Unicorn Bukan Fokus Utama, Startup Perlu Lebih Perhatikan Fundamental

Menurut APJII, penetrasi internet di Indonesia di tahun 2023 telah mencapai 78,19% atau menembus 215.626.156 jiwa dari total populasi yang sebesar 275.773.901 jiwa. Angka ini meningkat hampir 200% dari satu dekade lalu sebesar 71,9 juta, sekitar 34,9% dari total populasi saat itu.

Sejalan dengan itu, pertumbuhan perusahaan teknologi juga semakin pesat. Hingga saat ini terdapat setidaknya 14 unicorn atau startup bervaluasi lebih dari $1 miliar di Indonesia. Angka ini meningkat pesat dibanding periode 2016-2020 yang mencetak 5 perusahaan unicorn.

Melihat potensi perkembangan industri teknologi Indonesia, bank OCBC NISP menggelar “OCBC NISP Business Forum 2023” dengan salah satu tema utamanya bertajuk “Finding the Next Unicorn”. OCBC NISP sendiri turut mendukung pertumbuhan industri teknologi melalui perpanjangan tangan dalam bentuk investasi OCBC NISP Ventura.

Beberapa figur kenamaan di ekosistem investasi Indonesia hadir sebagai panelis, termasuk Willson Cuaca (East Ventures), Alexander Rusli (Digiasia), serta Darryl Ratulangi (OCBC NISP Ventura). Ketiganya berbagi pandangan tentang unicorn dalam industri teknologi, serta rekomendasi dan strategi perusahaan rintisan di tengah isu tech winter dan resesi.

Utamakan fundamental

Adalah mutlak bagi sebuah perusahaan rintisan untuk menciptakan solusi bagi permasalahan yang ada di pasar. Membangun produk yang baik membutuhkan proposisi nilai yang dapat dipertahankan. Untuk mencapai hal ini, startup perlu menetapkan posisi produk yang kuat, menemukan kecocokan pasar produk, dan memanfaatkan teknologi untuk mendobrak model bisnis tradisional.

Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menegaskan, “Kami berinvestasi berdasarkan keyakinan, alih-alih mencari valuasi atau unicorn. Kami tidak pernah mencari unicorn, karena unicorn adalah produk sampingan saat Anda mampu menciptakan nilai. Apa yang kami cari adalah problem statement yang ingin diselesaikan, yang akan menentukan apakah solusinya adalah ‘penghilang rasa sakit’ atau hanya ‘vitamin’,”

Co-Founder & Co-CEO Digiasia Alexander Rusli mengamini hal ini. Menurutnya, perusahaan tidak seharusnya fokus pada misi untuk mencapai unicorn, melainkan mencurahkan pikiran sepenuhnya pada usaha untuk membangun bisnis yang baik. “Jika memang berjalan, valuasi akan mengikuti,” tegasnya.

Alex menilai bahwa banyak para pendiri yang memiliki mindset bahwa valuasi adalah segalanya dan berangkat dengan mimpi menjadi unicorn. Pandemi dan tech winter ini disebut sebagai pengingat serta proses pembentukan mental para pendiri. “Kita butuh orang-orang yang mengerti cara berjuang dan tidak menyerah ketika dihadapkan pada tantangan,” ujarnya.

Di samping itu, Darryl Ratulangi selaku Direktur OCBC NISP Ventura juga mengungkapkan pengaruh sentimen pasar terhadap keberlangsungan sebuah industri. “Perusahaan teknologi dengan fundamental yang baik tetapi memiliki sentimen buruk di masyarakat akan mengakibatkan valuasi tertekan,” ujarnya.

Maka dari itu dibutuhkan kerja sama dari seluruh ekosistem untuk bisa menciptakan pasar yang memiliki sentimen baik, sehingga ke depannya juga bisa membangun kepercayaan investor untuk bisa menanamkan modal di perusahaan.

Kejar profitabilitas

Dalam industri digital, atribut dari startup digital yang baik adalah disrupsi, menciptakan sesuatu yang sama sekali baru, yang membutuhkan waktu dan sumber daya. Jadi, tujuan utama sebuah startup pada awalnya bukanlah untuk menghasilkan uang, tetapi untuk membangun produk yang kuat.

“Melihat ke belakang, tidak ada yang mengira bahwa ride-hailing atau OTA (online travel agent)menjadi solusi yang tepat bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Terminologi ‘burning money’ dapat diartikan sebagai upaya membeli waktu dan membangun kepercayaan. Proses masyarakat dari tidak tahu menjadi tahu, lalu mulai menggunakan, hingga semakin bergantung pada layanan-layanan tersebut,” papar Darryl.

Dengan tingkat pertumbuhan yang pesat, ada beberapa model bisnis yang tidak bisa scale up sehingga pertumbuhannya akan mandek di satu titik. Dalam ranah aplikasi, sering disebut skalabilitas, yaitu kemampuan sistem untuk terus tumbuh menyesuaikan dengan volume data. “Di sinilah teknologi berperan dalam mengakselerasi sebuah bisnis dan meningkatkan skalabilitasnya,”ujar Alex.

Ketika sudah sampai pada tahap ini, Willson mengungkapkan, “Kami tidak mendorong startup kami untuk ‘membakar uang’ untuk mendapatkan pelanggan, sebaliknya perusahaan perlu fokus untuk mencapai profitabilitasnya; karena akuisisi pelanggan lebih murah, dan pelanggan lebih cenderung mempertahankan produk.”

Terkait profitabilitas, Alex turut menambahkan,”Saya percaya setiap transaksi, unit economics-nya harus positif, hingga sampai pada skala tertentu di mana angka tersebut bisa menutupi biaya produksi, sehingga pada akhirnya menciptakan profit.”

Pasar yang potensial

Tahun 2022 sendiri menjadi tahun yang cukup berat bagi industri teknologi maupun investasi. Mulai dari tantangan yang ditimbulkan oleh resesi global, tech winter yang terjadi di industri teknologi, dan runtuhnya Silicon Valley Bank di Amerika Serikat, semua telah memengaruhi penilaian terhadap startup.

