Fighting Game Esports – Sejarah, Tokoh, dan Perkembangannya

Fighting game adalah genre yang cukup unik dibanding cabang-cabang esports lainnya. Sebelum ada tipe-tipe game canggih seperti first-person shooter, MOBA, atau bahkan battle royale, fighting game sudah terlebih dahulu menanamkan akar kompetitifnya di kalangan masyarakat. Hingga kini pun, fighting game terus menjadi salah satu genre game yang sangat populer dan punya banyak penggemar setia.

Dunia fighting game berutang besar kepada Capcom, developer game asal Jepang yang merupakan pencipta seri Street Fighter. Akan tetapi dalam perjalanannya, iklim kompetitif dalam genre ini justru lebih banyak digerakkan oleh penggemar-penggemar di level akar rumput. Turnamen fighting game internasional paling bergengsi pun, yaitu Evolution Championship Series (EVO), bermula dari aktivitas penggemar yang makin lama makin membesar.

Ekosistem fighting game adalah ekosistem yang niche namun subur, kecil namun menggigit, dan tak akan pernah lekang dimakan zaman. Seperti apa perkembangan fighting game serta iklim esports di sekitarnya? Mari simak di bawah.

Pionir itu bernama Street Fighter II

Berbicara tentang sejarah fighting game, kita tak akan bisa lepas dari game legendaris yang merupakan “nenek moyang” fighting game, Street Fighter II. Dilihat dari judulnya saja kita sudah bisa menebak bahwa Street Fighter II bukan fighting game pertama di dunia. Akan tetapi game inilah yang membuat genre fighting meledak di pasaran, terutama secara kompetitif.

Ultra Street Fighter II: The Final Challengers
Ultra Street Fighter II: The Final Challengers | Sumber: Nintendo

Ada beberapa hal yang membuat Street Fighter II diminati masyarakat luas. Salah satunya yaitu jumlah karakter yang cukup banyak, penuh variasi, dan mewakili kebudayaan berbagai negara di dunia. Ada Ryu dan Ken dari Jepang, Guile dari Amerika Serikat, Zangief dari Rusia, hingga Dhalsim dari India, ragam yang begitu luas membuat Street Fighter II punya daya tarik tersendiri bagi para gamer. Apalagi setiap karakter punya gaya bertarung yang jauh berbeda.

Street Fighter II juga revolusioner dalam menciptakan berbagai pakem fighting game yang populer hingga saat ini. Mulai dari sistem special move yang bisa dieksekusi dengan kombinasi arah dan tombol, sistem combo yang memungkinkan karakter melancarkan serangan bertubi-tubi, hingga tren pertarungan satu-lawan-satu itu sendiri. Sebelum Street Fighter II, umumnya fighting game hanya berisi pertarungan melawan komputer. Tapi Capcom mengubah itu semua dengan fitur pertarungan player versus player.

Begitu populernya Street Fighter II, hingga Capcom sendiri kesulitan menyediakan arcade cabinet untuk pasar seluruh dunia. Menurut situs GameRevolution, Street Fighter II diperkirakan telah mendatangkan pemasukan hingga kurang lebih 10 miliar dolar! Tak hanya salah satu game tersukses, game ini juga dihormati sebagai salah satu game paling berpengaruh sepanjang masa.

Setiap orang punya pertaruhan

Street Fighter II (juga fighting game pada umumnya) punya sifat sangat kompetitif bukan hanya karena game ini bertema pertarungan antara dua pemain. Lebih dari itu, fighting game sangat kompetitif karena dalam genre ini semua orang selalu mempertaruhkan sesuatu. Demikian diungkapkan Tom Cannon, co-founder Evolution Championship Series, dilansir dari Inven Global.

Menurut Cannon, ada tiga hal yang dipertaruhkan dalam fighting game, terutama di arcade. Tiga hal itu adalah:

  • Waktu. Pergi ke arcade sendiri sudah makan waktu, dan sesampainya di arcade, berapa lama kita bisa bermain ditentukan oleh seberapa ahli kita memainkannya. Bila kita mampu bertarung tanpa kalah, kita dapat memainkan game untuk waktu lama, tapi bila kita payah, kita akan cepat game over.
  • Uang. Bermain di arcade butuh koin, dan ketika seseorang datang sebagai penantang, koin kita turut dipertaruhkan. Kalah darinya maka kita harus memasukkan koin kembali untuk terus bermain, tapi bila menang, koin kita selamat.
  • Harga diri. Karena fighting game adalah pertarungan satu lawan satu, apa yang kita lakukan benar-benar merupakan cerminan dari kemampuan kita. Bayangkan Anda berbadan besar dan bertampang sangar, tapi kalah main Street Fighter II melawan seorang siswa SD. Pasti rasanya salty sekali. Apalagi penantang Anda duduk (atau berdiri) tepat di sebelah Anda.
Street Fighter II SNES
Sampul Street Fighter II versi SNES | Sumber: IMDb

Pertaruhan ketiga hal ini, ditambah kenyataan bahwa arcade selalu ramai dan pertandingan Anda pasti ditonton banyak orang, memancing jiwa kompetitif yang tinggi di kalangan penggemar fighting game. Hanya masalah waktu sebelum kompetisi tersebut membesar, menjadi turnamen tingkat arcade center, kota, nasional, dan akhirnya turnamen dunia.

