Analisa Industri Esports di 2021: Faktor Penghambat, Pendukung, dan Dampak Pandemi

Nilai industri esports diperkirakan akan bernilai US$3,57 miliar pada 2027. Dalam periode 2021-2027, tingkat pertumbuhan per tahun (CAGR) industri esports diperkirakan mencapai 21,3%, menurut laporan terbaru dari perusahaan analitik, ReportLinker. Dalam laporan tersebut, dibahas tentang faktor-faktor yang bisa mendorong dan menghambat pertumbuhan industri esports. Selain itu, laporan itu juga membahas kerja sama dan kolaborasi di industri esports yang terjadi pada 2021. Terakhir, dalam laporan itu tertulis tentang dampak pandemi pada industri esports.

Faktor Pendukung dan Penghambat Pertumbuhan Industri Esports

Popularitas esports tidak bisa lepas dari popularitas game. Industri esports bisa muncul dan berkembang karena game kini dimainkan oleh begitu banyak orang. Dan salah satu hal yang membuat game menjadi sangat populer sekarang adalah berkat kemajuan teknologi. Seiring dengan semakin majunya teknologi, masyarakat pun semakin tergantung pada teknologi: baik smartphone atau gadget lainnya.

Bersamaan dengan berkembangnya teknologi, game juga terus berubah. Misalnya, perusahaan game kini menemukan model bisnis baru, seperti model free-to-play atau subscription. Tak berhenti sampai di situ, masyarakat ternyata tidak hanya senang untuk bermain game, tapi juga menonton orang lain bermain game. Karena itu, tidak heran jika industri konten streaming game dan turnamen esports bisa muncul dan berkembang. Buktinya, total spending konsumen akan turnamen game dan konten video akan game menunjukkan tren naik.

Hal lain yang membuat industri esports berkembang adalah bertambahnya jumlah turnamen esports yang digelar. Selain jumlah turnamen esports yang semakin banyak, total hadiah yang ditawarkan oleh kompetisi esports juga semakin besar. Misalnya, total hadiah liga resmi Mobile Legends mencapai US$300 ribu atau sekitar Rp4,3 miliar. Dalam beberapa tahun belakangan, jumlah penonton esports juga terus bertambah, yang bisa menarik para sponsor.

MPL ID adalah salah satu turnamen resmi dari publisher. | Sumber: Dot Esports

Esports juga sudah semakin diakui sebagai olahraga. Buktinya, ada beberapa universitas yang menawarkan jurusan atau bahkan beasiswa esports. Dengan begitu, gamers punya kesempatan lebih besar untuk berkarir di dunia esports, baik sebagai pemain profesional atau peran lain di belakang layar. Di masa depan, semua hal ini akan membuat industri esports terus tumbuh.

Hanya saja, esports tetaplah industri yang relatif baru. Karena itu, masih ada berbagai masalah yang harus dihadapi oleh para pelaku di dalamnya. Menurut ReportLinker, salah satu masalah yang ada di industri esports adalah ketiadaan standarisasi. Hal ini bisa membuat para pelaku industri esports — mulai dari pemain, organisasi, sponsor, sampai penyelenggara turnamen — kesulitan untuk bisa terus memberikan layanan atau konten dengan kualitas yang konsisten.

Masalah lain yang ada di industri esports adalah keberadaan turnamen palsu. Seiring dengan bertambahnya jumlah kompetisi esports yang diadakan, jumlah turnamen esports bohongan pun meningkat. Jika gamers tidak bisa memastikan legitimasi kompetisi esports, hal ini bisa menyebabkan masalah bagi mereka. Dan dampak turnamen esports palsu tidak hanya mempengaruhi para gamers, tapi juga penyelenggara turnamen sebenarnya.

Kolaborasi Esports Dalam 1 Tahun Terakhir

Dalam laporannya, ReportLinker membagi pasar esports ke empat kawasan, yaitu Amerika Utara, Asia Pasifik, Eropa, serta Latin Amerika dan Timur Tengah. Dari semua kawasan tersebut, Asia Pasifik menjadi kawasan dengan pasar esports terbesar pada 2020. Alasannya karena Asia Pasifik tidak hanya memiliki populasi yang besar, tapi juga jumlah pengguna internet terbanyak jika dibandingkan dengan tiga kawasan lainnya. Tak hanya itu, di Asia Pasifik, esports juga diterima dengan sambutan yang cukup hangat.

Pada 2021, ada berbagai kolaborasi dan kerja sama yang dilakukan oleh pelaku industri esports dengan perusahaan teknologi dan game untuk mengembangkan industri competitive gaming. Misalnya, pada April 2021, Tencent Sports, Tencent Esports, dan EA Sports bekerja sama dengan The Premier League untuk memperkenalkan kompetisi esports dari FIFA baru di Tiongkok. Sementara pada Mei 2021, Nintendo berkolaborasi dengan platform esports untuk pemain amatir, PlayVS. Tujuan Nintendo menggandeng PlayVS adalah untuk menumbuhkan ekosistem esports dari game mereka di kalangan siswa SMA.

Kerja sama antara Gameloft dengan Epik Prime. | Sumber: Medium

Pada Juni 2021, Gameloft menjalin kerja sama dengan Epik Prime, platform NFT, untuk membuat collectibles bertema balapan di mobile game, Asphalt 9. Satu bulan kemudian, pada Juli 2021, Activision Blizzard menggandeng ONE Esports dan foodpanda di Thailand untuk mengembangkan skena esports Call of Duty di Asia Tenggara. Pada bulan yang sama, Intel juga menjalin kerja sama dengan International Olympic Committee. Melalui kerja sama ini, Intel mendapatkan persetujuan untuk menggelar kompetisi esports di Katowice, Polandia, sebagai acara pembuka dari Olimpiade.

Sementara pada Agustus 2021, Gameloft menandatangani kontrak kerja sama dengan ESL Gaming. Tujuan mereka adalah untuk menyediakan solusi sponsorship untuk mobile esports. Di bulan September 2021, Nintendo UK berkolaborasi dengan Digital Schoolhouse dan Outright Games untuk mengembangkan ekosistem esports dari game-game Nintendo di Inggris. Fokus dari kerja sama itu adalah untuk mengadakan turnamen esports nasional untuk murid SD di umur 8-13 tahun. Harapannya, keberadaan kompetisi itu akan membuat para siswa tertarik untuk bekerja di bidang teknologi atau esports di masa depan.

EA jalin kerja sama dengan FIFA untuk buat program baru.

Terakhir, pada September 2021, EA dan Fédération Internationale de Football Association (FIFA) mengenalkan program esports baru untuk EA SPORTS FIFA 22. Program ini diperkirakan berhasil menarik puluhan juta pemain dan penonton. Program tersebut menyajikan kompetisi 1v1 dan 2v2. Dalam kompetisi itu, para pemain akan bisa menjadi perwakilan dari diri mereka sendiri, organisasi esports, atau klub sepak bola di dunia nyata.

Dampak dari Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 memang sudah mulai teratasi pada 2021. Namun, dampaknya masih bisa dirasakan, termasuk di industri esports. Kabar baiknya, dampak pandemi ke industri esports tidak melulu buruk. Keputusan pemerintah dari berbagai negara untuk menetapkan lockdown dan social distancing mengharusnya banyak orang untuk bersosialisasi melalui platform digital atau virtual. Memang, sepanjang pandemi, game tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan, tapi juga media komunikasi.

Selain itu, lockdown juga membuat berbagai kompetisi olahraga tradisional ditunda atau dibatalkan. Alhasil, sebagian penggemar olahraga beralih menonton konten esports. Selain itu, keberadaan kompetisi esports untuk game-game populer, hal ini membuat para gamers menjadi semakin ingin untuk memainkan game-game tersebut.

Sayangnya, pandemi juga memberikan dampak buruk pada industri esports. Salah satu masalah yang muncul akibat pandemi adalah keterbatasan suplai peralatan gaming, seperti joypad, layar, konsol, dan lain sebagainya. Kabar baiknya, regulasi terkait lockdown tampaknya akan diperlonggar pada tahun ini. Artinya, kemungkinan, di tahun ini, industri esports tidak akan lagi terhambat oleh masalah suplai.

Moonton Diakuisisi Induk TikTok, ByteDance?

Menurut laporan dari Reuters, 2 sumber mengatakan bahwa ByteDance (perusahaan induk dari TikTok) telah merampungkan akuisisinya atas Shanghai Moonton Technology Co., Ltd.

Menurut laporan dari media di sana, Moonton akan terus independen dalam operasinya dan mengintegrasikan jaringan ByteDance di luar Tiongkok untuk mengembangkan pasar gaming tingkat global. CEO Moonton, Yuan Jing akan terus menjabat sebagai CEO dan struktur organisasi Moonton tidak berubah.

Saya pun menghubungi Moonton langsung untuk menanyakan kebenaran kabar ini. Azwin Nugraha, PR Manager dari Moonton Gaming pun mengatakan, “Saat ini saya masih belum bisa berkomentar, namun dalam waktu dekat memang akan ada pengumuman terkait hal ini,”

ByteDance berencana masuk ke pasar mobile game. | Sumber: ByteDance via TechInAsia
Sumber: ByteDance via TechInAsia

Buat yang belum tahu, Bytedance sendiri merupakan perusahaan raksasa. Meski di luar Tiongkok, mungkin produknya yang dikenal banyak orang hanya TikTok. Bytedance didirikan oleh Zhang Yiming di 2012. Bulan Mei 2020, ByteDance diprediksi memiliki valuasi sebesar US$100 miliar (hitung sendiri jika dikonversi ke Rupiah berapa).

Jika akuisisi tadi benar, hal tersebut mungkin adalah kabar baik bagi para pelaku ekosistem esports di tanah air — khususnya tim-tim esports yang berkiprah di MLBB. Pasalnya, meski MLBB memang sangat populer dan mendominasi pasar Indonesia ataupun Asia Tenggara, Moonton sepertinya sedikit kesulitan dalam melakukan penetrasi ke pasar barat ataupun bagian Asia lainnya (seperti India, Timur Tengah, dan kawan-kawannya).

Ketika EVOS memenangkan M1 World Championship.
Ketika EVOS memenangkan Mobile Legends M1 World Championship.

Kenapa saya bisa bilang begitu? Sebagai perbandingan, mari kita lihat 2 game mobile lainnya yang juga mendominasi pasar esports Indonesia: PUBG Mobile dan Free FireKedua game tersebut dirilis setelah MLBB dan membangun ekosistem esports mereka setelah ada MPL (liga profesional untuk MLBB). Namun keduanya lebih sukses dalam melakukan penetrasi di luar pasar Asia Tenggara. Anda bisa melihat perbandingan kami antara PUBG Mobile dan Free Fire di tautan ini. Atau, Anda juga bisa membaca ulasan kami soal skema lengkap ekosistem esports MLBB dan PUBG Mobile di Indonesia. Selain itu, bukti lainnya, terlihat dari popularitas RRQ Hoshi yang memang didominasi fans asal Indonesia.

Dengan jaringan ByteDance dan TikTok, MLBB bisa lebih mudah dalam mencari popularitas di luar pasar dominan mereka (Indonesia dan Filipina). Sebagai perbandingan, pengguna aktif TikTok setiap bulan mencapai 689 juta (menurut laporan tahun 2021) sedangkan perkiraan pengguna aktif bulanan untuk MLBB hanya mencapai 78 juta pemain.

Antara Esports dan Startup: Kesamaan, Perbedaan, dan Pembelajaran

Esports sedang berkembang dengan pesatnya, namun tak bisa dipungkiri bahwa industri baru ini memiliki beberapa masalah unik tersendiri. Masalah regenerasi dan profesionalitas para talenta atau sustainability model bisnis mungkin hanya beberapa dari ragam masalah yang belum terpecahkan di ekosistem esports.

Untuk itu ekosistem esports sebenarnya bisa belajar dari “saudara dekatnya”, yaitu ekosistem startup.

Startup dan esports bisa dibilang sebagai dua bidang yang saling beririsan. Perusahaan startup bisa memiliki berbagai macam bidang termasuk esports, namun tidak semua perusahaan esports bisa digolongkan sebagai perusahaan startup. Terlepas dari hal tersebut, hal apa yang sebenarnya membedakan antara keduanya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya pun berdiskusi dengan Amir Karimuddin.

Amir atau kami memanggilnya “Mas Amir” merupakan sosok yang sudah cukup lama malang melintang di ekosistem startup. Kini ia menjabat sebagai Head of Editorial and Research di Dailysocial.id, sister company Hybrid.co.id yang merupakan sebuah media dengan fokus pembahasan seputar ekosistem startup Indonesia. Dalam menjelaskan definisi startup, Amir pun mengatakan, “ada begitu banyak definisi startup. Saya sendiri lebih suka mendefinisikan startup sebagai perusahaan yang didirikan dengan mindset mengembangkan bisnis yang tervalidasi dan bisa bertumbuh (growth dan scalable).

Amir Karimuddin
Head of Editorial and Research di DailySocial.id, Amir Karimuddin / DailySocial

Amir juga menambahkan bahwa selain soal growth mindset dan scalable, exposure ke sektor teknologi menjadi salah satu ciri lain yang membuat sebuah perusahaan dapat digolongkan sebagai startup. “Jadi asalkan konsepnya adalah membangun platform dengan growth mindset, maka suatu perusahaan bisa disebut dengan startup juga. Dalam hal ekosistem esports, misalnya mungkin perusahaan demgam tujuan membangun platform game esports yang bisa dijangkau oleh jutaan orang, punya model bisnis yang jelas, dan rencana pengembangan berkelanjutan. Apabila suatu perusahaan memiliki 3 hal tersebut, maka perusahaan tersebut bisa juga dibilang sebagai startup.”

Namun demikian ekosistem esports/gaming sendiri memang terbagi jadi beberapa sektor lagi untuk saat ini. Dua sektor yang umum terdengar adalah perusahaan pengembang game yang fokusnya membuat game (perusahaan developer game) dan perusahaan yang fokus mengembangkan unsur kompetisi dari suatu game (perusahaan esports).

Dalam artikel ini, bagian ekosistem yang menjadi fokus pembahasan saya adalah perusahaan esports seperti ESL, LoL Esports, atau juga seperti kami dan RevivaLTV pada konteks lokal. Amir lalu menambahkan apa yang jadi persamaan dan perbedaan antara ekosistem startup dengan ekosistem esports.

