Tips Menerapkan Ideate dalam Design Thinking untuk Menghasilkan Solusi Kreatif

Sudah sejauh mana kamu memahami design thinking? Sebelumnya, arti, tahapan, dan contoh design thinking sudah dijelaskan secara komprehensif. Sekarang, waktunya kamu mengaplikasikannya.

Design thinking sendiri memiliki 5 tahapan secara umum, yaitu: empathize, define, ideate, prototype, dan test. Tips melakukan empathize sebagai tahapan pertama design thinking, juga sudah dibahas. Memahami cara melakukan empathize akan membantu memahami kebutuhan pengguna yang sebenarnya.

Sebagai bagian dari proses design thinking, ideate juga menjadi salah satu bagian penting. Ini dikarenakan, pada tahapan ideate, kamu harus menjawab permasalahan yang telah dijabarkan dengan solusi yang dapat memenuhi kebutuhan pengguna.

Apa itu ideate dan bagaimana melakukannya agar dapat menciptakan solusi yang kreatif? Baca terus informasi di bawah ini agar kamu menguasai tahapan ideate dalam design thinking.

Apa Itu Ideate dalam Design Thinking?

Secara harfiah, ideate adalah membentuk atau membuat sebuah ide. Tak jauh beda dengan arti sebenarnya, ideate dalam design thinking menurut Nielsen Norman Group adalah proses menghasilkan seperangkat ide yang luas berdasarkan topik tertentu tanpa ada upaya untuk menghakimi atau mengevaluasinya.

Di tahap ini, kamu harus menjawab permasalahan pengguna dengan solusi cemerlang. Maka dari itu, tahapan ini membebaskan kamu untuk membuat ide-ide sekreatif mungkin, tentunya tetap berada dalam koridor problem statement yang sudah dirumuskan sebelumnya.

Mengapa Ideate Penting?

Memasuki tahap ini, kamu tak perlu memikirkan kualitas idemu terlebih dahulu. Yang penting, buat ide sebanyak-banyaknya agar solusi tidak mandek pada satu opsi. Ini dikarenakan sebuah ide tidak tentu menjadi satu-satunya solusi yang dianggap terbaik.

Kamu perlu menghasilkan banyak ide untuk membuat perbandingan, kira-kira ide mana yang mempunyai konsep baru, paling kreatif, dan tentunya menjadi solusi terbaik dari permasalahan yang ada. Tujuan utama ideate memang untuk membuka sudut pandang dan konsep yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Gojek merupakan salah satu contoh ideate dalam design thinking dengan terobosan yang sangat cemerlang. Ia menghubungkan dua pihak, yaitu tukang ojek yang tak memiliki penghasilan pasti dengan penumpang yang butuh transportasi alternatif untuk menembus kemacetan Jakarta.

Pada dasarnya, ideate penting untuk menantang kemampuanmu membuat gebrakan baru menurut Don Norman, seorang peneliti Amerika sekaligus penulis The Design of Everyday Things. Pada dasarnya, ideate membantumu mempertanyakan segala hal yang sudah jelas sehingga memunculkan sesuatu yang melampaui hal yang ada sebelumnya.

Bagaimana melakukan Ideate dalam Design Thinking?

Banyak cara yang bisa kamu lakukan untuk mengeksplorasi ide kreatif. Yang penting, kamu harus menyesuaikan kondisi yang ada dengan metode yang akan kamu pilih. Seperti mempertimbangkan kenyamanan narasumber atau memperhatikan kondisi kinerja tim.

Brainstorming merupakan teknik paling umum yang digunakan dalam tim, yaitu di mana masing-masing orang saling melempar idenya hingga terpilih ide terbaik.

Ada pula yang memakai teknik bodystorming, atau berusaha memahami permasalahan dengan melakukan simulasi secara fisik dengan bantuan manusia, property, atau bahkan digital prototype. Teknik satu ini diyakini dapat membantumu merasakan permasalahan secara riil.

Brainwriting juga menjadi salah satu teknik menarik untuk menghasilkan sebuah ide. Seseorang akan menulis idenya lalu meneruskannya kepada anggota selanjutnya. Selama kertas terus berjalan, setiap orang bertugas mengembangkan ide yang sudah ditulis dari orang sebelumnya.

Selanjutnya, ada mindmapping yaitu menuangkan segala ide yang kamu miliki dalam bentuk visual. Dari ide-ide yang ada, kamu dapat menghubungkan hal-hal yang relevan sehingga menjadi satu-kesatuan ide yang kreatif.

Tips Mengeksplorasi Ide di Tahapan Ideate dalam Design Thinking

Berikut adalah beberapa tips untuk menciptakan suasana dan memicu pemikiran kreatif yang perlu kamu bangun bersama tim.

Ciptakan lingkungan baru dan buat suasana nyaman

Kalau kamu ingin melakukan perubahan, maka ciptakan perubahan dari diri atau internal tim terlebih dahulu. Kamu bisa memulai dengan hal kecil seperti menata ulang berkas-berkas di meja kerjamu, mengubah warna notes, intinya mengubah suasana kerjamu dari skala kecil.

Melihat perubahan di depanmu, meskipun dalam lingkup kecil akan dapat memberikan stimulus bagimu untuk membuat perubahan pula. Suasana baru juga akan memancing pemikiran yang segar pula. Ide-ide kreatif tidak akan dihasilkan jika kamu dalam keadaan tertekan.

Maka dari itu, penting untuk membuat suasana kerjamu menjadi tempat paling nyaman yang kamu singgahi. Singkirkan tekanan-tekanan yang kamu miliki dan bebaskan pikiranmu sejenak. Suasana tenang dan nyaman dapat membuatmu fokus menghasilkan ide terbaik.

Bayangkan berada di posisi pengguna

Di tahap ini, kamu berusaha memberikan solusi dari permasalahan pengguna. Salah satu stimulus untuk mendapat solusi kreatif adalah dengan membayangkan jika kamu berada di posisi pengguna. Hal ini dapat membantumu benar-benar meresapi permasalahan.

Dengan kapasitas yang kamu miliki dan suasana yang sudah kamu bangun, kamu bisa saja menemukan solusi yang cocok. Kamu bisa menggunakan permisalan seperti, “Kalau aku di posisi pengguna ini yang tidak dapat mencari produk yang diinginkannya, maka aku akan…”

Selain itu, kamu juga bisa mempertanyakan kondisi pengguna. Misalnya, “Kenapa pengguna tidak menggunakan tombol search untuk mencari produk?” atau “Apa yang akan dilakukan Ibu-Ibu umur 40 tahun saat tidak bisa mencari produk yang diinginkannya?”

Mempelajari Empathize dalam Design Thinking untuk Memahami User

Design thinking merupakan pendekatan pemecahan masalah dengan menekankan pendekatan kepada pengguna. Istilah design thinking sendiri ditemukan pertama kali oleh John E. Arnold pada 1965 melalui bukunya “Creative Engineering”.