Meskipun begitu, East Ventures mengaku tetap berkomitmen untuk berinvestasi di Indonesia – pasar terbesar di Asia Tenggara. Di tahun 2022, East Ventures telah mencatat total 105 kesepakatan, 85 di antaranya merupakan portofolio baru, dengan total dana sekitar US$211 juta yang disalurkan kepada startup di tahap awal dan lanjut.

Sementara itu OCBC NISP Ventura sebagai modal ventura yang didukung oleh bank akan tetap fokus berinvestasi di sektor yang berkaitan dengan perbankan. Namun, melihat perkembangan teknologi di industri perbangkan serta banyaknya inovasi digital yang bermunculan, Darryl memiliki keyakinan bahwa “Semua perusahaan rintisan pada akhirnya akan menjadi perusahaan fintech!”

Sebagai seorang investor dan juga pemimpin perusahaan fintech as a service pertama di Indonesia, Alex percaya bahwa investasi mengalir ketika kepercayaan sudah terbentuk. Hal ini juga berlaku pada East Ventures yang dinakhodai Willson Cuaca.

“Di East Ventures, kami biasa menilai dengan rumus “3P” – People, Product, and Potential Market. Namun, produk bagus dibangun oleh orang baik yang menangani pasar besar. Jadi yang kami fokuskan sekarang adalah “2P”: People and Potential Market. Kami tidak menganggap diri kami sebagai investor digital, melainkan investor biasa yang berinvestasi pada pendiri yang memanfaatkan teknologi digital untuk mendisrupsi industri tradisional,” ungkap Willson.

Alexander Rusli Uraikan Potensi Fintech dan Rencana Ekspansi Digiasia

Co-Founder dan Co-CEO Digiasia Alexander Rusli bicara tentang perkembangan pasar fintech, aksi melantai di bursa saham AS, hingga peran gandanya sebagai angle investor.

Berbincang dengan DailySocial.id, pria yang karib disapa Alex ini melihat potensi pasar Fintech-as-a-Service (FaaS) masih sangat besar seiring dengan semakin matangnya (maturity) pemahaman industri terhadap layanan fintech. Berbeda dengan tiga tahun lalu, saat industri belum memahami bagaimana fintech bisa relevan bagi bisnis B2B. Meningkatnya pemahaman ini juga membuat penjajakan sinergi/kolaborasi menjadi lebih mudah.

Sepanjang 2022, ujarnya, pertumbuhan bisnis Digiasia banyak dimotori oleh sektor fintech, terutama P2P lending. Menurutnya, kebutuhan pelaku fintech mulai meningkat agar mereka bisa lebih fokus mengelola bisnis inti, dan tidak perlu repot untuk mengajukan lisensi baru.

Selain perusahaan fintech, pihaknya juga mulai banyak masuk ke lembaga keuangan konvensional, seperti bank daerah. Ia berujar ke depannya persaingan tidak hanya terjadi pada pemain independen, tetapi juga bank-bank besar yang sudah masuk ke produk Banking-as-a-Service (BaaS).

Saat ini, Alex menyebut pihaknya tengah mengurus lisensi untuk produk payment gateway Syariah dan wallet Syariah. “Belum live, lagi diurus di BI. Kami selalu lihat pain point, kebutuhannya apa. Pada akhirnya, [kebutuhan] orang semakin disiplin, pasti akan ke sana [produk Syariah],” ujarnya kepada DailySocial.id.

Sebagai informasi, Digiasia didirikan pada 2017 oleh Alexander Rusli dan Prashant Gokarn. Saat ini, pihaknya menawarkan sejumlah solusi keuangan digital dengan lisensi wallet, lending channeling, remittance, hingga LKD.

Terbaru, Digiasia berencana go public melalui kesepakatan merger dengan perusahaan cangkang Stonebridge Acquisition Corporation. Dengan mekanisme ini, penilaian pra-ekuitas lewat transaksi penggabungan kedua perusahaan ini ditarget sebesar $500 juta. Mastercard dan Reliance Capital Management (RCM) sebagai pemegang saham Digiasia akan menggulirkan 100% dari ekuitasnya menjadi perusahaan gabungan sebagai bagian dari transaksi.

“Kami pilih IPO di AS karena [likuiditas] uang di sana banyak, di sini lagi [susah], makanya ada tech winter. SPAC sudah di-set up seperti itu. Target realisasi IPO di kuartal II 2023, tetapi itu tergantung SEC approval. Di sana peraturah lebih jelas. Semua lebih eksplisit,” tuturnya.

Alex menambahkan, modal ini akan dimanfaatkan untuk memuluskan rencana ekspansi Digiasia ke Asia Tenggara. Rencananya, perusahaan akan mencaplok perusahaan sejenis di negara terkait untuk mempermudah lisensi dan komersialisasi layanan. Lisensi yang dimiliki perusahaan mitra tidak harus sama dengan Digiasia.

Peran sebagai investor

Alex juga membeberkan pengalamannya sebagai angel investor yang dilakoni sejak beberapa tahun terakhir. Ia aktif berinvestasi ke berbagai startup tahap awal. Portofolionya sekarang ada 31, termasuk Digiasia yang ia dirikan bersama Prashant Gokarn, sesama eks petinggi Indosat.

Saat mencari peluang bisnis baru, ada sejumlah kriteria penting bagi Alex sebelum memutuskan berinvestasi. Pertama, ia butuh waktu panjang untuk mengenal karakter founder dan memahami bisnisnya, bisa enam bulan hingga lebih dari satu tahun.

“As an early [stage] investor, you have to trust the [founder] character karena produknya belum ada. Saya ingin lihat bagaimana founder mau fight for my money, apakah saya cocok dengan cara kerjanya. Makanya, saya jarang berinvestasi di startup yang founder-nya cuma satu karena risikonya tinggi,” ungkap Alex.