Raja dari barat dan timur

Tom Cannon adalah salah satu pionir dari turnamen dunia tersebut. Bersama dengan Tony Cannon, Joey Cuellar, dan Seth Killian, mereka mencetuskan sebuah kompetisi bernama Battle By the Bay pada tahun 1996. Dalam video dokumenter yang dibuat oleh theScore Esports, mereka mengatakan bahwa Battle By the Bay awalnya diciptakan sebagai sarana untuk menyelesaikan perseteruan antara komunitas-komunitas fighting game di California. Akan tetapi pada tahun 1998 terjadi momen penting yang mengubah iklim kompetitif fighting game di seluruh dunia.

Pada tahun 1998, Capcom merilis sebuah game berjudul Street Fighter Alpha 3 (Street Fighter Zero 3 di Jepang). Demi mempromosikannya di pasar global, Capcom menggelar kompetisi akbar tingkat nasional di Jepang dan Amerika Serikat. Kemudian, juara masing-masing negara akan bertemu untuk menentukan siapakah petarung terkuat di dunia yang sebenarnya.

Juara dari Amerika Serikat adalah Alex Valle, jawara Battle By the Bay yang dikenal sebagai pencipta teknik legendaris Street Fighter Alpha 2, “Valle Custom Combo”. Sementara itu, Jepang diwakili oleh Daigo Umehara, pemuda 17 tahun yang sudah menjadi juara nasional Jepang sejak dua tahun sebelumnya. Ini adalah turnamen Street Fighter tingkat dunia pertama yang resmi diadakan oleh Capcom.

Dalam pertarungan berformat best-of-three, Alex Valle (Ryu) mencuri poin terlebih dahulu dari Daigo Umehara (Akuma). Akan tetapi Daigo, seolah sudah “men-download” isi kepala Valle, ternyata mampu beradaptasi dan mematahkan strategi lawannya itu. Daigo membalikkan keadaan, dan dinobatkan sebagai juara dunia Street Fighter pertama setelah menang dengan skor 2-1.

Seorang pemain Street Fighter dari Jepang telah berhasil menjadi juara dunia. Lalu selanjutnya apa? Ternyata tidak banyak. Pertarungan antara kedua raja dari barat dan timur itu terjadi di tahun 1998, saat internet masih belum menyebar luas dan esports belum merupakan sesuatu yang besar. Bagi komunitas pecinta fighting game, momen tersebut mungkin sangat berkesan, tapi tidak bagi masyarakat luas. Malah mungkin tidak banyak gamer yang tahu, sebab informasi masih sulit didapat.

Popularitas fighting game secara umum tidak banyak berubah. Akan tetapi di kalangan mereka yang bermain pada level tertinggi, mulai muncul bibit-bibit tantangan baru. Mereka yang tinggal di Amerika Serikat jadi tahu bahwa Jepang punya pemain-pemain tangguh, begitu pula sebaliknya para pemain Jepang sadar bahwa Street Fighter tidak hanya “besar” di tanah kelahirannya.

Efek dari paradigma baru ini paling terasa di kompetisi Battle By the Bay. Pada tahun 2001, untuk pertama kalinya, Battle By the Bay kedatangan pemain-pemain dari negara Jepang. Mereka sengaja terbang jauh-jauh ke San Fransisco, California, untuk bertarung melawan pemain-pemain hebat dari belahan negara lain. Tidak hanya itu, dua pemain Jepang (Ryo Yoshida dan Tomo Taguchi) bahkan meraih gelar juara untuk game Street Fighter Alpha 3 dan Capcom vs. SNK.

Street Fighter Alpha 3
Street Fighter Alpha 3 telah dirilis ulang dalam Street Fighter 30th Anniversary Collection | Sumber: Steam

Menurut keterangan dari James Chen dalam film dokumenter The Story of EVO, sejak Battle By the Bay tahun 1996 pun sudah ada pemain dari luar negeri, yaitu dari Kuwait. Tapi tahun 2001 inilah momen yang mendefinisikan Battle By the Bay sebagai puncak kompetisi fighting game, tujuan pengembaraan untuk membuktikan siapa petarung terkuat di dunia.

