Fujifilm X-T4 Hadir di Indonesia, Usung IBIS & Layar Vari-angle

Setelah X-T200 dan X100V, Fujifilm kini telah resmi menghadirkan X-T4 di Indonesia. Kamera mirrorless flagship penerus X-T3 ini dibanderol dengan harga Rp26.999.000 untuk body only dan Rp32.999.000 dengan lensa kit XF 18-55mm F2.8-4 LM OIS. Rencananya penjualan Fujifilm X-T4 akan dimulai pada bulan April 2020.

Dari pantauan saya, saat ini X-T3 bisa didapat seharga Rp19.499.000 untuk body only dan kamera ini diakui memiliki kemampuan foto dan juga video yang mumpuni. Lalu, peningkatan apa saja yang dibawa oleh Fujifilm X-T4 dibanding pendahulunya?

fujifilm x-t4

Salah satu fitur utamanya adalah in-body image stabilization atau IBIS yang mampu mengurangi guncangan hingga 6,5 stop ketika menggunakan 18 dari total 29 lensa XF/XC Fujifilm dan sisanya mendukung 5 stop. Singkatnya untuk foto, keberadaan IBIS ini memungkinkan kita menekan nilai ISO dengan menggunakan shutter speed lebih rendah. Sementara, untuk video membantu kita memperoleh footage dengan pergerakan lebih stabil saat handheld.

Lebih lanjut, 5-axis image stabilization pada Fujifilm X-T4 ini menggunakan gaya magnet daripada pegas. Di mana ukurannya 30 persen lebih kecil, 20 persen lebih ringan, dan akurasinya diklaim 8 kali lebih baik dari IBIS milik X-H1.

Fujifilm X-T4 menggunakan sensor dan prosesor yang sama seperti X-T3 yang juga terdapat pada X-T30, X-Pro3, dan X100V. Adalah sensor gambar generasi keempat, BSI X-Trans CMOS 4 APS-C dengan resolusi 26MP dan X-Processor 4. Namun, X-T4 dilengkapi dengan mekanisme rana baru.

Fujifilm menyebutnya ‘ultra-fast focal plane shutter’. Singkatnya memberi kemampuan burst shooting 15fps dengan full autofocus dan auto exposure. Bila menggunakan electronic shutter akan mendapatkan 20fps atau 30fps dengan crop 1.25x. Rana baru tersebut juga memiliki memiliki daya tahan dua kali lipat dengan 300.000 gerakan dan 30 persen lebih tenang dibanding X-T3.

DSC02104

Dari segi fisik, tampilan X-T4 tampak identik seperti X-T3. Bedanya kini X-T4 memiliki mekanisme layar yang fully articulated yang sangat berguna untuk memastikan framing dan autofocus-nya tepat saat syuting seorang diri. Yang menarik, X-T4 tuas khusus untuk beralih ke mode still dan video.

Lalu, grip-nya kini sedikit lebih dalam sehingga lebih nyaman bila menggunakan lensa yang ukurannya besar. Serta, ada beberapa lagi penyesuaian lainnya seperti hilangnya port headphone. Sebagai gantinya bisa menggunakan port USB Type-C dengan dongle yang terdapat dalam paket penjualan.

DSC02102

Kamera ini menggunakan jenis baterai baru NP-W235 yang memiliki kapasitas sekitar 1,5 kali lebih besar dibanding NP-W126S. Sehingga sanggup menjepret hingga 500 sekali charge, bahkan 600 jepretan bila menggunakan mode ‘economy‘.

Buat pecinta mode film simulation, ada yang baru di X-T4 yakni Eterna Bleach Bypass. Alternatif untuk F-Log untuk mendapatkan footage cinematic langsung dari kameranya dengan saturasi rendah kontras tinggi. Kemudian yang baru lagi adalah dukungan perekam video slow motion 1080p pada 240fps.

Masih banyak lagi peningkatan dan fitur menarik pada Fujifilm X-T4 dan semoga saya bisa mendapatkan unit review-nya segera untuk mengulas secara lebih detail. Dalam acara ini, Fujifilm juga turut menampilkan X100V – kamera compact premium ini dibanderol Rp21.999.000.

 

[Review] Fujifilm X-A7, Asyik Buat Foto Maupun Ngevlog

Setelah sebelumnya me-review kamera mirrorless flagship foto sentris rasa analog Fujifilm X-Pro3, kali ini saya me-review kamera mirrorless X-A series terbaru; Fujifilm X-A7. Dua kamera ini jelas berbeda, dari desain, antarmuka, sampai pengalaman pengguna. Sebab yang satu ditujukan untuk fotografer pengalaman, satu lagi menyasar video content creator pemula.

Terus terang awalnya saya agak underestimate, tapi setelah mencoba dan sesi pertama saya memotret ‘my little girl‘ bermain. Satu hal yang saya sadari ialah kamera ini jelas tidak bisa diremehkan. Sebab sistem autofocus-nya kencang dan fitur eye/face detection cekatan dalam mengunci objek bergerak.

Harga Fujifilm X-A7 di Indonesia dibanderol sekitar Rp10-11 juta dengan lensa kit XC 15-45mm f3.5-5.6 OIS PZ. Berikut cerita review Fujifilm X-A7 selengkapnya.

Sensor 24MP Bayer Bukan X-Trans

Fujifilm X-A7 dengan sensor APS-C | Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Fujifilm X-A7 dengan sensor APS-C | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Saya sangat menikmati warna yang disajikan oleh film simulation pada Fujifilm X-Pro3 yang menggunakan sensor X-Trans. Di mana mampu menghasilkan foto dalam format JPEG yang matang sehingga secara signifikan mengurangi tahapan editing.

Pada Fujifilm X-A7, kamera mirrorless ini masih menggunakan sensor konvensional berdesain Bayer 24MP. Lalu, mode film simulation X-A7 tidak selengkap yang dimiliki X-Pro3 dan yang menjadi concern saya ialah apakah efeknya tetap bakal ‘seistimewa’ seperti yang disuguhkan sensor X-Trans?

