Rudiantara Bergabung ke DS/X Ventures sebagai Penasihat Strategis dan Board Member

DS/X Ventures, pemodal ventura yang berfokus di Indonesia, dengan bangga mengumumkan bergabungnya Rudiantara sebagai Penasihat Strategis dan Board Member.

Sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia dari 2014-2019, peran Rudiantara menandai periode signifikan pertumbuhan bagi lanskap startup Indonesia karena ia membawa kekayaan pengetahuan dan keahlian untuk menciptakan ekosistem yang kondusif melalui regulasi, transformasi digital pemerintah serta berbagai program dukungan startup seperti Nexticorn yang diakui secara global.

Rudiantara, bersama dengan tim manajemen DS/X Ventures, sejalan dengan tujuannya untuk memperkaya dan memajukan ekosistem startup Indonesia di peta global.

Dalam komentarnya tentang peran penasihat barunya, Rudiantara mengungkapkan kegembiraannya tentang potensi DS/X Ventures untuk mendorong pertumbuhan sektor teknologi Indonesia.

“Saya sangat senang berkontribusi pada misi DS/X Ventures untuk membina dan berinvestasi pada para pelopor masa depan. Bersama-sama, kami akan membuka peluang baru dan mendorong kemajuan teknologi yang tidak hanya akan menggerakkan Indonesia maju tetapi juga memberikan dampak signifikan di panggung global,” kata Rudiantara.

Tim di DS/X Ventures juga sangat antusias tentang kolaborasi baru ini. “Kehadiran Rudiantara sebagai Penasihat adalah bukti komitmen kami untuk menghadirkan pemikiran terbaik di industri ini untuk mendukung misi kami. Wawasan dan pengalamannya yang tak tertandingi akan sangat berharga bagi perusahaan portofolio kami dan pertumbuhan strategis kami,” kata Founding Partners DS/X Ventures Amir Karimuddin.

Kepemimpinan dan arahan strategis Rudiantara sebagai Penasihat tentunya akan meningkatkan visi DS/X Ventures untuk menjadi katalis dalam revolusi teknologi, membuka jalan bagi masa depan Indonesia yang menjanjikan.

Didirikan oleh pengusaha Rama Mamuaya dan Amir Karimuddin, DS/X Ventures memiliki posisi unik untuk memanfaatkan jaringan pendiri, perusahaan, dan investor yang tak tertandingi, memberikan dukungan yang tak tertandingi kepada portofolionya sepanjang siklus investasi.

Perusahaan ini telah berinvestasi di delapan perusahaan melalui dana debutnya yang berfokus pada B2B: Baskit (SaaS Rantai Pasokan), Finfra (Fintech), GoCement (marketplaceB2B), D3 Labs (solusi enterprise berbasis Blockchain), Fazpass (Solusi Autentikasi), Cards (manajemen SaaS Keanggotaan), Yobo (SaaS CRM B2B), Ilmu.com (gelar akademik online).

Sebagai bagian dari DailySocial Group, sebuah enabler inovasi terkemuka dengan media, penelitian, dan lengan konsultasi yang kuat, DS/X Ventures berada di garis depan dalam mendorong inovasi melalui berbagai program termasuk hackathon, inkubator startup, dan akselerator.

Mendalami Hipotesis Investasi DS/X Ventures untuk Startup B2B Tahap Awal

Belajar dari pandemi, sudah sepatutnya startup kembali pada khitahnya, yakni fokus membangun fundamental, tidak lagi mengejar pertumbuhan eksponensial yang niscaya sulit menjadikannya menjadi perusahaan keberlanjutan. Semangat inilah yang ingin digaungkan kembali oleh DS/X Ventures, lengan investasi bagian dari grup DailySocial.id.

Premis di balik kelahiran ‘si anak bungsu’ ini adalah untuk melengkapi ekosistem startup yang selama ini sudah dibangun DailySocial.id. Dalam perjalanannya, produk DailySocial.id adalah media online, riset, kemudian Startup.id (startup funding marketplace), dan program inkubator hingga hackathon. Keseluruhannya adalah bagian dari upaya perusahaan dalam mendukung ekosistem startup di Indonesia dari berbagai sisi.

“Sementara yang belum kita lakukan dukungan dalam bentuk kapital,” terang Founding Partner DS/X Ventures Amir Karimuddin kepada DailySocial.id.

Amir Karimuddin dan Rama Mamuaya adalah dua orang dibalik berdirinya DS/X Ventures yang secara badan hukum berdiri sejak akhir tahun lalu. Keduanya sekaligus menduduki posisi penting di DailySocial.id. Di satu sisi, Rama sebelumnya pernah berinvestasi ke sejumlah startup (sebagai angel) bersama rekan-rekannya di industri.

Walau begitu, sebelum mantap terjun ke dunia VC ini, keduanya direkomendasikan untuk ikut sekolah singkat yang diadakan oleh VC Lab, akselerator khusus fund manager.

Sembari menyelam minum air, mereka mulai belajar di VC Lab pada awal tahun lalu, sembari melihat situasi terkini mengingat masih belum menentu. Belum kunjung rezeki, situasi makin parah hingga terjadi startup winter, ditandai dengan gelombang PHK di berbagai startup.

“Kita sempat on hold selama beberapa bulan, sampai November [2022] mulai dapat komitmen dari super angels di lingkungan kita. Lalu Desember kita launch.”

Terbersit optimisme saat meluncurkan DS/X, bahwa founder startup tahap awal masih punya kesempatan bertumbuh karena Indonesia memiliki banyak masalah yang belum terselesaikan, walau saat itu kondisi sedang tidak bagus untuk sejumlah vertikal startup.

Timing-nya tidak ada yang better dari sekarang. Secara publik, kepercayaannya memang belum seperti beberapa tahun lalu. Tapi kesempatan untuk early stage yang bagus dengan mindset berbeda justru waktunya adalah sekarang.”

Kondisi demikian sebenarnya juga dialami East Ventures di 2009. Saat itu, dunia sedang dilanda krisis moneter, yang dampaknya juga begitu terasa di Indonesia. Ditandai dari penurunan tajam IHSG, tekanan di pasar obligasi, dan krisis likuiditas pada perbankan.

“Kondisinya tidak bagus, justru mereka buat fund dan eventually sukses hingga sekarang. Dari sisi kita melihatnya sekarang ada gelombang baru dari startup di Indonesia, ada reality check dari early stage itu enggak ada permasalahan, tetap ada potensi namun punya mindset yang berbeda.”

Saat ini, DS/X masih menggalang fund pertamanya. Perusahaan sudah mendapat sejumlah komitmen dari sejumlah super angel investor di kalangan startup. Mereka memercayai kapabilitas pengalaman Rama dan Amir, serta kontribusinya selama ini untuk ekosistem startup Indonesia melalui produk-produk DailySocial.id, entah itu publikasi pemberitaan, platform digital untuk startup, dan sebagainya.

“Dari awal kita punya network dan knowledge, walau kita first time fund manager. Jadinya itu yang kita jual, bagaimana cara pandang kita yang selalu kita cerminkan dalam editorial DailySocial.id, arahnya akan ke mana. Mereka juga paham bahwa tech itu ke depannya punya peranan penting di masa depan.”

Kendati begitu, pihaknya meyakini optimisme para investor dari kalangan nonteknologi bakal meningkat ke depannya. Menurutnya, saat ini mereka cenderung masih wait and see.

Tesis investasi

DS/X menganalisis prospek yang ditawarkan oleh model bisnis B2B begitu luas karena masih banyak pekerjaan rumahnya. Dari berbagai laporan yang dirangkum, disampaikan bahwa pasar e-commerce secara keseluruhan di Indonesia diestimasi bernilai $21,2 miliar pada tahun ini. Diproyeksikan bakal mencapai $104 miliar, didorong oleh tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 37,4%. Segmen B2B mewakili 26,4% dari keseluruhan pasar e-commerce.

Selanjutnya, terjadi pergeseran tren B2C ke B2B e-commerce yang memberikan peluang bagi UMKM untuk terhubung langsung dengan pemasok bisnis, mengatasi tantangan rantai pasokan dan memfasilitasi penetapan harga yang transparan dan logistik yang lebih cepat.