Konsep tersebut lantas dipopulerkan oleh David Kelley dan Tim Brown, founder IDEO, salah satu perusahaan desain dan inovasi terbesar dunia. Design thinking diyakini sebagai pendekatan efektif untuk meminimalisir ketidakpastian dan risiko inovasi demi memenuhi kebutuhan pengguna. Tak heran, itu memang kelebihan design thinking.

Dalam design thinking sendiri terdapat 5 tahapan melakukannya, yaitu: empathize, define, ideate, prototype, test. Salah satu tahapan paling krusial dalam design thinking adalah empathize. Di tahap ini, kamu akan mengumpulkan permasalahan pengguna untuk kemudian dicari solusinya.

Yuk, scroll terus biar kamu dapat benar-benar memahami permasalahan pengguna.

Apa Itu Empathize dalam Design Thinking?

Secara harfiah, empathize artinya perbuatan memahami, sadar, sensitif, dan mewakili perasaan tertentu, dan merasakan apa yang dirasakan orang lain tanpa mengalaminya. Dalam konteks design thinking, pengertian empathize tak jauh beda dengan arti sebenarnya.

Empathize dalam design thinking adalah upaya designer memahami keinginan dan kebutuhan pengguna. Pernahkah kamu memiliki prasangka tertentu kepada seseorang, tapi ternyata apa yang kamu pikirkan tentangnya selama ini tidak benar?

Inilah mengapa kamu tak boleh menggunakan prasangka untuk berempati kepada pengguna. Makanya, kamu harus menyingkirkan asumsimu mengenai kondisi mereka. Berinteraksilah langsung kepada pengguna agar mendapat pemahaman secara menyeluruh secara emosional serta psikologis.

Empathize merupakan tahapan paling krusial dalam design thinking. Jika kamu tak melakukannya dengan benar, maka keseluruhan idemu juga pasti tak diterima. Misalnya dengan menggunakan prasangka bahwa pengguna membutuhkan smartphone lipat.

Kalau kamu tak punya data cukup atau dasar meyakinkan mengenai kebutuhan tersebut, bisa jadi produk akhirmu tak mendapat perhatian, atau paling buruk tak mendapat angka penjualan yang bagus. Sesederhana karena mereka tak membutuhkannya, atau setidaknya, tak menginginkannya.

Apa yang dilakukan Nadiem Makarim sebelum mendirikan Gojek merupakan contoh empathize dalam design thinking yang baik. Simak penggunaan design thinking dalam perumusan Gojek di sini.

Cara Menerapkan Empathize dalam Design Thinking

Ada banyak cara untuk memahami permasalahan pengguna. Sebelum melakukan tahapan empathize, ada baiknya kamu mengetahui beberapa tips untuk menjadi designer yang lebih berempati.

Bangun karakter empatik dalam kehidupan sehari-hari

Jalan pintas untuk menerapkan empathize dengan maksimal adalah dengan memiliki empati yang baik. Mulailah menjadi pribadi yang lebih peka dan sadar terhadap lingkungan sekitar.

Bermodal karakter empatik akan membuatmu lebih mudah memahami pengguna. Tentunya, ini juga akan memperlancar pekerjaanmu di proyek-proyek selanjutnya.

Tiru ekspresi wajah dan perhatikan gerak tubuh

Sebuah penelitian mengatakan bahwa meniru ekspresi wajah seseorang akan membantu meningkatkan empati pada diri seseorang. Meniru ekspresi seseorang dapat meningkatkan kegiatan di pusat emosi otak kita daripada hanya memperhatikan mimik muka.

Kamu juga bisa memperhatikan gerak tubuh pengguna untuk menambah interpretasi atas kebutuhan mereka. Jangan salah, sekecil apapun bahasa tubuh seseorang, dapat memperlihatkan sesuatu yang nyata. Kamu bisa mempraktikkan ini saat berinteraksi dengan pengguna untuk meningkatkan empatimu.

Dengarkan, jangan menghakimi

Untuk bisa memahami pengguna secara menyeluruh, mendengarkan menjadi salah satu skill yang sangat dibutuhkan. Mendengarkan memang bukan pekerjaan mudah. Namun, mengingat fungsinya, mau tidak mau kamu harus menguasai kemampuan ini.

Mendengarkan bukan berarti hanya diam dan mempersilakan pengguna untuk terus berbicara. Kamu juga harus bisa melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang ‘pengertian’ dan ‘memahami’. Coba ubah mindset kamu menjadi sebuah kertas kosong.

Hilangkan sejenak kepercayaan dan nilai-nilai tertentu. Kemampuan mendengarkan yang baik dapat dilakukan jika kamu sudah membebaskan diri dari penghakiman terhadap pengalaman pengguna.

Metode Empathize dalam Design Thinking

Setelah mengetahui tips-tips di atas, saatnya melakukan empathize. Berikut beberapa cara untuk menerapkan empathize yang baik untuk mengumpulkan data seakurat mungkin mengenai pengguna.

Wawancara mendalam

Salah satu cara memahami pengguna adalah dengan menanyainya melalui wawancara. Jangan menggunakan metode wawancara jurnalis yang seringkali menyudutkan narasumber dengan dugaan tertentu.

Akan tetapi, buatlah suasana yang nyaman dan gunakan pertanyaan-pertanyaan yang membuka percakapan. Cobalah berada di posisi yang tak memiliki basis pengetahuan apapun terhadap narasumber. Selain itu, fokuslah terhadap wawancara dan perhatikan ketika narasumber bercerita.

Observasi mendalam

Selain wawancara, kamu juga bisa mengamati pengguna dengan seksama. Misalnya ketika mereka berinteraksi atau menggunakan produk dari perusahaanmu.

Tujuan dari metode ini adalah mendapatkan perilaku yang se-natural mungkin. Jadi, amati diam-diam dan jangan sampai pengguna tahu kalau dirinya sedang diamati.

Memahami extreme user

Extreme user merupakan pengguna yang punya keluhan berbeda dengan pengguna biasa. Meski berbeda dari pengguna kebanyakan, extreme user diyakini sebagai kelompok yang mengetahui inti permasalahan.

Maka dari itu, memperhatikan dan memahami extreme user dapat memperlihatkan masalah sesungguhnya, bahkan berpotensi memberikan insight baru.

Ini bukan berarti kamu meninggalkan pengguna biasa. Mendengarkan dan memahami baik pengguna biasa maupun extreme user dapat membantumu menemukan solusi yang inovatif.

Tanyakan “What” “How” “Why”

Selama melakukan tahapan empathize, selalu ingat untuk mencari jawaban atas tiga pertanyaan: “What”, “How”, dan “Why”. Berikut contoh penerapan “What”, “How”, dan “Why”.

“What”: Mempertanyakan apa yang terjadi secara detail. Misalnya, pengguna melakukan checkout produk sesuai tahapan yang telah dibuat.