Ia meyakini perusahaan masih dapat tetap berjalan meski tidak bisa memperoleh pendanaan berikutnya. Menurutnya, perusahaan tidak akan mati, hanya saja pertumbuhannya flat. Maka itu, Alex mencari bisnis yang sekiranya 80% sudah berkelanjutan.

Menanggapi penurunan industri startup, Alex bilang bahwa situasi tersebut justru menjadi eye-opener agar ekspektasi para founder menjadi lebih realistis. Bahwasannya, metode valuasi yang ia katakan sejak awal tidak masuk akal, sekarang menjadi common understanding bagi pihak terkait.

Sejauh ini, situasi downturn tersebut tidak mengganggu upayanya dalam mencari peluang bisnis baru. Dengan posisinya sebagai investor tahap awal, Alex berkomitmen untuk berinvestasi dalam jangka panjang, yakni 5-6 tahun.

“Saya tidak berinvestasi di sesuatu yang lagi ramai. Tapi, saat ini sektor yang menarik adalah agriculture and food. Bisnis harus bisa jalan dengan atau tanpa teknologi. Small scale. Kalau mau scale up, baru pakai teknologi,” ujarnya.

Alex memprediksi tahun ini investor akan selektif dan lebih memilih berinvestasi di portofolio existing. “Old VCs belum bisa raise the money now, sedangkan VC yang sudah, akan lebih berhati-hati. Until, the fed rate go down significantly, orang akan berat untuk put their money keluar AS. For me, I’ll still continue what I do.”

Dari sisi startup, Alex memprediksi startup baru akan mulai bermunculan. Namun, mereka akan lebih berhati-hati dalam membuat model bisnis sekarang karena mimpi muluknya sudah habis.

Application Information Will Show Up Here

DigiAsia Bios Segera IPO di Bursa Amerika Serikat Melalui SPAC

Startup fintech DigiAsia Bios segera melantai di bursa saham Amerika Serikat melalui mekanisme SPAC (special purpose acquisition company). Perusahaan telah menandatangani kesepakatan merger dengan perusahaan cangkang Stonebridge Acquisition Corporation. Ticker yang diperdagangan di pasar saham Nasdaq nantinya adalah ‘FAAS’.

Menurut keterangan resmi yang disampaikan perusahaan, perjanjian ini telah mendapat persetujuan dari jajaran direksi DigiAsia dan Stonebridge, ditargetkan akan selesai pada kuartal kedua tahun ini.

“DigiAsia telah hadir di Indonesia dan sedang mencari ekspansi segera ke Asia Tenggara, diikuti oleh Timur Tengah dan Afrika Utara. Peningkatan modal melalui IPO dan eksekusi selanjutnya akan membantu menjadikan Digi sebagai pemimpin yang jelas dalam dompet digital berlabel putih dan vertikal Banking-as-a-Service di kawasan ini,” ucap Co-CEO DigiAsia Alexander Rusli.

CEO Stonedridge Bhargav Marpally menambahkan, Stonebridge didirikan sebagai jembatan bagi perusahaan-perusahaan yang siap IPO di kawasan Asia Pasifik untuk mengakses pasar publik Amerika Serikat. Fokus DigiAsia di Indonesia dan kemampuannya untuk menskalakan bisnis dengan cepat, tim dengan rekam jejak yang terbukti, menjadikannya sangat cocok dengan Stonebridge.

Lebih lanjut, transaksi penggabungan kedua perusahaan ini membawa penilaian pra-ekuitas sebesar $500 juta (lebih dari 7,7 triliun Rupiah) dan pemegang saham DigiAsia, yakni Mastercard dan Reliance Capital Management (RCM) akan menggulirkan 100% dari ekuitas mereka menjadi perusahaan gabungan sebagai bagian dari transaksi. DigiAsia juga telah menjalin kemitraan dengan Bank DBS pada 31 Oktober 2022 untuk menyalurkan pinjaman melalui bisnis lending Digiasia, KreditPro.

Dengan asumsi tidak ada penebusan oleh pemegang saham publik Stonebridge, setelah kesepakatan ditutup, entitas operasi gabungan dapat memiliki akses ke kas bersih sebanyak $200 juta (setelah membayar biaya transaksi) dari rekening perwalian Stonebridge. Hasil akhir akan bergantung pada tingkat penebusan pemegang saham Stonebridge saat ini pada penyelesaian transaksi yang diusulkan.

Sebelum menandatangani perjanjian penggabungan, DigiAsia telah menutup investasi sebesar $14,5 juta (lebih dari 225 miliar Rupiah) dengan post-money valuation sebesar $450 juta yang dipimpin oleh Reliance Capital Management. Investasi tersebut akan memperkuat relasi bisnis kedua perusahaan di bidang asuransi, aset manajemen, yang dikuasai oleh RCM. Dengan kolaborasi tersebut, diharapkan DigiAsia dapat menjadi solusi keuangan tertanam B2B full-stack pertama di Indonesia.

Sebagai catatan, DigiAsia didirikan pada 2017 oleh Alexander Rusli dan Prashant Gokarn. Startup ini memosisikan diri sebagai fintech-as-a-service (FaaS) yang berambisi ingin mempercepat inklusi keuangan melalui lisensi dan kumpulan teknologinya dengan menyediakan solusi embedded finance untuk B2B2C dan B2B2M. Di antaranya mobile wallet, penerbitan kartu, pembayaran tagihan, cash management, pembayaran supply chain, pinjaman, dan lain-lain. Perusahaan memiliki sejumlah lisensi bisnis, yakni dompet dan pembayaran digital, Banking-as-a-Service, remitansi, dan layanan keuangan digital lainnya.

Co-CEO DigiAsia Prashant Gokarn menyampaikan visi DigiAsia adalah menjadi bagian aktif dari revolusi digital Indonesia yang memungkinkan layanan keuangan, mulai dari pinjaman, pembayaran, pengiriman uang, dan perbankan murah, untuk semua individu dan bisnis, terlepas dari ukuran atau status sosial ekonomi mereka.

