EVO Online tak Sertakan Super Smash Bros. Ultimate

Evolution Championship Series, turnamen game fighting terbesar di dunia, harus dibatalkan pada tahun ini karena pandemi virus corona. Sebagai gantinya, turnamen yang juga dikenal dengan nama EVO itu akan diadakan secara online. EVO 2020 seharusnya diadakan di Las Vegas pada akhir pekan di bulan Juli. Namun, karena format turnamen diganti online, maka EVO akan berlangsung selama 5 akhir pekan, yaitu sepanjang bulan Juli.

Pada Februari 2020, penyelenggara EVO mengumumkan lineup game yang akan diadu dalam turnamen tersebut. Sayangnya, dalam EVO Online, ada satu game yang terpaksa untuk tidak disertakan, yaitu Super Smash Bros. Ultimate. Memang, pihak penyelenggara belum memberikan pernyataan resmi terkait alasan mereka melakukan itu. Meskipun begitu, diduga, alasan mengapa Super Smash Bros. tak lagi disertakan dalam EVO Online adalah karena sistem pertandingan online dari game itu agak bermasalah, menurut laporan IGN.

Untungnya, pertandingan dari game-game lain masih akan tetap dilangsungkan. Inilah game-game yang akan diadu dalam EVO Online:

  • Dragon Ball FighterZ
  • Granblue Fantasy Versus
  • Samurai Shodown
  • Soulcalibur 6
  • Street Fighter 5: Champion Edition
  • Tekken 7
  • Under Night In-Birth Exe:Late[cl-r]

Selain itu, penyelenggara EVO juga akan mengadakan turnamen terbuka dari 4 game fighting yang sebelumnya tidak menjadi bagian dari turnamen EVO. Keempat game tersebut antara lain Killer Instinct, Moratl Kombat 11: Aftermath, Skullgirls 2nd Encore, dan Them’s Fightin’ Herds, lapor Polygon.

Seperti yang sudah diumumkan sebelumnya, EVO Online juga akan menyertakan turnamen khusus untuk Marvel vs. Capcom 2 dalam rangka merayakan ulang tahun ke-20 dari game tersebut. Turnamen yang dinamai “20urnament of Champions” itu akan menggunakan sistem undangan.

Sebelum ini, komunitas Smash juga pernah berselisih dengan penyelenggara EVO. Dalam EVO Japan 2020 yang diadakan pada Februari, komunitas Smash meradang karena hadiah turnamen Smash hanyalah controller Nintendo Switch Pro, meski turnamen tersebut disponsori oleh Nintendo. Padahal, turnamen dari game lain menawarkan total hadiah berupa uang tunai yang cukup besar. Misalnya, dalam turnamen Street Fighter dan Tekken 7, dua game fighting paling populer, pemenang dapat membawa pulang hadiah sebesar US$9 ribu atau sekitar Rp122 juta.

Sumber header: Twitter

EVO 2020 Umumkan Lineup Game yang Dipertandingkan

Lama ditunggu-tunggu, penyelenggara Evolution Championship Series (biasa disebut EVO) akhirnya umumkan jajaran game yang akan dipertandingkan di dalamnya. Sebagai salah satu festival fighting game terbesar, tak heran jika EVO mempertandingkan banyak game di dalamnya. Tahun ini pada EVO 2020, ada 9 game yang akan dipertandingkan.

Ada beberapa kejutan yang dari pengumuman lineup EVO 2020 ini. Salah satunya adalah kehadiran kembali Marvel vs Capcom ke dalam jajaran. Menariknya alih-alih mempertandingkan Marvel vs Capcom: Infinite (2017), EVO 2020 malah menggunakan Marvel vs Capcom 2 (2000).

Memang, game tersebut punya sejarahnya sendiri di dalam festival fighting game yang sudah terselenggara selama kurang lebih 20 tahun belakangan ini. Salah satunya seperti sejarah pemain legendaris, Justin Wong, yang sudah memenangkan 7 gelar EVO pada cabang Marvel vs Capcom 2. Terlebih, komunitas juga menganggap Marvel vs Capcom: Infinite terlalu banyak kekurangan, seperti kurangnya lineup karakter yang disajkan, ketidakhadiran karakter X-Men, sampai art style yang terlihat biasa saja. Dengan ini, maka berikut lineup EVO 2020:

  • Super Smash Bros. Ultimate
  • Tekken 7
  • Street Fighter V
  • Dragon Ball FighterZ
  • Granblue Fantasy: Versus
  • Samurai Shodown
  • SoulCalibur VI
  • Under Night In-Birth Exe:Late[cl-r]
  • Marvel vs. Capcom 2 (invitational)

Marvel vs Capcom 2 akan hadir dengan format invitational, sebagai cara memperingati 20 tahun kehadiran game tersebut menemani FGC internasional. Dalam turnamen bertajuk 20urnament of Champions, delapan pemain, termasuk empat juara EVO MvC 2 terdahulu akan bertanding memperebutkan gelar best-of-the-best.

Selain dari itu, fakta menarik lainnya soal lineup EVO 2020 ini adalah ketidakhadiran Mortal Kombat, BlazBlue, dan kemunculan Granblue Fantasy. Terkait Mortal Kombat ini adalah untuk pertama kalinya Mortal Kombat atau Injustice tidak hadir sebagai lineup utama di EVO sejak 2011 lalu.

