Fujifilm GFX100 Resmi Hadir di Indonesia, Mirrorless Large Format 102-Megapixel

Pada tahun 2016, Fujifilm mengumumkan kamera mirrorless dengan sensor berukuran medium format pertamanya; disebut GFX 50S. Penerusnya lahir pada tahun 2018, GFX 50R yang juga mengusung resolusi 51MP.

Kini Fujifilm telah resmi menghadirkan kamera mirrorless medium format ketiganya ke Indonesia, GFX100. Dari namanya Anda harusnya sudah menduga bahwa kamera ini mengusung resolusi sangat tinggi, dilipatgandakan dari 51MP menjadi 102MP.

Itu berarti, GFX100 merupakan kamera mirrorless dengan resolusi tertinggi saat ini. Menurut kalian overkill banget nggak sih? Buat apa resolusi setinggi ini? Selain pastinya memberi keleluasaan cropping, ini jawaban dari Fujifilm.

Fujifilm-GFX-100-3

“Kita develop 102MP untuk kepentingan preserving for the future, melestarikan untuk generasi di masa depan,” ujar Anggiawan Pratama – Marketing Manager Electronic Imaging Division PT FUJIFILM Indonesia.

Sesuai dengan tagline dari kamera GFX, “the camera to preserve for the future“. Singkatnya, untuk melestarikan hal-hal yang sudah terjadi sebaik mungkin dengan kualitas 102MP untuk masa depan.

Penamaan Medium Format Berubah

Fujifilm-GFX-100-4

Bicara soal image quality, tentunya tak lepas dari ukuran sensor. Fujifilm GFX100 ini menggunakan GFX sensor berukuran medium format. Bila dibandingkan dengan sensor full-frame 35mm, medium format ini 12mm lebih lebar dan 70 persen lebih besar.

Fujifilm menekankan bahwa GFX100 bukan hanya merupakan still camera, tapi juga dirancang untuk videografi dengan kemampuan merekam video 4K 4:2:2 10 bit lewat external recording tanpa crop. Maka dari itu Fujifilm mengklaim dan me-rename sensor medium format menjadi large format.

Menurut Anggiawan Pratama, di dunia movie/sinematografi, sensor yang lebih besar dari 35mm disebut large format. Alasan lainnya juga terkait terkait strategi marketing, medium format dinilai kurang familier.

Fitur & Spesifikasi Fujifilm GFX100

Fujifilm pertama mengungkap pengembangan GFX100 ini pada ajang Photokina 2018 di Jerman, kemudian dirilis resmi dalam acara Fujikina 2019 di Tokyo – Jepang pada bulan Mei 2019. Kini akhirnya GFX100 telah resmi dijual di Indonesia dengan harga Rp154.999.000.

Sensor 102MP-nya sudah mengunakan teknologi BSI (Back side Illuminated). Fujifilm juga mengganti struktur aluminum wiring menjadi copper wiring yang memiliki kapasitas untuk menghantarkan data lebih cepat daripada aluminum wiring.

Kamera ini mengusung sistem phase-detection autofocus (PDAF) yang cakupannya hampir menutupi seluruh penampang sensor, dengan total 3,76 juta pixel phase-detection. Serta, memiliki in body image stabilizer (IBIS) 5-axis 5,5 stops. Mampu menghasilkan foto RAW 16 bit dengan dynamic range 14 stops dan level ISO bisa di-push sampai 102.400.

GFX100 memiliki vertical grip dan body kameranya dilengkapi dengan weather-sealing di 95 titik yang membuatnya sangat tahan terhadap debu, kelembaban dan suhu rendah. Didukung viewfinder dengan kualitas terbaik saat ini, beresolusi 5,76 juta titik dan pembesaran 0,86x. Di samping jendela bidik, tentunya pengguna juga bisa memanfaatkan layar sentuh 3,2 inci beresolusi 2,36 juta titik yang bisa di-tilt.

Berikut beberapa fitur unggulan dari Fujifilm GFX100:

  • Shutter actuation 150.000 times
  • Face select function
  • Smooth skin effect
  • Continuous shooting up to 5.0 fps
  • Battery life 800 frames
  • Non-crop 4K/30p video
  • 0.86x 5.7M-dot interchangeable EVF
  • New drive mode dial operations
  • 100% coverage PDAF on chip
  • New rear sub monitor
  • Face, Eye Detection

Produk Lain yang Dirilis

Fujifilm GFX100 akan dilepas di pasaran dengan harga Rp159.499.000 dan Fujifilm menawarkan promo khusus yaitu gratis license Capture One Pro Fujifilm untuk pembelian GFX100. Sebagai bagian dari peluncuran kamera GFX100 di Indonesia, mereka juga menggelar pameran dan workshop fotografi di Grand Indonesia, West Mall Lantai 5, pada tanggal 24-28 Juli 2019.

Pameran ini yang dibuka untuk umum ini mengajak para pengunjungnya menyusuri dan melihat karya-karya fotografi yang diambil menggunakan jajaran kamera medium-format Fujifilm. Fujifim juga mengundang beberapa foto dan cinematografer ternama seperti Tompi, Wirawan Sanjaya, Dewandra Djelantik, Govinda Rumi dan Jan Gonzales – X Photographer asal Filipina untuk menjadi pembicara dalam workshop ini.

Dalam kesempatan yang sama, Fujifilm melalui Wonder Photo Shop (WPS) kini juga menghadirkan layanan cetak profesional atau Professional Printing Services. Fujifilm menawarkan dua kertas foto profesional yaitu Fujicolor Crystal Archive Maxima dan Fujifcolor Crystal Archive Pearl.

Para profesional dapat mencetak dengan berbagai ukuran yang disediakan, mulai dari 40cmx50cm hingga 120cmx200cm. Layanan professional printing ini bisa diperoleh di Wonder Photo Shop Central Park Mall dan Fujifilm Showroom Grand Indonesia mulai pertengahan Agustus mendatang.