“Kalau persamaannya adalah keduanya memiliki paparan yang tinggi terhadap teknologi dan sama-sama mendapatkan keuntungan secara online. Sementara salah satu perbedaan antar keduanya adalah dari sisi stakeholder startup yang lebih beragam, seperti pelaku bisnis, konsumen, regulator, dan berbagai support system. Dari apa yang saya amati, stakeholder esports sepertinya masih didominasi oleh pemain. Selain itu, esports juga memiliki unsur sport dan bisnis sementara startup murni hanya bisnis.” Tukas Amir.

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Chief Editor Hybrid.co.id, Yabes Elia. Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Dalam soal cara mendapatkan keuntungan, Yabes Elia Chief Editor Hybrid.co.id juga menambahkan bahwa sumber pendapatan ekosistem esports juga terbilang ambigu karena beririsan dengan industri game. “Misalnya dalam hal orang membeli skin. Apakah keuntungan tersebut merupakan keuntungan ekosistem esports? Karena kenyataannya memang ada juga game yang tidak memiliki esports namun tetap mendapat keuntungan yang besar dan secara online, Genshin Impact contohnya.” Ucapnya.

Jadi untuk mempertegas, Anda juga perlu tahu juga bedanya ekosistem esports dengan industri game. Industri game belum tentu berhubungan dengan ekosistem esports sementara ekosistem esports sudah pasti berhubungan dengan industri game. “Jadi esports bisa dibilang sebagai turunan dari industri gaming. Esports tidak akan bisa muncul tanpa ada industri game, sementara industri game bisa tetap hidup walau tanpa esports sekalipun.” Tambah Yabes mempertegas.

 

Dua Ekosistem yang Pelakunya Didorong Oleh Passion

Gaung kata passion begitu kuat di era internet ini. Tidak hanya dalam ekosistem esports, passion juga menjadi energi besar yang mendorong ekosistem startup sampai menjadi seperti sekarang. “Kalau di startup, faktor pendorong paling besar adalah menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat. Role model pasti ada, cuma mungkin baru ada pada sektor tertentu seperti e-commerce dan ride hailing.” Amir menjelaskan soal passion di balik ekosistem startup

Kalau Anda tergolong sebagai orang-orang yang “tech savvy“, Anda mungkin sedikit banyak ingat tentang cerita sukses startup lokal di sektor ecommerce dan ride hailing. Pada sektor ride hailing, masalah angkutan umum ojek yang harga dan keamanannya tidak jelas menjadi landasan terciptanya ladang bisnis ojek online yang kini bernilai puluhan miliar dolar AS. Sementara pada sektor ecommerce, Anda mungkin juga ingat bahwa isu pemerataan ekonomi di Indonesia menjadi landasan terciptanya platform yang berfungsi sebagai medium transaksi jual beli secara online. Seperti yang disebut Amir, keduanya memiliki satu passion yang sama yaitu untuk mengentaskan masalah yang ada di masyarakat.

Bagaimana dengan esports? Ekosistem esports juga didorong oleh rasa yang sama, passion. Bedanya passion di dalam esports adalah untuk berkompetisi dan menjadi yang terbaik. Walaupun sama-sama didorong oleh passion, namun keduanya terbilang berkembang ke arah yang… Cukup berbeda.

Hubungan baik Gojek dan transportasi publik
Walau sama sama didorong oleh passion, namun esports dan startup terbilang bergerak ke arah yang berbeda.

Perbedaan ini mungkin terbilang hanya stereotipe saja yang sebenarnya tidak menggambarkan populasi secara keseluruhan. Membicarakan ekosistem startup mungkin Anda akan ingat dengan sosok cemerlang seperti Nadiem Makarim yang pintar dan inovatif.  Lalu bagaimana dengan ekosistem esports? JessNoLimit mungkin bisa dibilang jadi salah satu stereotipe ekosistem esports, yaitu jago main game dan menghibur.

Tapi selain dua hal tersebut, tidak ada kesan lain yang tercipta dari seorang JessNoLimit. Stereotipe tersebut juga tidak bisa disalahkan, karena sport dan entertainment terbilang sebagai nafas utama dari ekosistem esports. Kalau menggunakan analogi olahraga basket, tidak mungkin orang seperti Nadiem Makarim jadi stereotipe “anak basket”. Tentu saja sosok yang jadi stereotipe anak basket adalah atlet-atlet NBA yang jago main basket dan atletis seperti LeBron James atau James Harden.

“Sebenarnya stereotipe tersebut muncul karena persaingan yang ketat di dalam ekosistem startup. Semua orang ingin menciptakan invoasi terbaik dan menguasai pasar. Target yang ingin dicapai juga begitu tinggi. Hal tersebut terjadi hampir di ekosistem startup semua kawasan karena berkaca kepada Silicon Valley yang jadi role model dari banyak startup.” Ucap Amir membahas soal stereotipe “anak startup”.

Jika melihat apa yang dijelaskan oleh Amir, bayangan saya kurang lebih jadi seperti ini. Berhubung ekosistem startup memang fokus kepada bisnis dan inovasi, tidak heran persaingan di dalamnya adalah untuk menjadi yang paling pintar dan inovatif agar bisa bersaing.

Sementara pada sisi lain, arah utama ekosistem esports adalah kompetisi dan entertainment. Karena hal tersebut, tidak heran juga kalau persaingan di dalamnya adalah untuk menjadi yang paling jago. Kalau tidak bisa menjadi yang paling jago, bisa juga menjadi yang paling menghibur agar jadi paling populer, walau memang untuk menjadi populer kadang bisa dicapai dengan cara-cara yang nyeleneh.

Sumber: Official Riot Games
Esports memang condong ke arah kompetisi dan entertainment. Tapi tanpa kualitas profesional yang mumpuni, esports akan kesulitan untuk menyajikan entertainment yang pantas. Sumber: Official Riot Games

Namun. mungkin yang sedikit mungkin patut disayangkan adalah persaingan menjadi paling jago/populer tersebut tidak dibarengi dengan profesionalitas para talenta-nya. Dalam esports, mencari orang yang jago main game atau menghibur terbilang mudah. Tetapi talenta yang jago dan punya tingkat profesionalitas yang tinggi mungkin bisa dihitung jari jumlahnya.

Masalah tersebut sudah beberapa kali diceritakan para narasumber kepada Hybrid.co.id. Muhammad Darmawan sosok shoutcaster Free Fire sempat menyebut masalah Star Syndrome sebagai salah satu faktor yang membuat beberapa tim Free Fire Indonesia jadi tidak konsisten prestasinya. Marzarian “Ojan” Sahita General Manager BOOM Esports pernah menceritakan soal sulitnya untuk mencari pemain yang punya skill serta attitude yang baik di ekosistem esports. Yohannes Siagian yang dulu sempat menjabat sebagai Vice President EVOS Esports juga memberikan pendapat yang serupa ketika membahas soal regenerasi pemain esports.

Kita sudah membahas dari sisi pemain. Lalu bagaimana dari sisi bisnis dan taletna profesional industri esports? saya sendiri cukup sering mendengar cerita kesulitan kawan-kawan saya mencari profesional suatu bidang untuk bekerja di esports. Kebanyakan fans esports/gamers memang punya passion. Tapi ya… Hanya passion main game saja tanpa dilengkapi dengan pengalaman kerja/profesional yang mumpuni. Merekrut profesional dari industri lain belum tentu juga bisa menjadi solusi. Karena menjadi profesional di industri esports terkadang masih dianggap “main-main” dan belum sepenuhnya diterima sebagai industri yang serius oleh masyarakat secara umum.

Saya juga jadi ingat cerita kawan saya yang bekerja di sebuah tim esports soal sulitnya mencari video editor dari kalangan fans esports. Kebanyakan yang melamar hanya bisa bilang bahwa mereka adalah fans tim tersebut tanpa menunjukkan kemampuan mereka sebagai video editor. Jangankan tembus sampai tahap interview, beberapa pelamar bahkan masih berada di titik belum mengerti cara mengirim lamaran kerja yang baik dan benar.

Padahal, peran profesional atau pekerja di industri esports terbilang tak kalah penting. Tanpa para profesional industri esports, tidak akan ada live-stream meriah, panggung megah, ataupun konten artikel/video/media sosial yang jadi saksi pencapaian para atlet esports.

Sumber: Blizzard Official
Tanpa para profesional, industri esports mungkin tidak akan punya panggung megah seperti ini. Sumber: Blizzard Official

Saya pun lalu bertanya kepada Amir soal bagaimana dengan keadaan pencarian talenta profesional di ranah startup saat ini. Amir pun mengatakan, “kalau bicara talent, industri startup terbilang punya demand yang lebih besar daripada supply yang ada. Soal talenta dan skill ini memang ada, tapi mulai ditutup dengan rekruitment besar-besaran dan adanya edukasi serta transfer knowledge dari banyak talenta asing.” Ucap Amir menceritakan dari sisi startup.

“Kalau dalam hal esports, mungkin memang sektor industri perlu diperluas. Selain itu, mungkin juga perlu lebih banyak role model entah dari sisi industri yang terlihat sukses. Transfer knowledge dari sisi bisnis ataupun profesional mungkin bisa menjadi salah satu solusi. Tapi gue sendiri belum paham apakah praktik tersebut bisa dilakukan juga di industri esports atau tidak.” Amir menyatakan pendapatnya untuk mengentaskan masalah talenta profesional di industri esports.

Yabes pun menambahkan, “soal transfer knowledge juga penting menurut gue. Menurut pengamatan gue, profesional/pekerja di industri esports sekarang itu kebanyakan adalah anak muda yang punya passion dan semangat besar tapi minim pengalaman kerja atau hanya orang yang itu-itu lagi. Jadi gue melihat memang perkembangan knowledge para profesional industri esports memang masih sangat terbatas.”

Memang untuk saat ini, jago main game dan menghibur adalah dua kesan yang melekat erat di dalam ekosistem esports. Mereka yang paling jago dan paling menghibur juga terbilang mendapat ganjaran finansial yang paling melimpah dibanding mereka yang pintar dan inovatif. Karena hal tersebut, saya jadi melihat posisi profesional industri esports terkesan hanya jadi sekumpulan orang-orang “limpahan” yang kurang jago ataupun kurang menghibur di ekosistem esports.

Jadi mungkin bisa saja hal tersebut jadi salah satu alasan kenapa perkembangan kualitas profesional industri esports masih terjebak di tengah-tengah. Mereka yang punya passion gaming mungkin belum cukup bersaing jika dilepas ke bidang industri lain. Sementara mereka yang sudah malang melintang di industri lain merasa gengsi masuk ke industri esports yang cenderung masih dianggap industri main-main. Padahal di lain sisi benar seperti yang dibilang Amir dan Yabes, bahwa transfer knowledge adalah hal yang penting untuk menyelesaikan masalah tersebut.

 

Melihat Ekosistem Esports dan Startup Sebagai Dua Ekosistem yang Masih Bertumbuh. 

Baik esports ataupun startup, bisa dibilang bahwa keduanya merupakan ekosistem yang masih punya ruang bertumbuh. Tetapi apa benar? Industri startup terbilang punya ruang tumbuh yang lebih besar karena ekosistem tersebut bisa berdiri di bidang apapun.

“Memang beberapa sektor terbilang sulit ditembus pemain baru, e-commerce dan ride hailing contohnya. Tapi ruang tumbuh startup terbilang masih cukup luas karena masih banyak sektor yang punya entry barrier lebih rendah karena belum ada pemain besar di sana.” Amir menceritakan pengamatannya terhadap kondisi ekosistem startup saat ini.

Sementara itu pada sisi lain, ekosistem esports mungkin terbilang sedang panas-panasnya apabila kita melihat pemberitaan ataupun prediksi dari perusahaan-perusahaan analisis industri seperti Newzoo. Tapi jika diteliti lebih dekat lagi, pilihan bidang bisnis untuk ditekuni industri esports di skena lokal terbilang cukup terbatas, setidaknya dari pengamatan saya.

Yabes pun menanggapi soal ini, “kalau industri startup memang perlu mindset problem solving untuk bisa sukses besar. Contohnya bisa kita lihat sendiri seperti perusahaan ride hailing atau ecommerce yang benar-benar mempermudah hidup dan dibutuhkan. Tapi pada sisi lain industri esports basisnya adalah hiburan. Hal yang patut disadari adalah meski hiburan memang jadi salah satu kebutuhan pokok manusia, jenis hiburan itu bukan cuma esports saja. Orang yang main game sekalipun mungkin punya jenis hiburan lain yang ia nikmati, menonton film misalnya. Gue rasa itu jadi salah satu perbedaan antara industri startup dengan industri esports.”.

Genshin Impact menjadi mobile game dengan pemasukan dalam satu minggu terbesar kedua.
Genshin Impact menjadi mobile game dengan pemasukan dalam satu minggu terbesar kedua.

Selain itu menurut pendapat saya ekosistem esports juga punya satu perkara lain yaitu ketergantungan ekosistem ini terhadap pelaku pihak pertama, sang developer game. Pernyataan ini mungkin sudah beberapa kali saya katakan. Tapi satu patut yang disadari adalah bahwa salah satu motor penggerak terbesar yang membuat ekosistem esports menjadi begitu maju belakangan ini adalah sang pengembang itu sendiri.

Coba bayangkan semisal Moonton memutuskan untuk berhenti membuat game dan berubah haluan bisnis jadi perusahaan makanan, apa kabar nasib perusahaan esports yang bergantung kepada Mobile Legends? Walaupun begitu, salah satu kelebihan lain dari ekosistem esports adalah banyaknya jumlah ragam game yang bisa dipertandingkan. Tapi tetap saja, ekosistem industri esports pihak ketiga terbilang punya kemungkinan tumbang yang lebih besar jika dibandingkan dengan developer game yang merupakan pelaku pihak pertama.

Terlepas dari hal tersebut, Yabes juga menambahkan bahwa mindset problem solving menjadi salah satu hal yang perlu bagi para pelaku bisnis esports di Indonesia. “Gue setuju soal mindset problem solving yang disebut Amir. Menurut pengamatan gue, industri esports di Indonesia cenderung punya mindset peniru. Misal bisnis EO lagi ramai, semua orang pun berbondong-bondong bikin bisnis EO. Padahal menurut gue, esports masih punya banyak problem yang bisa diatasi dan jadi peluang bisnis.”