EVO Moment #37

Walau antusiasme penggemar fighting game kompetitif semakin meningkat, periode 2000-an sebenarnya merupakan masa yang cukup sulit bagi fighting game. Banyak fighting game berkualitas tinggi beredar di pasaran, antara lain Street Fighter III: 3rd Strike, Marvel vs. Capcom 2: New Age of Heroes, Tekken 4, hingga Guilty Gear XX. Namun akibat tingginya popularitas console rumahan seperti PlayStation 2 dan Dreamcast, arcade center mulai turun peminat.

Penurunan ini terasa hampir di seluruh dunia, kecuali Jepang di mana pasar arcade masih sangat kuat. Bila dulu penggemar fighting game harus mengeluarkan banyak koin di arcade, sekarang mereka bisa bermain di console dengan credit tak terbatas. Memang lebih hemat dari sudut pandang konsumen, tapi dampaknya adalah aktivitas komunitas fighting game jadi menurun. Orang-orang tak lagi berkumpul di arcade center, hanya mendekam di rumah masing-masing.

Di seluruh penjuru Amerika Serikat, pasar arcade sedang sekarat. Komunitas fighting game, yang banyak bergantung pada arcade, juga sama sekaratnya. Pada tahun 2002, Southern Hills Golfland yang biasanya digunakan sebagai arena pertarungan Battle By the Bay pun gulung tikar. Tapi Tom Cannon dan kawan-kawan tidak menyerah. Mereka ingin agar semangat kompetitif itu terus terjaga meski arcade center sudah punah. Sebagai penerus Battle By the Bay, mereka akhirnya mendirikan Evolution Championship Series (EVO).

Satu unsur penting dari EVO yang membedakan dari turnamen lain saat itu adalah adanya hari khusus untuk pertarungan delapan besar, alias “Top 8”. Setelah semua orang bertanding di pool/grup masing-masing, delapan petarung terkuat akan berkumpul di babak final, dengan pertandingan yang diyangkan pada layar besar atau proyektor. Semua hadirin bisa menonton pertandingan, menjadikan EVO acara yang jauh lebih menarik dari turnamen di arcade center dahulu kala. Pakem acara ini akhirnya menjadi standar yang digunakan banyak turnamen esports profesional hingga sekarang.

EVO di tahun 2002 tetap menggunakan mesin-mesin arcade cabinet sebagai platform kompetisi, tapi cara ini jelas memiliki keterbatasan. Selain masalah logistik (memindahkan begitu banyak cabinet butuh truk-truk besar), ketersediaan cabinet itu sendiri sudah semakin menipis. Akhirnya pada tahun 2004, EVO mengubah platform turnamen menjadi console, sebuah keputusan yang mendapat tentangan dari banyak pihak.

Memang masih ada game yang dipertandingkan dengan arcade cabinet asli, yaitu Street Fighter III: 3rd Strike karena versi console game ini dianggap tidak layak dimainkan secara kompetitif. Namun pada akhirnya perubahan tak bisa dihindari. Setinggi apa pun gairah kompetitif di akar rumput, komunitas fighting game pada akhirnya akan mati bila tidak ada gebrakan yang membuat popularitas genre ini meningkat kembali. Untungnya, dan tanpa disangka-sangka, pada EVO 2004 gebrakan itu terjadi.

Justin Wong dari Amerika. Daigo Umehara dari Jepang. Dua jagoan Street Fighter III: 3rd Strike, dari dua negara berbeda, dengan gaya permainan yang berbeda pula. Ketika mereka bertemu di final Losers’ Bracket EVO 2004, semua tahu mereka akan menyajikan pertandingan yang dahsyat. Tapi tidak ada yang menyangka, bahwa pertandingan ini kemudian menjadi salah satu momen paling ikonik dalam sejarah esports.

Daigo yang saat itu menjagokan Ken, sedang terdesak karena permainan Chun-Li milik Justin Wong yang ciamik. Nyawa miliknya sudah begitu sedikit sehingga satu special move apa pun akan membunuhnya meski ia bertahan, karena adanya sistem chip damage. Merasa di atas angin, Justin Wong melancarkan super combo bernama Houyokusen. Super combo yang terdiri dari 15 tendangan itu sudah pasti akan mengeliminasi Daigo, kecuali jika Daigo bisa melakukan parry 15 kali berturut-turut dan, entah bagaimana caranya, membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyat.

Daigo “The Beast” Umehara berhasil melakukannya.

Street Fighter IV, awal era renaisans

Momen comeback yang dilakukan Daigo Umehara pada tahun 2004 kemudian dikenal sebagai “EVO Moment #37”, dan menjadi viral di YouTube yang saat itu masih baru diluncurkan. Lucunya, nomor 37 dalam judul video tersebut sebetulnya tidak punya makna apa-apa. Ben Cureton, pencipta video tersebut, hanya asal menempelkan nomor untuk menunjukkan pada penonton bahwa momen heboh seperti itu tidak hanya ada satu, tapi banyak terjadi di EVO.

