Dapat Investasi, Tempo Storm Bakal Fokus Buat Lebih Banyak Konten

Organisasi esports Tempo Storm mendapatkan pendanaan sebesar US$3,3 juta (sekitar Rp46 miliar). Pendanaan kali ini dipimpin oleh Galaxy Interactive, divisi dari bank Galaxy Digital yang fokus pada aset digital dan blockchain. Dalam pernyataan resmi, Tempo mengatakan bahwa mereka akan menggunakan kucuran dana segar ini untuk memproduksi lebih banyak konten dan mengembangkan diri di luar lingkup mereka sebagai organisasi esports.

“Satu hal yang membuat kami kagum dengan Tempo Storm adalah visi mereka untuk menjadi lebih dari sekadar organisasi esports,” kata Sam Englebardt, Managing Partner dari Galaxy Interactive dan co-founder Galaxy Digital, menurut laporan The Esports Observer. “Mulai dari pendiri dan CEO Tempo, Andrey Yanyuk, perusahaan ini benar-benar membuat inovasi di berbagai area seperti produksi konten interaktif dan pengembangan game. Memang, mereka adalah organisasi esports yang sukses, tapi mereka lebih dari sekadar organisasi esports. Tidak sulit bagi kami untuk memutuskan untuk menanamkan investasi pada mereka.”

Tempo Storm didirikan pada 2014 oleh pemain Hearthstone profesional dan kreator konten Andrey “reynad” Yanyuk. Sama seperti kebanyakan organisasi esports lainnya, mereka memiliki beberapa tim yang berlaga di berbagai game, seperti Hearthstone, Super Smash Bros., Magic: The Gathering, Shadowverse, PUBG Mobile, dan Rainbow Six Siege.

“Nama Tempo memang cukup dikenal di dunia competitive gaming, tapi sebagai perusahaan, kami selalu fokus untuk mengembangkan diri sebagai perusahaan pembuat konten daripada tim esports,” kata Yanyuk, dikutip dari The Gamer. “Kami percaya, konten interaktif adalah masa depan dari industri hiburan dan kami sangat senang karena kami bisa bekerja bersama investor yang juga memiliki visi yang sama dengan kami.”

Selain berkompetisi di pertandingan esports, Tempo juga tengah mengembangkan card game berjudul The Bazaar dan reality show Game Changers. Namun, masih belum diketahui apakah dengan investasi ini Tempo akan mengubah fokus mereka menjadi pengembangan konten. Memang, ketika organisasi esports mendapatkan investasi, mereka tidak melulu menggunakan dana tersebut untuk mengembangkan tim profesional mereka. Misalnya EVOS Esports. Pada November 2019, EVOS mendapatkan kucuran dana sebesar US$4,4 juta (sekitar Rp61 miliar). Mereka lalu menggunakan untuk mengembangkan manajemen influencer mereka.

Sumber header: Esports Insider

Daftar Sosok Selebriti Internasional yang Investasi di Esports

Industri gaming dan esports memang sedang berkembang dengan sangat cepat. Mengutip dari Newzoo, pada tahun 2019 saja pasar gaming diprediksi untuk mencapai angka US$152 miliar. Tak heran jika karena ini, lowongan pekerjaan di esports jadi meningkat sebesar 87 persen, dan juga membuat brand non-endemik semakin percaya diri untuk berinvestasi di dalam ekosistem esports.

Spekulasi positif ini tentunya juga mengundang para investor, tak terkecuali para selebriti yang juga semakin getol melakukan investasi untuk ekosistem esports. Sosok selebriti olahraga biasanya yang berada paling depan untuk melakukan investasi di dalam ekosistem. Salah satu contohnya seperti pemain sayap Real Madrid, Gareth Bale yang membentuk tim esports bernama Ellevens atau mantan bintang NBA, Kevin Garnett, yang investasi di Triumph Esports.

