SteelSeries Arctis 7+ dan Arctis 7P+ Unggulkan Baterai yang Lebih Awet dan USB-C

SteelSeries meluncurkan versi baru dari salah satu headset gaming wireless paling populernya, Arctis 7. Versi anyar ini hadir dalam dua model yang berbeda, yakni Arctis 7+ dan Arctis 7P+.

Perbedaan di antara keduanya tidak banyak. Yang paling utama, 7P+ datang membawa dukungan penuh atas teknologi Tempest 3D Audio milik PlayStation 5. Ia juga tersedia dalam pilihan warna hitam atau putih, sementara 7+ cuma warna hitam saja.

Selebihnya, keduanya merupakan perangkat yang identik, dengan pembaruan yang sama pula. Baik Arctis 7+ maupun Arctis 7P+ sama-sama datang bersama dongle USB-C sebagai pemancar sinyal wireless-nya. Alhasil, keduanya pun kompatibel dengan lebih banyak perangkat; mulai dari PC, PlayStation, Mac, Nintendo Switch, perangkat Android, iPad yang dibekali port USB-C, sampai VR headset Oculus Quest 2.

SteelSeries bilang dongle USB-C ini adalah yang pertama di pasar headset gaming, tapi kita tahu Razer sebelumnya sudah menerapkan hal serupa pada Barracuda X. Meski begitu, daftar perangkat yang kompatibel memang lebih panjang milik duo Arctis 7+ ini.

Selain pada dongle-nya, USB-C juga bisa kita temui pada headset-nya itu sendiri, menggantikan port Micro USB yang sudah termakan zaman. Tak hanya lebih praktis, USB-C turut mendatangkan fitur fast charging ke kedua headset ini; charging selama 15 menit saja sudah cukup untuk menenagai keduanya selama 3 jam pemakaian.

Kalau dalam posisi terisi penuh, baterai milik Arctis 7+ dan 7P+ diyakini mampu bertahan sampai 30 jam nonstop, lebih lama sekitar enam jam dari yang ditawarkan oleh masing-masing pendahulunya.

Di luar baterai dan colokan, kedua headset ini tidak jauh berbeda dari pendahulunya. Desainnya pun tampak identik, dengan karet suspensi pada headband dan mikrofon yang dapat didorong masuk ke dalam ketika sedang tidak diperlukan. SteelSeries sama sekali tidak menyinggung soal kinerja audionya, jadi bisa diasumsikan kualitas suara yang dihasilkan oleh driver 40 mm miliknya sama seperti di generasi sebelumnya.

Di Amerika Serikat, SteelSeries Arctis 7+ dan Arctis 7P+ saat ini telah dipasarkan seharga $170, atau kurang lebih sekitar 2,4 jutaan rupiah.

Sumber: The Verge.

Bukan RGB, Headset Asus ROG Delta S Animate Andalkan Mini LED yang Dapat Diprogram

Teknologi AniMe Matrix yang Asus terapkan pertama kali pada laptop ROG Zephyrus G14 bisa dibilang membawa angin segar terhadap tren pencahayaan serba RGB di ranah gaming. Ketimbang warna-warni yang begitu mencolok, AniMe Matrix mengandalkan sederet mini LED warna putih yang dapat diprogram untuk menampilkan animasi bergerak.

Konsep tersebut sepertinya mendapat respon positif dari konsumen, dan ini bisa dilihat dari keputusan Asus untuk menghadirkan teknologi AniMe Matrix di kategori produk selain laptop. Yang terbaru, sistem pencahayaan yang unik ini juga bisa kita dapatkan di headset Asus ROG Delta S Animate.

Asus bilang bahwa masing-masing earcup milik headset ini mengemas lebih dari 100 mini LED. Semuanya tentu bisa diprogram untuk membentuk gambar statis atau animasi bergerak via software Armoury Crate.

Pengguna bahkan bisa menciptakan animasinya sendiri jika mau, dan mereka dibebaskan untuk mengutak-atik parameter seperti tingkat kecerahan, kontras, maupun jeda waktu. Kalau perlu, semua pencahayaannya juga bisa dimatikan dengan menggeser tuas kecil di belakang kenop volumenya.

