Apa sajakah Metrik di Esports yang Bisa Digunakan untuk Mengukur Kesuksesannya?

Beberapa tahun belakangan, esports menjadi kian populer, baik sebagai kompetisi maupun sebagai konten hiburan. Seiring dengan meroketnya popularitas esports, semakin banyak juga perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor atau investor bagi pelaku esports. Perusahaan-perusahaan tersebut juga tidak melulu perusahaan yang bergerak di bidang game atau esports. Semakin banyak perusahaan besar non-endemik yang mulai tertarik untuk masuk ke dunia esports. Sebut saja BMW yang langsung menggandeng 5 organisasi esports sekaligus, atau Lamborghini yang mengadakan turnamen balapan esports sendiri.

Tidak heran jika semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk masuk ke industri esports, mengingat Newzoo memperkirakan nilai industri esports akan menembus US$1 miliar pada tahun 2020. Memang, saat ini, sponsorship masih menjadi pemasukan utama dari organisasi esports dan kebanyakan pelaku esports belum mendapatkan untung. Namun, para investor tetap percaya, industri esports akan menjadi industri besar di masa depan. Salah satu alasannya adalah karena jumlah penonton yang terus naik.

Di Indonesia, populer atau tidaknya sebuah program televisi ditentukan oleh rating yang dikeluarkan oleh Nielsen. Menurut laporan CNN Indonesia, untuk mengukur rating, Nielsen memasang alat khusus bernama people meter di 2.273 rumah tangga sebagai sampel. Ribuan sampel itu tersebar di 11 kota besar. Namun, metode untuk menentukan popularitas konten esports tidak sama dengan rating televisi. Pasalnya, sebagian besar konten esports ditayangkan di platform streaming, seperti YouTube, Facebook Gaming, serta Twitch; bukannya televisi.

Jumlah penonton esports kini terus bertambah. | Sumber: Polygon
Jumlah penonton esports kini terus bertambah. | Sumber: Polygon

Di platform streaming, tidak ada “rating” yang menentukan popularitas sebuah video, yang ada adalah jumlah view. Namun, jumlah view bukanlah satu-satunya metrik yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat popularitas sebuah turnamen atau game esports. Ada beberapa satuan lain yang digunakan untuk mengukur popularitas acara esports.

Apa saja metrik yang digunakan untuk mengetahui popularitas esports?

AMA (Average Minute Audience)

AMA, yang juga dikenal dengan sebutan Average Concurrent Viewers (AVC) adalah metrik yang paling sering digunakan untuk menentukan tingkat popularitas konten esports. Ada dua cara untuk menghitung AMA. Pertama, membagi total jam video ditonton dengan durasi video. Kedua, menghitung rata-rata jumlah penonton pada setiap menit dari video. Salah satu alasan mengapa AMA menjadi metrik terpopuler adalah karena ia bisa dibandingkan dengan jumlah rata-rata penonton, yang biasa digunakan pada televisi.

Ketika masih menjabat sebagai Managing Director di Nielsen Esports, Nicole Pike menjelaskan bahwa menggunakan AMA untuk menghitung viewership memudahkan pengiklan mengerti tingkat popularitas konten esports. “Kami menggunakan metrik AMA agar para perusahaan dapat membandingkan data kami dengan jumlah penonton rata-rata dari berbagai acara televisi yang mereka tahu,” ujar Pike pada Esports Insider.

Remer Rietkerk, Head of Esports, Newzoo setuju dengan perkataan Pike. “AMA memudahkan Anda untuk mengetahui program mana yang memiliki viewership lebih tinggi,” katanya. Dia menambahkan, AMA juga membantu pengiklan untuk tahu lama durasi sebuah konten. Sayangnya, AMA bukanlah metrik sempurna untuk mengetahui popularitas konten esports.

Turnamen esports paling populer pada 2019. | Sumber: Esports Charts
Turnamen esports paling populer pada 2019. | Sumber: Esports Charts

Artyom Odintsov, CEO Esports Charts berkata, “AMA tidak bisa digunakan untuk membandingkan turnamen esports dari game yang berbeda-beda, seperti Fortnite World Cup (FWC) dan League of Legends World Championship (LWC).” Alasannya, dua turnamen tersebut memiliki format yang sama seklai berbeda. Dia menjelaskan, jika membandingkan FWC dan LWC dari segi AMA, FWC akan mendapatkan nilai yang lebih bagus. Bukan karena Fortnite lebih populer sebagai game esports, tapi karena LWC memiliki babak Play-In dan Group Stages, yang memperpanjang durasi turnamen tersebut. “Metrik AMA hanya bisa digunakan untuk membandingkan turnamen pada tahap yang sama. Misalnya, pada babak akhir atau group stages,” ujar Odintsov.

Menurut Games Impact Index yang dibuat oleh The Esports Observer pada Q1 2020, League of Legends masih menjadi game esports paling berpengaruh pada ekosistem esports, diikuti oleh Counter-Strike: Global Offensive, Dota 2, Rainbow Six Siege, dan Fortnite. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam menentukan daftar tersebut, seperti jumlah pemain aktif bulanan, jumlah total hadiah turnamen, jumlah jam ditonton, jumlah turnamen, dan lain sebagainya.