“How”: Cari tahu kondisi-kondisi yang terjadi saat pengguna melakukannya. Apakah pengguna tidak mengalami kebingungan saat melakukan checkout produk? Bagaimana ekspresi wajahnya? Apakah mereka harus mengeluarkan usaha lebih untuk checkout produk?

“Why”: Saatnya kamu menginterpretasikan mengapa misalnya pengguna kebingungan saat checkout produk.

Empathy Map

Kamu juga bisa memetakan kondisi atau pengalaman-pengalaman pengguna dengan empathy map. Secara umum, kamu bisa membaginya dalam 4 bagian. Mari kita gunakan kasus pada “What”, “How”, dan “Why”.

Pertama, petakan kutipan langsung dari pengguna mengenai pengalaman melakukan checkout produk, misalnya saat wawancara mendalam (says). Kedua, tuliskan kira-kira apa yang ada dalam pikiran pengguna saat checkout, apakah tahapannya mudah atau terlalu ribet (thinks).

Ketiga, amati apa yang dilakukan pengguna ketika dirinya kebingungan melakukan checkout, apakah dia melakukan refresh page, atau dia langsung menghubungi customer service (does). Keempat, temukan apa yang dirasakan pengguna saat tidak bisa melakukan checkout produk, misalnya frustasi, bingung (feels).

Contoh Aplikasi Design Thinking di Industri Makanan

Sebelumnya, arti, tahapan, dan contoh penerapan design thinking sudah dijelaskan secara mendalam. Hanya saja, pembahasan mengenai contoh penerapan masih minim, meski sudah ada beberapa contoh penerapan design thinking di industri Indonesia.

Nah, sekarang waktunya mempelajari contoh kasus design thinking di industri makanan. Peluang kesuksesan memang terbuka lebar ketika ingin membangun bisnis makanan. Tak heran, makanan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi manusia.

Akan tetapi, kamu juga harus menerima fakta bahwa bisnis makanan sudah menjamur di mana-mana. Hal ini kemudian membuat para pengusaha di bidang makanan harus memutar otak untuk membuat konsep makanan yang baru, unik, dan tentunya dapat diterima lidah masyarakat.

Itu semua bisa dilakukan dengan design thinking. Pada dasarnya, proses melakukan design thinking akan membawamu pada pemikiran kreatif, pemikiran yang dibutuhkan untuk membuat bisnis makanan yang inovatif dan berbeda dari yang lain.

Yuk, scroll terus artikel ini untuk mengetahui penerapan design thinking oleh beberapa merek makanan yang sukses mengambil hati para konsumen.

Contoh Kasus Design Thinking 1: Ready, Set, Food!

Suatu hari, Daniel Zakowski, founder Ready, Set, Food! mendapati keponakannya yang berusia tujuh bulan kesulitan bernapas setelah makan pizza. Ternyata, keponakan Zakowski didiagnosis alergi terhadap kacang, telur, dan susu–penyebab 80 persen alergi–di usia dini.

Setelah kejadian itu, keponakan Zakowski harus dijaga dengan ketat setiap kali berinteraksi dengan makanan. Zakowski merasa kasihan terhadap keponakannya, dan berandai-andai kalau alergi keponakannya bisa dicegah (tahap empathize).

Dari situlah, Zakowski merasa perlu melakukan sesuatu. Zakowski juga menemukan fakta dari riset yang mengatakan bahwa 80 persen alergi terhadap makanan dapat dicegah melalui perkenalan dini terhadap makanan saat bayi.

Dari pengalaman dan data riset tersebut, dapat dikatakan bahwa bayi membutuhkan perkenalan dini terhadap makanan untuk menghindari alergi terhadap makanan (tahap define sekaligus menjadi problem statement).

Zakowski merespons kebutuhan ini dengan menghadirkan Ready, Set, Food! yaitu sebuah suplemen alami yang dapat dilarutkan dengan mudah dalam ASI, susu formula, atau makanan (tahap ideate). Zakowski kemudian melakukan uji klinis (tahap prototype) terhadap produknya dan terbukti membuat bayi terpapar kacang, susu, dan telur.

Ready, Set, Food! terbukti memiliki manfaat yang baik. Bahkan, produk tersebut sudah direkomendasikan oleh 300 dokter anak dan ahli alergi di Amerika.

Contoh Kasus Design Thinking 2: Mie Lemonilo

Setelah menengok kasus dari luar negeri, sekarang waktunya membahas bisnis makanan di Indonesia, yaitu Mie Lemonilo.

CEO dan Co-Founder Mie Lemonilo, Shinta Nurfauzia, mempunyai misi untuk mengubah gaya hidup masyarakat yang lebih sehat. Akan tetapi, masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap gaya hidup sehat itu mahal (tahap empathize).

Maka, didapatkan permasalahan konsumen yaitu masyarakat Indonesia membutuhkan produk untuk menunjang gaya hidup sehat dengan harga terjangkau (tahap define sekaligus problem statement). Dari situlah, misi Shinta berubah.

Ia ingin mengeluarkan produk untuk memenuhi gaya hidup sehat masyarakat Indoenesia dengan harga terjangkau. Kemudian, lahirlah Mie Lemonilo, yang terbuat dari bahan alami dan bebas dari 100 lebih bahan sintetis berbahaya bagi manusia (tahap ideate).

Tahun 2015, Lemonilo lahir dari startup kesehatan bernama Konsula (tahap test) dan resmi mengeluarkan produknya pada 2017 dengan kisaran harga Rp 6200 per bungkusnya (tahap test).

Memahami Define dalam Design Thinking untuk Menentukan Problem Statement yang Tepat

Mempelajari design thinking berarti harus memahami proses pelaksanaannya. Sebelum memahami prosesnya, kamu harus paham dulu mengenai apa itu design thinking terlebih dahulu.

Memahami cara kerja design thinking akan memberikanmu beberapa manfaat. Misalnya melatih kemampuan pemecahan masalah. Secara luas, penerapan design thinking juga sangat bermanfaat bagi perusahaan, seperti penghematan biaya untuk pengembangan terobosan baru.

Kedua hal tersebut memang termasuk beberapa kelebihan penggunaan design thinking. Saat ini, terdapat 5 tahap design thinking yang dikenal umum, yaitu: empathize, define, ideate, prototype, dan test. Salah satu bagian penting adalah tahapan define dalam design thinking.

Simak lebih lanjut untuk mengetahui pentingnya define dalam design thinking.

Apa itu Define dalam Design Thinking?

Secara harfiah, define berarti menjelaskan atau mengartikan. Sama halnya dengan arti harfiah, define dalam design thinking adalah menginterpretasikan data-data yang sudah kamu kumpulkan mengenai permasalahan pengguna di tahap sebelumnya, empathize.

Proses dalam tahapan empathize dan define bisa dianalogikan seperti analisis dan sintesis. Di tahap empathize, kamu merinci hal-hal yang menjadi keluh kesah pengguna yang kemudian akan diambil intisarinya di tahap define.