Selain itu, Fujifilm juga mengumumkan lensa GF 50mm F3.5 R LM WR seharga Rp15.999.000 serta lensa XF 16-80mm F4 R OIS WR seharga Rp12.999.000 dan akan tersedia pada bulan September.

[Review] Fujifilm X-T30, Versi Hemat X-T3 dengan Kapabilitas Video Superior

Belakangan ini, mirrorless dengan sensor full frame menjadi pusat perhatian di dunia kamera. Di tengah drama full-frame, Fujifilm tidak ikut-ikutan dan tetap fokus pada sistem APS-C mereka sambil terus mengembangkan mirrorless medium format.

Setelah tahun lalu mirrorless flagship Fujifilm X-T3 menuai sukses, seperti yang sudah-sudah mereka juga menurunkan sebagian besar teknologinya ke mirrorless kelas menengah Fujifilm X-T30. Terutama kemampuan perekam videonya, yang sangat memungkinkan membuat para video content creator atau videografer profesional jatuh hati.

Harga Fujifilm X-T30 sendiri dibanderol dengan harga Rp14 juta untuk body only, Rp16 juta dengan lensa XC 15-45mm, dan Rp19 juta dengan lensa XF 18-55mm. Berikut review Fujifilm X-T30 selengkapnya.

Desain Khas dan Ikonik

Bicara soal kamera mirrorless besutan Fujifilm, memang selalu identik dengan desain klasiknya. Seperti kebanyakan mirrorless Fujifilm, X-T30 juga mewarisi desain yang khas dan ikonik. Unit yang saya review berwarna charcoal silver yang kental dengan nuansa retro.

Dimensi body kameranya tergolong compact, terasa klop dalam genggaman tangan meskipun ukuran grip-nya agak kecil. Untuk penggunaan harian, saran saya sebaiknya pasangkan strap untuk keamanan kamera.

Lensa yang saya gunakan ialah XF 16mm F2.8 yang juga berukuran ringkas, saya bisa menggunakan tas kamera kecil dan membawanya bepergian tanpa memakan banyak tempat.

Review-Fujifilm-XT30

Build quality-nya sendiri menurut saya finishing-nya sangat baik, hampir semua bagian sasisnya terbuat dari material logam – termasuk tiga roda kontrol di pelat atas. Pada beberapa bagian seperti samping dan depannya memang ada juga yang dari bahan plastik. Sementara, bagian belakang dan grip-nya telah berlapis karet untuk memperkuat cengkraman.

Sistem Kontrol Kamera Intuitif

Review-Fujifilm-XT30

Ini adalah kali pertama saya me-review kamera Fujifilm, sebelumnya hanya sempat hands-on. Saya berpikir bahwa sistem kontrol di kamera manapun itu bakal identik, asalkan sudah paham aturan ‘segitiga emas’.

Nah sehari setelah saya toel-toel kamera ini, dengan ‘PD-nya’ saya mengajaknya pergi meliput sebagai kamera utama. Hasilnya saya sedikit frustasi, karena meraba-raba kontrol manualnya – beberapa momen pun terlewat.

Saat itu saya sadar, membaca buku panduan penggunaan itu penting. Setelah itu, saya browsing dan mengunjungi website resmi Fujifilm untuk mempelajari sistem kontrol dan fitur-fitur yang ditawarkan.

Memang butuh waktu untuk beradaptasi, menurut saya sistem kontrol kamera ini memang sedikit rumit. Bahkan untuk memotret menggunakan sistem autofocus saja membutuhkan beberapa pengaturan kombinasi. Pastikan tuas yang berada di roda kontrol shutter speed mengarah ke auto. Lalu, arahkan tuas focus mode ke S atau C yang berada di bagian belakang sebelah kiri bawah.

Untung saja, titik fokus bisa dengan mudah ditentukan – bisa menggunakan layar sentuh (tap focus) atau dengan menggerakkan joystick. Layarnya juga dapat berfungsi sebagai touchpad saat kita memotret menggunakan viewfinder.

Sedikit penjelasan mengenai focus mode, S artinya Single AF yang bisa Anda gunakan saat memotret objek diam. Sementara C ialah Continuous AF yang bisa dipilih saat memotret objek bergerak, dan M artinya Manual Focus.

Tombol fisik pada sekeliling body-nya memang terkesan ramai sekali, tapi saya sangat menyukai sistem kontrol pada kamera X-T30 ini. Ada tiga dial atau roda kontrol utama pada kamera ini yaitu exposure compensation, shutter speed, dan drive atau mode pengambilan gambar.

Lalu, didukung roda kontrol tambahan di bagian belakang untuk mengatur ISO dan depan untuk mengatur shutter speed dengan rentang terbatas. Buat saya kelengkapan ini sudah lebih dari cukup untuk mengoperasikan kamera dengan cepat dan akurat, ditambah lagi sejumlah tombol juga dapat disesuaikan (Quick Menu) dan menawarkan sejumlah shortcut yang bisa diatur lagi sesuai kebutuhan.

Ukuran viewfinder-nya memang agak kecil, bagi yang menggunakan kaca mata seperti saya sedikit kurang nyaman. Fujifilm mengemasnya dengan panel OLED beresolusi 2,36 juta titik. Secara default refresh rate EVF adalah 60 fps, tapi bisa naik menjadi 100 fps bila mengaktifkan ‘boost mode‘.

Layar 3 inci-nya disokong resolusi 1,04 juta titik dan sepenuhnya layar sentuh termasuk untuk mengakses antarmuka kamera. Sayangnya, Fujifilm masih mempertahankan mekanisme tilting dan bukan menggunakan mekanisme yang fully articulated seperti pada X-T100.

Artinya kita hanya bisa memiringkan layarnya sedikit, ke atas sampai 90 derajat dan ke bawah sampai 45 derajat. Untuk aktivitas memotret, mekanisme ini justru yang paling ideal. Sebaliknya, bagi para video content creator yang membuat video mereka seorang diri – ini menjadi kekurangan.