“Kami juga sangat bangga dapat bekerja sama dengan Mastercard untuk mengembangkan penawaran kami yang sudah ada guna meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia,” kata Gokarn.

Langkah SPAC

Hingga berita ini diturunkan, DailySocial.id belum mendapat tambahan komentar dari Alexander Rusli mengenai alasan pihaknya memilih mekanisme SPAC untuk masuk ke pasar saham Amerika Serikat. Seperti diketahui, mekanisme ini sebelumnya juga tengah dipertimbangkan oleh sejumlah startup lokal, seperti Traveloka dan Kredivo, namun batal karena berbagai alasan strategis.

Kredivo misalnya, awalnya merencanakan untuk merger dengan perusahaan cangkang bernama VPC Impact Acquisition Holdings yang diumumkan pada Agustus 2021. VPC itu sendiri adalah mitra lama Kredivo yang pernah mengguyurkan dana hingga mencapai $200 juta.

Namun rencana tersebut kandas, dikutip dari keterbukaan informasi dari laman US Securities and Exchange Commission (SEC), yang diunggah pada 14 Maret 2022, gagalnya aksi korporasi ini merupakan dampak kondisi pasar yang bergejolak dan adanya beberapa masalah di luar kendali yang mengancam penundaan transaksi.

Salah satu aksi IPO via SPAC yang ramai di Indonesia adalah Grab dengan memanfaatkan perusahaan cangkang Altimeter Growth Corp. Diklaim kesepakatan tersebut terbesar di antara perusahaan akuisisi tujuan khusus.

Sebelumnya SPAC sempat populer di Amerika Serikat karena menjadi cara tercepat untuk memperoleh dana publik. Menurut data yang dikutip dari South China Morning Post, pada 2021 mencapai 613 IPO melalui SPAC. Angka ini naik dari tahun sebelumnya sebanyak 248 IPO.

Akan tetapi regulator A.S SEC membuat perubahan peraturan yang dinilai menghambat aksi korporasi ini sejak akhir 2021. Salah satunya, SPAC memiliki waktu terbatas untuk menemukan perusahaan yang beroperasi untuk digabungkan (biasanya 24-36 bulan); jika SPAC gagal menyelesaikan merger dalam jangka waktu yang ditentukan, SPAC harus berhenti berdiri dan mengembalikan semua modal kepada pemegang sahamnya.

Aturan tersebut dibuat lantaran regulator khawatir mekanisme ini dimanfaatkan sebagai penyebar informasi yang menyesatkan, penipuan, dan konflik kepentingan dalam transaksi de-SPAC tertentu. Oleh karena itu, SEC mengusulkan aturan baru untuk menghilangkan asimetris informasi di antara investor, melindungi dari informasi yang menyesatkan dan penipuan dengan mengatur praktik pasar, dan mengurangi konflik kepentingan dengan lebih menyelaraskan insentif antara penjaga gerbang.

Hasilnya dilaporkan bahwa proses SPAC lebih lama dan lebih sulit dari sebelumnya, dengan tinjauan peraturan yang lebih ekstensif atas pernyataan proksi dan pendaftaran. Namun begitu, sejumlah kalangan masih tetap optimistis dengan potensi SPAC untuk jangka panjangnya. Mereka bilang, kebijakan baru ini berdampak bagi perusahaan dapat lebih jelas mengikuti pedoman yang telah ditetapkan.

Startup Otomotif UMKM “Bengkel Mania” Peroleh Pendanaan Awal

Startup penyedia solusi untuk bengkel UMKM, Bengkel Mania, mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasikan. Sejumlah angel investor dan institusi terlibat dalam pendanaan ini di antaranya Alexander Rusli (Eks Dirut Indosat), Ahmad Zaky Amiruddin Kalla (PT Kalla Kakao Industri), Joseph Lumban Gaol, dan PT Reksa Jasa Adika.

Dana segar tersebut akan dimanfaatkan untuk ekspansi bisnis dan mengembangkan produk, demi mewujudkan visi perusahaan sebagai one stop solution untuk pelaku UMKM otomotif di Indonesia.

Bengkel Mania didirikan pada November 2021, memiliki tujuan ingin mendigitalkan dan penyedia solusi menyeluruh bagi pelaku bengkel yang berada di skala UMKM, sehingga tercipta inklusi ekonomi bagi pemilik bengkel dan keluarganya.

Startup ini hadir dari masalah dan keresahan yang dirasakan oleh Rizky Jonathan Lumban Gaol sebagai seorang anak pemilik bengkel motor. Seiring berjalannya waktu menjalani bisnis tersebut, ia dan pemilik bengkel lainnya menemukan masalah yang belum ada solusi pastinya.

Padahal, jumlah sepeda motor di Indonesia terus membludak, sekitar 140 juta unit. Makanya, tidak heran kalau kemacetan lalu lintas didominasi oleh kendaraan tersebut. Namun pertumbuhan motor ini tidak diimbangi dengan jumlah bengkel. “Itu kenapa mostly kalau ke bengkel pasti antre,” ucap Rizky kepada DailySocial.id.

Ditambah lagi, saat ini berbagai sektor industri di Indonesia mengalami digitalisasi. Hanya saja perbengkelan ini belum terproses dengan maksimal. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya literasi dan juga perhatian dari pemerintah maupun swasta di sektor tersebut.

“Melalui riset permasalahan yang kami pelajari, kami justru melihat peluang dan potensi market yang sangat besar di industri ini, dan itulah mengapa kami optimistis dengan market ini. Di 2021, melalui data yang kami himpun dari Gaikindo, ada Rp325 triliun nilai perdagangan jasa bengkel dan komponen otomotif di Indonesia.”