B2B Marketplace di Indonesia / DS/X Ventures

Solusi-solusi yang dibutuhkan, mulai dari memberikan pengalaman omnichannel yang mulus, mengoptimalkan proses rantai pasokan, memanfaatkan potensi daerah pedesaan dan usaha mikro, serta menawarkan transparansi dan efisiensi melalui pasar B2B.

“Tantangan dalam lanskap B2B meliputi sumber, pengiriman, dan pengelolaan modal kerja, integrasi teknologi, masalah keamanan dan privasi, kepatuhan terhadap peraturan, volatilitas mata uang, dan manajemen risiko keuangan,” tulis rangkuman tesis DS/X.

Konteks yang dibahas ini tak terbatas pada solusi B2B e-commerce saja, tapi juga mencakup vertikal lainnya yang masuk ke solusi B2B sebagai model bisnis utamanya. Di antaranya, SaaS, fintech, logistik, healthcare, keamanan siber, AI, HRIS, dan climate tech.

Lanskap sektor bisnis startup B2B di Indonesia / DS/X Ventures

Terlebih itu, tambah Amir, dengan memfokuskan ke digitalisasi B2B, startup tersebut lebih berpeluang untuk bertahan lebih lama. Mengingat, mereka sudah berpikir dari hari pertama bagaimana monetisasinya. Kini DS/X memiliki delapan portofolio startup yang semuanya bergerak di model bisnis B2B. Di antaranya Finfra, Cards, YOBO, Fazpass, D3 Labs, Baskit, dan GoCement.

“Untuk GoCement, kita melihatnya e-commerce B2B secara umum belum banyak yang bisa di-cater oleh pemain dari B2C dan C2C. Market B2B itu beda, dari merchant-nya, konsumennya, dan dibutuhkan solusi yang lebih spesifik. Dari beberapa platform seperti GoCement, kita lihat solusinya, background founder-nya, go-to-market strategy-nya juga pas, makanya kita masuk ke GoCement.”

Selain hanya bermain di startup lokal dan B2B, DS/X memilih untuk agnostik, artinya melihat lebih jauh potensi dari vertikal bisnis startup. Makanya, dalam portofolio DS/X terdapat D3 Labs yang memanfaatkan teknologi web3 dalam solusinya.

Rama menjelaskan, saat melihat prospek jangka panjang dari suatu industri, maka metriks melihat kapabilitas latar belakang founding team jadi bentuk kontrol terbaik. D3 Labs itu sendiri diisi oleh tim awal eks Tokocrypto sebelum diakuisisi Binance. Alhasil, banyak pembelajaran berharga yang mereka petik dari sana dan melanjutkan petualangannya di D3 Labs.

Salah satu produk perdana D3 Labs adalah SeaSeed, platform programmable money yang dirancang untuk bisnis berbasis teknologi blockchain. Solusinya memungkinkan transaksi real-time antara perusahaan dan ekosistem terkait lainnya, sehingga dapat mengurangi biaya rekonsiliasi karena menghilangkan perantara dan memungkinkan transaksi peer-to-peer.

Blockchain adalah one way, jadi ketika orang sudah masuk, tidak bisa balik ke era sebelumnya karena blockchain itu incredibly life changing. Sekarang yang orang lihat blockchain itu NFT, kripto, sama kaya dulu orang pakai internet untuk fraud, sekarang teknologinya itu sendiri jadi samar-samar, jadi tidak akan ngomongin teknologinya sebagai jualan utama, tapi platformnya itu sendiri,” imbuh Rama.

Contoh menarik lainnya juga ditemukan dari Cards, startup asal Purwokerto. Model bisnisnya menarik karena belum tentu bisa sukses bila diterapkan di kota besar. Cards merupakan platform digitalisasi untuk pengelolaan pesantren, mulai dari administrasi, pengelolaan uang saku, hingga keuangan dalam dilakukan dalam satu sistem.

“Dengan keterbatasan mereka dari tim tech dan marketing, ternyata mereka mampu menghasilkan bisnis yang relatif sustainable, tapi bulan performanya selalu positif. Bisa tetap fit dengan kebutuhan pesantren, bahkan bisa meyakinkan bisnis yang konservatif bisa going digital. Kita percaya equal access terlepas dari gender bisa tetap dapat akses kapital,” tambah Amir.

Diungkapkan, setidaknya sampai akhir tahun ini akan incar tambahan dua startup baru ke dalam portofolionya.

Independensi

Rama menuturkan, independesi DailySocial.id sebagai media bakal tetap dipertahankan, tidak jadi kendaraan bagi DS/X untuk memenuhi kebutuhan para portofolionya. Terlebih itu, menurutnya, DailySocial.id bukanlah sekadar perusahaan media online saja. Dari rangkaian produk yang ditawarkan di luar media, tujuan akhirnya adalah membantu ekosistem startup Indonesia bertumbuh.

“Media adalah salah satu arm yang kita develop dari depan [sejak berdiri] karena simply kita lihat value informasi soal startup itu sangat dibutuhkan dan kebanyakan media mainstream belum mengerti soal startup.”

Salah satu bentuk independensi yang diterapkan editorial DailySocial.id adalah tetap transparan dengan memberitakan para pesaing dari portofolio DS/X. Uniknya, proposisi mencolok dari DailySocial.id sebagai grup daripada VC kebanyakan adalah banyak dari mereka yang bangun bisnis VC-nya terlebih dahulu, baru bangun awareness lewat membuat blog, event, dan podcast.

“Kita kebalikannya karena sudah punya itu semua, itu value yang kita tawarkan,” tutup Rama.

Disclosure: DS/X Ventures adalah bagian dari grup DailySocial.id

Investasi Semakin Ketat, Ekosistem Startup di Indonesia Tetap Pesat

DSInnovate belum lama ini menerbitkan hasil riset terbarunya bertajuk “Startup Report 2021-2022Q1“, merangkum dinamika industri dan ekosistem startup digital Indonesia. Laporan ini berisi data, perspektif pendiri, dan konsumen mengenai perkembangan bisnis teknologi. Topik baru yang menjadi sorotan tahun ini adalah impact, baik dari sudut pandang investasi maupun startup.

Dalam sesi Mini-Conference, Editor in Chief DailySocial.id sekaligus Direktur DSInnovate Amir Karimuddin memaparkan beberapa poin dalam laporan tersebut.

Setelah sepanjang tahun 2020 Indonesia mengalami masa-masa suram, kala itu beberapa startup tidak bisa melanjutkan bisnis karena satu dan lain hal, tahun 2021 disebut sebagai titik balik bagi ekosistem bisnis digital di Indonesia. Data yang terjadi membuktikan bahwa benar adanya, industri teknologi tanah air tengah memasuki babak baru.

Restrukturisasi sebagai strategi bisnis

Belakangan ini santer terdengar kabar tentang startup yang melakukan layoff. Faktanya, kabar ini datang bukan dari startup di tahap awal atau yang baru merintis, namun beberapa perusahaan yang namanya sudah cukup dikenal. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam industri startup di Indonesia?

Restrukturisasi bukanlah hal yang baru dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Namun ketika hal ini terjadi secara signifikan, itu akan menimbulkan banyak pertanyaan. Untuk menjawab asumsi-asumsi yang muncul ketika berita seperti ini mencuat di media, Amir, merepresentasikan DSInnovate mencoba menjabarkan apa yang mungkin menjadi dibalik panggung restrukturisasi startup teknologi tanah air.

Salah satunya terkait dengan investor yang semakin berhati-hati dalam menggelontorkan dana. Selain isu pandemi, saat ini industri teknologi Amerika Serikat disebut tengah mengalami “Tech Winter” yang dapat diartikan sebagai periode penurunan minat dan investasi dalam teknologi. Mengingat banyak investor yang juga bermarkas di negeri Paman Sam, hal ini tentunya berdampak pada angka investasi dalam negeri.

