Arslan Ash Menjadi Esports Player of the Year versi ESPN

Para penggemar Tekken tentu sudah tak asing lagi dengan nama Arslan Ash. Pria berusia 24 tahun dengan nama asli Arslan Siddique ini berhasil menggemparkan skena kompetitif Tekken 7, setelah ia berhasil memenangkan EVO Japan 2019. Sebelumnya, Pakistan bisa dibilang jarang sekali masuk dalam peta kekuatan dunia kompetitif game apapun. Dalam Dota mungkin adal Sumail Hassan, tetapi Tekken? Dominasi negara-negara Asia sepertinya masih terlalu kental dalam skena game bertarung tiga dimensi ini.

Namun demikian Arslan Ash muncul secara tiba-tiba, mendapat gelar EVO Japan 2019, bahkan mengalahkan pemain berpengaruh asal Korea Selatan, Knee, di gelaran EVO 2019. Berkat torehan tersebut, Arslan Ash menerima gelar Esports Player of the Year versi ESPN. Menariknya prestasi yang ditorehkan oleh Arslan seakan tak hanya jadi pencapaian pribadi saja, tetapi sedikit banyak juga mempengaruhi skena kompetitif Tekken 7, dan komunitas Tekken di Pakistan.

Kisah perjuangan Arslan mungkin bisa dibilang layaknya kisah Sumail Hassan. Awalnya, ia hanyalah anak kuliahan yang suka bermain game. Berasal dari keluarga kelas menengah, sebelum momen EVO terjadi, ia adalah mahasiswa yang ingin mencapai impiannya untuk menjadi seorang dokter. Namun, gaming tetap menjadi salah satu renjana yang tak pernah ia tinggalkan.

Sebelum mencapai EVO, nama Arslan mulai dikenal di komunitas gaming negaranya ketika ia memenangkan kompetisi nasional, Pakistan Tekkn 6 Grand Masters Championship. Sejak saat itu ia terus mengikuti satu kompetisi ke kompetisi lain yang membuatnya jadi populer di Pakistan.

Setelah memenangkan skena lokal, ia lalu mulai mencoba naik tingkat ke dunia internasional. Namun ia tak punya banyak uang untuk berangkat ke luar negeri dan bertanding. “Saya tak punya uang. Jadi saya minta tolong kepada teman saya. Dalam hati saya tahu, bahwa saya akan menang. Toh saya adalah pemain nomor satu di Pakistan. Akhirnya kawan-kawan mengumpulkan uang untuk registrasi turnamen. Saya semakin semangat ketika keluarga, terutama ibu sangat mendukung saya untuk ini.” Cerita Arslan kepada Red Bull Esports dalam artikel biografi singkatnya yang berjudul The Incredible Ascension of the Pakistani Tekken Legend.

Sumber: Red Bull Esports
Sumber: Red Bull Esports

Menuju tangga kesuksesan, Arslan mengalami banyak hal. Ia sempat harus memilih antara kuliah atau turnamen. Ibu Arslan juga tidak serta-merta mendukung Arslan dengan begitu saja. Sempat ada penolakan, dianggap membuang-buang uang karena tidak menyelesaikan studinya. “Tapi saya berpikir, saya akan menunjukkan kepada semua orang bahwa saya telah memilih jalan yang tepat.”

Dan benar saja. Secara berangsur-angsur, Arslan memenangkan turnamen demi turnamen. Berawal dari turnamen pertamanya di Oman, Arslan pergi dari satu negara ke negara lain untuk memenangkan kompetisi. Sempat ikut FV X SEA Major yang mana ia hanya berhasil mendapatkan peringkat 9-12 saja.

Kemenangannya yang mungkin bisa dibilang paling gemilang adalah OUG Tournament 2018. Ia berhasil menjadi juara, setelah mengalahkan salah satu pemain veteran di skena Tekken 7, Knee. Namun, momen yang paling membuat Arslan disorot oleh mata dunia adalah ketika ia menangkan EVO Japan 2019 setelah mengalahkan AK lewat proses reset bracket.

EVO 2019 - Tekken 7 Champion
Sumber: Stephanie Lindgren/EVO

Walau begitu, Arslan tidak selalu menjadi yang terbaik. Dalam gelaran TWT 2019 yang dimenangkan oleh Chikurin, ia gagal lolos dari fase grup, hanya berhasil finish di peringkat 17-20. Namun demikian, saya pribadi tetap merasa ia patut mendapatkan gelar tersebut karena pengaruh yang diberikannya kepada komunitas Pakistan, bahkan skena Tekken 7 secara keseluruhan.

ESPN Esports Awards dilakukan dengan voting para fans yang dilakukan lewat akun Twitter @ESPN_Esports. Arslan Ash keluar sebagai pemenang dengan perolehan sebesar 60.1% dari total 8036 suara, bersaing dengan bocah pemenag Fortnite World Cup, Kyle Giesdorf (Bugha) dan pemain San Fransisco Shock, Jay Won (Sinatra) yang memenangkan titel MVP di Overwatch League 2019.

Yang Nyata dan Fana di Balik Tabir Pertumbuhan Esports Fighting Game

Generasi console kedelapan (era PS4 dan para rivalnya) rasanya tak berlebihan bila disebut sebagai masa renaissance bagi dunia fighting game. Di generasi ini banyak sekali judul fighting game bermunculan setiap tahunnya, bukan hanya dari franchise yang mainstream tapi juga judul baru ataupun franchise “jadul” yang tiba-tiba datang kembali.

Di generasi ini kita melihat Super Smash Bros. Ultimate menembus rekor sebagai judul fighting game terlaris sepanjang masa. Kita juga melihat judul seperti Samurai Shodown dan Fighting EX Layer tiba-tiba bangkit setelah mati suri selama belasan tahun. Arc System Works, perusahaan veteran di dunia fighting game 2D, dikontrak Bandai Namco untuk membuat Dragon Ball FighterZ yang akhirnya membuat dunia gempar. Yang mungkin terdengar absurd, Riot Games mengakuisisi sebuah studio untuk menciptakan fighting game berbasis League of Legends.

Perusahaan-perusahaan developer juga semakin berani melakukan hal-hal “gila” dalam fighting game bikinan mereka. Siapa yang menyangka bakal ada karakter Final Fantasy muncul di Tekken, atau Terminator muncul di Mortal Kombat? Karakter di Super Smash Bros. Ultimate jumlahnya sudah seperti Suikoden saja, BlazBlue: Cross Tag Battle punya karakter yang literally berbentuk sebuah tank, dan kalau Anda menganggap Wii U sebagai anggota console generasi kedelapan, maka di generasi ini pula para kreator Tekken telah menciptakan fighting game kompetitif dengan tema Pokémon.

Dibandingkan dengan kondisi satu dekade lalu, dunia fighting game di era ini telah berubah jadi jauh lebih seru dan lebih menarik. Rasanya saya tidak akan kaget lagi melihat pengumuman apa pun yang muncul dari dunia fighting game karena sudah terlalu banyak yang nyeleneh. Yang bisa membuat saya terkejut mungkin hanya bila Capcom memasukkan karakter-karakter playable seri Rival Schools ke Street Fighter V, tapi kita sama-sama tahu hal itu tidak akan terjadi.

Berebut panggung kompetisi

Fighting game is growing, katanya. Pasar fighting game sedang tumbuh. Hal ini rasanya telah menjadi konsensus di diskusi mana pun. Tapi kemudian yang jadi pertanyaan adalah, sebetulnya tumbuhnya sebesar apa? Kita bisa melihat pertumbuhan ini dari dua sisi. Pertama, dari sisi peminat fighting game secara kompetitif. Dan kedua, dari sisi jumlah pemain secara keseluruhan (kompetitif dan kasual).

Untuk mengukur minat kompetitif, kita bisa menggunakan jumlah pengunjung dan kompetitor EVO yang merupakan ajang fighting game terbesar dunia sebagai benchmark. Menelusuri perkembangan EVO selama tiga tahun terakhir, kita dapat menemukan bahwa:

  • EVO 2017 dihadiri 6.812 kompetitor dan 8.964 pengunjung
  • EVO 2018 dihadiri 7.437 kompetitor dan 10.541 pengunjung
  • EVO 2019 dihadiri 9.234 kompetitor, belum ada info jumlah pengunjung

Perlu diingat bahwa angka di atas ada jumlah kompetitor unik yang berpartisipasi dalam seluruh event, jadi jumlahnya akan berbeda dengan jumlah kompetitor yang tercatat per game, misalnya dalam artikel berikut. Ini karena pemain fighting game kerap kali mengikuti lebih dari satu cabang kompetisi. Angka-angka ini juga hanya mencakup kompetitor di cabang pertandingan utama, tidak termasuk side tournament.

Sumber angka-angka di atas adalah pernyataan resmi yang dirilis oleh pihak EVO dan pencatatan di smash.gg, jadi mungkin saja terdapat perbedaan data dengan data milik pihak ketiga, misalnya One Frame Link. Namun perbedaannya tidak akan terlalu banyak.

Angka-angka di atas menunjukkan bahwa peminat fighting game kompetitif memang terus meningkat setiap tahunnya, dengan angka peningkatan kurang lebih 9% di tahun 2018 dan 24% di tahun 2019. Bila dibandingkan ke belakang lagi, misalnya EVO 2012, pertumbuhannya akan terlihat lebih drastis. Jumlah pengunjung tahun tersebut hanya sekitar 5.000 orang, dan partisipannya hanya sekitar 3.500 orang.

EVO 2019 - Hosts
Wajah-wajah familier di panel EVO, Sajam, Tasty Steve, dan Tom Cannon | Sumber: Robert Paul via EVO

Selain jumlah kompetitor/partisipan, hal lain dari EVO yang bisa kita jadikan benchmark adalah jumlah game yang dipertandingkan, dan game apa saja yang dipertandingkan. Meskipun mungkin ada kaitannya juga dengan perjanjian bisnis antara pihak EVO dengan para sponsor, muncul atau tidaknya sebuah game di EVO memberikan gambaran apakah ekosistem game tersebut sehat atau tidak.

Sejak tahun 2013, EVO umumnya mempertandingkan 9 judul game di panggung utama. Akan tetapi angka ini sempat turun menjadi 8 di tahun 2014 dan 2018. Selain itu, perubahan dari tahun 2018 ke 2019 juga menunjukkan hal yang menarik. Mari kita lihat bersama di bawah.