Gareth Bale bersama pemain Ellevens Esports. | Sumber: Esports Insider
Gareth Bale bersama pemain Ellevens Esports. | Sumber: Esports Insider

Ternyata investasi selebriti pada ekosistem esports tidak berhenti sampai situ saja. Baru-baru ini salah satu startup yang bergerak di bidang finansial bernama Tide, melakukan riset sederhana tentang seberapa banyak uang yang ditanamkan selebriti papan atas dunia di ekosistem esports. Ternyata dari investasi yang terbesar, setidaknya sudah ada sekitar US$200 juta (sekitar Rp2,7 miliar) yang ditanamkan oleh selebriti internasional ke dalam ekosistem esports.

Nama-nama besar seperti artis Will Smith, pebasket Stephen Curry atau Michael Jordan, bahkan rapper seperti Drake masuk dalam jajaran 6 besar investor ekosistem esports. Berikut daftar 6 besar selebriti investor ekosistem esports.

Sumber: Tide
Sumber: Tide
  1. Will Smith and Keisuke Honda – Gen. G Esports – US$46 juta (sekitar Rp628 juta)
  2. Kevin Durant and Odell Beckham Jr. – Vision Esports – US$38 juta (sekitar Rp518 juta)
  3. Andre Iguodala, Stephen Curry, and Steve Young – Team SoloMid – US$37 juta (sekitar Rp505 juta)
  4. Sean “Diddy” Combs – PlayVS – US$30,5 juta (sekitar Rp416 juta)
  5. Michael Jordan – Axiomatic Gaming – US$26 juta (sekitar Rp355 juta)
  6. Drake – 100 Thieves – US$25 juta (sekitar Rp341 juta)

Sejauh ini, daftar tersebut masih didominasi oleh selebriti dengan latar belakang olahraga. Hal ini terjadi mungkin karena mengingat masih ada sedikit keterkaitan antara esports dan olahraga, yang datang dari sisi nilai kompetisinya. Sementara itu jumlah investor selebriti dengan latar belakang aktor dan musisi seperti Will Smith atau Drake, masih lebih sedikit, namun menjadi salah satu investor yang menanamkan dana paling besar.

Sumber: Dokumentasi Garena
Sumber: Dokumentasi Garena

Fenomena ini tidak hanya terjadi secara internasional saja. Selebriti lokal juga kini sudah mulai melirik dan mencoba masuk ke dalam ekosistem esports Indonesia. Saat ini sendiri, sudah ada beberapa nama-nama besar yang masuk ke dalam ekosistem lewat beberapa cara. Seperti Ariel Noah yang membentuk tim The Pillars, Edho Zell yang membuat SPCE Esports, Reza Arap dengan tim terbarunya Morph, ataupun sosok seperti Kaesang Pangarep yang masuk ke Genflix Aerowolf lewat rekanan dengan salah satu bisnis miliknya yaitu Ternakopi.

Banyaknya investor tentu menjadi angin segar bagi ekosistem esports. Apalagi esports juga kerap kali dianggap sebagai industri bernilai miliaran dollar dan dianggap akan menjadi sarana hiburan di masa depan.

Sumber Header: Variety – Rob Latour/Shutterstock

Kenapa Investor Percaya Esports Bakal Jadi Industri Bernilai US$1 Miliar?

Industri esports digadang-gadang akan menjadi industri bernilai miliaran dollar dalam waktu beberapa tahun ke depan. Karena itu, tidak heran jika semakin banyak pihak yang tertarik untuk menanamkan investasi di ranah competitive gaming.

Sepanjang tahun 2019, total investasi di bidang esports mencapai US$2 miliar, menurut laporan The Esport Observer. Memang, angka itu turun jika dibandingkan dengan total investasi pada 2018, yang mencapai US$4,5 miliar. Meskipun begitu, jumlah transaksi yang terjadi justru naik 24 persen menjadi 141 pada 2019 ketika dibandingkan dengan tahun 2018. Selain itu, pada 2018, ada dua investasi besar yang membuat total investasi meroket.