Odintsov mengatakan, jika hanya menggunakan AMA sebagai tolak ukur popularitas game esports, League of Legends dan CS:GO mungkin justru tidak akan mendapatkan nilai paling baik karena dua game tersebut memiliki banyak turnamen. “Game dengan sistem turnamen terpusat seperti Overwatch mungkin justru terlihat lebih populer daripada LoL dan CS:GO hanya karena Overwatch tidak memiliki banyak turnamen,” ungkapnya.

Unique Viewers

Selain AMA, metrik lain yang biasa digunakan di dunia esports adalah Unique Viewers. Biasanya, metrik ini digunakan untuk mengetahui berapa banyak orang yang menonton sebuah konten esports dan berapa lama dia menonton video tersebut. Rietkerk mengatakan, metrik Unique Viewers biasanya digunakan untuk mengetahui tingkat efektivitas dari sebuah kampanye marketing.

Memang, Unique Viewers akan memudahkan sponsor untuk mengetahui apakah kampanye marketing mereka jalankan sukses atau tidak. Sementara bagi publisher game, Unique Viewers membantu mereka untuk tahu berapa banyak orang yang tertarik dengan game mereka. Masalahnya, sulit untuk membandingkan metrik Unique Viewers dengan metrik yang biasa digunakan di televisi.

League of Legends World Championship pada 2018. | Sumber: LOL Nexus
League of Legends World Championship pada 2018. | Sumber: LOL Nexus

“Muncul klaim bahwa League of Legends World Championship lebih populer dari Super Bowl, tapi ketika Anda meneliti datanya, Anda menemukan bahwa popularitas Super Bowl dihitung menggunakan metrik jumlah rata-rata penonton sementara LWC menggunakan Unique Viewers,” kata Pike. “Padahal, keduanya adalah metrik yang sama sekali berbeda dan tidak seharusnya dibandingkan.”

Peak Concurrent Users (PCU)

Peak Concurrent Users mengacu pada jumlah penonton tertinggi dari sebuah siaran. Odintsov berkata, “PCU dipengaruhi banyak faktor. Faktor utamanya adalah zona waktu dari tempat turnamen diselenggarakan. Metrik ini cocok untuk membandingkan popularitas turnamen-turnamen yang diadakan di region yang sama. Tujuannya, untuk mengetahui turnamen mana yang lebih populer.”

Hours Watched (HW)

Terakhir, metrik yang biasa digunakan dalam dunia esports adalah Hours Watched atau lama durasi video ditonton. “Bagi sponsor, Hours Watched dapat membantu mereka mengetahui berapa lama para penonton melihat merek mereka,” ujar Rietkerk. “Metrik ini juga cocok untuk digunakan jika Anda ingin membandingkan popularitas dua game dengan genre yang berbeda.”

Hanya saja, metrik HW tidak bisa digunakan sendiri. “Metrik Hours Watched tidak bisa digunakan tanpa dukungan data jumlah rata-rata penonton atau lama durasi konten,” kata Odintsov. Dia menjelaskan, 1 juta Hours Watched bisa dicapai dengan 8 jam siaran dan AMA 125 ribu orang atau 100 jam siaran dengan AMA 10 ribu orang. Dalam kasus ini, kedua acara memang sama-sama mendapatkan 1 juta total jam ditonton. Namun, keduanya memiliki jumlah rata-rata penonton yang jauh berbeda.

Kenapa Ada Begitu Banyak Metrik yang Digunakan Dalam Esports?

Menurut Pike. alasan mengapa ada banyak metrik yang digunakan dalam industri competitive gaming adalah karena esports dimulai dari komunitas akar rumput. Pada awalnya, data terkait esports juga datang dari para pemegang kepentingan di ekosistem esports, sepreti publisher game atau penyelenggara turnamen. “Dalam industri TV, pihak ketiga akan menyajikan data secara konsisten untuk memberikan kejelasan bagi pihak yang ingin membuat iklan atau menjadi sponsor,” ujarnya. “Tanpa adanya pihak ketiga untuk memberikan data, pihak publisher atau penyelenggara turnamen bebas untuk memberikan laporan sendiri-sendiri.”

Overwatch League adalah salah satu turnamen dengan model franchise. | Sumber: Variety
Overwatch League adalah salah satu turnamen dengan model franchise. | Sumber: Variety

Lebih lanjut Pike menjelaskan, “Data yang diberikan oleh publisher dan penyelenggara turnamen tidak salah. Namun, Anda bisa menarik perhatian banyak orang dan sponsor dengan memberikan data yang bombastis. Karena metrik yang digunakan tergantung pemangku kepentingan, maka penggunaan metrik menjadi tidak konsisten.” Misalnya, jika Overwatch League memiliki jumlah rata-rata penonton yang tinggi, maka tentunya, hal itu yang akan Activision Blizzard tonjolkan. Sementara jika turnamen League of Legends bsia mendapatkan Hours Watched yang tinggi, maka Riot akan menggunakan metrik tersebut.

Kabar baiknya, seiring dengan semakin berkembangnya ekosistem esports, semakin banyak perusahaan game dan esports yang tertarik untuk bekerja sama dengan perusahaan analitik pihak ketiga. Beberapa perusahaan game yang telah melakukan itu antara lain Riot Games dan Activision Blizzard. Salah satu tujuan mereka adalah untuk menjamin validitas data yang mereka berikan.

Tak hanya publisher, pelaku esports seperti ESL dan Astralis pun mulai bekerja sama dengan perusahaan analitik. Melalui kerja samanya dengan Newzoo, Astralis akan saling bertukar data dengan perusahaan analitik tersebut. Harapannya, Newzoo akan dapat membuat perkiraan akan dunia esports dengan lebih akurat menggunakan data dari Astarlis. Sementara Newzoo akan memberikan insight pada Astralis untuk membantu organisasi esports itu mengambil keputusan di masa depan.