Setelah mengambil sebuah sintesis, kamu harus menyatakannya sebagai problem statement. Problem statement sendiri berfungsi untuk memperjelas sintesismu dalam satu gagasan utuh. Maka dari itu, penting untuk menentukan problem statement yang tepat agar kamu mendapat gambaran utuh soal permasalahan pengguna.

Menentukan Problem Statement yang Tepat

Problem statement adalah kesenjangan antara kondisi saat ini dengan kondisi yang diharapkan. Jika dilihat dari sudut pandang pengguna, problem statement menggambarkan kondisi saat ini yang belum bisa memenuhi ekspektasi yang diharapkan.

Tak bisa memenuhi ekspektasi itulah diartikan sebagai sebuah masalah. Maka, sudah jadi tugasmu untuk memberikan solusi atas masalah tersebut demi kenyamanan pengguna. Ini mengapa penting untuk menentukan problem statement yang tepat.

Problem statement yang ngawur mengindikasikan kalau kamu tidak memahami permasalahan apa yang sebenarnya dialami pengguna. Oleh karenanya, menentukan problem statement yang tepat dapat membantumu memberi gambaran yang jelas pula terkait ide yang akan kamu gagas di tahap ideate.

 Tanpa problem statement yang jelas dan tepat, kamu akan kesulitan melanjutkan ke tahap design thinking selanjutnya karena inti permasalahan yang dibuat rancu. Perhatikan 3 hal ini agar kamu dapat membuat problem statement yang tepat.

Fokus pada pengguna

Masalah yang akan kamu olah dalam design thinking adalah milik pengguna. Maka dari itu, gunakan sudut pandang pengguna untuk merumuskan problem statement. Jadikan pengguna sebagai subjek dalam kalimat.

Misalnya, kamu mengetahui bahwa masalah pengguna adalah kesulitan mengakses FAQs dalam website. Maka, problem statement yang tepat adalah: “Pengguna merasa kesulitan mengakses FAQs…” dan bukan “Perusahaan harus menyediakan FAQs…”

Berikan konteks yang luas

Sebuah problem statement harus bisa memberikan ruang pada inovasi dan ide-ide kreatif. Maka, jangan masukkan unsur-unsur teknis yang bisa membuat problem statement tercampur dengan solusi.

Harus bisa diatur

Problem statement yang terlalu luas juga tidak bagus. Hindari memasukkan segala keluhan pengguna. Rinci kebutuhan dan tujuan pengguna dalam satu gagasan yang relevan. Ini agar kamu dapat mengerucutkan premis yang tepat dalam problem statement.

Gunakan metode 4W

Metode 4W yaitu “Who”, “What”, “Where”, “Why” dapat membantumu menentukan premis-premis yang tepat. Tanyakan siapa yang menghadapi permasalahan (who). Artinya, kamu menentukan target pengguna yang mengalami permasalahan-permasalahan yang relevan.

Lalu, tanyakan apa masalah (what) yang sedang dihadapi oleh pengguna-pengguna tersebut. Kemudian, lanjutkan dengan menentukan di tempat atau situasi seperti apa (where) pengguna ini menghadapi masalah tersebut.

Terakhir, berikan jawaban mengapa masalah pengguna ini harus diselesaikan (why), dan apa nilai atau keuntungan yang berdampak kepada baik pengguna maupun perusahaan kalau masalah ini diselesaikan.

Contoh Tahap Define dalam Design Thinking

Fakta-fakta:

  1. Anak muda gampang mengalami masalah kesehatan seperti sakit punggung, badan pegal-pegal, asam urat, kesehatan mental, dll. di usia muda.
  2. Tuntutan pekerjaan yang memberatkan, misalnya bekerja 10 jam sehari dan tuntutan pekerjaan di luar jam kerja.

Metode 4W:

Who: pekerja anak muda usia 18-25 tahun

What: mengalami masalah kesehatan di usia muda

Where: lingkungan bekerja atau kantor

Why: meringankan beban kerja untuk meningkatkan kualitas kerja

Potential problem statement

“Pekerja muda usia 18-25 tahun mengalami masalah kesehatan di usia muda saat bekerja di kantor.”

Design Thinking: Arti, Tahapan, dan Contoh Penerapannya

Apa yang pertama kali muncul di pikiranmu ketika mendengar istilah design thinking? Mungkin bagi kamu, design thinking identik dengan inovasi, berpikir out-of-the-box, punya terobosan baru, dsb. Sebenarnya, kamu nggak salah.

Ketiga kata frasa tersebut memang hasil yang diinginkan dari proses melakukan design thinking. Biasanya, kemampuan melakukan design thinking dibutuhkan pada pekerjaan yang berkaitan dengan desain produk, user experience, UX designer, arsitektur, dll.

Design thinking tak hanya berlaku dalam pekerjaan tersebut, tetap juga dibutuhkan dalam bisnis. Design thinking memang mempunyai keuntungan seperti penghematan biaya dan jaminan return of investment (ROI), membuat pengguna semakin loyal, dan menghemat waktu pengembangan.

Konon, design thinking juga sangat penting dimiliki startup. Startup menciptakan, menguji produk atau servis dan tak jarang gagal sebelum mendapat pendanaan untuk meneruskan penemuannya. Startup harus bisa mendefinisikan masalah dan menjawabnya dengan hasil produknya. Di situlah, design thinking berperan.

Lantas, apa yang dimaksud dengan design thinking? Bagaimana karakteristik dan penerapannya? Simak terus informasi di bawah ini agar kamu dapat memahami design thinking.

Apa itu design thinking?

Di internet, kamu akan menemui banyak definisi mengenai design thinking. Menurut “Interaction Design Foundation” misalnya, design thinking disebut sebagai proses yang dilakukan secara berulang untuk memahami pengguna, menantang asumsi, mendefnisikan ulang permasalahan, serta menciptakan solusi.

Sedangkan “Career Foundry” mengatakan, design thinking adalah sebuah ideologi maupun proses untuk memecahkan masalah kompleks yang menitikberatkan kepentingan pengguna. Sederhananya, design thinking merupakan pendekatan atau metode pemecahan masalah baik secara kognitif, kreatif, maupun praktis untuk menjawab kebutuhan manusia sebagai pengguna.

Meski memiliki banyak arti, ada empat karakteristik yang akan selalu kamu temui dalam design thinking.

Berbasis solusi atau people-centered

Kepentingan manusia sebagai pengguna adalah fokus paling utama dalam metode design thinking. Makanya, design thinking berperan mengidentifikasi masalah yang sedang dihadapi manusia dan menjawab masalah tersebut dengan solusi yang berguna dan efektif bagi mereka.

Dengan kata lain, design thinking sangat mengandalkan solusi untuk menjawab kebutuhan tersebut. Pendekatan semacan ini akan menuntut menuntut seseorang untuk memunculkan sesuatu yang konstruktif demi mengatasi sebuah masalah.