Amir lalu menambahkan cerita soal kondisi para pelaku bisnis di ekosistem startup. “Sebetulnya sih pelaku startup yang non-mainstream juga ada. Biasanya pelaku tersebut fokusnya condong ke arah profit dibanding growth. Mereka biasanya disebut juga sebagai ‘cockroach’ di kalangan para pelaku startup. Tapi menurut pengamatan saya, jumlahnya sih terbilang masih minoritas.”

 

Pada Akhirnya

Antara esports dengan startup mungkin bisa dibilang seperti kakak dan adik yang keduanya sama-sama merupakan industri baru di era internet ini. Dalam konteks Indonesia, esports yang bisa dibilang sebagai “adik” mungkin memang harus banyak belajar dari industri startup yang bisa dibilang sebagai “kakak” karena posisinya yang lebih dulu mencuat.

Dari perbincangan dengan mas Amir, saya sangat setuju dengan mindset startup yang fokus pada growth dan problem solving. Saya melihat esports sangat butuh hal tersebut. Bagaimanapun, bisnis esports adalah bisnis teknologi yang terus-menerus butuh inovasi. Ekosistem esports mungkin tidak akan bertahan lama apabila modelnya lagi-lagi cuma menarik massa dan berharap sponsor saja. Seperti yang dikatakan Yabes, pelaku bisnis esports juga harus belajar lebih mengutamakan mindset problem solving ketimbang cuma sekadar meniru model bisnis yang lebih dulu ada.

“Menurut gue, kegigihan dan adaptasi pemain di masing-masing segmen untuk terus relevan dan berkembang harus jadi sorotan utama bagi para pelakunya.” Ucap Amir menyatakan pendapatnya terkait hal yang bisa dipelajari oleh industri startup dan esports seraya menutup perbincangan kami membahas topik tersebut.

Industri Esports Diperkirakan akan Bernilai Rp35 Triliun Pada 2024

Nilai industri esports global diperkirakan akan menembus US$2,4 miliar (sekitar Rp35 triliun) pada 2024, menurut laporan ResearchAndMarketing.com. Selama 4 tahun, dalam periode 2020-2024, industri esports diperkirakan akan memiliki laju pertumbuhan majemuk (CAGR) mencapai 18,19%.

Ada beberapa alasan mengapa industri esports tumbuh dengan pesat. Salah satunya adalah jumlah pengguna internet yang terus tumbuh. Alasan lainnya adalah jumlah pengguna smartphone yang terus bertambah di era serba digital seperti saat ini. Meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita juga menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan industri esports selama empat tahun ke depan.

Meskipun begitu, industri esports juga akan mengalami berbagai masalah, seperti kecanduan game. Tak hanya itu, esports juga diperkirakan akan memiliki dampak psikologis. Memang, meski terlihat mudah, menjadi atlet esports menawarkan tantangan tersendiri. Salah satunya adalah soal beban mental. Atlet esports memikul beban mental yang sama layaknya atlet Olimpiade. Jika tak ditangani dengan benar, hal ini bisa menyebabkan masalah, menurut laporan Yahoo.

nilai industri esports 2024
Para atlet esports menanggung beban mental yang sama dengan atlet Olimpiade. | Sumber: The Verge

Dalam laporannya, MarketingAndResearch membagi industri esports ke dalam tiga kawasan, yaitu Amerika Utara, Asia Pasifik, dan Eropa. Pada 2019, Amerika Utara menjadi kawasan dengan pangsa pasar terbesar, diikuti oleh Asia Pasifik dan Eropa.

Ada tiga faktor yang membuat pasar esports Amerika Utara menjadi dominan. Salah satunya adalah karena jumlah penonton esports yang terus bertambah. Dua faktor lainnya adalah meningkatnya pendapatan yang siap dibelanjakan oleh masyarakat di sana dan bertambahnya jumlah pengguna smartphone. Diperkirakan, Amerika Utara masih akan menjadi pasar yang dominan selama beberapa tahun ke depan.

Sementara itu, sumber pemasukan di industri esports dikategorikan ke dalam lima kelompok, yaitu sponsorship, hak siar media, iklan, biaya publisher, serta merchandise dan tiket. Pada 2019, sponsorship masih menjadi sumber pemasukan utama, diikuti oleh hak siar media, iklan, biaya publisher, lalu merchandise dan tiket. Untuk masalah penonton, audiens esports di dunia diperkirakan akan menembus 888 juta orang pada 2024, dengan laju pertumbuhan 18,19% pada periode 2020-2024.

Dampak Positif dan Negatif Gugatan RCTI tentang UU Penyiaran ke Industri Game dan Esports

Beberapa hari yang lalu, jagat dunia lelembut, eh, maya dihebohkan dengan gugatan RCTI dan iNEWS ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memasukkan setiap tayangan video di media sosial diatur dalam undang-undang penyiaran.

Jujur saja dari awal saya katakan bahwa saya sendiri juga tidak setuju jika gugatan ini dikabulkan. Meski begitu, saya percaya betul bahwa orang yang kritis adalah mereka yang mampu melihat setiap fenomena dalam perspektif berbeda yang bertentangan.

Makanya, saya ingin menuliskan dampak positif dan negatif yang mungkin bisa didapatkan jika gugatan tadi disetujui.

Sebelum kita masuk ke pembahasannya, ada dua hal yang ingin saya sampaikan sebelumnya. Pertama, Hybrid memang media game dan esports namun pembahasan kali ini mungkin tak akan spesifik di ranah ini karena memang dampaknya akan dirasakan di semua industri.

Kedua, artikel ini juga sebagian besar adalah pendapat saya, berdasarkan dari pengalaman saya berkarier di industri media sejak tahun 2008 — saat saya mengawali karier saya di media cetak.

 

Dampak Positif dari Masuknya Tayangan di Internet ke Undang-Undang Penyiaran

Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, meski saya tidak setuju bukan berarti saya tidak bisa melihat sisi positifnya. Saya kira hal ini penting disadari karena saya tahu bahwa kebanyakan orang memang terjebak dengan yang namanya bias kognitif.

Sisi positif pertama yang bisa saya lihat adalah soal penerimaan pajak dari para pembuat konten di dunia maya… Saya tahu mungkin pajak tak bisa dipandang sebagai hal yang positif buat kaum bebal… Wakwkakwkkakwa… Namun, semakin besar pajak sebuah industri, lebih besar juga kemungkinan industri tersebut mendapatkan leverage dalam hal kebijakan negara. Selain soal bertambahnya pendapatan negara dari sektor pajak.

Jika gugatan RCTI tadi dikabulkan, pihak-pihak yang diperbolehkan melakukan penyiaran di platform media sosial harus berupa lembaga penyiaran yang memiliki izin. Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Katanya, dikutip dari Kompas.com, “definisi perluasan penyiaran kan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram live, Facebook live YouTube live dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial akan diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin.”

Dengan berubahnya setiap pembuat konten di dunia maya menjadi lembaga penyiaran yang berizin, harusnya, pengawasan soal perpajakan dari lembaga-lembaga tersebut jadi lebih mudah.

Saat ini, jujur saja, saya tidak yakin ada banyak kreator konten dari Indonesia di Facebook, Instagram, YouTube, dan kawan-kawannya yang membayar pajak meski mereka mendapatkan keuntungan/pendapatan dari sana. Jika semuanya diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang berizin, mereka bisa dipaksa untuk memberikan laporan bukti pajak untuk bisa terus melakukan penyiaran.

Sisi positif yang kedua adalah soal kredibilitas dan akuntabilitas. Media-media ‘tradisional’ seperti media cetak, radio, ataupun televisi memang bisa dibilang lebih unggul dalam hal kredibilitas dan akuntabilitas — umumnya — ketimbang mereka-mereka yang mengungah konten di platform media sosial. Padahal, faktanya, faktor anonimitas adalah salah satu faktor terbesar di jejaring dunia maya yang bisa disalahgunakan untuk menghindar dari konsekuensi perilaku negatif. Contoh paling mudah adalah soal faktor anonimitas yang membuat banyak gamer jadi toxic saat bermain online.

Meski demikian, hal ini juga bisa diperdebatkan karena kegaduhan di dunia maya belakangan ini juga datang dari figur publik — bukan dari akun media sosial yang tak jelas siapa saja orang-orang yang berada di belakangnya. Misalnya seperti soal teori konspirasi pandemi ataupun soal mendatangkan narasumber yang bahkan tak jelas kredibilitasnya.

Berbicara soal kredibilitas/akuntabilitas dan aturan yang lebih ketat juga, harusnya, juga bisa berarti lebih memberikan penekanan pada konten-konten yang memang memiliki manfaat ketimbang yang sekadar mencari sensasi dan membuang-buang waktu. Sayangnya, menurut saya, lagi-lagi hal ini juga bisa didebat…

Izinkan saya bertanya, apakah semua konten di media-media ‘tradisional’ (TV, radio, media cetak) saat ini juga sudah bisa dibilang sepenuhnya berfaedah? Apakah tidak ada satupun konten di media-media yang berizin itu yang hanya sekadar mencari sensasi atau berupa konten picisan? Atau, apakah ada media-media tradisional yang digunakan untuk kepentingan politik golongan tertentu? Saya hanya bertanya ya… Silakan dijawab sendiri… Awawkoakoakwaokaowa… 

Jujur saja, setelah 2 hari 2 malam saya mencari sisi positif dari dikabulkannya gugatan itu, saya hanya bisa menemukan soal penerimaan pajak yang (menurut saya) sepenuhnya positif. Meski begitu, menurut saya, harusnya ada cara yang lebih bijak dalam meningkatkan penerimaan pajak dari kreator konten.

Jika Anda bisa menemukan argumentasi lain yang mendukung gugatan ini, kita bisa berdiskusi lebih lanjut soal itu.

 

Dampak Negatif dari Masuknya Tayangan di Internet ke Undang-Undang Penyiaran

Saya masih ingat betul ketika saya masih menangani sebuah majalah cetak dulu. Kala itu, media memang menjadi salah satu dari segelintir pihak yang bisa mengatur arus informasi.

Sebagai seorang penulis, saya tahu betul betapa berharganya informasi itu. Pemilik bisnis juga tahu betul bahwa informasi memang mahal harganya. Karenanya, anggaran belanja iklan itu biasanya juga tidak kecil buat mereka-mereka yang ingin cepat dikenal masyarakat luas.

Sekarang, semua orang bisa menyebarkan informasi (baik yang positif ataupun negatif, baik yang benar ataupun yang salah) lewat platform apapun yang diinginkan. Ada beberapa orang yang menyebutkannya dengan istilah demokratisasi informasi. Selain semua orang bisa menjadi sumber atau penyebar informasi, masyarakat luas juga jadi penentu informasi seperti apa yang lebih nyaring terdengar…

Memang, nyatanya, demokrasi itu juga punya kekurangan besar — setidaknya menurut Socrates. Popularity contest itu juga tidak selalu lebih positif ketimbang curator-based contents. Salah satu contohnya adalah seperti soal drama di seputar komunitas esports dan game jadi lebih ramai ketimbang hal-hal yang bermanfaat — karena memang sebagian besar orang nyatanya lebih suka dengan hal-hal yang banal. Hal ini jugalah yang membuat internet sepertinya lebih banyak menawarkan konten negatif ketimbang yang positif.

Namun demikian, saya tahu tidak sedikit juga para kreator konten yang memang memiliki keinginan untuk menyebarkan hal-hal positif ataupun yang bermanfaat ketimbang yang hanya sekadar sensasional ataupun mencari keuntungan materiil. Karena itu, sekarang, keputusan untuk mencari konten positif ataupun negatif — konten bermanfaat ataupun konten sampah — ada di tangan Anda sebagai konsumen. Saya, misalnya, jadi bisa memilih untuk menghabiskan waktu menonton video-video dari Wisecrack, The Royal Institution, Economics Explained, Kurzgesagt, dan kawan-kawannya.

Jika kita kembali ke zaman dulu, saat arus informasi dikuasai oleh segelintir orang tadi, kita sebagai konsumen tak lagi bisa jadi penentu konten seperti apa yang ingin kita konsumsi.

Sekali lagi, saya juga tidak menyangkal bahwa ada buanyaaaaaaaaaaak sekali konten negatif di dunia maya dan media sosial. Namun, saat ini, saya sendiri yang bisa memilih apakah saya ingin menggunakan waktu luang saya dengan tontonan bermanfaat atau membodohi diri sendiri. Pilihan itu ada di tangan saya, bukan di segelintir orang yang tentunya punya agenda ataupun tujuannya masing-masing (meski bisa positif ataupun negatif juga)…

Dampak negatif yang kedua adalah soal keruwetan yang bisa diakibatkan dari keharusan masuknya kreator konten di media sosial menjadi lembaga penyiaran yang berizin. Misalnya saja seperti ini, jika memang semua kreator konten asal Indonesia di media sosial diharuskan berizin, bagaimana dengan kreator konten dari luar Indonesia?

Apakah mereka juga harus mengantongi izin? Dari data 2019, ada lebih dari 31 juta kanal yang tersedia di YouTube. Saya tidak tahu ada berapa persen dari semua kanal tersebut yang kreator kontennya berasal dari Indonesia. Namun saya tidak yakin jumlahnya sampai 10% dari total jumlah keseluruhan. Apakah puluhan juta kanal lainnya juga harus mengantongi izin penyiaran? Jika mereka tidak memiliki izin, apa yang terjadi?

Angka tadi masih menghitung jumlah kanal dari YouTube… Belum Facebook, Instagram, TikTok, NimoTV, ataupun yang lainnya. Selain keruwetan yang harus dijalani untuk mengurus itu semua, waktu yang dibutuhkan juga pasti tidak sedikit. Apalagi jika kita melihat tak sedikit lembaga negara yang lebih fokus mengurus soal moral ketimbang hal-hal praktis, mungkin tidak ada waktu lagi yang tersisa untuk mengurus izin penyiaran ataupun izin pendirian lembaga yang berbadan hukum.