Esports Perlu Satuan Standar untuk Mengukur Popularitas Konten

Dalam industri esports, ada berbagai game dengan genre yang berbeda-beda. Biasanya, masing-masing game esports juga memiliki format turnamen dan target penonton yang berbeda-beda. Misalnya, kebanyakan liga regional League of Legends menggunakan model franchise, sementara turnamen Dota 2 justru bersifat terbuka. Karena itu, sulit bagi sponsor untuk menghitung ROI (Return of Investment) ketika mereka mendukung sebuah turnamen esports. Menggunakan metrik yang sama untuk mengukur popularitas konten esports bisa membantu memecahkan masalah itu.

“Keuntungan terbesar dari penggunaan metrik yang sama adalah kita dapat mengerti satu sama lain,” kata Rietkerk. “Jika semua pelaku menggunakan metrik yang berbeda untuk mendsikusikan hal yang sama, hal ini justru akan membuat para sponsor bingung.” Memang, seiring dengan semakin banyak perusahaan besar yang menginvestasikan dana marketing mereka di esports, maka para pelaku esports semakin sadar bahwa mereka harus dapat menyediakan data yang valid dan menjamin bahwa investasi para sponsor tidak sia-sia.

“Di dunia esports, data viewership turnamen akan memberikan dampak langsung pada jumlah rekan yang bisa didapatkan oleh sebuah tim atau penyelenggara turnamen,” ujar Odintsov. Dia mengatakan, data media sosial kini tak lagi terlalu diminati. Sebagai gantinya, pengiklan tertarik dengan acara live, seperti livestreaming yang dibuat oleh para streamer atau turnamen yang disiarkan langsung.

Kesimpulan

Industri esports tumbuh dari komunitas akar rumput. Seiring dengan meningkatnya minat untuk menonton pertandingan esports, semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor. Karena itu, para pelaku esports juga dituntut untuk dapat memberikan data yang valid sehingga pihak sponsor bisa memastikan bahwa investasi mereka tidak sia-sia.

Sekarang, telah ada beberapa metrik yang digunakan untuk mengukur popularitas acara esports, seperti jumlah rata-rata penonton atau total durasi video ditonton. Sayangnya, penggunaan metrik yang berbeda-beda justru akan membuat sponsor dan pengiklan bingung. Karena itu, sebaiknya pelaku industri esports menentukan metrik yang akan mereka gunakan sebagai standar.

Sumber header: PCMag

Mastercard Kerja Sama Dengan DreamHack Untuk Gelaran NLC 2020

Mastercard, perusahaan layanan finansial asal Amerika Serikat, merupakan salah satu brand yang banyak terlibat dalam ekosistem esports, terutama League of Legends. Terakhir kali, brand ini menjadi salah satu brand pertama yang mengambil spot sponsor in-game, yang baru diterapkan oleh Riot Games pada bulan Mei 2020 lalu.

Kini, keterlibatan mereka di ekosistem esports League of Legends jadi semakin menjalar, lewat pengumuman kerja sama dengan DreamHack untuk Northern League of Legends Championship (NLC). Dengan kerja sama ini, maka Mastercard akan melayani sebagai official payment partner untuk kompetisi tersebut selama musim 2020.

https://twitter.com/NLClol/status/1277912630058012674

Lebih lanjut dijelaskan, bahwa kerja sama ini juga akan menawarkan hal lainnya. Salah satunya adalah sebuah aktivitas marketing bernama “Priceless Play of the Match”, yang merupakan hadiah yang diberikan kepada penonton setia tayangan NLC dan menyaksikan pertandingannya sepanjang musim selama satu tahun.

Mengutip dari Esports Insider, Roger Lodewick Co-CEO of DreamHack memberi komentarnya seputar kerja sama ini. “Esports terus bertumbuh dan berkemnbang, maka dari itu kami sangat bahagia sekali untuk menyambut kedatangan Mastercard ke dalam keluarga DreamHack dan dukungan yang mereka berikan kepada industri ini. Kami sangat menghargai kerja sama ini, dan tidak sabar untuk menawarkan lebih banyak konten lagi kepada penggemar tayangan NLC.

Agnes Woolrich Vice President of Marketing dari Mastercard UK, Ireland and the Nordics menambahkan. “League of Legends merupakan pusat dari dukungan kami terhadap esports di berbagai belahan dunia, maka dari itu kami dengan senang hati kami mengumumkan kerja sama dengan DreamHack dalam gelaran Northern League of Legends Championship. Kami merasa terhormat bisa berperan dalam membawa komunitas game di kawasan Eropa Utara untuk berkumpul menjadi satu, terutama dalam masa krisis ini. Kami tidak sabar untuk merayakan permainan terbaik di League of Legends, dan juga membantu para penggemar untuk bisa lebih dekat dengan passion mereka melalui hadiah dan pengalaman unik yang berharga.”

