Facebook Kabarnya Berkolaborasi Dengan Ray-Ban Demi Menggarap Kacamata AR

Facebook resmi jadi salah satu pemain terbesar di ranah virtual reality setelah mengakuisisi Oculus VR di tahun 2014. Saat itu, mereka melihat potensi besar menanti baik dari sisi hiburan serta bagaimana VR dapat diarahkan menjadi platform sosial. Augmented reality sendiri baru dibahas oleh CEO Mark Zuckerberg beberapa saat setelahnya, sebagai bagian dari rencana Facebook dalam jangka waktu satu dekade.

Di bulan September 2019 ini, agenda pengembangan perangkat AR mulai terdengar lantang. Dan menariknya lagi, raksasa sosial media itu tidak hanya mencoba menciptakan satu, melainkan dua perangkat wearable pintar melalui kolaborasi bersama Luxottica. Salah satu perangkat itu dispesialisasikan pada teknologi augmented reality ala Google Glass. Informasi ini datang dari beberapa sumber berbeda, yaitu CNBC dan The Information.

CNBC melaporkan bahwa Facebook Reality Labs melakukan kemitraan dengan Luxottica buat merampungkan proyek headset AR yang telah mereka gagas bertahun-tahun silam. Luxottica adalah perusahaan induk Ray-Ban, mengontrol lebih dari 80 persen merek kacamata terkenal, dari mulai Giorgio Armani, Burberry, Stella McCartney, Versace sampai Vogue. Rencananya, perangkat tersebut akan dipasarkan ke konsumen antara tahun 2023 hingga 2025.

Secara internal, kacamata AR tersebut dinamai Orion dan berdasarkan keterangan narasumber, perangkat dirancang untuk ‘menggantikan’ smartphone. Orion disiapkan agar memungkinkan kita melakukan panggilan telepon, menampilkan bermacam-macam info pada pengguna lewat layar kecilnya, serta mempersilakan kita live-stream segala hal yang dilihat ke jejaring sosial.

Ada peluang cukup besar Orion memanfaatkan sistem perintah suara sebagai metode input utama. Dan untuk melengkapinya, Facebook tengah merancang aksesori berupa cincin yang memperkenankan pengguna berinteraksi dengan konten di headset via gerakan jari. Perangkat pelengkap ini diberi codename Agios.

Secara terpisah, The Information mengabarkan penggarapan kacamata pintar yang dilakukan Facebook bersama Ray-Ban. Diberi sebutan sementara Stella, wearable device ini punya fungsi serupa Snap Spectacles. Kerja sama dua perusahaan juga merupakan sebuah bentuk eksperimen yang dilakukan Facebook buat mencari tahu apakah orang nyaman mengenakan produk bermerek sosial media di wajahnya.

Ada dua metode untuk mengakses fitur dan fungsi di Stella. Yang pertama adalah via sentuhan pada bagian frame. Lalu yang kedua adalah lewat perintah suara – tak begitu berbeda dari Orion.

Fakta paling menarik dari proyek pengembangan perangkat AR ini adalah, Facebook bukan perusahaan teknologi pertama yang menggandeng Luxottica dan Ray-Ban. Di tahun 2014, Anda mungkin pernah mendengar pengumuman kemitraan antara Google dan Luxottica dengan maksud buat membawa teknologi AR Glass ke kacamata-kacamata fashion.

Via The Verge.

Norm Glasses Ialah Headset AR yang Menyamar Jadi Kacamata ‘Normal’

Sama-sama sempat mencengangkan publik, pengembangan augmented dan virtual reality akhirnya pergi ke arah berbeda. VR saat ini banyak dipakai untuk menghidangkan konten hiburan ‘immersive‘ secara personal, sedangkan AR lebih dimanfaatkan sebagai penunjang fungsi profesional – dari mulai kreasi sampai diagnosis. Headset AR/VR terus mengalami evolusi, kini jadi kian ringkas dan mudah digunakan, namun mayoritas dari mereka tetap punya wujud yang eksentrik.