Selain itu, dampak negatif terakhir adalah soal industri-industri baru yang akan tersandung dan terhambat dengan adanya aturan baru ini seperti misalnya industri esports. Bagaimanapun juga tayangan pertandingan adalah bagian yang tak dapat dipisahkan dari industri esports. Dengan berlakunya aturan main tersebut, akan ada banyak sekali pihak yang jadi kesulitan untuk menayangkannya. Misalnya pun sejumlah perusahaan mungkin bisa mendapatkan izinnya, tentu saja proses tersebut akan memakan waktu… Apakah semua kompetisi jadi harus tertunda sementara proses perizinan sedang berjalan?

Saya yakin hal ini juga akan menghambat industri-industri lain di luar game dan esports. Faktanya, Indonesia saat ini juga sudah tertinggal dibandingkan dengan banyak negara lain dalam hal industri kreatif. Apakah terhambatnya industri kreatif tanah air memang layak dikorbankan demi memuaskan segelintir orang?

 

Akhir kata…

Akhirnya, saya tahu saya juga tidak mungkin menuliskan semua kemungkinan positif dan negatif yang bisa terjadi. Seperti misalnya matinya ruang berkreasi, meski hal tersebut sebenarnya juga tercakup dalam konsep demokratisasi konten/informasi — ketika setiap orang bisa menyuguhkan sekaligus memilih konten untuk dikonsumsi.

Di sisi lain, saya yang sudah bekerja di media dari 2008 juga tahu betul jika demokratisasi konten ini membuat media juga kehilangan banyak pengaruh dan juga pendapatan. Media tradisional tak hanya harus bersaing untuk mendapatkan anggaran belanja iklan dengan Google dan Facebook, tetapi juga dengan para konten kreator (baik siapapun atau apapun bentuknya).

Namun demikian, saya juga tahu bahwa menerima kenyataan dan beradaptasi dengan perubahan zaman itu sebenarnya lebih mudah dan menguntungkan ketimbang tak mampu beranjak dari masa lalu…

Feat Image: via Medium

Pemasukan Industri Esports Asia Tembus Rp7,6 Triliun

Total pemasukan industri esports di Asia mencapai US$519 juta (sekitar Rp7,6 triliun), menurut laporan dari perusahaan riset pasar, Niko Partners. Hal itu berarti, Asia menyumbangkan 50 persen dari total pemasukan industri esports global. Menurut Niko Partners, pemasukan industri esports mencakup sponsorship, lisensi dan franchise turnamen esports, penjualan tiket, merchandise, dan lain sebagainya.

Sementara itu, pada 2019, pemasukan dari game-game mobile esports di Asia mencapai US$13,3 miliar (sekitar Rp194 triliun) atau sekitar 68 persen dari total pemasukan game mobile esports dunia. Sayangnya, pandemi COVID-19 akan menghambat laju pertumbuhan industri esports karena pandemi membuat berbagai turnamen esports harus diadakan secara online atau bahkan dibatalkan. Meskipun begitu, Niko memperkirakan, industri esports di Asia masih akan tumbuh.

Memang, selama pandemi, jumlah penonton dan waktu yang dihabiskan untuk menonton konten esports mengalami kenaikan. Secara keseluruhan, viewership konten esports di Asia mengalami kenaikan sekitar 75 persen sampai 100 persen. Dan sekitar 50-75 persen gamer menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain game selama pandemi.

industri esports asia
Total pemasukan industri esports Asia dan jumlah fans esports di Asia. | Sumber: Niko Partners via VentureBeat

Di kawasan Asia, Niko memperkirakan, ada 1,2 miliar mobile gamer. Sementara jumlah gamer perempuan pada 2019 mencapai 500 juta orang, naik 18,8 persen. Diperkirakan, jumlah gamer perempuan akan naik 15 persen pada 2020. Bertambahnya jumlah gamer perempuan mendorong munculnya berbagai tim dan turnamen esports khusus perempuan. Faktanya, mobile esports yang juga diminati oleh pemain perempuan mendapatkan lebih banyak penonton perempuan serta fans perempuan. Dan hal ini akan membuat game tersebut semakin menarik bagi sponsor.

Tiongkok masih menjadi pasar esports terbesar, baik dari segi jumlah fans maupun total pendapatan. Negara tersebut juga merupakan negara dengan infrastruktur esports paling mumpuni. Sementara Korea Selatan menjadi tempat kelahiran esports. Di sanalah game-game seperti StarCraft menjadi populer. Selama lebih dari 10 tahun, Korea Selatan menjadi salah satu pendorong perkembangan industri esports. Sampai sekarang, mereka masih menjadi salah satu pasar esports terbesar.

Sementara itu, di Vietnam dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, mobile esports tumbuh pesat. Beberapa mobile game yang ekosistem esports-nya mulai berkembang antara lain Mobile Legends, Free Fire, Arena of Valor, Hearthstone, StarCraft 2, dan Clash Royale.

Sumber: VentureBeat, The Esports Observer

Sumber header: Facebook

[Opini] Bagaimana Masa Depan Industri Esports dan Game di Kala Pandemi?

Di kala pandemi COVID-19 sampai hari ini, industri esports dan game memang nampaknya terlihat masih bertahan dan malah menunjukkan sejumlah peningkatan.

MPL ID S5 yang berakhir bulan April 2020 lalu berhasil mencetak rekor penonton tertinggi dibanding musim-musim sebelumnya dengan 1,1 juta peak viewers menurut Esports Charts (meski babak Playoffs-nya digelar full online). MPL Invitational yang berakhir bulan Juli 2020 juga bahkan berhasil melampaui jumlah penonton LCK.

Dari game lainnya, PUBG Mobile, Indonesia juga bahkan menjadi konsumen tayangan PMWL terbesar kedua di dunia. Sepanjang 2020, PUBG Mobile juga sudah berhasil meraup pendapatan sebesar US$1,3 miliar.

Bigetron RA PMCO Global Finals 2019
Sumber: Official PUBG Mobile

Menurut laporan dari Niko Partners, waktu yang dihabiskan oleh gamer untuk bermain game selama pandemi meningkat 50-75%. Di Tiongkok, penonton mobile esports juga bertumbuh sebesar 75-100%. Menurut studi Esports Charts dan IDC, pandemi juga membuat viewership esports naik.

Tak hanya di platform mobile, penjualan hardware PC gaming juga meningkat pesat (10,3%) karena pandemi. Tren dari esports balap juga menunjukkan ke arah yang positif karena sebagian besar ajang balap mobil bergeser jadi ajang balap di arena virtual (sim racing) seperti Le Mans 2020, eNascar iRacing, ataupun F1.

Jika Anda pembaca setia Hybrid, Anda tentu juga sudah kerap menemukan berita-berita positif tentang pertumbuhan industri esports dan game di kala pandemi ini. Namun demikian, bagaimana jika masa pandemi ini masih terus bergulir sampai bertahun-tahun? WHO bahkan mengatakan jika pandemi ini bisa saja butuh waktu sampai 5 tahun sampai benar-benar bisa ditanggulangi. Bisakah industri game dan esports masih bertahan jika hal itu terjadi?

Sebelum saya menjabarkan opini saya tentang masa depan industri esports dan game di tengah pandemi, tak ada salahnya juga kita melihat penyebab peningkatannya terlebih dahulu. Oh iya, sebagai justifikasi dari opini kali ini, kebetulan saja saya sudah berkecimpung di industri ini sejak 2008 saat saya masih bekerja di sebuah media cetak yang membahas soal game, esports, dan teknologi yang berkaitan dengannya.

 

Kenapa Industri Esports dan Game Bertumbuh Pesat di Kala Pandemi?

Mobile Legends Pro League diadakan secara online karena pandemi virus corona. | Sumber: Moonton
Mobile Legends Pro League diadakan secara online karena pandemi virus corona. | Sumber: Moonton

Alasan pertama ini mungkin juga sudah bisa dijawab semua orang namun izinkan saya menjelaskannya di sini karena akan ada kaitannya dengan alasan kedua.

Di masa physical distancing, industri pariwisata dan hiburan mengalami musim kemarau hebat. Spa dan panti pijat saja, setidaknya di Jakarta, masih belum buka sampai artikel ini ditulis eh… kwkwkwkwkw

Ajang olahraga dari berbagai cabang juga baru dimulai kembali belakangan. NBA baru bergulir kembali di bulan Juli 2020. Liga Inggris (Premier League) juga baru digelar kembali setelah 100 hari ditangguhkan.

Dari sisi industri hiburan lainnya, industri perfilman juga terganggu jadwalnya karena kegiatan shooting yang terkendala dengan kebijakan physical distancing di berbagai negara.

Jika berbicara soal online viewership di esports, komoditas yang sebenarnya diperebutkan di sini adalah waktu para penontonnya. Dengan berkurangnya banyak sekali jumlah opsi hiburan di kala pandemi ini, otomatis, esports yang masih berjalan jadi kehilangan banyak saingan dalam berebut waktu luang.

Demikian juga dengan industri game yang masih cukup produktif meski banyak perusahaan memberlakukan kebijakan WFH (Work from Home).

Satu hal lagi yang tak kalah menarik untuk dibahas adalah soal peningkatan penjualan hardware PC. Dari pengamatan saya, ada sebagian porsi yang cukup besar dari pasar gamer PC yang datang dari pekerja kantoran. Kebijakan WFH dari berbagai kantor di seluruh dunia mendukung pertumbuhan penjualan hardware tadi dari dua sisi.

Via: TechSpot
Via: TechSpot

Pertama, kebanyakan pekerja kantoran akan menghabiskan lebih dari sepertiga waktunya dalam sehari di luar rumah — di kantor 8 jam ditambah dengan waktu yang dibutuhkan untuk berangkat dan pulang. Dengan begitu, mereka jadi tak punya banyak waktu luang untuk bermain game di rumah ataupun menaruh prioritas untuk memiliki desktop.

Namun dengan kebijakan WFH, kondisinya jadi berbalik. Para pekerja kantoran yang punya disposable income ini jadi punya lebih banyak waktu di kediamannya masing-masing.

Alokasi disposable income para pekerja kantoran ini juga jadi berubah. Selain mereka jadi punya alasan lebih untuk upgrade desktop (karena jadi bisa digunakan untuk bekerja selama WFH), seperti yang tadi saya katakan tadi, industri hiburan lain juga banyak yang belum buka. Anggaran yang tadinya bisa digunakan untuk nongkrong di kafe atau bar, menonton bioskop, atau pijat (plus-plus) jadi tak bisa digunakan.

Penyebab-penyebab di atas datang dari perubahan behavior user-nya yang kehilangan berbagai opsi hiburan lainnya di luar game dan esports. Meski begitu, perubahan user behavior ini tidak akan berarti apa-apa juga jika tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pelaku industri game dan esports-nya.

Contoh yang saya lihat cukup kentara adalah soal persaingan antara popularitas esports PUBG Mobile dan Free Fire.

Sebelum pandemi, seperti saat di akhir tahun 2019, esports PUBG Mobile seperti kalah populer dengan esports Free Fire — setidaknya di skena dan penonton dari Indonesia. Namun, di kala pandemi ini, Tencent tetap aktif menggelar berbagai ajang kompetitif mereka seperti PMPL, PMWL, ataupun PINC. Mereka sepertinya tahu betul peluang esports di tengah pandemi dan tidak mengendurkan strategi untuk terus aktif. Bocorannya, PMPL Indonesia untuk Season 2 juga bahkan akan dimulai dalam waktu dekat…

Di sisi lain, esports Free Fire justru jadi kurang kedengaran beritanya selama masa pandemi ini.

asus-umumkan-smartphone-gaming-rog-phone-3-1
Via: DailySocial

Saya kira faktor dari para pelaku industri dalam membaca perubahan perilaku user ini juga penting. Dari industri jeroan PC misalnya, baik AMD, NVIDIA, ataupun Intel masih terus aktif dan produktif. Intel belakangan merilis lini produk prosesor baru. AMD juga demikian. Rumor tentang Big Navi dari AMD Radeon dan Ampere dari NVIDIA juga kian santer terdengar belakangan.

Dari industri smartphone dan gadget apalagi… Jadwal rilis produk baru mereka bahkan seolah tak terpengaruh dengan pandemi.

 

Bagaimana Masa Depan Industri Esports jika Pandemi Berkepanjangan?

Meski saat ini prospek industri game dan esports terlihat cerah dan terang benderang, menurut saya pribadi, tidak bijak juga untuk terus terlena dan meremehkannya jika pandemi masih berjalan sampai bertahun-tahun ke depan.

Mari kita lihat dari dari sisi industri game yang terkait dengan disposable income terlebih dahulu karena lebih sederhana untuk dijelaskan. Seperti yang saya jelaskan di bagian sebelumnya, pertumbuhan di industri game terjadi karena opsi industri hiburan yang semakin terbatas di kala pandemi — padahal disposable income dari user itu masih ada.

Via:
Cyberpunk 2077 yang rencananya dirilis di tahun 2020. Via: Imgur

Hal ini akan berubah juga ketika disposable income dari user kian menipis. Di Indonesia, Bappenas memperkirakan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka pada 2020 akan mencapai 8,1% – 9,2% dan angka pengangguran diperkirakan naik 4 hingga 5,5 juta orang. Di US juga tidak kalah parah karena ada 30 juta pekerja yang mengambil dana santunan (jobless benefits).

Angka pengangguran di seluruh dunia juga mengalami peningkatan karena pandemi, menurut data dari OECD. Jika angka pengangguran ini semakin meningkat di kalangan pasar industri game, tentunya disposable income mereka juga jadi nihil.

Buat mereka yang masih bekerja pun, saya kira tidak sedikit juga yang akan memilih untuk berhemat semakin lama pandemi ini berjalan. Saya pribadi yang, untungnya, masih bekerja juga sudah mulai berhemat sekarang meski kemarin sempat kalap saat Steam Summer Sale wkakawkkaw… 

Singkatnya, bagaimanapun juga game adalah kebutuhan sekunder atau bahkan tersier. Buat yang kehilangan pemasukan, tentunya, alokasi anggaran untuk kebutuhan tersebut jadi tidak ada. Sedangkan buat mereka yang masih bekerja sekalipun, ketidakpastian ekonomi di kala pandemi ini juga akan membuat mereka berpikir ulang tentang prioritas anggaran belanja.