Setelah rutin melakukan street hunting, hasil bidikan Fujifilm X-A7 mampu membuat saya tersenyum lebar. Meski tidak menggunakan sensor X-Tans, efek film simulation-nya masih cukup terasa. Foto yang ditampilkan sudah saya kurasi dan diambil menggunakan lensa kit XC 15-45mm f3.5-5.6 OIS PZ.

Mode film simulation yang tersedia ialah Provia, Velvia, Astia, Classic Chrome, PRO Neg. Hi, PRO Neg. Std, Monochrome (+ Y, R, dan G), serta Sepia. Efek film simulation terbaru seperti Acros, Classic Negative, dan Eterna tidak tersedia pada X-A7.

Desain & Sistem Kontrol

Beralih ke body-nya, Fujifilm X-A7 mengalami banyak perubahan desain dibanding pendahulunya seperti mekanisme layar baru dan penyesuaian tombol kontrol fisiknya. X-A7 mengemas layar 3,5 inci dengan mekanisme fully articulated, artinya harus ditarik terlebih dahulu ke sisi kiri sebelum bisa memutar layarnya sesuai kebutuhan.

Selain ukuran layar yang sedikit lebih besar, resolusinya juga meningkat menjadi 2,76 juta dot. Sebelumnya X-A5 memiliki layar 3 inci 1,04 juta dot yang bisa dilipat langsung 180 derajat ke atas. Dengan tingkat kecerahan maksimum 1.000 nit, memungkinkan memotret di bawah terik matahari tanpa kesulitan.

Bagian belakang Fujifilm X-A7 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Bagian belakang Fujifilm X-A7 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Seperti kamera Fujifilm anyar lainnya, X-A7 dibekali focus stick atau joystick menggantikan tombol d-pad navigasi empat arah. Ruang kosong tersebutlah yang memungkinkan Fujifilm menyematkan panel LCD lebih besar tanpa banyak memengaruhi dimensinya.

Ukuran body-nya masih cukup compact, punya dimensi 119x38x41 mm dengan bobot 320 gram dan 455 gram dengan lensa kit. Secara keseluruhan, desain X-A7 masih senada dengan X-A series lain, tanpa viewfinder electronic, punya hot shoe dan flash dengan mekanisme pop up.

Untuk sistem kontrol kameranya, Fujifilm X-A7 memiliki dua roda kontrol putar di bagian atas untuk mengatur shutter speed dan aperture. Pas awal otak-atik kamera ini saya sempat bingung bagaimana caranya mengatur ISO dengan cepat.

Setelah menelusuri lebih jauh, kamera ini memiliki satu tombol Fn fisik yang secara default fungsinya untuk merekam video dan dua tombol Fn virtual untuk mengatur white balance dan film simulation. Untuk kenyamanan memotret, saya mengganti fungsi tombol Fn fisik untuk mengatur ISO. Lalu untuk merekam video, bisa beralih ke mode video yang tersedia secara terpisah di menu drive.

Selain soal pengaturan ISO, sebetulnya salah satu aspek utama yang ditawarkan oleh Fujifilm X-A7 adalah kepraktisan penggunaan. Di mana X-A7 memiliki antarmuka kamera berbasis sentuhan yang simpel agar lebih mudah dikuasai oleh pengguna baru.

Antarmuka kamera Fujifilm X-A7 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Antarmuka kamera Fujifilm X-A7 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Smart menu disebutnya, Fujifilm merancang ulang tampilan menunya dan menyediakan shortcut ke sejumlah fitur essential. Seperti tap autofocus/area/shot, white balance, mode film simulation lengkap dengan preview-nya, focus mode (AF-S, AF-C, dan MF), portrait enhancer, exposure compensation, depth control, aspek rasio foto, dan quick menu.

Build quality-nya sudah cukup baik, body-nya terbuat dari paduan material metal dan plastik polikarbonat dengan lapisan kulit sintetis di sekelilingnya. Ukuran grip-nya memang tidak besar, tapi masih bisa ditoleransi.

Kelengkapan atributnya, bagian belakang didominasi oleh layar 3,5 inci dan hanya menyisakan sedikit ruang di sebelah kanannya untuk sepasang tombol (menu/ok dan disp/back) beserta joystick.

Bagian atas Fujifilm X-A7 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Bagian atas Fujifilm X-A7 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Bagian atas terdapat roda kontrol bersama tombol Fn di tengahnya, yang secara default untuk mengatur shutter speed. Lalu, ada tombol on/off, mode pengambilan gambar, roda kontrol bersama tombol rana untuk mengatur aperture, shot shoe, dan pop up flash. Port micro HDMI dan USB Type C berada di sisi kanan, serta tuas untuk membuka flash dan port microphone 2,5mm di kiri.

Baterai yang digunakan berjenis NP-W126S, slot-nya berada di bawah bersama kartu SD. Bagian terbaiknya, X-A7 bisa diisi ulang menggunakan charger Type-C smartphone dan menurut CIPA mampu memberikan 270 jepretan sekali charge.

Kemampuan Foto & Video

Bagian depan Fujifilm X-A7 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Bagian depan Fujifilm X-A7 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Fujifilm X-A7 mengandalkan sensor CMOS APS-C 24MP berdesain Bayer. Sensor yang diusung X-A7 memiliki jumlah titik phase-detection autofocus 8,5 kali lebih banyak daripada sensor milik X-A5 yakni 425 titik.

Unit yang saya review punya rentang ISO 200-12800 yang bisa diperluas hingga 25600. Foto bisa disimpan dalam format JPEG kualitas fine atau normal dan Raw dalam opsi aspek rasio 4:3, 3:2, 16:9, dan 1:1.

Selain mode film simulation yang khas, X-A7 dijejali beberapa mode pengambilan gambar. Selain mode manual, aperture priority, shutter priority, dan program AE, terdapat juga mode motion panorama, night, sport, landscape, portrait, portrait enhancer, advanced filter, dan advance sr auto.

Kamera ini didukung kapabilitas memotret beruntun 6 fps dengan continuous autofocus. Bisa dibilang agak pelan dan buffer-nya juga terasa =pendek. Beberapa kali saya kehilangan momen, karena kamera tak mampu lagi memoret.

