Qara’a Permudah Belajar Mengaji dengan Bantuan Kecerdasan Buatan

Menurut hasil riset Institute Ilmu Quran pada tahun 2018, sebanyak 65% penduduk Muslim Indonesia tidak bisa mengaji dengan baik dan benar. Meski demikian, sebanyak 80% responden menyatakan ingin belajar tapi merasa malu karena alasan usia. Ceruk pasar ini dimanfaatkan Qara’a, startup dari Kalimantan Barat, menawarkan metode belajar Quran dibantu teknologi AI yang dapat mengoreksi bacaan ayat dari tajwid dan harakat.

Dalam riset internal yang dilakukan Qara’a sebanyak 81% dari total 7 ribu responden dengan rentang usia 19-35, mengungkapkan keinginannya untuk belajar baca Quran sesuai dengan aturan, tapi mereka malu untuk bertemu dengan guru dan belajar bersama orang lain yang umurnya jauh di bawah mereka.

“Sehingga dengan hadirnya Qara’a bisa membantu mereka memaknai huruf, sifat huruf, makhraj, gharib, dan lain-lain. Jadi ketika dia belajar dengan ustaz di luar, enggak lagi malu dengan kemampuannya,” ucap CEO Qara’a Hajon Mahdy Mahmudin saat dihubungi DailySocial.

Tampilan aplikasi Qara'a / Qara'a
Tampilan aplikasi Qara’a / Qara’a

Metode belajar di Qara’a terbagi menjadi tiga level, yakni tahapan tilawah (pengenalan huruf), tahsin (belajar tajwid) sampai ke tahfidz (hafalan). Secara runut, peserta harus melalui seluruh level sampai akhirnya harus melakukan praktik melafalkannya, yang telah disematkan teknologi AI di dalamnya.

Peserta hanya perlu melafalkan potongan ayat yang tertera di layar smartphone, sembari menekan ikon mikrofon. Dalam hitungan detik, hasil koreksi dan penilaian akan muncul. Setelah semua level selesai, peserta akan mendapat sertifikat kelulusan sebagai bukti saat mereka ingin melanjutkan belajar ke tahap hafalan di rumah Quran, bahwa mereka sudah memahami aturan-aturan membaca Quran dan hurufnya.

Dijelaskan lebih jauh, proses pengembangan ML Qara’a dilakukan secara in-house dengan jumlah sampling suara saat ini berjumalah 475.573 suara yang dihimpun dari para qari’ (pembaca Quran), hafidz Quran di beberapa rumah Quran, ustaz dan pengguna Qara’a.

“Sampling ini akan terus bertambah, sehingga tingkat akurasi pelafalan Qara’a saat ini di angka 92% akan terus meningkat ke depannya, sembari memperkuat machine learning masih terus kami dilakukan.”

Monetisasi dan rencana berikutnya

Dengan pendekatan yang berbeda dibandingkan aplikasi mengaji online lainnya, Qara’a menetapkan strategi bisnis freemium. Jadi ada lebih dari 10 fitur yang dapat diakses gratis, seperti Quran, kiblat, hadist, Iqra, catat amal, renungan, bacaan shalat, adzan, doa harian, sirah nabawi, dan asmaul husna.

Sedangkan fitur AI hanya bisa diakses secara berlangganan. Paket berlangganan yang ditawarkan mulai dari Rp5 ribu untuk paket berlangganan selama seminggu dan Rp10 ribu untuk sebulan. “Quran sudah di-tashih oleh Lajnah Kemenag dan mushaf Quran digitalnya berkolaborasi dengan Syamill Quran yang sudah lebih dari 20 tahun berkecimpung dalam memproduksi Quran sehingga Quran digital yang ada di Qara’a lebih valid daripada aplikasi sejenis.”

Kelebihan lainnya, untuk jadwal shalat menggunakan perhitungan tinggi muka air yang dihitung secara in-house. Tidak menggunakan API yang tersebar secara gratis yang biasa digunakan aplikasi sejenis, sehingga waktu shalat lebih valid.

Diklaim saat ini Qara’a memiliki 250 ribu pengguna aktif di Google Play. Hajon menargetkan hingga akhir tahun dapat tembus ke angka 1 juta pengguna. Adapun demografi target pengguna Qara’a adalah mereka yang berusia 19-35 tahun dan digital savvy.