Alternatifnya, tuas yang sama itu juga bisa dipakai untuk mengaktifkan fitur bernama Soundwave. Saat fitur tersebut aktif, deretan mini LED-nya akan bereaksi terhadap suara pengguna yang ditangkap via mikrofon; semakin keras suaranya, semakin intens pula efek pencahayaannya. Fitur ini semestinya cukup ideal digunakan oleh kalangan streamer.

Di luar sistem pencahayaannya, headset ini identik dengan ROG Delta S, mulai dari desainnya secara keseluruhan, earcup berbentuk huruf D-nya, sampai spesifikasi lengkapnya. Seperti saudaranya itu, headset ini turut dibekali driver berdiameter 50 mm dan ESS 9281 Quad DAC yang siap menangani format audio dengan resolusi tertinggi sekalipun.

Untuk konektornya, ROG Delta S Animate juga menggunakan USB-C (plus adaptor USB-A bagi yang membutuhkan). Selain di PC, headset ini juga dapat digunakan di PlayStation 4, PlayStation 5, maupun Nintendo Switch.

Di Amerika Serikat, ROG Delta S Animate kabarnya akan dijual mulai pertengahan bulan Desember 2021 seharga $250.

Sumber: Ars Technica.

Master & Dynamic MG20 Adalah Headset Nirkabel untuk Gamer Sekaligus Audiophile

Pasar gaming merupakan bisnis yang amat menjanjikan. Begitu menjanjikannya, sampai-sampai produsen perangkat audio premium seperti Master & Dynamic (M&D) pun juga tidak ingin ketinggalan. Gambar di atas adalah MG20, headset gaming pertama dari pabrikan yang lebih terbiasa menggarap headphone kelas audiophile tersebut.

Penampilannya sepintas tidak terkesan gaming sama sekali, dan ini sejalan dengan gaya estetika yang M&D adopsi selama ini; industrial sekaligus elegan. Juga dipertahankan adalah sentuhan mewah di sana-sini; mulai dari kerangka yang terbuat dari bahan aluminium dan magnesium, bantalan kepala yang dilapisi Alcantara, sampai bantalan telinga berbalut kulit domba asli. MG20 bahkan punya kenop volume yang juga terbuat dari aluminium.

Satu-satunya penanda kalau ini merupakan headset gaming adalah boom mic-nya. Bagian ini tentu dapat dilepas-pasang dengan mudah. Yang agak berbeda dari biasanya adalah, selagi boom mic-nya kita lepas, MG20 masih bisa menangkap suara pengguna berkat mikrofon yang tertanam langsung di bagian earcup.

Jadi kalau mau, MG20 bisa kita gunakan sebagai headset nirkabel biasa, apalagi mengingat ia turut mengemas konektivitas Bluetooth di samping wireless 2,4 GHz (via dongle USB). Lebih penting lagi, MG20 sepenuhnya mendukung codec aptX HD dan aptX Low Latency. Jadi tidak peduli Anda menggunakannya untuk mendengarkan musik atau bermain game di ponsel, MG20 siap mengerjakan tugasnya tanpa problem seputar transmisi data.

Terkait kinerja audionya, MG20 mengandalkan sepasang driver 50 mm berbahan Beryllium yang sudah menjadi khas M&D selama ini. Bedanya, berhubung perangkatnya ditujukan untuk gaming, driver tersebut sudah dimodifikasi agar dapat mendukung konfigurasi suara surround 7.1.

Dalam sekali charge, MG20 diyakini mampu beroperasi selama 22 jam nonstop. Kalau terpaksa, perangkat tetap bisa digunakan selagi tersambung via kabel USB maupun kabel 3,5 mm standar.

Master & Dynamic MG20 bukan barang murah. Dengan banderol $450, ia bahkan lebih mahal ketimbang headset gaming bikinan Bose yang dilengkapi noise cancelling. Pemasarannya dijadwalkan berlangsung pada pertengahan November, dan perangkat bakal tersedia dalam dua pilihan warna: hitam atau putih.

Sumber: Pocket-lint.