Perubahan EVO 2013 ke EVO 2014:

  • Super Street Fighter IV: Arcade Edition diganti Ultra Street Fighter IV
  • Ultimate Marvel v. Capcom 3 tetap ada
  • Super Smash Bros. Melee tetap ada
  • Injustice: Gods Among Us tetap ada
  • Street Fighter x Tekken dihapus
  • The King of Fighters XIII tetap ada
  • Persona 4 Arena diganti BlazBlue: Chronophantasma
  • Tekken Tag Tournament 2 tetap ada
  • Mortal Kombat 9 diganti Killer Instinct

Perubahan EVO 2017 ke EVO 2018:

  • Street Fighter V diganti Street Fighter V: Arcade Edition
  • Super Smash Bros. for Wii U tetap ada
  • Super Smash Bros. Melee tetap ada
  • Tekken 7 tetap ada
  • Injustice 2 tetap ada
  • Guilty Gear Xrd REV 2 tetap ada
  • Ultimate Marvel vs. Capcom 3 dihapus
  • BlazBlue: Central Fiction diganti BlazBlue: Cross Tag Battle
  • The King of Fighters XIV dihapus
  • Penambahan DragonBall FighterZ

Perubahan EVO 2018 ke EVO 2019:

  • DragonBall FighterZ tetap ada
  • Street Fighter V: Arcade Edition tetap ada
  • Tekken 7 tetap ada
  • Super Smash Bros. for Wii U diganti Super Smash Bros. Ultimate
  • Super Smash Bros. Melee dihapus
  • BlazBlue: Cross Tag Battle tetap ada
  • Guilty Gear Xrd REV 2 dihapus
  • Injustice 2 diganti Mortal Kombat 11
  • Penambahan Samurai Shodown
  • Penambahan Soulcalibur VI
  • Penambahan Under Night In-Birth Exe: Late[st]

Ketika sebuah game dihapus dari daftar EVO, biasanya itu berarti telah terjadi satu di antara dua kemungkinan. Pertama, developer game tersebut telah merilis judul lain atau sekuel yang lebih baru. Contohnya Persona 4 Arena dan BlazBlue: Chronophantasma yang sama-sama dikembangkan oleh Arc System Works, atau Mortal Kombat 9 dan Killer Instinct yang dibuat oleh NetherRealm Studios. Kemungkinan kedua adalah komunitas game tersebut telah menyusut cukup jauh, sehingga diperkirakan bila game itu tampil di EVO maka peminatnya akan kurang, misalnya Street Fighter x Tekken yang sudah ada sejak EVO 2012 dan di tahun 2014 belum ada pengganti/sekuelnya.

Akan tetapi EVO 2018 cukup menimbulkan kehebohan karena hanya mempertandingkan 8 game, padahal saat itu ada fighting game yang baru keluar: Marvel vs. Capcom Infinite. Seharusnya game ini menjadi pengganti dari Ultimate Marvel vs. Capcom 3, akan tetapi pihak EVO memilih tidak mengikutsertakannya. Alasannya adalah karena Marvel vs. Capcom Infinite mendapat penerimaan yang buruk di kalangan gamer, dan pada saat berdekatan muncul game lain dengan gaya permainan sangat mirip (2D tag team fighting) yaitu Dragon Ball FighterZ.

EVO 2019 lebih “ramai” lagi kasusnya, dan mungkin bisa dibilang agak lucu. Ini adalah tahun di mana saking banyaknya judul fighting game beredar di pasaran, EVO sampai harus menghapus game yang masih memiliki komunitas sangat besar: Super Smash Bros. Melee. EVO 2019 juga tidak mempertandingkan Dead or Alive 6 setelah kasus “pornoaksi” yang mereka anggap tidak sesuai dengan identitas brand EVO, padahal Dead or Alive 6 baru saja dirilis dan merupakan franchise yang cukup besar juga.

Sebagai gantinya, EVO 2019 menampilkan tiga game baru sekaligus yang tidak ada di tahun sebelumnya, yaitu Soulcalibur VI, Samurai Shodown, dan Under Night In-Birth Exe: Late[st] (UNIST). Bila kita mengikutsertakan Dead or Alive 6, artinya dalam rentang waktu satu tahun antara EVO 2018 ke EVO 2019 telah terbit empat judul baru yang kesemuanya berpotensi punya basis massa besar. Tiga di antaranya bahkan merupakan franchise senior di dunia fighting game.

Itu pun sebetulnya belum semua. Masih ada game lain yang berpotensi tampil di EVO, yang juga muncul dalam rentang waktu tersebut, yaitu Fighting EX Layer. Dibuat oleh Arika yang sudah menciptakan fighting game sejak 1995, Fighting EX Layer memiliki gameplay yang kompetitif dan karakter-karakter yang menarik, namun sayangnya penjualan game ini tidak mencapai target yang diinginkan para developernya. Meski tidak banyak dihujat seperti Marvel vs. Capcom Infinite, mungkin inilah alasan mengapa Fighting EX Layer tidak tampil di EVO.

Tren banyaknya fighting game ini tampaknya masih akan terus berlanjut setidaknya hingga tahun 2020 nanti. EVO 2020 sudah mengumumkan lima game yang akan dipertandingkan, yaitu BlazBlue: Cross Tag Battle, Samurai Shodown, Super Smash Bros. Ultimate, Soulcalibur VI, dan Tekken 7. Sisa 4 slot lagi masih bisa diisi siapa saja, entah game lama atau game baru.

Ada setidaknya 4 fighting game baru yang berpotensi untuk dirilis di tahun 2020, yaitu Under Night In-Birth Exe: Late[cl-r] (UNICLR), Granblue Fantasy Versus, Guilty Gear Strive, dan The King of Fighters XV. Street Fighter V, meskipun belum diumumkan resmi, tampaknya tidak akan tergeser dari panggung utama EVO, dan ada rumor bahwa Capcom akan meluncurkan versi baru yang disebut Street Fighter V: Tournament Edition (sekarang telah resmi diumumkan sebagai Street Fighter V: Champion Edition). Artinya tinggal 3 slot yang tersisa. UNICLR, Granblue Fantasy Versus, KOF XV, dan Guilty Gear Strive bisa jadi harus berebut 3 slot tersebut melawan Mortal Kombat 11 dan Dragon Ball FighterZ yang usianya juga masih relatif muda.

Memang EVO bukan satu-satunya panggung kompetisi bagi fighting game. Masih banyak turnamen besar lain berskala global, seperti Combo Breaker, CEO, dan sebagainya. Ditambah lagi, para penerbit/developer game bisa saja meluncurkan sirkuit kompetisi sendiri. Dead or Alive 6, walaupun tidak masuk EVO, punya sirkuit sendiri bernama Dead or Alive 6 World Championship. The King of Fighters dan Samurai Shodown juga memiliki kompetisi global SNK World Championship. Sementara Arc System Works sudah lama menjalankan turnamen yang bernama ArcRevo World Tour.

Akan tetapi turnamen-turnamen seperti ini skalanya jauh lebih kecil dari EVO, sehingga tidak bisa memberikan exposure yang setara pada game tersebut. Uang hadiah yang ditawarkan pada kontestan pun jumlahnya lebih rendah. EVO saat ini sudah merupakan semacam kiblat yang menentukan tren di dunia fighting game kompetitif, jadi game yang muncul di turnamen-turnamen third party pun tidak akan jauh berbeda dari lineup EVO.

Sebuah game yang sangat populer dan/atau disokong oleh penerbit besar bisa jadi akan menciptakan ekosistem kompetitif yang mandiri dan sustainable, seperti Capcom Pro Tour atau Tekken World Tour. Tapi tidak semua game bisa seperti itu. Lebih sering, sebuah judul fighting game harus rela “berbagi pasar” dengan game lain. Sebuah game yang saat ini populer, bisa saja tiba-tiba jadi sepi begitu muncul judul baru yang tak kalah menarik. Dragon Ball FighterZ saja, yang laku keras hingga 4 juta kopi di pasaran, kehilangan lebih dari 50% kompetitor mereka dari EVO 2018 ke EVO 2019. Apalagi game lain yang punya fanbase lebih kecil.

Combo Breaker 2019 - Mortal Kombat 11
Game di turnamen fighting game umumnya tak jauh beda dari EVO | Sumber: Thomas Tischio via Combo Breaker

Fighting game tak harus esports

Apakah ini berarti pasar fighting game saat ini sudah terlalu ramai, dan sudah waktunya bagi para developer untuk “menginjak rem”? Sebetulnya ini pertanyaan yang agak sulit, dan tergantung dari kepentingannya, jawaban seseorang akan berbeda-beda. Bila kita berbicara spesifik tentang keterlibatan fighting game dalam esports, misalnya, maka kemungkinan jawabannya adalah ya.

Jumlah fighting game yang demikian banyak membuat para tournament organizer (TO) kesulitan untuk memfasilitasi semuanya. Jumlah pemain fighting game secara umum memang meningkat, tapi peningkatannya tidak sampai membuat genre ini membludak seperti Fortnite atau PUBG. Itu pun tidak semua pemain fighting game berminat bermain secara kompetitif. Banyak di antara mereka yang lebih suka bermain kasual saja, jadi peningkatan penjualan game belum tentu dibarengi dengan peningkatan jumlah peminat/pemain esports di dalamnya.

Peningkatan yang selama ini terjadi bukanlah meningkatkan status genre fighting game dari niche menjadi mainstream, tapi sekadar dari niche menjadi niche yang sedikit lebih besar. Ada beberapa game yang bisa menjaring pemain dalam jumlah banyak, misalnya Super Smash Bros., Street Fighter, atau Tekken. Namun kebanyakan dari mereka adalah pemain kasual, hanya sedikit sekali yang berubah menjadi pemain kompetitif.

Bram Arman, seorang TO yang cukup senior dari komunitas Advance Guard, menyebutkan bahwa perkembangan judul atau intellectual property (IP) fighting game yang belakangan semakin banyak itu seperti menggali kubur sendiri. “Dari sisi demografik sebenarnya numbers of fighting games players sendiri pertumbuhannya memang bisa dibilang sedikit sekali. Karena untuk konversi (membuat seseorang mau membeli fighting game) itu memang harus ada keinginan dari individu itu sendiri,” ujarnya, “Memang dengan adanya suatu turnamen, pameran, itu membantu penetrasi. Tapi jumlah yang terkonversi menurut analisa saya sedikit sekali.”

