Industri Esports di Negara-Negara Berkembang Bakal Tumbuh Pesat Pada 2020

Nilai industri esports diperkirakan akan mencapai US$2,9 miliar pada 2022. Namun, kawasan yang menjadi pasar esports terbesar saat ini, seperti Amerika Utara, Eropa, Korea Selatan, dan Tiongkok mulai menjadi jenuh. Memang, pasar esports di kawasan tersebut masih akan terus tumbuh, tapi pertumbuhan esports di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kemungkinan akan lebih pesat.

Esports diperkirakan akan berkembang pesat di Greater Southeast Asia (GSEA) yang mencakup Asia Tenggara dan Taiwan. Faktanya, esports akan menjadi salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan industri game di kawasan tersebut. Sekarang, GSEA diperkirakan memiliki 154,3 juta gamer PC. Jumlah pengguna gamer PC diduga akan naik menjadi 186,3 juta orang pada 2023. Sementara jumlah gamer mobile diperkirakan akan naik menjadi 290,2 juta pada 2023, dari 227 juta pada tahun ini.

Di Indonesia, esports juga tengah berkembang pesat. Besarnya total hadiah turnamen esports menjadi salah satu indikasi hal tersebut. Mobile Legends Professional League Season 4 menjadi turnamen esports dengan hadiah terbesar pada tahun 2019 dengan total hadiah US$300 ribu, sama seperti GESC: Indonesia Dota 2 Minor yang merupakan turnamen dengan hadiah terbesar pada tahun lalu. Hanya saja, game esports yang berkembang di Indonesia berbeda dengan tren esports yang berkembang di global. Ini dapat menyebabkan berbagai masalah, seperti sulitnya mendapatkan sponsor yang mengincar pasar global di Indonesia.

Sumber: Newzoo via Esports Network
Sumber: Newzoo via Esportz Network

Kawasan lain yang pasar esports-nya diperkirakan tumbuh adalah India, menurut laporan Esportz Network. Sebagai negara dengan populasi terbesar kedua setelah Tiongkok, India adalah pasar yang menarik bagi para pelaku esports. Belakangan, esports di India juga mulai berkembang. Hal ini terlihat dari jumlah total hadiah turnamen esports yang naik cukup pesat. DreamHack dan ESL juga mengadakan berbagai acara di negara ini.

Pada tahun depan, esports di kawasan Amerika Latin juga diperkirakan akan mengalami kenaikan. Setelah Riot Games menggabungkan liga-liga League of Legends regional menjadi Liga Latinoamérica pada 2019, mereka mengatakan bahwa jumlah penonton liga tersebut mengalami kenaikan. Publisher game lain, seperti EA, juga mulai melirik Amerika Latin. Minggu lalu, EA mengumumkan bahwa mereka akan membawa CONMEBOL Libertadores, turnamen klub Amerika Selatan ke FIFA 20.

Sumber: Needpix
PC gaming memiliki harga yang cukup mahal | Sumber: Needpix

Tentu saja, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi sebelum esports di negara-negara berkembang bisa tumbuh. Salah satunya adalah infrastruktur. PC gaming tak murah. Masyarakat di negara-negara berkembang belum tentu dapat membeli PC gaming. Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun, tak semua orang dapat membeli PC gaming, yang membuat munculnya startup seperti Nerd Street Gamers.

Tak hanya itu, jaringan internet di negara berkembang juga biasanya tak semumpuni negara maju. Di Indonesia, jumlah pengguna internet mencapai 171 juta orang, menurut APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia). Sementara itu, jumlah pengguna internet kabel di Indonesia diperkirakan hanya mencapai sekitar 10 juta orang.

Masalah lain yang dapat menghambat pertumbuhan esports di negara berkembang adalah regulasi. Misalnya, di Tiongkok, pemerintah membatasi lama waktu main anak dan remaja dengan alasan untuk meminimalisir dampak buruk dari bermain game. Sementara di Jepang, bermain game sering diidentikkan dengan bermain judi. Di Indonesia sendiri, belum banyak regulasi yang mengatur tentang esports.

Sumber header: pxhere

Mampukah Ekosistem Game Blizzard di Indonesia Bertumbuh Subur?

Buat para gamer multiplayer yang seleranya tidak murahan apalagi gratisan, harusnya Anda sudah tidak asing dengan nama besar Blizzard. Khususnya buat mereka-mereka yang sudah mencicipi PC gaming sejak tahun 90an. Pasalnya, jika Bioware adalah trendsetter RPG singleplayer di tahun 90an, Blizzard adalah developer game yang jadi kiblat semua developer lainnya soal multiplayer.

Era Kejayaan Blizzard

Mereka menciptakan seri StarCraft (1998) dan WarCraft (1994) yang kemudian jadi kiblat genre RTS (Real-time strategy). Dua game ini jugalah yang jadi cikal bakal dari MOBA yang sekarang bisa dianggap mendominasi genre esports. Sedikit belajar sejarah, cikal bakal genre MOBA pertama kali dipopulerkan dari sebuah Custom Map untuk StarCraft yang bernama Aeon of Strife — meski memang, jika lebih panjang lagi dirunut, bibit genre ini sudah hadir di game Herzog Zwei yang dirilis untuk SEGA Genesis tahun 1989.

Beberapa tahun berselang, Kyle Sommer alias Eul merilis Custom Map untuk Warcraft 3: Frozen Throne yang bertajuk Defense of the Ancients (DotA). Steve “Guinsoo” Feak pun melanjutkan pengembangan Custom Map tadi di 2004. Di 2005, Feak pun melemparkan tongkat estafet kembali ke IceFrog. Buat yang ingin belajar lebih detail, Anda bisa membaca sejarah lengkapnya di artikel dari Venture Beat ini.

Selain jadi pelopor genre MOBA, perkembangan sejarah industri game dunia juga berhutang pada Blizzard dalam genre Action-RPG dan MMORPG. Adalah seri Diablo (1996) yang menjadi kiblat dari segala jenis Action-RPG dan berbagai jenis varian barunya. Sedangkan World of Warcraft (2004) menjadi panutan berbagai developer game dalam mengembangkan MMORPG. WoW bahkan menyandang Guiness World Record 2009 untuk game MMORPG paling populer di dunia. Di 2014, Blizzard mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan 100 juta akun pelanggan yang berbeda untuk WoW.

Anda boleh percaya atau tidak, namun faktanya tidak ada developer game lain yang lebih sukses dari Blizzard di tahun 1990an akhir dan 2000an awal. Sayangnya, hidup itu memang penuh liku karena Blizzard yang sekarang mungkin harus melepaskan titel jawara developer game multiplayerGame dengan jumlah pemain terbanyak selama beberapa tahun terakhir dipegang oleh LoL dari Riot Games dengan total 80 juta pemain dan 27 juta pemain setiap harinya. Di sisi esports, turnamen dengan hadiah terbesar dipegang oleh The International untuk Dota 2 besutan Valve; terakhir adalah The International 9 yang menyuguhkan total hadiah sebesar US$34,3 juta (atau setara dengan Rp483 miliar).

Lalu apa yang bisa dilakukan Blizzard untuk bisa kembali ke masa kejayaannya? Nanti kami juga akan membahasnya.

Blizzard di Indonesia

12 September 2019 yang lalu, AKG Games (publisher game yang berada di bawah Salim Group) mengumumkan kerja sama mereka dengan Blizzard. Pada konferensi pers yang digelar di CGV Grand Indonesia Paul ChenManaging Director regional Taiwan/SEA, menjelaskan, “saat ini ada 40 juta pemain Overwatch dan 100 juta pemain Hearthstone secara global. Lewat kerjasama ini kami ingin mengembangkan komunitas di Indonesia, meningkatkan pengalaman bermain mereka, dan membangun perkembangannya mulai dari tingkat grassroots.”

Sumber: AKG Games
Sumber: AKG Games

Tak lama berselang, 13 November 2019, AKG Games menggelar konferensi pers untuk mengumumkan dukungan mereka terhadap atlet StarCraft 2 yang akan bertanding ke SEA Games 2019. Bentuk dukungan mereka adalah mengirimkan 2 pemain StarCraft 2 yang jadi perwakilan Indonesia ke Korea Selatan. Kedua pemain tersebut adalah Bondan “Deruziel” Lukman dan Emmanuel “Quantel” Enrique. Keduanya akan dikirim untuk berlatih di bawah  Jake “NoRegreT” Umpleby.

Sampai artikel ini ditulis, AKG Games, yang juga merupakan pemegang lisensi resmi trading card game untuk Pokemon, sudah cukup rutin menggelar berbagai turnamen untuk game-game Blizzard secara berkala. Silakan cek Facebook Page dari AKG Games atau Instagram mereka untuk informasi terbaru untuk turnamen-turnamen game Blizzard di Indonesia seperti Hearthstone, Overwatch, dkk.

Langkah-langkah yang telah dilakukan oleh AKG Games sampai hari ini memang sangat positif. Namun ada satu strategi yang, menurut saya, harus dilakukan untuk membesarkan ekosistem game Blizzard di Indonesia.  Saya akan membahas lebih detail tentang strategi tadi di bagian selanjutnya. Namun sebelumnya, mari kita lihat tantangan apa yang mereka hadapi dengan kondisi pasar gaming PC ataupun console di Indonesia — khususnya PC yang jadi platform yang membawa Blizzard ke puncak kejayaannya.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Banyak para pelaku industri yang memang mengatakan bahwa mobile gaming lebih populer di Indonesia ketimbang platform lainnya. Namun, tidak banyak yang mampu menjabarkan alasannya. Maka dari itu, izinkan saya mencoba menjawabnya.

Pertama, menurut data dari APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), pengguna internet di Indonesia tahun 2019 itu menembus angka 171 juta jiwa. Di sisi lain, angka pelanggan Indihome — yang seharusnya memiliki market share terbesar untuk internet kabel di Indonesia — hanya ada di 6,5 juta pelanggan. Jika kita berasumsi marketshare Indihome ada di 60% untuk pasar internet kabel di Indonesia, berarti total pengguna internet kabel di Indonesia hanya sekitar 10 juta orang atau 5% dari total semua pengguna internet.

Kenapa angka tadi jadi penting? Karena, normalnya, para gamer PC ataupun console memang akan menggunakan koneksi internet kabel. Seberapa banyak dari Anda yang menggunakan koneksi 4G atau malah GPRS untuk bermain Overwatch, Dota 2, Tekken 7, ataupun game-game non-mobile lainnya?

Selain itu, nyatanya, anggaran belanja rata-rata penduduk Indonesia memang masih rendah. Mengingat ponsel sekarang jadi perangkat wajib dan PC gaming ataupun console jadi perangkat mewah buat sebagian besar masyarakat, hal ini membuat keterbatasan akses juga ke banyak game-game Blizzard — yang bahkan bisa dibilang lebih cocok untuk pasar menengah ke atas.

Sumber: DataReportal
Sumber: DataReportal

Masa Depan Ekosistem Game Blizzard

1-2 November 2019, bertempat di Anaheim Convention Center, California, Amerika Serikat, Blizzard pun menggelar konferensi tahunan mereka; Blizzcon 2019. Di acara ini, mereka mengumumkan banyak update termasuk game-game baru yang akan datang seperti Overwatch 2 dan seri terbaru dari franchise legendaris Blizzard, Diablo IV.

Sebelum membahas strategi apa yang bisa dilakukan di Indonesia, saya ingin membahas dulu peluang mereka di pasar global.

Apakah semua update dan game-game baru yang diumumkan di Blizzcon 2019 akan membuat Blizzard kembali ke puncak kejayaannya seperti dulu? Menurut saya pribadi, andaikan mereka menyadari apa yang hilang dari game-game mereka dulu, Blizzard masih punya peluang untuk kembali jadi jawara game multiplayer.

Bagi saya, ada 2 aspek penting yang tak bisa ditemukan lagi dari game-game Blizzard saat ini; yang dulu jadi keunggulan utama mereka.

Pertama, mari kita berkaca dari World of Warcraft. Ada buanyaaak sekali hal yang membuat WoW sukses besar sebenarnya. Pengalaman bermain yang autentik dan inovatif, penekanan pada aspek teamwork, konten yang sungguh kaya dan sangat variatif, dan cerita yang begitu berkesan. Aspek cerita dari WoW, menurut saya pribadi, adalah pembeda terbesar game tersebut dari kebanyakan MMO lainnya. Pasalnya, kebanyakan MMO bahkan tidak menggarap aspek ini dengan serius. Sedangkan WoW menawarkan aspek cerita yang sulit terlupakan.

Sayangnya, Diablo 3, Overwatch, ataupun Hearthstone, belum mampu menawarkan pengalaman bermain yang benar-benar selengkap WoW. Update dari WoW belakangan pun juga masih belum bisa menyamai kekayaan update-update sebelumnya. Pada Blizzcon 2019, Blizzard juga mengumumkan tentang expansion terbaru untuk WoW, yaitu Shadowlands.

Dari penjelasannya, Shadowlands kedengarannya memang sangat menjanjikan. Saya pribadi berharap ekspansi ini mampu mengobati kerinduan semua pecinta MMO. Semoga saja eksekusinya sesuai dengan apa yang dijanjikan dan ekspektasi para fans beratnya.

Andai saja Blizzard bisa kembali menyematkan berbagai keriangan di segala aspek yang membuat WoW istimewa di zamannya ke game-game lainnya (ataupun terbarunya), tidak mustahil juga mereka bisa kembali ke puncak kejayaannya. Namun demikian, WoW bukanlah game yang seistimewa itu jika ia mudah direplikasi — bahkan oleh developernya sendiri. Karena itu, ada satu hal lain yang bisa mereka coba untuk kembali menjadi developer yang begitu dekat dengan komunitas hardcore gamer-nya.

Jawabannya adalah game modding. Buat yang belum tahu apa itu game modding, fitur ini adalah sebuah akses (yang memang sengaja diberikan oleh sang developer ataupun yang ditemukan sendiri oleh komunitasnya) untuk memodifikasi file game yang digunakan. Modding paling sederhana misalnya adalah mengganti value dari file konfigurasi untuk game tersebut, seperti yang bisa dilakukan untuk Pillars of Destiny 2: Deadfire.

Faktanya, game modding jugalah yang sebenarnya berjasa membawa esports sampai ke titik ini. Seperti yang saya bilang tadi, genre MOBA berawal dari Custom Map untuk StarCraft dan Warcraft 3. Tanpa akses ke Custom Map di 2 game tadi, mungkin tidak ada yang namanya Dota 2 dan LoL hari ini. Selain itu, esports FPS yang paling laris sampai hari ini, CS:GO, juga berawal dari game modding untuk Half-Life.

Tak hanya StarCraft dan Warcraft 3, salah satu franchise legendaris dari Blizzard yaitu Diablo juga sebelumnya ramah terhadap modding. Sayangnya, semakin ke sini, semakin banyak developer dan publisher game yang meninggalkan ataupun bahkan menutup akses ke game modding — termasuk Blizzard. Meski memang belum ada yang mengatakannya terang-terangan, kian langkanya akses ke game modding mungkin disebabkan karena fitur ini dianggap tak mampu mendatangkan revenue lebih atau bahkan mengurangi pendapatan.