Soal BlazBlue dan Granblue Fantasy juga jadi hal menarik. Ini mengingat tahun lalu dan pada EVO Japan 2020, BlazBlue: Cross Tag Battle muncul di panggung utama EVO. Alasan ketidakhadiran BlazBlue di sini mungkin karena sang pengembang, Arc System Works, sedang ingin memperkenalkan Granblue Fantasy: Versus yang akan rilis 6 Februari 2020 mendatang.

EVO 2020 akan digelar di Mandalay Bay, Las Vegas, Amerika Serikat, mulai dari 31 Juli sampai 2 Agustus 2020 mendatang. Akankah kita melihat kejutan menarik lainnya dalam salah satu turnamen tertinggi di skena kompetitif fighting game ini?

Sumber header: EVO Official

Jadwal EVO Japan 2020, Panggung Petarung Fighting Game Kelas Dunia

Sebagai salah satu panggung pertandingan fighting game paling bergengsi, aneh rasanya jika kita para pecinta game fighting melewatkan gelaran EVO Japan 2020. Walau sempat mengalami sedikit kontroversi, namun keseruan EVO tetap menjadi sesuatu yang tidak boleh dilewatkan oleh para pecinta fighting game.

Namun demikian, satu yang mungkin akan membuat Anda cukup kebingungan adalah jadwal pertandingannya. Apalagi EVO terkenal mempertandingkan banyak cabang game fighting sekaligus.

Sumber: EVO
Sumber: EVO

Tahun ini, EVO Japan 2020 mempertandingkan enam game, yaitu Street Fighter V: Arcade Edition, Tekken 7, Super Smash Bros. Ultimate, Samurai Showdown, Soulcalibur VI, dan Blazblue Cross Tag Battle. Jadwal pada laman resmi EVO Japan menggunakan zona waktu Japan Standart Time (JST), berikut jadwal EVO Japan 2020 yang sudah dikonversi ke waktu WIB.

Jadwal EVO Japan 2020 Hari Pertama – 24/01/2020 (Waktu dalam WIB)

Sumber: IndoTekken
Sumber: IndoTekken

07:30 – 20:30 ❘ Super Smash Bros. Ultimate – Qualification
08:00 – 14:00 ❘ Samurai Shodown – Qualification
08:00 – 17:00 ❘ Soulcalibur VI – Qualification
09:00 – 20:30 ❘ Blazblue Cross Tag Battle – Qualification
10:00 – 19:00 ❘ Street Fighter V – Qualification
10:00 – 17:00 ❘ Tekken 7 – Qualification
14:30 – 17:30 ❘ Samurai Shodown – Semi-Final
17:30 – 20:30 ❘ Soulcalibur VI – Semi-Final

Jadwal EVO Japan 2020 Hari Kedua – 25/01/2020 (Waktu dalam WIB)

Sumber: IndoTekken
Sumber: IndoTekken

07:00 – 17:20 ❘ Super Smash Bros. Ultimate – Qualification
07:00 – 11:00 ❘ Tekken 7 – Qualification
07:00 – 09:30 ❘ Blazblue Cross Tag Battle – Semi-Final
09:40 – 12:30 ❘ Soulcalibur VI – Final
11:00 – 13:30 ❘ Tekken 7 – Semi-Final
11:30 – 16:30 ❘ Street Fighter V – Qualification
13:20 – 15:30 ❘ Samurai Shodown – Final
15:20 – 18:20 ❘ Super Smash Bros. Ultimate – Semi-Final
16:20 – 19:00 ❘ Blazblue Cross Tag Battle – Final
16:30 – 19:00 ❘ Street Fighter V – Semi-Final

Jadwal EVO Japan 2020 Hari Ketiga – 26/01/2020 (Waktu dalam WIB)

Sumber: IndoTekken
Sumber: IndoTekken

07:00 – 10:00 ❘ Tekken 7 – Final
10:30 – 14:00 ❘ Super Smash Bros. Ultimate – Final
14:30 – 18:00 ❘ Street Fighter V – Final

Semua pertandingan EVO Japan 2020 akan ditayangkan via livestream di kanal resmi EVO di Twitch. Berikut beberapa tautan penting terkait EVO Japan 2020:

Tahun lalu pada EVO Japan 2019, berbagai kejutan hadir di dalam pertandingan. Salah satu yang paling besar datang dari cabang Tekken 7. Di sana Arslan Ash, petarung asal Pakistan pertama yang berhasil memenangkan Tekken 7 EVO lewat gelaran EVO Japan 2019. Kemenangan tersebut berhasil mengubah peta kekuatan skena kompetitif Tekken, membuat Pakistan jadi satu regional yang sangat dipandang. Kemenangan tersebut berhasil memberikan Arslan Ash gelar Esports Player of the Year versi ESPN.

Akankah pemain Pakistan kembali memberi kejutan di Tekken 7 EVO Japan 2020? Akankah muncul kejutan di cabang game lain pada EVO 2020 ini?

Yang Nyata dan Fana di Balik Tabir Pertumbuhan Esports Fighting Game

Generasi console kedelapan (era PS4 dan para rivalnya) rasanya tak berlebihan bila disebut sebagai masa renaissance bagi dunia fighting game. Di generasi ini banyak sekali judul fighting game bermunculan setiap tahunnya, bukan hanya dari franchise yang mainstream tapi juga judul baru ataupun franchise “jadul” yang tiba-tiba datang kembali.