Bram juga menyoroti jadwal perilisan judul-judul fighting game, IP baru ataupun sekuel, yang relatif berdekatan satu sama lain. Alih-alih menggaet pemain baru, ujung-ujungnya pembelinya adalah orang-orang yang sama juga, yang selama ini sudah menggemari genre fighting dan sudah malang-melintang bermain berbagai judul fighting game. Jadi banyaknya judul game yang laris bukan berarti jumlah pemainnya bertambah. Bisa jadi itu hanya berarti setiap pemain mau mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli game.

Bram memberi contoh Granblue Fantasy Versus dan Guilty Gear yang akan terbit tahun 2020 nanti. Menurutnya, dua game ini nantinya akan dimainkan oleh komunitas yang sama, yaitu komunitas penggemar “anime fighters”. Sementara untuk menarik penggemar dari luar komunitas ini, hanya bisa kembali lagi ke minat masing-masing orang. Bram merasa bahwa para developer fighting game harus lebih pandai mencari perhatian pasar dengan cara yang lebih menarik lagi.

Granblue Fantasy Versus - Screenshot
Granblue Fantasy Versus, target pasarnya ditengarai akan sama dengan Guilty Gear | Sumber: Dual Pixels

Di sisi lain, Jason Nuryadin dari komunitas Drop the Cap berpendapat bahwa meningkatnya jumlah fighting game adalah hal yang baik, karena itu akan mendorong para developer untuk meningkatkan kualitas agar mereka mampu bersaing di pasar. Namun ini juga akan memberikan sedikit dampak buruk, yaitu membuat komunitas jadi lebih terpecah dari sebelumnya. “Tapi kembali lagi ke nature FGC (fighting games community) di mana pemain fighting game kebanyakan main lebih dari 1 game, kurasa itu bukan masalah berat,” paparnya.

Jason menyebut generasi ini sebagai masa renaissance dalam fighting game, tapi masih belum tepat jika dikatakan overcrowded. Menurutnya, kini genre fighting telah berubah dari sekadar “product to play” menjadi juga “product to watch” karena adanya esports. Hal ini turut membantu fighting game berkembang dengan baik.

Akan tetapi ia merasa bahwa esports ini pun sebenarnya hanya bisa tumbuh bila ada peran komunitas. Memang sejak dulu ekosistem kompetitif fighting game selalu berasal dari gerakan-gerakan akar rumput. EVO yang kini jadi event raksasa pun pada awalnya tumbuh dari event antar komunitas, bukan serta-merta muncul karena ada sponsor yang menggelontorkan dana besar-besaran.

Supaya komunitas itu bisa tumbuh subur, Jason ingin para developer bisa memberikan core gameplay serta dukungan yang baik dalam fighting game milik mereka. “Apakah core gameplay dari game tersebut well-beloved juga, dan apakah support dari developer juga ada (seperti prize pool dan lain-lain). Tapi kita ga bisa doubt, yang namanya esports itu salah satu strategi ampuh buat developer investasi ke fighting game, walau penuh risiko,” papar Jason.

Gelud - Gathering
Gelud ingin merangkul penggemar segala fighting game | Sumber: Gelud – Fighting Games Enthusiasts

Sementara itu, Mahessa Ramadhana dari komunitas Gelud – Fighting Game Enthusiasts (dulunya Fighting Game Enthusiasts Bandung) berkata bahwa jumlah game yang semakin banyak ini memang sedikit merepotkan. “Kalau dari komunitas, Gelud agak ribet karena Gelud mau cover berbagai judul fighting game. Jadi susahnya pas gathering sering bingung, mau game apa aja yang dipasang,” paparnya.

Tapi itu hanya masalah dari sudut pandang pegiat komunitas saja. Menurut Mahessa, secara umum banyaknya judul fighting game ini bukan masalah karena kebanyakan pemain fighting game (FG) ujung-ujungnya hanya akan main beberapa judul besar saja. “Kebanyakan judul-judul FG sekarang judul-judul kecil, dan judul-judul kecil ini biasanya yang main emang penggemar game-game niche. Penggemar game-game niche tendensinya main segala macam game, jadi ga begitu kepecah juga,” kata Mahessa.

Ia melanjutkan, “Kalau ada fragmentasi, lebih kerasa fragmentasi karena banyak pilihan, jadi orang-orang pilih yang pas sama dia. Yang nggak pas dia ga main. Jadi mungkin malah efeknya positif, orang-orang jadi lebih gampang nemu game yang emang dia suka.” Pendapat Mahessa ini serupa dengan apa yang dikatakan oleh YouTuber fighting game terkenal Maximilian Dood, yaitu bahwa daripada oversaturation atau overcrowded, kondisi dunia fighting game saat ini lebih tepat dibilang, “Kita sekarang jadi punya pilihan.”

Demi kesenangan, atau demi penghasilan?

Mungkin satu hal yang kita tidak boleh salah kaprah, adalah tentang seberapa besar potensi finansial yang ada di ekosistem fighting game kompetitif. Perkara uang ini sebetulnya topik cukup sensitif yang telah membuat komunitas fighting game global terpecah-belah.

Ada yang memandang esports fighting game sebagai bisnis menjanjikan, lalu lupa bahwa komunitasnya—yang sudah berusia puluhan tahun—punya nilai-nilai yang mesti dijaga. Ada yang melihat pertumbuhan event yang belakangan semakin besar, kemudian menuntut agar TO memberi kompensasi lebih pada para partisipan. Ada yang merasa bahwa kompensasi tambahan itu tidak perlu, karena selama ini TO sudah banyak berkorban kerja suka rela. Ada yang bercita-cita hidup sebagai atlet fighting game profesional, tapi para atlet yang mereka idolakan justru berkata, jangan masuk esports fighting game kalau tujuanmu adalah mencari uang.

Transisi ekosistem fighting game dari dunia kompetitif grassroot menjadi esports profesional menimbulkan berbagai konflik dan perbedaan pendapat. Terkadang sedih juga melihatnya, apalagi bila level konfliknya bukan orang lawan orang tapi sudah antar organisasi yang punya pengaruh luas. Dan sebetulnya kalau dipikir-pikir, argumen-argumen yang berlawanan itu semuanya bisa terasa benar, tergantung dari kita berada di posisi mana dan punya kepentingan apa.

Memang betul bahwa ada peluang di dunia esports fighting game. Namun dikatakan “besar” pun, sebetulnya pasarnya masih jauh lebih kecil dibandingkan cabang-cabang esports lainnya. Karakteristik para stakeholder dan pasarnya pun berbeda dengan, misalnya, ekosistem MOBA atau battle royale.

Super Smash Bros. Ultimate, pemecah rekor fighting game tersukses sepanjang masa, mungkin terlihat besar dengan angka penjualan sebesar 15 juta kopi. Bila harga 1 kopi game adalah US$60, itu artinya Super Smash Bros. Ultimate meraup revenue sebesar US$900.000.000. Revenue fighting game terlaris sepanjang masa masih lebih kecil dibandingkan penghasilan PUBG sepanjang tahun 2018 saja, yang sudah menembus angka miliaran dolar.

Judul fighting game yang dianggap mainstream seperti Street Fighter V dan Tekken 7, sebetulnya “hanya” punya angka penjualan sekitar 4 juta kopi saja. Dibandingkan beberapa cabang esports lain di luar sana, pasar fighting game masih merupakan “kue kecil”. Seperti sus atau donat mini, enak dan manis memang, tapi bila semua orang berebut maka tidak akan ada yang kenyang.

Saya rasa apa yang dibutuhkan oleh ekosistem esports fighting game kali ini adalah keseimbangan antara diskusi, partisipasi, dan ekspektasi. Pihak-pihak yang punya kepentingan seyogyanya duduk bersama untuk mencari seperti apa jalan keluar yang lebih baik. Pelaku-pelaku industri esports perlu lebih mendengarkan kebutuhan komunitas karena merekalah yang selama ini banyak bekerja keras untuk menyuburkan ekosistem ini. Dan terakhir, mencari keuntungan lewat esports fighting game itu sah-sah saja, tapi mereka yang mengambil jalan ini juga harus sadar bahwa sebetulnya pasar fighting game—kompetitif maupun kasual—belum sebesar itu.

Sepuluh atau dua puluh tahun lalu, mungkin semua orang bisa setuju bahwa keaktifan di ekosistem fighting game adalah pencurahan passion semata. Tapi kini hal itu mulai berubah. Pemain, TO, investor, pelan-pelan semua stakeholder mulai mengharap ada sesuatu yang bisa didapat sebagai imbalan atas kerja keras mereka, dan itu wajar. Asal ingat saja, untuk tidak meminta lebih dari kue yang sedang terhidang di atas meja.

Sumber Header: Timothy Kauffman

Tergerus Konflik Antar Founder, Echo Fox Akhirnya Dikabarkan Bubar

Echo Fox adalah salah satu nama yang cukup besar di dunia esports, akan tetapi situasi organisasi ini di tahun 2019 cukup memprihatinkan. Keanggotaan mereka dalam League of Legends Championship Series (LCS) telah dihapus oleh Riot Games karena kasus rasisme, para founder berseteru, dan sejumlah masalah yang menerpa organisasi ini mencakup tuduhan penyelewangan dana hingga hutang jutaan dolar pada investor.

Ulrich Alexander Fox alias Rick Fox, sang pendiri Echo Fox, beberapa waktu lalu akhirnya memutuskan untuk keluar dari organisasi tersebut, meninggalkan co-founder lainnya seperti Amit Raizada dan Stratton Sclavos. Perselisihan antara para founder ini pada akhirnya berujung damai, namun kondisi Echo Fox sudah terlanjur kacau balau. Puncaknya, kini organisasi Echo Fox dikabarkan telah 100% bubar.

Rick Fox
Rick Fox, mantan CEO Echo Fox | Sumber: Dot Esports

Berita tersebut datang dari salah seorang juru bicara investor yang diwawancara oleh media WIN.gg. Secara resmi Echo Fox maupun Vision Esports (perusahaan shareholder Echo Fox) belum mengeluarkan pernyataan, tapi narasumber tersebut menyatakan bahwa organisasi ini benar-benar telah bubar. “Sudah tidak ada lagi Echo Fox. (Echo Fox) sudah hilang,” ujarnya. “Seluruh pemain telah dilepaskan. Para staf sudah diputus kontrak. Logo dan seragam (Echo Fox) sekarang jadi barang kolektor.”