Padahal, di sisi lain, modding mengijinkan sebuah game bertahan jauh lebih lama dan membuat komunitasnya tetap hidup dan aktif selama bertahun-tahun. Diablo 2, misalnya, meski sudah dirilis 19 tahun silam masih ada mod baru yang dirilis bulan November 2019. Borderlands 2, besutan Gearbox, masih dimainkan oleh 1 juta orang dalam sebulan meski sudah berusia 6 tahun — yang menurut saya diakibatkan juga oleh aktifnya komunitas modding mereka. Komunitas modding Skyrim juga masih aktif yang membuat game tersukses besutan Bethesda tersebut masih eksis meski dirilis 8 tahun silam. GTA V yang juga punya koleksi mods begitu besar bahkan mencetak rekor sebagai produk media terlaris sepanjang masa — mengalahkan semua produk game, film, ataupun musik dalam sejarah dengan angka penjualan sekitar US$6 miliar. Sebagai perbandingan, Avengers: Endgame (2019) ‘hanya’ mencetak angka penjualan sebesar US$2,7 miliar. Apalagi contoh lainnya? Tahu seberapa populer Minecraft? Menurut laporan dari Business Insider di September 2019, Minecraft punya 112 juta pemain setiap bulannya. Game ini punya 52.579 mod (setidaknya saat artikel ini ditulis) di salah satu komunitasnya.

Strategi untuk Ekosistem Game Blizzard di Indonesia

Jujur saja, saya sendiri berpikir bagian sebelumnya dari artikel ini tadi terlalu muluk-muluk… Karena seakan mustahil saja Blizzard mendengarkan pendapat seorang gamer jarang mandi yang satu ini. Namun demikian, mungkin yang lebih realistis adalah soal strategi yang bisa dilakukan oleh AKG Games sebagai publisher game Blizzard di Indonesia.

Dari pilihan kata yang digunakan di sini, mungkin sudah terlihat jelas 2 aspek yang harus ada. Saya memilih kata “ekosistem” bukan tanpa alasan yang gamblang. Definisi ataupun konsep ekosistem menekankan pada keragaman entitas yang saling berinteraksi satu sama lainnya.

Jadi, menurut saya, salah satu strategi yang bisa dilakukan AKG dalam mengembangkan ekosistem game Blizzard adalah merangkul lebih banyak pihak dan menjadikan mereka sebagai stakeholders. Misalnya, mereka bisa memberikan motivasi kepada sejumlah media untuk mengambil peran publikasi, memberikan proyek event ke MET Indonesia atau EO lainnya, dan menugaskan RevivalTV untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan talent. Dengan demikian, pihak-pihak yang kebagian rezeki tadi jadi merasa turut memiliki dan peduli atas keberhasilan ekosistemnya di Indonesia.

Mari kita lihat sebuah studi kasus tentang sejarah ekosistem League of Legends (LoL) di Indonesia. Kala itu, LoL memang hanya digarap oleh satu pihak. Aliran dananya hanya di pusaran itu-itu saja. Otomatis, banyak pihak jadi tak peduli dengan hidup dan matinya. Sederhananya, pola pikirnya seperti ini, “jika saya tidak mendapatkan keuntungan ataupun pendapatan dari sana, kenapa saya harus peduli?” Sebaliknya, di periode yang sama, banyak pihak lebih diuntungkan menggarap Dota 2. Makanya, Dota 2 lebih dipilih oleh kebanyakan para pelaku esports kala itu.

Menurut saya, banyak orang belum menyadari bahwa ada 2 kategori faktor bagaimana sebuah game bisa berkembang di satu negara yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ditemukan dari game itu sendiri, seperti platform-nya, mekanisme gameplay, kebutuhan spek, ataupun yang lainnya. Sedangkan faktor eksternal adalah soal komunitas, ekosistem esports, talent, tim, media, dan segudang hal lain.

Jika kita bandingkan antara LoL dan Dota 2, faktor internalnya tidak berbeda jauh. Sama-sama di PC, sama-sama tak butuh spek tinggi, sama-sama gratis, dan sama pula genre-nya. Perbedaan yang besar ditemukan di faktor eksternalnya karena semua orang bisa saja menggarap event Dota 2 dan meraup keuntungan dari sana.

Di sisi lain, jika kita ingin membandingkan salah satu game Blizzard, yaitu Overwatch; game lainnya yang bisa dianggap sekelas adalah Rainbow Six: Siege (R6S). Setidaknya, keduanya ditujukan untuk kelas atas. Nyatanya, saat ini R6S bisa dibilang lebih hidup dibandingkan dengan Overwatch di Indonesia. Buktinya, ada Aerowolf (organisasi esports asal Indonesia, meski untuk tim R6S nya tidak ada lagi pemain asal Indonesia) dan Team Scrypt (tim Indonesia yang juga seluruh pemainnya dari Indonesia) ikut R6S Pro League Season 11 bersama dengan tim-tim lain asal Asia Tenggara.

Turnamen yang digarap dan ditujukan untuk komunitas juga sudah rutin dilakukan untuk R6S dari tahun 2017. Jika faktor internal antara kedua game tersebut tidak berbeda jauh, apa yang membedakan? Menurut saya, faktor eksternal tadilah jawabannya. Komunitas R6S lewat R6 IDN yang digawangi oleh Bobby Rachmadi Putra sudah aktif sejak lama. Komunitas R6 IDN juga bekerja sama dengan kami di HYBRID ataupun sejumlah pihak lain (ESL, ESID, dkk) dalam berbagai kesempatan.

Satu contoh lagi, salah satu ekosistem esports di Indonesia yang paling bagus saat ini adalah Mobile Legends: Bang Bang (MLBB). Ekosistem MLBB saya bilang bagus karena hidup dan masih positif sejak 2017. Proyeksi trennya pun juga harusnya masih positif setidaknya sampai 2 tahun ke depan. Memang, banyak yang mengatakan bahwa MLBB punya ekosistem esports yang subur berkat dirilis di platform mobile dan butuh spek ringan. Saya tidak menafikkan argumentasi tersebut namun itu baru dari sisi internalnya. Ada banyak orang yang tidak melihat apa yang terjadi dari sisi faktor eksternalnya. Moonton mengajak MET Indonesia untuk menggarap MPL ID S3 dan S4. Di sisi lain, mereka juga mengajak RevivalTV untuk menjalankan MIC di 2019 ini. Sebelumnya, RevivalTV juga yang menjalankan MPL ID S1 dan S2. Masih ada sejumlah pihak lain yang dirangkul dan kebagian rezeki dari ekosistem esports MLBB. Karena itulah, semua pihak-pihak tadi tentunya tidak ingin juga kehilangan salah satu sumber pendapatannya.

MPL ID S4. Sumber: Dokumentasi Resmi MPL Indonesia
MPL ID S4. Sumber: Dokumentasi Resmi MPL Indonesia

Mungkin memang terlalu naif juga jika berharap game-game Blizzard bisa selaris MLBB di Indonesia. Bukan karena kualitasnya, namun karena target pasarnya dan faktor internal tadi. Bahkan Hearthstone yang tersedia di platform mobile pun punya target pasar kelas menengah ke atas atau setidaknya di atas pasar MLBB yang menargetkan semua golongan. Apalagi jika kita berbicara soal game-game PC dan console milik Blizzard. Ini juga relevansinya kenapa saya tadi menjabarkan beberapa tantangan untuk game-game di platform non-mobile. Tentunya, masih ada PR besar soal infrastruktur ataupun kebijakan ekonomi makro yang mungkin memang jauh dari jangkauan.

Namun demikian, seharusnya game-game Blizzard di Indonesia mampu mengalahkan Rainbow Six: Siege (karena sama-sama ditujukan kelas high-end) dan bersaing popularitasnya dengan Dota 2, Tekken 7, FIFA, PES, ataupun CS:GO (yang cocok untuk kelas menengah) — karena ada publisher yang turun tangan langsung ke pasar Indonesia.

Penutup

Akhirnya, salah satu alasan kenapa Dota 2 punya ekosistem yang paling bergairah di Indonesia pada zamannya adalah karena banyaknya stakeholders yang mau menggarap ekosistem tersebut. Penurunan trennya pun belakangan juga diakibatkan oleh berkurangnya stakeholders di ekosistem ini. Ditambah lagi, tidak ada juga publisher Dota 2 di Indonesia yang akan mendapatkan insentif dari perkembangan komunitas dan hidupnya ekosistem esports tanah air.

Saya pribadi sungguh berharap ekosistem game Blizzard bisa tumbuh subur di Indonesia. Dengan demikian, hal tersebut dapat memancing publisher barat lainnya untuk turut terjun langsung ke sini. Plus, kesuksesan itu sekaligus membuktikan juga bahwa ekosistem esports Indonesia itu tak hanya cocok untuk kalangan kelas bawah namun juga untuk kelas menengah ataupun atas.

Berapa Total Hadiah Kemenangan yang Didapatkan RRQ Sepanjang 2019?

Esports kini telah jadi industri dengan nilai lebih dari US$1 miliar. Menjadi pemain esports pun tak lagi sekadar mimpi di siang bolong. Sama seperti atlet olahraga tradisional, pemain esports juga mendapatkan gaji bulanan. Beberapa developer bahkan menetapkan gaji minimal untuk pemain esports yang berlaga di liga game esports buatannya. Misalnya, Activision Blizzard menetapkan bahwa para pemain yang bertanding di Overwatch League berhak atas gaji minimal US$50 ribu per tahun, tempat tinggal, asuransi kesehatan, dan bahkan dana pensiun.

Jika tim esports harus membayar para pemainnya setiap bulan, maka mereka juga harus memiliki pemasukan. Di dunia sepak bola, sebuah tim bisa mendapatkan pemasukan dengan menjual merchandise pada fans. Itulah mengapa stadion yang menjadi markas sebuah klub biasanya dilengkapi dengan toko merchandise. Selain dari merchandise, sebuah klub sepak bola juga bisa “menjual” para pemainnya ke klub lain.

Sementara di industri esports, sponsorship menjadi sumber pemasukan utama, setidaknya untuk saat ini. Menurut laporan Newzoo, walau sponsorship masih menjadi sumber pemasukan terbesar di industri esports, hak siaran media mengalami pertumbuhan yang lebih besar. Tak tertutup kemungkinan, ke depan, hak siar media justru jadi sumber pemasukan utama di industri esports. Hadiah yang didapatkan tim esports ketika memenangkan turnamen juga bisa menambah kas tim, terutama karena turnamen esports kini memiliki hadiah yang tak kalah besar dengan kompetisi olahraga konvensional. Namun, sebagian dari hadiah yang dimenangkan oleh sebuah tim biasanya diberikan langsung pada para pemain.

RRQ TCN - PBWC 2019 Winner
Juara dunia! | Sumber: Point Blank Indonesia

RRQ merupakan salah satu tim esports paling ternama di Indonesia. Menurut situs resminya, ada puluhan gelar juara yang telah didapatkan oleh tim dengan julukan Sang Raja itu. Namun, berapa banyak total hadiah yang telah dimenangkan oleh RRQ sepanjang tahun ini?

Hybrid mencoba untuk menelusuri turnamen-turnamen yang telah dimenangkan oleh RRQ sepanjang 2019 dan juga besar hadiah yang mereka dapatkan. Meski tidak dapat mengumpulkan data secara lengkap, kami menemukan bahwa selama 2019, RRQ berhasil memenangkan total hadiah setidaknya Rp5,7 miliar. Salah satu kontribusi terbesar berasal dari RRQ Athena, yang bersama RRQ Kenboo, berhasil memenangkan PUBG Mobile Star Challenge dan memenangkan US$100 ribu (sekitar Rp1,4 miliar). RRQ Athena juga baru saja memenangkan PMCO Fall Split SEA dan membawa pulang US$35 ribu atau sekitar Rp490 juta. Sementara pada awal Oktober 2019, RRQ Epic menyumbangkan Rp580 juta dengan memenangkan PBNC 2019 dan menjadi juara dari PBIC 2019. RRQ Endeavor, yang dijagokan sebagai juara PBNC, justru hanya berkontribusi Rp20 juta sebagai juara tiga dari PBNC 2019.

Inilah beberapa turnamen dengan hadiah terbesar yang telah dimenangkan oleh RRQ pada 2019.

1. PUBG M Star Challenge 2019 – Rp1,4 miliar(US$100 ribu)
2. MPL ID S4 (runner-up) – Rp980 juta (US$70 ribu)
3. PMCO Fall Split SEA – Rp490 juta(US$35 ribu)
4. PUBG Mobile Club Open SEA Finals 2019 – Rp425 juta (US$30 ribu)
5. Point Blank World Championship 2019 – Rp425 juta (US$30 ribu)
6. Point Blank National Championship 2019 Season 2 – Rp300 juta
7. Point Blank National Championship 2019 Season 1 – Rp300 juta
8. Point Blank International Championship 2019 (juara dua) – Rp283 juta (US$20 ribu)
9. PUBG Southeast Asia Championship 2019 – Phase 2 – Rp283 juta (US$20 ribu)
10. Free Fire Indonesia Master Season 2 (juara 2) – Rp150 juta
11. Piala President Esports (juara 3) – Rp100 juta
12. IGL FIFA 2019 – Rp 50 juta

RRQ.Athena as PUBG M Star Challenge champion in Dubai. Source: PUBG Mobile
RRQ.Athena sebagai pemenang PUBG M Star Challenge di Dubai pada 2018. Sumber: PUBG Mobile

Tahun 2019 belum berakhir, RRQ telah berhasil membawa pulang setidaknya Rp5,7 miliar. Meskipun terdengar besar, ketika dihubungi melalui pesan singkat, CEO RRQ Andrian Pauline (AP) mengatakan bahwa jumlah hadiah yang dimenangkan oleh tim-tim RRQ tidak signifikan jika dibandingkan dengan total pendapatan RRQ sebagai tim. Alasannya, karena sebagian besar dari hadiah yang didapatkan oleh tim diberikan pada para pemain. Sayangnya, AP enggan untuk memberikan informasi lebih lanjut saat ditanya tentang persentase pembagian antara tim dan para pemainnya.

Dia mengatakan, sumber pendapatan terbesar RRQ saat ini masih berasal dari sponsorship. Pada awal tahun ini, dalam sebuah wawancara bersama media, AP mengatakan bahwa sponsorship memang masih jadi sumber pemasukan utama. Ketika itu, dia berkata, sebagai tim ternama yang sudah menyandang berbagai gelar, RRQ relatif lebih mudah untuk mencari sponsor. Memang, salah satu sponsor terbaru RRQ, GoPay, mengungkap bahwa alasan mereka memutuskan untuk mensponsori RRQ adalah karena reputasi Sang Raja yang baik dan prestasi mereka yang cukup banyak. Namun, AP mengatakan, bagi tim pemula, mendapatkan sponsor bukanlah perkara mudah.

EVOS Esports Dapatkan Pendanaan Sebesar Rp61 Miliar

EVOS Esports mungkin memang bisa dibilang sebagai salah satu organisasi / startup esports paling sukses yang berasal dari Indonesia. Meski baru berdiri dari tahun 2017, mereka langsung mencuri perhatian banyak pelaku industri dari dalam dan luar negeri. Sekarang, mereka juga bisa dianggap sebagai salah satu yang paling berhasil di kawasan Asia Tenggara.

Saat artikel ini ditulis, EVOS memiliki 13 tim di 6 game berbeda (dengan total 62 pemain), yang berada di 5 negara. Saat ini, EVOS juga sudah memiliki sekitar 120 karyawan, 100 di antaranya berasal dari Indonesia.

Bagi Anda yang ingin cari tahu lebih jauh mengenai perjalanan EVOS Esports jadi sebesar ini, Anda bisa membaca sendiri terjemahan tulisan dari Ivan Yeo, CEO dan Co-Founder EVOS Esports yang terbagi jadi 4 bagian.

Menurut Business Times, tahun ini (2019), mereka bahkan berhasil mendapatkan pendanaan seri A dengan jumlah fantastis sebesar US$4,4 juta (atau setara dengan Rp61 miliar). Pendanaan pertama, yang hampir mencapai angka US$3 juta, mereka dapatkan dari Insignia Venture Partners di awal tahun. Sedangkan sisanya, US$1,4 juta, mereka dapatkan dari sekelompok angel investor yang terdiri dari sejumlah konglomerasi asal Indonesia dan juga petinggi dari pemain ecommerce asal Tiongkok.