Dengan pendanaan yang semakin selektif, ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan oleh perusahaan. Untuk perusahaan dengan skala yang besar, tentunya membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit. Hal ini kemudian berdampak pada cashflow. Agar runway tetap terjaga, harus ada upaya penyesuaian bisnis. Salah satunya adalah restrukturisasi atau efisiensi operasional bisnis.

Investor lebih selektif

Turut hadir dalam di sesi Mini-Conference, Deandra Fidelia Marbun selaku Investment Analyst di Central Capital Ventura (CCV) sebagai kendaraan investasi dari  grup BCA. Ia mengungkapkan pandangannya terkait lika-liku pendanaan yang tengah terjadi di tengah industri teknologi tanah air. Mulai dari aspek lokal hingga global.

Di skala lokal, penurunan jumlah pasien Covid-19 memiliki dampak positif. Ekonomi yang kembali tumbuh berpengaruh pada demand masyarakat yang semakin meningkat, lalu berdampak pada inflasi. Di ranah global, lockdown di China, perang Rusia-Ukraina, serta “Tech Winter” yang sebelumnya dibahas turut menjadi bahan pertimbangan. Penyesuaian tidak hanya terjadi pada startup namun juga investor yang menyebabkan investasi semakin ketat.

Ia juga mengungkapkan bahwa saat ini tengah terjadi koreksi pasar. Hal ini sebenarnya sudah diprediksi oleh bisnis atau modal ventura, setelah melihat kemunculan beberapa startup yang overvalued. Dinamika yang terjadi disebut sebagai sebuah ujian dan startup yang bisa bertahan bisa dibilang berkelanjutan (sustainable).

Sebagai sebuah VC, CCV dibentuk dari awal dengan tujuan investasi yang mengarah ke sinergi. Mengingat infrastruktur dan pengalaman yang sudah dimiliki, CCV memiliki fokus pada sektor fintech beserta turunannya seperti embedded finance. Hingga saat ini perusahaan sudah mengelola puluhan portofolio termasuk OY!, Akseleran, wagely, dan Qoala.

Terkait penyesuaian, Deandra menyebutkan bahwa hipotesis perusahaan dalam menyalurkan investasi sudah ditujuakan untuk dinamika startup yang cepat dan volatile, sehingga tidak banyak penyesuaian yang dilakukan. “Namun kami tetap lebih berhati-hati. Lebih baik sustainable growth daripada hyper growth tetapi ketika tersandung langsung jatuh,” tambahnya.

Babak baru industri startup Indonesia

Amir melanjutkan pemaparannya. Melihat perkembangan industri startup Indonesia, pada mulanya adalah e-commerce hadir menjadi lokomotif industri digital, kemudian merambah ke fintech, lalu semakin besar menyasar sektor lain. Setelah masyarakat mulai paham dengan penggunaan fitur finansial secara digital, hal ini akan turut mengakselerasi sektor lainnya.

Penetrasi teknologi di sektor edukasi dan pendidikan secara besar-besaran di masa pandemi juga menciptakan kemajuan yang besar di tahun 2022 ini.

Selain itu, ada tiga sektor yang juga diprediksi akan semakin berkembang di tahun ini; (1) Direct-to-Consumer yang memungkinkan brand untuk mengembangkan target pasarnya; (2) embedded finance, yang menawarkan solusi fintech untuk bisa diimplementasikan atau di-embed di berbagai macam platform; serta (3) Web3, evolusi dari industri internet yang berpotensi menjadi mainstream dalam jangka panjang.

Selain itu, salah satu tren yang juga diangkat dalam “Startup Report” adalah The Rise of Impact Investment. Investor kini tidak hanya tertarik pada sektor mainstream tetapi juga yang punya dampak langsung ke sosial ekonomi masyarakat seperti social commerce, renewable energy, agrikultur, dan lainnya. Tentunya impact investment memiliki mandat lebih berat, karena akan ada metrik tambahan untuk mendampingi metrik-metrik umum.

Deandra juga menambahkan, bahwa investasi berdampak merupakan salah satu yang menjadi value yang dimiliki CCV. Namun, mengingat fokus utama perusahaan adalah sektor fintech, impact yang dimaksud lebih ke ranah sosial yang mengutamakan inklusi finansial. Layaknya fokus investasi CCV yang akan berkaitan dengan fintech atau fintech related.

“Saat ini kita percaya bahwa pada akhirnya, semua jenis startup akan menjadi perusahaan fintech. Hal ini sudah terbukti dengan para startup global, seperti Uber dengan Uber Visa, begitu pula untuk sektor lain juga akan ada fintech angle-nya. Maka dari itu kita punya target investasi tahun ini ke embedded finance,” tambah Deandra.

Mengenai prediksi pertumbuhan startup ke depannya, Amir mengungkapkan bahwa akan ada reality check untuk memastikan bahwa strategi yang digunakan tetap relevan dengan kondisi saat ini, bukan lagi semata-mata growth at all cost.Cashflow positif akan jadi gold standard yang baru. Balancing antara cashflow dan growth akan jadi norma baru bagi startup di Indonesia. Tentunya dengan catatan tetap bisa memenuhi pertumbuhan bisnis sesuai kesepakatan dengan investor,” tutupnya.

Dampak Layanan Fintech untuk Masyarakat dan Pelaku UMKM di Indonesia

Dalam dua tahun terakhir layanan fintech berkembang secara cepat menawarkan pilihan yang saat ini sudah banyak digunakan secara rutin oleh masyarakat. Mulai dari dompet digital, fintech lending, wealth management, paylater, insurtech, hingga fintech enabler. Dalam sesi #SelasaStartup bersama Editor in Chief DailySocial.id Amir Karimuddin, dibahas seperti apa tren dan perkembangan layanan fintech di Indonesia.

Pertumbuhan platform fintech enabler

Secara khusus saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia makin terbiasa dengan penggunaan dompet digital hingga paylater untuk pembayaran. Namun dalam waktu dua tahun terakhir layanan fintech juga mulai diramaikan dengan platform baru yang juga dikenal sebagai fintech enabler. Istilah baru pun bermunculan, ada open banking, open finance, hingga banking as a service (BaaS) yang seluruhnya ini sebenarnya memanfaatkan keberadaan Open API dengan sasaran target yang berbeda.

“Khusus untuk enabler, emebded finance atau open finance semua fokus kepada segmen B2B. Ada bisnis baru yang memberikan warna, yang juga menjadi keyword di Fintech Report 2021. Platform fintech ini dengan layanan yang bervariasi, nantinya apakah ada ada di satu rumah atau antar platform bisa saling berkomunikasi lebih baik dengan menggunakan API. Ke depannya open finance, embeded finance akan lebih banyak lagi diaplikasikan di berbagai macam platform,” kata Amir.

Ditambahkan olehnya untuk bisa memberikan layanan yang seamless, pada umumnya produk tersebut dibungkus layaknya produk keuangan seperti investasi dan lainnya masuk dalam opsi di marketplace, yang menjalin kerja sama strategis dengan fintech enabler tersebut. Di Indonesia pemain yang menyasar industri tersebut di antaranya adalah Brankas, Finantier, dan AyoConnect.

Edukasi dan keamanan

Satu hal yang juga menjadi perhatian semua pihak terkait dengan layanan fintech adalah menjawab pertanyaan: apa layanan fintech dibutuhkan dan sesuai untuk kebutuhan mereka? Sehingga akan terhindar dari penyalahgunaan platform hingga penawaran yang disebar secara bebas memanfaatkan media sosial. Pemahaman atau literasi keuangan digital perlu disampaikan banyak pihak, baik stakeholder yang terlibat langsung, media, hingga masyarakat pada umumnya.

“Untuk platform biasanya sudah masuk dalam asosiasi, misalnya AFPI yang secara bersama melakukan edukasi. Dala hal ini saya melihat bukan hanya literasi produk, tapi juga literasi digital yang memang harus terus digalakkan, jika kita melihat begitu banyak orang meneruskan pesan di WhatsApp tanpa verifikasi kebenarannya untuk layanan pinjol dan lainnya, termasuk di media sosial,” kata Amir.