Kondisi Echo Fox sebenarnya sudah cukup kritis semenjak tim tersebut kehilangan slot LCS. Saat itu Riot Games menjual slot milik Echo Fox kepada Evil Geniuses untuk harga yang terlampau rendah, yaitu US$30.000.000 (sekitar Rp421,4 miliar). Ditambah lagi saat itu Echo Fox hanya memiliki likuiditas (uang kas) sebesar US$5.000.000 saja. Padahal biaya operasional yang harus mereka keluarkan untuk membayar atlet dan staf setiap bulannya mencapai kurang lebih US$500.000.

EVO 2019 - SSBU Champion
MKLeo, juara EVO 2019 | Sumber: Echo Fox

Memang masih ada beberapa atlet Echo Fox yang menunjukkan performa gemilang di kancah esports, contohnya SonicFox (Dominique McLean) dan MKLeo (Leonardo Lopez Perez). Keduanya berhasil meraih juara di EVO 2019 kemarin, SonicFox di Mortal Kombat 11 dan MKLeo di Super Smash Bros. Ultimate. Namun Echo Fox sudah tidak punya uang untuk membayar gaji mereka.

Sang narasumber memaparkan bahwa selama ini Rick Fox memang berhasil dalam hal membangun tim yang dinamis, juga ahli dalam urusan humas. Tapi di bawah kepemimpinan Rick Fox sebagai CEO, organisasi ini gagal secara finansial. Rick Fox bahkan disebut sebagai “bencana berjalan” karena caranya mengatur keuangan.

Saat ini Rick Fox sudah tidak lagi ada di Echo Fox, tapi para investor/partner organisasi ini belum punya keinginan untuk terus melanjutkan brand Echo Fox. Mereka masih ingin terlibat dalam dunia esports, namun belum jelas seperti apa wujudnya. Membangun ulang Echo Fox bukan hal mustahil, akan tetapi butuh proses besar, sama saja seperti membangun organisasi baru. Jadi Echo Fox benar-benar telah tiada, setidaknya untuk sekarang.

Terlepas dari kasus-kasus kontroversinya, nama Echo Fox akan selalu punya tempat spesial di dunia esports terutama komunitas fighting game. Echo Fox adalah salah satu organisasi yang mendukung sejumlah pemain fighting game veteran sejak lama, dan telah berkontribusi mendorong perkembangan ekosistem esports genre ini. Beberapa pemain hebat yang pernah mengenakan jersey Echo Fox antara lain Tokido, Justin Wong, NuckleDu, Momochi, Punk, Chocoblanka, JDCR, dan masih banyak lagi.

Sumber: WIN.gg

Evolution Championship Series Siap Guncangkan Las Vegas Lagi di Tahun 2020

Rasanya baru kemarin kita menyaksikan para jawara fighting game dunia adu otot di EVO 2019, tapi kini panitia EVO sudah bersiap-siap untuk menggelar EVO 2020. Baru saja, mereka mengunggah trailer di YouTube yang mengonfirmasi digelarnya acara ini, beserta tanggal dan lokasi pastinya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, EVO 2020 akan kembali hadir di Mandalay Bay Resort and Casino, Las Vegas, tepatnya di tanggal 31 Juli – 2 Agustus 2020.

Bila Anda menonton trailer di bawah, Anda dapat menyaksikan sejumlah klip dari game populer yang muncul di EVO 2019, seperti Dragon Ball FighterZ, Tekken 7, dan BlazBlue: Cross Tag Battle. Tapi perlu diingat bahwa saat ini EVO belum mengumumkan secara resmi game apa saja yang akan tampil tahun 2020 nanti.

Masih ada waktu cukup lama sampai 31 Juli, dan dalam rentang waktu ini ada beberapa fighting game yang akan dirilis atau kemungkinan dirilis. Contohnya Granblue Fantasy Versus (Februari 2020), Guilty Gear baru (tentatif 2020), dan The King of Fighters XV (tentatif 2020). Bisa saja salah satu dari beberapa game ini nantinya muncul jadi menu di panggung utama, tergantung dari apakah para developernya merilis sebelum atau sesudah EVO.

Satu hal lagi yang penting untuk diingat dalam EVO 2020, yaitu aturan baru tentang penggunaan controller. Selepas kontroversi seputar controller jenis hit box, beberapa waktu lalu panitia EVO mengumumkan revisi aturan yang akhirnya benar-benar melegalkan controller tersebut. Termasuk di antaranya Gafrobox yang digunakan oleh Daigo Umehara, hit box Cross|Up yang punya directional input campuran, serta Smash Box yang dirancang khusus untuk pemain Super Smash Bros.

Granblue Fantasy Versus - Screenshot
Granblue Fantasy Versus, akankah masuk EVO? | Sumber: Dual Pixels

Jangan lupa juga bahwa sebelum EVO 2020 nanti masih ada event EVO Japan 2020 yang akan digelar pada tanggal 24 – 26 Januari. Pertengahan Oktober lalu, EVO Japan sudah mengumumkan lima game utama yang akan dipertandingkan nantinya, terdiri dari:

  • BlazBlue: Cross Tag Battle
  • Samurai Shodown
  • Super Smash Bros. Ultimate
  • Soulcalibur VI
  • Tekken 7
EVO Japan 2020 - Games
Sumber: EVO Japan

Ajang EVO Japan 2020 ini akan digelar di gedung Makuhari Messe, kota Chiba, yang memiliki kapasitas hingga 9.000 pengunjung. Dibandingkan EVO Japan 2019 yang digelar di Fukuoka Kokusai Center, gedung Makuhari Messe memang sedikit lebih kecil. Tapi lokasinya yang berada di pinggiran Tokyo bisa memberikan akses yang lebih mudah, ketimbang kota Fukuoka yang letaknya ada di ujung selatan Jepang. Anda bisa menyimak liputan EVO Japan 2019 dari komunitas Advance Guard dan ABUGET di tautan berikut.

EVO 2020 menandai tahun ke-15 hadirnya EVO di Las Vegas sejak pertama kali digelar di kota tersebut pada tahun 2005. EVO sendiri akan menginjak usia 24 tahun, bila kita menghitung sejak pertama kali dicetuskan dengan nama Battle by the Bay pada tahun 1996 lalu. Inovasi seperti apa yang akan mereka tunjukkan di tahun 2020 nanti?

Sumber: Shoryuken.com, EVO JapanJoey Cuellar, EventHubs

EVO Rancang Aturan Baru yang Melegalkan Penggunaan Controller Hitbox

Dunia fighting game beberapa waktu lalu sempat dilanda diskusi yang hangat perihal legalitas controller. Ketika Daigo Umehara—yang merupakan sosok terkenal di komunitas fighting game—menunjukkan berbagai keunggulan controller yang disebut hitbox, banyak pihak merasa bahwa fitur-fitur dalam controller tersebut terlalu bagus sehingga dapat disebut curang. Terutama hitbox merk Gafrobox yang digunakan oleh Daigo.

Meskipun hitbox itu sebenarnya sudah cukup lama beredar di pasaran, penggunaannya oleh Daigo membuat diskusi seputar controller jenis ini. Menanggapi isu tersebut, Capcom akhirnya memutuskan untuk melarang hitbox karena dinilai dapat memberikan keuntungan kompetitif. Akan tetapi mereka masih membuka ruang diskusi, dan menyatakan bahwa peraturan Capcom Pro Tour (CPT) bisa saja berubah di masa depan.

Panitia Evolution Championship Series (EVO) kini tengah menggodok aturan baru yang mengatur legalitas controller, terutama hitbox. Mereka merilis rancangan aturan tersebut di Google Docs agar dapat dilihat oleh semua orang, dan terbuka terhadap masukan sebelum aturan ini diimplementasikan. Rencananya, panitia EVO akan menetapkan aturan versi finalnya pada tanggal 31 Oktober 2019.

Anda dapat membaca aturan tersebut lewat tautan ini, tapi ada beberapa poin penting yang perlu kita perhatikan secara cermat. Berikut beberapa di antaranya:

  • Sebuah controller tidak boleh memberikan hasil input ganda dari satu mekanisme input. Input ganda dari setting di dalam game diperbolehkan, tapi pemain dilarang memodifikasi controller untuk bisa menekan lebih dari satu input bersamaan, atau menekan lebih dari satu input secara sekuensial (macro).
  • Sebuah controller tidak boleh memberikan input dua arah berlawanan secara sekaligus. Input dua arah berlawanan ini dikenal dengan istilah simultaneous opposite cardinal direction (SOCD), dan merupakan salah satu alasan mengapa Gafrobox dilarang.
  • Sebuah controller boleh memberikan input analog, asalkan hasil inputnya tidak berupa input ganda/sekuensial. Input analog ini misalnya tombol yang memberi input berbeda tergantung dari seberapa dalam tombol itu ditekan.

Khusus untuk aturan mengenai SOCD, panitia EVO berkata bahwa aturan ini akan dihapus pada tanggal 30 April 2021. Artinya controller dengan fitur SOCD boleh digunakan setelah periode tersebut. Akan tetapi pihak EVO memberi masukan supaya para developer fighting game menerapkan cara mereka sendiri untuk mengatasi input SOCD. Misalnya apabila pemain menekan tombol kiri dan kanan sekaligus, maka game akan menganggap input itu invalid atau menghasilkan input netral.

Panitia EVO juga memberi catatan khusus untuk tiga controller yang saat ini ada di pasaran, yaitu Gafrobox, Hit Box Smash Box, dan Hit Box Cross|Up. Singkatnya, ketiga controller ini dianggap legal digunakan dalam turnamen. Alasannya adalah karena ketiga controller tersebut sama-sama tidak melanggar aturan tentang input ganda/sekuensial maupun SOCD. Firmware yang digunakan para pembuat controller pun sudah memfasilitasi penyaringan input (cleaning) sehingga tidak terjadi SOCD.

Satu kasus khusus adalah controller PS4 (DualShock 4), yang ternyata memfasilitasi input SOCD. Akan tetapi pihak EVO memberi pengecualian pada controller ini, karena DualShock 4 adalah “stock controller” yang memang disediakan oleh Sony. Lagi pula kalau kita pikir-pikir, meskipun DualShock 4 bisa melakukan SOCD, menekan dua arah berlawanan sekaligus di controller tersebut sangatlah sulit dan tidak memberi keuntungan dalam turnamen.