RazerCon 2021: Razer Luncurkan Masker Zephyr dan Headset Nirkabel Kraken V3 Pro

Melanjutkan tradisi tahunan baru yang dimulai tahun kemarin, Razer resmi menggelar event RazerCon 2021. Seperti biasa, Razer memanfaatkan kesempatan ini untuk merilis sejumlah produk baru. Dua di antaranya yang akan saya bahas di artikel ini adalah Razer Zephyr dan Razer Kraken V3 Pro.

Kita mulai dari Zephyr dulu, yang sebelumnya kita kenal dengan nama Project Hazel. Kalau Anda familier dengan masker elektronik bikinan LG, Anda semestinya bisa langsung paham fungsi yang ditawarkan oleh Razer Zephyr sebagai sebuah “wearable air purifier”.

Dalam sesi presentasi tertutup yang saya ikuti bersama sejumlah awak media lain, Razer menjelaskan bahwa selama mengembangkan Zephyr, mereka menitikberatkan pada tiga aspek berikut: Safe, Social, dan Sustainable.

Aspek yang pertama diwujudkan melalui tiga buah filter N95 grade — dua di sisi kiri dan kanan, satu kecil di tengah — dengan perlindungan dua arah dan tingkat efisiensi penyaringan sebesar 99%. Razer pun tidak lupa menyematkan dua kipas intake dengan dua mode kecepatan (4.200 atau 6.200 RPM) sebagai opsi untuk memperlancar sirkulasi udara.

Razer turut membekali Zephyr dengan sepasang karet silikon yang menyangga bagian hidung dan dagu supaya perangkat benar-benar bisa menutup rapat hidung dan mulut pengguna. Di bagian belakang, kita juga bisa melihat sepasang strap yang adjustable guna menambah kenyamanan sekaligus mencegah masker mudah terlepas.

Terkait aspek yang kedua, Razer sengaja merancang Zephyr dengan cover plastik transparan dan lapisan anti-kabut agar wajah penggunanya bisa terlihat dengan cukup jelas. Bagian dalamnya bahkan dibekali pencahayaan sehingga ekspresi wajah penggunanya tetap bisa terlihat di berbagai kondisi pencahayaan.

Bicara soal pencahayaan, bukan produk Razer namanya kalau tidak ada sistem pencahayaan RGB, dan Zephyr pun rupanya tidak luput dari itu. Ketimbang sebatas tampil berbeda dengan masker non-konvensional, kenapa tidak sekalian saja mengundang perhatian dengan lampu warna-warni yang dapat dikustomisasi via aplikasi?

Ada kipas dan lampu, berarti Zephyr sudah pasti dibekali baterai. Dalam sekali pengisian, daya tahan baterainya diklaim bisa mencapai paling lama hingga 8 jam dengan mode kecepatan kipas rendah dan semua pencahayaan dimatikan. Kalau semuanya menyala dan kipas berputar dalam kecepatan maksimum, maka daya baterainya akan turun menjadi 3,5 jam. Kalaupun baterainya habis, pengguna dijamin masih bisa bernapas dengan baik walau kipasnya mati.

Lanjut ke aspek yang ketiga, Razer ingin memastikan bahwa perangkat ini bisa membantu mengurangi jumlah sampah yang diakibatkan oleh penggunaan masker sekali pakai. Untuk itu, Razer merancang agar filter milik Zephyr bisa tetap efisien sampai tiga hari pemakaian sebelum akhirnya perlu diganti dengan yang baru.

Lalu apakah filter tambahannya cuma bisa dibeli dari Razer? Tentu saja, tapi Razer juga bilang bahwa pengguna bebas menyelipkan filter lain jika mau, dengan catatan ukuran filternya pas dan bisa menutupi lubang di kiri, kanan, dan tengah Zephyr secara menyeluruh.

Rencananya, Razer Zephyr akan dijual seharga $100, sudah termasuk 3 set filter (untuk pemakaian selama 9 hari), atau dalam bundel Zephyr Starter Pack seharga $150 yang mencakup 33 set filter (untuk pemakaian selama 99 hari). Filter ekstranya sendiri bisa dibeli secara terpisah seharga $30 per 10 set. Setiap unit Zephyr di-cover oleh garansi selama satu tahun.