Dari sisi keamanan, hingga saat ini belum ada kasus yang cukup besar yang merugikan nasabah hingga platform. Semua platform sudah bekerja dengan baik melindungi pengguna/nasabah mereka dari ancaman hacker dan lainnya. Namun demikian untuk terus bisa menjaga keamanan, semua platform terkait wajib untuk terus mengikuti aturan yang diberlakukan oleh regulator. Apakah itu menjaga keamanan data pengguna hingga akun pengguna.

Manfaat untuk UMKM

Layanan fintech secara langsung sangat menguntungkan para pelaku UMKM. mereka yang masuk dalam kategori mikro, selama ini tidak memiliki catatan keuangan atau pembukuan yang lengkap dan kebanyakan masih dilakukan secara konvensional. Sehingga menyulitkan mereka ketika ingin melakukan pengembangan usaha untuk mendapatkan pinjaman modal dari bank.

Sebagai penyedia layanan keuangan konvensional, perbankan memiliki aturan dan batasan, sehingga mereka kesulitan untuk menjangkau pelaku UMKM yang masih belum bisa memiliki data keuangan dan usaha yang akurat. Dalam hal ini layanan fintech dengan proses KYC dan proses lainnya yang lebih fleksibel, bisa menjembatani pihak perbankan dengan mereka.

Misalnya melalui marketplace yang menyimpan data para pelaku UMKM, atau komunitas tertentu yang sudah dijangkau oleh para institusi finansial untuk pembiayaan. Memanfaatkan proses tersebut, nantinya bank bisa mendukung pelaku UMKM melalui kerja sama strategis dengan layanan fintech.

Fintech memiliki cara untuk melakukan analisis KYC atau screening yang lebih baik untuk memastikan bahwa usaha yang susah diakses dan dihindari oleh perbankan, kemudian bisa dijangkau memanfaatkan layanan fintech,” kata Amir.

Antara Esports dan Startup: Kesamaan, Perbedaan, dan Pembelajaran

Esports sedang berkembang dengan pesatnya, namun tak bisa dipungkiri bahwa industri baru ini memiliki beberapa masalah unik tersendiri. Masalah regenerasi dan profesionalitas para talenta atau sustainability model bisnis mungkin hanya beberapa dari ragam masalah yang belum terpecahkan di ekosistem esports.

Untuk itu ekosistem esports sebenarnya bisa belajar dari “saudara dekatnya”, yaitu ekosistem startup.

Startup dan esports bisa dibilang sebagai dua bidang yang saling beririsan. Perusahaan startup bisa memiliki berbagai macam bidang termasuk esports, namun tidak semua perusahaan esports bisa digolongkan sebagai perusahaan startup. Terlepas dari hal tersebut, hal apa yang sebenarnya membedakan antara keduanya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya pun berdiskusi dengan Amir Karimuddin.

Amir atau kami memanggilnya “Mas Amir” merupakan sosok yang sudah cukup lama malang melintang di ekosistem startup. Kini ia menjabat sebagai Head of Editorial and Research di Dailysocial.id, sister company Hybrid.co.id yang merupakan sebuah media dengan fokus pembahasan seputar ekosistem startup Indonesia. Dalam menjelaskan definisi startup, Amir pun mengatakan, “ada begitu banyak definisi startup. Saya sendiri lebih suka mendefinisikan startup sebagai perusahaan yang didirikan dengan mindset mengembangkan bisnis yang tervalidasi dan bisa bertumbuh (growth dan scalable).

Amir Karimuddin
Head of Editorial and Research di DailySocial.id, Amir Karimuddin / DailySocial

Amir juga menambahkan bahwa selain soal growth mindset dan scalable, exposure ke sektor teknologi menjadi salah satu ciri lain yang membuat sebuah perusahaan dapat digolongkan sebagai startup. “Jadi asalkan konsepnya adalah membangun platform dengan growth mindset, maka suatu perusahaan bisa disebut dengan startup juga. Dalam hal ekosistem esports, misalnya mungkin perusahaan demgam tujuan membangun platform game esports yang bisa dijangkau oleh jutaan orang, punya model bisnis yang jelas, dan rencana pengembangan berkelanjutan. Apabila suatu perusahaan memiliki 3 hal tersebut, maka perusahaan tersebut bisa juga dibilang sebagai startup.”

Namun demikian ekosistem esports/gaming sendiri memang terbagi jadi beberapa sektor lagi untuk saat ini. Dua sektor yang umum terdengar adalah perusahaan pengembang game yang fokusnya membuat game (perusahaan developer game) dan perusahaan yang fokus mengembangkan unsur kompetisi dari suatu game (perusahaan esports).

Dalam artikel ini, bagian ekosistem yang menjadi fokus pembahasan saya adalah perusahaan esports seperti ESL, LoL Esports, atau juga seperti kami dan RevivaLTV pada konteks lokal. Amir lalu menambahkan apa yang jadi persamaan dan perbedaan antara ekosistem startup dengan ekosistem esports.

“Kalau persamaannya adalah keduanya memiliki paparan yang tinggi terhadap teknologi dan sama-sama mendapatkan keuntungan secara online. Sementara salah satu perbedaan antar keduanya adalah dari sisi stakeholder startup yang lebih beragam, seperti pelaku bisnis, konsumen, regulator, dan berbagai support system. Dari apa yang saya amati, stakeholder esports sepertinya masih didominasi oleh pemain. Selain itu, esports juga memiliki unsur sport dan bisnis sementara startup murni hanya bisnis.” Tukas Amir.

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Chief Editor Hybrid.co.id, Yabes Elia. Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Dalam soal cara mendapatkan keuntungan, Yabes Elia Chief Editor Hybrid.co.id juga menambahkan bahwa sumber pendapatan ekosistem esports juga terbilang ambigu karena beririsan dengan industri game. “Misalnya dalam hal orang membeli skin. Apakah keuntungan tersebut merupakan keuntungan ekosistem esports? Karena kenyataannya memang ada juga game yang tidak memiliki esports namun tetap mendapat keuntungan yang besar dan secara online, Genshin Impact contohnya.” Ucapnya.

Jadi untuk mempertegas, Anda juga perlu tahu juga bedanya ekosistem esports dengan industri game. Industri game belum tentu berhubungan dengan ekosistem esports sementara ekosistem esports sudah pasti berhubungan dengan industri game. “Jadi esports bisa dibilang sebagai turunan dari industri gaming. Esports tidak akan bisa muncul tanpa ada industri game, sementara industri game bisa tetap hidup walau tanpa esports sekalipun.” Tambah Yabes mempertegas.

 

Dua Ekosistem yang Pelakunya Didorong Oleh Passion

Gaung kata passion begitu kuat di era internet ini. Tidak hanya dalam ekosistem esports, passion juga menjadi energi besar yang mendorong ekosistem startup sampai menjadi seperti sekarang. “Kalau di startup, faktor pendorong paling besar adalah menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat. Role model pasti ada, cuma mungkin baru ada pada sektor tertentu seperti e-commerce dan ride hailing.” Amir menjelaskan soal passion di balik ekosistem startup

Kalau Anda tergolong sebagai orang-orang yang “tech savvy“, Anda mungkin sedikit banyak ingat tentang cerita sukses startup lokal di sektor ecommerce dan ride hailing. Pada sektor ride hailing, masalah angkutan umum ojek yang harga dan keamanannya tidak jelas menjadi landasan terciptanya ladang bisnis ojek online yang kini bernilai puluhan miliar dolar AS. Sementara pada sektor ecommerce, Anda mungkin juga ingat bahwa isu pemerataan ekonomi di Indonesia menjadi landasan terciptanya platform yang berfungsi sebagai medium transaksi jual beli secara online. Seperti yang disebut Amir, keduanya memiliki satu passion yang sama yaitu untuk mengentaskan masalah yang ada di masyarakat.

Bagaimana dengan esports? Ekosistem esports juga didorong oleh rasa yang sama, passion. Bedanya passion di dalam esports adalah untuk berkompetisi dan menjadi yang terbaik. Walaupun sama-sama didorong oleh passion, namun keduanya terbilang berkembang ke arah yang… Cukup berbeda.