Pemikiran berbasis solusi disimpulkan dalam penelitian Bryan Lawson, Profesor Arsitektur di Universitas Sheffield yang membandingkan proses pemecahan masalah oleh kelompok ilmuan VS kelompok desainer.

Lawson mengatakan, kelompok ilmuwan cenderung mengidentifikasi masalah (problem-based), sementara kelompok desainer lebih mengutakaman solusi masalah (solution-based). Jadi, solution-based dilakukan secara eksperimental demi menemukan solusi yang tepat.

Hands-on

Salah satu tahapan yang dilakukan dalam design thinking adalah prototype menuangkan ide menjadi produk nyata. Tahap ini memungkinkan pengujian langsung dari tim desain terhadap produk setengah jadi.

Karakteristik hands-on tak akan ada pada bisnis yang tak menggunakan design thinking. Misalnya dengan maraknya coffeeshop yang semakin menjamur di kota-kota besar. Keberadaan coffeeshop dengan model bisnis dan penawaran yang sama hanya akan membuat persaingan industri coffeeshop semakin ketat.

Maraknya coffeeshop juga tidak berusaha mempertanyakan masalah yang ada pada peminat kopi. Sebagai hasilnya, tidak ada produk solutif yang dihasilkan.

Highly creative

Ada yang mengatakan kalau kreatif berarti dapat menciptakan sesuatu yang baru. Ada pula yang berpendapat bahwa seseorang yang kreatif dapat menghubungkan hal-hal yang tadinya tidak berhubungan. Kalau dilihat, intinya sama saja, bahwa kreativitas menuntut kebaruan.

Karakteristik ini erat kaitannya dengan design thinking. Memecahkan masalah dan menjawabnya dengan solusi memang tujuan utama dari design thinking. Namun, solusi yang ditawarkan juga harus memperlihatkan konsep yang segar demi menarik pengguna.

Kalau solusinya sudah ada sebelumnya, wajar bukan jika pengguna tidak tertarik dengan tawaranmu?

Dilakukan secara berulang atau iterative

Design thinking selalu dimulai dengan mencari masalah. Kenapa harus repot-repot mencari masalah? Ini karena perilaku dan keinginan pengguna terus berubah. Tak hanya itu, faktanya, pengguna tak benar-benar tahu apa yang diinginkan.

Itu dibuktikan oleh ungkapan Henry Ford, founder salah satu perusahaan mobil terbesar di dunia, Ford. “Jika aku bertanya apa yang diinginkan pengguna, mereka akan menjawab kuda yang lebih cepat,” katanya. Meski pada akhirnya Ford tak menghasilkan kuda, setidaknya ia berhasil menyumbang sesuatu yang lebih cepat bukan?

Pengguna tidak tahu bahwa yang kamu hasilkan akan berakhir menjadi sesuatu yang mereka butuhkan setelah tampak di depan mata. Design thinking ada untuk menjembatani kesenjangan ini.

Ia akan digunakan terus-menerus untuk menyodorkan keinginan tak tampak tersebut, sampai hasil yang ada dapat menjawab apa yang benar-benar dibutuhkan pengguna.

Proses dalam Design Thinking

Design thinking bukanlah istilah baru. Gagasan menggunakan pendekatan desain untuk pemecahan masalah secara kreatif sudah lama diperbincangkan para ahli sejak tahun 1960-an. Para ahli saling menyumbang pemikirannya sehingga terbentuklah konsep design thinking.

Ialah John E. Arnold yang pertama kali mengemukakan istilah design thinking dalam bukunya “Creative Engineering” pada 1959. Kemudian, pada 1965, L. Bruce Archer menimpali gagasan tersebut dengan mengemukakan bahwa proses desain perlu dilakukan secara sistematis.

Herbert Simon, seorang sosiolog sekaligus psikolog Amerika menyumbang pemikirannya melalui artikelnya berjudul The Sciences of The Artificial yang terbit pada 1969. Simon memperkenalkan 7 langkah menggunakan desain sebagai pendekatan kreatif untuk problem-solving.

Intisari konsep Simon itulah yang kemudian mengilhami 5 tahapan design thinking yang dikenal umum saat ini. Konsep tersebut semakin tenar setelah diterapkan David Kelley dan Tim Brown untuk perusahaan desain yang mereka dirikan, IDEO. Mereka melihat perusahaan kurang kreatif menangani kasus-kasus ekstrem yang menimpanya.

Kelima tahapan ini tidak harus berurutan, tetapi juga dapat dilaksanakan secara non-linear. Artinya, dalam tahapan tertentu, kamu mungkin saja menemukan sebuah insight yang membuatmu harus memperbaiki hasil di tahapan lainnya.

Selain itu, kelima tahapan ini juga bisa dipindah/diganti urutannya, atau dilakukan secara bersamaan, dan diulang beberapa kali untuk membuka kesempatan solusi-solusi terbaik.

Lebih jelasnya, lihat bagan di bawah ini.

design thinking as non-linear process

Tahapan Design Thinking

Empathize

Empathize dalam design thinking adalah tahap paling awal yang krusial. Meski kelima tahapan ini dapat dilakukan secara parallel, tetapi kebanyakan project memulai dengan tahapan ini.

Dalam tahap ini, kamu harus menaruh empati untuk mengenal pengguna dan memahami keinginan, kebutuhan, dan tujuan mereka. Tahap ini juga mengharuskan observer untuk meninggalkan sejenak asumsinya terhadap pengguna dan mulai memahami mindset pengguna.

Untuk melepaskan diri dari asumsi, kamu bisa menanyakan apa yang dilakukan pengguna (what), bagaimana dia melakukannya (how), dan mengapa ia melakukannya (why). Ketiga pertanyaan tersebut akan membantumu melakukan observasi yang objektif

Agar dapat memahami pengguna dari sisi psikologis hingga emosional, kamu bisa berinteraksi langsung dengan pengguna. Namun, saat ini, sudah banyak cara yang bisa digunakan untuk memahami pengguna. Misalnya seperti menganalisis feedback produk dan mengidentifikasi perilaku pengguna di media sosial.

Define

Setelah mengumpulkan data yang berkaitan dengan pengguna, tugasmu selanjutnya adalah menganalisis data tersebut. Selanjutnya, identifikasi masalah atau hambatan yang dialami pengguna. Tahapan define dalam design thinking sendiri dilakukan untuk menyebutkan problem statement.

Dalam menamakan masalah, pastikan kamu menggunakan sudut pandang pengguna, bukan menekankan aksi yang harus dilakukan perusahaan. Misalnya, kamu menemukan bahwa terdapat kebutuhan cairan pelindung tangan untuk melindungi diri dari virus Covid-19.

Dari situ, nyatakan masalah dengan “Masyarakat Indonesia membutuhkan…” daripada “Perusahaan kita harus membuat…” Ini akan membantu membedakan dengan jelas problem statement dan tidak membuat bingung perusahaan terkait penyebutan masalah dengan solusi.