Menariknya, meski sebagai klub esports yang kompetitif, EVOS tak bisa dipandang remeh di AOV (yang langganan juara nasional dari musim pertama ASL), MLBB (yang baru saja memenangkan MPL ID S4 dan juga MPL MY/SG), Free Fire, ataupun PUBG Mobile, pendanaan ini justru difokuskan untuk EVOS sebagai manajemen influencer.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Manajemen influencer dari EVOS sendiri saat ini diklaim sudah mengatur 50 influencer eksklusif dan bekerja sama dengan 250 talent. Menurut Ang Teng Jen, Chief Strategic Officer EVOS, saat diwawancarai oleh Business Times, “Agustus lalu, influencer gaming papan atas dunia, Tyler “Ninja” Blevins, meninggalkan Twitch untuk kontrak eksklusif dengan Mixer dari Microsoft; dengan nilai kontrak yang perkiraannya mencapai US$20-30 juta.

Kami melihat tren yang sama di Asia Tenggara, dengan influencer papan atas di kawasan ini yang mendapatkan sekitar US$30-60 ribu sebulan — seratus kali lebih besar dari gaji kebanyakan fresh graduate.”

Ivan Yeo juga sempat memberikan pendapatnya di artikel yang sama. Menurutnya, esports memang jadi salah satu industri dengan pertumbuhan tercepat secara global. Namun ada banyak potensi yang belum dimaksimalkan di wilayah Asia Tenggara. Untungnya, sekarang lebih banyak brand yang mulai melirik esports — nilai sponsorship sekarang sudah lebih dari US$500 ribu, dibandingkan dulu yang masih di kisaran US$10 ribu saat EVOS baru mulai.

“Intinya, Ivan dan timnya memiliki rencana yang gamblang untuk mendominasi pasar Asia Tenggara, memperkuat kerja sama dengan berbagai pihak-pihak penting di kawasan ini.” Ujar Tan Yinglan, Founding Managing Partner dari Insignia Ventures Partners.

Sumber Feature Image: ESL Indonesia

Space Stockholm Bakal Jadi Pusat Esports dan Musik di Eropa

Industri esports memang tengah bertumbuh pesat. Semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk masuk ke ranah esports sebagai sponsor atau rekan kerja sama. Meskipun begitu, stadion khusus esports masih tak banyak. Sulitnya mencari pelanggan adalah salah satu masalah yang dihadapi pihak yang hendak membangun venue esports sendiri. Namun, ini tak menyurutkan niat perusahaan asal Swedia, Space, untuk membuat sebuah pusat gaming dengan luas 7.500 meter persegi dan 7 lantai. Space memilih Stockholm sebagai lokasi dari venue esports tersebut. Diperkirakan, tempat ini akan bisa dibuka untuk umum pada 2021.

Space Stockholm akan dilengkapi dengan 500 PC gaming, menjadikannya sebagai salah satu gaming center paling besar di Eropa. Selain itu, tempat tersebut juga dilengkapi dengan ruangan untuk bermain konsol dan game VR. Space tak hanya berharap menarik gamer sebagai pengunjung. Karena itu, mereka melengkapi fasilitas mereka dengan studio musik dan tempat untuk membuat konten, serta restoran, co-working space, gym, dan bahkan klub. Dengan semua fasilitas ini, Space berharap, mereka akan dapat menarik 5.000 pengunjung setiap harinya. Space juga menawarkan program keanggotaan, memungkinkan anggota untuk menggunakan co-working space, gym, dan Space Club, yang memiliki batas umur minimal 23 tahun. Anggota juga bisa mendapatkan jam gratis untuk bermain.

Space didirikan oleh tiga orang: Head of Esports Music Label, Enter Records, Gustav Käll, Chairman dan Partner Architecture Partner DAP Group, Lars Bloomberg, dan CEO Pop House Sweden Per Sudin. Pop House Sweden juga telah menanamkan investasi ke Space, meski tidak disebutkan berapa jumlahnya. Käll menjadi rekan kerja Sundin ketika dia bekerja untuk Universal Music pada 2016 setelah dia meninggalkan Clutch Enterainment. Käll mengatakan, membuat gaming center memang telah menjadi cita-citanya selama lima tahun belakangan.

Ilustrasi | Sumber: The Esports Observer
Ilustrasi | Sumber: The Esports Observer

“Menurut saya, gaming center bukanlah bagian akhir dari ekosistem, tapi bagian penting yang akan mendorong pertumbuhan esports,” kata Käll, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Keberadaan gaming center membuat game bisa dimainkan semua orang, karena tidak semua orang bisa membeli komputer high-end sekarang ini.” Perusahaan asal Amerika Serikat, Nerd Street Gamers, juga melakukan hal yang sama. Setelah mendapatkan kucuran dana sebesar US$12 juta, mereka berencana untuk membuat fasilitas esports di berbagai tempat di Amerika Serikat.

“Dalam budaya online, semua orang tertarik dengan gaming, musik, dan pembuatan konten,” kata Käll. “Ketiga hal itu adalah tiga jenis hiburan yang paling dinikmati oleh generasi muda. Kami ingin membawa ketiganya dalam satu atap.” Karena itulah, Space Stockholm tak hanya menyediakan fasilitas untuk bermain game, tapi juga studio musik dan tempat untuk menciptakan konten.

“Space Stockholm, dengan tempatnya yang unik di pusat ibukota Swedia, akan menjadi landmark budaya — tidak hanya untuk kota Stockholm, tapi juga seluruh Swedia,” kata Anna König Jerlmyr, Mayor of Stockholm. “Tempat ini menjanjikan masa depan yang cerah untuk Sergels Torg dengan menciptakan pusat budaya digital yang modern dan progresif.” Swedia merupakan tempat asal dari dua developer ternama, Mojang dan King. Selain itu, dua perusahaan platform streaming musik, Spotify dan Soundcloud, juga berasal dari negara tersebut. Perusahaan media asal Swedia, Modern Times Group, juga merupakan pemilik DreamHack dan pemilik saham mayoritas dari ESL.

Mengukur Peran Media Game di Ekosistem Esports Indonesia

Douglas Rushkoff (Throwing Rocks at the Google Bus, 2017) berargumen bahwa industri yang sehat adalah industri yang memiliki sirkulasi dana yang luas dan cepat. Pasalnya, dengan sirkulasi dana yang luas dan cepat, setiap pihak yang berkepentingan bisa terus bertahan dan memainkan perannya masing-masing. Sebaliknya, industri yang tidak sehat adalah industri yang hanya berusaha menggemukan 1-2 pihak saja karena model yang seperti ini justru memiskinkan banyak pelaku lainnya.

Lalu apa hubungannya argumentasi Rushkoff tadi dengan media game dan ekosistem esports di Indonesia? Besarnya anggaran esports yang berputar di ekosistem kita masih belum dapat dinikmati oleh para pelaku media game dan esports. Bahkan, jika mau lebih seksama melihatnya, baru 2 komponen di ekosistem esports yang bisa menuai banyak keuntungan saat ini: organisasi (tim) dan event organizer esports.

Jangankan media, publisher game-nya sendiri sebenarnya juga belum sebanyak itu mendapatkan keuntungan dari esports-nya. Memang, pendapatan dari penjualan item mall (in-app purchase) buat sejumlah game publisher bisa mencapai miliaran Rupiah setiap bulannya (meski sayangnya, saya tidak bisa menyebutkan nama publisher atau sumber informasi saya di sini). Namun demikian, tidak banyak pendapatan langsung yang diterima publisher dari setiap gelaran esports game mereka; seperti pendapatan yang diterima Valve setiap kali menggelar The International, berkat penjualan Battle Pass.

Korelasi yang jelas antara besaran pendapatan dari in-app purchase dengan ramainya ajang esports tiap game pun sebenarnya juga masih belum terdefinisikan dengan gamblang. Rata-rata memang masih hanya berpendapat soal esports sebagai sarana marketing dari game tersebut. Itu pun juga masih belum bisa dipastikan efektivitasnya.

Mungkin lain waktu kita akan membahas lebih dalam soal korelasi antara pendapatan publisher dengan ajang esports karena kali ini saya ingin membahas lebih jauh soal peran media game dan esports di dalam ekosistem kita.

Untuk membahas hal ini, saya telah mengajak berbincang beberapa kawan-kawan saya yang tahu punya cukup pengalaman soal media game. Kawan-kawan saya yang saya ajak berbincang kali ini adalah Michael Samuel (Editor-in-Chief untuk EsportsID), Bambang Tri Utomo (COO dari IndoEsports), Edi Kusuma (Pendiri Hasagi dan mantan Editor untuk VGI), dan salah seorang lagi yang menolak untuk disebutkan namanya di sini (sebut saja Mawar namanya). Izinkan saya juga menuangkan pendapat saya di sini karena saya juga memang punya pengalaman spesifik berkarier di media game dari 2008, di media cetak ataupun digital.

Kondisi Media Game dan Esports Sekarang

Sebelum kita menggali lebih dalam soal peran media di ekosistem, ada baiknya kita melihat sebentar pada kondisi media game dan esports di Indonesia saat ini. Dari pengakuan kawan-kawan, baik yang saya sebutkan tadi ataupun yang tidak, kondisi keuangan kebanyakan media game saat ini memang masih bleeding alias lebih besar pengeluaran daripada pendapatan.

Kalaupun ada pendapatan yang cukup besar, biasanya hal tersebut datang (atau setidaknya lebih besar) dari penyelenggaraan event — bukan seperti layaknya sumber pendapatan media zaman cetak dulu (iklan display, advertorial, ataupun banderol harga yang harus dibayarkan oleh pembaca).

Esports Indonesia
Esports market trend report 2019. Sumber: DailySocial

Ada banyak faktor sebenarnya yang membuat kondisi industri media digital berubah drastis dibanding zaman sebelumnya. Berhubung supaya tidak jadi buku ratusan halaman, saya hanya akan menyebutkan beberapa hal yang menurut saya relevan dengan bahasan kita kali ini.

Pada zaman sebelum digitalisasi, media memiliki peran besar dalam mengatur arus informasi. Media, zaman itu, bahkan juga bisa saja semena-mena menutup keran informasi tentang sebuah cerita, kasus, atau apapun itu. Maka dari itu, para diktator negara juga biasanya tahu betul bahwa pengekangan arus informasi menjadi sebuah kunci keberlangsungan suatu rezim.

Kala itu, kekuasaan memegang arus informasi juga terbagi menjadi 3 kanal besar yaitu televisi, radio, dan media cetak. Pembagian 3 kanal besar ini berkaitan erat dengan industri periklanan yang sebelumnya jadi mata air utama pendapatan perusahaan media. Pasalnya, ketika itu, tidak ada 1 ruang atau platform beriklan yang mampu mencapai semua pengguna. Sekarang, pasca digitalisasi media, ada duopoli Google dan Facebook yang mungkin bisa dibilang mencakup gabungan pengguna 3 kanal tadi. Dengan demikian, media tidak lagi menjadi ruang beriklan yang utama atau setidaknya sudah tidak jadi satu-satunya ruang beriklan. Meski memang, masih ada banyak juga pelaku industri yang percaya untuk menjaga hubungan baik dan menghidupi media agar terus menjaga perannya dalam sebuah ekosistem industri.

Sayangnya, di industri game atau esports saat ini, mayoritas para pelakunya lebih suka menggunakan Google atau Facebook (serta turunannya) sebagai ruang beriklan, publikasi, ataupun menyebarkan informasi. Hal inilah yang jadi salah satu faktor terbesar terhadap minimnya pendapatan media game saat ini.

Ketika saya masih di media cetak dulu, media game mendapatkan pemasukkan paling banyak dari publisher game lokal (Lyto, Megaxus, WaveGame, dkk.). Sekarang, publisher lokal yang tadinya menguasai industri game nasional sudah tergerus kencang oleh publisher internasional. Sedangkan publisher internasional tadi memang mayoritas lebih suka menggunakan Facebook atau Google untuk beriklan. Di sisi lain, Facebook dan Google memang nyatanya mampu menawarkan harga iklan yang lebih terjangkau, yang bahkan bisa dibeli secara ‘eceran’.

Mawar, yang awalnya lebih memilih diam di sudut meja saat kami duduk bersama di sebuah kafe di sekitaran SCBD, tiba-tiba mengatakan, “(melihat kondisi pendapatan media game sekarang,) ajaib jika (sejumlah media game) masih hidup.”

Itu tadi jika kita melihat faktor eksternalnya. Jika melihat sisi medianya sendiri, sayangnya, memang ada banyak hal yang mungkin bisa dibenahi ataupun ditambah.

Pertama, media digital antara satu dengan yang lainnya memang lebih saturated dibanding zaman cetak dulu. Hal ini juga terjadi di media yang spesifik membahas game dan esports. Maksudnya, ciri khas masing-masing media (termasuk media game) jadi tidak terlalu terlihat. Seingat saya, dulu perbedaan antara HotGame, GameStation, dan PC Gamer itu jelas sekali terlihat. 3 majalah game tadi juga setahu saya mengincar target pasar yang tidak sama persis dan menyuguhkan artikel eksklusifnya masing-masing.

Sumber: Tokopedia
Sumber: Tokopedia

Mike, panggilan sayang dari Michael Samuel, juga setuju bahwa memang media game yang seharusnya bisa menunjukkan ciri khasnya masing-masing. Ia juga menambahkan bahwa media tak bisa sepenuhnya menyalahkan para pengiklan karena ada tuntutan adaptasi yang harus dijalani para pelaku media. Adaptasi untuk terus bertahan ini akan saya lanjutkan pembahasannya di bagian selanjutnya namun ada juga persoalan adaptasi yang berpengaruh terhadap kondisi media game saat ini.

Faktor internal kedua yang menurut saya sedikit banyak berpengaruh pada kondisi media game saat ini ada di para pengambil kebijakannya. Mereka-mereka yang punya pengalaman membesarkan media justru kalah suaranya dengan mereka yang belum punya ataupun minim pengalaman. Faktanya, membesarkan sebuah media itu tidak mudah. Setidaknya, jelas tidak seperti memperlakukan layaknya akun-akun anonim di media sosial karena ada kode etik dan kredibilitas (baik brand media ataupun nama baik para jurnalisnya) yang harus dijaga.

Antara Media, Media Sosial, dan Influencer

Jika berbicara soal media, apalagi di ekosistem gaming dan esports, saya kira perlu juga dibuat satu bahasan khusus yang membandingkannya dengan media sosial atau malah influencer.

Menurut Edi, atau yang biasanya lebih dikenal dengan Edel, media itu seharusnya bisa menawarkan informasi yang lebih kredibel ketimbang media sosial. Ia juga menambahkan media sosial biasanya lebih cenderung untuk menggiring opini, ketimbang menyajikan fakta. Namun demikian, menurut Edel juga, perbedaan antara media dan media sosial juga sebenarnya bergantung pada selera si pembacanya. “Apakah lu mau berita yang cepet dan rame atau mau berita yang bisa dipertanggungjawabkan.” Ujarnya.

Sedangkan jika dibandingkan dengan influencer, Edel berpendapat bahwa influencer memang hanya bisa menyatakan pendapat pribadinya dan bisa saja merasa selalu benar. Sedangkan media seharusnya bisa lebih netral dan mencoba meluruskan informasi sesuai dengan fakta yang ada.