Lensa kit Fujifilm X-A7 | Photo by Lukman Azis
Lensa kit Fujifilm X-A7 | Photo by Lukman Azis

Lensa Fujinon XC 15-45mm F3.5- 5.6 OIS PZ akan memanjang saat digunakan, meskipun terbuat dari plastik tapi kualitas hasil fotonya dapat diandalkan. Tentu saja, Anda bisa memasangkan X-A7 dengan lensa fix Fujifilm yang cukup beragam pilihan focal length dan harganya.

Kamera dapat disambungkan ke smartphone melalui aplikasi Camera Remote menggunakan konektivitas Bluetooth dan WiFi. Bahkan mendukung fitur auto transfer sehingga otomatis mengirim foto-foto yang diambil.

Mekanisme layar yang fully articulated, serta ukuran lebih besar dan resolusi lebih tinggi – membuat X-A7 menjadi kamera yang ideal untuk bikin konten video. Benar saja, kemampuan perekaman videonya sanggup merekam 1080p hingga 120fps dan mencapai 4K 30fps tanpa crop dengan bit rate 200Mbps, bukan lagi 4K 15 fps seperti pada X-A5.

Perlu dicatat, durasi rekaman 4K dibatasi sampai 15 menit dan tidak didukung fitur F-Log untuk fleksibilitas editing warna. Lalu, port microphone eksternal 2,5mm – artinya bakal butuh adapter ke 3,5mm.

Verdict

Fujifilm X-A7 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Fujifilm X-A7 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Sebagai kamera foto, Fujifilm X-A7 sangat dapat diandalkan. Mode film simulation yang kece dan menawarkan kemudahan kontrol lewat tombol fisik dan layar sentuhnya. Menurut saya, Anda tinggal membeli lensa fix Fujifilm sebagai pelengkap experience dan focal length-nya sesuaikan dengan kebutuhan.

Untuk keperluan video, buat content creator awal jelas sangat mencukupi. Namun buat yang channel-nya sudah jalan dan fokusnya ingin meningkatkan kualitas konten, maka saya lebih merekomendasikan Fujifilm X-T30. Bila terpaksa butuh layar yang bisa ditarik ke depan, X-T200 juga telah tiba di harga Rp13 juta.

Sparks

  • Layar 3,5 inci dengan mekanisme fully articulated
  • Kinerja AF cepat dengan 425 titik
  • Perekam video 4K 30fps dan 1080p hingga 120fps

Slacks

  • Burst shooting hanya 6fps
  • Mode film simulation terbatas
  • Kena tanggung, posisinya terlalu dekat dengan X-T200

Fujifilm X100V Usung Sensor dan Lensa Baru, Plus Touchscreen

Fujifilm meluncurkan kamera compact premium terbarunya, X100V. Iterasi kelima seri X100 ini hadir membawa sejumlah pembaruan yang cukup signifikan selagi masih mempertahankan elemen-elemen khas yang membuatnya populer selama ini.

Yang pertama, X100V mengemas sensor APS-C X-Trans CMOS 4 beresolusi 26 megapixel, sensor yang sama seperti yang tertanam pada Fujifilm X-T3 maupun X-Pro3. Sensor berdesain backside-illuminated tersebut turut didampingi oleh X-Processor 4 yang menjanjikan dongkrakan performa, tidak terkecuali untuk urusan autofocus dan face/eye detection.

Sudah menjadi ciri khas seri X100 sejak generasi pertamanya dan tidak pernah diubah adalah lensa fixed 23 mm f/2. Di X100V pun masih demikian, akan tetapi Fujifilm telah membenahi rancangan optiknya supaya lebih cekatan mengunci fokus dari jarak dekat, serta dapat menghasilkan gambar yang lebih tajam di bagian ujung frame.

Fujifilm X100V

Selanjutnya, X100V rupanya tidak luput dari tren yang dijalani Fujifilm belakangan ini, yakni memperbaiki kapabilitas video secara drastis. Benar saja, X100V mampu merekam dalam resolusi maksimum 4K 30 fps, atau 1080p 120 fps untuk efek slow-motion. Fuji bahkan tak lupa menyematkan mode F-log sehingga videografer bisa menerapkan color grading secara manual selama menyunting.

Elemen khas lain seri X100 adalah hybrid viewfinder (optik dan elektronik). X100V tentu masih mempertahankannya, akan tetapi juga menyempurnakan viewfinder elektroniknya lewat panel OLED beresolusi 3,69 juta dot, bukan lagi panel LCD seperti sebelumnya. Di bawahnya, ada LCD yang kini sudah merupakan touchscreen dan bisa di-tilt dua arah.

Fujifilm X100V

Lucunya, Fujifilm mengklaim bodi retro X100V weather resistant, tapi hanya ketika dipasangi adapter ring AR-X100 dan protection filter PRF-49. Keduanya merupakan aksesori opsional, jadi bisa dibilang weather resistance-nya pun opsional, sebab lensanya masih membutuhkan proteksi ekstra.

Fujifilm X100V rencananya bakal mulai dipasarkan pada akhir Februari mendatang seharga $1.400. Naik $100 dari iterasi sebelumnya (X100F), tapi peningkatannya juga signifikan mengingat selisih umurnya tiga tahun.

Sumber: DPReview.

[Review] Fujifilm X-Pro3; Kamera Mirrorless Modern Rasa Analog

Fujifilm X100f sejauh ini masih menjadi kamera idaman yang membuat banyak para fotografer penasaran, termasuk saya. Tak diragukan lagi, kamera ini mampu menciptakan foto menawan dengan user experience yang unik.

Meski begitu Fujifilm X100f bukanlah untuk semua orang, ini bukan kamera mainstream yang menawarkan fungsi hybrid foto dan video. Sebaliknya, Fujifilm X100f merupakan kamera compact premium, tidak bisa gonta-ganti lensa, dan ditujukan untuk fotografer genre tertentu.

User experience unik pada Fujifilm X100 series juga terdapat pada Fujifilm X-Pro series. Fungsinya lebih luas sebagai kamera interchangeable-lens, bahkan X-Pro3 lebih totalitas. Saya sudah menggunakan kamera ini sekitar tiga minggu dan explore street photography, berikut cerita review Fujifilm X-Pro3 selengkapnya.