Popularitas EVO Moment #37 berhasil membuat komunitas fighting game bergairah kembali. EVO kemudian terus berjalan sebagai turnamen tahunan, bahkan menarik kontrak kerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar seperti Capcom dan Toyota. Sayangnya, ada satu hal krusial yang membuat EVO terasa stagnan di pertengahan tahun 2000-an. Tidak ada game baru dari Capcom.

Menuju tahun 2008, orang-orang sudah bosan menonton game lawas seperti Street Fighter III: 3rd Strike atau Marvel vs. Capcom 2. EVO memang sempat memasukkan beberapa game lain, misalnya Tekken 5, Super Smash Bros. Melee, bahkan Mario Kart. Tapi sejak awal pendiriannya, menu utama EVO selalu Street Fighter. Untungnya, Capcom paham akan “rasa lapar” para penggemar. Di EVO 2008, Capcom akhirnya memamerkan fighting game terbaru mereka, Street Fighter IV.

Street Fighter IV sangat signifikan di dunia fighting game, karena inilah sekuel sejati Street Fighter yang dinanti-nanti oleh para penggemar setelah sembilan tahun lamanya (Street Fighter III: 3rd Strike dirilis tahun 1999). Capcom juga merancang game ini agar mudah dimainkan, dengan menghilangkan mekanisme-mekanisme rumit yang dulu muncul di seri Street Fighter Alpha. Gameplay yang newbie-friendly ditambah kualitas visual 3D yang keren membuat Street Fighter IV sangat populer.

Street Fighter IV
Street Fighter IV memiliki gaya visual 3D yang unik | Sumber: Sony

Street Fighter IV menjadi angin segar yang ditunggu-tunggu komunitas fighting game. Suasana EVO kembali memanas. Dari tadinya hanya beberapa ratus orang di tahun 2008, jumlah kontestan EVO 2009 membludak hingga seribu orang lebih. Ingat, ini kontestan, bukan pengunjung. Seribu orang itu, semuanya datang sebagai peserta. Semuanya bertarung. Semuanya pecinta Street Fighter IV. Dan yang paling penting, seperti akar kompetitif fighting game di arcade center masa lampau, semuanya punya peluang untuk jadi juara.

Sejak meledaknya EVO dan Street Fighter IV, perusahaan-perusahaan penerbit fighting game seolah menyadari bahwa ternyata ada pasar yang besar di luar sana. Ada ribuan penggemar yang mencintai genre ini, dan rela berkumpul di satu tempat setiap tahun untuk merayakannya secara besar-besaran. Capcom, Nintendo, Arc System Works, dan Bandai Namco kini menjadi sponsor setia EVO, bahkan menjadikan EVO sebagai panggung untuk mengumumkan game baru atau konten baru untuk game yang sudah ada. Rekor terbesar EVO dipegang oleh Street Fighter V di tahun 2016, di mana game tersebut berhasil mendatangkan lebih dari 5.000 kontestan untuk memperebutkan gelar juara.

EVO telah mendorong dunia fighting game menjadi sebuah cabang esports profesional yang sustainable, tidak lagi dipandang sebelah mata. Bukan hanya Street Fighter, EVO terus melakukan rotasi game setiap tahunnya, sehingga tidak menutup kemungkinan game apa pun bisa mendapat exposure besar-besaran. Contoh terbaik adalah Super Smash Bros. Melee, meski usianya sudah 17 tahun tapi game ini masih menjadi salah satu turnamen dengan kontestan terbanyak di EVO 2018.

Developer game butuh penggemar, dan gamer butuh hiburan. Atlet esports butuh penghasilan, sementara sponsor butuh panggung. Semua aspek dari fighting game bertemu dalam EVO, mulai dari penonton, pemain, hingga korporat, menjadikan turnamen internasional tersebut sebuah simbiosis yang sangat kuat antara seluruh insan yang berkiprah di dunia fighting game. Kini EVO adalah “Mekkah-nya fighting game”. Siapa pun yang mencintai fighting game harus merasakan sendiri datang ke turnamen ini, paling tidak sekali seumur hidup.

Ada apa di luar EVO?

Seiring dengan tumbuhnya EVO, ekosistem fighting game di seluruh dunia juga ikut berkembang. Capcom, misalnya, mendirikan sendiri turnamen dunia bertajuk Capcom Cup pada tahun 2013, dilanjutkan dengan sirkuit global bernama Capcom Pro Tour mulai tahun 2014. Arc System Works juga mengusung game buatan mereka, yaitu seri Guilty Gear dan BlazBlue, dalam kompetisi global ArcRevo World Tour. Bandai Namco malah memiliki dua sirkuit global, yaitu Tekken World Tour dan Dragon Ball FighterZ World Tour Saga.