Di generasi ini kita melihat Super Smash Bros. Ultimate menembus rekor sebagai judul fighting game terlaris sepanjang masa. Kita juga melihat judul seperti Samurai Shodown dan Fighting EX Layer tiba-tiba bangkit setelah mati suri selama belasan tahun. Arc System Works, perusahaan veteran di dunia fighting game 2D, dikontrak Bandai Namco untuk membuat Dragon Ball FighterZ yang akhirnya membuat dunia gempar. Yang mungkin terdengar absurd, Riot Games mengakuisisi sebuah studio untuk menciptakan fighting game berbasis League of Legends.

Perusahaan-perusahaan developer juga semakin berani melakukan hal-hal “gila” dalam fighting game bikinan mereka. Siapa yang menyangka bakal ada karakter Final Fantasy muncul di Tekken, atau Terminator muncul di Mortal Kombat? Karakter di Super Smash Bros. Ultimate jumlahnya sudah seperti Suikoden saja, BlazBlue: Cross Tag Battle punya karakter yang literally berbentuk sebuah tank, dan kalau Anda menganggap Wii U sebagai anggota console generasi kedelapan, maka di generasi ini pula para kreator Tekken telah menciptakan fighting game kompetitif dengan tema Pokémon.

Dibandingkan dengan kondisi satu dekade lalu, dunia fighting game di era ini telah berubah jadi jauh lebih seru dan lebih menarik. Rasanya saya tidak akan kaget lagi melihat pengumuman apa pun yang muncul dari dunia fighting game karena sudah terlalu banyak yang nyeleneh. Yang bisa membuat saya terkejut mungkin hanya bila Capcom memasukkan karakter-karakter playable seri Rival Schools ke Street Fighter V, tapi kita sama-sama tahu hal itu tidak akan terjadi.

Berebut panggung kompetisi

Fighting game is growing, katanya. Pasar fighting game sedang tumbuh. Hal ini rasanya telah menjadi konsensus di diskusi mana pun. Tapi kemudian yang jadi pertanyaan adalah, sebetulnya tumbuhnya sebesar apa? Kita bisa melihat pertumbuhan ini dari dua sisi. Pertama, dari sisi peminat fighting game secara kompetitif. Dan kedua, dari sisi jumlah pemain secara keseluruhan (kompetitif dan kasual).

Untuk mengukur minat kompetitif, kita bisa menggunakan jumlah pengunjung dan kompetitor EVO yang merupakan ajang fighting game terbesar dunia sebagai benchmark. Menelusuri perkembangan EVO selama tiga tahun terakhir, kita dapat menemukan bahwa:

  • EVO 2017 dihadiri 6.812 kompetitor dan 8.964 pengunjung
  • EVO 2018 dihadiri 7.437 kompetitor dan 10.541 pengunjung
  • EVO 2019 dihadiri 9.234 kompetitor, belum ada info jumlah pengunjung

Perlu diingat bahwa angka di atas ada jumlah kompetitor unik yang berpartisipasi dalam seluruh event, jadi jumlahnya akan berbeda dengan jumlah kompetitor yang tercatat per game, misalnya dalam artikel berikut. Ini karena pemain fighting game kerap kali mengikuti lebih dari satu cabang kompetisi. Angka-angka ini juga hanya mencakup kompetitor di cabang pertandingan utama, tidak termasuk side tournament.

Sumber angka-angka di atas adalah pernyataan resmi yang dirilis oleh pihak EVO dan pencatatan di smash.gg, jadi mungkin saja terdapat perbedaan data dengan data milik pihak ketiga, misalnya One Frame Link. Namun perbedaannya tidak akan terlalu banyak.

Angka-angka di atas menunjukkan bahwa peminat fighting game kompetitif memang terus meningkat setiap tahunnya, dengan angka peningkatan kurang lebih 9% di tahun 2018 dan 24% di tahun 2019. Bila dibandingkan ke belakang lagi, misalnya EVO 2012, pertumbuhannya akan terlihat lebih drastis. Jumlah pengunjung tahun tersebut hanya sekitar 5.000 orang, dan partisipannya hanya sekitar 3.500 orang.

EVO 2019 - Hosts
Wajah-wajah familier di panel EVO, Sajam, Tasty Steve, dan Tom Cannon | Sumber: Robert Paul via EVO

Selain jumlah kompetitor/partisipan, hal lain dari EVO yang bisa kita jadikan benchmark adalah jumlah game yang dipertandingkan, dan game apa saja yang dipertandingkan. Meskipun mungkin ada kaitannya juga dengan perjanjian bisnis antara pihak EVO dengan para sponsor, muncul atau tidaknya sebuah game di EVO memberikan gambaran apakah ekosistem game tersebut sehat atau tidak.

Sejak tahun 2013, EVO umumnya mempertandingkan 9 judul game di panggung utama. Akan tetapi angka ini sempat turun menjadi 8 di tahun 2014 dan 2018. Selain itu, perubahan dari tahun 2018 ke 2019 juga menunjukkan hal yang menarik. Mari kita lihat bersama di bawah.