Hybrid Viewfinder dan Dual Screen

Bila dibandingkan dengan X100F dan pendahulunya X-Pro2, X-Pro3 ini lebih totalitas. Sebab selain mewarisi hybrid viewfinder tipe optical dan electronic, perubahan besar yang terjadi pada X-Pro3 ialah penggunaan dual screen. Di mana panel LCD utamanya menghadap ke belakang dan perlu dibalik untuk menggunakannya. Sementara, layar yang di depan menggunakan teknologi E Ink berwarna berukuran 1,28 inci.

Ada dua mode informasi yang tampil di sepotong layar ini, pertama setelah melepas pasang baterai kamera, maka yang tampil ialah info lokasi SD card di slot satu atau dua, estimasi jumlah foto yang bisa diambil dari sisa kapasitas SD card, dan level baterai. Lalu, setelah digunakan memotret, layar sekunder akan menampilkan informasi white balance, film simulation yang dipilih, dan ISO.

Bentuk jendela bidiknya bulat dan ukurannya cukup besar, dengan panel OLED beresolusi 3,69 juta dot yang nyaman dan jelas saat digunakan bahkan bagi saya yang menggunakan kaca mata. Di samping kiri terdapat roda diopter adjustment, jadi kita bisa melepas kaca mata dan menggeser fokus lensa viewfinder agar sesuai dengan kondisi spesifik mata kita. Untuk beralih dari viewfinder optical ke electronic atau sebaliknya, ada tuas khusus yang berada di samping kanan mount lensa.

Unit review Fujifilm X-Pro3 saya berpasangan dengan lensa Fujinon XF 35mm f/2 R WR yang mana 53.5mm equivalent di full frame (35mm). Saat memotret menggunakan viewfinder optical, area pemotretannya tidak begitu lebar. Hasilnya akan lebih sempit lagi bila menggunakan lensa 50mm (75mm equivalent di sensor 35mm) dan sebaiknya beralih ke jendela bidik electronic.

Layar sentuh 3 inci beresolusi 1,62 juta dot bisa digunakan setelah kita membaliknya setengah 90 derajat atau sepenuhnya ke bawah 180 derajat. Ini adalah perubahan besar yang sangat berani, saya yakin kebanyakan fotografer saat ini sangat bergantung pada layar untuk framing atau mencari komposisi saat memotret.

PSX_20200129_182912

Fujifilm tampaknya ingin mendorong para pengguna X-Pro3 menggunakan jendela bidik. Terus terang, awalnya saya agak frustrasi. Sebab, kita membutuhkan layar ini untuk preview hasil foto dan video, serta menjelajahi dan menyesuaikan pengaturan kamera lebih lanjut.

Di sisi lain, saya juga mendapatkan pengalaman menyenangkan saat memotret menggunakan jendela bidik dan seolah muncul kebanggaan tersendiri. Walaupun saya mengaku tidak sepenuhnya bisa lepas dari penggunaan layar untuk framing.

Perlu dicatat juga, memotret menggunakan jendela bidik ini bisa dilakukan dengan memegang kamera pada posisi normal pada ambang batas mata atau ‘eye-level position’. Untuk low angle bisa jongkok dan tiarap atau cara yang lebih praktis menggunakan layarnya, sedangkan untuk high angle hanya bisa mengandalkan ‘feeling‘.

Desain dan Sistem Kontrol

Fujifilm X-Pro3 mengusung desain bergaya rangefinder retro seperti halnya kamera analog jaman dulu, tampil artistik dan unik. Dimensi body-nya agak bongsor dan mungkin terlalu mencolok untuk street photography.

Build quality-nya sangat baik, pelat atas dan bawahnya kini terbuat dari bahan titanium. Kamera ini juga tersedia dalam varian dengan lapisan khusus Duratect yang memiliki ketahanan lebih baik terhadap goresan.

Ukuran grip-nya minimalis, ada di depan dan belakang. Kita masih memungkinkan memotret pakai jendela bidik, baik dalam posisi vertikal atau portrait dengan nyaman menggunakan satu tangan. Dengan catatan, sebaiknya menyempatkan tali kamera di leher. Sebab, bobot kamera ini tidak ringan dan takut selip saat tangan berkeringat.

Photo by Lukman Azis/ Dailysocial
Photo by Lukman Azis/ Dailysocial

Sekarang saya akan bahas sistem kontrol kamera ini. Sebelumnya saya sudah me-review Fujifilm X-T30, jadi harusnya sudah cukup akrab dengan sistem kontrolnya. Setelah saya jemput kamera ini di kantor Fujifilm Indonesia, hal pertama yang dilakukan adalah mempelajari kontrol manual segitiga eksposur dan saya tidak menemukan cara untuk mengatur ISO secara manual.

Saya sampai tanya-tanya untuk mengetahui bahwa roda kontrol putar shutter speed berfungsi ganda. Ada ring yang bisa ditarik ke atas dan putar untuk mengatur nilai ISO yang pada saat itu berada di mode A atau otomatis.

Satu lagi yang agak menggelikan, bagaimana cara merekam video menggunakan kamera ini? Ya, X-Pro3 tidak memiliki roda kontrol mode pengambilan gambar dan juga tanpa tombol rana video. Setelah mengubek-ubek, ternyata mode perekam videonya tersembunyi di tombol drive.

Setelah dua hal tadi terpecahkan, saya masih harus berjuang beradaptasi memotret menggunakan viewfinder dengan kontrol manual segitiga eksposur. Saya ingin menekan nilai ISO sekecil mungkin untuk mendapatkan kualitas bidikan terbaik yang berujung pada terlalu sibuk sendiri.

Akhirnya saya ambil jalan tengah, untuk foto yang melibatkan orang-orang saya cenderung menggunakan ISO otomatis dengan sedikit penyesuaian pada shutter speed dan aperture sesuai kondisi cahaya. Sementara, untuk foto arsitektur atau landscape menggunakan layar dan kontrol manual penuh.