Soal kelengkapan port-nya, di sisi kiri terdapat tiga port yakni port microphone 2,5mm, USB Type-C, dan micro-HDMI. Anda mungkin akan membutuhkan adaptor dari 2,5mm ke 3,5mm untuk menggunakan mikrofon eksternal. Sementara, port USB Type-C miliknya dapat digunakan untuk mengisi daya, transfer file ke komputer, atau menancapkan headphone untuk memonitor audio.

Baterai yang digunakan ialah lithium-ion NP-W126S yang menyuguhkan 380 jepretan menggunakan layar LCD. Tentu saja, ketahanan baterai balik lagi pada penggunaan kamera. Hasilnya bisa berbeda-beda, bila kita juga sering menggunakan viewfinder, mode burst, dan merekam video. Di sebelah baterai terdapat satu slot SD card yang mendukung media UHS-I.

Kemampuan Video – 4K 30fps

Review-Fujifilm-XT30

Sekarang kita akan bahas mengenai fitur spesial pada kamera ini yakni kemampuan perekam videonya. Fujifilm X-T30 dapat merekam video 4K UHD dan DCI pada 30 fps, oversampling menggunakan seluruh penampang sensor dengan bit rate maksimum 200 Mbps.

Nah fitur yang bakal membuat para videografer atau filmaker tersenyum lebar ialah kamera ini tak hanya menawarkan output video 4:2:0 8-bit dengan internal recording yang bisa disimpan langsung ke SD card, tapi juga output video 4:2:2 10-bit menggunakan external recorder lewat HDMI.

Review-Fujifilm-XT30

Didukung juga fitur-fitur seperti picture profile F-Log gamma curve,
face/eye detection, dan ‘mode movie silent control‘. Di mana kita dapat menyesuaikan exposure, ISO, mic/headphone level, wind filter, white balance, dan Film Simulation dengan layar sentuh tanpa perlu menyentuh tombol fisik.

Berikut detail lengkap format video yang direkam oleh Fujifilm X-T30:

  • 4K DCI 17:9 (4096×2160) / UHD (3840×2160) pada 29.97p, 25p, 24p, 23.98p dengan bit rate 200, 100 Mbps
  • Full HD 17:9 (2048×1080) / Full HD(1920×1080) pada 59.94p, 50p, 29.97p, 25p, 24p, 23.98p dengan bit rate 200, 100, 50 Mbps

Cukup mumpuni bukan? Sayangnya, durasi perekaman video 4K dibatasi hanya 10 menit. Mungkin untuk mencegah terjadinya overheat, mengingat ukuran kamera ini cukup ringkas.

Fitur perekam video 4K memang sangat penting dan akan menjadi standar di masa depan, tapi apakah Anda sudah benar-benar membuat video di resolusi 4K?

Sebab video 4K membutuhkan requirement tinggi, seperti kartu memori dengan kecepatan baca tulis tinggi dan kapasitas besar, penyimpanan untuk menampung file 4K, dan laptop dengan prosesor cepat untuk mengeditnya.

Saya sendiri masih membuat video pada resolusi 1080p, tapi beberapa footage saya mulai ambil pada video 4K. Karena memberi fleksibilitas lebih saat editing dan juga sebagai aset. Untuk saat ini, saya tak masalah dengan batasan durasi 10 menit di resolusi 4K pada X-T30.

Kemampuan Foto

Review-Fujifilm-XT30

Bagaimana dengan hasil fotonya? Fujifilm X-T30 mengusung sensor X-Trans beresolusi 26MP dan prosesor X 4 yang sama seperti yang dimiliki X-T3. Artinya, kualitasnya tak perlu diragukan lagi.

Prosesor X 4 ini menyuguhkan kemampuan burst shooting lebih ngebut. Dengan electronic shutter, kamera dapat menembak 30 fps tanpa henti tapi dengan crop 1.25x atau 20 fps tanpa crop. Sementara, bila menggunakan mechanical shutter dapat menembak 8fps.

Seperti X-T3, X-T30 memiliki sistem Hybrid AF dengan 425 phase-detect points yang mencakup seluruh frame. Focus mode-nya sendiri terdiri dari single point, zone, wide, dan all.

Sistem autofocus-nya sangat dapat diandalkan, X-T30 juga dapat mendeteksi wajah dan mata dengan cukup cepat. Titik fokus juga dapat ditentukan dengan menyentuh layar atau joystick. Berikut beberapa hasil foto dari Fujifilm X-T30:

Verdict

Berada di rentang harga belasan juta, menurut saya Fujifilm X-T30 merupakan salah satu kamera mirrorless kelas menengah terbaik pada tahun 2019. Kamera ini dikemas dengan sensor, prosesor, dan sistem autofocus baru yang sama seperti milik mirrorless flagship Fujifilm X-T3.

Saya sangat menyukai desain dan sistem kontrol fisiknya seperti terhubung dengan kamera, walaupun sedikit rumit tapi begitu Anda menguasainya maka Anda akan dimanjakan. Tapi ada dua hal yang perlu dipertimbangkan sebelum membeli kamera ini, yaitu mekanisme layar tilting dan batasan durasi 10 menit di perekaman video 4K. Apakah itu masalah buat Anda?

Lawan sepadan dari Fujifilm X-T30 adalah Sony A6400 dan Panasonic Lumix G95. Ketiga kamera ini dilengkapi kemampuan perekam video yang mumpuni, sangat cocok untuk para video content creator yang ingin meningkatkan kualitas konten mereka.