Sumber: GoodRebels.com
Sumber: GoodRebels.com

Sang COO IndoEsports yang mengaku lebih suka dipanggil Tommy juga menambahkan pendapatnya mengenai perbedaan antara media dengan media sosial dan influencer. Menurutnya, ada 2 jenis berita yang harus dipahami, “berita yang kita MAU tahu dan yang kita PERLU tahu.”

Pendapatnya senada juga dengan yang disampaikan oleh Mike. “Media itu tidak hanya soal hiburan tapi juga menyuguhkan informasi.” Kata Editor-in-Chief yang telah melanglang buana di industri game Indonesia.

Mawar juga mengamini bahwa media memang punya batasan yang jauh lebih banyak dibanding media sosial dan influencer.

Meski demikian, saya sendiri percaya sebenarnya media, (akun) media sosial, ataupun influencer bisa bersinergi membangun ekosistem asalkan memang perannya masing-masing disadari oleh banyak pihak. Konsepnya sederhana namun kenyataannya memang tidak mudah dijalankan. Karena tidak jarang media memang tidak mungkin secepat, sefrontal, ataupun semurah media sosial ataupun influencer. Pasalnya, media jelas statusnya sebagai perusahaan yang bayar pajak, harus mengikuti sekian banyak batasan (ataupun undang-undang), dan harus mendapatkan keuntungan agar bisa bertahan lama.

Peran Media Game di Ekosistem

Worst case, apa yang terjadi jika media-media niche yang khusus membahas esports dan game tak mampu bertahan? Apa yang akan terjadi dengan ekosistem esports Indonesia?

Mawar berpendapat bahwa media-media portal (yang punya berbagai kanal) yang akan jadi lebih aktif membahas game dan esports. Namun demikian, media-media tersebut tetap saja tidak akan bisa membahas lebih banyak atau lebih dalam soal esports dan game. Kecuali, mereka akan menarik para penulis atau jurnalis yang memang punya spesialisasi expertise di sini. Namun jika media-media portal yang akhirnya membahas game dan esports juga tidak mampu mendatangkan penghasilan dari industri atau ekosistem ini, mustahil juga mereka menjadikan topik bahasan game dan esports sebagai prioritas.

Saat ini, media-media mainstream (yang bukan niche) memang sudah mencoba memasukkan topik bahasan game dan esports namun, sejauh yang saya tahu, mereka masih sebatas testing the water. 

Andai saja kondisi terburuk tadi memang terjadi, kondisinya mungkin akan sama dengan ekosistem olahraga di Indonesia saat ini. Bahkan media-media yang khusus membahas sepak bola pun tidak sedikit yang gulung tikar. Saya tahu ini karena memang ada media esports di Indonesia yang mayoritas isinya mantan jurnalis bola. Itu tadi masih sepak bola yang merupakan olahraga paling populer di Indonesia. Kita belum berbicara soal exposure dan publikasi untuk olahraga-olahraga lain seperti basket, voli, bulu tangkis, dan kawan-kawannya.

Sumber: Bola.net
Sumber: Bola.net

Jika melihat publikasi dan exposure sepak bola, hal yang serupa juga dilakukan oleh sejumlah organisasi esports karena setiap tim besar punya kanal YouTube mereka masing-masing seperti Persija, Persib, ataupun Persebaya.

Dengan adanya media mainstream yang juga bisa membahas esports ataupun game secara umum dan kemudahan setiap pelaku industri (organisasi esports, EO, publisher) punya ruang distribusi publikasi sendiri, nilai jual media game dan esports memang jadi terlihat semakin kecil.

Maraknya platform yang mengijinkan user-generated content (YouTube, Facebook, Instagram, Twitch, Twitter) membuat banyak orang memang jadi menganggap membuat konten dan publikasi itu mudah dan murah. Namun, faktanya, expertise itu tidak pernah mudah apalagi murah jika memang ingin berkelas (yang bukan picisan). Sayangnya, memang lebih banyak orang-orang berpikiran dangkal yang lebih suka menyederhanakan segala sesuatunya dan tak mampu (atau mau) melihat setiap hal dari berbagai perspektif.

Misalnya tadi soal akses mudah ke platform user-generated content, banyak pelaku industri (dari semua sisi, termasuk produsen konten ataupun sponsor) menjadikan kuantitas semata sebagai tolak ukur utama dan bahkan rela mengorbankan banyak hal demi tujuan tadi. Banyak yang jadi tidak sadar bahwa kemudahan akses ruang publikasi ataupun distribusi konten itu justru membuat tolak ukur lain selain kuantitas (viewer, trafficsubscriber, dkk.) semakin dibutuhkan dan penting untuk dirumuskan.

Kenapa saya bisa bilang demikian? Karena nyatanya, video anak kecil makan bakso saja bisa mengalahkan popularitas video dari pro player. Nyatanya, saat artikel ini ditulis, jumlah subscriber Najwa Shihab bahkan di kisaran angka yang sama dengan sang anak kecil tadi. Dengan mudahnya akses publikasi dan distribusi konten, keahlian dan keberhasilan jadi tidak bisa semata-mata dinilai dari popularitas.

Maksud saya menjabarkan hal tadi karena saya kira penting juga untuk disadari bahwa ruang publikasi dan distribusi yang mudah dan murah itu juga menuntut pertimbangan yang lebih jauh dari yang kelihatan jelas di permukaan. Sampai hari ini, memang saya tahu juga ada beberapa pelaku di esports, seperti EO, yang sudah menyadari pentingnya peran dan expertise media dan mengalirkan dana ke sana (thanks buat kliennya Hybrid wkwkwkwk…) namun masih banyak juga yang belum sampai memikirkan bagaimana nasib para pekerja media game dan esports.

Namun demikian, di sisi lain, kembali ke perkataan Mike tadi memang media game dan esports juga harus beradaptasi dan upgrade kelas untuk terus bertahan dan memainkan perannya dalam ekosistem.

Saya sepenuhnya setuju soal adaptasi dan upgrade tadi karena, menurut saya, banyak media juga belum mampu menunjukkan ciri khasnya masing-masing dan menyuguhkan konten yang benar-benar berkualitas. Mungkin karena memang standar rekrutmen atau gajinya juga terlalu rendah (nyahahaha). Tidak jarang media juga malah jadi sekadar pengikut tren dan bahkan malah mengambil peran influencer ataupun akun anonim yang lebih suka terlibat atau malah memulai kegaduhan dan keonaran yang tidak berfaedah (alias drama).

Adaptasi dalam mencari pendapatan juga sebenarnya bisa dilakukan kawan-kawan media game yang memang memiliki keahlian di sana, asalkan juga disadari oleh tim, event, ataupun sponsor yang memang memahami pentingnya brand image-nya masing-masing. Salah satu yang bisa dilakukan, misalnya, adalah memainkan peran media relation. Perusahaan media game yang punya orang-orang berkualitas, seperti kawan saya Mike, Mawar, ataupun yang lain-lainnya juga sebenarnya mampu menawarkan knowledge soal esports ataupun game yang mendalam namun juga tahu bagaimana membuat rilis ataupun bentuk publikasi lain yang lebih proper. Membangun kerangka narasi besar yang ingin dibentuk untuk jangka panjang serta implementasinya juga bisa dilakukan jika disadari kebutuhannya oleh para pelaku.

Sekali lagi, expertise jurnalistik dan berbahasa itu tidak mudah. Saya kira hal ini juga penting untuk disadari betul oleh para pelaku industri. Pasalnya saya sudah beberapa kali mendengar seperti ini, “menulis itu kan gampang, Bes…” Hmmm, bagi saya, jangan pernah mengaku bisa berbahasa jika belum bisa membedakan antara kata kerja, kata sifat, dan saudara-saudaranya. Itu tadi bahkan masih pengetahuan dasar berbahasa, belum sampai keahlian untuk merangkainya menjadi sebuah cerita karena masih ada soal kekayaan diksi, koherensi antar paragraf, penjabaran argumentasi, ataupun segudang hal lainnya. Ini juga masih soal berbahasa juga belum sampai soal kode etik jurnalistik.

Expertise inilah yang sebenarnya bisa dimanfaatkan dengan lebih variatif jika memang disadari oleh berbagai pelakunya, seperti beberapa contoh yang saya sebutkan tadi.

Akhirnya, bisa jadi saya memang bias dalam memandang peran media game di dalam ekosistem ini. Namun saya sangat percaya bahwa peran media sebagai ruang informasi dan edukasi terbuka yang bermartabat dan berpatutan punya andil besar sebagai salah satu dari pilar-pilar penting: media, komunitas (di dalamnya termasuk influencer, pekerja perorangan, dkk), EO, sponsor, tim/organisasi, dan publisher; dalam membangun industri esports yang berkesinambungan.

Sumber Header: IGN

[Featured] Mengulik Tantangan Stadion dan Venue Esports di Indonesia

Tahun ini, esports menjadi bahan pembicaraan hangat. Tidak heran, dengan jumlah penonton hampir mencapai satu miliar orang, esports kini menjadi industri bernilai US$1,1 miliar pada tahun ini. Namun, sebenarnya, turnamen esports besar sudah diadakan sejak beberapa tahun lalu, seperti Intel Extreme Extreme Masters yang telah diadakan sejak 2014 atau League of Legends Championship untuk Amerika Utara yang dimulai sejak 2015. Turnamen besar ini biasanya mendundang penonton yang tidak sedikit. Para penyelenggara turnamen seperti ESL biasanya menggunakan stadion untuk menyelenggarakan turnamen tersebut. Misalnya, babak akhir IEM biasanya diadakan di Spodek, Katowice, Polandia. Spodek adalah komplek multifungsi dengan kapasitas penonton mencapai 11.500 orang. ESL harus menggunakan komplek multifungsi karena memang saat ini, belum banyak stadion khusus esports dengan kapasitas besar.

Menurut data dari The Esports Observer, stadion khusus untuk esports dengan kapasitas lebih dari 400 tempat duduk sebenarnya telah ada sejak 2013. Ialah Nexon E-sports Stadium dengan kapasitas 436 orang yang terletak di Seoul, Korea Selatan. Stadion khusus esports dengan kapasitas terbesar berada di Tiongkok, yaitu Zhongxian E-sports Stadium, yang dibuka pada 2018. Stadion yang terletak di di Chongqing itu memiliki luas 5.574 meter persegi dan kapasitas 7.000 orang. Pada tahun yang sama, Texas juga membuka stadion khusus esports dengan luas lebih dari 9.200 meter persegi dan kapasitas 1.000 orang. Anda bisa melihat daftar stadion esports dengan kapasitas di atas 400 orang pada tabel di bawah.

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Allied Esports Entertainment dan Bisnis Stadion Esports

Di Amerika Serikat, satu nama yang dikenal ketika membahas soal bisnis stadion esports adalah Allied Esports Entertainment. Perusahaan itu berdiri ketika Black Ridge Acquisition Corp (BRAC) mengakuisisi Allied Esports dan WPT Enterprises. Pada awalnya, BRAC adalah perusahaan tempurung dari perusahaan minyak dan gas yang dibuat hanya untuk mengakuisisi perusahaan lain. Setelah mengakuisisi Allied Esports dan WPT Enterprises pada Agustus lalu, BRAC banting setir dari sektor energi ke esports.

Di situs resminya, Allied Esports Entertainment mengklaim dirinya sebagai perusahaan yang menaungi beberapa stadion dan fasilitas produksi konten. Memang, dari 12 stadion esports dengan kapasitas lebih dari 400 orang, 4 di antaranya ada di bawah manajemen Allied Esports Entertainment. Namun, bukan berarti perusahaan itu mendapatkan untung besar. Allied Esports Entertainment mengatakan, sebelum akuisisi, Allied Esports dan WPT Enterprises mengalami kerugian sebesar US$3,9 juta pada semester pertama 2019. Sementara selama 2018, keduanya mengalami kerugian sebesar US$31 juta. Meskipun begitu, kepada The Esports Observer, juru bicara Allied Esports Entertainment mengaku optimistis. Dia berkata, “Ke depan, kami percaya diri dengan strategi kami dan kami akan memanfaatkan momentum pada semester pertama 2019, ketika pendapatan kami naik 40 persen.”

HyperX Esports Arena, salah satu arena di bawah Allied Esports Entertainment | Sumber: Hyperxgaming
HyperX Esports Arena, salah satu arena di bawah Allied Esports Entertainment | Sumber: hyperxgaming

Menariknya, kerugian yang dialami Allied Esports dan WPT Enterprises tidak menghentikan TV Azteca dan Simon Property Group untuk mengucurkan dana investasi pada Allied Esports Entertainment. TV Azteca dan Simon Property Group masing-masing menanamkan US$5 juta pada Allied Esports Entertainment. Sebagai perusahaan properti, Simon Property mendapatkan US$5,66 miliar pada 2018. Investasi mereka pada Allied Esports Entertainment terbilang kecil. Pihak Simon menjelaskan, mereka tertarik untuk melakukan investasi di ranah esports karena mereka ingin melihat dampak adanya tempat khusus esports pada jumlah pengunjung dan kebiasaan belanja konsumen di pusat perbelanjaan mereka. Bersama Allied Esports Entertainment, Simon membuat longue Allied Esports di berbagai tempat di Amerika Serikat.

“Fokus kami adalah menyediakan tempat bagi komunitas untuk berkumpul, memungkinkan orang-orang dari berbagai latar belakang untuk berbelanja, makan, dan menikmati hiburan,” kata Executive Vice President dan COO of Development, Simon, Mark Silvestri, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Esports adalah cara inovatif bagi kami untuk memperkuat aspek komunal dengan format baru yang unik agar dapat menarik perhatian banyak orang.” Menurut Simon, sukses atau tidaknya pengintegrasian longue esports ke mall mereka akan didasarkan penerimaan pengunjung mall akan keberadaan tempat khusus esports ini.

Bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia, arena khusus esports masih belum banyak. Salah satu perusahaan yang memiliki stadion khusus esports adalah Dunia Games, anak perusahaan Telkomsel. Namun, tidak sedikit turnamen yang diadakan di pusat perbelanjaan seperti Mall Taman Anggrek atau exhibition hall seperti Jakarta International Expo. Pihak penyelenggara memiliki beberapa pertimbangan sebelum memutuskan tempat untuk turnamen esports. Menurut Rezaly Surya Afhany, Manager Esports di Telkomsel dan Head of Digital Games Product Management, salah satu hal yang harus dipertimbangkan ketika hendak memilih tempat turnamen esports adalah besarnya turnamen tersebut.

“Kalau level nasional, offline to online, dengan kapasitas dua sampai tiga ribu penonton dan tribune seat, mungkin Tennis Indoor Senayan atau Britama Kelapa Gading sangat oke supaya bisa dapat dokumentasi yang legendary,” kata Rezaly ketika dihubungi oleh Hybrid.co.id via pesan singkat. “Itu hanya untuk turnamen satu game. Tapi, kalau turnamen multigame, bisa gunakan exhibition hall seperti Kartika Expo, JIE Expo, atau Mall Taman Anggrek.”

Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Penonton ESL Indonesia Championship Season 2 di Tennis Indoor Senayan. | Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah tempat lokasi. “Kayak ICE BSD, jauh sih, tapi itu affordable, luas, dan peralatan bisa digantung sehingga produksinya bisa maksimal, seperti PMCO (PUBG Mobile Club Open). Kalau acara dari publisher sendiri, penonton sudah pasti banyak, beranilah kalau buat di ICE. Tapi, kalau untuk eksibitor pihak ketiga sepreti Dunia Games, harus dihitung benar-benar persiapannya jika mau buat di ICE. Jika kurang maksimal, bisa rugi.” Senada dengan Rezaly, Reza Afrian Ramadhan, Head of Marketing and Creative MET Indonesia juga mengatakan bahwa kapasitas tempat dan kemudahan akses memang faktor yang harus dipertimbangkan. Selain itu, spesifikasi tempat, seperti luas area, kemungkinan untuk dekorasi tempat, adalah hal lain yang menjadi pertimbangan pihak penyelenggara.

