Alice Camera Adalah Kamera Mirrorless dengan Kemampuan Computational Photography ala Smartphone

Pesatnya perkembangan teknologi kamera smartphone membuat kita jadi semakin sering membandingkannya dengan kamera mirrorless. Padahal, kedua perangkat tentu punya kelebihan dan kekurangannya sendiri.

Untuk kamera smartphone, kelebihannya jelas terletak pada sederet teknik computational photography yang diterapkan, fitur Night Mode contohnya. Kendati demikian, kamera smartphone masih belum bisa menyaingi fleksibilitas yang ditawarkan mirrorless, terutama terkait kemudahan menggonta-ganti lensa sesuai kebutuhan.

Di luar sana, rupanya ada sebuah startup bernama Photogram yang sedang mencoba untuk menggabungkan kelebihan kedua perangkat tersebut. Buah pemikiran mereka adalah Alice Camera, sebuah kamera unik yang menawarkan keunggulan dari sisi software ala smartphone, sekaligus keunggulan dari sisi hardware ala kamera mirrorless.

Secara teknis, Alice merupakan sebuah kamera mirrorless dengan sensor Micro Four Thirds (MFT) beresolusi 10,7 megapixel. Penggunaan sensor MFT berarti ia kompatibel dengan lensa-lensa bikinan Panasonic, Olympus, Sigma, Voigtlander, maupun dari pabrikan-pabrikan lain yang memang menggunakan jenis dudukan MFT. Lensa dengan jenis dudukan lain pun juga bisa digunakan dengan bantuan adaptor.

Dimensi sensor MFT memang tidak sebesar sensor full-frame, tapi masih jauh lebih besar daripada sensor kamera smartphone pada umumnya. Sederhananya, dari segi hardware saja Alice sudah cukup unggul, tapi ternyata kamera ini turut mengandalkan algoritma-algoritma berbasis AI untuk mengoptimalkan hasil jepretannya lebih jauh lagi layaknya kamera smartphone.

Untuk mewujudkan teknik-teknik pemrosesan yang advanced itu, Alice mengandalkan Edge TPU, chip machine learning yang dirancang oleh Google. Mulai dari autofocus, white balance, dynamic range, sampai noise reduction, semuanya akan dioptimalkan menggunakan algoritma-algoritma berbasis AI tersebut.

Namun sebagai sebuah kamera mirrorless, Alice tentu masih menyediakan mode pemotretan manual bagi pengguna yang sudah berpengalaman. Yang mungkin terkesan agak aneh adalah, Alice tidak mempunyai layar sama sekali. Sebagai gantinya, pengguna dapat menjepitkan smartphone ke bagian belakangnya, dan itu juga berarti semua opsi pengaturannya harus diakses melalui aplikasi smartphone.

Berhubung Alice terhubung langsung dengan smartphone, kegiatan seperti live streaming pun bisa dilangsungkan semudah menggunakan smartphone itu sendiri. Menariknya, Photogram merancang software Alice dengan prinsip open-source, yang berarti siapapun bebas memodifikasi atau menambahkan fitur baru.

Secara fisik, Alice terlihat sangat minimalis dengan gaya desain industrialnya. Bodinya terbuat dari aluminium utuh, dengan hand grip yang menyatu secara seamless. Kendati demikian, bobotnya tergolong ringan di kisaran 350 – 375 gram, dan berhubung ia tidak punya LCD, tebal bodinya pun tidak lebih dari 35 mm.

Alice sejauh ini masih berstatus prototipe, akan tetapi pengembangnya sudah menerima pre-order melalui platform crowdfunding Indiegogo. Di sana, harga paling murahnya (early bird) dipatok £600 (± 11,6 jutaan rupiah). Kalau sesuai jadwal, konsumen bakal menerima pesanannya mulai Oktober 2021.

Sumber: DP Review.

Aplikasi Spectre Bantu Pengguna iPhone Ciptakan Foto Long Exposure Tanpa Ribet

Seperti yang kita tahu, perkembangan kamera smartphone tidak akan sepesat ini tanpa kemajuan di bidang computational photography. Bokeh artifisial pada hasil jepretan smartphone kita baru menggambarkan sebagian kecil dari potensi computational photography yang sebenarnya, sebab masih ada banyak yang bisa dieksplorasi.

Hal itu telah dibuktikan oleh Spectre, aplikasi kamera baru untuk iPhone yang digarap oleh tim yang sama yang mengerjakan aplikasi Halide. Spectre dirancang untuk membantu para pengguna iPhone menyalurkan hobi fotografi long exposure-nya tanpa harus melibatkan tripod maupun alat bantu lainnya, melainkan hanya dengan keterlibatan AI.

Teknik yang diterapkan Spectre cukup unik. Pada kamera biasa, foto long exposure dihasilkan dengan menyetel shutter speed dalam kecepatan selambat mungkin. Spectre tidak demikian, ia akan menjepret ratusan foto yang berbeda secara beruntun dalam beberapa detik, sebelum akhirnya disunting dan disatukan menjadi format live photo.

Spectre Camera

Dilihat dari sudut pandang yang praktis, ada banyak yang bisa dilakukan oleh Spectre. Yang pertama, Spectre bisa menghapuskan keramaian dari suatu foto, ideal untuk mengabadikan lokasi yang populer di kalangan para turis.

Yang kedua, Spectre mampu mendeteksi scene secara otomatis. Jadi ketika Anda memotret di malam hari, Spectre akan mengaktifkan mode untuk mengambil foto jejak cahaya (light trails), foto pemandangan kota, maupun foto light painting.

Saat memotret air terjun, maupun lokasi-lokasi lain di mana air menjadi sorotan utama, Spectre juga bakal secara otomatis menyulap airnya menjadi blur sampai akhirnya kelihatan mulus.

Salah satu hasil foto yang dihasilkan aplikasi Spectre / Chroma Noir
Salah satu hasil foto yang dihasilkan aplikasi Spectre / Chroma Noir

Secara teknis, Spectre bisa digunakan untuk mengambil foto dengan durasi exposure hingga 9 detik. 9 detik adalah waktu yang lama, untuk itu Spectre juga dibekali fitur stabilization berbasis AI, sehingga hasil akhirnya tetap akan kelihatan mulus.

Buat yang tertarik mencoba, Spectre saat ini sudah bisa diunduh lewat App Store dengan harga perkenalan sebesar Rp 29 ribu. Perangkat paling tua yang kompatibel adalah iPhone 6, akan tetapi Anda butuh minimal iPhone 8 untuk bisa menikmati semua fitur berbasis AI-nya.

Sumber: SlashGear.