Hubungan baik Gojek dan transportasi publik
Walau sama sama didorong oleh passion, namun esports dan startup terbilang bergerak ke arah yang berbeda.

Perbedaan ini mungkin terbilang hanya stereotipe saja yang sebenarnya tidak menggambarkan populasi secara keseluruhan. Membicarakan ekosistem startup mungkin Anda akan ingat dengan sosok cemerlang seperti Nadiem Makarim yang pintar dan inovatif.  Lalu bagaimana dengan ekosistem esports? JessNoLimit mungkin bisa dibilang jadi salah satu stereotipe ekosistem esports, yaitu jago main game dan menghibur.

Tapi selain dua hal tersebut, tidak ada kesan lain yang tercipta dari seorang JessNoLimit. Stereotipe tersebut juga tidak bisa disalahkan, karena sport dan entertainment terbilang sebagai nafas utama dari ekosistem esports. Kalau menggunakan analogi olahraga basket, tidak mungkin orang seperti Nadiem Makarim jadi stereotipe “anak basket”. Tentu saja sosok yang jadi stereotipe anak basket adalah atlet-atlet NBA yang jago main basket dan atletis seperti LeBron James atau James Harden.

“Sebenarnya stereotipe tersebut muncul karena persaingan yang ketat di dalam ekosistem startup. Semua orang ingin menciptakan invoasi terbaik dan menguasai pasar. Target yang ingin dicapai juga begitu tinggi. Hal tersebut terjadi hampir di ekosistem startup semua kawasan karena berkaca kepada Silicon Valley yang jadi role model dari banyak startup.” Ucap Amir membahas soal stereotipe “anak startup”.

Jika melihat apa yang dijelaskan oleh Amir, bayangan saya kurang lebih jadi seperti ini. Berhubung ekosistem startup memang fokus kepada bisnis dan inovasi, tidak heran persaingan di dalamnya adalah untuk menjadi yang paling pintar dan inovatif agar bisa bersaing.

Sementara pada sisi lain, arah utama ekosistem esports adalah kompetisi dan entertainment. Karena hal tersebut, tidak heran juga kalau persaingan di dalamnya adalah untuk menjadi yang paling jago. Kalau tidak bisa menjadi yang paling jago, bisa juga menjadi yang paling menghibur agar jadi paling populer, walau memang untuk menjadi populer kadang bisa dicapai dengan cara-cara yang nyeleneh.

Sumber: Official Riot Games
Esports memang condong ke arah kompetisi dan entertainment. Tapi tanpa kualitas profesional yang mumpuni, esports akan kesulitan untuk menyajikan entertainment yang pantas. Sumber: Official Riot Games

Namun. mungkin yang sedikit mungkin patut disayangkan adalah persaingan menjadi paling jago/populer tersebut tidak dibarengi dengan profesionalitas para talenta-nya. Dalam esports, mencari orang yang jago main game atau menghibur terbilang mudah. Tetapi talenta yang jago dan punya tingkat profesionalitas yang tinggi mungkin bisa dihitung jari jumlahnya.

Masalah tersebut sudah beberapa kali diceritakan para narasumber kepada Hybrid.co.id. Muhammad Darmawan sosok shoutcaster Free Fire sempat menyebut masalah Star Syndrome sebagai salah satu faktor yang membuat beberapa tim Free Fire Indonesia jadi tidak konsisten prestasinya. Marzarian “Ojan” Sahita General Manager BOOM Esports pernah menceritakan soal sulitnya untuk mencari pemain yang punya skill serta attitude yang baik di ekosistem esports. Yohannes Siagian yang dulu sempat menjabat sebagai Vice President EVOS Esports juga memberikan pendapat yang serupa ketika membahas soal regenerasi pemain esports.

Kita sudah membahas dari sisi pemain. Lalu bagaimana dari sisi bisnis dan taletna profesional industri esports? saya sendiri cukup sering mendengar cerita kesulitan kawan-kawan saya mencari profesional suatu bidang untuk bekerja di esports. Kebanyakan fans esports/gamers memang punya passion. Tapi ya… Hanya passion main game saja tanpa dilengkapi dengan pengalaman kerja/profesional yang mumpuni. Merekrut profesional dari industri lain belum tentu juga bisa menjadi solusi. Karena menjadi profesional di industri esports terkadang masih dianggap “main-main” dan belum sepenuhnya diterima sebagai industri yang serius oleh masyarakat secara umum.

Saya juga jadi ingat cerita kawan saya yang bekerja di sebuah tim esports soal sulitnya mencari video editor dari kalangan fans esports. Kebanyakan yang melamar hanya bisa bilang bahwa mereka adalah fans tim tersebut tanpa menunjukkan kemampuan mereka sebagai video editor. Jangankan tembus sampai tahap interview, beberapa pelamar bahkan masih berada di titik belum mengerti cara mengirim lamaran kerja yang baik dan benar.

Padahal, peran profesional atau pekerja di industri esports terbilang tak kalah penting. Tanpa para profesional industri esports, tidak akan ada live-stream meriah, panggung megah, ataupun konten artikel/video/media sosial yang jadi saksi pencapaian para atlet esports.

Sumber: Blizzard Official
Tanpa para profesional, industri esports mungkin tidak akan punya panggung megah seperti ini. Sumber: Blizzard Official

Saya pun lalu bertanya kepada Amir soal bagaimana dengan keadaan pencarian talenta profesional di ranah startup saat ini. Amir pun mengatakan, “kalau bicara talent, industri startup terbilang punya demand yang lebih besar daripada supply yang ada. Soal talenta dan skill ini memang ada, tapi mulai ditutup dengan rekruitment besar-besaran dan adanya edukasi serta transfer knowledge dari banyak talenta asing.” Ucap Amir menceritakan dari sisi startup.

“Kalau dalam hal esports, mungkin memang sektor industri perlu diperluas. Selain itu, mungkin juga perlu lebih banyak role model entah dari sisi industri yang terlihat sukses. Transfer knowledge dari sisi bisnis ataupun profesional mungkin bisa menjadi salah satu solusi. Tapi gue sendiri belum paham apakah praktik tersebut bisa dilakukan juga di industri esports atau tidak.” Amir menyatakan pendapatnya untuk mengentaskan masalah talenta profesional di industri esports.

Yabes pun menambahkan, “soal transfer knowledge juga penting menurut gue. Menurut pengamatan gue, profesional/pekerja di industri esports sekarang itu kebanyakan adalah anak muda yang punya passion dan semangat besar tapi minim pengalaman kerja atau hanya orang yang itu-itu lagi. Jadi gue melihat memang perkembangan knowledge para profesional industri esports memang masih sangat terbatas.”

Memang untuk saat ini, jago main game dan menghibur adalah dua kesan yang melekat erat di dalam ekosistem esports. Mereka yang paling jago dan paling menghibur juga terbilang mendapat ganjaran finansial yang paling melimpah dibanding mereka yang pintar dan inovatif. Karena hal tersebut, saya jadi melihat posisi profesional industri esports terkesan hanya jadi sekumpulan orang-orang “limpahan” yang kurang jago ataupun kurang menghibur di ekosistem esports.

Jadi mungkin bisa saja hal tersebut jadi salah satu alasan kenapa perkembangan kualitas profesional industri esports masih terjebak di tengah-tengah. Mereka yang punya passion gaming mungkin belum cukup bersaing jika dilepas ke bidang industri lain. Sementara mereka yang sudah malang melintang di industri lain merasa gengsi masuk ke industri esports yang cenderung masih dianggap industri main-main. Padahal di lain sisi benar seperti yang dibilang Amir dan Yabes, bahwa transfer knowledge adalah hal yang penting untuk menyelesaikan masalah tersebut.

 

Melihat Ekosistem Esports dan Startup Sebagai Dua Ekosistem yang Masih Bertumbuh. 

Baik esports ataupun startup, bisa dibilang bahwa keduanya merupakan ekosistem yang masih punya ruang bertumbuh. Tetapi apa benar? Industri startup terbilang punya ruang tumbuh yang lebih besar karena ekosistem tersebut bisa berdiri di bidang apapun.