Kondisi ini mendorong startup bernama Human Capable untuk memampatkan teknologi augmented reality ke produk berdesain minimalis. Setelah proses pengembangan selama lebih dari empat tahun, tim resmi mengumumkan Norm Glasses. Dengannya, developer menawarkan segala macam kecanggihan head-mounted display AR serta deretan fitur penunjang dalam perangkat berpenampilan ‘normal’.

Sekilas, Norm Glasses terlihat seperti kaca mata biasa. Lensanya berukuran cukup lebar, lalu tidak ada bagian aneh atau modul yang menonjol canggung. Human Capable menyiapkan perangkat dalam tiga opsi warna serta ukuran – dibedakan dari panjang lensa, jarak antar bingkai, dan panjang tangkai. Jenis lensa juga bisa dipersonalisasi: bening, berwarna, polarized, atau bisa berubah warna – dan semuanya dapat disesuaikan dengan ukuran mata.

Norm 3

Namun meski simpel, sejatinya Norm Glasses ialah sebuah komputer berukuran mini. Ia dibekali CPU, unit penyimpanan, baterai, microphone, speaker, kamera serta sistem head-up display. Developer juga menyiapkan banyak cara buat berinteraksi dengan fitur dan fungsnya: lewat perintah suara, gerakan kepala, sentuhan di sisi luar tangkai, atau via aplikasi pendamping di smartphone.

Berbeda dari Magic Leap One dan Google Glass Enterprise Edition, Norm Glasses dirancang untuk penggunaan sehari-hari. Headset AR berwujud kacamata itu mempersilakan Anda buat mengambil foto, merekam video atau menyiarkan live peristiwa yang tengah Anda saksikan, memindai barcode atau QR code, semuanya dapat dilakukan tanpa bantuan tangan.

Norm

Bukan itu saja. Berkat kehadiran speaker, Norm Glass juga memperkenankan kita mendengarkan musik, podcast atau audio book secara nyaman. Bahkan sebelum telepon diangkat, pengguna bisa melihat siapa yang melakukan panggilan pada display/HUD.

Sejak eksistensinya diinformasikan ke publik dan media, Norm Glasses mendapatkan banyak tanggapan positif, bahkan memperoleh gelar Honoree CES Innovation Awards 2019. Tapi seperti Google Glass, semua kapabilitas Norm Glasses lagi-lagi berpeluang besar memunculkan kekhawatiran soal privasi dan keamanan saat perangkat tersedia nanti.

Norm 2

Norm Glasses bisa Anda pesan sekarang di situs crowdfunding  Kickstarter seharga mulai dari US$ 340. Proses distribusi (diprioritaskan buat backer) rencananya akan dilakukan pada bulan Maret 2020.

Sedikit Mengulik Headset Vivo AR Glass yang Disiapkan Untuk Gaming dan Bekerja

Perangkat AR dan VR kelas konsumen boleh dikatakan terlahir di saat yang hampir bersamaan. Palmer Luckey memamerkan purwarupa Oculus Rift di tahun 2011, lalu setahun setelahnya Google mengumumkan Glass ke publik. Namun cara kerja dan penyajian konten yang berbeda membuat laju pengembangan kedua teknologi cross reality ini tak sebanding. Kita tahu, adopsi produk AR lebih lambat dibandingkan VR.

Saat ini sebagian besar headset augmented reality ditujukan bagi kalangan enterprise. Namun satu perusahaan yang lama berkecimpung di ranah penyediaan perangkat komunikasi mencoba sesuatu yang berbeda. Di ajang MWC Shanghai bulan lalu, Vivo menyingkap head-mounted display AR pertamanya, Vivo AR Glass. Produsen asal Tiongkok itu merancangnya agar ia siap mendukung lima kegunaan: gaming, bekerja, ‘teater 5G’, serta mengenal wajah dan objek.