Menariknya, walau kini esports sudah berkembang pesat dan banyak turnamen di seluruh dunia, dunia kompetisi fighting game tetap tidak lepas dari ekosistem akar rumput. Semangat kompetisi terbuka seperti era arcade dulu, di mana siapa saja bisa bertarung dan keluar sebagai juara, hingga kini tetap dipertahankan. Karena itulah kompetisi fighting game global biasanya juga memiliki babak kualifikasi regional. Misalnya Abuget Cup di Indonesia yang merupakan bagian dari Capcom Pro Tour Asia, atau Dragon Radar Tournament di C3 AFA Jakarta yang merupakan bagian dari Dragon Ball FighterZ World Tour Saga.

Kazunoko - SEA Major
SEA Major 2018 adalah bagian dari Dragon Ball FighterZ World Tour Saga | Sumber: Bandai Namco

Seperti rumput yang tetap berdiri walau diinjak, komunitas fighting game adalah komunitas yang pantang menyerah. Mungkin kelebihan komunitas fighting game dibanding komunitas game lainnya, yaitu mereka adalah komunitas yang mau susah. Ketika tidak ada turnamen resmi, mereka mau mengadakan turnamen sendiri. Walau tidak populer, mereka tetap setia kepada game yang mereka sukai. Dan mereka dengan senang hati mau merogoh kocek untuk mewujudkan kecintaan mereka terhadap fighting game dalam wujud yang nyata.

Wajah-wajah dunia fighting game esports

Fighting game di tahun 2018 memang belum bisa dibilang mainstream, tapi keberadaannya sudah sangat kuat dan tampak masih akan terus tumbuh sehat. Indonesia pun, perlahan tapi pasti, mulai menunjukkan sejumlah prestasi di tingkat global. Siapa tahu dalam beberapa tahun ke depan akan muncul juara EVO dari Indonesia.

Berbicara tentang fighting game, tak lengkap rasanya bila kita tidak berkenalan dengan para tokoh yang berpengaruh besar di ekosistem ini. Tidak hanya atlet, fighting game juga banyak didukung oleh tokoh dari berbagai peran lain. Tanpa mereka, mungkin dunia fighting game tidak akan sebesar dan seseru sekarang. Berikut ini beberapa di antaranya.

Daigo Umehara

Daigo Umehara
Daigo Umehara | Sumber: Red Bull

Dikenal dengan julukan “The Beast”, Daigo Umehara meraih gelar juara nasional Street Fighter di Jepang pada usia 15 tahun, kemudian menjadi juara dunia dua tahun setelahnya. Daigo Umehara mungkin merupakan tokoh paling legendaris di komunitas fighting game. Selain sebagai pemain profesional, ia juga telah menulis berbagai buku, mendirikan clothing line bernama BEAST, dan tercatat di Guinness World Records sebagai atlet Street Fighter tersukses sepanjang sejarah.

Justin Wong

Justin Wong
Justin Wong | Sumber: Yahoo! Sports

Dalam EVO Moment #37, Justin Wong memang memainkan Street Fighter. Tetapi sebetulnya “wilayah kekuasaan” Justin Wong adalah Marvel vs. Capcom. Di era Marvel vs. Capcom 2, Justin Wong berhasil menjadi juara EVO sebanyak tujuh kali. Sempat terpuruk di era Marvel vs. Capcom 3, ia akhirnya mengklaim kembali takhtanya di EVO 2014, dan hingga kini tetap dihormati sebagai salah satu pemain fighting game terbaik dunia.

Knee

Knee
Knee | Sumber: ESPN

Atlet asal Korea Selatan ini telah memainkan Tekken sejak seri pertama di tahun 1994 dulu. Kini, Knee dikenal sebagai pemain Tekken terbaik di dunia, namun karier profesionalnya sendiri baru dimulai sejak era Tekken 5. Uniknya, nama “Knee” ia pilih karena dua karakter andalannya yaitu Bryan dan Bruce punya banyak serangan yang menggunakan lutut. Nama asli Knee sendiri adalah Bae Jae Min.

SonicFox

SonicFox
SonicFox | Sumber: XGames

Pemuda berbakat yang selalu tampil mengenakan topi serta buntut rubah berwarna biru. Dominique McLean alias SonicFox adalah raja fighting game bikinan NetherRealm Studios, yaitu seri Mortal Kombat dan Injustice. Tapi SonicFox juga memainkan game lain seperti Street Fighter V atau Skullgirls, dan selalu memberikan permainan level tinggi di game apa pun yang dipilihnya. Beberapa waktu lalu, SonicFox meraih gelar juara EVO 2018 untuk game Dragon Ball FighterZ.