“Memang beberapa sektor terbilang sulit ditembus pemain baru, e-commerce dan ride hailing contohnya. Tapi ruang tumbuh startup terbilang masih cukup luas karena masih banyak sektor yang punya entry barrier lebih rendah karena belum ada pemain besar di sana.” Amir menceritakan pengamatannya terhadap kondisi ekosistem startup saat ini.

Sementara itu pada sisi lain, ekosistem esports mungkin terbilang sedang panas-panasnya apabila kita melihat pemberitaan ataupun prediksi dari perusahaan-perusahaan analisis industri seperti Newzoo. Tapi jika diteliti lebih dekat lagi, pilihan bidang bisnis untuk ditekuni industri esports di skena lokal terbilang cukup terbatas, setidaknya dari pengamatan saya.

Yabes pun menanggapi soal ini, “kalau industri startup memang perlu mindset problem solving untuk bisa sukses besar. Contohnya bisa kita lihat sendiri seperti perusahaan ride hailing atau ecommerce yang benar-benar mempermudah hidup dan dibutuhkan. Tapi pada sisi lain industri esports basisnya adalah hiburan. Hal yang patut disadari adalah meski hiburan memang jadi salah satu kebutuhan pokok manusia, jenis hiburan itu bukan cuma esports saja. Orang yang main game sekalipun mungkin punya jenis hiburan lain yang ia nikmati, menonton film misalnya. Gue rasa itu jadi salah satu perbedaan antara industri startup dengan industri esports.”.

Genshin Impact menjadi mobile game dengan pemasukan dalam satu minggu terbesar kedua.
Genshin Impact menjadi mobile game dengan pemasukan dalam satu minggu terbesar kedua.

Selain itu menurut pendapat saya ekosistem esports juga punya satu perkara lain yaitu ketergantungan ekosistem ini terhadap pelaku pihak pertama, sang developer game. Pernyataan ini mungkin sudah beberapa kali saya katakan. Tapi satu patut yang disadari adalah bahwa salah satu motor penggerak terbesar yang membuat ekosistem esports menjadi begitu maju belakangan ini adalah sang pengembang itu sendiri.

Coba bayangkan semisal Moonton memutuskan untuk berhenti membuat game dan berubah haluan bisnis jadi perusahaan makanan, apa kabar nasib perusahaan esports yang bergantung kepada Mobile Legends? Walaupun begitu, salah satu kelebihan lain dari ekosistem esports adalah banyaknya jumlah ragam game yang bisa dipertandingkan. Tapi tetap saja, ekosistem industri esports pihak ketiga terbilang punya kemungkinan tumbang yang lebih besar jika dibandingkan dengan developer game yang merupakan pelaku pihak pertama.

Terlepas dari hal tersebut, Yabes juga menambahkan bahwa mindset problem solving menjadi salah satu hal yang perlu bagi para pelaku bisnis esports di Indonesia. “Gue setuju soal mindset problem solving yang disebut Amir. Menurut pengamatan gue, industri esports di Indonesia cenderung punya mindset peniru. Misal bisnis EO lagi ramai, semua orang pun berbondong-bondong bikin bisnis EO. Padahal menurut gue, esports masih punya banyak problem yang bisa diatasi dan jadi peluang bisnis.”

Amir lalu menambahkan cerita soal kondisi para pelaku bisnis di ekosistem startup. “Sebetulnya sih pelaku startup yang non-mainstream juga ada. Biasanya pelaku tersebut fokusnya condong ke arah profit dibanding growth. Mereka biasanya disebut juga sebagai ‘cockroach’ di kalangan para pelaku startup. Tapi menurut pengamatan saya, jumlahnya sih terbilang masih minoritas.”

 

Pada Akhirnya

Antara esports dengan startup mungkin bisa dibilang seperti kakak dan adik yang keduanya sama-sama merupakan industri baru di era internet ini. Dalam konteks Indonesia, esports yang bisa dibilang sebagai “adik” mungkin memang harus banyak belajar dari industri startup yang bisa dibilang sebagai “kakak” karena posisinya yang lebih dulu mencuat.

Dari perbincangan dengan mas Amir, saya sangat setuju dengan mindset startup yang fokus pada growth dan problem solving. Saya melihat esports sangat butuh hal tersebut. Bagaimanapun, bisnis esports adalah bisnis teknologi yang terus-menerus butuh inovasi. Ekosistem esports mungkin tidak akan bertahan lama apabila modelnya lagi-lagi cuma menarik massa dan berharap sponsor saja. Seperti yang dikatakan Yabes, pelaku bisnis esports juga harus belajar lebih mengutamakan mindset problem solving ketimbang cuma sekadar meniru model bisnis yang lebih dulu ada.

“Menurut gue, kegigihan dan adaptasi pemain di masing-masing segmen untuk terus relevan dan berkembang harus jadi sorotan utama bagi para pelakunya.” Ucap Amir menyatakan pendapatnya terkait hal yang bisa dipelajari oleh industri startup dan esports seraya menutup perbincangan kami membahas topik tersebut.

5 Sorotan Utama Industri Startup di 2020

DSResearch baru saja menerbitkan Startup Report 2019 yang didukung Bank Mandiri dan Vidio. Ada sejumlah paparan menarik yang terkumpul dalam laporan ini, mulai dari iklim investasi hingga peluang pertumbuhan dari bisnis vertikal baru di luar e-commerce dan ride-hailing.

Laporan ini juga menyoroti persaingan ketat startup online travel agent atau OTA yang saat ini masih dikuasai oleh startup unicorn Traveloka dengan valuasi $4,5 miliar di 2019 dan Tiket.com yang dicaplok oleh Blibli.com di tahun yang sama.

Kemudian, persaingan juga masih terjadi pada sektor veteran e-commerce. Saat ini lima posisi teratas e-commerce Indonesia diduduki oleh Shopee, Lazada, Tokopedia, Blibli,com, dan JD.id.

Untuk mengetahui paparan menarik selanjutnya, simak ulasan Editor in Chief DailySocial Amir Karimuddin pada sesi #SelasaStartup kali ini.

Gojek jadi “decacorn” dan potensi merger dengan Grab

Startup Report 2019 menyoroti status baru Gojek sebagai “decacorn” pertama di Indonesia, setelah menerima suntikan dana putaran seri F dari tiga perusahaan Mitsubishi. Dengan pendanaan baru ini, Gojek kini bernilai sebesar lebih dari $10 miliar.

Namun, valuasi ini juga belum tentu menjamin proyeksi profitabilitas Gojek ke depan. Apalagi jika Gojek berencana untuk menggunakan mayoritas pendanaan ini untuk mengakuisisi pasar secara eksponensial lewat strategi diskon atau promo harga.

Dalam hipotesisnya, Amir menilai Gojek belum dapat mengantongi untung meskipun startup ini sudah menjadi layanan top of mind bagi masyarakat Indonesia. Menurutnya, bisa jadi pendapatan yang diperoleh belum mampu menutup biaya yang dikeluarkan untuk mengakuisisi pasar.

Padahal, layanan ride-hailing di Indonesia cuma didominasi dua pemain, yakni Gojek dan Grab. Kondisi duopoli tak serta merta membuat kedua startup ini meraih untung. Contoh paling relevan adalah kasus duopoli Uber dan Grab di Singapura. Meski ujung-ujungnya merger juga, toh untungnya belum signifikan.

“Di level maturity ini, investor sudah mulai minta return ke LP, mereka harus cari cara untuk exit. Jika caranya lewat IPO, salah satu yang dikejar adalah profitabilitas. Untuk mencapainya, mungkin ya, melalui monopoli. Tidak ada persaingan, mereka bisa menentukan value yang ditargetkan,” jelasnya.

Namun, tambahnya, perlu digarisbawahi bahwa aksi monopoli belum tentu membuat pelayanan pelanggan menjadi lebih baik. Pelanggan dinilai tidak punya bargaining power karena tidak ada pilihan. Jika ada kelanjutan “cerita” dari situasi duopoli tersebut, Amir menilai para stakeholder perlu melihat sekop yang lebih luas, tak hanya bisnis tapi juga regulasi.