Perubahan EVO 2013 ke EVO 2014:

  • Super Street Fighter IV: Arcade Edition diganti Ultra Street Fighter IV
  • Ultimate Marvel v. Capcom 3 tetap ada
  • Super Smash Bros. Melee tetap ada
  • Injustice: Gods Among Us tetap ada
  • Street Fighter x Tekken dihapus
  • The King of Fighters XIII tetap ada
  • Persona 4 Arena diganti BlazBlue: Chronophantasma
  • Tekken Tag Tournament 2 tetap ada
  • Mortal Kombat 9 diganti Killer Instinct

Perubahan EVO 2017 ke EVO 2018:

  • Street Fighter V diganti Street Fighter V: Arcade Edition
  • Super Smash Bros. for Wii U tetap ada
  • Super Smash Bros. Melee tetap ada
  • Tekken 7 tetap ada
  • Injustice 2 tetap ada
  • Guilty Gear Xrd REV 2 tetap ada
  • Ultimate Marvel vs. Capcom 3 dihapus
  • BlazBlue: Central Fiction diganti BlazBlue: Cross Tag Battle
  • The King of Fighters XIV dihapus
  • Penambahan DragonBall FighterZ

Perubahan EVO 2018 ke EVO 2019:

  • DragonBall FighterZ tetap ada
  • Street Fighter V: Arcade Edition tetap ada
  • Tekken 7 tetap ada
  • Super Smash Bros. for Wii U diganti Super Smash Bros. Ultimate
  • Super Smash Bros. Melee dihapus
  • BlazBlue: Cross Tag Battle tetap ada
  • Guilty Gear Xrd REV 2 dihapus
  • Injustice 2 diganti Mortal Kombat 11
  • Penambahan Samurai Shodown
  • Penambahan Soulcalibur VI
  • Penambahan Under Night In-Birth Exe: Late[st]

Ketika sebuah game dihapus dari daftar EVO, biasanya itu berarti telah terjadi satu di antara dua kemungkinan. Pertama, developer game tersebut telah merilis judul lain atau sekuel yang lebih baru. Contohnya Persona 4 Arena dan BlazBlue: Chronophantasma yang sama-sama dikembangkan oleh Arc System Works, atau Mortal Kombat 9 dan Killer Instinct yang dibuat oleh NetherRealm Studios. Kemungkinan kedua adalah komunitas game tersebut telah menyusut cukup jauh, sehingga diperkirakan bila game itu tampil di EVO maka peminatnya akan kurang, misalnya Street Fighter x Tekken yang sudah ada sejak EVO 2012 dan di tahun 2014 belum ada pengganti/sekuelnya.

Akan tetapi EVO 2018 cukup menimbulkan kehebohan karena hanya mempertandingkan 8 game, padahal saat itu ada fighting game yang baru keluar: Marvel vs. Capcom Infinite. Seharusnya game ini menjadi pengganti dari Ultimate Marvel vs. Capcom 3, akan tetapi pihak EVO memilih tidak mengikutsertakannya. Alasannya adalah karena Marvel vs. Capcom Infinite mendapat penerimaan yang buruk di kalangan gamer, dan pada saat berdekatan muncul game lain dengan gaya permainan sangat mirip (2D tag team fighting) yaitu Dragon Ball FighterZ.

EVO 2019 lebih “ramai” lagi kasusnya, dan mungkin bisa dibilang agak lucu. Ini adalah tahun di mana saking banyaknya judul fighting game beredar di pasaran, EVO sampai harus menghapus game yang masih memiliki komunitas sangat besar: Super Smash Bros. Melee. EVO 2019 juga tidak mempertandingkan Dead or Alive 6 setelah kasus “pornoaksi” yang mereka anggap tidak sesuai dengan identitas brand EVO, padahal Dead or Alive 6 baru saja dirilis dan merupakan franchise yang cukup besar juga.

Sebagai gantinya, EVO 2019 menampilkan tiga game baru sekaligus yang tidak ada di tahun sebelumnya, yaitu Soulcalibur VI, Samurai Shodown, dan Under Night In-Birth Exe: Late[st] (UNIST). Bila kita mengikutsertakan Dead or Alive 6, artinya dalam rentang waktu satu tahun antara EVO 2018 ke EVO 2019 telah terbit empat judul baru yang kesemuanya berpotensi punya basis massa besar. Tiga di antaranya bahkan merupakan franchise senior di dunia fighting game.

Itu pun sebetulnya belum semua. Masih ada game lain yang berpotensi tampil di EVO, yang juga muncul dalam rentang waktu tersebut, yaitu Fighting EX Layer. Dibuat oleh Arika yang sudah menciptakan fighting game sejak 1995, Fighting EX Layer memiliki gameplay yang kompetitif dan karakter-karakter yang menarik, namun sayangnya penjualan game ini tidak mencapai target yang diinginkan para developernya. Meski tidak banyak dihujat seperti Marvel vs. Capcom Infinite, mungkin inilah alasan mengapa Fighting EX Layer tidak tampil di EVO.

Tren banyaknya fighting game ini tampaknya masih akan terus berlanjut setidaknya hingga tahun 2020 nanti. EVO 2020 sudah mengumumkan lima game yang akan dipertandingkan, yaitu BlazBlue: Cross Tag Battle, Samurai Shodown, Super Smash Bros. Ultimate, Soulcalibur VI, dan Tekken 7. Sisa 4 slot lagi masih bisa diisi siapa saja, entah game lama atau game baru.

Ada setidaknya 4 fighting game baru yang berpotensi untuk dirilis di tahun 2020, yaitu Under Night In-Birth Exe: Late[cl-r] (UNICLR), Granblue Fantasy Versus, Guilty Gear Strive, dan The King of Fighters XV. Street Fighter V, meskipun belum diumumkan resmi, tampaknya tidak akan tergeser dari panggung utama EVO, dan ada rumor bahwa Capcom akan meluncurkan versi baru yang disebut Street Fighter V: Tournament Edition (sekarang telah resmi diumumkan sebagai Street Fighter V: Champion Edition). Artinya tinggal 3 slot yang tersisa. UNICLR, Granblue Fantasy Versus, KOF XV, dan Guilty Gear Strive bisa jadi harus berebut 3 slot tersebut melawan Mortal Kombat 11 dan Dragon Ball FighterZ yang usianya juga masih relatif muda.

