam kurang dari lima detik, sanggup mencapai kecepatan maksimal di 185-kilometer per jam dengan membawa dua orang penumpang.

Nissan BladeGlider 2

Nissan BladeGlider menyajikan tiga mode mengemudi, yaitu Agile, Drift dan tanpa bantuan. Kehadiran mode Drift mengindikasikan kemampuan mobil di jalan berbelok-belok, dan mungkin dengannya, janji Nissan terhadap mobil yang menyenangkan untuk dikendarai dapat terpenuhi.

Untuk sekarang, hanya ada dua unit working  prototype BladeGlider; dan Nissan juga belum menjelaskan rincian soal kapasitas dan waktu charge baterai. Akan tersedia dua opsi warna, yaitu ‘stealth orange‘ dan ‘cyber green‘, mengindikasikan niatan produsen untuk merilisnya meski belum memberi tahu waktunya.

Via CNET & Top Gear.

Toyota Singkap uBox, Kendaraan Konsep Customizable Untuk ‘Generasi Penerus’

Melihat berbagai kendaraan konsep yang diungkap produsen otomotif, visi mereka terhadap alat transportasi masa depan berbeda-beda. Konsumen kini disuguhkan gagasan-gagasan mengenai potensi mobil pintar serta driverless car. Bagi kita, ide-ide futuristis ini sangat mengagumkan, tapi penasarankah Anda akan seperti apa kendaraan buat generasi penerus?

Toyota ternyata telah memikirkannya. Raksasa otomotif asal Jepang itu menggandeng tim mahasiswa dari International Center for Automotive Research di Clemson University, dan memperkenalkan mobil konsep bernama uBox. Ia adalah sebuah van unik, didesain untuk Generasi Z, yaitu konsumen yang terlahir antara pertengahan 1990- sampai 2010-an. Mayoritas berada di akhir masa remaja, mereka inilah para calon pembeli dan pemilik mobil masa depan.

Toyota uBox 02

Tim mengerjakan uBox selama dua tahun. Dalam menentukan desainnya, Toyota dan Clemson membayangkan cara favorit muda-mudi masa kini buat berpindah dari satu tempat ke tempat lain bersama kawan-kawannya. Ternyata mereka menyukai rancangan tajam dan mengotak, pintu depan dan belakang yang terbuka ke arah berlawanan (suicide doors), rangkaian LED, dan kabin yang dikelilingi kaca.

Toyota uBox pada dasarnya merupakan kendaraan utility untuk lima penumpang, dengan komponen yang bisa dikustomisasi. Anda dipersilakan memilih sendiri warna ventilasi udara, kabin, dan trim; desain baru dapat diunduh dan dicetak sendiri via 3D printer. Bangku-bangku gampang dilepas buat memberikan ruang tambahan. Gagasannya memang cukup liar, namun pendekatan tersebut membebaskan pengemudi mengekspresikan karakter mereka, serta menjaga agar penampilan mobil tetap up-to-date hingga ke tahun-tahun berikutnya.

Toyota uBox 03

Manusia modern (dan kemungkinan besar para penerus kita) hampir tak bisa hidup tanpa gadget pintar, dan Toyota mengerti hal ini. Untuk memaastikan Anda memperoleh akses ke sumber listrik, uBox dibekali outlet power 110-volt, diambil dari powertrain. Sayangnya info mengenai bagian ini masih terbilang minim. Toyota hanya bilang bahwa uBox memanfaatkan motor full-elektrik.

Untuk menyangga atap kaca, Toyota memanfaatkan struktur dari kombinasi material komposit serat karbon serta aluminium, dan versi konsep ini dibuat dengan tangan. uBox merupakan bagian proyek Deep Orange Toyota, dimaksudkan sebagai wadah agar mahasiswa dapat mendalami bidang pengembangan otomotif – dari mulai riset pasar dan desain, hingga proses engineering dan produksi.

Toyota uBox 04

Toyota menjelaskan, target uBox ialah para wiraswastawan muda yang membutuhkan kendaraan serbaguna, mampu menunjang kerja, gaya hidup serta rekreasi.

Via Top Gear. Sumber: Toyota.