Mengenai kelengkapan atributnya, di bagian atas terdapat hot shoe, roda kontrol putar shutter speed dan juga ISO, roda kontrol putar exposure compensation, tombol Fn, dan tombol rana bersama tuas on/off.

Lanjut, di sisi kanan ada dua slot SD card yang mendukung UHS-II. Lalu, di sisi kiri terdapat port USB 3.1 Gen 1 Type-C untuk mengisi daya dan port mikrofon 2.5mm. Baterai di sisi bawah, menggunakan tipe NP-W126S 8.7Wh yang menurut CIPA mampu melepaskan 370 jepretan menggunakan viewfinder electronic dan melonjak 440 jepretan bila menggunakan viewfinder optical.

Bagian depan kamera ada mount lensa dan tombol untuk melepas lensa, tuas untuk beralih ke mode single autofocus, continue autofocus, dan manual fokus. Serta, tombol Fn2 bersama tuas untuk beralih jenis viewfinder.

Sementara, bagian depan selain viewfinder dan layar terdapat focus stick atau joystick untuk menentukan titik fokus terutama saat memotret menggunakan viewfinder dan bisa juga digunakan untuk navigasi. Kemudian ada tombol drive/delete, tombol AE-L/AF-L, roda putar yang secara default untuk mengatur shutter speed, menu/ok, play, disp, Fn3, dan tombol Q atau quick menu. Default-nya quick menu menampilkan 16 shortcut dan Anda bisa mengubahnya menjadi 12, 8 atau 4 di pengaturan.

Kemampuan Foto

Fujifilm X-Pro3 mengusung sensor gambar generasi keempat, BSI X-Trans CMOS 4 APS-C dengan resolusi 26MP dan prosesor X-Processor 4 yang sama seperti yang ada di body flagship Fujifilm X-T3. Hasil fotonya dapat disimpan dalam format JPEG kualitas fine atau normal dan Raw uncompressed atau lossless compressed dalam aspek rasio 3:2, 16:9, atau 1:1.

Kamera ini mampu memotret beruntun 11 fps dan sistem phase detection autofocus-nya dapat bekerja di level cahaya rendah -6 EV. Performa fitur face/eye detection-nya konsisten untuk membantu menangkap portrait yang sempurna dan yang baru ada fitur AF range limiter, di mana kita menentukan sendiri jarak autofocus-nya misalnya 2 atau 5 meter.

Saya pernah berbincang seru dengan seorang tour guide, salah satu alasannya menggunakan kamera Fujifilm ialah karena resep film simulation-nya. Di mana hasil foto JPEG-nya memiliki warna yang sangat bagus sehingga memungkinkan untuk langsung mengirimnya ke klien dan hanya perlu sedikit sentuhan editing.

Saya setuju, mode film simulation ini mampu menyajikan warna yang khas, unik, dan mampu mengeluarkan ekspresi lebih kuat dibandingkan dengan picture style standar pada kamera lain. Meski kembali lagi pada selera, karena mungkin bagi sebagian orang sedikit berlebihan.

Fujifilm menambahkan efek film simulation baru bernama Classic Neg. dengan warna yang kontras untuk menambah kedalaman foto. Totalnya kini ada sebelas mode film simulation, dari Provia (standard), Velvia (vivid), Astia (soft), Classic Chrome, PRO Neg. Hi, PRO Neg. Std, Eterna buat yang suka foto ala cinematic, Acros dan Monochrome dengan opsi STD, Ye, R, dan G, serta Sepia untuk dengan nuansa jadul.

Meski saya sangat menikmati warna yang disuguhkan oleh mode film simulation tersebut, semua aktivitas memotret juga saya simpan dalam format Raw. Dengan bit depth 14 bit dan pilih tanpa kompresi kita bisa menangkap warna dan gradasi terang gelap yang lebih kaya, bisa bermain-main dengan Lightroom dan meningkatkan lagi kualitas foto kita.

Selain penambahan efek baru di mode film simulation, Fujifilm juga menyempatkan mode pengambilan foto baru yakni mode HDR. Fitur ini sudah hadir di kamera smartphone, tapi merupakan hal baru untuk kamera mirrorless.

Cara kerjanya kamera akan mengambil gambar secara beruntun sebanyak tiga kali, lalu kemudian menyelaraskan dan menggabungkan menjadi satu file JPEG dengan rentang dinamis tinggi. Misalnya akan bermanfaat pada saat memotret sunset atau sunrise, di mana kamera akan mengangkat bayangan dan memulihkan sorotan terang langsung dari kamera.

Perekam Video

Kamera ini jelas tidak dirancang untuk videografi. Jadi meski kita mendapatkan kualitas foto yang identik seperti X-T3, namun X-Pro3 tidak dibekali fitur-fitur video sebaik X-T3.

Sebagai pembanding, X-T3 mampu merekam video 4K UHD dan DCI 60fps dengan bit rate 400Mbps. Sementara, X-Pro3 hanya bisa merekam 4K UHD dan DCI pada 30fps dengan bit rate 200Mbps. X-Pro3 kehilangan kemampuan output video 10-bit 4:2:2 melalui HDMI, karena memang tak punya port HDMI.

Selain itu, mode perekam videonya terpisah dengan mode pengambilan gambar dan tersembunyi di menu drive. Fitur video lainnya X-Pro3 mampu merekam 1080p hingga 120fps, didukung film simulation, F-Log, face/eye detection, zebra, dan movie silent control.

Sebagai tambahan, kamera ini memiliki port mikrofon 2.5mm yang artinya Anda bakal perlu adaptor ke 3.5mm, dual slot SD card, dan hot shoe untuk menempatkan mikrofon atau flash. Namun perlu diingat, kita tidak bisa menggunakan layar utama tanpa membalik ke bawah dan layar akan mentok tidak lebih dari 90 derajat saat dipasang pada tripod atau gimbal.

Verdict

PSX_20200129_184400

Mekanisme layar baru pada Fujifilm X-Pro3 tampak seperti perubahan kecil, namun secara dramatis akan mengubah ‘kebiasaan’ cara memotret para penggunanya. Misalnya kebiasaan mengambil gambar lewat layar dan preview langsung setelah foto diambil.