Khusus bengkel motor sendiri yang menjadi target sasaran Bengkel Mania, dikatakan jumlah bengkel yang terdata oleh BPS ada 400 ribu dan 95% di antaranya adalah UMKM. Angka tersebut masih tertinggal jauh dengan jumlah sepeda motor sebanyak 140 juta unit.

Sumber: Bengkel Mania

Solusi Bengkel Mania

Adapun latar belakang Bengkel mania berdiri dimulai dengan masalah pertama, yaitu rantai pasok. Bagaimana sulitnya bengkel memenuhi kebutuhan stok bengkel dan mencari barang/suku cadang dengan kualitas baik dan harga kompetitif. Bahkan tak jarang bengkel harus tutup hanya sekadar untuk belanja.

Masalah kedua, soal akses finansial yang terbatas. Permodalan sudah pasti menjadi faktor penting untuk para pelaku usaha. Sayangnya, sulit bagi pemilik bengkel mendapatkan akses pembiayaan yang sifatnya modal kerja atau investasi. Ketiga, soal digitalisasi, dan terakhir, minimnya literasi manajemen pemasaran, pembukuan, dan teknologi bagi para pelaku bisnis bengkel.

“Kalau kita ke warteg atau warung kelontong, sudah banyak pelaku bisnis UMKM yang  menikmati proses digitalisasi, entah sifatnya operasional maupun service. Di bengkel UMKM, adopsi teknologi masih sangat minim. Contoh sederhana, pembayaran cashless di bengkel masih sangat jarang ditemui.”

Sumber: Bengkel Mania

Dari masalah tersebut, Bengkel mania menawarkan tiga solusi utama. Pertama, Etalase Bengkel, solusi rantai pasok bagi pelaku bisnis untuk berbelanja kebutuhan stok bengkelnya lewat aplikasi. Para bos bengkel (sebutan untuk mitra bengkel di Bengkel Mania) dapat memesan barang secara online. Setelah pembayaran, pesanan akan diproses oleh Bengkel Mania. Mereka pun tidak perlu tutup bengkel. Barang atau suku cadang akan dikirim ke alamat bos bengkel menggunakan rekanan logistik perusahaan.

Kedua, Modal Bengkel, yakni fasilitas pinjaman untuk modal kerja bagi para bos bengkel sehingga dapat mempermudah mereka memenuhi kebutuhan bengkelnya. Tenor yang ditawarkan biasanya antara 1-2 minggu dan dapat diperpanjang 3-6 bulan. Perusahaan bekerja sama dengan lembaga keuangan yang berizin dan resmi dari OJK.

Terakhir, Bengkel Ekstra, yakni solusi para bos bengkel untuk melakukan pembukuan sederhana, menyediakan pembayaran dengan QRIS. “Saat ini produk Bengkel Ekstra sedang dikembangkan lebih jauh lagi utamanya untuk menunjang operasional bisnis para bos bengkel.”

Perusahaan mengadopsi model bsisni B2B, menjadi jembatan yang menghubungkan suplai (prinsipal, distributor, grosir, dan vendor) dan demand (bengkel UMKM), yang tertarik masuk ke dalam ekosistem.

Sumber: Bengkel Mania

Terhitung, perusahaan telah bermitra dengan lebih dari 750 bengkel aktif yang sudah bergabung sejak launching pada Desember 2021. Saat ini, lokasinya masih terpusat di area Jabodetabek. Rizky mengklaim, perusahaan telah membantu menyalurkan pembiayaan lebih dari Rp7 miliar melalui Modal Bengkel.

“Para bos bengkel sudah merasakaan manfaatnya dari Modal Bengkel ini. Para pengguna kami merupakan bengkel UMKM dan seller suku cadang yang bekerja sama dengan Bengkel Mania.”

Ditargetkan pada tahun depan, perusahaan menargetkan pertumbuhan sepuluh kali lipat dari 2022 untuk kemitraan bengkel UMKM. Tak hanya itu, pengembangan produk dan penyempurnaan fitur Bengkel Ekstra untuk mini ERP dan CRM juga akan segera tersedia. Lalu, masuk ke edukasi dan enabling motor listrik (EV) bagi para pelaku bengkel UMKM.

“Saat ini, kami tengah melakukan penjajakan kerja sama dengan pihak swasta maupun pemerintah terkait kendaraan listrik. Bengkel Mania melihat potensi pasar motor listrik di indonesia dalam waktu 2-3 tahun kedepan sangat besar. Sedangkan, untuk jangka panjang, kami memiliki visi sebagai one stop solution service for MSME automotive industry in Indonesia dalam hal supply chain, financing, kendaraan listrik, carbon emission, dan solusi SDM.” Tutupnya.

[Video] Alasan “Angel Investor” Berinvestasi di Startup

Sejauh ini, tren angel investor kebanyakan terlibat dalam pendanaan pre-seed, seed funding, atau pre-Series A. Meski demikian, ada pula angel investor yang terlibat dalam putaran pendanaan Series A bersama venture capital.

Di video ini, DailySocial bersama Alex Rusli berbagi cerita seputar dunia angel investor dan seperti apa peran dan strateginya dalam memberikan pendanaan bagi startup Indonesia.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Startup Penyedia Solusi Supply Chain GrosirOne Targetkan Pendanaan Seri A 142 Miliar Rupiah

Salah satu startup penyedia solusi supply chain, GrosirOne, sedang mengincar pendanaan seri A senilai $7 s/d $10 juta atau setara 142 miliar Rupiah. Perusahaan menargetkan sekitar dua atau tiga pendana institusi untuk masuk dalam putaran ini. Hasil putaran pendanaan ini akan digunakan untuk menambah distribution center di dalam dan luar Pulau Jawa serta memperkuat kerja sama dengan mitra.

Didirikan pada tahun 2019 oleh Erben Noerman, Jordy Jonatan, dan Felix Boenawan, GrosirOne mengawali bisnis dengan menawarkan solusi bagi distributor yang mengalami gangguan cash flow karena keterlambatan pembayaran dari pemain UMKM. Platform ini dibuat sebagai jembatan bagi para supplier, distributor, dan retailer serta menawarkan manfaat finansial melalui partner bank atau p2p lending untuk pinjaman produktif.