Lalu bagaimana soal esports? Bukankah menonton esports (online) itu gratis dan tidak sesignifikan itu bergantung pada disposable income penggunanya?

Esports memang masih bisa terus berjalan di tengah pandemi. Namun begitu, pandemi memaksa esports jadi harus online — tanpa format offline alias tatap muka. Padahal, ada perbedaan besar antara ajang esports online dan offline baik dari sisi penonton ataupun sisi bisnis.

Dari sisi penonton, semua pertunjukan itu tentunya lebih asyik jika disaksikan langsung di lokasi — bukan lewat layar di rumah. Hal ini berlaku di semua bentuk pertunjukan, mulai dari konser musik, teater/film, olahraga, ataupun stript… eh… Nyahahaha

Atmosfir di venue pertunjukan tidak akan bisa dibawa utuh ke layar Anda di rumah. Itu faktanya. Saya sendiri yang biasa datang ke acara esports sudah merasakan kerinduan untuk bisa kembali menikmati hype yang biasa saya dapatkan di gelaran esports di venue.

Disadari atau tidak, atmosfir di venue ini juga berpengaruh terhadap pasar dan industri di esports. Makanya, event organizer seperti ESL ataupun Mineski selalu mencoba menawarkan yang terbaik di setiap event yang mereka garap.

Selain soal atmosfir event esports yang sangat penting untuk user atau fans, event esports offline juga lebih ideal dari sisi bisnis. Pasalnya, sirkulasi uang yang terjadi saat event offline itu jauh lebih besar ketimbang event online. Pertama, ketika event offline berarti ada aliran dana untuk menyewa tempat/venue. Penyelenggara acara juga biasanya membutuhkan segala perlengkapan seperti sound, panggung, lighting, dkk. untuk offline event yang berarti ada aliran dana ke penyedia jasa untuk kebutuhan tersebut.

Para penonton yang datang juga mengeluarkan dana transportasi untuk sampai ke lokasi. Saat di lokasi, kemungkinan besar, para penonton, pemain, ataupun penyelenggara acara juga jajan (makan dan minum).

Saya percaya dengan apa yang dikatakan Douglas Rushkoff bahwa industri yang sehat adalah industri yang memiliki sirkulasi uang yang luas dan cepat. Event esports offline jelas lebih baik dalam memperluas perputaran uang industri ini ketimbang yang online.

Selain soal perputaran uang, mengingat industri esports (baik di Indonesia ataupun dunia) masih sangat bergantung pada sponsor, kegiatan bisnis/marketing yang mungkin terjadi saat event offline itu juga jauh lebih beragam ketimbang saat online. Saat online, kemungkinan besar yang bisa dijual ke sponsor hanyalah soal iklan display saat live streaming. Sebaliknya, saat offline, ada banyak sekali aktivitas bisnis yang bisa dilakukan seperti product experience, salesuser acquisition, data collection, ataupun yang lainnya selain menaruh iklan juga di venue.

Live streaming turnamen itu sudah pasti ada, meskipun digelar juga di venue (offline). Jadi, iklan yang ada saat live streaming juga sudah pasti ada. Namun, tanpa event offline seperti saat di pandemi ini, ada banyak aktivitas bisnis yang saya sebut tadi jadi lebih sulit atau malah mustahil dilakukan. Ketakutannya, hal tersebut nantinya akan berimbas pada minat para sponsor untuk menggelar event esports — belum lagi para sponsor itu juga bisa jadi turut mengencangkan ikat pinggang dalam menghadapi masa pandemi yang berlarut-larut.

Bagi saya pribadi, tak dapat disangkal, esports butuh event offline untuk bisa terus berkembang. Meski memang masih bisa digelar online, sepertinya pertumbuhan industri esports jadi sangat terbatas tanpa event offline karena alasan dari perspektif user (fans) dan bisnis yang saya jelaskan tadi.

 

Penutup

Jadi, kembali ke pertanyaan yang jadi judul artikel kali ini. Bagaimana masa depan industri esports dan game jika masa pandemi masih panjang?

Saya percaya industri game lebih mirip kasusnya dengan industri hiburan lainnya yang masih berjalan sampai hari ini. Karena, jika memang benar pengangguran akan jauh lebih banyak lagi, semua industri kebutuhan sekunder atau tersier akan terkena dampaknya juga — termasuk industri game. Meski memang pelaku industrinya juga akan berpengaruh apakah mereka masih bisa terus produktif di kala pandemi.

viewership esports corona
Credits: ESL

Industri esports yang lebih unik jika pandemi ini masih terus bertahan sampai lima tahun ke depan. Apakah ada caranya untuk membawa atmosfir event offline ke layar di rumah masing-masing? Bagaimana dengan aktivitas bisnis yang bisa dilakukan dengan event online? Aktivitas apa saja yang masih bisa dilakukan tanpa event offline, selain sekadar menampilkan iklan?

Jika pertanyaan-pertanyaan tadi bisa terjawab dan dieksekusi dengan baik, saya percaya industri esports bisa survive melewati pandemi… Jika tidak, entahlah…

Feat Image: Cyberpunk 2077 via Imgur

Berapakah Usia yang Tepat untuk Terjun ke Esports?

Jujur saja saya katakan di awal artikel ini bahwa saya sebenarnya tidak suka dengan jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Apalagi biasanya, pertanyaan ini dihubungkan dengan ranah perkawinan, eh pernikahan…

Namun begitu, saya sangat percaya bahwa tidak ada pertanyaan yang bodoh (yang ada hanyalah jawaban ignorant dan oversimplified) jadi pertanyaan ini sebenarnya sah-sah saja. Ditambah lagi, artikel ini mungkin dapat membantu menjawab kegundahan mereka yang bingung dengan kapan waktu yang tepat untuk mulai terjun ke esports.

Di artikel ini, saya juga akan membaginya menjadi dua bagian. Pasalnya, berkarier di esports itu bisa dibagi menjadi 2 aspek besar: menjadi atlet esports atau berkarier sebagai pekerja di industri esports-nya (seperti jadi manajer, desainer, jurnalis, video editor, league ops, event organizer, dkk.).

Seperti biasa, saya harus katakan bahwa artikel ini merupakan pendapat saya berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya. Jadi, sebagai bentuk justifikasi atas pengalaman tadi, saya sudah menjadikan bermain game sebagai hobi utama saya sejak kelas 4 SD sampai sekarang dan saya pun sudah terjun ke industri game penuh waktu sebagai jurnalis sejak saya lulus kuliah di 2008. Filosofi gaming juga bahkan menjadi falsafah hidup saya sampai hari ini.

Jadi tanpa basa basi lagi, mari kita bahas bersama perihal usia yang tepat untuk terjun ke esports.

 

Usia ideal untuk menjadi pro player di esports?

Mengingat pertimbangan jawabannya lebih kompleks daripada menjadi pekerja lainnya di industri esports, kita akan membahas soal usia jadi pro player di esports lebih dulu.

Kenyataannya, jam terbang adalah penentu terbesar dari keahlian kita — apapun itu bentuknya — termasuk keahlian untuk bermain game. Maka dari itu, jika kita melihat keahlian dari ranah lainnya, kita akan melihat banyak orang yang mulai belajar hal tersebut sejak remaja atau bahkan Sekolah Dasar.

Dari ranah bermusik, misalnya, tidak sedikit juga musisi-musisi kelas dunia yang mulai belajar sejak mereka masih sangat muda. Bassist legendaris di kelas dunia, Victor Wooten, mulai belajar bermusik bahkan sejak ia masih sangat belia. Anda bisa melihat ceritanya di video di bawah ini.

Echa Soemantri, salah satu drummer tanah air paling keren (menurut saya) juga setahu saya sudah mulai belajar bermain drum sejak ia masih anak-anak. Saya yakin Anda juga bisa menyebutkan cerita yang tak jauh berbeda dari musisi-musisi lain yang kemampuannya jauh di atas rata-rata musisi profesional lainnya.

Dari ranah olahraga? Kisah-kisah serupa juga tidak jarang bisa kita temukan. Menurut laporan dari The Economist, Tiongkok bahkan merekrut anak-anak tertentu untuk dimasukkan ke dalam pelatihan atlet olimpiade sejak usia dini.

Kemudian pertanyaan pentingnya, apakah hal serupa juga bisa diterapkan ke keahlian bermain game? Seperti misalnya memberikan waktu bermain game yang sebanyak-banyaknya ke anak-anak yang masih SD sekalipun. Jawabannya sebenarnya bisa-bisa saja namun, menurut saya, saat ini masih belum masuk akal.

Kenapa saat ini belum masuk akal untuk mengembangkan bakat semaksimal mungkin sebagai pro player esports sejak anak-anak? Pertama, jika dibandingkan dengan musik dan olahraga, game-nya mungkin tidak akan bertahan selama itu. Anggap saja seperti ini, jika Anda sudah berlatih bermain gitar atau bulu tangkis sejak usia 5-7 tahun misalnya, kemungkinan besar gitar dan bulu tangkis masih akan ada saat Anda bahkan berusia 40 tahun nanti.

Namun, saya tidak bisa mengatakan hal yang sama untuk game yang spesifik. Dota 2 misalnya. Beberapa tahun silam, game ini memang jadi game dan esports paling berkembang di Indonesia. Namun sekarang? Demikian juga dengan MLBB, PUBG M, dan Free Fire. Sekarang, ketiganya memang masih mendominasi ekosistem esports di Indonesia. Namun bagaimana 20 tahun kemudian? Apakah Mobile Legends masih bertahan dengan ekosistem esports-nya? Apakah PUBG M atau Free Fire masih ramai dimainkan 20 tahun lagi?

Industri game memang masih akan bertahan sampai anak saya punya anak lagi, dan seterusnya. Namun belum tentu judul game yang sama masih akan bertahan selama itu. Padahal jika kita berbicara soal kemampuan bermain di tingkatan profesional itu sangat spesifik. Maksudnya jika Anda jago bermain bulu tangkis, tidak otomatis juga Anda akan jago bermain tenis ataupun tenis meja — meskipun kelihatannya mirip.

Musisi kelas atas juga sebenarnya hampir selalu bisa dipastikan untuk mampu memainkan lebih dari salah satu alat musik namun tingkat permainannya pasti berbeda-beda dan hanya satu alat musik yang jadi andalan utamanya.

Contoh saja, Michael Jordan memang bisa dibilang pemain basket paling legendaris sepanjang masa. Namun, saat ia beralih ke golf, ia tetap tidak bisa mencapai tingkatan yang sama dengan Tiger Woods. Demikian juga dengan Victor Wooten, kemungkinan besar, ia juga bisa bermain drum atau piano namun keahliannya di sana tidak bisa setingkat dengan keahliannya bermain bass.

Demikian juga dengan kemampuan bermain game. Saya tahu memang ada pemain seperti Ryan “supernayr” Prakasha ataupun Rivaldi “R7” Fatah yang jago di lebih dari 1 game. Namun, faktanya, kebanyakan pemain Dota 2 dari Indonesia memang tidak semudah itu berpindah ke MOBA di mobile. Tidak ada juga pro player lain yang bisa lintas genre (MOBA, FPS, Battle Royale) seperti supernayr.

Itu tadi alasan kenapa memang tidak masuk akal berlatih maksimal di satu game sejak anak-anak, karena industri game-nya yang lebih dinamis dan adaptasi kemampuan bermain kita yang tidak setinggi itu.

Di sisi lain, saya bukannya melarang juga untuk serius berlatih di satu game sejak anak-anak ataupun usia remaja. Menurut saya, berlatih serius bermain game juga memiliki nilai positifnya asalkan alokasi waktunya yang (saat ini) belum bisa disejajarkan dengan waktu berlatih musik ataupun olahraga karena alasan tadi. Meski keduanya kerap kali disandingkan bersebelahan, menurut saya, esports dan olahraga tidak bisa disamakan begitu saja.

Bagi saya pribadi, manajemen alokasi waktu inilah yang lebih penting dari sekadar usia berapa seseorang boleh berlatih serius untuk menjadi pemain profesional. Hal ini juga berlaku jika seseorang ingin bergabung ke tim esports yang memang serius mengejar prestasi dari berbagai kompetisi.

Sumber: Aerowolf
Sumber: Aerowolf

Jika berbicara soal alokasi waktu dan prioritas, ada cerita dari 2 orang pro player yang menurut saya masuk akal untuk dijadikan pertimbangan. Cerita tersebut datang dari Baskoro “roseau” Dwi Putra dan Jason “f0rsaken” Susanto. Keduanya sama-sama dari skena CS:GO Indonesia yang dulu memang cukup besar namun perlahan tenggelam.

Roseau, ketika ia masih di NXL, sempat bercerita ke saya bahwa ia bisa jadi sarjana dan juara di turnamen internasional di tahun yang sama. Jason juga tidak berbeda jauh ceritanya meski tingkat pendidikan dan usia yang berbeda. Saat masih di Aerowolf dan berusia 13 tahun, Jason mengaku bahwa ia diizinkan bermain untuk timnya (oleh orang tuanya) jika nilai sekolahnya tidak berantakan.

Pertimbangan seperti tadilah yang menurut saya lebih masuk akal. Karena, mereka tidak mengorbankan seluruh waktunya untuk berlatih apalagi dengan melihat kondisi skena esports CS:GO sekarang di Indonesia.

Sekali lagi, menurut saya, usia bukan jadi pertimbangan yang relevan untuk terjun ke esports sebagai pro player — kecuali mungkin Anda sudah terlalu tua. Pertimbangan yang lebih relevan apakah Anda bisa membagi alokasi waktu dan prioritas atau ada orang lain (seperti orang tua) yang bisa melakukannya untuk Anda?

Kenapa pertimbangannya jadi seperti itu? Karena skena esports Indonesia yang masih sangat dinamis dan saya juga melihat tidak sedikit mantan-mantan pro player Indonesia yang akhirnya tak bisa move-on saat ekosistemnya sudah tandus. Idealnya, menurut saya, cerita mantan pemain esports yang bisa dijadikan teladan adalah Ariyanto “Lakuci” Sony. Di DotA, ia adalah pemain legendaris yang dikagumi semua orang dan ditakuti lawan-lawannya. Namun, setelah ia gantung mouse, ia pun sukses dengan bisnisnya.