Sebaliknya kita didorong untuk memotret melalui jendela bidik dan memperlakukan X-Pro3 layaknya kamera analog, yang mana hanya menawarkan jendela bidik untuk memotret dan tidak memungkinkan kita untuk preview hasilnya sampai film diproses.

Di sisi lain, kita bisa fokus memotret tanpa gangguan dan memeriksa hasil bidikannya di rumah lewat laptop. Setidaknya dengan sistem kontrol fisiknya, kita sudah bisa mengatur segitiga eksposur dan memilih film simulation. Meskipun untuk menyasuaikan white balance dan pengaturan lainnya tetap harus membuka layar.

Dari aspek fitur dan spesifikasinya, Fujifilm X-Pro3 adalah kamera modern rasa analog yang bisa dikatakan memiliki kemampuan setara dengan flagship kamera mainstream Fujifilm X-T3. Keterbatasan mekanisme layarnya membuatnya menjadi kamera yang terfokus untuk fotografi dan menawarkan pengalaman nostalgia seperti menggunakan kamera film lengkap dengan kontrol manualnya.

Sparks

  • Hybrid viewfinder, optical dan elecronic
  • Desain retro yang cantik
  • Film simulation mengurangi tahapan editing
  • Cocok sebagai kamera street photography
  • Perekaman video 4K 30fps
  • Pengisian daya lewat port USB Type-C

Slacks

  • Bukan kamera hybrid, kurang cocok untuk videografi
  • Mekanisme layar baru akan mentok saat dipasang tripod atau gimbal

Fujifilm X-T200 Lebih Ringkas, Lebih Kencang, dan Lebih Kapabel Dibanding Pendahulunya

Fujifilm baru saja meluncurkan X-T200. Kamera mirrorless kelas entry ini hadir membenahi sejumlah kekurangan milik pendahulunya, X-T100, dan di saat yang sama turut menghadirkan beberapa inovasi milik sepupunya, X-A7.

X-T200 mengusung sensor APS-C 24 megapixel yang sama seperti sebelumnya, akan tetapi Fujifilm telah menyempurnakan sistem perkabelannya sehingga ia dapat memproses data 3,5 kali lebih cepat. Jumlah titik phase-detection autofocus (PDAF) yang tersebar di penampang sensor juga bertambah drastis dari 91 menjadi 425.

Fujifilm X-T200

Secara keseluruhan, X-T200 menjanjikan kinerja yang lebih baik, termasuk performa sistem eye detection yang lebih baik, maupun peningkatan kecepatan burst shooting dari 6 fps menjadi 8 fps. Lebih lanjut, X-T200 juga jauh lebih kapabel soal perekaman video.

Resolusi maksimum yang didukung adalah 4K 30 fps, bukan lagi 15 fps seperti pada X-T100. Mode slow-motion 1080p 120 fps turut tersedia, tidak ketinggalan pula mode Electronic Stabilization untuk membantu menstabilkan video via gyroscope, serta mode HDR Video.

Fujifilm X-T200

Secara fisik, X-T200 masih mempertahankan desain ala DSLR, akan tetapi ergonominya bisa ditingkatkan lagi berkat hand grip yang tak lagi berwujud aksesori opsional seperti sebelumnya. Meski mengemas hand grip yang cukup gemuk, bobotnya ternyata 80 gram lebih ringan ketimbang X-T100 di angka 370 gram.

Viewfinder elektroniknya tentu masih ada, dan masih dengan spesifikasi yang sama. Yang berubah justru adalah layar sentuhnya, yang kini memelar ukurannya menjadi 3,5 inci dan tak lagi menyisakan ruang untuk tombol empat arah. Sebagai gantinya, ada joystick kecil di sisi kanan layar fully-articulated ini, persis seperti X-A7.

Fujifilm X-T200

Fujifilm X-T200 rencananya akan dilepas ke pasaran mulai akhir Februari mendatang seharga $700 (body only), atau $800 bersama lensa XC 15-45mm f/3.5-5.6. Pilihan warna yang tersedia masih sama seperti sebelumnya, yakni Silver, Dark Silver, dan Champagne Gold.

Sumber: DPReview.

Firmware Update Sempurnakan Kompatibilitas Fujifilm X-T3 dengan Gimbal dan Drone

Reputasi Fujifilm di ranah kamera mirrorless tentu sudah tidak perlu diragukan lagi. Namun di saat pabrikan-pabrikan lain sudah sejak lama menawarkan kombinasi yang pas antara kapabilitas fotografi dan videografi, Fujifilm baru memulai tren tersebut tahun lalu, tepatnya ketika Fujifilm X-H1 dirilis.

Fujifilm X-T3 yang diluncurkan beberapa bulan setelahnya terus mempertahankan tren tersebut. Selain sangat cekatan dalam memotret, kemampuan merekam videonya pun turut menuai banyak pujian. Ya, kamera mirrorless Fujifilm akhirnya mulai dilirik kalangan videografer, dan sejumlah profesional di bidang ini bahkan tidak segan memakainya untuk kebutuhan komersial dengan bantuan sebuah gimbal.

Masalahnya, saat X-T3 dipasangkan ke gimbal seperti DJI Ronin S atau Ronin SC, skema kontrol via USB-nya jadi amat terbatas. Beruntung Fujifilm merupakan salah satu pabrikan yang paling peduli terhadap suara konsumen, dan mereka baru saja merilis firmware update untuk membenahi masalah tersebut.

DJI Ronin SC / DJI
DJI Ronin SC / DJI

Berkat firmware versi 3.10 ini, pengguna jadi bisa mengoperasikan lebih banyak fungsi selagi kamera tersambung ke gimbal atau drone via USB. Kalau sebelumnya mereka hanya bisa mengaktifkan tombol shutter, sekarang mereka akhirnya dapat memulai dan menghentikan perekaman video, tidak ketinggalan juga mengatur fokus secara manual.