Pertama adalah investasi dari Tencent pada layanan streaming Tiongkok, Huya dan Douyu pada Q1 2018. Ketika itu, Tencent juga menanamkan modal ke publisher dan operator game online Shanda Games. Total nilai investasi dari Tencent menembus US$1,5 miliar. Kedua, investasi pada Epic Games, developer dan publisher Fortnite. Investasi yang diberikan pada Oktober 2018 itu bernilai sampai US$1,25 miliar. Dua investasi besar inilah yang membuat total investasi di esports pada 2018 membengkak.

Investasi di bidang esports. | Sumber: The Esports Observer
Investasi di bidang esports pada 2018 dan 2019. | Sumber: The Esports Observer

Semakin banyaknya investor yang menanamkan modal di esports, termasuk venture capital, merupakan bukti bahwa perlahan tapi pasti, industri esports menjadi semakin matang. Tahun lalu, ada beberapa organisasi esports yang mendapatkan kucuran dana segar yang cukup besar, seperti Gen.G yang mendapatkan US$46 juta atau 100 Thieves yang mendapatkan US$35 juta. Walau banyak orang yang mengelu-elukan potensi esports, ada juga orang yang percaya bahwa bisnis tim esports di Amerika Serikat tidak sehat, seperti Mark Cuban. Dia berkata, banyak orang yang menanamkan investasi ke tim esports tak sadar bahwa bisnis itu tak menguntungkan.

Memang, industri esports masih memiliki berbagai masalah. Salah satunya transparansi. Hal ini terlihat ketika Forbes mendapatkan protes setelah membuat daftar perkiraan valuasi dari masing-masing tim esports pada November 2019. Salah satu keluhan yang disampaikan ketika itu adalah valuasi tim dianggap terlalu tinggi jika dibandingkan dengan nilai tangible yang ditawarkan oleh tim tersebut.

Meskipun begitu, para investor tetap percaya, industri esports akan tumbuh dan akan menghasilkan buah manis bagi para investornya. Pertanyaannya, apakah kepercayaan ini memang berdasar?

Life will find a way

Di industri esports, penyumbang pendapatan terbesar secara global masih sponsorship. Tren yang sama juga berlaku di Indonesia. Sayangnya, organisasi esports tidak bisa selamanya menggantungkan diri pada uang dari sponsor.

“Banyak tim akan [mencoba] untuk menjadikan sponsorship sebagai sumber pemasukan utama. Sponsor dan konten adalah sumber pemasukan yang paling sering dibahas kalau berbicara dengan tim esports yang baru dibuat. Tapi, menurut saya, konsep ini tidak sustainable,” ujar Yohannes P. Siagian, Kepala Pengembangan Esports Sekolah PSKD dan yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA 1 PSKD dan Vice President EVOS Esports. “Lama kelamaan, kita melihat jumlah tim yang terus bertambah. Dan kalau seperti itu terus, rasio tim-sponsor akan menjadi tidak viable. Belum lagi masalah tentang ada brand yang merasa bahwa esports tidak membawa keuntungan sesuai harapan mereka di awal. Tim-tim yang akan sukses adalah mereka yang bisa menciptakan sustainable revenue tanpa bergantung pada sponsor.”

Merek-merek non-endemik yang jadi sponsor esports. | Sumber: The Esports Observer
Merek-merek non-endemik yang jadi sponsor esports. | Sumber: The Esports Observer

Memang, saat ini, belum ada organisasi esports yang telah mendapatkan untung. Belum diketahui juga cara yang tepat untuk memonetisasi popularitas tim. Meskipun begitu, itu bukan berarti mereka tidak mencari cara untuk mendapatkan untung. Misalnya, 100 Thieves yang menawarkan merchandise di markas barunya. Di Indonesia, EVOS Esports menjadi contoh tim esports yang mendapatkan untung dari penjualan merchandise. Di M1 dan MPL ID S4, organisasi esports dengan logo harimau putih itu berhasil meraup Rp150 juta. Mereka juga sudah membuka flagship store di Jakarta. Sementara RRQ juga membuka kelas untuk orang-orang yang ingin belajar tentang cara menjadi pemain profesional.