Versi purwarupa Vivo AR Glass mempunyai penampilan seperti versi besar kacamata hitam. Di sana ada tangkai dan frame yang tebal, terpasang ke bagian lensa transparan yang berfungsi pula sebagai display. Selain itu, terdapat dua buah modul kamera di sisi depannya. Dari keterangan The Verge, Vivo AR Glass ditopang olth kapabilitas pelacakan 6DoF. Itu berarti, HMD AR ini mampu mendeteksi enam gerakan di ruang tiga dimensi: maju-mundur, atas-bawah, kiri-kanan, pitch ke depan-belakang, roll ke kiri-kanan, dan menoleh (yaw) dari kanan ke kiri.

Vivo AR Glass 1

Untuk bekerja, unit prototype Vivo AR Glass mesti terhubung secara fisik ke smartphone via kabel. Dan ponsel pintarnya juga tidak sembarangan. Vivo AR Glass baru dapat beroperasi ketika disambungkan ke smartphone 5G buatan Vivo sendiri yang buat sementara belum memiliki nama. Saya menduga, proses pengolahan data bersandar pada handset, walaupun ada kemungkinan Vivo AR Glass juga menyimpan unit processing mandiri.

Begitu Vivo AR Glass mulai memproyeksikan konten, smartphone 5G tersebut akan berperan menjadi unit kendali. Dengannya, Anda dipersilakan memilih atau mengganti aplikasi/software. Ketika Anda memilih konten berupa game, handset punya fungsi sebagai ‘console-nya’; lalu saat opsi mobile office diaktifkan, input dapat dilakukan via smartphone lewat sistem keyboard virtual.

Saya pribadi penasaran dengan bagaimana Vivo AR Glass menyajikan ‘teater 5G’ atau istilah lain yang digunakan Vivo: video tiga dimensi berkualitas tinggi. Saya juga punya banyak pertanyaan terutama mengenai bagaimana perusahaan mengembangkan ekosistem kontennya.

Mengingat untuk sekarang status Vivo AR Glass masih berupa prototype, belum diketahui kapan perangkat ini akan dihadirkan sebagai produk konsumen dan berapa harganya. Vivo sendiri berniat buat melepas smartphone 5G-nya terlebih dulu, rencananya dilakukan di kuartal ketiga tahun ini.

Tambahan: PR Newswire. Gambar: Value Walk.

Hardware Sudah, Magic Leap Kini Pamerkan Software AR Headset-nya

Menjelang akhir tahun lalu, Magic Leap secara resmi mengungkap headset augmented reality-nya yang bernama One usai mengembangkannya secara tertutup selama bertahun-tahun. Belum lama ini, mereka juga menguak hardware-nya secara lebih mendetail, dan kini giliran software-nya yang dipamerkan ke mata publik.

Lewat sejumlah screenshot dan mockup yang tersebar di Twitter dan Reddit, kita bisa mendapat gambaran lebih jelas mengenai sistem operasi Magic Leap One yang dinamai Lumin OS ini. Secara keseluruhan tampilannya kelihatan cukup familier dan tidak kelewat futuristis.

Magic Leap Lumin OS

Dari gambar-gambar ini bisa disimpulkan juga bahwa ada dua jenis aplikasi pada Lumin OS: landscape app dan immersive app. Tipe landscape adalah yang tampil dalam format 2D dan dikemas dalam sebuah jendela. Premisnya cukup mirip seperti aplikasi desktop, dan pengguna juga dapat menjalankan beberapa landscape app sekaligus.

Immersive app di sisi lain adalah yang mengemas konten yang terpengaruh oleh geometri, alias ruangan di sekitar pengguna. Salah satu contohnya adalah game shooter berjudul Dr. Grordbort yang sudah dikonsepkan sejak lama, jauh sebelum headset-nya sendiri disingkap ke publik.

Magic Leap Lumin OS

Lalu bagaimana cara pengguna menavigasikan home screen dan aplikasi-aplikasi yang tersedia? Salah satunya bisa menggunakan tangan mengingat perangkat dibekali fitur hand tracking. Pengguna cukup mengarahkan jari telunjuknya ke menu atau app yang hendak diakses, lalu lakukan gerakan seperti mencubit untuk membukanya.

Untuk menginput teks alias mengetik, pengguna memiliki sejumlah opsi: menggunakan keyboard virtual yang tampil di layar, menggunakan fitur dictation, memanfaatkan aplikasi pendamping di smartphone, atau dengan menyambungkan keyboard Bluetooth.