Memang EVO bukan satu-satunya panggung kompetisi bagi fighting game. Masih banyak turnamen besar lain berskala global, seperti Combo Breaker, CEO, dan sebagainya. Ditambah lagi, para penerbit/developer game bisa saja meluncurkan sirkuit kompetisi sendiri. Dead or Alive 6, walaupun tidak masuk EVO, punya sirkuit sendiri bernama Dead or Alive 6 World Championship. The King of Fighters dan Samurai Shodown juga memiliki kompetisi global SNK World Championship. Sementara Arc System Works sudah lama menjalankan turnamen yang bernama ArcRevo World Tour.

Akan tetapi turnamen-turnamen seperti ini skalanya jauh lebih kecil dari EVO, sehingga tidak bisa memberikan exposure yang setara pada game tersebut. Uang hadiah yang ditawarkan pada kontestan pun jumlahnya lebih rendah. EVO saat ini sudah merupakan semacam kiblat yang menentukan tren di dunia fighting game kompetitif, jadi game yang muncul di turnamen-turnamen third party pun tidak akan jauh berbeda dari lineup EVO.

Sebuah game yang sangat populer dan/atau disokong oleh penerbit besar bisa jadi akan menciptakan ekosistem kompetitif yang mandiri dan sustainable, seperti Capcom Pro Tour atau Tekken World Tour. Tapi tidak semua game bisa seperti itu. Lebih sering, sebuah judul fighting game harus rela “berbagi pasar” dengan game lain. Sebuah game yang saat ini populer, bisa saja tiba-tiba jadi sepi begitu muncul judul baru yang tak kalah menarik. Dragon Ball FighterZ saja, yang laku keras hingga 4 juta kopi di pasaran, kehilangan lebih dari 50% kompetitor mereka dari EVO 2018 ke EVO 2019. Apalagi game lain yang punya fanbase lebih kecil.

Combo Breaker 2019 - Mortal Kombat 11
Game di turnamen fighting game umumnya tak jauh beda dari EVO | Sumber: Thomas Tischio via Combo Breaker

Fighting game tak harus esports

Apakah ini berarti pasar fighting game saat ini sudah terlalu ramai, dan sudah waktunya bagi para developer untuk “menginjak rem”? Sebetulnya ini pertanyaan yang agak sulit, dan tergantung dari kepentingannya, jawaban seseorang akan berbeda-beda. Bila kita berbicara spesifik tentang keterlibatan fighting game dalam esports, misalnya, maka kemungkinan jawabannya adalah ya.

Jumlah fighting game yang demikian banyak membuat para tournament organizer (TO) kesulitan untuk memfasilitasi semuanya. Jumlah pemain fighting game secara umum memang meningkat, tapi peningkatannya tidak sampai membuat genre ini membludak seperti Fortnite atau PUBG. Itu pun tidak semua pemain fighting game berminat bermain secara kompetitif. Banyak di antara mereka yang lebih suka bermain kasual saja, jadi peningkatan penjualan game belum tentu dibarengi dengan peningkatan jumlah peminat/pemain esports di dalamnya.

Peningkatan yang selama ini terjadi bukanlah meningkatkan status genre fighting game dari niche menjadi mainstream, tapi sekadar dari niche menjadi niche yang sedikit lebih besar. Ada beberapa game yang bisa menjaring pemain dalam jumlah banyak, misalnya Super Smash Bros., Street Fighter, atau Tekken. Namun kebanyakan dari mereka adalah pemain kasual, hanya sedikit sekali yang berubah menjadi pemain kompetitif.

Bram Arman, seorang TO yang cukup senior dari komunitas Advance Guard, menyebutkan bahwa perkembangan judul atau intellectual property (IP) fighting game yang belakangan semakin banyak itu seperti menggali kubur sendiri. “Dari sisi demografik sebenarnya numbers of fighting games players sendiri pertumbuhannya memang bisa dibilang sedikit sekali. Karena untuk konversi (membuat seseorang mau membeli fighting game) itu memang harus ada keinginan dari individu itu sendiri,” ujarnya, “Memang dengan adanya suatu turnamen, pameran, itu membantu penetrasi. Tapi jumlah yang terkonversi menurut analisa saya sedikit sekali.”

Bram juga menyoroti jadwal perilisan judul-judul fighting game, IP baru ataupun sekuel, yang relatif berdekatan satu sama lain. Alih-alih menggaet pemain baru, ujung-ujungnya pembelinya adalah orang-orang yang sama juga, yang selama ini sudah menggemari genre fighting dan sudah malang-melintang bermain berbagai judul fighting game. Jadi banyaknya judul game yang laris bukan berarti jumlah pemainnya bertambah. Bisa jadi itu hanya berarti setiap pemain mau mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli game.

Bram memberi contoh Granblue Fantasy Versus dan Guilty Gear yang akan terbit tahun 2020 nanti. Menurutnya, dua game ini nantinya akan dimainkan oleh komunitas yang sama, yaitu komunitas penggemar “anime fighters”. Sementara untuk menarik penggemar dari luar komunitas ini, hanya bisa kembali lagi ke minat masing-masing orang. Bram merasa bahwa para developer fighting game harus lebih pandai mencari perhatian pasar dengan cara yang lebih menarik lagi.