Tom & Tony Cannon

Tom & Tony Cannon
Tom & Tony Cannon | Sumber: US Gamer

Dua bersaudara pencetus pembentukan EVO, mereka adalah pilar komunitas fighting game dari balik layar. Selain mendirikan kompetisi tahunan fighting game terbesar di dunia, mereka juga mendirikan situs Shoryuken.com, serta menciptakan middleware bernama GGPO yang berfungsi sebagai penyedia fitur online match dalam fighting game. GGPO sekarang telah digunakan di berbagai fighting game komersial, termasuk Skullgirls, Killer Instinct, dan Street Fighter III: 3rd Strike Online Edition.

James Chen

James Chen
James Chen | Sumber: Red Bull

Bukan atlet profesional, James Chen adalah seorang komentator dan shoutcaster yang berperan besar dalam membesarkan komunitas fighting game di Amerika Serikat, termasuk ikut berperan membesarkan EVO. Bila Anda menonton EVO, besar kemungkinan Anda akan mendengar suara James Chen di dalam narasinya. Di luar kegiatannya sebagai shoutcaster, James Chen juga banyak membuat tutorial di situs Shoryuken.com ataupun di channel YouTube miliknya sendiri.

Maximilian Dood

Maximilian Dood
Maximilian Dood | Sumber: Heightline

YouTuber yang juga bermain secara kompetitif, Maximilian Dood terkenal sebagai kreator konten seputar fighting game yang sangat lengkap. Mulai dari tutorial, info game terbaru, hingga sejarah genre ini. Maximilian telah bekerja sama dengan Square Enix untuk membuat tutorial Dissidia Final Fantasy NT, dengan Bandai Namco untuk membuat tutorial Dragon Ball FighterZ, dan lain-lain.

Komunitas fighting game adalah kendaraan lapis baja berbahan bakar passion. Di tengah beragam kontroversi, praktik bisnis yang penuh DLC, bahkan tanpa adanya dukungan dari penerbit resmi, komunitas ini tetap menolak untuk mati. Itulah yang membuat dunia fighting game punya keindahan tersendiri. Anda pun, jika sudah “tercebur” ke dalamnya, pasti tidak bisa dan tidak mau pergi keluar. Tertarik untuk masuk ke komunitas ini?

Indonesia’s Fighting Game Esports: Excluded yet Refused to Die

We can say that 2018 is a year of esports awakening in our homeland, and esports itself actually has a lot of game genres from MOBA (Multiplayer Online Battle Arena), FPS (First Person Shooter), Battle Royale, Sports, Fighting, CCG/TCG (Collectible Card Game / Trading Card Game), Racing, and many more.

In the unfortunate fact, this awakening is spreading uneven between all genres. MOBA is the most played games thanks to Mobile Legends and Dota 2. Fighting game is one of esports genres that one could say is still marginalized.

We’ll discuss about other genres some other time, as for this time I’ve invited Co-Founder Advance Guard Bramanto Arman, a figure of fighting games, to share his story.

Bram Arman (left). Source: Advance Guard
Bram Arman (left). Source: Advance Guard

For those who are unaware of the esports world, Advance Guard is an icon of fighting game esports in Indonesia. When many are doing MOBA, Bram with the Advance Guard are raising this genre keenly since this icon was established in 2012.

According to Bram, Advance Guard is a place for fighting game community to gather. Tekken community, for example, which is mostly from IndoTekken, and Street Fighter which is mostly from IndoSF.

Thanks to their hard work and persistence, several tournaments conducted by Advance Guard have successfully claimed an official certificate from CAPCOM (for Street Fighter series) and Bandai Namco (for Tekken series) as a qualification tournament at international level.

Indonesia representations who would like to compete in CAPCOM Pro Tour and Tekken World Tour have to participate in the tournament conducted by Advance Guard first.

Of course, those achievements cannot be taken lightly anymore, in fact, there’s no any other higher authority than them in the world of Indonesia’s fighting game esports.

Let’s take a look at our talks.

Source: Advance Guard
Source: Advance Guard

Esports fighting game popularity in Indonesia

As I said before, esports fighting game in Indonesia is lack of an exposure, and Bram knew it.

“The exposure is lower than any other popular games with a huge number of player base in Indonesia,” said Bram. He added that this happened because of the game’s factor.

Bram explained that esports games enthused among Indonesian players are the addictive freemium games so that players might forget oneself and shop at the in-app purchase.

“Eventually, they saw many Indonesian players playing those games and created a big event from that. The games are Mobile Legends, AoV and PUBG Mobile.”