Dunia Games adalah salah satu dari sedikit eksibitor yang memiliki arena khusus esports. Meski enggan untuk menyebutkan jumlah investasi untuk membangun DG Esports Stadium yang terletak di Pluit Selatan, Rezaly mengungkap bahwa proses touchup stadion itu memerlukan waktu sekitar enam bulan. Stadion tersebut biasanya digunakan untuk acara kelas menengah, dengan jumlah penonton sekitar 300-400 orang. “Di kantor juga ada ruangan di vertical garden atau diorama lantai 10. Ada LED khusus di sana, tinggal dipakai. Kalau untuk grassroot level, selain cafe, kita juga memaksimalkan penggunaan kantor GraPari di 141 titik di Indonesia.”

Rezaly mengaku, saat ini, mencari klien yang mau mengadakan turnamen di DG Esports Stadium adalah hal yang menantang. Memang, dia menjelaskan, ada banyak turnamen online yang diadakan. “Tapi, kalau offline, selain publisher atau BEKRAF, tahun ini tidak banyak yang mau investasi besar-besaran. Karena klien lebih memilih untuk menggunakan mall untuk acara kelas menengah karena jumlah penonton yang cenderung aman,” katanya. “Tapi, untuk High Grounds, Dunia Games atau Liga Games, yang punya stadion untuk in-house production, itu masih oke. Toh ada bisnis utama yang menghitung fasilitas sebagai aset.” Padahal, dia memperkirakan, jika penyelenggara menggunakan stadion khusus esports, mereka bisa menghemat biaya hingga 40-60 persen. Tidak hanya itu, pihak penyelenggara juga tak lagi direpotkan dengan mobilisasi peralatan atau internet. Karena, biasanya tempat khusus untuk esports sudah dilengkapi dengan semua itu.

AOV Star League Season 1 diadakan di Mall Taman Anggrek | Sumber: Kincir.com
AOV Star League Season 1 diadakan di Mall Taman Anggrek | Sumber: Kincir.com

Reza dari MET Indonesia, setuju dengan pendapat Rezaly. “Dari sudut pandang penyelenggara, pastinya akan lebih mudah. Kalau tempatnya sudah khusus untuk esports, berarti spesifikasi dan layout-nya sudah dibuat sesuai dengan standar kebutuhan turnamen esports, maka penyelenggara dapat mengurangi biaya produksi. Selain itu, pemain dan audiens yang hadir juga bisa lebih nyaman dan tertata sehingga bisa lebih fokus dan menikmati acara,” ujarnya, melalui pesan singkat.

“Kalau diselenggarakan di mall, ada opportunity penonton yang datang lebih banyak, tergantung dari trafik mall-nya sendiri,” kata Reza. “Tapi, setiap mall juga pasti memiliki aturan-aturan yang membatasi keleluasaan penyelenggara event, misalnya seperti ukuran panggung yang terbatas, pencahayaan yang tidak boleh terlalu gelap, dan lain-lain. Sedangkan kalau di venue khusus esports, hal-hal seperti itu bisa lebih dikustomisasi sehingga penyelenggara bisa lebih mengeskplorasi ide-ide untuk membuat event yang lebih out of the box.” Dia memberikan Regular Season MPL ID S4 sebagai contoh. Dia bercerita, MET Indonesia menyelenggarakan kompetisi itu di tempat khusus berupa hall kosong. Dengan begitu, mereka bisa menghias ruangan sesuai kebutuhan agar penonton dan pemain bisa merasa lebih nyaman. “Sejauh ini, review-nya positif. Semua senang dan penonton yang hadir setiap harinya bisa mencapai 400 orang dan bahkan mencapai 1000 orang kalau big match.”

Menurut Reza, salah satu masalah yang ditemui oleh penyelenggara ketika tidak ada tempat khusus untuk acara esports adalah terkait jadwal. “Padatnya jadwal penggunaan tempat sehingga penyelenggara harus berebut dengan acara konvensional lain dan spesifikasi tempat yang belum sesuai dengan kebutuhan turnamen,” katanya. “Namun tantangan ini dapat ditanggulangi selama penyelenggara sanggup untuk memproduksi kebutuhan dekorasi panggung dan interior lainnya yang diperlukan untuk menyelenggarakan acara tersebut.”

Potensi Bisnis Stadion Esports di Indonesia

Ketika ditanya tentang potensi bisnis pembangunan stadion khusus esports, Rezaly mengatakan investasi besar yang digelontorkan untuk membangun stadion tersebut tidak dapat kembali dalam waktu singkat. “Kalau untuk komersil jangka pendek, jujur, saran saya, lebih baik dikalkulasi ulang. Karena investasi dan biaya operasinya berat,” ungkap Rezaly. Meskipun begitu, dia merasa bahwa Telkomsel tidak menyesal untuk membuat DG Esports Stadium. “Ya worth it, jika dihitung nilai PR-nya. Tapi kalau dari segi komersil, masih challenging,” akunya. Masalah utama yang mereka hadapi saat ini adalah mencari klien.

DG Esports Stadium | Sumber: Kincir.com
DG Esports Stadium | Sumber: Kincir.com

Menariknya, meskipun Rezaly mengatakan mencari klien untuk DG Esports Stadium tidak mudah, dia mengatakan tidak tertutup kemungkinan Telkomsel akan membuat arena khusus esports lain. “Terutama untuk luar Jawa alias Indonesia Timur dan Sumatera,” ujarnya. “Kita ada beberapa titik Loop Station yang didesain agar bisa menjadi gamers hub juga.” Informasi tambahan, Loop Station adalah kantor layanan Telkomsel yang menargetkan anak muda, yang merupakan pelanggan Loop. Berbeda dengan GraPARI yang merupakan kantor layanan Telkomsel biasanya, Loop Station dilengkapi dengan berbagai peralatan sehingga ia cocok untuk digunakan sebagai tempat hangout. “Karena ada LED besar dan koneksi internet di Loop Station, tinggal manage komunitas lokal untuk isi acaranya.” Dia menceritakan, bagi Telkomsel, membuat acara pada level grassroot lebih menarik. “Karena kami juga harus memberikan pelayanan ke pelanggan kami di rural area. Di sana, tidak ada hiburan. Games itu bisa mempersatukan merek non-endemik seperti kami ke generasi milenial.”

“Di luar Jawa, masih ada potensial untuk menggarap berbagai kegiatan sebagai jalur agar gamers di kawasan tersebut memiliki kesempatan untuk menjadi champion di wilayahnya dan berlanjut ke nasional. Karena di kota-kota besar dan Jakarta, kan sudah banyak tim pro. Mereka pasti sudah minder duluan,” ungkap Rezaly. Dia mengatakan, Telkomsel rutin mengadakan turnamen setiap minggu pada level yang berbeda-beda. “Baik kelas warung, ruko, cafe, sampai dengan mall. Yang online juga, kita maintain sendiri para pemainnya di platform turnamen Dunia Games dengan WhatsApp atau Discord.” Salah satu alasan Dunia Games lebih tertarik untuk mengembangkan komunitas di luar Jawa adalah potensi pendapatan yang lebih besar. “Secara revenue untuk top up voucher, pertumbuhannya lebih tinggi dari Pulau Jawa, walau jumlah pengguna data dan smartphone tetap lebih banyak di Jawa. Namun, keinginan untuk membeli, lebih merata di luar Jawa, khususnya Kalimantan dan Sumatera.”

Industri esports melibatnyak banyak pelaku, mulai dari developer dan publisher game, tim dan atlet profesional, sampai penyelenggara turnamen. Lalu, siapa yang memiliki tanggung jawab untuk membuat stadion esports? Soal ini, Reza menjawab, “Pada dasarnya semua pihak yang ingin mendorong perkembangan ekosistem esports bisa saja turun tangan untuk penggarapan venue khusus esports, karena semua yang bersinggungan dengan esports bisa memanfaatkan adanya venue tersebut.” Dia mengaku, sebagai penyelenggara, MET juga memiliki rencana untuk membuat tempat khusus esports. Sayangnya, dia enggan untuk membagikan informasi lebih lanjut.

NXL Angels. Dokumentasi: Hybrid
NXL Angels. Dokumentasi: Hybrid

Selain DG Esports Stadium, Anda juga bisa menemukan NXL Esports Center di The Breeze, BSD City. Satu hal yang menarik dari NXL Esports Center adalah karena ia merupakan gaming house yang bisa diakses oleh masyarakat umum. Tidak hanya itu, Anda bahkan bisa mengasah kemampuan Anda bermain game di sini. “Tempat kita itu utamanya untuk tempat latihan, tempat tanding, pengajaran, shooting, stream, mini museum, dan toko offline,” kata Richard Permana, CEO dari TEAMnxl> saat dihubungi melalui pesan singkat. “Para atlet kami datang setiap hari untuk latihan sekaligus bertanding. Untuk sesi pengajaran, biasanya di akhir minggu kami undang pengajar yang paling kompeten di game tersebut. Ke depan, event pengajaran mau kami level up lagi. Jadi, orang sekali bayar, ikut kelasnya misalnya lima kali dalam satu bulan.”

[In-Depth] Karena Passion di Esports Saja Tidak Cukup

Sejak 2018 kemarin, perputaran uang di industri esports Indonesia memang sudah mencapai miliaran Rupiah. Menurut catatan kami di Hybrid, kompetisi dengan total hadiah yang ‘hanya’ mencapai Rp1 miliar saja tidak masuk daftar 10 turnamen dengan hadiah terbesar di 2018.

Gemerlap dan hingar bingar esports juga mungkin membuat banyak orang awam takjub dengan industri baru ini. Namun demikian, dari perbincangan saya dengan sejumlah orang-orang di belakang layar, ada sebuah kekhawatiran tentang bagaimana industri dan ekosistem esports di Indonesia bisa sustain untuk jangka panjang dan scaling ke tingkat yang lebih tinggi ataupun lebih lebar.

Berhubung saya kebetulan sudah bekerja di industri game (khususnya media) dari 2008, menurut saya pribadi, ada satu kekurangan utama yang menjadi penyebab kekhawatiran atas sustainability dan scalability di industri game dan esports Indonesia yakni: minimnya kapasitas (skills, knowledge, dan perspectives) dan romantisme hiperbolis atas passion. Hal ini juga disadari oleh Yohannes Siagian, Kepala Pengembangan Esports Sekolah PSKD; sekaligus pionir yang membawa esports masuk ke dalam institusi pendidikan formal kala ia menjabat sebagai Kepala Sekolah untuk SMA 1 PSKD.

Menurutnya, banyak orang di esports Indonesia saat ini memang tidak mengenal bidang yang ia geluti. Ia memberikan pengandaian seperti seorang ABG yang baru saja punya pacar. ABG tersebut hanya tau yang sebatas kasat mata, seperti namanya siapa, mukanya cantik atau tidak; namun ia tidak memahami level yang lebih mendalam seperti kepribadian, kebutuhan, idealisme, tujuan hidup, impian, dan lain sebagainya.

Masalah kompetensi ini sebenarnya sudah ada sejak lama di industri ini; bahkan ketika esports belum sebesar sekarang ini. Namun, satu pertanyaan dari kawan saya, Wibi Irbawanto (yang mencoba menggalakan kesadaran dan kebutuhan soal legalitas dan hukum di esports), yang membuat saya akhirnya ‘terpaksa’ menuliskan artikel ini.

Pertanyaannya kala itu ke saya adalah, “apa yang terjadi jika pertumbuhan industri di esports tidak berbanding lurus dengan kapasitas para profesional yang menjalankannya?”

Faktanya, hal tersebut sebenarnya sudah terjadi meski memang gap antara pertumbuhan industri dan kapasitas para profesionalnya memang belum terlalu besar; karena nilai industrinya sendiri juga masih imut-imut menurut saya. Tribekti Nasima, salah satu penggiat esports Indonesia kelas kakap yang juga sudah malang melintang bekerja dari berbagai elemen ekosistem seperti publisher, tim esports, ataupun event organizer ini juga menyatakan keresahannya saat saya ajak berbincang. Menurutnya, rendahnya kompetensi SDM (Sumber Daya Manusia) yang memunculkan keresahan atas keberlanjutan (sustainabilityesports Indonesia. “Uangnya (industri esports) ada buat sustain tapi kualitas (SDM) nya yang sangat minimalis.” Ujarnya.

Contoh pertama adalah soal konten di ekosistem dan industri game (termasuk esports) di Indonesia. Karena pengalaman saya yang memang lebih banyak di media dan konten, izinkan saya mengutarakan pendapat soal ini.

The Bad

Para pembuat konten dan para pengambil kebijakannya di industri ini masih banyak sekali yang berpatokan pada kuantitas semata, mengesampingkan kualitas, dan bahkan mengorbankan banyak hal lainnya demi kuantitas tadi (seperti reputasi, hubungan baik dengan ekosistem, ataupun paradigma tentang industrinya itu sendiri).

Menurut saya pribadi, salah satu penyebabnya ada di kapasitas orang-orang itu yang memang masih minim. Maksud saya seperti ini, setiap pelaku industri tentu harus punya tolak ukur keberhasilan di ranahnya masing-masing namun karena kapasitasnya masih minim mereka baru mampu melihatnya dari sisi kuantitas. Saya percaya bahwa setiap orang ingin juga mengukur seberapa bagus hasil karya/produksi mereka sendiri namun, karena keterbatasan tadi, acuan yang yang paling mudah digunakan adalah angka-angka yang terpampang jelas seperti jumlah subscriber, follower, pageviews, users, dan lain sebagainya.

Kenapa saya bisa bilang demikian? Argumentasi saya ada dua. Pertama, produk kreatif tak bisa hanya ditakar dari segi kuantitatif. Misalnya saja antara seri Lord of the Rings (Tolkien), seri Harry Potter (Rowling), atau malah Fifty Shades of Grey (James). Buat yang benar-benar tahu soal karya populis, saya kira jawabannya sudah jelas mana yang menang dalam soal plot, penokohan, penyajian cerita, ataupun soal pengaruhnya ke ekosistem di sekitarnya. Lainnya, andai dunia kreatif hanya mengenal popularitas sebagai tolak ukur keberhasilan, mungkin kita tidak akan punya nama-nama besar seperti Jostein Gaarder, Dream Theater, Quentin Tarantino, George Carlin, dan kawan-kawannya.

Sumber: QuoteFancy
Sumber: QuoteFancy

Kedua, popularitas/viralitas itu tidak selalu berbanding lurus dengan keuntungan. Kita mungkin memang hidup di jaman duopoli digital oleh Google dan Facebook yang sangat besar pengaruhnya terhadap pola pikir banyak orang, termasuk para pembuat konten. Berkat kedua perusahaan raksasa tadi, para produsen konten digital dan orang-orang di sekitarnya (seperti sponsor, pengiklan, dkk.) jadi seolah tak mampu berpikir kritis dan menemukan alternatif dari popularitas sebagai tolak ukur keberhasilan dan keuntungan.