NLC sendiri merupakan brand baru dalam ekosistem esports League of Legends. Liga ini merupakan gabungan dari dua liga lokal di Eropa, yaitu liga untuk Britaina Raya (UKLC), dan negara-negara nordik (Nordic Championship). Karena beberapa pertimbangan, dua liga tersebut akhirnya bernasib seperti liga Taiwan, Hong Kong, dan Macau (LMS) dan liga Asia Tenggara (LST) yang disatukan jadi Pacific Championship Series (PCS). Dua liga yang berada di kawasan Eropa Utara tersebut disatukan menjadi NLC dengan DreamHack sebagai penyelenggara utama. Dapatkah kerja sama semakin mengembangkan ekosistem lokal Eropa Utara, dan semakin melebarkan sayap ekosistem esports League of Legends di dunia?

GLHF Production akan Menggelar VALORANT Open Cup 2020

Tim creative production GLHF untuk pertama kalinya mengadakan turnamen esports VALORANT. Gelaran yang  bertajuk GLHF Open Cup VALORANT 2020 akan bergulir di pertengahan bulan Juli 2020 mendatang.

Lebih jauh lagi, tujuan diadakannya turnamen GLHF Open Cup VALORANT 2020 adalah bentuk antusiasme GLHF dan dukungan terhadap skena dan gamers VALORANT di tanah air. Dengan adanya turnamen yang digelar secara rutin, tentunya VALORANT akan berkembang lebih pesat dan diterima oleh komunitas gamers secara luas. Tidak menutup kemungkinan juga, gelaran ini memunculkan talenta baru esports VALORANT.

POSTER MEDIA PARTNER BARUresu

Berikut adalah beberapa detail yang perlu diperhatikan untuk mendaftar:

Registration period: 29 Juni – 8 Juli 2020
Matchday: 17-19 Juli 2020
Technical meeting: 11 Juli 2020

Biaya Pendaftaran: Rp 150.000/Tim

Format turnamen:
Double elimination
No multi slot
Max 64 Teams

Narahubung: 081287962469 (CHRIS)
Tautan pendaftaran: bit.ly/registeropencup

Sejauh ini, tampaknya belum ada banyak turnamen game VALORANT di Indonesia. Meskipun demikian, pada turnamen ini ada beberapa nama yang sudah menyatakan ikut berpartsipasi. Salah satu di antara peserta yang sudah mendaftar adalah, Kevin “Eeyore” Gunawan, pemain yang sudah malang melintang di skena internasional CS:GO. Tidak ketinggalan juga ada peserta dari kalangan streamer yang akan berpartisiapasi dalam gelaran turnamen ini.

Dalam gelaran GLHF Open Cup VALORANT 2020, sejauh ini juga didukung oleh beberapa brand. Brand Rexus dengan produk peripheral sudah berpartisipasi dan akan mendukung jalannya turnamen. Tidak ketinggalan juga ada PROS Coffee bergabung sebagai partner.

GLHF | via: Instagram glhfproduction
GLHF | via: Instagram glhfproduction

Sekalipun muncul nama pro player seperti sebelumnya, turnamen ini tetap terbuka bagi siapapun, terlepas dari rank saat  ini. Anda hanya perlu membayarkan biaya pendaftaran, mengumpulkan skuad berisi 5 orang anggota, dan tentu saja berlatih untuk menjadi juara.

Dengan adanya turnamen GLHF Open Cup VALORANT 2020, seakan memberi angin segar dan secercah harapan untuk gamers FPS yang ingin memulai karier sebagai pro player dan juga perkembangan skena esports VALORANT di Indonesia. Jangan lupa untuk menyaksikan keseruan turnamen ini yang akan disiarkan lewat kanal YouTube GLHF Production di youtube.com/glhfproduction

Disclosure: Hybrid adalah media partner turnamen GLHF Open Cup VALORANT 2020

 

Brawl Stars Dapatkan 17 Juta Dollar AS Setelah Satu Pekan Rilis di Tiongkok

Nama Supercell mungkin sudah tidak asing lagi bagi Anda, terutama jika sudah main mobile game sejak tahun 2012 lalu. Pengembang game mobile asal Finlandia ini dulu berhasil sukses besar berkat titel game Clash of Clans. Mengutip dari Sensortower, game tersebut bahkan masih bisa mendapatkan keuntungan sebesar 727 juta Dollar AS pada tahun 2019 lalu.

Setelah berhasil dengan Clash of Clans, Supercell mulai kembangkan sayap mereka dengan rilis game-game terbaru, Brawl Stars jadi salah satunya. Rilis sejak 2018 lalu, game ini berhasil tuai kesuksesan yang sama, berhasil mengumpulkan pendapatan sebesar 422 juta dollar AS di tahun 2019. Berkat kesuksesan tersebut, mereka kini mencoba untuk ekspansi ke pasar Tiongkok.

https://twitter.com/Frank_Supercell/status/1251067792599724033

Game ini sendiri baru rilis di Tiongkok pada 9 Juni 2020 lalu. Walaupun masih muda belia, namun game ini dikabarkan berhasil raup 17,5 juta dollar AS dan 4,8 juta download setelah satu pekan peluncuran. Brawl Stars sendiri rilis di Tiongkok berkat kerja sama dengan Tencent. Ini juga mengingat posisi Tencent sebagai salah satu pemilik Supercell, setelah mereka memiliki 81,4 persen saham milik perusahaan pengembang game asal Finlandia tersebut.

Walaupun terhitung telat rilis di Tiongkok, namun kesuksesan tersebut lebih besar jika dibanding titel milik Supercell lainnya. Masih dari Sensortower, pendapatan pekan pertama Brawl Stars di Tiongkok bahkan menyalip pendapatan pekan pertama perilisan Clash Royale yang cuma berhasil mengantongi 9,4 juta dollar AS pendapatan saja.