Aturan yang dirancang oleh EVO ini bisa menjadi referensi bagi para penyelenggara turnamen, termasuk juga di Indonesia. Akan tetapi aturan ini masih belum final, dan bisa saja berubah sebelum tanggal 31 Oktober. Anda juga bisa memberi masukan langsung terhadap aturan ini dengan mengirim email ke alamat [email protected] dengan judul “Evo Controller Ruleset Feedback”. Bila aturan ini jadi diterapkan, tampaknya ada kemungkinan kita akan melihat lebih banyak pemain fighting game profesional menggunakan hitbox dan berbagai variasinya dalam turnamen EVO 2020 nanti.

Sumber: EventHubs

5 Tips Mengembangkan Turnamen Fighting Game dari Founder EVO dan CEO

Acara kompetisi fighting game belakangan ini seperti tak ada habisnya. Setiap bulan, bahkan nyaris tiap minggu ada saja turnamen yang melibatkan judul-judul game populer di luar sana. Bahkan sering kali penyelenggaraannya melibatkan turnamen resmi, seperti Capcom Pro Tour atau Tekken World Tour. Para penerbit game pun semakin getol mendukung pengadaan kompetisi di level akar rumput, membuat semakin banyak penggemar fighting game yang punya kesempatan untuk berpartisipasi.

Bagaimana caranya mengadakan turnamen fighting game yang besar dan heboh, seperti EVO? Mungkin ada organizer (atau calon organizer) yang penasaran akan hal ini. Para founder ajang fighting game ternama telah duduk bersama Core-A Gaming untuk berbagi kiat-kiat menciptakan serta mengembangkan turnamen. Narasumbernya termasuk Tom Cannon (co-founder EVO), Alex Jebailey (founder CEO), Rick Thiher (Event Director Combo Breaker), Yongde (co-founder SEA Major), dan banyak lagi. Simak tips mereka di bawah.

Step 0: The Game

Sebelum berpikir bagaimana caranya menggelar turnamen besar, harus disadari bahwa untuk menjadi besar itu tidak bisa instan. Bila kita tengok ke belakang, banyak turnamen fighting game yang sekarang sudah sangat terkenal dulunya berawal dari kompetisi kecil-kecilan. EVO misalnya, awalnya hanya kompetisi dengan skala game center lokal. Begitu pula CEO (Community Effort Orlando), berakar dari turnamen kecil di rumah pendirinya yaitu Alex Jebailey.

Sebenarnya untuk mengadakan turnamen, hanya ada dua hal yang dibutuhkan: game untuk dimainkan, dan orang untuk memainkannya. Asalkan ada dua hal ini, kita bisa langsung menggelar turnamen. Jebailey pertama kali menggelar turnamen Super Street Fighter II ketika ia berusia 13 tahun, dan turnamennya diadakan di rumah menggunakan console Super Nintendo. Sesederhana itu sudah cukup.

Step 1: Event Space

Ketika peminat turnamen sudah semakin banyak (katakanlah, di atas 40 orang), inilah saatnya Anda mencari ruang umum untuk menggelar acara. Contohnya seperti bar, atau kafe. Di Amerika Serikat ada istilah “barcade”, yaitu tempat yang menggabungkan sebuah bar dengan arcade center kecil. Bahkan ada franchise bar tersendiri yang bernama Barcade, jadi bar dan gaming adalah dua hal yang sudah terbukti bisa berjalan berdampingan.

Bar atau kafe juga sangat cocok untuk turnamen fighting game, karena di sebuah turnamen biasanya para pengunjung akan diam di tempat untuk waktu yang lama. Otomatis mereka pasti butuh makan, minum, dan layanan-layanan lainnya. Jadi pengunjung bukan hanya datang sebagai peserta atau penonton turnamen, tapi juga sebagai pelanggan kafe.

“Ada sangat banyak bar di Seoul, di sini sangat kompetitif,” kata Josh Lewis, tournament organizer Super Smash Bros di Seoul, Korea Selatan. “Jadi sangat menjual bila saya bisa mendatangi mereka lalu bilang, saya bisa mendatangkan 60 orang ke bar Anda di waktu yang biasanya tidak ramai, misalnya jam 1 siang. Baik itu bar, kafe, atau rental PC, itu adalah nilai jual yang gampang, dan memberi kami leverage untuk negosiasi.”

Jebailey juga memberi contoh tentang kesepakatan yang bisa dicapai antara kedua pihak. Katakanlah ia menggelar turnamen dengan peserta 40 – 50 orang. Setiap peserta ditarik biaya sebesar US$10, kemudian setengah dari uang pendaftaran itu diberikan pada pemilik venue. Pemilik venue juga berhak mendapat seluruh uang hasil penjualan makanan.

Step 2: Community Effort

Ketika turnamen sedang berlangsung, tentu tidak semua orang bertanding secara serentak. Hanya sebagian orang saja yang bertanding, sementara sisanya menonton atau menunggu giliran mereka. Tapi tidak melakukan apa-apa untuk waktu yang lama bisa membuat pengunjung bosan.

Sebuah turnamen yang baik butuh banyak perlengkapan agar pengunjung juga bisa bermain secara kasual, baik sebelum turnamen ataupun sesudah turnamen—karena turnamen juga merupakan ajang nongkrong. Bukan hanya hardware yang mencakup console, PC, dan TV atau monitor, namun juga game itu sendiri. Game yang tampil di turnamen haruslah lengkap, dengan DLC, season pass, dan update terbaru. Bila tidak demikian maka pengunjung akan merasa kecewa, bahkan hasil turnamen bisa dipertanyakan keabsahannya.

Red Bull Conquest
Turnamen fighting game tidak akan bisa besar tanpa usaha komunitas | Sumber: Alex Jebailey

Akan tetapi menyediakan segala hardware dan game itu tentu butuh banyak biaya yang sulit ditanggung organizer kecil. Di sinilah pentingnya menjalin hubungan baik dengan komunitas. Para anggota komunitas bisa ikut membantu menyediakan console dan game. Mereka juga bisa membantu mengatur dan mencatat bracket pertandingan, hingga ikut menata dan menyiapkan peralatan di venue sebagai volunteer.

Peran serupa juga bisa datang dari sponsor, seperti diceritakan Yongde. “Kami mendapat banyak sponsorship, bukan sponsorship uang tapi lebih banyak sponsor perlengkapan,” ujarnya. Kerja sama dengan sponsor dan komunitas seperti ini bisa menurunkan biaya penyelenggaraan turnamen cukup banyak. Jangan lupa juga untuk menyesuaikan jumlah hardware yang diusung dengan kapasitas listrik di venue turnamen.

Step 3: Tournament Standards

Tahap berikutnya adalah tahap yang bisa dibilang merupakan fase “berjualan”. Turnamen butuh pengunjung, tapi pengunjung tidak akan datang ke turnamen yang menurut mereka tidak menarik. Nah, faktor-faktor apa saja yang membuat sebuah turnamen menarik, itu yang harus kita perhatikan.

Uang hadiah bisa menjadi salah satu daya tarik turnamen, tapi lebih dari itu, mungkin yang lebih penting adalah “gengsi”. Para pemain fighting game kompetitif suka mencari lawan yang kuat, jadi kedatangan pemain kuat di sebuah turnamen akan menarik pemain-pemain kuat lainnya. Bagi mereka yang bukan partisipan pun, pemain kuat tentu lebih menarik untuk ditonton daripada peman yang biasa-biasa saja.

Tentu saja mendatangkan pemain profesional (apalagi dari luar negeri) itu sulit, kecuali bila turnamen kita sudah masuk ke dalam sirkuit resmi seperti CPT dan TWT. Jadi solusinya adalah berinvestasi di komunitas. Bantu para pemain lokal meningkatkan keahlian, sehingga mereka menjadi semakin ahli, semakin dikenal, dan menarik pemain-pemain lainnya.

Sebagai timbal baliknya, organizer harus memastikan para partisipan bisa mengikuti turnamen dengan nyaman. Jadwal tidak boleh ngaret, informasi bracket dan pembagian pool harus jelas, format pertandingan pun harus mengikuti sistem turnamen profesional. Ketika organizer sudah bisa menjaga standar-standar turnamen, dan bisa mendatangkan pemain-pemain kuat, reputasi mereka akan meningkat sehingga orang mau datang kembali. Di fase ini, organizer perlu berinvestasi untuk mengincar pertumbuhan jangka panjang.

Step 4: Exposure

Reputasi turnamen dari mulut ke mulut itu bagus, namun turnamen butuh lebih banyak exposure agar bisa berkembang menjadi turnamen besar. Untuk itu diperlukan siaran dan relasi ke media atau influencer. Selain itu, kehadiran talent tertentu juga bisa membuat turnamen lebih menarik. Yongde bahkan menyebutkan bahwa streaming adalah hal paling penting untuk komunitas berkembang dewasa ini.

Organizer bisa memanfaatkan jalur-jalur streaming video seperti YouTube, Twitch, dan Mixer untuk menyiarkan turnamen ke seluruh dunia. Tapi untuk menciptakan kualitas streaming yang terlihat rapi menarik pun diperlukan keahlian tersendiri. Untuk mencapainya, organizer bisa bekerja sama dengan streamer atau content creator profesional yang memang sudah paham seluk-beluk dunia live streaming.

Tak kalah pentingnya adalah talent yang hadir di depan kamera, seperti komentator, analis, host, dan sebagainya. Semakin banyak penonton di jalur streaming, ada kemungkinan pula jalur ini bisa digunakan untuk menarik sponsor. Turnamen-turnamen besar sering kali menyediakan slot iklan di siaran live streaming mereka.

Keberhasilan di tahap ini akan membawa turnamen ke skala menengah. Mungkin turnamen tersebut sudah sangat dikenal di komunitas, atau sudah menjadi bagian dari sirkuit turnamen resmi. Pemain dari lokasi-lokasi jauh berdatangan, dan mungkin organizer akan butuh tempat yang lebih luas. Bila sudah demikian, hotel bisa menjadi pilihan venue, dengan skema kerja sama yang mirip seperti bar/kafe sebelumnya.

Tom Cannon berkata, “Hal penting yang kami pelajari dari bekerja sama dengan pemilik hotel, yaitu bahwa dua hal terpenting bagi mereka adalah penginapan—jika Anda bisa menjamin bahwa para pengunjung akan memesan kamar di hotel tersebut dan menghasilkan bisnis—juga makanan dan pemandian.