Setidaknya untuk sekarang, Zephyr hanya bisa dibeli secara eksklusif melalui Razer.com, akan tetapi perwakilan Razer sempat bilang bahwa mereka bakal mengusahakan agar produk ini juga bisa tersedia di Indonesia. Kapan pastinya masih belum diketahui.

Razer Kraken V3 Pro

Beralih ke Kraken V3 Pro, ini merupakan headset nirkabel yang mengunggulkan teknologi haptic feedback Razer HyperSense. Teknologi ini memang bukan hal baru, dan Razer sendiri pertama menerapkannya tiga tahun lalu melalui headset bernama Nari Ultimate. Namun tentu sudah ada penyempurnaan yang Razer terapkan di Kraken V3 Pro.

Utamanya, Razer mengklaim bahwa HyperSense mampu bekerja di rentang frekuensi yang lebih luas ketimbang teknologi haptic tradisional. Alhasil, pengguna bakal merasakan sensasi getaran yang lebih natural daripada biasanya.

Haptic di Kraken V3 Pro juga memiliki efek stereo. Artinya, pengguna dapat merasakan getaran di telinga kiri dan kanan secara terpisah, tergantung apa yang sedang tersaji dalam game. Contohnya, kalau pengguna mendengar ada ledakan dari sisi kiri, maka getarannya juga akan terasa di telinga sebelah kiri saja.

Namun yang menurut saya paling istimewa adalah, HyperSense bekerja secara real-time, dengan waktu pemrosesan tidak lebih dari 5 milidetik. Itu berarti HyperSense tidak memerlukan integrasi dengan tiap-tiap game. Selama game atau konten lainnya bisa menghasilkan suara, maka efek getarannya juga akan terasa.

Bukankah aneh seandainya efek haptic tetap muncul selagi pengguna hanya mendengarkan musik? Andai pengguna merasa demikian, matikan saja efek haptic-nya via tombol di earcup sebelah kanan. Tombol yang sama ini juga berfungsi untuk mengatur intensitas getarannya di tiga tingkatan (low, medium, high).

Juga istimewa adalah, HyperSense di Kraken V3 Pro tidak memerlukan driver khusus maupun software Razer Synapse agar bisa bekerja. HyperSense bahkan bisa aktif selagi headset tersambung ke smartphone via kabel 3,5 mm. Sayang perangkat ini tidak punya koneksi Bluetooth.

Terkait kinerja audionya, Kraken V3 Pro mengandalkan driver TriForce Titanium berdiameter 50 mm yang sama seperti di BlackShark V2 Pro, lengkap dengan dukungan terhadap fitur THX Spatial Audio.

Kemudian soal kenyamanan, Razer membekali Kraken V3 Pro dengan pelapis earpad yang terbuat dari kombinasi bahan kain plus kulit sintetis. Jadi yang menempel pada sekitaran telinga adalah kain, sementara sisi samping bantalannya terbuat dari kulit demi memastikan bass yang dihasilkan tetap terasa mantap.

Kenapa tidak memakai bahan Flowknit seperti BlackShark saja? Well, kalau menurut Razer sendiri, Flowknit rupanya tidak kompatibel dengan haptic. Jadi memang material hybrid tadi adalah satu-satunya pilihan untuk Kraken V3 Pro.

Dalam sekali pengisian, baterai Kraken V3 Pro diyakini mampu bertahan selama 11 jam pemakaian (dengan semua pengaturan di level maksimum). Kalau haptic dan pencahayaan RGB-nya dimatikan (jadi headset wireless biasa), maka perangkat bisa beroperasi sampai 40 jam. Charging-nya sendiri sudah mengandalkan USB-C.

Razer Kraken V3 Pro kabarnya akan tersedia pada kuartal ke-4 tahun ini dengan banderol $200. Alternatifnya, Razer juga akan lebih dulu memasarkan Kraken V3 dan Kraken V3 HyperSense di bulan Oktober ini juga, masing-masing seharga $100 dan $130.

Kedua headset ini lebih murah karena sama-sama masih mengandalkan kabel. Meski begitu, keduanya tetap mewarisi beberapa fitur andalan milik Kraken V3 Pro, mulai dari driver TriForce Titanium sampai lapisan earpad berbahan hybrid itu tadi.