Saya tahu memang mungkin tidak bisa semudah itu juga bisa menjadi pro player legendaris yang kemudian sukses berbisnis. Namun setidaknya, menurut saya, rencana jangka panjang pasca pensiun dari pro player inilah yang harus dipertimbangkan dengan matang.

Terakhir, untuk menutup bagian ini, sebelum salah kaprah, tentu saja saya tidak melarang hobi bermain game sejak anak-anak juga. Sampai hari ini pun saya juga masih bermain game sampai pagi… Saya juga senang melihat anak saya bermain Minecraft setiap hari. Namun yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dengan sangat baik adalah saat mengorbankan segalanya untuk berlatih dan menjadikan kemampuan bermain game sebagai satu-satunya skill hidup Anda.

 

Usia ideal untuk berkarier di industri esports?

Bagi saya pribadi, jawaban atas pertanyaan ini jauh lebih mudah untuk disuguhkan.

Ada beberapa alasan kenapa pertanyaan ini lebih mudah dijawab. Pertama, dari tuntutan pekerjaannya sendiri, Anda tidak bisa hanya bermodalkan suka alias passion bermain game untuk bisa sukses sebagai pekerja di industri esports.

Pengetahuan dan ketertarikan di game memang menjadi nilai lebih yang sangat berharga namun hal tersebut harus diimbangi dengan skill utama pekerjaan Anda. Misalnya, sehebat apapun pengetahuan ataupun kemampuan bermain Anda, Anda tidak cocok juga jadi desainer grafis di industri esports jika tidak bisa nge-crop rambut.

Demikian juga dengan pekerjaan lainnya seperti penulis atau jurnalis di game atau esports. Tanpa kepekaan dan pemahaman lebih terhadap susunan huruf, kata, kalimat, dan juga paragraf, bagi saya, Anda memang tidak cocok jadi penulis atau jurnalis di industri ini.

Dokumentasi: Herry Wijaya
Dokumentasi: Herry Wijaya

Pekerjaan-pekerjaan lainnya di esports (kecuali pro player tadi), saya kira demikian juga tuntutannya. Anda harus paham broadcasting, penyelenggaraan event, ataupun segala macam fundamentalnya jika ingin mencari nama di ranah event organizer esports.

Kedua, tuntutan sebagai pekerja di industri esports ini lebih berat pada kemampuan kognitif seseorang — bukan pada penekanan muscle memory ataupun reflek yang begitu tinggi jika ingin jadi pro player. Kemampuan kognitif ini bisa lebih fleksibel jika harus beradaptasi di industri lainnya. Misalnya seperti desainer grafis tadi, tuntutan nge-crop rambut ini juga tetap akan dicari di industri lainnya di luar esports. Setidaknya, kemampuan kognitif pekerja profesional ini lebih mudah untuk diadaptasikan ke industri lainnya — andaikan industri esports di Indonesia luluh lantak wkwakakwakwa… 

Karena itulah, untuk mengasah skill-skill yang nantinya akan sangat berguna di industri esports sebenarnya bisa dilakukan sejak sedini mungkin. Misalnya saja, saya memang juga sudah tertarik dengan hal-hal yang berbau tulis menulis dan berbahasa sejak SD sampai hari ini. Contoh lain, mereka yang tertarik dengan fotografi, video, ataupun desain grafis, pemahaman soal komposisi, warna, perspektif, dan segala macamnya, bagi saya, tidak ada masalah apapun jika memang ingin dimaksimalkan belajarnya sedari kecil.

Meski demikian, jika Anda memang masih sekolah (atau kuliah) dan berasal dari keluarga yang mampu menghantarkan Anda lulus kuliah, idealnya Anda hanya menjadikan pengalaman belajar hal-hal tadi paruh waktu. Walaupun karena alasan dan tujuan yang benar-benar berbeda, hanya karena sebatas kewajiban Anda menyelesaikan tanggung jawab yang diberikan oleh orang tua Anda.

 

Penutup

Akhirnya, artikel ini mungkin memang jadinya seolah terlihat menganaktirikan atau menyudutkan kemampuan bermain game ketimbang kemampuan kognitif lain yang jadi tuntutan para pekerja profesional lainnya. Namun demikian, jujur saja, dari pengalaman saya berkecimpung di industri ini lebih dari 10 tahun, itulah pendapat saya.

Sumber: dbltap.com
Sumber: dbltap.com

Pasalnya, resep sukses menjadi seorang pro player ada pada kombinasi yang ideal antara kemampuan kognitif Anda memahami game tersebut dengan kemampuan fisik Anda (muscle memory, reflek, koordinasi mata dan tangan, dkk.). Sebaik apapun Anda menghitung DPS ataupun hitung-hitungan lainnya di MOBA, semuanya tidak akan ada gunanya sebagai pro player jika Anda tidak bisa bereaksi secepat mungkin di saat pertempuran. Kemampuan fisik inilah yang tidak semudah itu diterjemahkan ke game lainnya. Seperti kemampuan Anda bermain drum tidak akan semudah itu diterjemahkan jadi kemampuan Anda bermain gitar.

Jadi, kembali ke judul artikel ini… Berapakah usia yang tepat untuk terjun ke esports? Jawabannya, tergantung — tapi bukan Hybrid namanya jika hanya memberikan jawaban tanpa argumentasi yang jelas.

Jika ingin terjun sebagai pro player, menurut saya, tidak ada usia yang ideal sampai Anda mempersiapkan backup plan setelah pensiun. Kecuali, Anda memang tidak peduli dengan hidup Anda setelah pensiun dari pro player. Sebaliknya, jika Anda ingin terjun sebagai seorang profesional di industri esports, sedini mungkin Anda mulai serius belajar dan mengumpulkan pengetahuan, hasilnya (kemungkinan besar) akan lebih maksimal di masa depan — selama Anda tetap harus menjalankan kewajiban terhadap orang tua yang sudah susah payah membesarkan Anda.

5 Perbedaan antara Esports dan Olahraga yang Harus Disadari

Dengan sekian banyak paradigma negatif yang menempel pada game, banyak orang-orang yang mencoba menekan sentimen negatif esports dengan menyamakannya ke olahraga. Tidak sedikit juga orang-orang yang bahkan mencoba melepaskan korelasi antara game dan esports untuk tujuan tadi — meski faktanya ekosistem esports akan selalu masuk dalam lingkup industri game.

Di sisi lainnya, tak dapat dipungkiri juga bahwa esports itu memang punya sekian banyak kesamaan dengan olahraga di beberapa aspek. Keduanya sama-sama menuntut stamina dan daya juang tinggi.

Esports juga lebih mirip dengan olahraga dalam hal kegiatannya yang lebih bersifat sosial ketimbang game secara umum — mengingat sebagian besar game dapat dinikmati seorang diri (singleplayer) seperti The Outer Worlds, Skyrim, The Witcher 3, ataupun Final Fantasy 7 Remake misalnya. Di game-game non-esports, bahkan di game-game multiplayer sekalipun, Anda tetap bisa menikmati permainannya tanpa berinteraksi dengan pemain lainnya seperti di Monster Hunter: World, Borderlands 3, GTA V, RDR2, Animal Crossing: New Horizons dan kawan-kawannya. MMO yang bahkan dibangun atas fondasi multiplayer sekalipun juga bisa dimainkan tanpa harus bersosialisasi dengan pemain lainnya — meski memang Anda akan kehilangan sejumlah fitur, seperti PvP (player versus player) atau yang lainnya.

Game-game esports, bahkan yang tidak berbasis tim sekalipun, menuntut Anda untuk terus mencari lawan pemain lain untuk berkembang.

RDR 2 via Gamebyte
RDR 2 via Gamebyte

Saya yakin masih banyak contoh lainnya yang bisa disebutkan ketika kita harus menyebutkan kesamaan antara esports dan olahraga. Sayangnya, di sisi lain, banyak salah kaprah di kalangan ekosistem esports Indonesia dan yang terkait dengannya tentang sebuah romantisasi bahwa esports akan jadi serupa dengan olahraga. Faktanya, hal tersebut tidak akan terjadi. Dari 5 perbedaan antara esports dan olahraga kali ini, 3 perbedaan bersifat fundamental — yang mungkin tak akan berubah dalam waktu yang sangaaaaaaaaaaaaaaaaaat lama…

Sebelum kita masuk ke daftarnya, mungkin ada dari Anda yang tidak menyadari pentingnya mengetahui perbedaan-perbedaannya. Sama seperti saat saya menuliskan soal salah kaprah soal pemahaman pasar esports Indonesia, harapan saya adalah memahami dan menyadari lebih jauh tentang industri esports dapat membantu Anda terjun atau terus berkecimpung di sini.

Usia Karier di Esports Lebih Pendek Dibanding Olahraga

Sebelum kita masuk ke dalam 3 perbedaan fundamentalnya, izinkan saya menuliskan 2 perbedaan terbesar antara esports dan olahraga yang juga penting untuk disadari. Perbedaan pertama adalah soal usia produktif berkarir sebagai pemain di esports dan atlet olahraga.

Rivaldo saat bermain untuk Barcelona. Sumber: Marca
Rivaldo saat bermain untuk Barcelona. Sumber: Marca

Di sepak bola, misalnya, banyak pemain bola yang masih bermain saat mereka berada di usia 40an. Teddy Sheringham, Rivaldo, Kazuyoshi Miura dan kawan-kawannya adalah segelintir contoh dari pemain bola yang masif aktif di tingkatan kompetisi resmi saat mereka sudah menginjak usia 40an. Miura bahkan berusia 53 tahun sekarang dan masih bertanding di liga Jepang (FC Yokohama).

Di bidang olahraga lainnya, di Olimpiade misalnya, tidak sedikit juga atlet-atlet yang masih berkompetisi meski sudah berusia lebih dari 60 tahun. Anda bisa melihat daftarnya di tautan ini.

Di sisi lain, meski memang ada gamer-gamer yang berusia 60 tahun ke atas, kebanyakan dari mereka tidak bertanding di turnamen-turnamen bergengsi ataupun resmi; The International buat Dota 2, Overwatch League buat Overwatch, World Championship buat League of Legends (LoL), MPL buat Mobile Legends (MLBB), PMPL buat PUBG Mobile (PUBGM), misalnya.

Hal ini memang menarik karena olahraga menuntut kebugaran fisik yang lebih tinggi ketimbang esports. Kami juga pernah menuliskan soal keterbatasan usia produktif untuk para pemain profesional di esports beberapa waktu lalu. Meski begitu, saya pribadi percaya hal ini bisa jadi berubah seiring waktu karena memang tidak fundamental. Usia rata-rata untuk atlet yang bertanding di Olimpiade bahkan sudah berubah dari waktu ke waktu. Riset tadi menyebutkan bahwa usia rata-rata atlet yang bertanding di beberapa cabang Olimpiade semakin muda seiring waktu.

Kebanggaan Daerah yang Berbuah Monetisasi

Di sepak bola, satu klub biasanya mewakilli kota-kota tertentu. Mereka bahkan memiliki stadionnya masing-masing dan bisa mewujudkan pertandingan kandang-tandang.

Kebanggaan daerah ini bahkan bisa berbuah manis jadi pendapatan buat klub tersebut. Persija misalnya, mereka bisa mendapatkan pendapatan sebesar Rp4-5 miliar jika bertanding di kandang. Mereka juga bisa meraup sekitar Rp50 juta per laga dari penjualan merchandise. Meski memang klub sepak bola juga sama-sama mendapatkan revenue terbesar dari sponsor (layaknya tim esports), pertandingan esports di Indonesia belum mampu mendatangkan pendapatan yang signifikan dari sisi penjualan tiket.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
MPL Indonesia. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Faktor kandang-tandang dan kebanggaan daerah tadi, menurut saya, sedikit banyak berpengaruh terhadap perilaku fans olahraga dalam merogoh kocek saat ingin mendukung tim jagoannya. Di esports Indonesia, setahu saya, belum ada tim yang memang menjual kebanggaan daerah tertentu. Ditambah lagi, kebanyakan tim esports besar memang bermukim di Jakarta.

Di tingkatan global, tim-tim besar kelas internasional bahkan memiliki pemain dari berbagai negara berbeda. Turnamen-turnamen di esports yang mengharuskan kewarganegaraan yang sama dalam satu tim bahkan jarang ditemukan dan mungkin tak bisa dianggap sebagai kompetisi yang paling bergengsi di game-nya masing-masing. Bahkan MPL, M1, ataupun MSC (untuk MLBB) juga tidak melarang tim-tim untuk mendatangkan pemain dari luar negeri — meski ada batasan jumlahnya.

Hal ini juga mungkin berubah di kemudian hari. Apalagi Overwatch League juga sudah mencoba menerapkan sistem kandang-tandang dan menuntut tim-tim yang bertanding di sana memiliki stadionnya masing-masing. Namun saat ini, stadion dan venue esports saja masih memiliki keruwetan yang harus diurai sebelumnya.

Tontonan Olahraga Lebih Bisa Dinikmati Kalangan Luas

Setelah dua perbedaan besar yang mungkin bisa berubah tadi, kali ini kita akan membahas ke 3 perbedaan fundamental yang mungkin tidak akan berubah dalam waktu yang sangat lama. Perbedaan pertama adalah soal olahraga dan esports sebagai tontonan.

Memang, saya tahu bahwa tidak semua orang bisa menikmati pertandingan sepak bola dari awal sampai akhir. Demikian juga dengan olahraga-olahraga lainnya. Meski begitu, kompilasi video dari aksi atlet olahraga yang fantastis, misalnya, bisa membuat banyak orang berdecak kagum meski orang-orang tersebut tidak tahu aturan main olahraga tersebut. Silakan cek video di bawah ini, jika tidak percaya.

Video di atas adalah soal olahraga bola voli yang mungkin bukan yang paling populer di Indonesia. Saya juga yakin lebih banyak dari Anda yang tidak tahu sistem skoring di voli, ketimbang yang tahu. Namun demikian, Anda tetap bisa dibuat kagum dengan aksi-aksi atlet voli di video tadi. Anda juga bisa mencari-cari video dari olahraga-olahraga lain yang sejenis di atas dari cabang tenis meja, atletik, tinju, ataupun yang lainnya untuk mendapatkan pengalaman hiburan yang tak jauh berbeda — terlepas Anda bermain olahraga tersebut atau tidak.