Para pengunjung akan memesan banyak makanan karena mereka akan berada di area hotel. Dan salah satu kekuatan turnamen fighting game adalah para pengunjung biasanya diam di lokasi untuk waktu yang lama dibandingkan dengan acara-acara lain.” Area hotel yang luas bisa dimanfaatkan untuk banyak kegiatan, termasuk menjual ruang untuk mendirikan booth bagi vendor yang berminat.

Step 5: Atmosphere

Perkembangan turnamen ke tingkat selanjutnya ada hubungannya dengan persaingan. Anda mungkin sudah sukses sebagai organizer skala menengah, tapi pada saat bersamaan di sekitar Anda pun banyak organizer lain yang menggelar turnamen. Di sini penting melakukan pengembangan ke arah tema yang unik. Turnamen Anda perlu memiliki sesuatu, atmosfer yang tidak ada di turnamen lain.

Ambil contoh saja CEO, turnamen tersebut unik karena mengusung tema yang kental dengan suasana gulat profesional. Bahkan trofi pemenangnya pun berbentuk seperti sabuk kejuaraan gulat. Sementara Combo Breaker justru menghadirkan atmosfer menyerupai konser musik, dengan trofi berbentuk piringan hitam.

Keunikan-keunikan ini bisa dicapai lewat berbagai hal. Misalnya penataan venue, lighting, dan dekorasinya, kemudian wujud hiburan yang disajikan, hingga vendor-vendor yang turut berpartisipasi. Tentu saja ada cara lain untuk bersaing, misalnya dengan adu besar-besaran uang hadiah. Tapi itu akan memunculkan persaingan yang tidak sehat.

Tom Cannon bahkan menyatakan bahwa jika hanya mementingkan uang, EVO mungkin sudah mati dari dulu. Justru karena mereka memperhatikan hal-hal di luar keuntungan finansial maka mereka bisa terus hidup dan digemari begitu banyak orang hingga saat ini.

EVO menggelar berbagai turnamen sampingan untuk memfasilitasi komunitas-komunitas dari game yang tidak mainstream, sehingga semua penggemar fighting game bisa merasa ikut jadi bagian festival besar tersebut. Hal-hal seperti inilah yang membuat orang ingin terus kembali ke EVO dari tahun ke tahun. Turnamen sampingan ini bahkan bisa memunculkan kejutan. Contohnya seri Under Night In-Birth, dulunya hanya turnamen sampingan di EVO tapi kemudian diangkat menjadi turnamen utama karena peminatnya begitu banyak.

Combo Breaker 2019 - SFV Winners
Trofi Combo Breaker berbentuk seperti piringan hitam | Sumber: tempusrob/Robert Paul

Sebuah turnamen fighting game tidak bisa langsung besar dari awal. Setidaknya demikianlah pelajaran yang disampaikan oleh para founder turnamen terbaik dunia. Memang bisa saja organizer mencoba menggelar ajang dengan dana besar langsung. Tapi tanpa memiliki ikatan yang kuat dengan ekosistem akar rumput, jangan harap bisa bertahan untuk waktu yang lama.

Gairah dan kekuatan yang dimiliki komunitas-komunitas lokal itulah yang terus menjadi penopang fighting game kompetitif selama puluhan tahun. Oleh karena itu penyelenggara turnamen fighting game harus banyak berinvestasi di komunitas, juga berinvestasi di hal-hal yang sifatnya bukan mengejar keuntungan semata. Sekarang, organizer manakah di Indonesia yang berani menerima tantangan ini?

Sumber: Core-A Gaming

Guilty Gear Baru, The King of Fighters XV, dan Pengumuman Lainnya di EVO 2019

EVO memang memiliki ketenaran sebagai kompetisi esports fighting game terbesar di dunia, namun signifikansinya lebih dari itu. Acara ini mengumpulkan puluhan ribu penggemar genre yang sama di satu tempat, juga menyiarkan tayangan yang ditonton ratusan ribu bahkan jutaan orang lainnya di seluruh dunia. Artinya, EVO adalah momen yang sangat tepat untuk mempromosikan produk yang berhubungan dengan dunia fighting game.

Tahun ini pun berbagai perusahaan developer serta penerbit game saling berlomba memanfaatkan EVO 2019 untuk membawa karya mereka ke bawah lampu sorot. Banyak sekali pengumuman penting yang menarik, dan pastinya sesuai dengan audiens target mereka yaitu penggemar genre fighting. Apa saja pengumuman tersebut?

Karakter Baru Street Fighter V: Arcade Edition

Seperti sudah dikabarkan sebelumnya, Street Fighter V akan mendapat tiga karakter baru yaitu E. Honda, Poison, serta Lucia, juga stage baru yang merupakan arena pertarungan khas E. Honda di Street Fighter klasik. Pengumuman yang satu ini seharusnya diungkap di momen EVO, namun bocor terlebih dahulu karena kesalahan oleh pihak Valve/Steam. Valve kemudian merilis permintaan maaf secara terbuka atas kebocoran tersebut.

Menariknya, Yoshinori Ono (produser Street Fighter) berkata bahwa akan ada pengumuman menarik lagi di bulan November dan Desember, bertepatan dengan Capcom Cup. Pengumuman apa yang dimaksud?

Guilty Gear Baru, Rilis 2020

Arc System Works mengungkap keberadaan Guilty Gear baru yang masih belum memiliki judul di EVO 2019. Melanjutkan seri Guilty Gear Xrd, video teaser game ini menunjukkan Sol Badguy dan Ky Kiske dengan desain baru, serta fitur baru yaitu arena yang dapat berpindah tempat seperti Tekken 7. Tampak juga seorang karakter baru, yaitu samurai berkulit hitam yang belum diketahui namanya.

The King of Fighters XV Sedang Dikembangkan

The King of Fighters XV - Poster

SNK telah mengkonfirmasi bahwa sekuel baru The King of Fighters ini sedang dalam pengembangan. Akan tetapi selain menunjukkan logo, mereka tidak memberi info apa pun baik itu fitur, karakter, atau platform rilisnya. Kita tunggu saja kabar lebih lanjut.

Under Night In-Birth Exe:Late[cl-r]

Satu kabar dari seri game yang namanya cukup panjang ini adalah kemunculan sekuel baru dengan judul Under Night In-Birth Exe:Late[cl-r], atau disingkat UNICLR. Game ini akan dirilis di awal 2020 untuk PS4, kemudian menyusul versi Switch pada bulan Mei 2020. Dibanding versi Exe:Late[st], UNICLR akan memiliki karakter baru, jurus-jurus baru, serta berbagai perubahan balance.

Tekken 7 Season Pass 3

Sebuah fakta menarik tentang Tekken 7 adalah bahwa game ini merupakan satu-satunya cabang pertandingan di EVO yang jumlah partisipannya meningkat dari tahun 2018 ke 2019. Memfasilitasi komunitas Tekken yang masih terus berkembang, Bandai Namco merilis Season Pass 3 untuk musim dingin tahun 2019. Dua karakter telah diungkap, yaitu Zafina dan Leroy Smith. Tekken 7 juga akan mendapat berbagai update gratis, termasuk perubahan antarmuka, jurus baru, dan sebagainya.

Soulcalibur VI Season Pass 2

Masih dari Bandai Namco, Soulcalibur VI juga akan mendapat Season Pass baru dalam waktu dekat. Season Pass ini memberikan empat karakter baru, salah satunya adalah Haohmaru yang berasal dari Samurai Shodown. Sementara itu para pemilik Season Pass 1 akan mendapat satu karakter terakhir, yaitu Cassandra yang sempat absen dari Soulcalibur V.

Karakter Baru Mortal Kombat 11

Para pemain Mortal Kombat 11 yang telah membeli Kombat Pack berhak untuk mendapat 6 karakter baru di samping berbagai kostum eksklusif. Karakter yang sudah diumumkan beberapa waktu lalu antara lain Shang Tsung, Sindel, dan Spawn. Kini NetherRealm Studios mengungkap satu lagi karakter Kombat Pack, yaitu Nightwolf.

BlazBlue: Cross Tag Battle Version 2.0

BlazBlue: Cross Tag Battle juga akan mendapat update besar di masa depan, dengan judul Version 2.0. Pada tanggal 21 November, seluruh pemilik game ini bisa mengunduh update gratis yang berisi berbagai perbaikan balance. Tersedia juga DLC Version 2.0 Content Pack berisi 9 karakter baru yang dijual dengan harga US$24,99. Sejauh ini Arc System Works sudah mengungkap 4 karakter, yaitu Yumi dari Senran Kagura: Estival Versus, Blitztank dan Akatsuki dari Akatsuki Blitzkampf, serta Neo Politan dari RWBY.

Karakter Baru Samurai Shodown

Samurai Shodown akan mendapatkan sejumlah karakter baru dalam beberapa bulan ke depan, satu karakter setiap bulannya. Untuk bulan Agustus ini, SNK merilis karakter Rimururu. Dilanjutkan dengan Shizumaru Hisame di bulan September, Basara di bulan Oktober, Kazuki Kazama di bulan November, dan Wan-Fu di bulan Desember. Dari daftar karakter ini, khusus Shizumaru Hisame akan tersedia secara gratis.

SNK juga mengumumkan hasil polling karakter di kalangan penggemar, yang dimenangkan oleh Mina Majikina. Karakter ini akan menjadi karakter pertama dari Season Pass 2 yang dirilis pada tahun 2020 nanti.

Karakter Baru Dragon Ball FighterZ

Dragon Ball FighterZ juga tidak mau ketinggalan momen. Kali ini Arc System Works menawarkan dua karakter yang dulu muncul dalam movie Dragon Ball Z: Fusion Reborn. Mereka adalah Janemba dan Gogeta (muncul dalam versi Super Saiyan Blue). Janemba bisa dimainkan mulai tanggal 8 Agustus, dengan Gogeta menyusul di kemudian hari. Mereka melengkapi jajaran karakter yang tersedia dalam bundel FighterZ Pass 2.

Itulah sederet pengumuman baru seputar fighting game yang turut meramaikan EVO 2019. Mana di antara jajaran game di atas yang menarik perhatian Anda? Saya sendiri adalah penggemar seri Guilty Gear, jadi saya tak sabar ingin memainkan sekuel barunya. Samurai Shodown juga tampaknya akan menjadi cabang esports yang banyak digemari, mengingat game ini berhasil memberikan hype cukup besar di EVO 2019. Satu hal yang pasti, apa pun fighting game kesukaan Anda, Anda punya alasan untuk merasa senang dalam satu tahun ke depan.