Khusus Kraken V3 HyperSense, tentunya ada teknologi haptic yang advanced itu tadi, akan tetapi ia cuma bisa digunakan dengan PC saja via kabel USB (tidak ada jack 3,5 mm seperti di Kraken V3 Pro). Kedua headset ini juga mengandalkan mikrofon cardioid biasa, berbeda dari Kraken V3 Pro yang dibekali mikrofon supercardioid.

Tujuh Tahun Berkiprah, HyperX Sudah Menjual Lebih dari 20 Juta Headset Gaming

HyperX mengumumkan bahwa mereka telah menjual lebih dari 20 juta headset gaming sejak meluncurkan headset pertamanya, HyperX Cloud, pada April 2014.

“Sejak peluncuran headset gaming pertama HyperX di tahun 2014, kami terus mengembangkan desain dan pilihan produk kami untuk menjadi pemimpin industri dalam hal kualitas, kenyamanan, dan suara,” tutur Kevin Hague, General Manager HyperX, dalam sebuah siaran pers.

“Seiring popularitas gaming kasual dan kompetitif terus meningkat di platform PC, konsol, dan mobile, kami berusaha untuk terus mengembangkan headset kami ke level baru dan berharap dapat menghadirkan 20 juta headphone berkualitas tinggi yang berikutnya ke konsumen di seluruh dunia,” imbuhnya.

Seperti yang telah disebutkan, HyperX memulai kiprahnya di industri headset gaming pada tahun 2014 melalui sebuah headset bernama HyperX Cloud. Setahun berselang, mereka merilis HyperX Cloud II yang menghadirkan USB Audio Control Box dan Virtual 7.1 Surround Sound.

Lompat ke tahun 2016, HyperX memperkenalkan CloudX Pro sebagai headset gaming berlisensi Xbox pertamanya. Lalu di tahun 2017, mereka menyingkap HyperX Cloud Alpha dengan teknologi Dual Chamber. Pada tahun 2018, HyperX merilis Cloud Mix yang merangkap fungsi sebagai headset gaming sekaligus headphone Bluetooth.

Memasuki tahun 2019, HyperX mengungkap headset berlisensi resmi PlayStation 4. Kemudian di tahun 2020, HyperX meluncurkan Cloud Revolver yang spesifik menarget kalangan gamer kompetitif. Tahun ini, HyperX belum meluncurkan headset baru, kemungkinan karena mereka sibuk mengurus peralihan kepemilikan perusahaan. Sekadar mengingatkan, divisi periferal HyperX sekarang sudah berpindah tangan dari Kingston ke HP.

Produk periferal HyperX memang bukan cuma headset saja. Mereka juga punya mikrofon USB, mechanical keyboard, mouse, mouse pad, dan bahkan sejumlah aksesori charging untuk konsol. Namun memang yang paling dikenal oleh kalangan gamer adalah lini headset gaming-nya. Pendapat ini bisa jadi agak bias, sebab saya pribadi sehari-harinya menggunakan headset HyperX, sementara keyboard dan mouse saya dari merek lain.

Sumber: Business Wire via VentureBeat.

Harganya Bersahabat, JLab JBuds Work Adalah Headset Nirkabel Kaya Fitur untuk Pekerja Kantoran

Bukan JLab namanya kalau produk yang dijualnya tidak ramah kantong. Produk terbaru mereka adalah sebuah headset nirkabel untuk kalangan pekerja kantoran, dan lagi-lagi mereka mematok harga yang amat bersahabat: $79.

Namun jangan sesekali tertipu oleh harganya. Headset bernama JBuds Work ini tergolong kaya fitur. Yang paling mencolok, ia datang membawa koneksi Bluetooth 5, lengkap dengan dukungan multipoint pairing. Jadi dalam waktu yang bersamaan, ia dapat dihubungkan ke dua perangkat yang berbeda, semisal smartphone dan laptop, sangat berguna dalam konteks bekerja.

Fitur lain yang tak kalah menarik adalah, panggilan telepon yang masuk dapat diterima secara otomatis hanya dengan menurunkan mikrofon yang terpasang pada earcup sebelah kanannya. Selesai berbicara, lipat kembali mic-nya ke atas untuk mengakhiri panggilan telepon.