Sparks

  • Perekaman video 4K DCI dan UHD 30fps
  • Mendukung output video 10-bit 4:2:2 menggunakan external recorder lewat HDMI
  • Dukungan picture profile F-Log gamma curve
  • Port USB Type-C dapat digunakan untuk memasang headphone
  • Menggunakan sensor dan prosesor gambar yang sama seperti X-T3 
  • Film Simulation mode memungkin Anda menghasilkan foto yang ‘artsy’

Slacks

  • Mekanisme layar tilting, hanya bisa dimiringkan sedikit
  • Tidak memiliki in-body stabilization
  • Durasi perekaman video 4K dibatasi hanya 10 menit
  • Port mikrofon eksternal 2,5mm sehingga butuh adaptor tambahan

Fujifilm GFX100 Resmi Diluncurkan, Mirrorless dengan Sensor Medium Format Beresolusi 102 Megapixel

Resmi sudah, Fujifilm akhirnya meluncurkan kamera monster yang mereka pamerkan prototipenya pada ajang Photokina tahun lalu, yaitu GFX 100. Kamera ini bisa dianggap sebagai pembuktian terhadap anggapan Fujifilm bahwa kamera mirrorless bersensor full-frame terkesan tanggung.

Hal paling utama yang harus disoroti dari GFX 100 tentu saja adalah sensornya. Kamera ini mengemas sensor medium format yang sama seperti milik GFX 50S maupun GFX 50R, tapi di sini resolusinya telah dilipatgandakan menjadi 102 megapixel. Secara otomatis ini menjadikannya sebagai kamera mirrorless dengan resolusi tertinggi yang ada saat ini.

Fujifilm GFX100

Namun GFX 100 bukan sebatas mengunggulkan resolusi begitu saja. Kecanggihannya juga meliputi sistem image stabilization internal 5-axis, serta sistem phase-detection autofocus (PDAF) yang cakupannya hampir menutupi seluruh penampang sensor, dengan total 3,76 juta pixel phase-detection yang tersebar.

Sistem autofocus-nya ini merupakan peningkatan pesat dibanding yang terdapat pada GFX 50S maupun GFX 50R. Fuji mengklaim GFX100 mampu mengunci fokus 210% lebih cepat ketimbang GFX 50R yang masih ditenagai oleh sistem contrast-detection autofocus konvensional. Jadi untuk fotografer olahraga atau fotografer satwa liar, mereka jelas akan lebih memilih GFX 100.

Juga patut diapresiasi adalah kemampuan GFX100 merekam video 4K 30 fps, pertama kalinya bagi kamera mirrorless dengan sensor sebesar ini. Lebih lanjut, jika bicara dalam konteks profesional, GFX 100 juga menyediakan opsi perekaman berformat uncompressed 4:2:2 10-bit via port HDMI miliknya.

Fujifilm GFX100

Semua itu berhasil dikemas dalam bodi yang dimensinya tidak lebih besar dari kamera DSLR full-frame kelas flagship, macam Canon 1D X Mark II, misalnya. Bobotnya pun hanya berkisar 1,36 kilogram, dan itu sudah mencakup sepasang baterai, sebuah memory card (slot-nya sendiri ada dua), serta viewfinder elektronik (EVF).

Apa hubungan EVF dengan bobot perangkat? Well, rupanya GFX100 mempunyai EVF yang dapat dilepas-pasang. Untuk apa harus dilepas? Supaya pengguna dapat menggantinya dengan aksesori opsional berupa EVF yang dapat diputar (swivel) sekaligus dinaik-turunkan sudutnya (tilt) demi fleksibilitas ekstra selagi memotret.

Fujifilm GFX100

Di samping jendela bidik, tentunya pengguna juga bisa memanfaatkan layar sentuh 3,2 inci miliknya. Layar beresolusi 2,36 juta dot ini juga bisa di-tilt, malahan secara total ke 3 arah, sehingga tetap terasa ideal dalam orientasi landscape maupun portrait.

Tertarik? Siapkan saja dana sebesar $10.000 untuk meminang Fujifilm GFX100 (body only tentu saja) saat mulai dipasarkan pada 27 Juni mendatang.

Sumber: PetaPixel.

Fujifilm Luncurkan Kamera Compact Rugged Baru, FinePix XP140

Pasar kamera compact berwujud rugged memang tidak seramai dulu, apalagi dengan meningkatnya popularitas action cam dalam beberapa tahun terakhir. Namun hal itu tidak mencegah pabrikan kamera memproduksinya, sebab masih ada nilai lebih yang bisa ditawarkan dibanding action cam.

Salah satunya adalah lensa zoom, seperti yang bisa kita lihat dari produk terbaru Fujifilm berikut ini. Dari penampilannya sudah kelihatan bahwa kamera bernama FinePix XP140 ini dirancang untuk menjadi teman bertamasya, tidak peduli kondisi lingkungannya seperti apa.

Menurut Fujifilm, XP140 sanggup bertahan meski terjatuh dari ketinggian 1,8 meter. Suhu dingin hingga –10º C juga bukan masalah buatnya, dan ia siap diajak menyelam hingga kedalaman 25 meter tanpa perlu dibungkus casing tambahan. Semua itu dikemas dalam dimensi yang tergolong ringkas: 110 x 71 x 28 mm, dengan bobot 207 gram sudah termasuk baterai dan SD card.

Bodi tahan banting merupakan salah satu keunggulan action cam, akan tetapi XP140 sejatinya dapat menjadi alternatif yang lebih ideal apabila penggunanya memerlukan optical zoom hingga sejauh 5x, dengan rentang aperture f/3.9 – f/4.9. Sensornya memang tidak terlalu istimewa, CMOS 1/2,3 inci beresolusi 16,4 megapixel dengan ISO maksimum 12800, tapi itu sebenarnya sudah cukup di kelas ini.

Fujifilm FinePix XP140

Urusan video, XP140 bisa merekam dalam resolusi 4K, tapi hanya 15 fps, sehingga akan lebih bijak memilih opsi 1080p 60 fps sebagai default. Mode slow-motion hingga 4x juga tersedia, tapi hanya dalam resolusi HD saja.

Fitur-fitur modern seperti Wi-Fi dan Bluetooth 4.1 sudah menjadi standar pada XP140, namun yang cukup menarik menurut saya adalah fitur bernama Face Auto Shutter. Berkat fitur ini, kamera dapat menjepret secara otomatis ketika subjek melihat ke arah kamera, ideal untuk mengambil selfie meski LCD-nya tidak bisa dilipat sampai menghadap ke depan.