Padahal, kenyataannya, popularitas dan keuntungan perusahaan tidak selalu berbanding lurus. Setelah artikel ini, saya akan lebih detail membahas soal media dan konten karena bisa jadi terlalu panjang untuk dijabarkan semuanya di sini. Namun, satu hal yang pasti, kenapa saya bisa bilang popularitas atau kuantitas itu tak selalu berbanding lurus dengan keuntungan perusahaan; karena kelas sosial dan ekonomi itu nyata, sedangkan Google dan Facebook belum mampu mengukur hal tersebut…

Contoh lainnya adalah dari sisi bisnis event di esports. Dari beberapa obrolan saya dengan sejumlah sponsor yang sudah mencoba masuk ke esports, ada sejumlah kekecewaan yang mereka utarakan. Untuk membahas hal ini, saya pun menghubungi kawan saya lainnya, Kris Ardianto yang sekarang menjadi Head of Business Development untuk MET Indonesia. Keistimewaan kawan saya yang satu ini, dibanding orang-orang bisnis lain yang bekerja di perusahaan esports di Indonesia sekarang, ada di pengalamannya yang pernah bekerja untuk perusahaan-perusahaan endemic kelas kakap, seperti NJT (salah satu distributor hardware PC terbesar di Indonesia), NVIDIA, dan ASUS. Karena sebelumnya ia bertanggung jawab mengurus masalah penjualan, pemasaran, dan penjenamaan, ia jadi pernah merasakan bagaimana berada di posisi sponsor. Perspektifnya tentu saja berbeda dari orang-orang bisnis lain yang belum pernah merasakan di posisi yang sama.

Kekecewaan yang diutarakan oleh beberapa sponsor tadi, menurut saya, memang karena banyak pelaku di industri ini masih terlalu mengagungkan yang namanya viewership. Kris pun setuju soal ini. Ia memang tidak menafikkan pentingnya viewership namun tidak hanya itu yang harus dipikirkan oleh para penyelenggara event esports. “Viewership itu ibarat IPK (Indeks Prestasi Kumulatif). Penting memang tapi kemampuan seseorang yang sebenarnya kan tidak bisa hanya diukur dari sana.”

Menurutnya, sponsor event di jaman sekarang pasti juga sudah mengejar ke arah engagement ataupun activation. Bentuk konkretnya seperti apa? Kris pun memberikan beberapa contoh. Pertama, ada sponsor yang ingin menargetkan product experience. Ada juga yang ingin langsung mengejar transaksi atau penjualan. Menurutnya, penyelenggara acara yang baik juga seharusnya mampu merumuskan dan menjalankan campaign seperti apa yang diinginkan sponsor.

MPL ID S3. Dokumentasi: Hybrid
MPL ID S3 yang merupakan garapan dari MET Indonesia. Dokumentasi: Hybrid

“Kalau memang ada yang kecewa, itu berarti ada ekspektasi sponsor yang tidak tercapai. Sampai hari ini, selama saya kerja di MET, belum pernah ada sih sponsor yang kecewa.” Ujar Kris yang memulai kariernya sejak 2009.

Lalu apa rule of thumb untuk mereka yang ingin terjun jadi orang bisnis? Saya pun bertanya. “Know your market. Know your product. Semuanya harus based on data. Memang ga bisa kalau nekat.”

Dua contoh konkret tentang pemahaman pasar yang ia maksud tadi misalnya adalah berapa banyak kompetitor di pasar ini dan seberapa besar pasarnya? Selain 2 itu tadi, ada satu skill lagi yang dibutuhkan di semua profesi termasuk bisnis, yaitu komunikasi. “Contohnya di ranah bisnis soal komunikasi itu ya soal mencari tahu ekspektasi klien. Kalau sampai ekspektasinya bisa ga sinkron ya berarti skill komunikasinya yang kurang.”

Namun demikian, di sisi lain, Joey (panggilan Yohannes Siagian) juga menambahkan soal ketidaksesuaian ekspektasi bisnis. Menurutnya, “Sebagian masalah soal kekecewaan sponsor tentang esports itu datang dari mereka juga sih. Mereka cuma melihat angka-angka viewer dan mendengar popularitas esports. Tapi mereka tidak punya orang yang benar-benar paham esports. So they make bad or misinformed investments, then they are disappointed with results.”

Itu tadi beberapa contoh konkret dari yang saya lihat di ekosistem kita sekarang. Namun demikian, terlalu picik juga rasanya jika kita tidak mencoba mencari tahu akar permasalahannya. Daniel J. Boorstin, pernah mengatakan kurang lebih seperti ini, “The greatest enemy of knowledge is not ignorance, it is the illusion of knowledge.”

Hal itu senada dengan apa yang dikatakan Joey. “Banyak juga orang esports yang sangat tertutup mengenai input dari luar pemahaman mereka mengenai esports. Tidak sekali dua kali saya mendengar dari orang yang dianggap ‘ahli’ bahwa “ini kan esports”, berbeda dengan olahraga atau bidang lainnya. Ada semacam pandangan di antara beberapa komponen ekosistem bahwa esports itu bidang yang unik dan berbeda yang tidak bisa dipahami oleh orang dari luar ekosistem esports.

Menurutnya, hal itu juga lah yang menyebabkan banyak pelaku di esports yang hanya punya parameter kesuksesan itu-itu saja.

Berhubung saya memang fans beratnya Socrates, saya percaya bahwa hal terpenting yang harus dimiliki setiap manusia untuk berkembang adalah kesadaran diri bahwa kita memang belum tahu apa-apa tentang hidup, dunia ini, dan segala macam yang ada di dalamnya. Sebaliknya, merasa sudah tahu dan berhenti bertanya membuat kita terjebak dalam kebodohan kita sendiri.

Sebenarnya ada satu lagi penyebab yang diutarakan oleh Yohannes mengenai minimnya kompetensi di antara para pelaku esports. “Overall, the whole esports industry is lacking experience; and I’m not just talking esports experience but things like life experience and maturity as well. The average age in the esports industry is pretty low in comparison to other fields that have similar amounts of money flowing through it.

Di satu sisi, saya setuju dengan pendapatnya bahwa usia dari kebanyakan para pelaku esports yang relatif muda – jika dibandingkan dengan nominal uang yang berputar di dalam industri ini – memang bisa berarti minimnya pengalaman, baik soal pengalaman hidup ataupun pengalaman sebagai seorang profesional. Saya percaya minimnya pengalaman hidup (personal) dan bekerja (profesional) memang berpengaruh terhadap kekayaan perspektif ataupun tingkat kesadaran menjalani proses namun, di sisi lain, saya harus menambahkan perspektif saya agar hal tersebut tidak bisa dijadikan pembenaran.

Pertama, saya percaya bahwa usia dan kedewasaan berpikir itu bisa saja tidak berbanding lurus. Maksudnya, ada orang-orang yang masih muda tapi cukup dewasa dalam berpikir. Sebaliknya, ada juga generasi tua yang berpikir kekanak-kanakan. Di sisi lainnya, usia muda ataupun minimnya pengalaman itu tidak bisa jadi alasan untuk malas belajar dan lamban menyadari proses.

The Solution

Lalu, bagaimana solusinya?

Sumber: Instagram ESL Indonesia
Sumber: ESL Indonesia

Sebelum ke sana, saya harus tegaskan bahwa bukan berarti tulisan ini menihilkan pentingnya passion di esports. Bagaimana pun juga, saya percaya passion tetap bisa jadi landasan yang baik untuk menggeluti dan belajar di satu bidang. Namun, seperti judulnya, tujuan saya menuliskan artikel ini adalah untuk menyuguhkan argumentasi agar kita semua tidak terjebak dalam romantisme passion yang terlalu hiperbolis karena ada hal-hal lanjutan yang harus disadari dan dipelajari.

Jika kita berbicara soal solusi, ada 2 yang opsi yang sebenarnya bisa dipilih atau dijalankan bersama-sama. “Salah satunya menarik SDM berkualitas masuk. Karena orang bagus akan menarik orang-orang bagus juga. Namun pertanyaannya adalah bagaimana caranya membuat orang-orang tersebut tertarik masuk ke esports.” Ujar Bekti.

Hal ini sebenarnya jugalah yang sudah dilakukan oleh MET Indonesia. Selain kawan saya Kris tadi, ada juga beberapa nama profesional berpengalaman dari industri terkait yang ditarik ke MET Indonesia, seperti Reza Afrian Ramadhan (Head of Marketing MET Indonesia) ataupun Herry Wijaya (Head of Operation MET Indonesia).

Sayangnya, nama-nama di atas memang berasal dari industri terkait. Reza sebelumnya dari ASUS dan Acer. Sedangkan Herry merupakan salah satu senior di ranah EO esports Indonesia yang paling dipandang. Menarik saja rasanya, menurut saya, andai ada para senior dari industri non-endemik (perbankan, hukum, properti, dkk.) yang berubah halauan ke esports karena ada perspektif baru yang bisa ditawarkan. Itulah sebabnya, Yohannes Siagian sering jadi target narasumber saya di banyak artikel berat (wkakwkkwa) karena ia sudah mengantongi belasan tahun pengalaman dari industri pendidikan.

Mencari orang-orang yang tepat dan punya jam terbang tinggi di spesialisasi tertentu itu, bagi saya, salah satu cara yang tepat untuk memperbesar peluang kesuksesan sebuah perusahaan ataupun keseluruhan ekosistem. Sayangnya sampai hari ini, tidak sedikit juga yang masih meremehkan ranah-ranah tertentu.

Mungkin memang gampang kalau yang dikejar adalah kualitas KW 2; namun untuk tingkatan yang benar-benar dapat dijaga konsistensi kualitas atau performanya, saya kira hal tersebut tidak mudah diberikan. Ibaratnya, anak SD saja juga bisa masak mie instant ataupun merebus air. Tapi untuk meracik hidangan yang sekelas hotel ataupun restoran bintang 5?

Kris Ardianto (kanan) bersama dengan Agustian Hwang (tengah) dan Reza Afrian (kiri). Dokumentasi: Reza Afrian
Kris Ardianto (kanan) bersama dengan Agustian Hwang (tengah) dan Reza Afrian (kiri). Dokumentasi: Reza Afrian

Selain solusi pertama menarik orang-orang yang memang sudah punya kapasitas (baik dari industri endemik ataupun non-endemik), solusi lain yang bisa dilakukan adalah dengan memaksa para profesional yang sudah ada di industri esports sekarang (ataupun akan datang) untuk belajar dengan cepat dan terbiasa untuk melihat segala sesuatunya dari beragam perspektif.

Ada banyak sekali hal yang bisa dikejar untuk meningkatkan kemampuan, tergantung dari skill yang diinginkan. Menurut Bekti, misalnya, buat yang ingin jadi orang bisnis, mereka bisa baca Never Eats Alone (Keith Ferrazi & Tahl Raz) ataupun buku-buku lain yang bisa digunakan untuk meningkatkan skill jualan. Di sisi lain, jika yang dibutuhkan adalah posisi Project Manager (PM), “PM itu kan paling utama ada di organizational skill nyaJadi, harus belajar terstruktur. PM itu juga harus mempelajari semua hal yang dikerjakan oleh anak buahnya sehingga bisa menakar beban kerja masing-masing anggotanya. Belajar stress management dan self development itu juga saya kira penting buat yang mau jadi PM berkualitas.” Ujarnya.

Buku-buku teori tentunya bisa jadi sumber utama bagi mereka-mereka yang memang serius ingin belajar. Namun, berhubung saya tahu kadang waktu kita sebagai para pekerja sudah tidak sebanyak dibanding saat kita kuliah dulu, berbagai video seminar bisa jadi semacam ‘cemilan sehat’. Artikel-artikel panjang seperti yang kami coba tawarkan di Hybrid (Meninjau Kembali tentang Tren BA Esports Cantik di Indonesia: Sebuah OpiniUpaya Mengurai Permasalahan Ekosistem Esports Dota 2 IndonesiaRegenerasi Esports: Sebuah Abstraksi dan Kedewasaan Menjadi Solusi, dkk.) juga sebenarnya bisa jadi langkah awal untuk mengusik rasa keingintahuan. Promosi dulu yak… Wkwkawkwak.

Berbicara soal belajar, saya kira saya juga harus membahas soal ilmu yang kita dapatkan dari institusi pendidikan formal. Pasalnya, menurut saya, ada salah kaprah yang terjadi di pola pikir kaum muda termasuk di para pekerja esports. Dari perbincangan saya dengan banyak orang, tidak sedikit yang percaya bahwa ilmu yang didapat di bangku kuliah itu tidak relevan lagi termasuk di bidang esports.

Memang, belajar itu bisa dilakukan di mana pun kita berada; tak harus terkurung di ruang-ruang edukasi formal. Memang, tidak semua teori yang kita dapatkan saat sekolah dan kuliah itu punya nilai pragmatis di setiap desk job kita sebagai seorang profesional. Namun, saya sungguh percaya mindset dan logika berpikir yang bisa dipelajari dari ruang pendidikan formal itu bisa digunakan di setiap keputusan kita (jika memang disadari dan dipahami).

Misalnya, mereka-mereka yang belajar dan memahami aljabar linear bisa mencari logika apa yang ada di balik sistem itu. Saya sendiri yang lulusan Fakultas Sastra juga bisa menggunakan mindset storytelling (atau malah teori Hegemoni dari Gramsci) yang saya dapatkan saat saya kuliah dulu dalam banyak hal yang saya lakukan sebagai seorang pekerja sekarang: bagaimana bercerita tentang perusahaan, produk, event, atau apapun. Setidaknya menurut Yuval Noah Harari, cerita dengan kekuatan narasi yang istimewa bahkan mampu menguasai dunia.

Saya sungguh percaya ada banyak benang merah yang bisa ditemukan dari teori-teori yang kita dapat di institusi pendidikan formal dengan yang kita hadapi sehari-hari (personal ataupun profesional), asalkan kita memang mampu memahaminya di tingkat yang paling dalam.

The Good News

Meski penjabaran dan argumentasi saya tadi mungkin terasa pesimistis, perspektif positif sebenarnya juga bisa digunakan untuk membaca kondisi esports kita sekarang ini.

Dengan kapasitas SDM saat ini saja, esports Indonesia sudah berhasil menarik perhatian banyak pihak dan mengalirkan dana yang lumayan. Bayangkan jika SDM nya bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi lagi…

Saya sudah berada di industri ini cukup lama dan melihat naik turunnya bak jungkat-jungkit. Bagi saya, hal ini tidak bisa dimaklumi, apalagi dijadikan pembenaran. Jujur saja, ambisi pribadi saya saat ini adalah bagaimana industri ini tidak kehilangan momentumnya sehingga bisa terus berkembang dan memakmurkan semua pihak yang terkait di dalamnya.

Semoga saja, artikel ini bisa menjadi memancing kesadaran dan keinginan belajar bagi semua orang yang berkepentingan dan berkeinginan melihat industri game dan esports Indonesia bisa terus berkembang dan bertahan. Satu hal yang saya percayai sejak lama, belajar itu bisa juga menyenangkan. Apalagi buat mereka-mereka yang memang punya passion bermain game, proses pembelajaran itu sendiri juga bisa dimaknai sebagai sebuah permainan.

Akhirnya, izinkan saya menutup artikel panjang ini dengan sebuah kutipan dari salah satu tokoh yang menjadi inspirasi saya untuk terus belajar dan bermain game.

The spirit of playful competition is, as a social impulse, older than culture itself and pervades all life like a veritable ferment. Ritual grew up in sacred play; poetry was born in play and nourished on play; music and dancing were pure play….We have to conclude, therefore, that civilization is, in its earliest phases, played. It does not come from play…it arises in and as play, and never leaves it.” Johan Huizinga (Homo Ludens: A Study of the Play-Elements in Culture).

Upaya Mengurai Permasalahan Ekosistem Esports Dota 2 Indonesia

Bulan April 2019 kemarin menjadi bulan berkabung buat para pemerhati esports Dota 2 Indonesia. Pasalnya, tanggal 25 April 2019, Rex Regum Qeon (RRQ) menutup divisi Dota 2 mereka. Tak lama berselang, 29 April 2019, The Prime Esports juga turut menutup divisi tertua mereka.