Angin segar iklim investasi startup 2019

Sorotan selanjutnya adalah iklim investasi startup di Indonesia di sepanjang 2019. Startup Report 2019 mencatat ada 113 transaksi yang diumumkan ke publik dengan total nilai sebesar $2,95 miliar. Jumlah transaksi ini jauh lebih besar dari tahun 2017 (67 transaksi) dan 2018 (71 transaksi).

Yang menarik, jumlah transaksi pendanaan seri A naik dua kali lipat sebanyak 31 transaksi dibandingkan 2018 sebanyak 15 transaksi. Dari sisi kontribusi nilai, Gojek “memakan” lebih dari separuhnya dengan suntikan $2 miliar. Sisanya tak sampai $1 miliar dibagi ke 112 transaksi lain.

“Tahun 2019 memberikan angin segar bagi para pemain industri yang sudah mulai mature. Artinya, mulai banyak VC yang masuk ke later stage karena mereka sudah menyiapkan ‘anak VC’ lain untuk main di stage di bawahnya,” ujar Amir.

Jika dirinci dari bisnis vertikal, financial menjadi sektor terbanyak yang menerima pendanaan. Kemudian diikuti oleh layanan e-commerce, on-demand, dan SaaS.

“Meski sektor ini kurang seksi karena B2B, tapi SaaS memiliki potensi pertumbuhan yang bagus karena ada jaminan revenue lebih baik dibanding layanan yang masuk ke pasar ritel,” ucapnya.

‘Seleksi alam’ industri startup di 2020

Amir memperkirakan bakal ada sejumlah startup bakal mendulang pertumbuhan bisnis luar biasa dikarenakan pandemi COVID-19. Sebaliknya, sejumlah startup juga bakal menghadapi cobaan besar akibat wabah ini. Yang sudah pasti adalah startup di sektor online travel agent (OTA) dan turunannya.

Situasi saat ini dinilai dapat menjadi ‘seleksi alam’ bagi startup apapun. Untuk melewati krisis ini, leadership menjadi hal yang patut dimiliki oleh pemimpin startup. Mereka perlu menyikapi sejumlah hal dengan cepat.

“Kalau ada startup yang tidak bisa melihat kondisi keuangan dalam setahun ke depan, mungkin sulit bagi mereka untuk bertahan. Tapi, startup yang tetap produktif, mampu mempertahankan layanan di situasi sekarang, dan dapat beradaptasi dengan penerapan WFH bisa bertahan ke depan. Situasi ini jauh lebih sulit dibandingkan krisis ekonomi yang lain,” tuturnya.

3 sektor yang bakal curi perhatian di 2020

Lebih rinci perihal prediksi di atas, Amir memperkirakan ada tiga vertikal bisnis startup yang bakal mencuri perhatian di tahun 2020, yakni pendidikan, kesehatan, dan pertanian. Pemicu terbesarnya adalah pandemi COVID-19 yang bakal mendongkrak pertumbuhan luar biasa.

Ambil contoh startup edtech Ruangguru yang bekerja sama dengan operator Telkomsel untuk menggratiskan layanannya. Startup ini panen traction karena pemerintah meliburkan sekolah dan perkuliahan.

Kemudian, startup agritech yang mencoba memberikan solusi dari hulu ke hilir. Salah satu startup yang mengakomodasi hal ini adalah TaniHub yang memiliki anak usaha TaniFund dan TaniSupply. Sektor agritech tentu menarik bagi pasar Indonesia sebagai negara agraris. Dengan situasi seperti ini, permintaan layanan e-groceries tentu akan meningkat.

Terakhir adalah healthtech. Situasi saat ini mewajibkan masyarakat Indonesia untuk menomorsatukan kesehatan. Tak heran apabila layanan healthtech yang didominasi Halodoc (67,7%) dan Alodokter (28,5%) bakal mendapatkan traction tinggi.

“Belum lagi bicara layanan turunannya, seperti insurtech. Ada banyak pemain baru yang menawarkan produk inovatif, terutama berkaitan micro insurance, tambah Amir.

Test case bagi startup edtech

Masih berkaitan dengan pandemi. Amir juga menyoroti penuh tentang bagaimana situasi ini dapat menjadi ajang pembuktian layanan edukasi online yang selama ini digencarkan oleh startup edtech seperti Ruangguru, Zenius, dan Quipper.

“Suka tidak suka, pandemi COVID-19 dapat menjadi jawaban apakah solusi yang diterapkan platform teknologi pendidikan benar-benar sesuai kebutuhan masyarakat, terutama di segmen grassroot. Selain itu, inisiasi sejumlah startup untuk menggratiskan layanan turut mendorong adopsi menjadi lebih besar,” katanya.

Krisis kesehatan global ini juga dinilai dapat mengubah cara belajar-mengajar masyarakat Indonesia ke depan, di mana solusi edtech bisa jadi jawabannya. Hal ini karena selama ini Indonesia belum melihat urgensi dari adopsi edtech dan e-learning hanya menjadi ‘suplemen’ pembelajaran. 

“Dengan kondisi sekolah [dan kampus] ditutup, ini akan menjadi test case menarik apakah mereka siap untuk menjadi platform primer, tidak hanya suplemen. Kita akan lihat sepanjang tahun ini,” tutupnya.

Tips Relasi Media untuk Startup (Bagian 1): Menulis Siaran Pers

Ada banyak cara yang dapat dilakukan startup untuk memperkenalkan produknya ke masyarakat luas, salah satunya melalui relasi media. Selain memiliki basis pembaca, media umumnya akan memberikan ulasan komprehensif seputar layanan yang diusung startup, dengan nada yang memudahkan kalangan konsumen untuk memahami visi produk tersebut. Untuk mencapai sana, salah satu yang bisa dilakukan startup ialah dengan mengirimkan siaran pers.

Siaran pers (press release) yang dikirimkan ke media harus memuat informasi yang padat dan berisi, sehingga diperlukan kiat khusus hingga melahirkan dokumen rilis yang baik. Berikut ini adalah tips yang dapat diikuti ketika hendak menyusun sebuah siaran pers terkait peluncuran atau pembaruan produk.

Menyusun kerangka materi

Tahap ini perlu dilakukan untuk menghasilkan rancangan dari struktur dokumen rilis yang akan dibuat. Struktur sebuah rilis bisa saja berbeda, bergantung pada tujuan akhir yang diharapkan. Misalnya untuk pengenalan startup baru, struktur rilis dapat terdiri dari beberapa poin berikut ini:

  1. Memberikan gambaran singkat startup atau produk yang diusung.
  2. Memaparkan masalah apa yang ingin coba diselesaikan, lebih baik lagi disertai dengan data relevan.
  3. Menceritakan latar belakang startup, mulai dari founder, tahun berdiri, hingga status pendanaan/investor.
  4. Mendeskripsikan secara detail fitur masing-masing produk.
  5. Menuliskan sambutan dari founder terkait visi dan harapan dengan adanya produk tersebut.

Berbeda lagi ketika materi yang diumumkan adalah sebuah pengumuman, misalnya perolehan pendanaan, maka strukturnya dapat berupa:

  1. Memberikan gambaran singkat tentang pendanaan tersebut, diperoleh dari siapa, dalam tahapan apa, dan berapa jumlah nilainya.
  2. Memaparkan rencana alokasi pendanaan tersebut akan digunakan untuk apa.
  3. Menuliskan sambutan dari founder dan perwakilan investor.
  4. Menceritakan capaian startup yang telah diraih dari awal sampai pendanaan ini didapat.
  5. Mendeskripsikan target capaian yang akan dikejar pasca pendanaan.

Masing-masing adalah poin yang harus ada, jika terdapat hal lain bisa disertakan dalam paragraf berikutnya sebagai informasi sekunder. Penyusunan kerangka juga dimaksudkan agar rilis tersebut memiliki alur cerita yang runut, sehingga memastikan perspektif yang dipahami jurnalis sesuai dengan visi yang ingin disampaikan oleh startup.