Hal tersebut membuktikan bahwa permainan olahraga bisa lebih dinikmati orang-orang di luar komunitasnya. Ada 2 alasan kenapa olahraga bisa dinikmati oleh kalangan yang lebih luas. Pertama, tontonan olahraga lebih terlihat dari fisik sang atletnya. Hal ini jadi lebih menarik karena saya kira setiap kita tahu batasan fisik kita masing-masing. Kita tahu seberapa kencang kita bisa berlari, seberapa tinggi kita melompat, seberapa cepat kita bereaksi, ataupun seberapa lincah kita bergerak. Maka dari itu, kita kagum saat melihat atlet-atlet di olahraganya masing-masing saat bisa melakukan hal-hal yang jauh di atas batasan fisik kita.

Sebaliknya, tontonan esports biasanya lebih ke in-game. Bukan ke pergerakan fisik para pemainnya. Karena itulah, kita yang harus bisa membayangkan bagaimana pergerakan sang pemain untuk bisa melakukan sebuah trik di dalam game. Keterbatasan pengetahuan kita di game tersebut yang membuat banyak trik pro player jadi seolah biasa saja. Misalnya saja seperti ini, buat yang tahu bagaimana susahnya bergerak di game-game MOBA di PC, kita akan lebih kagum melihat kelincahan para pro player Dota 2 ataupun LoL.

Buat yang hanya pernah bermain MOBA di mobile atau tak pernah bermain MOBA di PC, mereka tidak akan pernah tahu seberapa susahnya melakukan last-hit, orb-walking, juking, dan segudang manuver lainnya dalam kondisi pertempuran yang bertempo cepat nan kompleks.

Bahkan di FPS sekalipun, yang mungkin kelihatannya lebih bisa dikonsumsi kalangan luas, jika Anda melihat sendiri bagaimana pro player CS:GO menggerakkan mouse mereka; saya yakin Anda akan lebih takjub. Karena hal ini juga yang saya rasakan. Saya juga bermain Counter Strike bahkan dari zaman 1.6 (silakan baca sejarah Counter-Strike yang pernah kami tuliskan beberapa waktu lalu). Saya juga tahu betapa hebatnya kawan-kawan saya dari TEAMnxl> di era kejayaannya. Namun demikian, saya jadi lebih takjub saat melihat dengan mata saya sendiri bagaimana Richard Permana, Hansel Ferdinand, Albert Giovanni, Baskoro Dwi Putra, Kevin Susanto, ataupun para pemain CS:GO profesional lainnya menggerakkan mouse.

Saya juga merasakan yang sama saat melihat langsung para pemain game fighting, seperti Bram Arman ataupun Christian Samuel,  menggerakkan lengan dan jari jemari mereka ketika bermain Tekken 7. Dengan melihat langsung bagaimana mereka bergerak fisiknya, saya jadi semakin sadar sejauh mana kemampuan saya dibanding mereka (baik di Tekken 7 ataupun CS:GO tadi). Wkwkkwkwkw… 

Sayangnya, hal ini justru jarang diangkat di esports. Silakan cari sendiri video-video yang mampu menunjukkan bagaimana para jagoan di esports bergerak fisiknya. Kebanyakan yang bisa Anda temukan adalah bagaimana mereka bergerak in-game.

Selain soal pergerakan fisik yang jarang kelihatan, ketika kita tidak memainkan game tersebut, kita jadi kesulitan bagaimana menerjemahkan kemampuan seseorang di dalam permainan. Misalnya saja skill hook dari Pudge di Dota 2, Blitzcrank di LoL, ataupun Franco di MLBB. Jika Anda hanya melihat di dalam game tanpa pernah bermain sendiri, Anda tidak akan tahu seberapa sulitnya mendaratkan skill tersebut di waktu dan target yang tepat. Pasalnya, Anda harus menghitung (atau membiasakan diri) dengan kecepatan gerak musuh dan skill itu sendiri.

Hal ini juga sebenarnya terlihat di ranah bermusik. Jika Anda tidak pernah belajar bermain drum, Anda mungkin tak bisa menghargai kemampuan Mike Portnoy, Akira Jimbo, ataupun para drummer legendaris lainnya. Demikian juga dengan pemain bass legendaris seperti Victor Wooten. Faktanya, keterbatasan kita yang berpengaruh pada apresiasi kita melihat orang-orang yang hebat di bidang tersebut.

Di olahraga, selain pergerakan fisiknya terlihat di layar, setiap kita yang pernah sekolah juga pasti mendapatkan mata pelajaran olahraga. Dengan demikian, kita jadi tahu dasar dan tujuan dari permainan olahraga tadi. Misalnya, harusnya Anda tahu bahwa bermain basket adalah soal memasukkan bola ke dalam ring lawan. Sebaliknya, tidak semua orang tahu bahwa battle royale adalah soal bertahan hidup selama mungkin. Dengan demikian, strategi-strategi di pertandingan esports pun jadi tak terlihat istimewa buat mereka-mereka yang tidak paham dengan game tersebut.

Kenapa hal ini tidak akan berubah dalam waktu singkat? Karena esports mungkin tidak akan bisa masuk ke kurikulum pendidikan yang jadi penetrasi pasar paling efektif ke khalayak ramai, layaknya olahraga. Hal ini berhubungan dengan perbedaan fundamental berikutnya yang akan saya bahas.

Privatisasi Esports

Olahraga adalah milik semua orang. Sedangkan esports, tidak bisa dikatakan demikian. Esports adalah milik segelintir orang, khususnya publisher game (dan juga mungkin developer game) yang memiliki ‘lapangan’ utama berkompetisi. Sederhananya seperti ini, ekosistem esports LoL di Indonesia bisa dibilang sudah mati. Demikian juga dengan Dota 2 yang sudah bisa dibilang sekarat di Indonesia — setidaknya saat saya menulis artikel ini. Keduanya punya penyebab terbesar yang tak jauh berbeda (meski memang bukan cuma satu penyebab saja jika ingin dibahas mendalam) — keengganan sang publisher untuk membesarkan ataupun mempertahankan ekosistem esports-nya di Indonesia.

Sumber: MPL Indonesia
Sumber: MPL Indonesia

Di ekosistem MLBB juga demikian. Di 2018, hampir semua turnamen esports multi-game di Indonesia pasti ada MLBB sebagai salah satu game yang dipertandingkan. Hal ini berubah ketika Moonton mulai membatasi turnamen-turnamen tersebut. Saya pribadi memang setuju dengan pembatasan tersebut sebenarnya karena terlalu sering juga akhirnya menurunkan nilai kelangkaan dari turnamennya. Namun demikian, hal tersebut membuktikan bahwa memang esports bukan milik semua orang.

Demikian juga soal pengakuan tingkat kompetisinya. Di Dota 2, kompetisi paling bergengsi memang hanya The International karena resmi besutan Valve. Andaikan Dota 2 pun ada di Olimpiade, saya kira hal tersebut tidak akan berubah. Demikian juga dengan turnamen-turnamen esports lainnya yang resmi dibuat oleh masing-masing publisher-nya.

Di sepak bola, saya kira gengsi menjadi juara Liga Champion dan menjadi juara Piala Dunia itu sama tingginya (bisa jadi saya salah karena saya memang bukan penggemar bola fanatik) meski penyelenggaranya berbeda. Setiap orang juga berhak mengadakan kompetisi olahraganya masing-masing karena memang tidak ada hak cipta atas satu cabang olahraga. Namun hal ini tidak demikian dengan esports. Misalnya saja, satu hari, Moonton memutuskan untuk menutup server MLBB di seluruh dunia, apa yang akan terjadi dengan ekosistem esports-nya?

Sumber: NBA
Sumber: NBA

Misalnya FIFA memutuskan untuk tidak lagi mengurus sepak bola ataupun NBA tak lagi menggelar liga basket, apakah sepak bola dan basket akan menghilang dari muka bumi? Saya yakin tidak. Meski kehidupan ekosistem esports memang tak bergantung pada satu pihak, kematiannya bisa ditentukan kapanpun oleh sang publisher.

Privatisasi esports ini juga bergantung pada investasi jangka panjang untuk pihak-pihak yang ingin bergelut di dalamnya. Setidaknya, ada beberapa tambahan variabel yang harus dipikirkan — seperti sentimen terhadap sang publisher game ataupun dinamisnya industri gaming dan esports. Inilah yang saya maksud di bagian sebelumnya, kenapa kecil kemungkinannya esports bisa masuk ke kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah itu memang nyatanya tidak sedinamis itu… Koreksi saya jika salah, namun ada beberapa bagian dalam sejarah Indonesia yang sebenarnya hanyalah bentuk hegemoni dari penguasa sebelumnya namun masih juga diajarkan di zaman sekarang. Saya takut hilang jika harus menyebutkan yang mana… Wkwkwkkwkw… 

Kurikulum sekolah memang faktanya tidak sedinamis itu. Padahal esports dan game adalah industri yang begitu dinamis. Dota 2, misalnya, sempat menjadi esports paling laris di Indonesia beberapa tahun silam. Namun sekarang? MLBB, Free Fire, ataupun PUBGM juga belum ada di tahun 2016 namun sekarang bisa dibilang menguasai industri esports Indonesia. Selain itu, aneh juga misalnya jika Free Fire masuk kurikulum tapi MLBB dan PUBGM tidak — atau sebaliknya.

Kebutuhan Infrastruktur yang Jauh Berbeda

Terakhir, perbedaannya mungkin tak sekompleks pemahaman dua perbedaan sebelum ini. Kebutuhan infrastruktur dasar yang jauh berbeda antara esports dan olahraga adalah perbedaan terakhir yang mungkin harus disadari.

Satu kali, saat saya diundang jadi pembicara di Planet Esports dari RevivalTV, satu pertanyaan yang ditanyakan ke saya adalah soal peran pemerintah untuk mendukung esports Indonesia. Bagi saya, jawaban paling tepat adalah soal infrastruktur. Saya sebenarnya pernah menuliskan juga soal apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk esports Indonesia.

Sama seperti di artikel saya tadi, jawabannya memang ada macam-macam jika pertanyaan ini ditanyakan ke banyak orang — mengingat sepertinya banyak orang punya ekspektasi yang terlalu tinggi dan banyak ke negara. Namun, infrastruktur digital adalah satu-satunya yang tak mungkin dilakukan oleh pihak lain selain pemerintah. Regenerasi mungkin memang lebih mudah dilakukan oleh negara namun hal ini masih bisa dilakukan oleh para pelaku industri dan ekosistem.

Di olahraga, infrastruktur dasar utama yang dibutuhkan adalah lapangannya. Lapangan sepak bola, bulu tangkis, voli, dan lain-lainnya jadi kebutuhan pertama untuk mengembangkan industri dan ekosistem olahraga. Tanpa lapangannya, tentu perkembangannya jadi tak bisa dilanjutkan. Jangan salah kaprah, memang bukan hanya lapangan saja yang dibutuhkan untuk membesarkan ekosistem olahraga namun lapangan ini menjadi landasan dasar kebutuhan pertama yang harus dipenuhi sebelum beranjak ke yang lainnya.

Di esports, infrastruktur dasar utama yang dibutuhkan adalah jaringan internet (selain game dan publisher-nya tadi). Faktanya, tanpa koneksi internet, esports tak bisa berjalan. Tanpa koneksi internet yang mumpuni, esports juga tidak akan berkembang pesat — setidaknya tidak akan pernah menyamai capaian yang ada di negara-negara kiblat esports seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, Tiongkok, ataupun beberapa negara Eropa.

Sayangnya, melihat fokusnya yang lebih seputar moralitas dan agama, membiarkan monopoli, dan mengacuhkan pemerataan, mungkin perkembangan esports Indonesia tak akan cukup jauh selama hal-hal tersebut belum dibenahi.

Penutup

Akhirnya, saya harap 5 perbedaan antara esports dan olahraga tadi berguna untuk Anda dalam memahami lebih jauh — yang mungkin berguna juga untuk menjawab prediksi masa depan esports Indonesia, beberapa masalah, ataupun jadi mendapatkan ide apa yang bisa dilakukan.

Namun yang pasti, menyamakan esports dan olahraga adalah sebuah penyederhanaan yang keterlaluan dan bebal.

Perjuangan Perempuan di Esports: Tak Hanya Sekadar Pemanis [Bagian 2]

Esports kini tengah menjadi fenomena global. Menurut Newzoo, industri esports akan bernilai lebih dari US$1 miliar pada 2020. Tiongkok akan menjadi pasar esports terbesar pada 2020 dengan nilai pasar US$385,1 juta. Dengan semakin populernya esports, semakin banyak pula orang di Tiongkok yang menerima esports sebagai olahraga dan tak lagi heran ketika seseorang memutuskan untuk meniti karir sebagai atlet esports.

Sayangnya, diskriminasi gender masih terjadi di dunia esports. Li “VKLiooon” Xiaomeng, pemain perempuan pertama yang memenangkan Hearthstone World Championship, berbagi cerita tentang diskriminasi yang dialami. Dia bercerita, kehadirannya dalam sebuah turnamen Major pernah dipertanyakan oleh seorang pemain laki-laki, yang menganggap bahwa pemain perempuan seharusnya tidak ikut turnamen esports.

Xiaomeng Li. | Sumber: Blizzard Entertainment via Washington Post
Xiaomeng Li. | Sumber: Blizzard Entertainment via Washington Post

Melalui Zhihu, situs serupa Quora di Tiongkok, Li juga menceritakan masalah lain yang dia hadapi sebagai pemain profesional perempuan. Dia mengatakan, kemampuannya pernah dipertanyakan oleh pemain laki-laki yang telah dia kalahkan. Tak hanya itu, dia juga terkadang mendapatkan ejekan tentang tubuhnya. Di dunia online, sejumlah penonton mengejeknya gendut. Sayangnya, Li bukanlah satu-satunya pemain esports perempuan di Tiongkok yang menghadapi berbagai masalah ini.