Pada awalnya, perusahaan fokus pada industri FMCG karena latar belakang dan pengalaman co-founder dan tim akuisisi di industri tersebut. Namun timnya terus melakukan eksplorasi ke berbagai industri lainnya yang seperti produk daging, udang dan sebagainya. Dalam waktu kurang lebih 2 tahun, GrosirOne telah bekerja sama dengan 107 principal, 54 distributor, 5900 motorist dan tercatat telah memiliki lebih dari 35 ribu outlet di seluruh Jawa.

“Agar dapat terus melakukan channeling untuk pendanaan, maka kami telah bermitra dengan Bank dan juga Institusi Keuangan Non-Bank seperti perusahaan fintech lending. Sejak tahun 2020 kami telah bermitra dengan Investree, Batumbu, KreditPro, dan Bank Jawa Barat. Di tahun 2021 ini kami telah bekerja sama dengan Danamart, Akseleran, Dompet Kilat, Modalku dan Bank Rakyat Indonesia melalui Mastercard”, ungkap Erben.

Selama masa pandemi, perusahaan melihat banyak sekali pelaku UMKM baik di level distributor hingga retailer yang mengalami kesulitan dari segi keuangan bahkan hingga ada beberapa yang menutup usahanya. Di masa seperti ini GrosirOne diuji sebagai platform solusi untuk dapat membantu para pelaku UMKM tetap bertahan bahkan berkembang selama masa pandemi.

Erben menambahkan bahwa sejauh ini perkembangan GrosirOne dapat dibilang telah melebihi dari target yang telah di tentukan sehingga yakin untuk memulai fund raising seri A. Tahun 2021 sampai awal bulan Mei 2021 saat ini Gross Transaction Value (GTV) telah mencapai 770 Miliar Rupiah dengan pertumbuhan yang sangat tinggi semenjak Desember 2020 yaitu sebanyak 152%.

Target ke depan

GrosirOne mengawali perjalanan pendanaan dari pengenalan oleh salah satu co-founder dengan Alexander Rusli, Co-founder Digi Asia Bios. Ia mengambil peran sebagai angel investor sekaligus advisor perusahaan hingga saat ini.

Ketika disinggung mengenai fokusnya menargetkan pendana institusi, GrosirOne mengaku sebagai perusahaan startup membutuhkan dukungan dengan kredibilitas yang solid  yang nantinya akan menjadi benchmark atas valuasi dan pendanaan perusahaan.

Terkait rencana ke depan, perusahaan masih mendengarkan dan memproses feedback yang didapat dari para pengguna untuk kemudian diterjemahkan menjadi kebutuhan bisnis dan pengembangan layanan dan platform GrosirOne.

“Tahap selanjutnya kami akan berfokus kepada pengembangan yang menuju arah otomatisasi dari segi pengumpulan data pengguna, sehingga memudahkan proses onboarding para Principal, Distributor, Retailer, maupun Motorist ke dalam Platform GrosirOne,” ujar Felix.

Dari sisi geografis, saat ini GrosirOne sudah menjangkau seluruh bagian pulau Jawa, sebagian wilayah Indonesia Tengah dan Timur seperti Gorontalo, Kupang, Maluku dan Ternate. “Kami berencana untuk segera memperluas wilayah jangkauan ke skala nasional, serta memperdalam sentuhan ke rantai bawah supply chain yaitu para retailer dan motoris.”

Beberapa startup yang juga menawarkan solusi serupa termasuk Advotics dan Ula.

Application Information Will Show Up Here

Doogether Secures Pre Series A Funding, to Release a New Feature

Doogether, a startup engaged in the wellness segment, announced the pre-series A funding with an undisclosed value from Asiantrust Capital, Prasetia Dwidharma, Alexander Rusli, and others. The fresh money will be used for the development of optimization, innovation and improvement of products and services.

Prasetia Dwidharma was Doogether’s previous investor involved in the seed round in April 2019. Also, Alexander Rusli entered in the following round. The seed round was led by Gobi Agung, with participation of Everhaus, Prasetia, and Cana Asia.

In an official statement, Doogether’s Co-Founder & CEO Fauzan Gani expressed his gratitude to the ranks of investors who participated in this round. “The series of funding received by Doogether will be used for optimization, innovation and improvement of products and services offered by the company or its applications,” he said, Tuesday (27/4).

Doogether is a startup vertical with blessing in disguise due to pandemic. Since the WFH policy, Doogether has released a live streaming online sports class, Doolive in April 2020. Active users grew by 77 times from early 2020 to Q1 2021. The service has held more than 80 thousand hours of sports class sessions.

“I applaud the Doogether team for using an opportunity during this pandemic and quickly adjusting its business model. It is not easy to see an opportunity in this difficult time, but Doogether managed to do it,” Alexander Rusli added as now serving as Advisor at Doogether  .

Doolive / Doogether

In order to maintain this performance, the company plans to held virtual sports activities together on a regular basis to encourage people to stay active. Doolive is also available for free containing dozens of sports training videos.

Since 2016, Doogether has operated two main products, Doofit for sports classes, and Doofood for healthy catering in collaboration with dozens of vendors and in accordance with users’ personal health goals.

Currently, the company has collaborated with more than 350 sports studios, trainers, located in Greater Jakarta, Bandung and Bali. There are more than 30 thousand sports classes, such as zumba, boxing, barre, yoga, bootcamp, wall climbing, ice skating, and others.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Doogether Raih Pendanaan Pra-Seri A, Segera Rilis Layanan Baru

Doogether, startup yang bermain di segmen wellness, mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A dengan nominal dirahasiakan dari Asiantrust Capital, Prasetia Dwidharma, Alexander Rusli, dan lainnya. Dana segar akan dimanfaatkan untuk pengembangan optimalisasi, inovasi, dan peningkatan produk dan layanan.