Rencananya, Fujifilm FinePix XP140 bakal dipasarkan mulai akhir Maret mendatang. Di Amerika Serikat, harganya dipatok $229. Pilihan warna yang tersedia ada lima: biru, hijau, kuning, abu-abu dan putih.

Sumber: SlashGear.

Fujifilm X-T30, Versi Hematnya X-T3 dengan X-Trans 4 26-MP

Berbeda dengan Canon, Nikon, dan Panasonic yang tengah sibuk mengembangkan ekosistem mirrorless full frame mereka masing-masing, Fujifilm masih enggan berkecimpung di ranah full frame.

Setidaknya untuk saat ini, menurut mereka peningkatan yang dibawa oleh sensor full frame dari APS-C tidak terlalu signifikan dan Fujifilm lebih memilih lompat langsung ke medium format.

Setelah merilis Fujifilm X-T3, kamera mirrorless APS-C flagship dengan sensor X-Trans 4 pada bulan September 2018 lalu, kini mereka telah mengumumkan Fujifilm X-T30.

7375721263

Penerus dari Fujifilm X-T20 ini mengangkut banyak fitur baru yang terdapat pada Fujifilm X-T3, sensor baru BSI CMOS X-Trans 4 26-megapixel salah satunya.

Fujifilm X-T30 juga didukung X-Processor 4 dengan CPU quad-core yang sama. Memiliki sistem AF hybrid 425 poin mencakup seluruh frame dan native ISO terendahnya adalah 160. Ia mampu memotret berturut-turut hingga 20 fps dengan continuous autofocus dan 8 fps dengan mechanical shutter.

9175420850

Selain itu, fitur seperti face detection diklaim lebih cepat dibanding X-T20, eye detection AF kini dapat digunakan dalam mode AF-C, dan phase detection AF dapat bekerja di kondisi cahaya yang lebih rendah.

Urusan perekaman video, Fujifilm X-T30 memang tidak secakap X-T3 yang mampu merekam video 4K 60 fps. X-T30 hanya mampu merekam video 4K 30 fps saja, 8-bit 4:2:0 internal recording dan 10-bit 4:2:2 ke external recorder melalui HDMI.

6219299555

Soal tampilan, bisa dibilang keduanya punya desain mirip-mirip. Namun, dimensi Fujifilm X-T30 sedikit lebih ringkas (119x72x60 mm) dan bobotnya lebih ringan hanya 423 gram. Layarnya sudah touchscreen dengan mekanisme tilting yang bisa dimiringkan ke atas-bawah, berukuran 3 inci dengan resolusi 1,04 juta dot.

Di atas layar terdapat viewfinder electronic dengan panel OLED resolusi 2,36 juta dot. Tentu saja, Fujifilm X-T30 sudah dilengkapi konektivitas WiFi dan Bluetooth. Daya tahan baterainya sendiri diklaim lebih lama, hingga 380 jepretan sekali charge.

3061679876

Harga Fujifilm X-T30 dibanderol US$899 atau sekitar Rp12,6 juta untuk body only. Bila dengan lensa XC 15-45mm F3.5-5.6 OIS Power Zoom dibanderol US$999 (Rp14 juta) dan US$1.299 (Rp18,3 juta) dengan lensa 18-55mm F2.8-4.

Fujifilm juga turut mengumumkan lensa prime wide-angle XF 16mm f/2.8 R WR. Focal lenght 16mm ini setara dengan 24mm di full frame dan dibanderol US$400 atau sekitar Rp5,6 juta.

Sumber: DPreview

[Hands-On] Fujifilm GFX 50R, Kamera Mirrorless Medium Format Rp69.999.000

Di industri kamera, mirrorless dengan sensor berukuran full frame tengah menjadi topik terhangat. Pasar mirrorless full frame semakin berkembang, tetapi persaingan sesungguhnya baru saja dimulai.

Sony yang sudah matang dengan A7 series, Leica dengan sistem L-Mount yang juga akan digunakan oleh Panasonic Lumix S series dan didukung oleh Sigma. Kemudian Nikon dengan Z 6 dan Z 7, serta Canon dengan EOS R, keduanya menggunakan dudukan lensa baru.

Fujifilm-GFX-50R

Bagaimana dengan Fujifilm? GFX series adalah jawabannya, alih-alih mengembangkan full frame – Fujifilm memilih langsung lompat lebih tinggi ke medium format.

Tanpa berlama-lama, setelah diumumkan di Photokina 2018 pada bulan September lalu, kamera mirrorless medium format kedua dari Fujifilm yakni GFX 50R pun resmi dihadirkan ke Indonesia dengan harga Rp69.999.000 untuk body only.

Fujifilm-GFX-50R

Fujifilm GFX 50R sendiri menggunakan sensor gambar Fujifilm G, CMOS dengan ukuran medium format (43,8×32,9mm). Dibanding dengan full frame, ukuran medium format 1,7 kali lebih besar.

Resolusi gambarnya mencapai 51,4-megapixel dengan chip X-Processor Pro Image. Lebih tinggi dibanding mirrorless full frame seperti Nikon Z 7 dengan 45,7-megapixel dan Sony Alpha A7R III dengan 42-megapixel.

Fujifilm-GFX-50R

Dari segi spesifikasi, GFX 50R masih identik dengan seri sebelumnya yakni GFX 50S. Body GFX 50R ini masih mempertahankan sasis weather and dust resistant seperti milik kakaknya.

Bedanya adalah ukuran body-nya yang lebih ringkas dan ringan. Datang bergaya rangefinder dengan bentuk persegi panjang dan posisi viewfinder elektroniknya telah beralih ke samping kiri atas kamera.

Fujifilm-GFX-50R

Bentuk EVF-nya lebih kecil dengan resolusi 3,69 juta dot dan tingkat perbesaran 0,77x. Di bawah jendela bidik, terdapat layar sentuh 3,2 inci beresolusi 2,36 juta dot dengan mekanisme tilting – hanya bisa dimiringkan ke atas atau bawah.