Memang Tiongkok merupakan salah satu pasar game terbesar dunia. Mengutip dari salah badan riset Niko Partners, dikatakan bahwa pasar game Tiongkok diproyeksi akan memiliki pendapatan sebesar 41,5 juta dollar AS, dan diproyeksi memiliki 767 pemain game pada tahun 2023. Namun pasar game di Tiongkok memiliki tantangannya tersendiri terutama dari regulasi pemerintah.

Sumber: Sensortower
Sumber: Sensortower

Tiongkok memang cukup unik, pada satu sisi pemerintah bisa sangat mendukung perkembangan game dan esports, yang bahkan bisa membuat pasar esports berkembang 25 persen. Pada sisi lain pemerintah Tiongkok punya beragam regulasi yang harus dipenuhi pengembang game, agar game buatan mereka dapat rilis di pasar. Beberapa di antaranya seperti pelarangan tampilan darah dan kata bunuh, atau regulasi pembatasan waktu bermain. Regulasi ketat ini bahkan sampai membuat PUBG Mobile jadi gulung tikar sehingga berganti nama menjadi Game for Peace. Telatnya Brawl Stars rilis di Tiongkok juga bisa jadi disebabkan karena regulasi-regulasi tersebut.

Dengan penerimaan Brawl Stars yang begitu baik di Tiongkok, akankah game ini bisa menjadi salah satu titel besar di ekosistem esports dunia?

Square Enix Tertarik Kembangkan Game-as-a-Service dan Esports

Square Enix membuka lowongan baru sebagai Brand Manager di kantor cabang mereka di London, Inggris. Dalam iklan lowongan kerja yang mereka buat, Square Enix menyebutkan bahwa seorang Brand Manager akan menjadi bagian dari tim Brand dan akan bertanggung jawab dalam pengembangan Intelectual Property (IP) baru yang akan menggunakan model bisnis game-as-a-service (GAAS). Menariknya, Square Enix juga mencari orang yang paham tentang esports. Hal ini menjadi bukti bahwa mereka tertarik untuk mengembangkan ekosistem esports dari game mereka.

“Individu yang kami cari memiliki pengalaman terkait model bisnis games-as-a-service dan sektor esports. Dia akan bekerja bersama tim pengembangan, marketing, dan komunikasi untuk membuat strategi dalam mengakuisisi, mempertahankan, dan memonetisasi para pengguna,” tulis Square Enix dalam lowongan kerja mereka, dikutip dari VG247.

Square Enix juga menyebutkan, salah satu tugas Brand Manager adalah untuk merealisasikan ambisi Square Enix untuk mengembangkan esports, termasuk menjalin hubungan baik dengan komunitas esports di semua tingkat. Inilah alasan mengapa salah satu persyaratan yang Square Enix tetapkan dalam mencari Brand Manager adalah memiliki pengalaman dalam dunia esports. Idealnya, sang pelamar juga memiliki pengetahuan mendalam tentang sektor esports.

square enix esports
Square Enix tertarik untuk mengembangkan esports dari IP mereka. | Sumber: Digicodes

Beberapa tahun belakangan, semakin banyak perusahaan game yang menggunakan model bisnis GAAS. Ketika sebuah developer/publisher game menjadikan game sebagai layanan, mereka akan meluncurkan konten baru secara rutin. Dengan begitu, diharapkan para pemain tidak akan bosan untuk memainkan game tersebut. Memang, salah satu keuntungan dari penggunaan model bisnis GAAS adalah umur game yang lebih lama. Contoh perusahaan yang sukses menerapkan model GAAS pada game-nya adalah Ubisoft dengan Rainbow Six Siege.

Ubisoft meluncurkan Rainbow Six Siege pada 2015. Per Februari 2020, game tersebut memiliki 55 juta pemain. Sementara pada November 2016, jumlah pemain Siege hanya mencapai 10 juta orang. Hal ini menunjukkan bahwa Ubisoft sukses untuk membuat game buatannya semakin diminati dari tahun ke tahun. Faktanya, pada Februari 2020, jumlah pemain Siege di Steam justru mencatat rekor tertinggi. Salah satu kunci kesuksesan Ubisoft adalah esports. Mereka mengembangkan ekosistem esports dari Siege sebagi bagian dari strategi marketing mereka.

Microsoft Ingin Gabungkan Edukasi dan Esports via Minecraft

Selain sebagai hiburan, game juga bisa digunakan sebagai alat pembelajaran. Misalnya, startup asal Estonia, 99math, meluncurkan platform bernama Math Game Days untuk membuat pembelajaran matematika terasa menyenangkan bagi para siswa SD kelas 1 sampai kelas 6. Melaui Minecraft: Education Edition Esports Worlds, Microsoft juga ingin mendorong anak-anak untuk belajar saat bermain game.

Dalam Minecraft edisi khusus edukasi, setiap objektif yang harus diselesaikan para pemain dalam game akan mengajarkan mereka kemampuan tertentu. Misalnya, dalam bagian Pirate Cove, para pemain didorong untuk dapat bekerja sama dan berkomunikasi dengan lebih baik. Selain itu, bagian tersebut juga mendorong para murid untuk menjadi lebih kreatif dan tidak segan dalam mengambil keputusan.