Update: Penambahan berita Dragon Ball FighterZ

Inilah Hasil Lengkap Seluruh Cabang Pertandingan Utama di EVO 2019

Festival dan kompetisi fighting game terbesar di dunia tahun ini, EVO 2019, baru saja selesai. Berbagai pertarungan seru dan drama menghiasi Mandalay Bay, Las Vegas, pada tanggal 2 – 4 Agustus (5 Agustus waktu Indonesia) kemarin, menjadikannya akhir pekan yang tak terlupakan bagi banyak orang. Bila Anda penggemar genre fighting game yang sempat menonton siaran pertandingan tersebut, tentu Anda tahu bagaimana hebohnya acara ini, terutama di beberapa cabang pertandingan yang memang sangat hype.

Kini para juara dunia telah ditetapkan, masing-masing pulang membawa hadiah tersendiri serta kebanggaan. Siapa saja mereka, dan bagaimana perjuangan mereka mendaki tangga kejuaraan EVO yang sangat kompetitif? Langsung saja simak di bawah.

Tekken 7

EVO 2019 - Tekken 7 Champion
Sumber: Stephanie Lindgren/EVO

EVO cabang Tekken tahun ini mempertontonkan rivalitas antara dua “dewa” Tekken dunia, yaitu Knee dari Korea Selatan dan Arslan Ash dari Pakistan. Arslan Ash yang awal 2019 lalu menjadi juara EVO Japan 2019, melawan Knee yang merupakan juara EVO 2018. Hasilnya adalah pertarungan epik, diakhiri dengan Arslan Ash yang melakukan sujud syukur di panggung EVO setelah menumbangkan Knee. Arslan Ash jadi pemain pertama dunia yang memegang gelar EVO dan EVO Japan sekaligus!

Peringkat Top 8 EVO 2019 Tekken 7:

  • Juara 1: Team vSlash | Arslan Ash
  • Juara 2: ROX Dragons | Knee
  • Juara 3: Red Bull | Anakin
  • Juara 4: Yamasa | Take
  • Juara 5: Yamasa | Nobi
  • Juara 5: COOASGAMES | Noroma
  • Juara 7: THY | Chikurin
  • Juara 7: UYU | LowHigh

Street Fighter V: Arcade Edition

EVO 2019 - SFV Champion
Sumber: Bonchan

Setelah menjuarai CEO 2019 dan VSFighting 2019 kemarin, nama Bonchan langsung melejit jadi pemain yang difavoritkan untuk menjuarain EVO. Ekspektasi tersebut dijawab kontan oleh Bonchan dengan permainan Sagat dan Karin yang luar biasa. Pemain bernama asli Masato Takahashi ini sudah lama dipandang sebagai salah satu pemain Street Fighter terkuat di Jepang, namun baru kali ini ia membuktikannya dengan meraih trofi juara dunia EVO.

Peringkat Top 8 EVO 2019 Street Fighter V: Arcade Edition:

  • Juara 1: Red Bull | Bonchan
  • Juara 2: Nasr eSports | BigBird
  • Juara 3: Cygames | Infexious
  • Juara 4: Fudoh | Fujimura
  • Juara 5: iDom
  • Juara 5: Yoshimoto Gaming | Machabo
  • Juara 7: AZ | Kichipa-mu
  • Juara 7: ALUS | YangMian

Dragon Ball FighterZ

EVO 2019 - DBFZ Champion
Sumber: Stephanie Lindgren/EVO

Kazunoko yang jadi juara Dragon Ball FighterZ World Tour 2018/2019 ternyata harus puas terhenti di peringkat Top 8. Sebagai gantinya, babak Grand Final kali ini adalah runback (tanding ulang) dari EVO 2018 antara GO1 melawan SonicFox. Tahun lalu SonicFox jadi juaranya, tapi tahun ini GO1 berhasil membalas kekalahan tersebut dan meraih gelar EVO untuk pertama kalinya. Begitu seru dan penuh emosi pertandingan ini sampai-sampai setelahnya GO1 langsung tak kuasa menahan air mata.

Peringkat Top 8 EVO 2019 Dragon Ball FighterZ:

  • Juara 1: Cyclops Athlete Gaming | GO1
  • Juara 2: Echo Fox | SonicFox
  • Juara 3: Cyclops Athlete Gaming | Fenritti
  • Juara 4: Vodafone Giants | Shanks
  • Juara 5: HiroHiro
  • Juara 5: Jumper7b
  • Juara 7: Evil Geniuses | NYChrisG
  • Juara 7: Burning Core | Kazunoko

Samurai Shodown

EVO 2019 - SamSho Champion
Sumber: Famitsu

Cabang Samurai Shodown di EVO 2019 benar-benar terasa seperti sebuah nostalgia. Bukan hanya karena franchise Samurai Shodown itu sendiri yang akhirnya bangkit setelah “tidur” sekian lama, kompetisinya di level Top 8 pun penuh dengan performa hebat dari nama-nama veteran, termasuk Infiltration, Justin Wong, Kazunoko, dan Alex Valle. Infiltration sudah pernah meraih gelar EVO di cabang Super Street Fighter IV: Arcade Edition (2012), Street Fighter x Tekken (2013), Street Fighter V (2016), dan kini Samurai Shodown (2019). Berikutnya gelar apa yang diincarnya?

Peringkat Top 8 EVO 2019 Samurai Shodown:

  • Juara 1: Infiltration
  • Juara 2: Burning Core | Kazunoko
  • Juara 3: Justin Wong
  • Juara 4: HB | Reinald
  • Juara 5: LU | Alex Valle/CaliPower
  • Juara 5: RB
  • Juara 7: TF | DidimoKOF
  • Juara 7: Brook | ZJZ

Super Smash Bros. Ultimate

EVO 2019 - SSBU Champion
Sumber: Echo Fox

Super Smash Bros. Ultimate (SSBU) membuktikan bahwa game ini memang layak menjadi cabang EVO dengan jumlah partisipan terbanyak. Bermain mengandalkan Joker dari Persona 5, MKLeo sempat nyaris tereliminasi tapi ia melakukan bracket reset di Grand Final dengan skor 3-2. Momentum tidak berhenti sampai di situ, karena kemudian MKLeo meraih angka sempurna dan mengalahkan Tweek dengan skor 3-0. Pemuda berusia 18 tahun ini pun menjadi juara perdana EVO untuk cabang Super Smash Bros. Ultimate.

Peringkat Top 8 EVO 2019 Super Smash Bros. Ultimate:

  • Juara 1: Echo Fox | MKLeo
  • Juara 2: Team SoloMid | Tweek
  • Juara 3: Solary | Gluttony
  • Juara 4: eUnited | Samsora
  • Juara 5: ProtoBanham
  • Juara 5: Raito
  • Juara 7: GameWith | Zackray
  • Juara 7: Rogue | Light

Mortal Kombat 11

EVO 2019 - MK11 Champion
Sumber: SonicFox

Keistimewaan SonicFox alias Dominique McLean bukan hanya karena dia ahli bermain fighting game, tapi karena ia mampu berkompetisi di lebih dari satu cabang sekaligus. Setelah runner-up di Dragon Ball FighterZ, SonicFox langsung beraksi di Mortal Kombat 11 dan membawa pulang gelar juara. Tampaknya posisi pemain yang satu ini sebagai raja game buatan NetherRealm Studios masih sulit untuk diingkari.

Peringkat Top 8 EVO 2019 Mortal Kombat 11:

  • Juara 1: Echo Fox | SonicFox
  • Juara 2: Burning Core | Dragon
  • Juara 3: Nasr Esports | TekkenMaster
  • Juara 4: UYU | Deoxys
  • Juara 5: PxP | A Foxy Grampa
  • Juara 5: Panda Global | Tweedy
  • Juara 7: Panda Global | Hayatei
  • Juara 7: Noble | Semiij

Soulcalibur VI

EVO 2019 - Soulcalibur Kayane
Sumber: Chris Bahn/Kayane

Cabang Soulcalibur VI tahun ini cukup spesial karena prestasi yang diraih Kayane, satu-satunya pemain perempuan yang mencapai peringkat Top 8 di EVO. Apalagi EVO juga untuk pertama kalinya mengadakan panel berjudul “The Women of the FGC” yang mendiskusikan peran perempuan di komunitas fighting game. Performa Yuttoto yang memenangkan kejuaraan dengan Voldo pun sangat mengesankan. Siapa bilang Voldo di Soulcalibur hanya joke character?

Peringkat Top 8 EVO 2019 Soulcalibur VI:

  • Juara 1: BNE | Yuttoto
  • Juara 2: BlueGod
  • Juara 3: Oplon | SkyII
  • Juara 4: Woahhzz
  • Juara 5: Tamonegi
  • Juara 5: Panda Global | Shen Chan
  • Juara 7: Orange | Kayane
  • Juara 7: DF | Saiyne

Under Night In-Birth Exe:Late[st]

EVO 2019 - UNIST Champion
Sumber: Robert Paul/EVO

Popularitas Under Night In-Birth pelan tapi pasti semakin tumbuh, dan tahun ini di EVO berhasil menjadi salah satu game kategori anime fighters dengan partisipan terbanyak—lebih tinggi dari BlazBlue dan hampir sama dengan Dragon Ball FighterZ. French Bread selaku developer seri ini pun menjawab dedikasi para penggemar dengan mengumumkan game baru setelah turnamen berakhir, yaitu Under Night In-Birth Exe:Late[cl-r].

Peringkat Top 8 EVO 2019 Under Night In-Birth Exe:Late[st]:

  • Juara 1: WP | ClearLampO
  • Juara 2: Ouhuu-Hittou
  • Juara 3: Hishigata
  • Juara 4: Kure
  • Juara 5: Neji
  • Juara 5: PUB | Rikir
  • Juara 7: Libekichi
  • Juara 7: Senaru

BlazBlue: Cross Tag Battle

EVO 2019 - BBCTAG Champion
Sumber: Stephanie Lindgren/EVO

Sama seperti Super Smash Bros. Ultimate, cabang BlazBlue: Cross Tag Battle juga dihadiri oleh penampilan karakter dari seri Persona. Bila juara SSBU menang menggunakan Joker, di sini Kyamei berhasil sampai ke Grand Final mengandalkan Akihiko Sanada dan Mitsuru Kirijo dari Persona 3. Tapi sayangnya ia harus menyerah terhadap duet Ruby Rose dan Yang Xiao Long dari RWBY, yang dimainkan oleh Shinku.