Memang, tim Dota 2 Indonesia yang paling berprestasi sampai sekarang, BOOM ID masih terus bertahan dan malah mengukir prestasi-prestasi baru di tingkat internasional. Selain itu, PG Barracx juga bahkan punya 3 tim Dota 2 (setidaknya sampai artikel ini ditulis, sepengetahuan saya). EVOS Esports juga sepertinya masih punya keyakinan dengan divisi Dota 2 mereka, berhubung belum lama menarik salah satu pemain bintang; Muhammad “inYourdreaM” Rizky.

Sumber: Instagram Team RRQ
Sumber: Instagram Team RRQ

Namun demikian, bubarnya RRQ dan The Prime bisa jadi bukti nyata memang ada masalah yang tak terurai (atau bahkan tak disadari) dengan ekosistem esports Dota 2 Indonesia. Pasalnya, kedua organisasi ini memang bisa dibilang sebagai salah dua tonggak sejarah perkembangan ekosistem esports Dota 2 Indonesia.

RRQ merupakan salah satu pionir esports Dota 2 di sini dan menjadi rumah bagi salah satu legenda Dota Indonesia, Farand “Koala” Kowara. RRQ juga menjadi tempat berkembang besarnya Kenny “Xepher” Deo, yang sempat bermain untuk TNC Tigers dan sekarang membawa nama Geek Fam. Kedua tim tadi adalah tim besar asal Malaysia.

Di sisi lain, The Prime Esports juga tak bisa dipandang sebelah mata atas signifikansinya memantapkan Dota 2 jadi game esports terlaris selama bertahun-tahun di Indonesia; sebelum mobile esports menyerbu. Mereka sempat menguasai dunia persilatan Dota 2 Indonesia beberapa tahun silam. The Prime Esports, yang dulu dikenal dengan nama TP NND, juga menjadi kampung halaman yang membesarkan nama-nama besar di Dota 2; seperti inYourdreaM, KelThuzard, Nafari, Rusman, R7, dan yang lainnya.

Untuk mencoba mengurai masalah ekosistem esports Dota 2 di Indonesia kali ini, saya pun menghubungi berbagai pihak terkait. Saya menghubungi General Manager The Prime Esports, Anton Sarwono, dan CEO Team RRQ, Andrian Pauline. Tidak lupa juga saya menanyakan beberapa pendapat shoutcaster Indonesia yang besar dari scene Dota 2 seperti Gisma “Melon” Priayudha Assyidiq, Riantoro “Pasta” Yogi, dan Dimas “Dejet” Surya Rizki.

Dari obrolan saya bersama kawan-kawan saya tadi, ada sejumlah masalah yang saling terkait yang saya temukan di ekosistem esports Dota 2. Sebelum kita membahas masalah-masalah tadi, saya kira penting saja untuk menyebutkan motivasi saya menuliskan ulasan ini. Saya pribadi sudah berkecimpung di industri game Indonesia dari 2008. Jadi, saya punya kepentingan dan keinginan untuk melihat industri ini terus bertahan (sustainable) sampai nanti di masa mendatang (atau paling tidak sampai saya sudah tak bisa bekerja lagi).

Karena itulah, saya tak bermaksud membuat tulisan ini menjadi ‘drama’ dengan menyudutkan satu pihak tertentu. Motivasi utama saya hanyalah bagaimana Anda dan kawan-kawan sekalian yang peduli dengan industri ini menyadari masalah dan berupaya bersama untuk ekosistem yang lebih baik.

Regenerasi Ekosistem yang Tersendat

Beberapa waktu yang lalu, saya sebenarnya pernah menuliskan perbincangan saya dengan Yohannes Siagian, Vice President EVOS Esports, tentang masalah regenerasi ini (Regenerasi Esports: Sebuah Abstraksi dan Kedewasaan Menjadi Solusi). Namun mungkin memang proses regenerasi sendiri adalah proses panjang yang butuh waktu.

Ketika kita berbicara soal regenerasi, hal ini tidak harus selalu berarti kehabisan pemain karena masalah usia. Saya kira saya harus meluruskan hal ini karena banyak yang masih salah kaprah. Namun permasalahan regenerasi adalah juga soal bagaimana ekosistem mampu mencetak pemain-pemain baru, dengan jenjang yang jelas.

Saya sebenarnya sudah mulai melihat persoalan ini sejak tahun 2018. Pasalnya, di banyak bursa transfer tahun lalu pun, tidak banyak nama-nama pemain yang baru muncul. Hampir semua bursa transfer pemain Dota 2 di 2018 adalah soal pemain lama yang pindah dari tim profesional ke tim lain. Bukan pemain yang benar-benar belum pernah bergabung dengan tim profesional sebelumnya.

Imbas dari impotensi regenerasi ini pun dirasakan oleh The Prime dan RRQ. Menurut pengakuannya masing-masing, baik Anton dari The Prime ataupun AP dari RRQ sebenarnya juga sudah mencoba memasukkan pemain rookie ke dalam divisi Dota 2 mereka. Namun solusi ini tak berhasil karena kendala yang tak jauh berbeda.

AP dari RRQ mengatakan bahwa kendala di para pemain rookie yang ia temukan adalah tingkat permainan mereka yang terlalu jauh di bawah standar. “Standarnya jauh banget (dengan pemain pro).” Kata AP. Standar yang terlalu jauh ini memang jadinya tidak masuk akal untuk kondisi tim Dota 2 RRQ terakhir. Pasalnya, sebelum bubar, tim mereka masih punya pemain-pemain berpengalaman seperti Rusman, R7, Yabyoo, dan Acil.

Sedangkan Anton bercerita bahwa kendalanya ada di para pemain baru yang tidak bisa full time alias bootcamp karena kesibukan mereka sebagai pelajar ataupun mahasiswa. Tanpa bootcamp, jelas perkembangan mereka jadi tak maksimal. Jadwal latihan mereka pun jadi tak bisa optimal seperti layaknya para pemain yang bisa terus tinggal di gaming house.

Masalah regenerasi tadi terjadi karena memang tak ada ruang-ruang kompetitif untuk kelas amatir ataupun pelajar (mahasiswa) sebelumnya. Tahun 2018 dan 2019 ini sebenarnya sudah ada beberapa kompetisi Dota 2 untuk kelas di bawah profesional, seperti JD HSL untuk kelas SMA dan IEL untuk kelas mahasiswa. Namun demikian, sekali lagi, proses regenerasi butuh waktu.

IEL University. Sumber: IESPA
IEL University. Sumber: IESPA

Di sisi lainnya lagi, menurut saya, persoalan regenerasi ini juga terjadi tak hanya untuk suplai pemain namun juga untuk orang-orang di belakang layarnya. Dalam kasus ini, ekosistem esports kita juga masih kekurangan suplai manajer tim yang mumpuni.

Saat saya berbincang dengan Anton dari The Prime, saya pun menanyakan hal ini, “jika punya manajer tim yang hebat, apakah memungkinkan sebuah tim bisa berkembang tanpa bootcamp?” Anton pun menjawab, “mungkin saja.”

“Betul (talent pool manajer yang kurang juga). Makanya ada beberapa divisi (The Prime) yang masih gua pantau dari jauh. Cuma, kalau manajernya qualified, langsung gua lepas.” Cerita Anton.

Berhubung akan terlalu panjang jika dibahas detailnya di sini, mungkin saya akan bahas khusus soal manajer tim esports di lain waktu. Namun singkatnya, meski memang idealnya manajer tim bisa ditempati oleh mantan-mantan pemain seperti Aldean Tegar Gemilang dari EVOS Esports ataupun Brando Oloan dari BOOM ID, jalur tersebut makan waktu terlalu lama untuk mencetak sumber daya manusia baru yang kompeten.

Brando Oloan. Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Brando Oloan. Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Meski demikian, persoalan suplai pemain profesional mungkin lebih pelik ketimbang manajer tim. Karena kemampuan mengatur sumber daya manusia bisa dilatih di ruang-ruang lain, di luar ekosistem esports. Sedangkan mencetak para pemain rookie yang siap naik kasta memang hanya bisa dilakukan di dalam ekosistem esports-nya sendiri.

Absennya Dukungan Publisher

Jika berbicara mengenai ruang kompetitif buat kelas rookie, memang ada 2 pihak yang bisa dibilang ideal untuk menangani hal ini: pemerintah dan publisher game tersebut. Sayangnya, untuk Dota 2, mungkin kita tidak akan bisa sampai pada kondisi ideal.

Jika berbicara soal peran pemerintah di esports, jujur saja, saya tak berharap banyak. Kenapa? Karena industri esports Indonesia sendiri belum bisa menjadi sumber devisa untuk negara. Lain halnya jika esports sudah bisa menyumbangkan sebagian keuntungannya untuk negara.

Di sisi lainnya, AP dari RRQ mengutarakan pendapatnya bahwa publisher game-nya lah yang seharusnya memerhatikan masalah ekosistem rookie. “Ini dari developer/publisher game-nya yang harusnya notice. Mereka yang punya power lebih. Tapi ada baiknya juga semua pelaku di industri aware tentang hal ini.” Ujar AP.

Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat AP tadi. Sayangnya, dari awal Dota 2 dirilis, saya belum pernah mendengar bisikan-bisikan tentang keseriusan Valve menggarap scene esports game mereka di Indonesia.

Kenapa publisher merupakan pihak yang ideal untuk menggarap scene rookie? Karena hal tersebut adalah bentuk investasi jangka panjang untuk pihak ketiga, tim dan event organizer, dan tidak semua pelakunya punya kapasitas untuk itu.

Namun demikian, ketimbang menanti Valve melirik esports Indonesia yang mungkin tak akan pernah terjadi, para pelaku industri esports kita harus mau bertindak dan berbuat sesuatu.

Sumber: Dota 2 Official Media
Sumber: Dota 2 Official Media

“Harusnya ada roadmap yang jelas, setiap turnamen besar harus dipaketin sama turnamen amatirnya. Bahasa sederhananya… Amatir scene perlu disubsidi. Nyari untung di pro-scene; tapi supaya industrinya sustain, harus ada timbal baliknya dong. Jangan semua mau metik tapi ga mau menabur. Hahaha!” Jelas AP seraya berseloroh.

Hal yang serupa juga diutarakan oleh Gisma A.K.A Melondoto. Para pelaku industri harus mau membagi porsi antara mobile esports (yang mungkin sekarang dianggap lebih menguntungkan) dan PC. Misalnya, 70% resource untuk mobile dan 30% untuk PCMenurut Melon, ajang kompetitif untuk kelas amatir memang bisa jadi solusi untuk regenerasi.

Saya kira memang solusi soal ajang kompetitif untuk amatir ini memang harus segera dijalankan, ataupun digalakkan buat yang sudah berjalan, karena proses pematangan para pemain amatir butuh proses yang tidak sebentar.

Minimnya Pemahaman Exposure sebagai Komoditas Industri

Jika berbicara soal esports mobile, tak jarang hal tersebut juga sering dijadikan kambing hitam atas menurunnya popularitas esports di PC; seperti yang diutarakan oleh Dimas Dejet. Ia berpendapat bahwa esports mobile membuat esports PC kalah dalam hal exposure. Lagipula, Dejet juga menambahkan bahwa esports sekarang adalah soal industri. Jadi, menurutnya, ada ideologi yang harus dikorbankan. “Ada kalanya nyerah sama ideologi daripada memaksakan sesuatu yang tidak menghasilkan.” Ungkap Dejet.

Saya pribadi setuju dengan sebagian pendapatnya. Dari sisi exposure, saya kira saya tak perlu menjelaskan panjang lebar kenapa esports PC memang kalah popularitasnya saat ini. Menurunnya exposure esports PC memang ada kaitannya dengan meningkatnya popularitas esports mobile. Namun, masih banyak orang yang mungkin belum sadar betul soal perhatian dan exposure sebagai komoditas.

Faktanya, jika kita berbicara soal exposure atau perhatian end-user, ada satu batasan absolut yang tak dapat dipungkiri; yaitu waktu kita.

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Setiap manusia, siapapun itu, cuma punya waktu sehari 24 jam. Jika ada lebih banyak orang yang menghabiskan waktunya bermain game mobile ataupun menonton esports-nya, hal ini berarti lebih sedikit waktu yang tersisa untuk esports lainnya (dalam hal ini PC). Namun demikian, hitung-hitungan tadi hanya berlaku untuk end-user yang memang bermain game ataupun menonton esports untuk 2 platform, PC dan mobile.

Padahal, saya tahu betul bahwa memang ada orang-orang yang hanya bermain game di satu platform dan orang-orang yang tidak menonton semua pertandingan esports untuk semua game yang ada. Misalnya, ada banyak orang yang memang hanya bermain di console ataupun hanya di PC.

Banyak yang mengatakan bahwa platform mobile lebih populer gara-gara harganya dan mobilitasnya. Hal tersebut memang ada benarnya namun jarang saya yang mendengar argumentasi soal keterbatasan waktu untuk gamer console dan PC. Maksud saya seperti ini, bisa jadi, gamer PC dan console itu memang punya waktu luang yang lebih terbatas. Kembali lagi, kita semua punya keterbatasan waktu yang absolut.

Karena itu, gamer PC dan console mungkin tidak akan punya banyak waktu lebih untuk menonton esports-nya. Apalagi, jika berbicara soal exposure dan perhatian, esports Dota 2 sendiri harus bersaing dengan pertandingan-pertandingan tingkat internasional (Minor ataupun Major). Jadwal turnamen luar dan dalam negeri sendiri sudah tak relevan lagi diperdebatkan jika perspektif waktu tadi masih disadari.

Maksud saya seperti ini, anggaplah di satu hari ada turnamen Minor jam 2 pagi. Fans yang menonton pertandingan itu sampai selesai, mungkin tak akan menonton pertandingan lokal keesokan harinya karena masih mengantuk setelah begadang semalaman. Jadwal pertandingan sudah tak lagi relevan dalam berebut perhatian penonton karena, nyatanya, kita punya kesibukan lainnya setiap hari yang menghabiskan waktu.

Kenapa hal ini jadi masalah yang penting disadari? Karena industri yang baik adalah yang paham betul soal komoditas, satuan, dan alat tukar industri tersebut.

Kurangnya Fokus dan Investasi Jangka Panjang

Mengutip kembali kata AP di atas tadi, yang mengatakan bahwa masalah regenerasi harus disubsidi, saya memang setuju sekali dengan tujuannya. Namun, saya pribadi kurang setuju dengan istilah dan konsep soal ‘subsidi’ untuk regenerasi.

BOOM ID saat berlaga di ajang Minor. Sumber: VP Esports.
BOOM ID saat berlaga di ajang Minor. Sumber: VP Esports.

Di sisi lain, dari obrolan saya bersama Dejet dan Melondoto, pandangan esports mobile yang lebih menggiurkan dan menguntungkan saat ini memang jadi konsensus sebagian besar pelaku bisnis esports di Indonesia. Tak hanya itu, dari pengalaman saya berbincang dengan berbagai pelaku industri esports belakangan ini juga mengemukakan hal yang senada. Maka dari itu, lebih banyak pelaku bisnis esports (mulai dari tim, EO, sponsor, media, bahkan para pekerjanya) saat ini yang fokus menggarap game-game mobile ketimbang PC; termasuk Dota 2.

Lalu apa benang merahnya antara soal istilah ‘subsidi’ tadi dan pergeseran tren ke mobile esports? Menurut saya, benang merahnya ada di kurangnya fokus dan investasi jangka panjang di banyak pelaku bisnisnya.