Sementara itu, secara keseluruhan, game Minecraft membantu para pemainnya melakukan visualisasi atau melakukan pemikiran dalam 3D. Semua kemampuan ini akan membantu para murid untuk mempelajari bidang terkait STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics).

 

minecraft edukasi
Microsoft buat versi khusus edukasi dari Minecraft. | Sumber: Mojang

 

Melalui Minecraft edisi khusus edukasi, Microsoft ingin membantu para guru atau orangtua murid agar mereka bisa memaksimalkan pembelajaran melalui game dan esports selama masa pandemi, ketika anak-anak harus belajar dari rumah. The Esports Educator Framework bahkan menyediakan insight mendalam terkait peran esports dalam edukasi. Pengetahuan tersebut dikumpulkan oleh Immersive Minds dari berbagai riset terkait pembelajaran melalui game atau esports, serta diskusi dan wawancara dengan para peneliti serta para guru.

Belakangan, teknik “gamification” semakin sering digunakan di dunia pendidikan. NASEF (North America Scholastic Esports Federation) juga baru saja merilis hasil riset yang membuktikan bahwa para siswa yang melibatkan diri dalam klub esports dapat belajar kemampuan sosial dengan lebih baik, menurut laporan Forbes. Memang, ada berbagai soft skills yang bisa murid pelajari melalui esports, seperti strategi, komunikasi, serta kemampuan berpikir kritis.

Jadi, tidak heran Microsoft juga menambahkan elemen esports pada Minecraft. Diharapkan, elemen esports tersebut akan membuat para siswa menjadi lebih kompetitif sehingga mereka menjadi lebih termotivasi dalam mencapai objektif dalam game. Pada akhirnya, hal ini akan mendorong para pemain untuk bekerja sama atau melakukan visualisasi dengan lebih baik.

Sumber header: Quartz

India blokir Mobile Legends, TikTok, dan 57 Aplikasi asal Tiongkok

Ekosistem esports di India mungkin bisa dibilang menjadi salah satu yang berkembang dengan pesat. Ini terbukti salah satunya, dari catatan data yang mengatakan bahwa total hadiah turnamen esports di tahun 2019 meningkat 118 persen dari tahun sebelumnya. India juga bahkan sampai bisa menarik perhatian organisasi esports Fnatic, yang membuat divisi esports PUBG Mobile di sana.

Namun, seperti di Indonesia, India juga mengalami kendala blokir memblokir dari pemerintah, yang berpengaruh pada perkembangan ekosistem esports. Januari 2020 lalu, India sempat akan blokir PUBG Mobile, karena dianggap menyebabkan kecanduan dan membuat pemainnya menjadi lebih agresif.

Kini pemblokiran kembali terjadi di India, dan Mobile Legends yang menjadi korbannya. Game MOBA besutan Moonton tersebut tidak sendirian, mengutip media lokal, dikatakan bahwa setidaknya ada 58 aplikasi Tiongkok lain yang juga turut diblokir. Selain Mobile Legends, game lain yang juga kena blokir dalam daftar tersebut Clash of Kings. Selain itu, 57 aplikasi sisanya yang diblokir adalah aplikasi Tiongkok yang populer seperti TikTok, UC Browser, DU recorder, dan lain sebagainya.

TikTok kini menjadi semakin populer. | Sumber: 9to5mac
Selain Mobile Legends, TikTok juga jadi korban aksi blokir aplikasi Tiongkok yang digagas oleh pemerintah India. Sumber: 9to5mac

Dikatakan, bahwa alasan memblokir ini adalah untuk melindungi pengguna internet India dari serangan privasi aplikasi-aplikasi tersebut. “Kompilasi data yang dikumpulkan oleh aplikasi tersebut menjadi sesuatu yang mengancam bagi keamanan nasional India. Hal tersebut tentu akan berdampak negatif bagi integritas negara, yang mana ini menjadi perhatian besar bagi negara, serta membutuhkan tindakan yang segera.” Tulis Kementerian Teknologi dan Informasi India membahas soal pemblokiran ini.

Mengutip dari IndianExpress, dikatakan bahwa walau telah diblokir, aplikasi TikTok masih bisa digunakan jika smartphone sang pengguna sudah terinstall aplikasi tersebut. Namun TikTok menjadi hilang di Google Play Store setelah pemblokiran. Jadi pengguna tidak dapat melihat TikTok di Google Play Store jika melakukan uninstall atau belum memiliki aplikasi tersebut di dalam smartphone. Masih dari IndianExpress, dikatakan bahwa beberapa aplikasi Tiongkok lainnya yang masuk dalam daftar blokir masih tersedia di Google Play Store. Namun tidak ada informasi lebih mendetil soal aplikasi apa yang masih bisa di-download.

Terkait pemblokiran di India, TikTok juga sudah memberikan sebuah pernyataan yang mereka sematkan lewat postingan twitter di akun resmi TikTok India.

Dalam pernyataan tersebut dikatakan bahwa TikTok mematuhi segala kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan India, termasuk hukum soal privasi data dan keamanan digital. Juga dikatakan bahwa TikTok India sudah mendapat undangan dari badan pemerintahan, untuk memberi respon dan klarifikasi terkait pelanggaran privasi data yang dianggap pemerintah dilakukan oleh TikTok.

Lebih lanjut, dari pernyataan Kementerian Teknologi dan Informasi India mengatakan. “Computer Emergency Response Team (CERT-IN) juga telah menerima laporan dari perwakilan masyarakat terkait pelanggaran privasi dan data dari aplikasi tersebut, yang mana berdampak kepada ketentraman masyarakat. Juga ada arahan kuat dari masyarakat untuk melakukan tindakan keras terhadap aplikasi yang mencederai kedaulatan India, dan privasi dari masyarakat kami.”