Ideate

Bermodal pengetahuan keluhan pengguna dan problem statement yang jelas, sekarang waktunya kamu menyusun ide-ide kreatif sebagai solusi masalah. Di sinilah, proses kreatif dimulai.

Nielsen Norman Group mendefinisikan ideate sebagai proses menghasilkan serangkaian gagasan berdasarkan topik tertentu, tanpa ada upaya untuk menilai atau mengevaluasinya. Makanya, di sini, kamu bebas mengeksplorasi ide apapun.

Namun, merumuskan ide-ide kreatif tidaklah mudah. Beberapa ide akan dianggap menarik dan lainnya bisa jadi hanya akan berakhir di tempat sampah. Oleh karena itu, di tahapan ini kamu dituntut untuk berpikir out-of-the-box.

Kalau kamu kesulitan melahirkan ide-ide cemerlang, kamu bisa mengikuti beberapa metode ideation yang sering digunakan, seperti brainstorming, mindmapping, hingga bodystorming (roleplay).

Prototype

Setelah memilih ide paling jenius, kamu harus membuat visualisasi dari idemu tersebut. Tahapan ini memang membutuhkan eksperimen untuk mengubah ide menjadi sesuatu yang tampak.

Prototype sendiri merupakan produk belum jadi, simulasi, sample yang dapat mengevaluasi ide dan desain yang sudah kamu rancang, misalnya seperti versi beta dalam pembuatan website. Tahapan ini penting untuk menguji coba apakah produk yang digarap sejauh ini sudah sesuai dengan apa yang direncanakan.

Di tahap ini, solusi yang ditawarkan bisa jadi diterima, diperbaiki, dirancang ulang, bahkan ditolak.maka dari itu, fungsi tahapan ini memang untuk mempertanyakan ulang apakah produk yang ada sudah dapat menjawab permasalahan pengguna.

Test

Sesuai namanya, di tahap ini, kamu harus menguji prototype kepada pengguna. Terkadang, testing bersifat opsional. Namun, menguji akan memberikan keuntungan tersendiri yaitu product review. Dari situ, kamu bisa memaksimalkan kembali produk tersebut dari feedback dari pengguna.

Meski tahap ini berada di akhir, bukan berarti proses design thinking telah selesai. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, design thinking adalah metode non-linear. Proses testing bisa jadi memunculkan kekurangan atau celah dari proses design thinking lainnya.

Kalau begitu, kamu harus memperbaiki hasil dari proses yang rumpang. Misalnya, setelah dilakukan testing ternyata pengguna tidak terlalu membutuhkannya.

Bisa jadi, problem statement yang kamu rumuskan kurang tepat. Maka, kamu harus mengulang kembali identifikasi masalah di tahapan define, lalu menentukan kembali ide-ide sebagai solusi masalah.

Contoh Penerapan Design Thinking: Studi Kasus Gojek

Kali ini, kamu akan mengetahui kesuksesan Gojek dalam menemukan masalah dan memberikan solusi menggunakan design thinking. Founder Gojek, Nadiem Makarim resah saat banyak orang tak percaya ojek bisa menjadi pekerjaan profesional.

Keraguan tersebut dijawabnya melalui penemuan inovatif berupa aplikasi penghubung mitra ojek online dan penumpang dengan Gojek. Per 2020, Gojek telah mengumpulkan 38 juta pengguna aktif bulanan, menyabet gelar unicorn pada Mei 2017, dan menjadi decacorn dua tahun setelahnya.

Berikut tahapan penemuan Gojek menggunakan design thinking.

Empathize

Nadiem mengatakan bahwa sektor ojek sangat bernilai. Ini berawal dari pengalaman pribadinya yang lebih memilih naik ojek dibanding membawa mobil sendiri untuk menghindari kemacetan Jakarta. Nadiem mendapati bahwa masyarakat juga merasakan keresahan yang sama dan membutuhkan tranportasi alternatif.

Di sisi lain, karena sering naik ojek, Nadiem dapat memahami seluk beluk perjuangan seorang ojek yang bekerja selama 14 jam sehari dan tidak bertemu anak istri, tetapi hanya dapat 4 penumpang. Nadiem merasa prihatin dengan nasib tukang ojek.

Define

Nadiem berusaha menjawab permasalahan yang ada dengan menekankan bahwa konsumen menghadapi masalah kemacetan setiap hari. Di sisi lain, terdapat ketidakpastian penghasilan dari tukang ojek, bahkan setelah bekerja berjam-jam dalam sehari.

Selain itu, Nadiem juga melihat, pada saat banyak ojek tersedia, tidak banyak penumpang yang membutuhkan jasanya. Namun, saat penumpang butuh, sang ojek tidak berada di tempat. Kata Nadiem, ini menyebabkan inefisiensi pasar.

Maka, Nadiem merasa harus membuat terobosan baru untuk mengakomodasi hal tersebut.

Potential problem statement: “Masyarakat butuh transportasi alternatif untuk menghindari kemacetan Jakarta dan tukang ojek butuh kepastian penghasilan (penumpang)”

Ideate

Bermodal keresahan masyarakat atas kemacetan Jakarta, nasib tukang ojek, dan perumusan problem statement di atas, Nadiem merumuskan beberapa solusi. Salah satunya dan yang akan menjadi dasar pembuatan produknya saat ini, adalah dengan menciptakan sebuah penghubung antara kebutuhan penumpang dan tukang ojek.

Prototype

Pada 2010, Nadiem membuat sebuah call center untuk ojek konvensional yang berjumlah 20 orang pengemudi. Setelah mendapat respons positif dari masyarakat, barulah Gojek mengembangkan aplikasinya.

Test

Pada tahun 2015, Gojek merilis aplikasi Go-Ride untuk melihat respons masyarakat. Tak lama, pengemudi berbondong-bondong mendaftar, dari yang mulanya 20 orang menjadi 800 orang pada 2015.

Gojek telah sukses menjadi penghubung mitra ojek online dengan customer yang membutuhkan transportasi alternatif untuk menghindari kemacetan Jakarta.

Selain layanan utama tersebut, Gojek juga semakin mengembangkan bisnisnya pada layanan antar makanan, barang, pembelian barang, jasa kebersihan, dll.

Contoh Penerapan Design Thinking di Industri Bisnis Indonesia

Design thinking adalah sebuah pendekatan untuk memecahkan masalah yang dihadapi pengguna serta memberikan solusi terhadap masalah tersebut. Dari pengertiannya, mempelajari design thinking akan memberi banyak manfaat untuk dirimu.

Salah satunya adalah melatih kemampuan berpikir sistematis dalam menyelesaikan masalah. Kamu juga dapat melatih kreativitasmu untuk membuat solusi terbaik terhadap masalah tersebut. Penjelasan komprehensif mengenai design thinking sudah dibahas sebelumnya.