Itu tadi kenapa saya kurang setuju dengan istilah ‘subsidi’. Subsidi itu seperti sebuah sedekah atau hibah, yang memang tidak mengharap imbalan. Sedangkan menghidupkan ekosistem kompetitif untuk tingkat amatir adalah soal investasi jangka panjang, setidaknya menurut saya pribadi. Pasalnya, memang harus ada imbas alias keuntungan yang diharapkan dan bahkan direncanakan dari soal investasi untuk ekosistem kelas amatir.

Izinkan saya mengambil contoh dari pemain industri-industri besar di luar sana. Jika kita berbicara soal industri teknologi, R&D (research and development) adalah bentuk investasi jangka panjangnya. Menurut laporan dari Recode yang dirilis di VOX tahun 2018, Amazon bahkan menggelontorkan dana sampai mendekati angka US$23 miliar untuk R&D. Alphabet, induk perusahaan Google, merogoh kocek mereka sampai dengan US$16 miliar untuk kebutuhan yang sama. Sedangkan Intel mencapai angka US$13 miliar dan Microsoft mencapai angka US$12 miliar.

Modal untuk R&D yang besarnya amit-amit tadi memang tak bisa langsung diraih keuntungannya dalam waktu dekat namun hal ini harus dilakukan untuk memastikan para pemain tadi (termasuk industrinya) masih bisa sustain untuk jangka waktu yang panjang.

Kurangnya fokus untuk jangka panjang ini jugalah yang saya lihat dari para pelaku industri esports yang beramai-ramai menggelontorkan sebagian besar anggaran ke mobile esports, hanya karena trennya lagi ramai di sana.

Sebelum salah kaprah, saya harus katakan bahwa saya tak ada masalah dengan ramainya esports mobile. Saya pribadi, sebagai salah satu pelaku industri game Indonesia, sungguh bersyukur ada Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) dan Moonton di Indonesia. Karena, bagaimanapun juga, mereka punya andil besar membawa industri esports Indonesia sampai ke titik ini.

Sumber: ThePrime official Media
Sumber: ThePrime official Media

Kritik saya bukanlah soal esports mobile-nya namun kepada perilaku gegabah yang mengambil keputusan hanya dari sebatas tren semata tanpa ada pertimbangan konsekuensi jangka panjang. Jika hal ini terus dilakukan, bukan tidak mungkin juga game-game esports mobile yang sedang naik daun sekarang akan mengalami nasib yang sama.

Misalnya saja soal tren yang terjadi di ajang kompetitif di 2018. Tahun lalu, sebagian besar turnamen esports pihak ketiga (jika tidak mau dibilang semua) pasti ada pertandingan Mobile Legends nya. Bagi saya pribadi, hal ini juga sebenarnya tidak baik untuk sustainability dari Mobile Legends karena fans esports nya bisa jadi bosan dan ‘kebal’ dengan hype yang coba ditawarkan.

Anggap saja seperti ini, andaikan ada Piala Dunia dan Liga Champion (sepak bola) 5 kali dalam setahun. Apakah hype-nya masih bisa terjaga? Saya kira tidak.

Hal ini juga sebenarnya terjadi untuk kasus Dota 2. Faktanya, sebelum ada Mobile Legends, Dota 2 menjadi favorit para penyelenggara esports di Indonesia. Namun semuanya memang hanya memilih Dota 2 karena trennya saat itu, tanpa ada pertimbangan lebih lanjut.

Memikirkan solusi mencari keuntungan dari investasi jangka panjang itu memang tidak mudah karena tingkat kompleksitasnya yang tinggi. Namun, buat Anda yang membaca artikel ini, tak ada salahnya juga untuk mulai berpikir ke depan dan mulai membuka diskusi tentang ini.

Faktanya, pengetahuan kolektif (collective wisdom and knowledge) adalah yang membuat kita manusia berkembang sampai hari ini, menguasai dunia, dan berbeda dari binatang lainnya.

Soft Skill Pro Player Dota 2 yang Perlu Digali Lebih Jauh

Sumber: Dota 2 Official Blog
Sumber: Dota 2 Official Blog

Obrolan saya bersama Pasta lah yang membuat saya menyadari memang butuh satu bagian lagi dalam upaya saya kali ini mengurai permasalah ekosistem Dota 2 Indonesia.

“Sama ini paling, player-nya bisa branding diri mereka juga atau engga, supaya penonton bisa lebih antusias buat nontonin mereka live stream atau tanding. Kalau di MLBB kan gitu.” Ujar Pasta.

Di sisi lainnya, saat saya berbincang dengan AP dan Anton, saya juga sebenarnya menanyakan soal memasukkan pemain luar negeri ke divisi Dota 2 mereka. Kendala yang mereka rasakan soal ini juga sama, yaitu soal bahasa.

2 hal tadi adalah soal soft skill yang saya kira punya pengaruh terhadap masalah ekosistem Dota 2 Indonesia.

Mari kita bahas soal bahasa lebih dulu. Tim-tim Dota 2 luar negeri sebenarnya juga terdiri dari pemain-pemain berbagai negara. OG saat menjadi juara The International 2018 berisikan pemain-pemain dari 5 negara. Team Liquid saat jadi juara The International 2017 bahkan berisikan pemain dari 6 negara.

Di CS:GO, ada 2 pemain Indonesia yang juga bermain untuk tim Tiongkok, TYLOO; Hansel “BnTeT” Ferdinand dan Kevin “xccurate” Susanto. Saya yakin mereka tidak pakai bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan rekan satu timnya yang berasal dari Tiongkok.

Selain berguna untuk timnya sendiri yang memungkinkan untuk mengambil pemain luar negeri, penguasaan bahasa selain bahasa Indonesia sebenarnya penting juga untuk para pemain kita jika tidak ingin terjebak dengan scene esports lokal. Soal ini, solusinya mungkin sudah bisa dimulai dari sekarang untuk tim-tim esports lokal yang bermain game esports yang scene-nya besar di luar sana; seperti menerapkan aturan untuk pembelajaran bahasa Inggris untuk semua pemainnya.

Di sisi lain, seperti yang diungkap oleh Pasta tadi, saya pribadi setuju dengan pendapatnya soal para pemain Dota 2 Indonesia yang memang kurang memanfaatkan panggung mereka sebagai figur publik. Selebritas atau popularitas pemain esports, menurut saya, memang berpengaruh terhadap scene-nya secara keseluruhan.

Maksud saya seperti ini, rivalitas antara Messi dan Ronaldo (sebelum pindah ke Juventus) adalah salah satu faktor juga ramainya penonton pertandingan antara Barcelona dan Real Madrid. Hal ini juga terjadi di pertandingan MLBB antara RRQ dan EVOS Esports, karena masing-masing punya Lemon dan JessNoLimit. Ketokohan dua pemain tadi di MLBB, saya kira berpengaruh terhadap jumlah penontonnya.

Dari pengalaman saya sebagai jurnalis, saya sendiri merasakan bahwa para pemain MLBB itu lebih ramah terhadap media. JessNoLimit yang bahkan punya 5,5 juta subscribers di YouTube itu media darling karena memang ia cukup pandai bersikap kepada para awak media. Demikian juga dengan banyak pemain MLBB yang saya kenal seperti Oura, G, Fabiens, Arss, Jeel, dan kawan-kawannya yang akan terlalu banyak jika disebutkan semuanya di sini.

Memang, tak semua pemain MLBB juga terbuka diwawancarai (buat anak-anak media esports dan game pasti tahu siapa saja yang saya maksud, hahahaha…) Namun, setidaknya jumlah para pemain MLBB yang lebih ramah saat dimintai kutipan ataupun komentar itu lebih banyak ketimbang pemain Dota 2 (setidaknya berdasarkan pengalaman saya pribadi).

Soft skill semacam bahasa ataupun kepandaian memanfaatkan panggung sebagai figur publik ini, saya percaya betul sangat berpengaruh terhadap ekosistem esports-nya secara keseluruhan. Harapannya, lebih banyak manajemen tim yang juga mulai menyadari betapa pentingnya hal ini untuk diajarkan.

Wings Gaming saat juara TI6. Sumber: Red Bull
Wings Gaming saat juara TI6. Sumber: Red Bull

Penutup

Sebelum jadi skripsi ratusan halaman, itu tadi 5 masalah yang saya temukan berpengaruh terhadap ekosistem Dota 2 di Indonesia. Saya kira masalah-masalah ini juga sebenarnya terjadi di ekosistem game esports lainnya di Indonesia (CS:GO uhuk…).

Jadi, dari upaya saya mengurai permasalahan ini, semoga saja kita semua bisa belajar lebih jauh dan berdiskusi sehat demi ekosistem esports Dota 2 ataupun game esports lainnya yang lebih dewasa dan berumur panjang.

Suguhan Beasiswa dan Program Esports dari Sekolah PSKD

Sebenarnya, SMA 1 PSKD memang sudah membuat gempar industri gaming Indonesia saat mereka mengenalkan program esports mereka di 2016. SMA ini menjadi institusi pendidikan formal pertama yang justru merangkul esports sebagai bagian dari proses pembelajaran.

Di tahun 2019 ini, mereka semakin memantapkan langkah mereka sebagai institusi pendidikan yang merangkul komunitas gaming; yang biasanya dijauhi oleh kebanyakan institusi pendidikan formal.

Program esports SMA 1 PSKD yang sekarang merupakan lanjutan yang lebih komprehensif dari program sebelumnya. “Kalau dulu, game mobile belum masuk secara full. Tahun ini sudah. Sebelumnya belum ada dukungan juga dari publisher gamenya. Sekarang kita sudah mendapatkan dukungan dari Garena dan Tencent.” Ujar Yohannes Siagian, Kepala Program Pembinaan Esports SMA 1 PSKD.

Kerennya lagi, murid-murid peserta program esports di sekolah ini juga akan mulai ikut turnamen kelas umum (yang bukan khusus untuk pelajar).

Apakah hal ini berarti murid-murid PSKD akan ikut turnamen sekelas PINC, misalnya? Tanya saya ke Joey, sapaan akrab Yohannes; yang sekarang juga menjabat sebagai Vice President EVOS Esports.

“Kalau level anak-anak bisa mencapai tingkat itu, kita akan daftarkan. Realistisnya akan perlu 1-2 tahun minimal sebelum bisa ikut selevel PINC tapi goal-nya mulai ke arah sana. Kemungkinan juga akan pakai nama ‘PSKD Esports’ or yang serupa.” Jelas Yohannes.

Hal tersebut sangat layak diacungi beribu-ribu jempol (andai saya punya tangan sebanyak itu). Pasalnya, memberikan lebih banyak pengalaman esports kepada kaum muda adalah salah satu solusi masalah regenerasi yang sudah mulai terasa imbasnya di ekosistem esports Indonesia.

Buat yang belum tahu banyak soal program esports dari PSKD, Anda bisa membaca sendiri informasi lengkapnya di PSKDEsports.com. Namun, singkatnya, izinkan saya menceritakan sedikit tentang program tersebut.

Program pembinaan esports SMA 1 PSKD adalah program pembinaan intensif yang diintegrasikan dengan program pendidikan formal di tingkatan SMP dan SMA. Saat ini, program pembinaan esports PSKD sudah bisa didapat di 2 sekolah berikut ini:

  1. SMA 1 PSKD. Jl. Diponegoro No.80 Senen, Jakarta Pusat.
  2. SMP 1 PSKD. Jl. Kwini 1 No. 1. Senen, Jakarta Pusat.

Rencananya, akan ada 2 lokasi tentatif untuk tahun ajaran 2019/2020 juga, yaitu:

  1. SMA 4 PSKD. Jl. Panglima Polim II No.51A. Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
  2. SMP 4 PSKD. Jl. Panglima Polim II No.51A. Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Sedangkan untuk program pembinaan esports-nya sendiri, ada 5 game yang sudah tersedia di sini. Kelima game tersebut adalah:

  1. PUBG Mobile
  2. Arena of Valor
  3. Free Fire
  4. Dota 2
  5. Mobile Legends

Selain pembinaan kompetitif yang spesifik untuk game-nya, mereka juga menggelar ‘jurusan’ untuk:

  1. Content Creation and Management
  2. Social Media Management
  3. Game Casting and Broadcasting
  4. General Esports

Sayangnya, sampai artikel ini ditulis, program esports dari PSKD ini hanya tersedia untuk murid-murid sekolah itu. Jadi, Anda harus memindahkan sekolah anak, adik, ataupun keponakan Anda jika ingin mendapatkannya. Namun demikian, Yohannes mengatakan bahwa mereka juga sedang mempersiapkan program pembinaan usia muda yang ditujukan untuk umum.

Beasiswa Esports PSKD

Lalu bagaimana soal beasiswanya? Seperti apakah bentuknya? Dan bagaimana proses seleksinya?

“Beasiswa esportsbasically, kita akan subsidi biaya pendidikan anak yang memang punya talenta dan potensi di esports; selama dia berkomitmen untuk belajar benar, kerja keras, mengikuti program, disiplin, dan mengikuti peraturan. Sedangkan prestasi dan juara tidak masuk pertimbangan untuk mempertahankan beasiswa.”

Di sekolah ini, ternyata juga ada dua macam beasiswa, yaitu beasiswa ekonomi dan prestasi. Beasiswa prestasi bisa diberikan untuk siswa yang mampu ataupun tidak mampu. Namun, jika sudah mendapatkan beasiswa prestasi namun masih kesulitan biaya, sekolah akan menambahkan dengan beasiswa ekonomi.

Lalu bagaimana cara mereka menentukan murid yang layak mendapatkan beasiswa?

Joey pun bercerita ada beberapa hal yang dipertimbangkan sebelum memberikan beasiswa. Sifat-sifat siswa dan nilai akademis mereka akan berpengaruh terhadap keputusan ini.

“Mau bekerja keras, humble, bersedia mengorbankan waktu dan tenaga untuk mencapai cita-citanya dan disiplin.” Jawab Yohannes saat saya tanyakan sifat-sifat yang dicari dari murid penerima beasiswa.

Namun demikian, menurut saya, hal tersebut mungkin masih sedikit ambigu atau mungkin terlalu subjektif karena semua orang bisa mengklaim sifat-sifat itu semua.

Karena itu, Yohannes pun meyakinkan saya bahwa proses wawancara saat seleksinya yang menjadi sangat penting. “Staff penerimaan murid kita pengalamannya sudah banyak. Jadi memang skilled dalam proses seleksi dan wawancara.” Ujarnya.

Maybe yang paling penting bagi saya itu potensi dididik dan berkembang. Nggak apa-apa saat ini nilai jelek atau pengetahuan kurang, asal potensi dikembangkan ada.” Tambah Yohannes.

Hybrid Day saat di SMA 1 PSKD. Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Hybrid Day saat di SMA 1 PSKD. Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Bagaimana soal nilai akademis calon penerima beasiswa?

“Nilai (akademis) pengaruh tapi kita lihat per kasus. Misalnya, anak dari Siantar dan anak dari Yogyakarta tidak bisa menggunakan standar yang sama.”

Akhirnya, Yohannes yang juga mantan Kepala Sekolah untuk SMA 1 PSKD ini memberikan penutupnya sebelum mengakhiri perbincangan kami.

“Kalau ada anak usia SMP/SMA yang serius ingin memajukan kemampuan dirinya di bidang esports (sebagai pemain atau peran lain di industri esports) dan siap kerja keras untuk menggapai mimpi itu, jangan ragu untuk daftar. Skill saat ini tidak jadi masalah. Yang paling penting adalah punya passion dan mau kerja keras. Tujuan sekolah itu membuat yang tidak bisa jadi bisa.

Kita memang tidak menjamin bahwa semua peserta program kita menjadi pemain pro. Namun, yang pasti, mereka akan mendapatkan pengalaman penting yang menjadi modal mereka untuk membangun masa depan yang lebih baik.”