Hingga saat ini, India memang belum memiliki ekosistem esports Mobile Legends. Namun pemblokiran ini tentu akan membuat game tersebut memiliki kesempatan yang kecil sekali untuk berkembang menjadi lebih besar lagi.

*Artikel ini telah disunting oleh tim editorial Hybrid. Kami menambahkan pernyataan dari TikTok, serta kutipan asli dari pemerintah India terkait pemblokiran yang dilakukan.

Seri Balap eTour de France 2020 Bergulir di Ranah Virtual

Pandemi berkepanjangan menyebabkan berbagai gelaran turnamen esports maupun olah raga menjadi tertunda. Tidak sedikit juga gelaran event dipindahkan ke ranah virtual. Seri kejuaraan balap sepeda tahunan, Tour de France juga mengalami dampak yang kurang lebih sama.

Sebelumnya, Tour de France direncanakan digelar tanggal 27 Juni sampai 19 Juli 2020. Setelah virus COVID-19 merebak secara global, pada pertengahan April 2020 yang lalu, tanggal pelaksanaan Tour de France 2020 diundur menjadi 29 Agustus sampai 20 sept 2020. Berkaca dengan situasi terkini, masih belum dapat dipastikan apakah Tour de France 2020 dapat digelar secara langsung atau tidak.

Namun demikian, di tengah keadaaan yang tidak pasti, seri balapan sepeda yang prestisius, Tour de France, akhirnya diselenggarakan secara online. Meskipun protokol kesehatan new normal sudah diterapkan, untuk bisa menggelar balapan Tour de France secara langsung, terbilang nyaris mustahil.

Adapun ide eTour de France digagas oleh komunitas gamers pecinta balap sepeda di Prancis. Berangkat dari kegemaran yang sama, beberapa tim esports menemui Amauty Sport Organization, selaku race organizer Tour de France, dan Nacon sebagai developer seri game Pro Cycling Manager dan mengajukan ide menyelenggarakan Tour de France secara virtual. Setelah berdiskusi dan mendapatkan titik temu, tim esports Exalty and Warthox kemudian menjangkau lebih jauh ke komunitas gamers dan tim esports lainnya di Prancis untuk mengumpulkan peserta.

Pada akhirnya, terkumpul sudah 10 tim yang setuju untuk ambil bagian. Sesuai persetujuan, seri game Pro Bicycle 2020 akan digunakan. Balapan Tour de France yang rencananya terdiri dari 21 etape akan dibagi ke dalam 9 matchdays.

Beberapa hari yang lalu sudah bergulir matchday perdana dari rangkaian eTour de France 2020. Streamer asal Prancis, Styros, dipilih menjadi shoutcaster untuk gelaran eTour de France 2020 melalui kanal streaming Twitch dalam bahasa Prancis. Sedangkan untuk streaming berbahasa inggris akan dipandu oleh YouTuber Benji Naesen asal Belgia melalui YouTube.

Benji Naesen | via: twitter.com benjaminnaesen
Benji Naesen | via: twitter.com benjaminnaesen

Meskipun jarang terekspos, ternyata game yang dibesut oleh Nacon sudah dimainkan secara luas dan mendapatkan tempat spesial di khalayak pecinta olah raga bersepeda. Tidak sedikit dari para penggemar yang menyaksikan game tersebut dimainkan setiap minggunya oleh streamers. Game Pro Bicycle Manager sendiri menawarkan pengalaman memiliki dan mengelola sebuah tim balap sepeda profesional.

Di waktu yang lain, Benji Naesen memberikan pernyataanya kepada Cycling Weekly, “ketika dihubungi oleh Exalty, saya rasa itu adalah kesempatan besar untuk memberikan sebuah gelaran pengganti bagi komunitas Pro Cycling Manager.”

Dengan adanya eTour de France 2020 kiranya bisa menjadi pelipur lara di tengah situsasi sulit dan menghibur penggemar di seluruh dunia di saat tidak menentunya gelaran Tour de France yang sesunggguhnya.

paiN Gaming Dapat Sponsor Dari Bank Berbasis Digital Brazil

Melihat esports yang berkembang begitu pesat, tidak heran jika kini jadi semakin banyak brand yang melirik esports. Newzoo, lembaga riset seputar game dan esports mengatakan, bahwa pemasukan esports akan berkembang menjadi 1,1 miliar Dollar AS pada tahun 2020, meningkat 15,7% dibanding dengan tahun 2019. Selain di negara-negara barat, Brazil mungkin juga jadi regional yang punya perkembangan esports yang cepat.

Bukti atas hal ini terlihat lewat beberapa hal, seperti tim asal Indonesia, BOOM Esports yang merekrut pemain Brazil untuk berkompetisi di skena CS:GO. Lalu ada juga tim INTZ, yang tanggal 24 Juni 2020 kemarin membuka diri untuk seri pendanaan. Juga ada LOUD, tim Free Fire asal Brazil yang menjadi organisasi esports pertama yang capai total 1 miliar views di Youtube, menyalip FaZe Clan.

https://twitter.com/paiNGamingBR/status/1276632717837426690

Baru-baru ini, salah satu organisasi besar asal Brazil, paiN Gaming bahkan mendapat sponsor dari salah satu bank lokal berbasis digital bernama BS2. Kerja sama sponsorship ini tidak hanya melibatkan paiN Gaming tetapi juga tim esports besar asal Brazil lainnya yaitu Vivo Keyd. Kerja sama sponsorship ini menjadi cukup mencengangkan karena BS2 lebih memilih esports daripada sepak bola.