JBuds Work turut dilengkapi tombol mute pada salah satu earcup-nya, sehingga Anda tidak perlu repot-repot mengingat posisi tombol mute di berbagai aplikasi video conference. Saat mic dalam kondisi mute, sebuah indikator LED di ujungnya akan menyala dalam warna merah.

Andai diperlukan, headset ini dapat digunakan dalam mode mono dengan melepas earcup sebelah kirinya. JBuds Work tercatat memiliki bobot 170 gram, dan itu berarti bobotnya bakal lebih enteng lagi saat salah satu earcup-nya dicopot, ideal untuk pemakaian dalam durasi yang lama.

Meski ringan, baterai JBuds Work terbilang sangat awet. Dalam sekali pengisian, JLab mengklaim daya tahan hingga 60 jam nonstop. Anggap Anda bekerja selama 9 jam per hari, itu berarti headset ini tidak perlu di-charge sama sekali selama dipakai dari hari Senin sampai Jumat, termasuk ketika ada sesi-sesi lembur sekalipun.

Charging-nya sudah menggunakan USB-C. Dalam paket penjualannya, JLab turut menyertakan kabel USB ke AUX (3,5 mm) agar perangkat dapat digunakan sebagai wired headset seandainya diperlukan. Oh ya, JBuds Work punya dua pengaturan equalizer (EQ); satu untuk bekerja (menelepon), satu untuk bersantai (mendengarkan musik). Untuk berganti mode EQ, pengguna cukup mengklik dan menahan kedua tombol volume yang terdapat pada earcup.

Sekali lagi, semua itu bisa didapat dengan harga $79 saja, atau kurang lebih sekitar 1,1 jutaan rupiah. Sayang sejauh ini belum ada informasi mengenai ketersediaan JLab JBuds Work di pasar tanah air.

Sumber: Engadget.

Razer Luncurkan Headset Gaming Kelas Bujet, Kaira X, Harganya Cuma $60

Razer meluncurkan headset gaming baru, yakni Kaira X. Kalau namanya terdengar familier, itu karena Anda pernah tahu mengenai Razer Kaira, headset gaming nirkabel yang dirilis tahun lalu untuk para pengguna Xbox.

Kaira X hadir dalam dua varian: Kaira X for Xbox dan Kaira X for PlayStation. Perbedaan di antara keduanya cuma perkara estetika saja; varian Xbox-nya tersedia dalam pilihan warna hitam dan sejumlah warna lain agar serasi dengan warna controller, sementara varian PlayStation-nya cuma ditawarkan dalam warna putih dengan aksen hitam.

Di luar penampilannya, kedua model Kaira X benar-benar identik, dengan kabel sepanjang 1,3 meter yang bisa dicolokkan ke perangkat apapun yang memiliki jack audio 3,5 mm. Kinerja audionya ditunjang oleh sepasang driver Razer TriForce berdiameter 50 mm. Branding TriForce itu merujuk pada kemampuannya menyetel frekuensi low, mid, dan high secara terpisah, bukan jadi satu seperti desain driver konvensional.

Untuk input suaranya, Kaira X mengandalkan mikrofon cardioid yang fleksibel, tapi tidak bisa dilepas-pasang. Mic-nya dapat di-mute atau unmute secara instan via sebuah tuas di belakang earcup sebelah kiri. Pengguna juga bisa menemukan kenop volume di bagian tersebut.

Kaira X mengemas bantalan telinga yang terbuat dari bahan memory foam, yang kemudian dibalut oleh kain breathable dengan motif honeycomb. Di angka 283 gram, bobot headset ini tergolong cukup standar. Oh ya, kalau Anda mencari RGB, headset ini bukan buat Anda.

Di Amerika Serikat, Razer Kaira X saat ini sudah dijual seharga $60 (± 855 ribuan rupiah), lebih murah $40 daripada versi nirkabelnya.

Pada kesempatan yang sama, Razer juga menyingkap sebuah charging dock untuk controller Xbox. Dock magnetis ini kompatibel dengan controller milik Xbox Series X|S, Xbox One, maupun controller Xbox Elite Series 1. Harganya dipatok $40, dan pilihan warnanya pun beragam, mengikuti variasi warna controller resmi Xbox.

Sumber: Razer.