Peringkat Top 8 EVO 2019 BlazBlue: Cross Tag Battle:

  • Juara 1: Gravity Gaming | Shinku
  • Juara 2: FCRYUKYU | Kyamei
  • Juara 3: Domi
  • Juara 4: Mekasue
  • Juara 5: CYCLOPS Athlete Gaming | Fenritti
  • Juara 5: Bace
  • Juara 7: JonaKim
  • Juara 7: Susano’o | KojiKOG
EVO Japan 2020 - Announcement
Sumber: EVO Japan

Itulah deretan peraih prestasi di ajang Evolution Championship Series 2019. Setelah semua pertandingan berakhir, pihak EVO rupanya sudah menyiapkan panggung kompetisi berikutnya: EVO Japan 2020! Tiga game utama sudah diumumkan yaitu BlazBlue: Cross Tag Battle, Soulcalibur VI, dan Tekken 7, tapi ini masih akan terus bertambah. Sementara waktu dan lokasinya telah ditetapkan pada 24 – 26 Januari 2020, di Makuhari Messe International Exhibition Mall, Chiba, Jepang. Kita tunggu saja akan seseru apa kompetisi itu nantinya.

Sumber: EVO, EventHubs

Street Fighter V Dapatkan 3 Karakter Baru: E. Honda, Poison, dan Lucia

Ajang kompetisi Evolution Championship Series alias EVO sudah lama jadi pilihan bagi developer fighting game yang ingin mengungkap pengumuman baru. Begitu pula EVO 2019, apalagi EVO kali ini disponsori langsung oleh Sony PlayStation. Penggemar tentu semakin bertanya-tanya, bakal ada hal baru apa yang muncul. Akan tetapi tampaknya tahun ini keseruan melihat pengumuman baru tersebut akan sedikit berkurang.

Tak lama sebelum acara EVO 2019 dimulai, sebuah video trailer baru Street Fighter V: Arcade Edition bocor ke Steam. Trailer tersebut menunjukkan tiga karakter baru, yaitu E. Honda, serta Poison dan Lucia yang sama-sama berasal dari seri Final Fight.

Tidak jelas apakah pembocoran trailer tersebut disengaja atau tidak, namun akun Twitter resmi Street Fighter berkata bahwa mereka bersikap “terlalu bersemangat”. Hal ini kemudian diikuti oleh beberapa cuitan dari produser seri Street Fighter, Yoshinori Ono. Ia berkata bahwa hal tak terduga telah terjadi, dan ia marah serta sedih karenanya. “Saya kehilangan beberapa tahun dari hidup saya. Tim #SFVAE telah bekerja keras untuk membagikan pengumuman spesial ini!”

Mungkin karena sudah terlanjur basah, akhirnya Capcom dan Ono pun langsung merilis trailer resmi berisi pengumuman tiga karakter tersebut. E. Honda, Poison, dan Lucia akan dirilis pada tanggal 4 Agustus—seharusnya tepat setelah Grand Final Street Fighter V di EVO. Masing-masing karakter dirilis bersama empat kostum alternatif, serta satu stage baru yang merupakan stage khas E. Honda di Street Fighter klasik.Mereka juga tersedia dalam versi bundel bernama Summer 2019 Character Bundle.

Channel YouTube resmi Street Fighter kemudian mengunggah tiga video terpisah yang menunjukkan cuplikan gameplay dari masing-masing karakter. Secara umum, baik E. Honda maupun Poison sama-sama menunjukkan gaya main yang masih mirip dengan penampilan mereka di judul-judul Street Fighter sebelumnya. Kecuali beberapa perubahan dengan rasa Street Fighter V, seperti command grab milik E. Honda yang kini menjadi salah satu V-Trigger, atau V-Trigger I milik Poison yang memberinya senjata berupa bom molotov. Sementara Lucia jelas merupakan karakter yang baru pertama kali ada dalam seri ini.

Kabar lain yang muncul adalah bahwa Yoshinori Ono tidak akan hadir dalam EVO 2019, tidak seperti biasanya di mana beliau selalu datang dan menyapa para penggemar. Namun bukan berarti ia batal datang karena marah terhadap bocoran ini. Ono hanya berharap agar para penggemar menyukai konten-konten baru Street Fighter, dan ia akan kembali hadir di tengah fans untuk pengumuman berikutnya.

Bocoran berita terkadang memang menarik bagi kita yang menemukannya. Akan tetapi di sisi developer/penerbit game, hal seperti ini bisa berdampak cukup buruk. Apalagi bila mereka telah menghabiskan cukup banyak dana untuk mempersiapkan pengumuman besar. Katsuhiro Harada, produser Tekken, juga pernah mengungkapkan kemarahan di Twitter karena berbagai informasi tentang Bandai Namco sempat bocor sebelum E3. Semoga saja hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi di masa depan. Lagi pula, lebih seru bila sebuah pengumuman dinikmati secara serentak oleh seluruh penggemar, bukan?

Sumber: Capcom, Yoshinori Ono

Jadwal Lengkap dan Daftar Komentator EVO 2019 Diumumkan

Ajang kompetisi fighting game akbar Evolution Championship Series (EVO) 2019 akan digelar kurang dari seminggu lagi. Selama tiga hari yaitu tanggal 2 – 4 Agustus, ribuan penggemar, pemain, dan pelaku industri akan berkumpul di Mandalay Bay, Las Vegas, untuk merayakan keseruan genre fighting yang semakin lama semakin populer saja. Sembilan game populer akan dipertandingkan di panggung utama, ditambah sederet judul lain yang turut meramaikan entah sebagai turnamen sampingan atau permainan kasual.

Menonton pertandingan fighting game di level tertinggi memang sangat seru, tapi keseruan itu tak lengkap tanpa adanya komentator yang membuat hype semakin tinggi. EVO 2019 pun dihadiri oleh sejumlah komentator, dan belum lama ini pihak panitia telah mengumumkan siapa saja nama yang tampil. Tentunya mereka terdiri dari tokoh-tokoh dengan banyak kontribusi di komunitas fighting game. Berikut ini beberapa yang perlu Anda ketahui.

James Chen

James Chen
James Chen | Sumber: Red Bull

Salah satu komentator senior di dunia fighting game, James “jchensor” Chen adalah kreator konten yang telah aktif bahkan sejak internet belum populer. Menyebut diri sebagai Fighting Game Historian, James Chen aktif melakukan streaming di Twitch, membuat tutorial fighting game di YouTube, serta mengupas segala hal menarik seputar fighting game. Bila Anda menyaksikan turnamen fighting game berskala besar, James Chen nyaris selalu hadir di dalamnya.

Ryan Hart

Ryan Hart
Ryan Hart | Sumber: Capcom Pro Tour

Ryan Joseph Hart alias Prodigal Son adalah atlet esports asal Inggris yang telah menggeluti banyak cabang fighting game. Ia pernah menjadi juara EVO di tahun 2004 dan 2008 untuk cabang Tekken, di samping banyak kompetisi lainnya. Kini ia bekerja sebagai kreator konten dan host di ESL, namun masih sesekali datang ke turnamen sebagai peserta bila ada waktu luang.

L.I. Joe

Joe Ciaramelli alias Long Island Joe adalah pemain Street Fighter yang dikenal sangat menggemari karakter Urien. Reaksinya ketika bertemu dengan pengisi suara Urien, serta kegembiraan yang ia luapkan ketika Urien diumumkan untuk Street Fighter V, adalah beberapa hal tentangnya yang telah viral di dunia maya. Ia sempat meraih Top 8 di EVO 2016, dan kini aktif menjadi organizer untuk turnamen East Coast Throwdown.

Jiyuna

Jiyuna
Jiyuna bersama Daigo Umehara | Sumber: Red Bull

Andrew “Jiyuna” Fidelis adalah pria asal Amerika Serikat yang tinggal di Jepang. Sebagai orang yang mahir bahasa kedua negara, Jiyuna punya peran krusial dalam menyampaikan informasi dari komunitas fighting game Jepang ke Amerika, dan sebaliknya. Ia bekerja sebagai penerjemah untuk Daigo Umehara, juga merupakan karyawan untuk ARIKA (studio di balik game Fighting EX Layer).

Seth Killian

Sebagai mantan Community Manager di Capcom, nama Seth Killian sering kali muncul bersamaan dengan berita penting di dunia fighting game. Ia juga merupakan salah satu co-founder EVO bersama Tom Cannon, Tony Cannon, dan Joey Cuellar. Ia sempat menjadi Game Designer di Sony Santa Monica Studio sebelum akhirnya pindah ke Radiant Entertainment. Pada tahun 2016 Riot Games mengakuisisi Radiant Entertainment, dan kini Killian menduduki posisi Lead Designer di Riot.

Seth Killian
Seth Killian | Sumber: Polygon

Selain nama-nama di atas masih banyak sekali tokoh komunitas fighting game lainnya, dan Anda akan bisa menyaksikan siaran mereka semua pada acara EVO nanti. Pihak EVO juga telah merilis jadwal lengkap pertandingan untuk seluruh cabang game yang bisa Anda pantau di bawah.

EVO 2019 - Schedule
Jadwal lengkap EVO 2019 | Sumber: EVO

Seluruh jadwal ini menggunakan zona waktu PDT (Pacific Daylight Time), jadi Anda perlu menambahkan 14 jam untuk menyesuaikan dengan zona Waktu Indonesia Barat. Bila Anda tidak sempat menyaksikan keseluruhan rangkaian acara selama tiga hari, setidaknya Anda perlu mencatat waktu untuk menyaksikan babak final turnamen dengan jadwal berikut:

  • Soulcalibur VI – Sabtu, 3 Agustus 2019, 10:00 WIB
  • Under Night In-Birth Exe:Late[st] – Minggu, 4 Agustus 2019, 00:00 WIB
  • Dragon Ball FighterZ – Minggu, 4 Agustus 2019, 3:00 WIB
  • Samurai Shodown – Minggu, 4 Agustus 2019, 6:00 WIB
  • Mortal Kombat 11 – Minggu, 4 Agustus 2019, 10:00 WIB
  • BlazBlue: Cross Tag Battle – Minggu, 4 Agustus 2019, 23:00 WIB
  • Street Fighter V: Arcade Edition – Senin, 5 Agustus 2019, 2:00 WIB
  • Tekken 7 – Senin, 5 Agustus 2019, 6:30 WIB
  • Super Smash Bros. Ultimate – Senin, 5 Agustus 2019, 9:00 WIB

Sumber: Evolution Championship Series