Untuk kontrol kamera, Fujifilm menyematkan dial shutter speed dan kompensasi eksposur. Terdapat juga joystick dan sejumlah tombol function yang bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan.

Fujifilm-GFX-50R

Meski diklaim cukup kecil untuk sebuah mirrorless medium format dengan dimensi 161x97x66 mm dan bobot 775 gram. Namun bila dibandingkan dengan mirrorless full frame, dimensi GFX 50R masih cukup besar. Pun demikian dengan ukuran lensa-lensanya. Bagaimana dengan ekosistem lensanya? Saat ini lensa native GFX ada 6, rencananya Fujifilm akan merilis lensa 50mm f/3.5 pada tahun 2019.

Dari pengalaman saya mencoba GFX 50 R, performa autofocus dari kamera ini masih terasa kurang cepat karena masih mengandalkan deteksi kontras (contrast detect AF). Continuous drive juga pelan, hanya 3 foto per detik. Berbeda kalau bicara hasil fotonya, sangat detail dan tajam, dynamic range yang luas.

Hasil foto dari Fujifilm GFX 50R
Hasil foto dari Fujifilm GFX 50R

Untuk mengedit hasil fotonya, GFX 50 R ini telah didukung software Capture One. Ada tiga pilihan, yaitu Capture One Pro, Capture One Pro Fujifilm, dan Capture One Express (gratis).

Selain merilis GFX 50R, Fujifilm juga mengumumkan pengembangan mirrorless medium format GFX 102MP dengan sensor BSI CMOS baru dan X Processor 4. Mengusung teknologi autofocus phase detection Hybrid AF dengan cakupan 100% frame, punya body image stabilization, dan mampu merekam video 4K 30fps.

Untuk harganya, Fujifilm GFX 50R dibanderol Rp69.999.000 untuk body only. Lensa XF8-16mm F2.8 dibanderol Rp26.999.000 dan lensa XF200mm seharga Rp82.999.000.

Fujifilm Instax Square SQ20 Hadir di Indonesia, Kamera Instan Hybrid Kaya Fitur

Namanya Prilita Kamalia, 23 tahun. Ia bekerja sebagai Social Media Spesialist dan belum lama ini bergabung di Dailysocial. Jujur saja, saya agak kaget ketika dia mengeluarkan perangat kamera instan dari dalam tasnya dan meminta dipotret.

Menurutnya, tidak semua harus didigitalkan. Selain untuk melengkapi tulisan di jurnal, hasilnya biasanya diberikan ke temannya sebagai kenang-kenangan.

Tipe yang digunakan adalah Fujifilm Instax Mini 8, biasanya ia menghabiskan 20 lembar senilai Rp150.00 per bulan. Tipe ini masih analog dan tidak memiliki layar. Jadi, saya harus menggunakan viewfinder yang berukuran kecil untuk membidik objek dan saya juga harus ekstra hati-hati karena harus berhasil dalam sekali jepret.

Setelah ia mengetahui Fujifilm Instax Square SQ20 hadir di Indonesia, tentu saja ia sangat antusias – sudah ada keinginan untuk upgrade.

Fujifilm Instax Square SQ20 Resmi Hadir di Indonesia

fujifilm-instax-square-sq20-hadir-di-indonesia

Ya, hari ini Fujifilm meluncurkan kamera instan hybrid terbaru, yaitu Instax Square SQ20. Sesuai namanya, SQ20 menghasilkan bidikan dalam aspek rasio 1:1 atau persegi.

Disebut hybrid, karena SQ20 mengombinasikan digital dan analog. Hasil foto maupun videonya bisa disimpan secara digital ke microSD. Sebelum mencetaknya langsung dari kamera, kita bisa melakukan editing atau menerapkan filter yang disukai.

Sederet fitur baru pun melengkapi penerus dari SQ10 ini, motion mode misalnya. Di mana SQ20 mampu merekam video untuk menciptakan efek foto baru atau mengambil foto objek yang bergerak untuk mendapatkan momen.

Motion mode sendiri terdiri dari tiga fitur utama, yaitu frame grab, time shift collage, dan sequence filter. Dengan frame grab, kita merekam video maksimal berdurasi 15 detik. Kemudian, kita bisa memilih frame foto terbaik dari video tersebut guna mendapatkan momen atau ekspresi yang pas.

Sementara, time shift collage memungkinkan kita mengambil empat foto berbeda dalam waktu rentang tertentu – mirip dengan mode burst. Sedangkan, sequence filter memungkinkan kita menambahkan efek dinamis dan dreamy pada foto dengan adanya bayangan pada gerakan objek untuk menghasilkan foto yang lebih dramatis.

Selain tiga fitur baru tersebut, masih banyak lagi mode atau fitur menarik lainnya. Seperti collage dengan beragam tema atau template yang bisa dipilih, fitur 4x digital zoom, partical color, color filter, skin brightening, dan banyak lagi.

Dari segi tampilan, Fujifilm tetap menyuguhkan garis desain Instax yang ikonik. Dengan sudut-sudut yang agak membulat, sehingga nyaman saat dioperasikan.

fujifilm-instax-square-sq20-hadir-di-indonesia

Lalu, berapa harganya? Fujifilm Instax Square SQ20 dibanderol Rp2.999.000 di Indonesia dan tersedia dalam pilihan warna beige dan matte black. Pre-order sudah dibuka di Blibli, mulai dari tanggal 15-25 November 2018 atau Anda bisa mendapatkannya di outlet resmi Fujifilm mulai Desember 2018.

Fujifilm Umumkan Proyektor Unik dengan Lensa yang Bisa Diputar-putar

Fujifilm membuat geger ajang Photokina 2018 lewat pengumuman dua kamera mirrorless medium format baru, yakni Fujifilm GFX 50R dan GFX 100 yang masih dalam tahap pengembangan. Di samping itu, mereka juga memperkenalkan perangkat unik macam kamera instan hybrid yang bisa merekam video dan proyektor inovatif berikut ini.