Sebelumnya BS2 mensponsori klub sepak bola Brazil, Flamengo. Tetapi, mungkin karena pandemi membuat segala jadwal pertandingan sepak bola jadi terhenti, BS2 akhirnya memilih untuk menghentikan kontrak kerja sama di tanggal 30 Juni 2020 dan memilih untuk mensponsori esports. Dalam kerja sama ini, BS2 akan mensponsori paiN Gaming dan Vivo Keyd selama satu tahun lamanya.

Dalam kerja sama ini, BS2 juga meluncurkan sebuah proyek media sosial bernama BancoBS2.gg yang berfungsi sebagai sarana mereka berkomunikasi dengan komunitas gamers di Instagram dan Twitter.

Sumber: Vivo Keyd
Sumber: Vivo Keyd

Mengutip dari Esports Observer, Thomas Hamence CEO paiN Gaming mengatakan. “Gerakan yang dilakukan oleh bank BS2, yang sebelumnya menyokong industri olahraga sepak bola dan kini memilih mensponsori esports, menjadi bukti pentingnya mengikutsertakan komunitas esports Brazil sebagai strategi marketing sektor finansial.”

Tiago Xisto CEO Vivo Keyd juga menambahkan. Memiliki sponsorship tingkat master seperti ini memberi dampak yang besar bagi siapapun yang ada di dalam klub. Dengan sponsorship ini, kami akan memiliki lebih banyak sumber daya untuk berinvestasi dari segi infrastruktur. Ini juga berarti bahwa kami pada akhirnya dapat menunjukkan keuntungan dari esports untuk brand lokal di Brazil.”

Menarik melihat bagaimana brand yang sebelumnya mensponsori sepak bola malah beralih menjadi mensponsori esports. Namun ini juga jadi cukup masuk akal mengingat banyak gelaran sepak bola kini jadi ditunda, dan digantikan oleh gelaran esports.

ONIC Esports, Alter Ego, dan Genflix Aerowolf Lolos Babak Playoff MPL Invitational

Pekan lalu jadi pertandingan terakhir untuk babak grup MPL Invitational. Merupakan kompetisi pengganti dari Mobile Legends Southeast Asia Cup, MPL Invitational memperebutkan total hadiah sebesar 1 miliar rupiah dan mempertandingkan empat negara yang memiliki Mobile Legends Professional League, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, juga Myanmar.

Pekan lalu adalah pertandingan babak grup pekan pertama. Dari pertandingan tersebut, kita melihat bagaimana Indonesia mendominasi segala lini, terutama ONIC Esports yang sudah sapu bersih kemenangan di grup A. Kini pekan kedua babak grup menjadi penentuan siapa yang akan lolos ke babak Playoff.

Sumber: Moonton
Sumber: Moonton

Pada akhirnya, lagi-lagi Indonesia mendominasi keseluruhan babak grup. Tiga tim asal Indonesia berhasil lolos dari tiga grup yang dipertandingkan, yaitu ONIC Esports dari grup A, Alter Ego Esports dari grup B, dan Genflix Aerowolf dari grup C. Lolosnya Genflix Aerowolf mungkin jadi yang paling mengejutkan. Pekan lalu, Genflix Aerowolf memang menempel posisi Bigetron Alpha di peringkat 2.

Namun Bigetron Alpha baru bertanding sebanyak satu kali, sementara Genflix Aerowolf sudah tanding dua kali. Pekan ini Bigetron Alpha berhadapan dengan Geek Fam ID lebih dulu, dan mereka berhasil memenangkan pertandingan tersebut secara sengit. Pertandingan terakhir jadi penentuan, Genflix Aerowolf bertemu dengan Bigetron Alpha.

Menghadapi Genflix Aerowolf, Bigetron Alpha kembali harus menjalani pertarungan yang cukup sengit. Game pertama, Genflix Aerowolf berhasil mencuri kemenangan setelah Natalia dari MidGod menghancurkan Altar tanpa disaari oleh Bigetron Alpha yang sedang Lord. Sementara game kedua berhasil dimenangkan Bigetron Alpha setelah mereka berhasil mengunci Karrie milik Watt. Game ketiga, Genflix Aerowolf bermain cemerlang sejak awal permainan. Dominasi di early ditambah permainan Ling yang ciamik dari Watt membuat Bigetron Alpha jadi kewalahan dan terpaksa telan kekalahan.

Pada akhirnya, kemenangan melawan Bigetron Alpha membawa Genflix Aerowolf lolos ke babak Playoff, walaupun mereka berdua memiliki kesamaan poin. Selain ONIC Esports, Alter Ego Esports, dan Genflix Aerowolf, ada juga 5 tim lain yang mendapat direct invite dan turut bertanding di babak playoff. Lima tim tersebut adalah, RRQ dan EVOS Legends dari MPL ID, Resurgence dan Geek Fam MY dari MPL MY/SG, dan Burmese Ghouls dari MPL Myanmar.

Pekan depan, MPL Invitational berlanjut ke babak Playoff yang akan diselenggarakan mulai tanggal 3 hingga 6 Juli mendatang.