Meanwhile, for PUBG (PC), Bram sees a place that possibly can accommodate the gamers, like various types of iCafe. Therefore, many gamers can try the game without having to buy it; they only need to pay the bill at the iCafe. It has also happened to Dota 2.

Source: Advance Guard
Source: Advance Guard

Esports fighting game popularity outside the country

If esports figthing gamepopularity in Indonesia is low, how about in the other countries?

Bram said that people in another country were also showing low interest in fighting game esports, compared to any other popular games and one of the biggest esports fighting game events in the world, EVO, also began from the same story.

They initially conducted an event for the community full of passion. As the development of esports, however, now EVO is on the same level as most esports events having their match in a stadium with festive production, and get a lot of sponsors.

Thanks to EVO’s struggles, many big EOs that didn’t even go near fighting games before began to take interest in it.

Bram then added that fighting game esports should actually be popular as people would be easier to enjoy the games even if they’re newcomers, and I personally agree. As if we compare it to a MOBA match, we wouldn’t really enjoy watching the match if we didn’t even play and understand the game itself, while fighting game is an easily watchable game even for newcomers.

Source: VG274
Source: VG274

Outside the country, fighting game esports are way bigger than here, despite its lack of popularity. Bram told us about his experience visiting REV Major, the biggest fighting game tournament in Philippines, and he saw great enthusiasm not only from players but also from audiences willing to come even if the tickets were quite pricy.

Even fighting game esports has gotten some supports from several celebrities like the wrestlers Kenny Omega and Saviour Woods, as well as the American rapper Lupe Fiasco.

Advance Guard’s struggle on keeping Indonesia’s fighting game esports alive

The question is with the lack of popularity, why Bram and Advance Guard are willing to stay and fight for this esports? Why they just don’t shift to another popular game like most Event Organizers (EOs)?

“Because our approach is different,” Bram answered straightforwardly.

“It’s a fact that other EOs are mostly commercial, so they’re looking for mature markets, while I come from and for the community. So, I’m fighting for the community to keep them alive. It’s indeed hard and difficult as we’re lacking support compared to other popular game.

Most people think that watering barren land is useless; it’s better to harvest fruit that’s there,” he said figuratively. Bram chose to keep on watering the barren land until a leaf is finally growing, and so he does because of his love to fighting games.

Source: Polygon
Source: Polygon

The result shows now how Advance Guard has its own identity and stand as the icon of fighting game esports. They started from a small scale of a community and now become the international benchmark.

That said, from the business side, Bram admitted that Advance Guard’s journey was far from other EOs who were prefer working on popular games to get more profit.

According to him, big EOs from other countries usually collaborate with those used to the field concerned and it happens in Malaysia, Philippines, and Thailand.

“That is the ideal way of working on an esports. Meanwhile here, sometimes we don’t really get along and fight over some sweets instead… Hahaha,” said Bram joking.

The things esports fighting game in Indonesia needs

What are the things that Indonesia’s fighting game esports needs?

First of all, in terms of exposure, there are still so many games and esports media that don’t cover fighting game esports events. “It tends to be covered only by some media that have their interest in fighting games. Most media would write about fighting game esports if it is a huge event. As I know, IGX (Indonesia Game Xperience) is one with the most writings about it.”

IEC Kratingdaeng 2018. Source: Advance Guard
IEC Kratingdaeng 2018. Source: Advance Guard

According to Bram, the readers of fighting game news are still segmented compared to the popular games. Whereas, on the other hand, many things can be brought up from fighting games, like national and international professional players.

Moreover, the players of fighting games from Indonesia are actually able to compete at the level of Southeast Asia. Bram told us that several times ago, Indonesia representation was taking home the trophy of BlazBlue Cross Tag Battle and BlazBlue Central Fiction competition in Philippines.

That said, to be able to successfully get achievement in Asia or even the world, Indonesia players still need a lot more practice. This achievement is yet worth a praise considering fighting game esports lacking of exposure and support.

Then how about the support for local esports organizations? Can it help develop fighting game esports? Given fighting game division of some esports organizations has not yet been much established.

Source: Advance Guard
Source: Advance Guard

“In my personal opinion, it might happen to be a boost of help; as long as there’s potential and passion from the players. Sponsors can give them a chance to compete abroad for some experience,” explained Bram.

He added, “Unavoidably, they need to compete abroad to raise their own standard.”

Recently, a fighting game player was invited to join Alter Ego and we might see the result from their teamwork later.

I then asked, what would happen if the players of fighting games also get monthly salary just as Dota 2 or Mobile Legends players? Would it help them achieve more?


Bram stated that now fighting game players had gotten their salary but just from a stream and it’s not much. “It’s a business after all. So I think we need to find a win-win solution for all.”