Memang, pendapatan dari penjualan merchandise atau pembukaan kelas dianggap belum cukup untuk mengembalikan biaya untuk membesarkan tim esports. Setidaknya menurut Yohannes. “Biaya untuk tim seperti EVOS dan RRQ itu luar biasa besar. Untuk bisa mendapatkan pendapatan signifikan, mereka harus menjual merchandise dalam jumlah sangat banyak atau memiliki murid akademi yang sangat banyak,” ujarnya. “Ini bisa membantu untuk membuat model sustainable revenue, tapi pendapatan dari merchandise dan pembukaan kelas hanya akan menjadi bagian kecil dari keseluruhan rencana pemasukan.”

Sumber pendapatan organisasi esports juga tak terbatas pada penjualan merchandise. Mereka juga bisa mendapatkan pemasukan ekstra dengan membuat konten atau bisnis properti intelektual. Dalam wawancara dengan Forbes ketika G2 Esports mendapatkan kucuran dana segar, CEO Carlos Rodriguez mengatakan, organisasi esports justru memiliki kesamaan lebih banyak dengan Disney daripada dengan tim NBA LA Lakers. Ini menunjukkan kepercayaannya bahwa di masa depan, organisasi esports akan fokus pada dunia hiburan, konten dan properti intelektual.

Di Indonesia, organisasi esports yang mencoba metode ini adalah EVOS Esports, yang memiliki divisi entertainment sendiri. Menariknya, ketika mendapatkan kucuran dana dari Insignia, dana investasi tersebut digunakan untuk mengembangkan divisi entertainment mereka. “Divisi entertainment mereka dapat memanfaatkan influence mereka untuk menarik perhatian banyak gamer dan enthusiasts. Dari sini, mereka akan dapat menemukan talenta baru,” ujar Insignia tak lama setelah mereka menanamkan modal di EVOS.

Lain halnya dengan Fnatic, yang mencoba untuk melakukan monetisasi dengan membuka bisnis Fnatic Gear pada 2015. Jadi, mereka menyediakan perangkat untuk para pemain yang berarti mereka harus bertanding secara langsung dengan perusahaan peripheral seperti Logitech, HyperX, dan Razer. Sementara itu, Complexity Gaming, yang merupakan bagian dari tim american football Dallas Cowboy hendak fokus pada pengembangan para pemainnya. Untuk itu, mereka akan memanfaatkan pusat pelatihan Dallas Cowboys yang bernilai US$1,5 miliar.

Tergantung dari liga yang diikuti, organisasi esports juga bisa mendapatkan pemasukan dari penjualan tiket. Misalnya, tim-tim Overwatch League dan Call of Duty League. Activision Blizzard menggunakan model franchise pada kedua liga tersebut. Selain itu, mereka juga meniru sistem kandang-tandang yang digunakan di olahraga tradisional. Dengan begitu, tim-tim di OWL dan CDL harus memiliki markas sendiri untuk menjamu musuh yang datang. Activision Blizzard membebaskan organisasi esports untuk menentukan harga tiket untuk pertandingan yang mereka adakan di markasnya. Namun, metode ini baru diterapkan tahun ini. Jadi, belum diketahui apakah penjualan tiket bisa menjadi sumber pemasukan tetap.

Monetisasi Penonton

Salah satu daya tarik industri esports adalah jumlah penontonnya yang banyak dan terus bertambah. Menurut laporan Newzoo, pada 2018, jumlah penonton esports mencapai 380 juta orang. Sementara pada 2021, angka itu diperkirakan naik menjadi 557 juta orang. Memang, sebelum ini, saya pernah menyebutkan bahwa popularitas bukan jaminan untung. Misalnya, di Indonesia, fans esports memang banyak — hal ini terlihat dari membludaknya penonton dalam Mobile Legends Pro League Season 4 — tapi bukan berarti mereka rela membayar tiket.