Prasetia Dwidharma adalah investor Doogether sebelumnya yang masuk dalam putaran tahap awal pada April 2019. Begitu pula Alexander Rusli yang masuk pada putaran sebelumnya lagi. Dalam putaran tahap awal itu dipimpin oleh Gobi Agung, didukung Everhaus, Prasetia, dan Cana Asia.

Dalam keterangan resmi, Co-Founder & CEO Doogether Fauzan Gani menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada jajaran investor yang berpartisipasi dalam putaran kali ini. “Rangkaian pendanaan yang diterima Doogether akan digunakan untuk optimalisasi, inovasi, dan peningkatan produk dan layanan yang ditawarkan oleh perusahaan atau aplikasinya,” ucapnya, Selasa (27/4).

Doogether adalah sekian vertikal startup yang menerima berkah dari pandemi. Sejak kebijakan WFH, Doogether merilis kelas olahraga online melalui live streaming, Doolive pada April 2020. Pengguna aktif tumbuh hingga 77 kali lipat dari awal 2020 hingga Q1 2021. Layanan ini telah mengadakan lebih dari 80 ribu jam sesi kelas olahraga.

“Saya salut dengan tim Doogether yang dapat melihat kesempatan pada masa pandemi dan dengan cepat melakukan penyesuaian bisnis model. Tidak mudah untuk melihat suatu kesempatan di masa sulit ini, tapi Doogether berhasil melakukannya,” tambah Alexander Rusli yang kini menjabat di Doogether sebagai Advisor.

Doolive / Doogether

Untuk mempertahankan kinerja tersebut, rencananya perusahaan akan membuat kegiatan virtual olahraga bersama secara rutin untuk mendorong orang-orang tetap aktif berolahraga. Doolive juga tersedia secara gratis berisi puluhan video latihan olahraga.

Beroperasi sejak 2016, Doogether memiliki dua produk utama, yakni Doofit untuk pemesanan kelas olahraga, dan Doofood untuk pemesanan katering sehat bekerja sama dengan puluhan vendor dan sesuai dengan goal kesehatan pribadi pengguna.

Saat ini perusahaan telah bekerja sama dengan lebih dari 350 studio olahraga, trainer, yang berlokasi di Jabodetabek, Bandung, dan Bali. Kelas olahraga yang ditawarkan ada lebih dari 30 ribu kelas, seperti zumba, boxing, barre, yoga, bootcamp, wall climbing, ice skating, dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Digiasia Bukukan “Debt Funding” 711 Miliar Rupiah, Perkuat Unit P2P Lending

Setelah mengantongi pendanaan Seri B awal tahun 2020 lalu, perusahaan fintech Digiasia Bios kembali merampungkan pendanaan melalui jalur debt funding senilai $50 juta atau setara 711,8 miliar Rupiah. Tidak diinfokan lebih detail mengenai institusi mana saja yang terlibat meminjamkan/menyalurkan dana tersebut.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Alexander Rusli mengungkapkan, dana segar tersebut nantinya akan dimanfaatkan untuk memperkuat kanal bisnis p2p lending.

“Saat ini channel tersebut sudah berjalan sejak 1,5 tahun terakhir, dengan pendanaan ini akan ramp up rencana kita. Kita telah memberikan pinjaman kepada sekitar 11 ribu warung,” kata Alex.

Modal tambahan tersebut juga akan dimanfaatkan untuk berinvestasi kepada mitra strategis. Untuk rencana ini Alex menegaskan masih dalam tahap pengembangan dan baru saja dirilis. Pihaknya masih dalam tahap monitoring dan pengamatan terlebih dulu.

Digiasia didirikan oleh mantan petinggi Indosat Ooredoo, yakni Alexander Rusli (mantan CEO) dan Prashant Gokarn (mantan Chief Digital & Service Officer) pada 2018 lalu.

Sejumlah kemitraan Digiasia

Dari sisi partnership, Digiasia telah bermitra dengan sejumlah perusahaan transportasi untuk menyediakan kemudahan bertransaksi, seperti kerja sama KasPro (unit usaha Digiasia) dengan Damri untuk rute tertentu di Bandung. Di sisi lain, penjualan produk B2B dari Metrodata difasilitasi KreditPro (unit usaha Digiasia).

Salah satu portofolio menarik dari Digiasia adalah layanan remitansi online. Sinergi strategis dengan Mastercard dapat menjadi penguatan layanan RemitPro atau chapter baru untuk menjadikan satu ekosistem dari seluruh produk existing Digiasia.

Menurut perusahaan, RemitPro sudah tersedia di 60 negara dengan dukungan 200 agen pembayaran. RemitPro juga bekerja sama dengan PT Eka Bakti Amerta Yoga sebagai mitra penyelenggara transfer dana remitansi, yang memungkinkan pencairan dana di 4.800 kantor pos dan 10.000 cabang BRI di Indonesia.

Menunggu Hadirnya Generasi Baru “Angel Investor” di Indonesia

Periode awal menjalankan startup begitu krusial dalam segala aspek. Memperkenalkan produk ke pasar, memvalidasi model bisnis, merekrut SDM yang tepat, dan menjaga keandalan layanan, adalah sedikit dari contohnya. Namun dalam fase awal itu, faktor pendanaan adalah salah satu yang paling penting. Bicara tentang pendanaan di fase awal, maka wajib melihat peran angel investor di sana.

Bisa dibilang angel investor adalah investor dengan risiko terbesar dalam siklus bisnis startup digital. Menaruh modal ke startup anyar berarti bertaruh akan ide dan potensi startup serta kemampuan pendirinya. Seringkali kepercayaan bahkan mereka berikan ketika belum melihat produknya. Namun risiko yang besar ini membawa potensi keuntungan yang sebanding.