Granblue Fantasy Versus - Screenshot
Granblue Fantasy Versus, target pasarnya ditengarai akan sama dengan Guilty Gear | Sumber: Dual Pixels

Di sisi lain, Jason Nuryadin dari komunitas Drop the Cap berpendapat bahwa meningkatnya jumlah fighting game adalah hal yang baik, karena itu akan mendorong para developer untuk meningkatkan kualitas agar mereka mampu bersaing di pasar. Namun ini juga akan memberikan sedikit dampak buruk, yaitu membuat komunitas jadi lebih terpecah dari sebelumnya. “Tapi kembali lagi ke nature FGC (fighting games community) di mana pemain fighting game kebanyakan main lebih dari 1 game, kurasa itu bukan masalah berat,” paparnya.

Jason menyebut generasi ini sebagai masa renaissance dalam fighting game, tapi masih belum tepat jika dikatakan overcrowded. Menurutnya, kini genre fighting telah berubah dari sekadar “product to play” menjadi juga “product to watch” karena adanya esports. Hal ini turut membantu fighting game berkembang dengan baik.

Akan tetapi ia merasa bahwa esports ini pun sebenarnya hanya bisa tumbuh bila ada peran komunitas. Memang sejak dulu ekosistem kompetitif fighting game selalu berasal dari gerakan-gerakan akar rumput. EVO yang kini jadi event raksasa pun pada awalnya tumbuh dari event antar komunitas, bukan serta-merta muncul karena ada sponsor yang menggelontorkan dana besar-besaran.

Supaya komunitas itu bisa tumbuh subur, Jason ingin para developer bisa memberikan core gameplay serta dukungan yang baik dalam fighting game milik mereka. “Apakah core gameplay dari game tersebut well-beloved juga, dan apakah support dari developer juga ada (seperti prize pool dan lain-lain). Tapi kita ga bisa doubt, yang namanya esports itu salah satu strategi ampuh buat developer investasi ke fighting game, walau penuh risiko,” papar Jason.

Gelud - Gathering
Gelud ingin merangkul penggemar segala fighting game | Sumber: Gelud – Fighting Games Enthusiasts

Sementara itu, Mahessa Ramadhana dari komunitas Gelud – Fighting Game Enthusiasts (dulunya Fighting Game Enthusiasts Bandung) berkata bahwa jumlah game yang semakin banyak ini memang sedikit merepotkan. “Kalau dari komunitas, Gelud agak ribet karena Gelud mau cover berbagai judul fighting game. Jadi susahnya pas gathering sering bingung, mau game apa aja yang dipasang,” paparnya.

Tapi itu hanya masalah dari sudut pandang pegiat komunitas saja. Menurut Mahessa, secara umum banyaknya judul fighting game ini bukan masalah karena kebanyakan pemain fighting game (FG) ujung-ujungnya hanya akan main beberapa judul besar saja. “Kebanyakan judul-judul FG sekarang judul-judul kecil, dan judul-judul kecil ini biasanya yang main emang penggemar game-game niche. Penggemar game-game niche tendensinya main segala macam game, jadi ga begitu kepecah juga,” kata Mahessa.

Ia melanjutkan, “Kalau ada fragmentasi, lebih kerasa fragmentasi karena banyak pilihan, jadi orang-orang pilih yang pas sama dia. Yang nggak pas dia ga main. Jadi mungkin malah efeknya positif, orang-orang jadi lebih gampang nemu game yang emang dia suka.” Pendapat Mahessa ini serupa dengan apa yang dikatakan oleh YouTuber fighting game terkenal Maximilian Dood, yaitu bahwa daripada oversaturation atau overcrowded, kondisi dunia fighting game saat ini lebih tepat dibilang, “Kita sekarang jadi punya pilihan.”

Demi kesenangan, atau demi penghasilan?

Mungkin satu hal yang kita tidak boleh salah kaprah, adalah tentang seberapa besar potensi finansial yang ada di ekosistem fighting game kompetitif. Perkara uang ini sebetulnya topik cukup sensitif yang telah membuat komunitas fighting game global terpecah-belah.

Ada yang memandang esports fighting game sebagai bisnis menjanjikan, lalu lupa bahwa komunitasnya—yang sudah berusia puluhan tahun—punya nilai-nilai yang mesti dijaga. Ada yang melihat pertumbuhan event yang belakangan semakin besar, kemudian menuntut agar TO memberi kompensasi lebih pada para partisipan. Ada yang merasa bahwa kompensasi tambahan itu tidak perlu, karena selama ini TO sudah banyak berkorban kerja suka rela. Ada yang bercita-cita hidup sebagai atlet fighting game profesional, tapi para atlet yang mereka idolakan justru berkata, jangan masuk esports fighting game kalau tujuanmu adalah mencari uang.

Transisi ekosistem fighting game dari dunia kompetitif grassroot menjadi esports profesional menimbulkan berbagai konflik dan perbedaan pendapat. Terkadang sedih juga melihatnya, apalagi bila level konfliknya bukan orang lawan orang tapi sudah antar organisasi yang punya pengaruh luas. Dan sebetulnya kalau dipikir-pikir, argumen-argumen yang berlawanan itu semuanya bisa terasa benar, tergantung dari kita berada di posisi mana dan punya kepentingan apa.