Menulis draf siaran pers

Salah satu teknik penulisan siaran pers yang baik adalah dengan metode “segitiga terbalik”, terdiri dari informasi primer, informasi sekunder, dan lain-lain. Pada informasi sekunder tuliskan inti materi yang ingin disampaikan, paragraf ini idealnya dapat mendefinisikan secara detail apa yang dituliskan dalam judul. Misalnya untuk informasi re-branding web dan aplikasi startup, maka di sini dapat diceritakan konsep, tujuan, dan harapannya.

Kemudian informasi sekunder dapat berisi hal-hal lain yang mendukung uraian di paragraf sebelumnya. Jika menggunakan studi kasus yang sama, di sini dapat dimasukkan sambutan dari founder, capaian startup, hingga rencana ke depan. Jika masih ada hal-hal lain yang ingin disampaikan, tuliskan di bagian akhir.

Untitled 2

Model draf tulisan seperti ini selain untuk memastikan tulisan fokus pada permasalahan utama yang diangkat, juga akan memudahkan jurnalis dalam menuliskannya – sebagai informasi hampir setiap rilis yang dikirimkan akan ditulis dan disunting ulang.

“Kriteria yang paling utama adalah sebuah siaran pers harus bisa membantu jurnalis memenuhi ‘the 15 minute rule’ — sebuah ‘peraturan’ dalam dunia jurnalistik bahwa sebuah berita harus dipublikasikan dalam 15 menit sejak peristiwa terjadi. Oleh karena itu, harus singkat, padat, dan jelas,” ujar Anisa Menur selaku Senior Writer e27.

Setelah draf disusun, pastikan sudah mengkomunikasikan dengan pihak terkait. Misalnya jika startup punya investor, alangkah baiknya jika diberitahu terlebih dulu draf tersebut. Gejolak pasar teknologi cukup dinamis, bisa jadi ada pertimbangan lain untuk angle informasi yang ingin disampaikan.

Melengkapi aset untuk penyiaran

Setelah draf disetujui dan siap kirim, masukkan ke dalam dokumen yang sudah terformat baik. Terkait dengan format, bisa disesuaikan dengan branding masing-masing startup. Di dalam dokumen susunan isinya dapat berupa:

  1. Judul pemberitaan.
  2. Sub-judul pemberitaan jika ingin memberikan penekanan poin pada judul.
  3. Poin-poin berita yang ingin disampaikan.
  4. Uraian informasi yang telah disusun dalam paragraf.
  5. Uraian singkat tentang startup.
  6. Kontak yang dapat dihubungi.

Pengiriman dokumen dapat menggunakan format standar, yakni *.docx atau *.pdf. Untuk melengkapi pemberitaan dan membuat publikasi menjadi lebih indah, sertakan juga gambar pendukung dengan resolusi yang baik. Gambar tersebut bisa berupa foto anggota tim, ilustrasi/promo produk, foto brand startup, atau lainnya yang merepresentasikan judul.

Picture1

Mengirimkan siaran pers melalui email

Kirimkan siaran pers tersebut melalui email. Untuk mendapatkan email media, kunjungi laman media mana yang ingin dituju. Umumnya di halaman “Tentang Kami” media mencantumkan email redaksi yang dapat dihubungi ketika ingin menyampaikan pemberitaan. Dalam penulisan email juga ada hal-hal yang perlu diperhatikan. Pertama ialah tentang struktur pembuatan konten email, sebagai berikut:

  1. Tuliskan subjek/judul email yang padat, singkat, dan jelas. Menggambarkan isi secara keseluruhan. Contoh: “Siaran Pers: Startup X Mendapatkan Pendanaan dari ABC senilai 10 miliar Rupiah”, “Startup X Hadirkan Aplikasi untuk Penyewaan Alat Pancing”, dll.
  2. Di badan email awali dengan perkenalan singkat dan menyampaikan ringkasan dari berita yang terdapat dalam dokumen. Karena sudah dilampirkan, tidak perlu meletakkan isi dokumen di dalam email.
  3. Jika aset tulisan banyak, dapat meletakkannya ke dalam media penyimpanan awan (misal Dropbox atau Google Drive), namun pastikan akses untuk guest juga diberikan.
  4. Tutup dengan mempersilakan jika terdapat pertanyaan lebih lanjut atau diskusi terkait materi rilis yang dikirimkan.

Jika pengiriman dilakukan secara satu per satu atau dengan metode mail merge, alamat email media dapat dimasukkan ke kolom “To”. Namun jika dikirimkan secara masal, disarankan untuk menempatkan alamat-alamat email ke dalam kolom “BCC”. Kolom “CC” dapat diisi dengan email rekan di startup yang relevan, misalnya kepada CEO atau investor.

Pertimbangan lain

Saat ini memang sudah banyak media yang memberitakan tentang layanan digital dan startup – mereka memiliki basis pembaca orang-orang yang memang menikmati perkembangan dunia startup. Namun kadang startup juga ingin mengabarkan kepada media lain yang tidak berbau teknologi. Misalnya sebuah startup yang menyediakan layanan marketplace kecantikan, mereka ingin mengirimkan siaran rilis ke media yang membahas tentang perempuan dan gaya hidupnya. Maka pembahasan teknis menjadi kurang relevan, bahkan tidak diminati. Sehingga bisa saja startup memutuskan untuk membuat draf rilis lebih dari satu dengan penekanan angle yang berbeda.

Sebagai contoh untuk media teknologi dan startup (termasuk media yang memiliki kanal tekno), siaran pers tersebut memfokuskan pada fitur-fitur dan capaian bisnis yang sudah diraih. Tapi ketika mengirimkan rilis ke media yang fokus ke gaya hidup perempuan, maka yang ditekankan adalah tentang permasalahan dan solusi digital yang memudahkan mereka menemukan jasa kecantikan. Di sini dipahami bahwa masing-masing media memiliki pandangan relevansi berbeda terhadap rilis yang diterima.

Untitled

Ekosistem Digital Indonesia Saat Ini dan Perkembangannya ke Depan

034

Katakanlah lima atau tujuh tahun ke belakang, bagi entepreneur yang terjun di dunia digital pada masa itu, mereka akan setuju betapa sulitnya mencari pendanaan. Saat ini, DailySocial sendiri saja, sudah sering memberitakan startup yang mendapatkan pendanaan.

Continue reading Ekosistem Digital Indonesia Saat Ini dan Perkembangannya ke Depan

Introducing DailySocial’s new team

Percaya atau tidak, ini adalah blog post pertama saya di tahun 2011. Memang menyedihkan namun memang menjalankan sebuah startup tidak mudah dan memakan banyak waktu, tenaga dan pikiran. Anyway, beberapa bulan ini saya sedang fokus untuk mengembangkan DailySocial dari sisi manajemen dan bisnis, dan untuk itu saya kedatangan beberapa anggota tim baru yang passionate seperti saya dan Wiku.

Saya perkenalkan dua anggota baru DailySocial :

Amir Karimuddin (kiri) yang akan menjadi penulis dan juga menjalankan pengembangan strategis di DS. Sebelumnya Amir bekerja di sebuah perusahaan konsultan IT dan juga merupakan blogger teknologi di 3gWeek.net, gajeto.com dan juga di blog gadget gadnix.com. Amir akan menjadi penulis tetap bersama dengan Wiku dan saya (ahem!) dan juga untuk mengembangkan produk-produk strategis dari DS. (LinkedIn | Twitter)

Rahmat Harlyadie (kanan) selaku Marketing Director yang akan menjalankan bisnis dan marketing DS termasuk partnership, events dan juga advertising. Tugas utama Rahmat adalah untuk membantu teman-teman startup, entrepreneur dan klien didukung dengan passionnya di bidang teknologi dan juga marketing. Sebelum bergabung di DS, Rahmat menjalankan sisi marketing di FedEx Indonesia. (LinkedInTwitter)

Cool? Dengan adanya dukungan dari tim baru kami yang solid, DS berkomitmen untuk terus memajukan industri teknologi web dan mobile di Indonesia agar seluruh dunia bisa melihat kekuatan teknologi dari Indonesia.