Oke, sekarang, memang belum ada cara pasti untuk memonetisasi pelanggan. Itu bukan berarti para pelaku esports akan berhenti berusaha. Kemungkinan, mereka akan belajar dari industri olahraga tradisional. Mengingat industri itu memang telah jauh lebih lama ada, tidak aneh jika pelaku esports meniru apa yang pelaku industri olahraga tradisional lakukan. Tentu saja, mereka tidak bisa meniru metode secara sama persis. Mereka harus menyesuaikan metode monetisasi agar cocok untuk digunakan di pasar esports.

Cara membuat fans setia adalah sesuatu yang bisa dipelajari organisasi esports dari olahraga tradisional. Seorang fans sepak bola biasanya rela untuk membeli tiket demi bisa menonton tim jagoannya bermain. Tidak berhenti sampai di situ, mereka juga mau untuk membeli merchandise, seperti jersey pemain misalnya. Dan jangan tanya antusiasme penonton ketika yang bertanding adalah timnas. Inilah yang harus bisa ditiru oleh organisasi esports. (Tapi, tolong, jangan tiru perilaku anarkis dari sebagian fans sepak bola.)

Hal lain yang bisa ditiru oleh pelaku industri esports adalah bagaimana cara untuk memberikan pengalaman menonton langsung yang unik. Memang, kebanyakan (kalau tidak semua) pertandingan esports disiarkan di internet, yang bisa ditonton gratis dari rumah. Namun, pelaku esports seharusnya dapat memberikan pengalaman unik saat penonton datang langsung ke tempat pertandingan. Ini sudah dilakukan oleh Riot Games ketika mengadakan League of Legends World Championship. Pada 2018, Riot menampilkan hologram naga raksasa yang mengelilingi stadion. Ketika itu, mereka juga menampilkan “band virtual” yang berduet langsung dengan musisi di dunia nyata.

Memang, penggunaan teknologi terbaru seperti augmented reality, virtual reality, dan hologram masih memakan biaya yang sangat besar. Namun, ke depan, kemungkinan biaya untuk menggunakan teknologi-teknologi tersebut akan turun, sehingga para pelaku esports akan bisa menggunakannya dengan lebih leluasa untuk menawarkan pengalaman menonton yang unik. Selain menonton pertandingan secara langsung, para fans juga bisa menonton di layar lebar. Potensi akan ini terlihat ketika Imax bekerja sama dengan startup Vindex.

Esports bakal jadi entertainment next gen

Menurut Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer dan Co-Founder dari RevivalTV, bisnis esports memang memiliki potensi yang sangat besar. “Angka US$1 miliar secara global itu sangat mungkin,” katanya saat dihubungi oleh Hybrid melalui pesan singkat. “Esports bakal jadi gede banget dalam waktu 10-15 tahun ke depan. Bagi aku, esports itu bukan hanya industri yang baru, tapi juga merupakan bentuk hiburan untuk generasi berikutnya.” Dia menjelaskan, generasi baby boomers tumbuh dengan menonton pertandingan olahraga tradisional, seperti balap mobil, melalui televisi. Setelah mereka tumbuh besar dan memiliki uang untuk dibelanjakan, mereka menghabiskan uang mereka untuk sesuatu yang mereka sukai tapi tak mereka mampu beli sebelumnya, contohnya mobil.

“Nah, kalau kita lihat generasi muda sekarang (kurang dari 16 tahun), mereka tumbuh besar dengan bermain game di smartphone mereka, entah itu game esports atau bukan,” ujar Irli. “Kebayang kan, kalau nanti mereka sudah besar mereka bakal menghabiskan uang untuk membeli barang yang tadinya mereka tidak bisa beli, karena dilarang orangtua atau tidak punya kartu kredit atau alasan lain. Suka nggak suka, esports adalah next level entertainment.”

Salah satu indikasinya adalah bagaimana perusahaan-perusahaan teknologi besar — Amazon, Facebook, Google, dan Microsoft — berlomba-lomba untuk membesarkan platform streaming game mereka. Mereka bahkan rela mengeluarkan uang besar untuk mendapatkan kontrak eksklusif dengan sejumlah streamer ternama.