Harga Tidak Sampai Sejuta, Logitech G435 Hadirkan Koneksi Lightspeed Wireless dan Bluetooth Sekaligus

Pasar headset gaming nirkabel dengan harga terjangkau ($100 ke bawah) terus bertambah panas. Setelah Razer dan JBL, kini giliran Logitech yang menghadirkan penawarannya di segmen ini lewat Logitech G435.

Tidak tanggung-tanggung, Logitech bahkan memasang harga yang lebih murah lagi, tepatnya $80. Menariknya, harga yang amat kompetitif itu tetap bisa diimbangi dengan fitur yang lengkap. Dari segi konektivitas misalnya, G435 tak hanya mendukung sambungan Lightspeed (wireless 2,4 GHz) via dongle USB-A saja, tapi ia juga dapat dihubungkan ke perangkat mobile via Bluetooth.

Selain PC, G435 juga ideal untuk digunakan bersama PlayStation 4 maupun PlayStation 5. Pasalnya, di samping mendukung Dolby Atmos dan Windows Sonic, G435 juga kompatibel dengan teknologi spatial audio Tempest 3D milik PS5.

Melihat desain dan materi-materi promosinya, G435 terkesan jenaka, dan ternyata ia memang tidak cuma ditargetkan untuk konsumen dewasa saja. Headset ini rupanya juga punya fitur ramah anak, yang ketika diaktifkan bakal membatasi volume maksimal menjadi 85 dB saja.

Desainnya pun sangatlah ringkas, dengan bobot tidak lebih dari 165 gram. Dari situ sudah bisa ditebak kalau sebagian besar strukturnya terbuat dari plastik. Menariknya, bagian-bagian plastik ini mencakup minimal 22 persen materi daur ulang, dan Logitech tidak segan menyebut G435 sebagai headset gaming nirkabel paling ramah lingkungan yang pernah mereka produksi.

Keunikan lain yang bakal kita jumpai pada desain G435 adalah absennya boom mic. Sebagai gantinya, ia justru mengandalkan sepasang mikrofon beamforming yang tertanam langsung di earcup. Untuk kinerja audionya, G435 mengandalkan sepasang driver berdiameter 40 mm.

Dalam sekali pengisian, baterainya bisa bertahan sampai sekitar 18 jam pemakaian. Charging-nya sudah mengandalkan USB-C, tapi sayang tidak ada informasi apakah ia dapat tetap digunakan selagi baterainya diisi ulang. Perlu dicatat juga, Anda tak akan menemukan jack audio 3,5 mm di headset ini.

Di Indonesia, Logitech G435 kabarnya akan dijual lengkap dalam tiga pilihan warna mulai bulan November 2021 dengan kisaran harga Rp929.000, lebih murah daripada kurs dolarnya. Menarik.

JBL Quantum 350 Wireless Ramaikan Pasar Headset Gaming Nirkabel Terjangkau

Razer Barracuda X yang dirilis pada bulan Juli lalu pada dasarnya membuktikan bahwa headset gaming nirkabel tidak selamanya harus mahal. Kalau brand sekelas Razer saja bisa menawarkan headset wireless dengan harga sekompetitif $100, brand lain pun semestinya juga bisa.

Tanpa perlu berlama-lama, JBL pun langsung merespon. Headset gaming nirkabel terbarunya, JBL Quantum 350 Wireless, juga dihargai $100, paling terjangkau di antara lineup headset nirkabel JBL

Dari segi estetika, desain Quantum 350 tergolong sangat simpel, terutama jika dibandingkan dengan Quantum 600 atau Quantum 800, yang masing-masing memang dibanderol jauh lebih mahal. Kalau Anda mencari pencahayaan RGB, maka Quantum 350 bukan untuk Anda.

Di angka 252 gram, bobot Quantum 350 termasuk sangat ringan. Pada masing-masing earcup-nya, pengguna dapat menjumpai bantalan memory foam yang dibungkus oleh kulit sintetis. Seperti kebanyakan headset gaming, Quantum 350 mengandalkan sepasang driver dengan diameter 40 mm. Pengguna juga dapat mengutak-atik output suaranya lebih lanjut menggunakan software JBL QuantumEngine.