Sekarang, waktunya membahas contoh-contoh design thinking di Indonesia secara mendalam. Ini agar kamu nggak setengah-setengah dalam memahami design thinking. Di bawah ini, DailySocial sudah merangkum beberapa contoh kasus menggunakan design thinking.

Contoh Design Thinking Startup Lokal

Kalau ditanya soal startup lokal, pasti yang pertama terpikirkan olehmu adalah Gojek. Contoh penerapan design thinking oleh Gojek memang membuatnya menjadi salah satu terobosan paling fenomenal di Indonesia.

Karena kasus Gojek sudah pernah dibedah sebelumnya, mari menggunakan startup lainnya sebagai contoh, misalnya HappyFresh. HappyFresh sendiri diprakarsai oleh keresahan yang dialami Fajar Adhitya Budiprasetyo, chief of technology officer (CTO) sekaligus Co-Founder HappyFresh.

Keresahan tersebut muncul ketika dirinya menemani sang istri belanja bahan makanan atau grocery di akhir pekan. Waktu itu, Fajar melihat istrinya kelelahan karena mendorong troli. Lantas, sebuah kekhawatiran terbersit di benak Fajar, “Bagaimana kalau istri saya berbelanja sendirian?”

Di sisi lain, mantan chief of executive officer (CEO) dan Co-Founder HappyFresh, mengatakan kaum urban membutuhkan makanan sehat, namun terhambat kemacetan. Dalam design thinking, tahap tersebut dikatakan sebagai empathize atau memahami masalah pengguna.

Kemudian, selanjutnya ada define di mana di sini dihasilkan problem statement. Dari situ, dapat dikatakan bahwa terdapat ibu rumah tangga perkotaan membutuhkan sebuah alternatif agar bisa belanja tanpa terjebak macet dan mengalami kelelahan saat belanja.

Permasalahan ini lalu diolah Fajar dkk. untuk mendirikan HappyFresh, e-commerce yang menawarkan jasa pengantaran grocery dengan mengandalkan personal shoppers atau kurir pengantar belanjaan (tahap ideate).

HappyFresh didirikan pertama kali pada 2014 (tahap prototype) dan meluncur perdana di Kuala Lumpur, Malaysia pada 10 Maret 2015 (tahap test).

Contoh Design Thinking UMKM

Saat ini, coffeeshop semakin menjamur di kota-kota besar Indonesia. Kehadiran mereka justru membuat persaingan di industri kedai kopi semakin ketat. Akan tetapi, tidak bagi Kopi Kenangan. Bisnis tersebut telah menyabet gelar unicorn pada Desember 2021 lalu.

Kopi Kenangan yang didirikan oleh Edward Tirtanata dan James Prananto pada 2017 dulunya bisnis kecil. Salah satu dorongan membangun bisnis ini adalah, mereka melihat bahwa banyak anak muda yang suka nongkrong sambal ngopi.

Selain itu, chief of marketing officer (CMO) Kopi Kenangan Cynthia Chaerunnisa mengatakan, brew coffee dengan kopi bubuk asli sulit ditemui. Yang masih sering beredar justru kopi instan atau ready to drink (RTD). Kalau adapun, harga brew coffee masih terhitung mahal untuk dikonsumsi sehari-hari.

Dari sisi konsumen, soal harga sudah pasti memiliki pertimbangan sendiri (tahap empathize). Maka dari itu, terdapat permasalahan bahwa konsumen kesulitan menemukan kopi seduh asli dengan harga terjangkau (tahap define).

Dengan ini, problem statement yang dapat ditulis adalah konsumen membutuhkan brew coffee dengan harga terjangkau. Lalu, dibuatlah Kopi Kenangan, kedai kopi dengan branding khas yang mengusung “kenangan mantan” (tahap ideate).

Contoh Design Thinking dalam Kehidupan Sehari-Hari

Jangan salah, meski design thinking sering digunakan untuk permasalahan makro atau berbau komersial, kamu juga bisa menggunakan pendekatan itu untuk menyelesaikan masalah pribadimu. Misalnya, kamu memiliki kecenderungan untuk menunda-nunda pekerjaan sampai mendekati batas waktunya.

Kamu bisa mengadopsi beberapa langkah dalam design thinking untuk menemukan, apa penyebab utama kamu suka procrastinating. Kemudian, setelah mengetahui penyebabnya, kamu memasuki tahap untuk memberikan solusi efektif terhadap permasalahanmu.

Misalnya, dengan menargetkan batas waktu tertentu secara mandiri dalam melakukan pekerjaan. Atau menggunakan teknik Podomoro untuk tetap fokus. Bisa juga dengan membuat suasana meja kerja menjadi baru.

Setelah itu, kamu bisa memilih solusi paling efektif di antara pilihan lainnya. Kemudian, tinggal dicoba dan dites mana yang lebih efektif untuk mengurangi, bahkan menghilangkan kebiasaan procrastinating.

Menarik bukan? Kamu bisa menerapkan design thinking pada aspek apapun. Siapa tahu, dengan kebiasaan yang kamu bangun sejak dini, kamu bisa menyusul jejak para founder HappyFresh dan Kopi Kenangan.

3 Contoh Penerapan Ideate dalam Design Thinking untuk Bisnis

Apa yang kamu ketahui tentang design thinking? Design thinking adalah pendekatan untuk memecahkan masalah demi kepuasan pengguna. Pelajari selengkapnya mengenai arti, tahapan, dan contoh penerapannya di sini.

Selain itu, contoh-contoh penerapan design thinking di Indonesia dari sisi industri bisnis juga sudah dibahas. Sekarang, kamu perlu melihat beberapa contoh dalam salah satu proses design thinking. Design thinking sendiri umum dilakukan dalam 5 tahapan: empathize, define, ideate, prototype, test.

Ideate merupakan salah satu tahapan penting dalam design thinking. Di sini, kamu dituntut untuk memberikan solusi untuk penyelesaian masalah serta pengemasan solusi menjadi sesuatu yang baru dan kreatif. Analisismu di tahapan sebelumnya tak akan berarti jika kamu tak bisa memberi ide baru dan segar.

Maka dari itu, simak terus inspirasi pengolahan ide kreatif pada tahapan ideate di bawah ini agar sisi kreatifmu terpantik!

Contoh Ideate Design Thinking Bidang Telekomunikasi

Kasus berasal dari MJV, perusahaan konsultan dan inovasi global yang menangani sebuah klien, salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di dunia, sebut saja X. Operator X memiliki kekurangan dalam lead-time atau waktu aktivasi kartu SIM.

Lead-time operator X dianggap paling lambat dalam pasar. MJV lantas mengaplikasikan design thinking untuk mengatasi masalah kliennya tersebut. Pertama, yaitu mengamati dan memahami kendala yang dialami pengguna.

Ternyata, MJV menemukan, terdapat pengguna yang mengembalikan kartu SIM perusahaan X ke toko. Selain itu, terdapat pula pengguna yang gagal aktivasi karena proses yang lama dan ribet, lalu meminta ganti kartu SIM, baik dari operator yang sama maupun berbeda (tahap empathize).