Pengaturan parameter exposure untuk perekaman video juga dapat disesuaikan lewat kontrol pada gimbal atau drone. Jadi tanpa harus menyentuh kamera secara langsung, pengguna sudah bisa mengganti shutter speed, aperture, ISO maupun exposure compensation-nya. Singkat cerita, update ini bakal semakin memudahkan penggunaan X-T3 bersama gimbal atau drone.

Sumber: Cinema5D dan Fujifilm.

Fujifilm X-Pro3 Sembunyikan LCD-nya Demi Menghindarkan Pengguna dari Pengalih Perhatian

Fujifilm baru saja meluncurkan X-Pro3, hampir empat tahun sejak X-Pro2 dirilis. Melanjutkan tradisi seri ini, X-Pro3 kembali mengawinkan kecanggihan teknologi digital dengan elemen unik kamera analog. Pada X-Pro3, elemen unik yang dimaksud adalah pengalaman memotret tanpa ‘gangguan’ LCD.

Konsumen awam bakal dibuat kaget setelah melihat panel belakang X-Pro3. Bagian yang biasanya dihuni oleh LCD berukuran 3 inci justru ditempati oleh layar dengan dimensi jauh lebih kecil. Secara default, fungsi layar kecil itu juga amat terbatas, yakni menampilkan mode Film Simulation yang terpilih, ISO serta white balance.

Fujifilm X-Pro3

X-Pro3 pada dasarnya ingin mendorong penggunanya untuk lebih berfokus pada pengaturan komposisi via viewfinder ketimbang teralihkan perhatiannya. Viewfinder-nya sendiri masih mengadopsi model hybrid seperti sebelumnya, akan tetapi mode elektroniknya sudah di-upgrade menjadi panel OLED beresolusi 3,69 juta dot.

Saat dibutuhkan, layar kecil itu bisa dilipat ke bawah, dan barulah kita akan disambut oleh layar sentuh besar di baliknya. Terkesan aneh memang, namun seri X-Pro sejak dulu memang tergolong sangat niche, dan kalangan mainstream akan merasa lebih cocok dengan seri X-T.

Fujifilm X-Pro3

Soal spesifikasi, X-Pro3 bisa dibilang identik dengan X-T3. Sensor yang digunakan adalah X-Trans 4, model X-Trans pertama yang menganut desain backside-illuminated. Ukurannya sendiri masih setara sensor APS-C, dan resolusinya tercatat di angka 26 megapixel. Performanya pun semakin mumpuni berkat dampingan chip X-Processor 4 yang berinti empat.

Yang agak berbeda adalah kapabilitas videonya. Resolusi maksimum yang didukung X-Pro3 adalah 4K 30 fps, sedangkan X-T3 dilengkapi opsi untuk merekam video 4K 60 fps. Meski demikian, saya yakin ini bukan masalah besar bagi para peminat X-Pro3 yang hampir semuanya hanya mementingkan fotografi ketimbang videografi.

Fujifilm X-Pro3

Terkait fisiknya, X-Pro3 tidak kelihatan berbeda jauh dari pendahulunya. Desainnya masih terkesan retro seperti sebelumnya, akan tetapi pelat atas dan bawahnya kini terbuat dari bahan titanium ketimbang magnesium. X-Pro3 bahkan juga tersedia dalam varian dengan finish Duratect, teknologi surface-hardening yang dikembangkan oleh produsen jam tangan Citizen.

Fitur lain X-Pro3 mencakup dua mode Film Simulation baru (Classic Neg. dan Monochromatic), dua slot SD card (UHS-II), konektivitas Wi-Fi dan Bluetooth, serta port USB-C yang mendukung charging. X-Pro3 bakal segera dipasarkan seharga $1.800, atau $2.000 untuk varian Duratect-nya. Semuanya merupakan harga untuk bodinya saja, tidak termasuk satu pun lensa.

Sumber: DPReview.

Fujifilm Umumkan Printer Smartphone Instax Mini Link

Teknologi mobile photography berkembang pesat dari tahun ke tahun. Saat ini kebanyakan smartphone dibekali multi kamera dan deretan fitur berbasis AI, foto ‘berkualitas’ bisa didapatkan dengan sekali menekan tombol rana.

Setelah diambil ke mana hasil foto tersebut pergi? Biasanya beberapa foto yang terpilih akan di-upload ke media sosial dan apakah Anda berniat untuk mencetaknya?

Fujifilm-instax-mini-link

Kemarin Fujifilm Indonesia telah merilis printer smartphone terbarunya, yaitu ‘instax mini Link’ yang memungkinkan kita mencetak foto berkualitas secara langsung dari smartphone.

Don’t just take, give”, foto-foto yang kita ambil tidak memiliki makna lebih jika hanya disimpan secara pribadi. Link pun hadir lebih dari sekadar alat cetak saja, melainkan sebagai sebuah penghubung sekaligus sarana komunikasi untuk mencetak berbagai koleksi foto-foto di smartphone yang kemudian digunakan sebagai cara menyampaikan perasaan, ekspresi, dan kenangan.

Instax mini Link ini dibanderol Rp1.749.000 dan bisa didapatkan secara pre-order melalui Blibli.com mulai tanggal 4 – 13 Oktober 2019. Fujifilm juga mengadakan acara pameran di Kota Kasablanka dengan tema “Smart Way to Share”, mulai dari tanggal 3 hingga 13 Oktober 2019.

Printer smartphone ini akan tersedia dalam tiga pilihan warna, dusky pink, ash white, dan dark denim. Ketiga warna dipilih lantaran instax mini Link ditargetkan untuk pria dan wanita.

Ukurannya cukup ringkas, mudah dibawa bepergian. Cara memakainya juga sangat simple, pertama unduh dulu aplikasi instax mini Link – ada di Play Store maupun App Store. Setelah itu, hubungkan dengan smartphone melalui sambungan Bluetooth.

Fujifilm-instax-mini-link

Ada banyak fitur yang ditawarkan pada aplikasi instax mini Link, dari print mode, simple print, video print untuk mencetak frame atau adegan tertentu pada video, instax camera, fun mode, match test untuk mencocokkan kompatibilitas dengan teman atau orang terdekatnya, dan party print – di mana beberapa pengguna dapat mengirim foto favorit mereka, kemudian Link akan menggabungkannya dalam satu cetakan foto yang unik dan fun.