Magic Leap Lumin OS

Terlepas dari itu, Magic Leap masih punya sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Yang paling utama tentu saja adalah mendemonstrasikan semua ini di hadapan publik, sebab di internet tidak sedikit populasi orang yang skeptis dengannya, dan sejumlah screenshot beserta GIF tampaknya belum cukup untuk mengubah pandangan mereka.

Headset Magic Leap One sendiri semestinya sudah berada di tangan sejumlah developer kalau mengacu pada pernyataan terakhir Magic Leap beberapa minggu lalu. Semoga saja peluncuran resminya tidak butuh waktu terlalu lama lagi.

Magic Leap Lumin OS

Sumber: TechCrunch.

North Star Ialah Headset AR Racikan Leap Motion yang Didukung Penuh Teknologi Pelacak Gerakan

Leap Motion mulai mencuri perhatian khalayak melalui pengenalan periferal gesture ‘The Leap’ di tahun 2012. Meski respons user kurang antusias saat perangkat itu mulai dipasarkan, tim developer terus mengekspansi fungsinya hingga bisa dipasangkan ke Oculus Rift serta menawarkan solusi pelacakan gerakan tangan buat headset VR berbasis smartphone.

Dan kemarin, perusahaan asal San Francisco itu mengumumkan rencananya untuk fokus pada pengembangan headset augmented baru bernama North Star. Aspek yang membuat North Star berbeda dari perangkat AR kompetitor adalah dukungan penuh teknologi motion sensing, sehingga memungkinkannya membaca gerakan wajah serta tangan, dan kemudian mengubahnya menjadi input. Tentu saja kapabilitas hand gesture tracking sendiri adalah ciri khas produk Magic Leap.

Leap Motion North Star 1

Unit purwarupa North Star mempunyai wujud sangat eksentrik, mengingatkan saya pada alat di film sci-fi atau cyberpunk tahun 80-an. Perangkat ini dibekali  strap mirip PlayStation VR, namun kesamaannya berakhir di bagian visor. Di sana, pengguna disuguhkan display yang diposisikan menghadap kaca semi-transparan raksasa melengkung di depan. Visor tersebut juga sangat unik karena memiliki struktur V yang mengarah ke dalam.

Pendekatan seperti ini krusial untuk menunjang sistem ellipsoidal reflectors di sana. Dari yang saya baca, komponen kaca elips tersebut mempunyai lapisan perak untuk menghasilkan efek cermin, mampu memantulkan dan dilewati cahaya dengan persentase seimbang di 50:50. Berkat canggihnya mekanisme mata manusia, kita tetap bisa melihat jelas objek saat mengenakan North Star, sembari mendapatkan modifikasi elemen visual khas AR.

Magic Leap memanfaatkan panel LCD 5,5-inci di belakang reflektor sebagai unit penghasil elemen AR. Tiap mata disuguhkan ‘display‘ beresolusi 1440x2560p, frame rate 120fps, serta mendapatkan ruang penglihatan seluas 75 derajat vertikal dan 105 derajat horisontal (dengan overlap stereo 60 persen).

North Star dirancang agar mampu melacak gerakan mata dan wajah pengguna secara presisi, serta didukung rangkaian speaker di dekat telinga untuk memudahkan kita mendeteksi lokasi objek AR. Headset juga ditunjang sensor hand tracking 180 derajat sebagai sarana Anda berinteraksi dengan konten augmented reality. Saat memakainya, sistem dapat menyuguhkan sensasi menggunakan teknologi hologram ala film Iron-Man yang intuitif serta akurat.

Developer mengakui bahwa proyek North Star baru saja dimulai. Mereka berharap kreasinya ini bisa menginspirasi sistem-sistem eksperimental generasi baru yang bisa merevolusi pengalaman penggunaan dan pemanfaatan teknologi AR. Tebakan saya, butuh beberapa tahun lagi hingga North Star bisa sampai ke tangan konsumen.

Sumber: Leap Motion.