Dari sini, dikatakan bahwa pengguna mengalami kesulitan setiap kali melakukan aktivasi menggunakan kartu SIM operator X (tahap define). Maka, problem statement yang bisa ditulis adalah pengguna membutuhkan proses aktivasi yang lebih efisien agar pengguna tetap loyal menggunakan operator X.

MJV kemudian memperbaiki teknologi yang digunakan operator X dalam proses aktivasi dari SMS ke USSD (tahap ideate). Keuntungan menggunakan USSD yaitu dapat memuat lebih banyak huruf sehingga pesan instruksinya lebih detail.

MJV juga mengurangi langkah aktivasi seperti keharusan menelepon customer service, SMS iklan, dan tenggat waktu gagal aktivasi. Hasilnya, waktu aktivasi lebih cepat 80 persen atau dari 10 menit menjadi 2 menit. Perusahaan X menjadi operator terdepan dalam urusan aktivasi kartu SIM.

Contoh Ideate Design Thinking Industri Transportasi

Di bagian ini, contoh yang akan digunakan adalah Grab. Sebelum didirikan, para founder Grab resah bahwa banyak penumpang taksi di Malaysia yang mengalami kejadian yang tak diinginkan, terutama perempuan yang pulang larut malam (empathize).

Dari situ, muncul pertanyaan, “Bagaimana menjamin keselamatan perempuan Malaysia selama menggunakan transportasi alternatif?” Apabila diubah ke dalam pernyataan, maka akan menjadi problem statement: perempuan Malaysia membutuhkan transportasi alternatif yang aman. (define).

Para founder Grab lantas merumuskan sebuah platform yang dapat diakses pengguna untuk memesan sopir taksi yang sah, terverifikasi, dan dapat dilacak secara real-time (ideate). Mulanya, Grab memang mengedepankan minimum viable product (MVP), tetapi akhirnya dapat mengembangkan jasa lainnya.

Contoh Ideate Design Thinking Industri Kecantikan

Sebuah merek kecantikan ternama, Olay, pernah mengalami penurunan penjualan karena dianggap tak mengikuti kebutuhan skincare pada saat itu. Kemudian, Olay yang dimiliki P&G melakukan pendekatan design thinking untuk mengatasi masalah tersebut.

P&G lalu mengetahui bahwa target konsumen mereka yang berusia kisaran 50 tahun sudah beralih ke produk-produk kompetitor. Mereka lantas memutar arah untuk menargetkan konsumen baru, yaitu di usia sekitar 30 tahun. P&G menemukan, sudah banyak perempuan di usia 30 tahun yang sadar akan kerutan.

Para perempuan itu cenderung menggunakan skincare berlebih agar terlihat sehat dan awet muda dan rela membayar mahal (empathize). Maka, jika dinyatakan (define) dengan problem statement, perempuan usia 30 tahun membutuhkan skincare untuk membuat awet muda meski harus membayar mahal.

Dari sini, P&G melirik produk apa yang belum sempat dibuat kompetitor, seperti warna kulit tidak merata dan kulit kering. Kemudian, Olay mengeluarkan produk anti-aging baru yaitu “Olay Total Effects” dan “Olay Regenerist” sebagai produk premium (ideate). Pengeluaran produk baru tersebut membuat penjualan Olay meningkat tajam hingga dua digit.

Memahami Pentingnya “Design Thinking” Saat Merintis Startup

Desain itu bukan berbicara soal visual, baik dari bentuk, warna, tampilan, mood, atau sebagainya. Desain itu bagaimana sesuatu bekerja.

Ambil contoh misalnya bangku. Penamaan bangku itu bukan karena dari bentuknya yang memiliki empat kaki sebagai penyangga, sehingga disebut bangku, melainkan sengaja dirancang memiliki empat kaki sebagai penyangga untuk mencegah orang yang duduk di atasnya tidak terjatuh.

Hal ini berkaitan dengan bagaimana saat founder berencana untuk merintis startup. Seringkali founder salah kaprah saat membuat produk, lebih mengutamakan desain daripada fungsi.

Oleh karena itu, design thinking adalah proses memecahkan masalah yang menggunakan berbagai unsur dari toolkit perancang seperti empati dengan fokus pengguna dan percobaan untuk mendapatkan solusi baru.

“Empati itu bisa merasakan apa yang orang lain rasakan. Ketika buat bisnis, empati itu penting dan jadi elemen penting saat design thinking,” terang CEO Moselo Richard Fang.

Moselo sendiri adalah marketplace produk kreatif dan handmade.

Design thinking menjadi topik utama di #SelasaStartup edisi pekan pertama Mei 2019. Dia memberikan banyak masukan terkait design thinking, termasuk pentingnya empati. Berikut rangkumannya:

Ketahui siapa konsumen dan fokus ke masalahnya

Empati itu memiliki kesan emosional, berbeda dengan simpati. Empati bisa merasakan apa yang orang lain rasakan. Untuk itu, ketika mendirikan sebuah bisnis, empati itu adalah unsur penting dan jadi elemen terpenting dalam design thinking.

Agar bisa merasakan empati, sambung Richard, founder harus tahu siapa konsumennya. Cukup kontras dengan pola kerja dari makers yang umumnya kurang peduli dengan hal tersebut. Mereka biasanya lebih memikirkan tampilan, desain, tapi lupa siapa yang akan memakainya.

“Lalu fokus ke masalah mereka, bagian apa yang buat mereka ‘sakit’ selama ini. Nah itu yang kita desain untuk memecahkan masalahnya.”

Ciptakan ide dan solusi, lalu berani eksperimen

Berikutnya, founder dituntut untuk menerjemahkan masalah konsumen dengan menciptakan ide dan solusi. Keduanya harus berbasis analisis dan intuisi yang berimbang. Kebanyakan founder mengacuhkan intuisi, sehingga produk mereka jadi berat sebelah karena terlalu banyak basisdata yang dipakai sebagai landasannya.

Banyak dari mereka yang harus berkali-kali mengubah bisnis karena kesalahan tersebut. Padahal, menurutnya, data itu sejatinya hanya sebuah bukti, sehingga tidak bisa benar-benar menjadi solusi. Ketika produk sudah jadi, founder harus berani bereksperimen dan berani menerima kegagalan berkali-kali.

“Salah itu enggak apa-apa, asal habis itu langsung bangkit lagi. Yang jadi masalah itu baru sekali salah berasumsi di awal, sehabis itu langsung down. Kalau salah cari di mana titik kesalahannya, dan tes berulang kali.”

Jangan sampai founder sibuk bereksperimen sampai akhirnya startup tutup karena belum bisa menghasilkan uang. Menurut Richard, sedari awal founder harus mencari revenue. Tak masalah apabila sembari tes pasar founder bisa melakukan pekerjaan sampingan agar tetap hidup sehingga tidak harus bergantung pada uang investor saja.