Ketika membuat kesalahan, para pemain perempuan juga cenderung mendapatkan kritik yang lebih pedas. “Misalnya, Anda adalah pemain perempuan yang ikut serta dalam turnamen. Jika Anda bermain dengan baik, itu bukan masalah. Tapi, ketika Anda membuat satu kesalahan kecil, para fans akan membesar-besarkan kesalahan tersebut,” kata Zhou Jie, COO Killing Angel, tim esports khusus perempuan pada Abascus News.

Jika sebelumnya, kami pernah membahas soal bagaimana eksplorasi tubuh menjadi komoditas para perempuan yang jadi selebriti gaming, kali ini kami akan menunjukkan bahwa ruang berkarier di esports dan game buat perempuan juga bisa dilakukan tanpa perlu jadi eye-candy — selama memiliki kemampuan yang mumpuni di bidangnya.

Diskriminasi di Indonesia

Di Indonesia, masalah diskriminasi gender juga masih terjadi. Caster Veronica “Velajave” Fortuna bercerita, dia pernah mengalami diskriminasi pada awal 2015 sampai 2017. “Kayak, perempuan itu bisa apa sih di esports. Perempuan itu cuma pemanis, nggak pantas untuk main, nggak lebih jago dari laki-laki. Nggak jago kayak caster laki-laki lain,” ceritanya ketika dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat. “Tapi, belakangan diskriminasi sudah mulai menurun. Cuma hate speech saja yang semakin banyak, bukannya berkurang.”

Perempuan yang akrab dengan panggilan Vela ini mengatakan, hate speech adalah masalah yang biasa terjadi di dunia online. “Hate speech itu biasanya online. Aku juga belum pernah lihat yang langsung di depan muka. Mungkin, yang pernah aku alami di depan muka, cuma orang orang yang memandang rendah kita yang belum siapa-siapa,” ujarnya.

“Kalau di media sosial, entah itu saat sedang live, direct message, atau komentar di foto, hate speech itu sudah sangat biasa terjadi. Banyak yang tidak suka karena kita tidak secantik atau mungkin badannya tidak sekecil yang lain. Mostly body shaming,” jawab Vela ketika ditanya bentuk ujaran kebencian yang pernah dia hadapi. “Tapi, banyak juga yang benci cara kita nge-cast, cara menyampaikan kata-kata.” Dia mengaku, biasanya, dia berusaha untuk mengacuhkan hate speech yang dia terima. “Tapi, kalau lagi mau meledak banget, baru aku tanggapin ke pribadi mereka.”

Veronica "Velajave" Fortuna. | Sumber: Instagram
Veronica “Velajave” Fortuna. | Sumber: Instagram

Vela, yang telah menjadi caster selama lima tahun (saat artikel ini ditulis), mengaku tidak sengaja masuk ke dunia esports. “Dulu aku nggak kepikiran kerja di esports. Aku tuh awalnya cuma senang main game, dulu mainnya Dota 2. Terus iseng ikut turnamen perempuan. Lama kelamaan, EO tahu. Dan mereka minta aku untuk nge-cast di turnamennya,” ungkap Vela. Walau awalnya dia tidak tahu apa tugas caster, dia pada akhirnya merasa tertarik dengan tugas seorang caster. “Aku merasa itu menarik banget.”

Mengenai perlakuan atas caster perempuan dan laki-laki, Vela mengatakan, biasanya, penampilan caster perempuan akan lebih dipedulikan dari caster laki-laki. Jika caster laki-laki bisa menggunakan pakaian yang sama dalam beberapa acara, caster perempuan biasanya harus mengganti penampilan mereka. “Kalau laki-laki kan ya pakai itu-itu saja. Jasnya sama, tapi dalemannya berbeda, kaos atau kemeja. Terkadang, kalau kita perhatikan, mereka juga tidak mengganti pakaian untuk beberapa event. Kalau perempuan tidak bisa begitu. Nanti dikira tidak punya baju,” akunya sambil tertawa. “Ditambah makeup kita lebih lama, urusan rambut juga. Kalau caster laki-laki, mau pakai bedak saja sudah untung.”

Ini memunculkan pertanyaan apakah peran perempuan di dunia esports tak lebih dari eye candy atau pemanis.

Para Perempuan yang Bekerja di Belakang Layar Dalam Dunia Esports

Di dunia esports, para atlet profesional memang menjadi bintang utama yang selalu disorot oleh media. Namun, sebenarnya, ada pekerjaan lain dalam industri esports yang tak kalah penting untuk memastikan ekosistem esports tetap bertahan, mulai dari manager dan analis dalam sebuah organisasi esports sampai penyelenggara turnamen. Dan posisi tersebut bisa diisi oleh siapa saja yang memang mumpuni, tak peduli gender mereka. Buktinya, Fathia Alisha Dwikemala berhasil menjadi Head of Events di RevivalTV dan Nadya Sulastri bisa menjadi Head of Finance and Accounting di Mineski Indonesia.

Sebagai Head of Events, tugas Fathia adalah melakukan koordinasi antara tim, sponsor, klien, dan semua pihak terkait untuk memastikan sebuah acara berjalan dengan lancar. Dia bercerita, dia tidak pernah mengalami diskriminasi gender di tempatnya bekerja sekarang. “So far, nggak bermasalah dengan gender sih. Semuanya sama saja karena memang memiliki passion di esports,” akunya saat dihubungi melalui pesan singkat. “Dengan apa yang aku jalani saat ini, kesempatan untuk bekerja di belakang layar untuk laki-laki dan perempuan sama, karena mostly, kita memang bekerja sebagai tim. Jadi, tidak membedakan gender sama sekali.”

Mobile Legends Pro League. | Dokumentasi: MPL Indonesia / Muhammad Thirafi Sidha
Mobile Legends Pro League. | Dokumentasi: MPL Indonesia / Muhammad Thirafi Sidha

Sementara itu, menurut Nadya dari Mineski Indonesia, dalam industri esports, perempuan memang memiliki kesempatan lebih besar untuk bekerja di belakang layar. Tidak tertutup kemungkinan, seorang perempuan juga menduduki jabatan penting. Dia berkata, seorang perempuan bisa saja menjadi project manager yang bertanggung jawab atas turnamen sebesar Mobile Legends Pro League. “Asal orangnya memang memiliki dedikasi tinggi, berkomitmen, dan don’t crack under pressure. Bekerja di event organizer, pressure-nya memang tinggi. Karena kita tidak melakukan tugas yang sama setiap harinya. Ada banyak hal yang tidak terduga terjadi secara mendadak dan kita harus bisa mengambil keputusan, menyelesaikan masalah dengan cepat. Ini bukan masalah gender, tapi lebih ke personality,” jelas Nadya ketika dihubungi melalui telepon.

Nadya memberikan contoh, saat ini, Mineski bertanggung jawab atas dua liga besar, yaitu MPL dan PUBG Mobile Pro League. Kedua turnamen itu biasanya diadakan secara offline di hadapan para penonton. Namun, ketika virus corona memasuki Indonesia dan pemerintah menghimbau masyarakat untuk tetap di rumah, mau tidak mau, Mineski harus mencari cara agar turnamen tersebut tetap berjalan walau tidak diadakan secara offline. Akhirnya, untuk memastikan agar turnamen tetap dapat diselenggarakan dan para penonton tetap bisa menikmati pertandingan, Mineski Indonesia mengirimkan 16 orang ke masing-masing gaming house dari tim yang bertanding. Enam belas orang tersebut bertugas untuk merekam jalannya pertandingan. Selain itu, mereka juga akan mewawancara tim pemenang, sama seperti jika pertandingan diadakan secara offline. Hanya saja, wawancara pemenang ini dilakukan melalui video call.

Meskipun begitu, Nadya mengatakan, tidak semua posisi di belakang layar cocok untuk perempuan. “Tergantung departemennya. Kalau departemen yang banyak mengutamakan fisik, biasanya memang diisi oleh banyak laki-laki. Tapi, untuk departemen seperti finansial, marketing, media sosial, lebih banyak perempuan,” ujarnya. Dia tidak memungkiri, di dunia esports, peran sebagai atlet esports tetap “lebih menarik”. Meskipun begitu, tanpa keberadaan orang-orang di belakang layar — pihak penyelenggara turnamen, pihak yang menyiarkan pertandingan sehingga bisa menjadi hiburan untuk menarik sponsor — maka industri esports tidak akan berkembang.

Sementara itu, menurut Fathia, bagi perempuan yang tertarik untuk masuk ke dunia esports memang senang bekerja di belakang layar, mereka bisa mengambil pekerjaan terkait manajemen. Menurutnya, itu karena perempuan biasanya memang lebih rapi dan teliti akan detail. “Saran aku untuk perempuan yang mau masuk ke dunia esports, jangan mundur sebelum mencoba. Karena sesuatu yang keren datangnya nggak pernah dari comfort zone,” ujarnya.

Bekerja di Industri Esports Sebagai Perempuan

“Aku enjoy banget sih jalanin pekerjaan di industri ini, karena banyak tantangannya dan aku memulai benar-benar dari nol, jadi ada banyak ilmu yang aku dapatkan,” jawab Fathia ketika ditanya bagaimana pengalamannya bekerja di dunia esports selama ini. Jika dibandingkan dengan industri lain, industri esports relatif muda. Meskipun begitu, Fathia tetap memilih untuk bekerja di dunia esports. Dia berkata, “Sejauh ini, aku percaya, industri esports akan menjadi besar nantinya, karena pelaku industri juga semakin banyak.”

Sebelum masuk ke dunia esports, Fathia pernah bekerja di industri pulp & paper. Dia mengaku, meskipun industri esports/game terlihat lebih santai, sebenarnya pekerjaan yang dia lakukan lebih keras. Hal yang sama juga dikatakan oleh Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer dan Co-Founder dari RevivalTV.

Soal budaya perusahaan, biasanya, budaya perusahaan yang bergerak di industri esports lebih menyerupai budaya startup, ungkap Nadya. “Kita seperti startup, tidak mau kaku. Kita menganut paham yang penting produktif, tidak terlalu formal, tapi, ya juga masih dalam batas wajar,” ujarnya. Sama seperti kebanyakan startup, Mineski Indonesia juga penuh dengan pekerja muda. “Pekerja yang berumur di atas 30 tahun di perusahaan kita cuma 10-20 persen. Sisanya, di bawah umur 30 tahun.”

Ada banyak hal yang harus disiapkan untuk menyiarkan konten esports. | Sumber: MPL Official
Ada banyak hal yang harus disiapkan untuk menyiarkan konten esports. | Sumber: MPL Official

Salah satu peraturan fleksibel yang diterapkan oleh Mineski adalah terkait jam kerja. Walau jam kerja untuk departemen yang tidak terkait dengan penyelenggaraan acara — seperti HRD dan keuangan — tetap ketat, tapi divisi broadcast biasanya memiliki jam kerja yang sangat fleksibel. Alasannya, karena tim tersebut biasanya sangat sibuk menjelang penyelenggaraan turnamen. “Ketika kita menyelenggarakan event, tim broadcast bisa baru selesai setup pada pukul 2-3 pagi, sementara pada pukul 7 pagi, acara sudah dimulai,” jelas Nadya. Mineski Indonesia lalu memutuskan untuk menghargai kerja keras divisi broadcast dengan memberikan jam kerja yang fleksibel.

Saat ditanya tentang kriteria orang yang cocok untuk bekerja di dunia esports, Nadya menjawab, “Orang yang mau belajar. Karena kita tidak punya perusahaan yang bisa dijadikan contoh.” Dia menjelaskan, orang yang pernah bekerja di event organizer sekalipun, belum tentu bisa mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam menyelenggarakan turnamen esports. Tugas Mineski sebagai penyelenggara turnamen esports berbeda dari EO konvensional. Ada beberapa hal yang membedakan penyelenggaraan turnamen esports dengan acara lain, seperti prize pool. “Hampir setiap event ada prize pool, yang harus dipotong pajak. Jadi, kita harus mengumpulkan NPWP para peserta,” ungkapnya.

“Kriteria lainnya adalah harus mengerti game,” kata Nadya. Khususnya untuk orang-orang yang bekerja untuk tim broadcast. “Mereka harus tahu konten apa yang cocok untuk ditampilkan agar pertandingan terlihat seru. Karena, apa yang mau ditampilkan itu tergantung game-nya. Game MOBA atau FPS beda.” Dia menjelaskan, konten siaran turnamen esports berbeda dari acara non-esports, seperti konser musik misalnya. Dalam sebuah konser, kamera cukup menyorot sang musisi atau penyanyi. Sementara dalam pertandingan esports, konten harus dipilih sedemikian rupa sehingga penonton dapat merasakan keseruan pertandingan yang berlangsung.

Tak hanya tim broadcast, divisi lain yang tak terlibat langsung dalam penyelenggaraan acara juga harus memahami game, seperti departemen finansial. Dengan begitu, diharapkan, mereka tidak akan tertipu ketika mereka menyediakan biaya akomodasi untuk tim yang berlaga dalam turnamen.

Kesimpulan

Di industri esports, pemain profesional memang masih menjadi bintang utama. Sayangnya, pemain profesional perempuan masih mengalami diskriminasi. Dalam merekrut pemain, organisasi esports juga biasanya memilih pemain laki-laki. Meskipun begitu, itu bukan berarti perempuan tidak bisa meniti karir di esports.

Dunia esports tidak melulu soal para pemain profesional. Ada berbagai pekerjaan lain yang bisa diisi, seperti manager, penyelenggara turnamen, sampai penyiar konten. Jika tertarik dengan esports dan tidak keberatan untuk bekerja di belakang layar, ini bisa jadi kesempatan bagi perempuan. Memang, untuk mereka-mereka yang masih muda, bekerja di belakang layar seolah tidak memberikan prestise yang sama seperti menjadi atlet esports profesional, meskipun begitu, posisi tersebut tetap memiliki peran penting dalam mendukung keberlangsungan ekosistem esports. Ditambah lagi, di belakang layar, perempuan tak perlu khawatir dengan diskriminasi karena memang berbasis pada keahlian dan perannya masing-masing alias meritokrasi.

Esports diperkirakan akan menjadi industri besar karena ia dianggap sebagai hiburan di masa depan. Dan untuk mengemas pertandingan esports menjadi konten hiburan yang layak tonton, diperlukan orang-orang yang bersedia bekerja di belakang layar.

Sumber header: Mineski Infinity Indonesia