Memang betul bahwa ada peluang di dunia esports fighting game. Namun dikatakan “besar” pun, sebetulnya pasarnya masih jauh lebih kecil dibandingkan cabang-cabang esports lainnya. Karakteristik para stakeholder dan pasarnya pun berbeda dengan, misalnya, ekosistem MOBA atau battle royale.

Super Smash Bros. Ultimate, pemecah rekor fighting game tersukses sepanjang masa, mungkin terlihat besar dengan angka penjualan sebesar 15 juta kopi. Bila harga 1 kopi game adalah US$60, itu artinya Super Smash Bros. Ultimate meraup revenue sebesar US$900.000.000. Revenue fighting game terlaris sepanjang masa masih lebih kecil dibandingkan penghasilan PUBG sepanjang tahun 2018 saja, yang sudah menembus angka miliaran dolar.

Judul fighting game yang dianggap mainstream seperti Street Fighter V dan Tekken 7, sebetulnya “hanya” punya angka penjualan sekitar 4 juta kopi saja. Dibandingkan beberapa cabang esports lain di luar sana, pasar fighting game masih merupakan “kue kecil”. Seperti sus atau donat mini, enak dan manis memang, tapi bila semua orang berebut maka tidak akan ada yang kenyang.

Saya rasa apa yang dibutuhkan oleh ekosistem esports fighting game kali ini adalah keseimbangan antara diskusi, partisipasi, dan ekspektasi. Pihak-pihak yang punya kepentingan seyogyanya duduk bersama untuk mencari seperti apa jalan keluar yang lebih baik. Pelaku-pelaku industri esports perlu lebih mendengarkan kebutuhan komunitas karena merekalah yang selama ini banyak bekerja keras untuk menyuburkan ekosistem ini. Dan terakhir, mencari keuntungan lewat esports fighting game itu sah-sah saja, tapi mereka yang mengambil jalan ini juga harus sadar bahwa sebetulnya pasar fighting game—kompetitif maupun kasual—belum sebesar itu.

Sepuluh atau dua puluh tahun lalu, mungkin semua orang bisa setuju bahwa keaktifan di ekosistem fighting game adalah pencurahan passion semata. Tapi kini hal itu mulai berubah. Pemain, TO, investor, pelan-pelan semua stakeholder mulai mengharap ada sesuatu yang bisa didapat sebagai imbalan atas kerja keras mereka, dan itu wajar. Asal ingat saja, untuk tidak meminta lebih dari kue yang sedang terhidang di atas meja.

Sumber Header: Timothy Kauffman

Evolution Championship Series Siap Guncangkan Las Vegas Lagi di Tahun 2020

Rasanya baru kemarin kita menyaksikan para jawara fighting game dunia adu otot di EVO 2019, tapi kini panitia EVO sudah bersiap-siap untuk menggelar EVO 2020. Baru saja, mereka mengunggah trailer di YouTube yang mengonfirmasi digelarnya acara ini, beserta tanggal dan lokasi pastinya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, EVO 2020 akan kembali hadir di Mandalay Bay Resort and Casino, Las Vegas, tepatnya di tanggal 31 Juli – 2 Agustus 2020.

Bila Anda menonton trailer di bawah, Anda dapat menyaksikan sejumlah klip dari game populer yang muncul di EVO 2019, seperti Dragon Ball FighterZ, Tekken 7, dan BlazBlue: Cross Tag Battle. Tapi perlu diingat bahwa saat ini EVO belum mengumumkan secara resmi game apa saja yang akan tampil tahun 2020 nanti.

Masih ada waktu cukup lama sampai 31 Juli, dan dalam rentang waktu ini ada beberapa fighting game yang akan dirilis atau kemungkinan dirilis. Contohnya Granblue Fantasy Versus (Februari 2020), Guilty Gear baru (tentatif 2020), dan The King of Fighters XV (tentatif 2020). Bisa saja salah satu dari beberapa game ini nantinya muncul jadi menu di panggung utama, tergantung dari apakah para developernya merilis sebelum atau sesudah EVO.

Satu hal lagi yang penting untuk diingat dalam EVO 2020, yaitu aturan baru tentang penggunaan controller. Selepas kontroversi seputar controller jenis hit box, beberapa waktu lalu panitia EVO mengumumkan revisi aturan yang akhirnya benar-benar melegalkan controller tersebut. Termasuk di antaranya Gafrobox yang digunakan oleh Daigo Umehara, hit box Cross|Up yang punya directional input campuran, serta Smash Box yang dirancang khusus untuk pemain Super Smash Bros.

Granblue Fantasy Versus - Screenshot
Granblue Fantasy Versus, akankah masuk EVO? | Sumber: Dual Pixels

Jangan lupa juga bahwa sebelum EVO 2020 nanti masih ada event EVO Japan 2020 yang akan digelar pada tanggal 24 – 26 Januari. Pertengahan Oktober lalu, EVO Japan sudah mengumumkan lima game utama yang akan dipertandingkan nantinya, terdiri dari:

  • BlazBlue: Cross Tag Battle
  • Samurai Shodown
  • Super Smash Bros. Ultimate
  • Soulcalibur VI
  • Tekken 7
EVO Japan 2020 - Games
Sumber: EVO Japan

Ajang EVO Japan 2020 ini akan digelar di gedung Makuhari Messe, kota Chiba, yang memiliki kapasitas hingga 9.000 pengunjung. Dibandingkan EVO Japan 2019 yang digelar di Fukuoka Kokusai Center, gedung Makuhari Messe memang sedikit lebih kecil. Tapi lokasinya yang berada di pinggiran Tokyo bisa memberikan akses yang lebih mudah, ketimbang kota Fukuoka yang letaknya ada di ujung selatan Jepang. Anda bisa menyimak liputan EVO Japan 2019 dari komunitas Advance Guard dan ABUGET di tautan berikut.