This condition is more suitable for those who’re still studying / a fresh graduate and have their passion in fighting games, and it won’t be as much suitable for those adult, as the career path might not be worth the pain.

The biggest problem of having a career in esports is parents’ concern and permission, as the prizes are not as high as MOBA games yet to make sure that their children would not live in despair in the future.

It is true that in the end it goes back to respective players to decide. If they are successful and can be on their own financially, they may be able to convince their parents to have a career in the esports world.

AMD Esports Fight! Championship 2018. Source: AMD
AMD Esports Fight! Championship 2018. Source: AMD

More to that, sponsors’ support for fighting game esports is indeed very valuable as well; a fighting game competition which was held by AMD (AMD eSports FIGHT! Championship 2018) is for an example.

“If all game tournaments can have similar prize pool as MOBA game tournaments, both business matter and a gap between esports stakeholders and players can be maintained. The point is that esports ecosystem needs to be in a stable condition first.”

The last thing Bram said was that fighting games need to be introduced properly for the sake of its esports’ upturn.

“I realize that Indonesia is far from that, compared to other Southeast Asia countries, like Malaysia, Thailand, or Philippines, they always have a spot for fighting games in an esports event.

For that matter as well, I would like to thank AMD who lets me and believes in me to manage their event.

Hopefully, fighting game esports’ ecosystem will gradually develop its various aspects. After all, fighting game esports is one of esports that people can enjoy because of its entertainment factor that is the most intriguing one, and has many outstanding local players,” said Bram.

That was our brief talk with Bram about fighting game esports’ ins and outs. Hopefully, the barren land managed wholeheartedly by Bram and Advance Guard as well as the community can turn into a wonderful garden where everyone can feel comfortable.

Don’t forget to like Facebook Fanpage Advance Guard for the newest information of fighting game esports.

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian.

Sambut Halloween di Street Fighter V dengan Sejumlah Kostum Baru Berikut

Presensi fighting game di dunia esports memang tak sebesar genre MOBA atau RTS, namun tetap mengalami perkembangan yang cukup signifikan selama beberapa tahun terakhir. Capcom yang merupakan developer seri Street Fighter berperan besar dalam hal ini. Merekalah yang menaikkan level kompetisi fighting game di seluruh dunia dengan seri kompetisi Capcom Pro Tour sejak tahun 2013.

Ramainya iklim esports juga membuat fighting game mengalami peningkatan popularitas. Street Fighter V yang menjadi judul andalan Capcom pun sampai sekarang terus mendapat update, baik berupa karakter, kostum, atau mode permainan baru. Street Fighter V sudah memasuki usia tahun ketiga, namun belum ada tanda-tanda Capcom akan menggantinya dengan game lain, Street Fighter VI misalnya.

Menyambut Halloween yang akan datang sebulan lagi, Capcom tak ketinggalan meramaikan dengan konten bertema horor. Kali ini mereka merilis tujuh kostum baru untuk karakter Guile, Falke, Kolin, Abigail, Chun-Li, Ed, dan Menat. Seperti yang sudah-sudah, kostum-kostum premium tersebut dijual dengan harga masing-masing US$3,99.

Street Fighter V | Urien
Urien dengan kostum Donovan | Sumber: Shoryuken

Dari ketujuh kostum tersebut, empat kostum pertama adalah kostum Halloween dengan desain orisinal. Sedangkan tiga sisanya merupakan cross-over dari seri Darkstalkers. Chun-Li mendapat kostum Morrigan, Ed berdandan sebagai Demitri, sementara Menat akan cosplay menjadi Felicia.

Sebelumnya, Capcom juga pernah merilis kostum Darkstalkers pada bulan April 2018 lalu. Saat itu tiga karakter yang kebagian jatah adalah Juri (kostum Lilith), Urien (kostum Donovan), dan Menat (kostum Khaibit). Ya, Menat memiliki dua kostum dari Darkstalkers. Bila Anda belum memiliki semuanya, Capcom menawarkan paket berisi keenam kostum Darkstalkers tersebut dalam Darkstalkers Bundle seharga US$14,99.

Street Fighter V | Halloween Bundle
Street Fighter V Halloween Bundle | Sumber: Shoryuken

Capcom juga menawarkan bundel Halloween bila Anda belum memiliki kostum dari Halloween tahun 2016 dan 2017. Bundel Halloween 2016 dijual seharga US$9,99 dengan isi tujuh kostum orisinal untuk Ryu, Cammy, Vega, Nash, Necalli, Alex, Juri, serta satu stage baru yaitu Spooky Arena. Bundel Halloween 2017 sedikit lebih murah, yaitu US$6,99, tapi hanya berisi kostum lima kostum untuk Dhalsim, M. Bison, F.A.N.G., Urien, dan Birdie.

Sumber: Shoryuken.