Proyektor berwujud balok ringkas ini sementara masih belum bernama, tapi ia menawarkan sesuatu yang belum ada di proyektor lain: lensa yang bisa diputar-putar, yang berarti pengaturan posisi gambar yang diproyeksikan bisa dilakukan tanpa perlu memindah unit proyektor secara keseluruhan, melainkan cukup lensanya saja.

Lensanya ini dapat berputar pada dua poros; sehingga bisa dihadapkan ke atas, bawah, depan, belakang, kiri maupun kanan. Memproyeksikan gambar ke langit-langit maupun lantai merupakan hal mudah baginya, demikian pula berganti orientasi antara vertikal atau horizontal.

Fujifilm projector

Lensanya pun sudah mengadopsi model ultra short-throw, sanggup memproyeksikan gambar seukuran 100 inci dari jarak 75 cm saja. Fujifilm belum merincikan jeroannya, tapi yang pasti ini merupakan proyektor laser, dan lensanya yang berlabel “Fujinon” menandakan kualitas optiknya tidak kalah dari deretan lensa kamera Fujifilm.

Fujifilm melihat potensi perangkat seperti ini untuk digunakan di pagelaran seni, museum, atau lokasi-lokasi lain yang umumnya memiliki ruang terbatas. Cukup letakkan proyektor di satu titik yang strategis, maka proyeksinya bisa ditujukan ke segala arah.

Fujifilm berencana memproduksi dan memasarkan produk ini di tahun 2019. Kita tahu bahwa Fujifilm merupakan suatu korporasi besar dengan berbagai cabang bisnis (mulai dari kamera, percetakan, sampai kosmetik), tapi ini merupakan pertama kalinya mereka terjun ke bisnis proyektor. Maka dari itu tidak heran kalau mereka ingin menjalani debutnya secara istimewa.

Sumber: SlashGear dan Fujifilm.

Kamera Instan Fujifilm Instax Square SQ20 Juga Mampu Merekam Video Singkat

Tema fotografi high-end di ajang Photokina 2018 yang dimeriahkan oleh varian full-frame mirrorless hingga prototype bersensor monster tampaknya juga menular ke kelas ‘fotografi retro‘. Di ranah tersebut, Fujifilm Instax merupakan salah satu pilihan favorit konsumen. Dan inkarnasi terkini dari kamera instan Fuji tersebut memiliki fitur yang tidak ada di generasi sebelumnya.

Setelah memperkenalkan kamera analog bertema nostalgia Instax Square SQ6 di bulan Mei kemarin, Fujifilm kali ini menyingkap penerus dari kamera instan hybrid Instax Square SQ10. SQ10 sempat mencuri perhatian konsumen dengan kemampuannya menyimpan file gambar sebelum dicetak di kertas film, dan kali ini, adiknya yang bernama Instax Square SQ20 mampu merekam video.

Instax Square SQ20 memperkenankan pengguna merekam video berdurasi 15 detik. Bagi pengguna gadget modern, waktu sesingkat itu memang tak terlihat mengesankan. Tapi kapabilitas menarik dari SQ20 adalah, ia mampu menggunakan klip video tersebut untuk menciptakan efek foto baru. Selanjutnya, Anda bisa mengeditnya lebih jauh dan mencetak foto langsung dari kamera.

Produsen juga membubuhkan fitur baru bernama Motion Mode. Dengannya, Anda dipersilakan mencari momen terbaik dalam video buat dicetak. Mode tersebut didukung fungsi Sequence untuk menciptakan efek berbayang/bergerak, dan sebagai alternatifnya, Anda dapat menambahkan bingkai ala film strip atau menerapkan efek retro ala film-film tua.

Fujifilm Instax Square SQ20 1

Untuk fungsi foto still, Anda dapat menemukan opsi familier semisal mode standar, Bulb, Double Exposure, Split, Collage (memunculkan beberapa gambar di satu frame), serta Time Shift Collage (menampilkan empat foto objek yang sama di waktu berbeda). Fujifilm juga menyediakan tidak kurang dari sepuluh jenis filter, serta memberikan kita keleluasaan buat meng-highlight warna tertentu, mengatur tingkat kecerahan, hingga mengaplikasikan efek vignette.

Dibanding Square SQ10, spesifikasi SQ20 mengalami upgrade sekaligus downgrade. Kamera intan hybrid anyar ini mengusung sensor yang lebih kecil dari kakaknya, yakni berukuran 1/5-inci (SQ10 dibekali sensor 1/4-inci). Bagian lensanya kurang lebih sama, mempunyai aperture f/2.4, namun ukuran sensor 1./4-inci berdampak pada berkurangnya field of view. Sebagai kompensasinya, SQ20 mempunyai kemampuan zoom digital sebesar empat kali. Fitur ini pertama kali ada di kamera Instax.

Fujifilm berencana untuk mulai memasarkan Instax Square SQ20 di tanggal 20 Oktober nanti. Namun saat artikel ini ditulis, mereka belum menginformasikan harganya. Sebagai acuan, di Indonesia Square SQ10 dibanderol di kisaran Rp 4 juta.

Sumber: Fujifilm.

Fujifilm Belum Tertarik Mengembangkan Kamera Mirrorless Full-Frame

Hari ini (27/9/2018), Fujifilm Indonesia meresmikan kantor barunya di Surabaya. Sebelumnya menumpang di Sinarmas Land Plaza, kantor Fujifilm di Surabaya sekarang berdiri sendiri di Jalan Tegalsari No. 2D (sangat dekat dengan showroom-nya yang bertempat di Tunjungan Plaza).

Selain tentu saja untuk urusan operasional, kantor baru ini juga dirancang supaya Fujifilm bisa lebih mudah menyapa konsumen secara langsung; di lobi kantornya ada area hands-on kecil, meski untuk urusan penjualan masih diserahkan ke showroom sepenuhnya. Showroom-nya sendiri disebut menerima respon yang bagus dari konsumen, dan terbukti sanggup membantu meningkatkan angka penjualan.