Di sisi input, Quantum 350 mengandalkan sebuah boom mic yang dapat dilepas-pasang. Sertifikasi resmi dari Discord mengindikasikan bahwa kinerja mikrofonnya cukup bisa diandalkan. Untuk mute atau unmute, pengguna bisa langsung memanfaatkan tombol di earcup sebelah kirinya, persis di depan kenop untuk mengatur volume.

Menggunakan dongle USB standar 2,4 GHz, Quantum 350 dipastikan sepenuhnya kompatibel dengan PC, PS4, PS5, maupun Nintendo Switch. Dalam posisi baterai terisi penuh, ia sanggup beroperasi selama 22 jam pemakaian.

Sesuai standar 2021, port charging-nya sudah menggunakan USB-C, dan ia pun turut mendukung teknologi pengisian cepat (5 menit untuk 1 jam pemakaian). Selagi dicas, Quantum 350 juga tetap dapat digunakan seperti biasa.

Seperti yang sudah disebutkan, JBL Quantum 350 Wireless akan dijual dengan banderol resmi $100, atau kurang lebih sekitar 1,4 jutaan rupiah. Sayang sejauh ini belum ada informasi mengenai ketersediaannya di Indonesia. Sebagai perbandingan, Razer Barracuda X saat ini sudah bisa dibeli dengan harga Rp1.699.000.

Sumber: Harman.

Corsair HS80 RGB Wireless Hadirkan Dukungan Spatial Audio Baik di PC Maupun PS5

Seberapa immersive suatu sesi gaming tidak melulu bergantung pada kualitas visual yang tersaji. Tidak jarang, audio turut memegang peranan yang tak kalah penting, dan pendapat ini semakin diperkuat oleh pesatnya perkembangan teknologi spatial audio, atau yang juga dikenal dengan istilah 3D audio.

Salah satu headset gaming terbaru dengan fokus pada spatial audio datang dari Corsair. Perangkat bernama Corsair HS80 RGB Wireless ini tidak hanya datang membawa dukungan Dolby Atmos, tapi juga sepenuhnya kompatibel dengan teknologi Tempest 3D AudioTech milik PlayStation 5.

HS80 hadir bersama dongle USB yang mendukung teknologi Slipstream Wireless, dan pengguna bebas menyambungkannya ke PC, PS5, maupun PS4. Kalau Anda punya keyboard dan mouse Corsair yang juga mendukung teknologi tersebut, keduanya pun bisa disambungkan dengan menggunakan satu dongle USB yang sama. Jadi total ada tiga periferal yang dapat terhubung secara nirkabel via satu unit receiver.

Alternatifnya, jika pengguna menginginkan kualitas audio yang lebih baik lagi, mereka dapat menyambungkan HS80 ke PC via kabel USB, dan dalam posisi tersebut, perangkat jadi bisa mengolah file audio dengan resolusi maksimum 24-bit/96 kHz. HS80 mengemas driver berdiameter 50 mm, dan secara teknis respon frekuensinya berada di kisaran 20 – 30.000 Hz.

Secara desain, HS80 kelihatan mengadopsi bahasa desain yang cukup mirip seperti seri Corsair Void, tapi dengan tampilan keseluruhan yang lebih kalem dan elegan, apalagi berkat penggunaan bahan aluminium. Juga berbeda adalah bentuk headband-nya yang mengandalkan karet elastis yang menggantung demi mengurangi beban pada kepala pengguna. Aspek kenyamanannya kian disempurnakan oleh bantalan telinga memory foam yang dibalut bahan kain yang breathable.

Di bagian belakang earcup sebelah kiri, pengguna dapat menemukan tombol power sekaligus kenop untuk mengatur volume. Bagaimana dengan tombol mute mikrofon? Well, lipat saja mic-nya ke atas untuk mute, lalu kembali turunkan untuk unmute. Pada bagian ujung mic, terdapat indikator LED yang akan menyala hijau saat unmute, merah saat mute.

Dalam sekali pengecasan, Corsair mengklaim baterai milik HS80 mampu bertahan sampai 20 jam pemakaian. Di Amerika Serikat, Corsair HS80 RGB Wireless saat ini telah dipasarkan dengan banderol resmi $150.

Sumber: Corsair.