Untuk pertama kalinya, Fujifilm menghadirkan teknologi motion sensor pada instax mini Link. Fitur ini berguna untuk jika para pengguna akan mengambil foto dari aplikasi maka Link dapat digunakan untuk mengontrol kamera smartphone dari jarak jauh. Pengguna bisa melakukan zoom in dan zoom out hanya dengan memiringkan bodi Link ke atas atau ke bawah.

Printer ini menggunakan kertas instax mini film, jadi kualitasnya terjamin. Sekali charge, instax mini Link dapat digunakan untuk mengeprint foto hingga 100 kali print.

Fujifilm X-A7 Resmi Menyapa Pasar Indonesia

Selang dua minggu setelah diumumkan secara global, Fujifilm X-A7 resmi mendarat di pasar tanah air. Kamera mirrorless kelas entry ini ditujukan secara khusus bagi para kreator konten, vlogger maupun kalangan konsumen lain yang sekadar ingin meningkatkan kualitas fotografi mereka.

Wajar jadinya apabila Fujifilm Indonesia merasa perlu cepat memasukkan kamera ini ke dalam penawarannya. X-A7 sendiri juga mengusung sejumlah pembaruan yang cukup drastis jika dibandingkan pendahulunya, X-A5, sehingga titel “mirrorless for everyone” yang Fujifilm bubuhkan untuknya terdengar pantas saja.

Fujifilm X-A7

Fuji bilang bahwa sensor APS-C 24,2 megapixel milik X-A7 mampu membaca data dengan kecepatan lebih tinggi ketimbang sebelumnya. Titik phase-detection autofocus yang tersebar di penampang sensornya juga lebih banyak, dan ini sangat membantu kemampuan X-A7 dalam mengunci fokus secara cepat, bahkan ketika berada di lokasi yang minim pencahayaan.

Di sektor video, X-A7 siap merekam dalam resolusi paling tinggi 4K 30 fps. Dipadukan dengan layar sentuh yang dapat diputar secara bebas, kombinasi ini jelas membuahkan daya tarik tersendiri buat kalangan vlogger. Juga menarik adalah mode “Countdown Video” untuk membatasi durasi perekaman video (15, 30 atau 60 detik), yang pastinya ideal untuk menciptakan konten jenis Story di media sosial.

Fujifilm X-A7

Layar sentuhnya ini pun istimewa, bukan sebatas karena ukurannya yang besar (3,5 inci) dan resolusinya yang tinggi (2,76 juta dot), tapi juga berkat tingkat kecerahan maksimumnya yang mencapai angka 1.000 nit, yang berarti pengguna dapat melihat hasil jepretannya di bawah terik matahari tanpa kesulitan.

Pengoperasiannya pun banyak mengandalkan konsep “Smart Menu”, yang pada dasarnya merupakan tampilan interaktif pada layar yang dirancang untuk memudahkan para pengguna yang masih pemula. Fitur semi-otomatis, macam “Portrait Enhancer” yang akan menciptakan warna kulit (skin tone) yang alami dan seimbang di samping menyesuaikan fokus secara otomatis, tentunya juga bakal menarik perhatian para pemula, khususnya mereka yang gemar ber-selfie ria.

Fujifilm X-A7

Semua itu dihadirkan lewat bodi kamera yang ringkas, dengan bobot hanya 320 gram. Meski ringkas, baterainya diyakini cukup awet, siap menyuplai daya yang cukup untuk 440 kali jepret, dan di saat darurat, X-A7 juga dapat diisi ulang via sambungan USB-C layaknya ponsel.

Di Indonesia, Fujifilm X-A7 dijual seharga Rp 10.999.000, sudah termasuk lensa XC 15-45mm f/3.5-5.6 OIS PZ. Fujifilm juga tengah membuka program pre-order online secara eksklusif via Blibli.com yang membundel X-A7 bersama dengan printer portable Instax Share SP-3 dan SD card 32 GB dalam harga yang sama. Program ini berlangsung mulai 25 – 29 September 2019.

Fujifilm X-A7 Datang Membawa Desain Baru dan Perbaikan Performa Autofocus Beserta Video

Fujifilm baru saja merilis X-A7, anggota terbaru lini kamera mirrorless terbawahnya yang mengandalkan sensor konvensional ketimbang yang berteknologi X-Trans. Sebagai suksesor X-A5, X-A7 membawa cukup banyak pembaruan, mulai dari jeroan sampai ke fisik luarnya.

Kita mulai dari internalnya terlebih dulu. Sensor 24 megapixel yang diusung X-A7 merupakan sensor baru, dengan jumlah titik phase-detection autofocus 8,5 kali lebih banyak daripada sensor milik X-A5. Kapabilitas videonya juga meningkat pesat, kini sanggup merekam video dalam resolusi 4K 30 fps, bukan lagi 4K 15 fps yang bisa dibilang tidak berguna seperti sebelumnya.

Fujifilm X-A7

Beralih ke fisiknya, X-A7 mengemas desain baru yang, kalau menurut saya, lebih polished dan lebih elegan. Namun perubahan yang paling kentara justru ada di panel belakangnya, yang kini benar-benar didominasi oleh layar sentuh 3,5 inci, dan hanya menyisakan sedikit ruang di sebelah kanannya untuk sepasang tombol beserta joystick.

Ya, hampir semua pengoperasian X-A7 mengandalkan layar sentuh beresolusi 2,76 juta dot ini, dan Fujifilm tidak lupa merancang ulang tampilan menunya agar lebih mudah dikuasai oleh pengguna baru. Layarnya ini juga fully-articulating, yang berarti ia bisa ditarik ke sisi kiri dan diputar-putar sesuai kebutuhan.

Fujifilm X-A7

Fujifilm X-A7 rencananya akan dipasarkan mulai 24 Oktober mendatang. Di Amerika Serikat, harganya dibanderol $700, sudah termasuk lensa kit Fujinon XC 15-45mm f/3.5-5.6 OIS PZ, sedangkan pilihan warnanya yang tersedia ada empat.

Sumber: DPReview.