Strategi yang dilakukan untuk mencapai target tersebut, salah satunya dengan ekspansi ke Malaysia dan melakukan strategi pemasaran digital lainnya. “Untuk pengembangan fitur, kami sedang mengembangkan model machine learning dua arah yang Insya Allah targetnya tahun ini bisa launching,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Borneo SkyCam, Pengembang Drone Asal Pontianak

Kalimantan adalah salah satu pulau terbesar di Indonesia. Demografi wilayahnya cukup unik, selain masih banyak didominasi oleh hutan, pulau ini juga berbatasan langsung dengan negara tetangga. Medan yang menantang membuat pengawasan melalui udara menjadi lebih efektif, khususnya untuk kebutuhan militer (pengawasan perbatasan) dan pertanian (pemetaan lahan). Kondisi tersebut dilihat sebagai peluang oleh tim Borneo SkyCam, sebuah startup pengembang perangkat pengawas berbasis pesawat nirawak (drone).

Peluang selanjutnya juga dilihat dari komoditas produk drone yang ada saat ini untuk kebutuhan di Kalimantan. Jika menggunakan drone biasa, ada beberapa keterbatasan yang menjadikan prosesnya kurang efektif. Salah satunya soal kemampuan baterai yang sangat terbatas, menjadikan jam terbangnya tidak bisa lama. Untuk itu Borneo SkyCam mengembangkan drone dengan kemampuan khusus untuk pengamatan di wilayah yang luas.

Salah satu pendekatan yang dilakukan ialah baterai menggunakan panel surya –cukup menjanjikan, mengingat Kalimantan terletak di garis khatulistiwa, sehingga penyinaran matahari sangat efektif selama 12 jam. Dukungan panel surya membuat drone besutan Borneo SkyCam mampu terbang dengan jangkauan eksplorasi 4000km berkecepatan 200km/jam, dengan daya tahan baterai mencapai 16 jam.

Drone milik Borneo SkyCam

“Teknologi drone bisa dioptimalkan untuk memetakan lahan tanpa harus menelusur dengan jalur darat yang biasanya berdampak pada kerusakan hutan, karena harus membuka jalur yang belum pasti. Sampai saat ini Borneo SkyCam terus fokus kepada riset-riset pesawat nirawak dengan bahan bakar yang ramah lingkungan,” ujar Co-Founder Borneo SkyCam, Hajon Mahdy Mahmudin.

Hajon berpendapat, riset seperti inilah sangat dibutuhkan Indonesia saat ini, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau. Dibutuhkan alat yang dapat menembus pelosok-pelosok negeri. Borneo SkyCam memanfaatkan Internet of Things (IoT) sebagai media berbagi informasi hasil penelusuran yang ditangkap.

Terutama untuk pemetaan lahan

Borneo SkyCamp didirikan Tony Eko Kurniawan, Hajon Mahdy Mahmudin, Aprianto Setya Putra, Eko Jatmiko, dan Dede Himandika sejak tahun 2012 di Pontianak. Keempatnya berlatar belakang pendidikan Teknik Elektro. Awalnya Borneo SkyCam dikembangkan karena pada saat itu drone sangat langka di Kalimantan Barat. Debut yang pernah dilakukan Borneo SkyCam ialah kerja samanya dengan program TOPDAM (Topografi Daerah Militer) milik KODAM 12 Tanjungpura dan Badan Pertanahan Nasional wilayah Kalimantan Barat. Sampai saat ini Borneo SkyCam sudah melayani permintaan layanan yang lebih luas hingga terakhir ke Papua.

Drone yang sedang dibuat Borneo SkyCam memiliki lebar 3 meter. Bahan-bahan pembuat drone saat ini 80 persen merupakan bahan lokal Indonesia dan 20 persen sisanya masih impor seperti panel surya dan motor penggerak.  Drone ini dikontrol dengan dua cara, remote control dan laptop, yang disambungkan dengan internet untuk kebutuhan pemantauan real-time. Sedangkan sistem yang dikembangkan ditujukan untuk pemancar sinyal ke pelosok, kebutuhan pemantauan, dan pemetaan.

Drone milik Borneo SkyCam

Menceritakan studi kasus pemanfaatan drone yang pernah dilakukan, Hajon berujar, “Kami dari 2012 melakukan riset dan memang sudah mengembangkan sistem pemetaan. Drone kami sudah digunakan untuk memetakan 4 bandara di NTT, pemetaan wilayah di Papua, dan pemetaan beberapa perkebunan di Kalimantan. Terakhir drone yang kami produksi juga dibeli oleh salah satu kementerian untuk digunakan pemetaan lahan.”

Selain menawarkan perangkat drone yang dikembangkan, Borneo SkyCam juga mengembangkan model bisnis melalui lembaga riset  pesawat nirawak, jasa pemetaan, dan lembaga pendidikan robotika.