EVO 2020 menandai tahun ke-15 hadirnya EVO di Las Vegas sejak pertama kali digelar di kota tersebut pada tahun 2005. EVO sendiri akan menginjak usia 24 tahun, bila kita menghitung sejak pertama kali dicetuskan dengan nama Battle by the Bay pada tahun 1996 lalu. Inovasi seperti apa yang akan mereka tunjukkan di tahun 2020 nanti?

Sumber: Shoryuken.com, EVO JapanJoey Cuellar, EventHubs

EVO Rancang Aturan Baru yang Melegalkan Penggunaan Controller Hitbox

Dunia fighting game beberapa waktu lalu sempat dilanda diskusi yang hangat perihal legalitas controller. Ketika Daigo Umehara—yang merupakan sosok terkenal di komunitas fighting game—menunjukkan berbagai keunggulan controller yang disebut hitbox, banyak pihak merasa bahwa fitur-fitur dalam controller tersebut terlalu bagus sehingga dapat disebut curang. Terutama hitbox merk Gafrobox yang digunakan oleh Daigo.

Meskipun hitbox itu sebenarnya sudah cukup lama beredar di pasaran, penggunaannya oleh Daigo membuat diskusi seputar controller jenis ini. Menanggapi isu tersebut, Capcom akhirnya memutuskan untuk melarang hitbox karena dinilai dapat memberikan keuntungan kompetitif. Akan tetapi mereka masih membuka ruang diskusi, dan menyatakan bahwa peraturan Capcom Pro Tour (CPT) bisa saja berubah di masa depan.

Panitia Evolution Championship Series (EVO) kini tengah menggodok aturan baru yang mengatur legalitas controller, terutama hitbox. Mereka merilis rancangan aturan tersebut di Google Docs agar dapat dilihat oleh semua orang, dan terbuka terhadap masukan sebelum aturan ini diimplementasikan. Rencananya, panitia EVO akan menetapkan aturan versi finalnya pada tanggal 31 Oktober 2019.

Anda dapat membaca aturan tersebut lewat tautan ini, tapi ada beberapa poin penting yang perlu kita perhatikan secara cermat. Berikut beberapa di antaranya:

  • Sebuah controller tidak boleh memberikan hasil input ganda dari satu mekanisme input. Input ganda dari setting di dalam game diperbolehkan, tapi pemain dilarang memodifikasi controller untuk bisa menekan lebih dari satu input bersamaan, atau menekan lebih dari satu input secara sekuensial (macro).
  • Sebuah controller tidak boleh memberikan input dua arah berlawanan secara sekaligus. Input dua arah berlawanan ini dikenal dengan istilah simultaneous opposite cardinal direction (SOCD), dan merupakan salah satu alasan mengapa Gafrobox dilarang.
  • Sebuah controller boleh memberikan input analog, asalkan hasil inputnya tidak berupa input ganda/sekuensial. Input analog ini misalnya tombol yang memberi input berbeda tergantung dari seberapa dalam tombol itu ditekan.

Khusus untuk aturan mengenai SOCD, panitia EVO berkata bahwa aturan ini akan dihapus pada tanggal 30 April 2021. Artinya controller dengan fitur SOCD boleh digunakan setelah periode tersebut. Akan tetapi pihak EVO memberi masukan supaya para developer fighting game menerapkan cara mereka sendiri untuk mengatasi input SOCD. Misalnya apabila pemain menekan tombol kiri dan kanan sekaligus, maka game akan menganggap input itu invalid atau menghasilkan input netral.

Panitia EVO juga memberi catatan khusus untuk tiga controller yang saat ini ada di pasaran, yaitu Gafrobox, Hit Box Smash Box, dan Hit Box Cross|Up. Singkatnya, ketiga controller ini dianggap legal digunakan dalam turnamen. Alasannya adalah karena ketiga controller tersebut sama-sama tidak melanggar aturan tentang input ganda/sekuensial maupun SOCD. Firmware yang digunakan para pembuat controller pun sudah memfasilitasi penyaringan input (cleaning) sehingga tidak terjadi SOCD.

Satu kasus khusus adalah controller PS4 (DualShock 4), yang ternyata memfasilitasi input SOCD. Akan tetapi pihak EVO memberi pengecualian pada controller ini, karena DualShock 4 adalah “stock controller” yang memang disediakan oleh Sony. Lagi pula kalau kita pikir-pikir, meskipun DualShock 4 bisa melakukan SOCD, menekan dua arah berlawanan sekaligus di controller tersebut sangatlah sulit dan tidak memberi keuntungan dalam turnamen.

Aturan yang dirancang oleh EVO ini bisa menjadi referensi bagi para penyelenggara turnamen, termasuk juga di Indonesia. Akan tetapi aturan ini masih belum final, dan bisa saja berubah sebelum tanggal 31 Oktober. Anda juga bisa memberi masukan langsung terhadap aturan ini dengan mengirim email ke alamat [email protected] dengan judul “Evo Controller Ruleset Feedback”. Bila aturan ini jadi diterapkan, tampaknya ada kemungkinan kita akan melihat lebih banyak pemain fighting game profesional menggunakan hitbox dan berbagai variasinya dalam turnamen EVO 2020 nanti.

Sumber: EventHubs