Eko Yulianto, Branch Manager Fujifilm Indonesia untuk kantor cabang Surabaya, menjelaskan fasilitas-fasilitas kantor baru di depan area hands-on / Foto pribadi
Eko Yulianto, Branch Manager Fujifilm Indonesia untuk kantor cabang Surabaya, menjelaskan fasilitas-fasilitas kantor di depan area hands-on / Foto pribadi

Namun seperti yang bisa Anda lihat di judul, bukan itu yang ingin saya bahas lebih lanjut. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk berbincang dengan sejumlah perwakilan Fujifilm Indonesia mengenai tren kamera mirrorless terkini. Dua sosok yang saya ajak bicara adalah Noriyuki Kawakubo (Presiden Direktur Fujifilm Indonesia) dan Anggiawan Pratama (Marketing Manager Fujifilm Indonesia).

Full-frame itu ‘nanggung’

Lini GFX adalah jawaban Fujifilm terhadap maraknya tren mirrorless full-frame / Fujifilm
Lini GFX adalah jawaban Fujifilm terhadap maraknya tren mirrorless full-frame / Fujifilm

Seperti yang kita tahu, mirrorless full-frame menjadi topik terhangat di industri kamera belakangan ini. Nikon, Canon, bahkan Panasonic semuanya telah memperkenalkan kamera mirrorless full-frame bikinannya untuk bersaing dengan lini Sony a7. Bagaimana dengan Fujifilm?

Fujifilm rupanya belum tertarik mengembangkan kamera mirrorless full-frame, setidaknya untuk saat ini. Ada sejumlah alasan yang dibeberkan, baik oleh Noriyuki maupun Anggiawan. Yang pertama, Fujifilm percaya lini kamera X-Series dengan sensor APS-C sudah cukup mampu bersaing dengan kamera bersensor full-frame.

Sikap Fujifilm ini sejatinya tidak berbeda dari ketika mereka memperkenalkan kamera X-Pro1 di tahun 2012. Kala itu, Fujifilm dengan percaya diri mengatakan bahwa sensor APS-C X-Trans bikinannya bisa disetarakan dengan sejumlah sensor full-frame.

Noriyuki sendiri mengakui bahwa sensor full-frame secara teknis memiliki keunggulan dibanding APS-C, meski perbedaan hasil fotonya mungkin tidak terlalu dramatis. Itulah mengapa Fujifilm punya lini GFX; daripada lompat ke full-frame, lebih baik langsung lompat lebih jauh lagi ke medium format.

Noriyuki Kawakubo (kanan), menyebut lini GFX dengan sensor medium format sebagai "super full-frame" / Foto pribadi
Noriyuki Kawakubo (kanan), menyebut lini GFX dengan sensor medium format sebagai “super full-frame” / Foto pribadi

Lini GFX pada dasarnya merupakan jawaban Fujifilm kepada mereka yang menanyakan “mana mirrorless full-frame dari Fuji?” Noriyuki pun sempat mengutarakan istilah super full-frame sebagai julukan lini GFX, dan Fuji memang menggunakan jargon tersebut untuk menjelaskan sensor medium format ke kalangan konsumen yang lebih awam.

Alasan yang kedua, kalau dikaitkan dengan Indonesia, pangsa pasar kamera mirrorless full-frame tergolong kecil; cuma sekitar 9%. Jadi ketimbang bersusah payah bersaing di pasar yang kecil, Fujifilm lebih memilih berfokus di pasar yang lebih luas, dalam konteks ini mirrorless APS-C – kamera terlaris Fuji di Indonesia sendiri adalah seri X-A yang masuk kelas entry-level.

Bukan tidak mungkin ke depannya Fujifilm bakal merilis kamera mirrorless full-frame, apalagi jika Nikon, Canon dan Panasonic terbukti bisa mencuri pangsa pasar yang selama ini didominasi Sony. Namun kemungkinannya terbilang kecil apabila Fuji tetap berpegang teguh pada prinsipnya untuk menawarkan sesuatu yang berbeda.

Fujifilm kini lebih serius di sektor video

Setelah X-H1, Fujifilm X-T3 sekali lagi menghadirkan banyak penyempurnaan di sektor video / Fujifilm
Setelah X-H1, Fujifilm X-T3 sekali lagi menghadirkan banyak penyempurnaan di sektor video / Fujifilm

Fujifilm X-T3 yang dirilis baru-baru ini adalah kulminasi keseriusan Fuji untuk berbenah di sektor video, setelah sebelumnya lebih dulu dibuktikan melalui Fujifilm X-H1 yang benar-benar video-oriented. Apa yang sebenarnya menjadi motivasi Fujifilm? Apakah karena tren yang digalakkan kompetitor belakangan ini?

“Bukan karena kompetitor,” jelas Anggiawan. Sejak awal Fuji memang berfokus pada aspek fotografi, tapi semakin lama semakin banyak konsumen yang menginginkan paket lengkap dari kamera mirrorless yang dibelinya – bukan hanya untuk foto, tapi juga video. Masukan dari konsumen inilah yang menjadi dorongan utama bagi Fujifilm.

Bicara soal X-T3, saya pun tergerak untuk menanyakan kabar mengenai seri X-Pro. Sebelumnya, seri X-Pro selalu menjadi yang pertama kebagian sensor X-Trans generasi terbaru – X-Pro2 yang dirilis di bulan Januari 2016 adalah kamera pertama yang membawa sensor X-Trans III, disusul X-T2 di bulan Juli 2016. Namun situasinya berubah tahun ini; X-T3 adalah kamera pertama yang mengusung sensor X-Trans generasi keempat.

Menurut Anggiawan, nasib seri X-Pro masih belum bisa dipastikan. Mereka belum menerima kabar dari Fujifilm pusat apakah seri ini masih akan dilanjutkan atau tidak. Kalau melihat pasar, seri X-T yang juga diposisikan sebagai flagship mendampingi seri X-Pro memang terbukti lebih laris, dan ini sejatinya bisa menjelaskan mengapa X-T3 dirilis lebih dulu ketimbang X-Pro3.