Menariknya di Indonesia, eksistensi angel investor masih jauh dari sorotan. Padahal dalam ekosistem startup keberadaan mereka terbilang penting. Masih banyak yang belum diketahui dari angel investor di Indonesia. Kami bicara dengan beberapa angel investor untuk mengenal lebih dalam skena di dalam negeri.

Masih terbatas

Alexander Rusli adalah salah satu pebisnis yang mulai mulai aktif sebagai angel investor. Selesai lengser sebagai pimpinan Indosat Ooredoo, Alex langsung melirik bisnis digital. Alex tercatat sebagai pendiri Digiasia dan investor di 11 perusahaan lain. Ia memperkirakan ada beberapa hal yang menyebabkan nama angel investor tidak begitu terdengar di Indonesia. Pertama karena adalah khawatir kegagalan di satu startup terdengar orang banyak. Kemungkinan lain, menurutnya, adalah mereka tidak ingin “diserbu” oleh orang-orang yang tidak diinginkan.

“Mungkin mereka investasi itu dengan alasan macam-macam, seperti hubungan khusus dengan founder, senang dengan industrinya, [atau] hanya coba-coba. Memang struktur angel investor di Indonesia ini belum matang khususnya untuk digital investment,” ucap Alex.

Venture Partner MDI Ventures Aria Setiadharma membenarkan umumnya lingkungan angel investor di Tanah Air masih didominasi investor tradisional. Mereka adalah pebisnis atau anggota keluarga konglomerat atau yang lama berkecimpung lama di industri besar di Tanah Air. Menurut Aria, dengan latar belakang seperti itu, ekosistem angel investor tidak berkembang secepat di negara-negara lain seperti Singapura contohnya.

Aria bercerita kehadiran kantor raksasa digital di Singapura melahirkan generasi investor baru. Individu yang dulu bekerja di Google, Facebook, ataupun Netflix membuat semacam venture funding untuk membesarkan startup-startup baru yang potensial.

“Siklus itu belum terjadi di Indonesia. Yang punya uang itu kebanyakan masih dari properti, perbankan, dan pertambangan. Dari sana saja mindset-nya sudah berbeda,” imbuh Aria.

Sebastian Wijaya, yang akrab dengan skena angel investment, mengakui tingkat kesulitan startup baru memperoleh pendanaan dari angel cukup tinggi. Menurutnya, pokok permasalahan terletak pada faktor kedekatan seseorang. Ia mengakui untuk mendapatkan investasi dari individu ini bergantung pada kekuatan koneksi ke orang-orang yang tepat.

Masalah ini timbul karena platform ataupun badan yang mengelola angel investment masih terbilang sedikit. Bisa dibilang entitas pengelola paling dikenal di Indonesia sejauh ini hanya Angin.

“Jadi untuk suatu startup mendapatkan angel investing itu benar-benar tergantung kepada koneksi ke orang yg tepat. Setahu saya jika koneksi tersebut sudah terjalin, tingkat kesuksesan startup mendapatkan funding cukup besar,” tukas Sebastian.

Menunggu generasi baru

Walau secara umum angel investor masih banyak berasal dari orang-orang yang tidak berasal dari bisnis digital, saat ini mulai bermunculan gelombang baru angel investor di Indonesia. Mereka ini adalah eksekutif dan pendiri startup yang mencoba peruntungan dengan memutar uangnya di startup baru.

Laporan DealStreetAsia menyebutkan CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata, CEO Adrian Gunadi, dan pendiri Koinworks Willy Arifin sebagai contoh yang mewakili generasi baru tersebut. Dalam laporan itu diketahui, kegiatan Edward sehari-harinya tak lagi diisi Kopi Kenangan, tapi juga mengurus investasinya di sejumlah startup, seperti BukuKas, GudangAda, OtoKlix, dan Klinik Pintar.

Di samping nama-nama tadi, ada juga mereka yang dulunya memegang kursi pimpinan di startup besar namun sudah keluar. Beberapa nama yang cukup mewakili adalah Achmad Zaky dan Rohan Monga.

“Sekarang mereka ingin coba make money dengan investasi di industri serupa. Itu juga satu kategori yang sudah mulai banyak. Seperti para pendiri startup unicorn yang mulai investasi di banyak startup juga,” ujar Alex menanggapi kemunculan generasi baru angel investor.

Gelombang baru investor ini tentu membawa semangat baru di lanskap bisnis digital. Ada beberapa alasan yang mendorong kondisi demikian. Pertama mereka memiliki pengalaman dan pengetahuan relevan di startup mereka. Bagi startup baru, bimbingan yang tepat bagaikan jarum kompas untuk mengarungi berbagai rintangan.

Alasan berikutnya adalah jejaring yang sudah dibangun investor dari kalangan profesional dan pendiri biasanya sudah cukup matang. Hal itu bisa menjadi modal tambahan bagi suatu startup yang ingin menggelar babak pendanaan lebih lanjut. Selain itu, menurut Aria, karakter investor dari kalangan tersebut lebih sabar dengan perkembangan startup yang dimodali, mengingat butuh kepercayaan lebih kepada para pendirinya dalam menahkodai perusahaan.

“Selama angel investor ini masih pakai pemikiran lawas, enggak akan jalan ekosistemnya. Ya tapi bukan berarti tidak ada yang oke. Kalau angel investor-nya di sini bisa ambil backseat, lebih enak untuk startup itu sendiri,” jelas Aria.

Kehadiran gelombang baru angel investor di lanskap bisnis digital Indonesia bukan berarti dapat menyelesaikan semua masalah. Akses ke angel investor di Indonesia masih relatif sulit. Keberadaan organisasi angel investor, seperti Angin, kian dibutuhkan.

“Kita memang belum ada banyak tokoh pendiri yang sukses exit seperti di AS. Kita perlu tunggu beberapa tahun lagi ketika lebih banyak founder yang exit ataupun IPO, pasti suara angel investor di publik akan lebih terdengar,” pungkas Sebastian.