Ki-ka: DrLupo, TimTheTatman, Ninja, dan CouRage. | Sumber: Twitter
Ki-ka: DrLupo, TimTheTatman, Ninja, dan CouRage. | Sumber: Twitter

Awal mulanya…

Intergalactic Spacewar Olympics dianggap sebagai turnamen esports pertama di dunia. Turnamen yang mengadu Spacewar! ini diadakan pada 19 Oktober 1972 di Artificial Intelligence Laboratory, Stanford University. Sejak saat itu, dunia game dan competitive gaming telah berkembang pesat. Internet yang semakin cepat dan semakin accessible berarti kompetisi gaming tak harus dilakukan secara offline. Batas negara menghilang. Ini membuat banyak game multiplayer bermunculan. Bermain game tak lagi menjadi hobi bagi segelintir orang. Game telah masuk ke jalur mainstream dan menjadi industri bernilai US$120 miliar.

Kemampuan untuk melakukan streaming tidak hanya mengubah bagaimana game dimainkan, tapi juga mendorong tren baru untuk menonton permainan orang lain, baik untuk melihat kemampuan seseorang yang memang imba atau karena gaya bermain yang menghibur. Menurut data dari YouTube, sepanjang 2019, konten Minecraft berhasil mendapatkan lebih dari 100 miliar view. Selain itu, platform streaming game Twitch juga memiliki ranking yang lebih tinggi dari media sosial Twitter dan situs ecommerce eBay, menurut data dari Alexa. Itu berarti, ada lebih banyak orang yang mengunjungi Twitch daripada Twitter dan eBay. Pada Agustus 2019, Twitch memecahkan rekor baru, total durasi video ditonton di platform itu mencapai satu miliar jam.

Memang, turnamen esports identik dengan siaran di internet, apapun platform yang digunakan. Namun, itu bukan berarti tidak ada pertandingan esports yang ditayangkan di televisi. Pada Maret 2019, ABC menyiarkan babak final dari Overwatch League. Pada hari Sabtu, program tersebut mendapatkan 306 ribu penonton sementara pada hari Minggu, jumlah penonton bertambah menjadi 367 ribu orang. Memang, angka itu relatif kecil jika dibandingkan dengan program televisi lain. Namun, rating dari babak final Overwatch League itu lebih baik dari dugaan, terutama karena siaran OWL tidak digembar-gemborkan. Babak final Overwatch League diadakan di Wells Fargo Center, Philadelphia. Sebanyak 12 ribu orang datang ke sana untuk menonton pertandingan secara langsung.

Semua ini menunjukkan bahwa ada orang-orang yang tertarik untuk menonton konten gaming. Alhasil, semakin banyak turnamen dan liga esports yang bermunculan. Menurut laporan FEE, saat ini, ada 69 liga dan turnamen esports di dunia, sekitar setengah dari total turnamen tersebut baru diadakan dalam waktu lima tahun terakhir. Total hadiah yang ditawarkan oleh turnamen atau liga esports ini pun tidak main-main. The International 2019, yang merupakan turnamen dengan total hadiah terbesar, setidaknya untuk saat ini, menawarkan total hadiah lebih dari US$34 juta.

The International 2019.
The International 2019.

Mengingat industri esports masih relatif muda, belum diketahui cara pasti untuk mendapatkan keuntungan. Karena itu, para pelaku industri esports kini tengah bereksperimen untuk mencari cara yang tepat untuk memonetisasi esports. Activision Blizzard ingin membuat struktur yang jelas dalam pertandingan esports dengan membuat liga berbasis franchise. Saat ini, mereka memiliki dua liga yang sudah berjalan, yaitu Overwatch League dan Call of Duty League.

Saat pertama kali muncul, Overwatch League hanya memiliki 12 tim. Sekarang, terdapat 20 tim yang bertanding. Sementara Call of Duty League hanya memiliki 12 tim. Dikabarkan, Activision Blizzard mendapatkan US$500 juta dari penjualan franchise untuk kedua liga tersebut. Selain biaya franchise, tim yang ingin ikut serta dalam liga buatan Activision Blizzard juga harus mematuhi peraturan yang telah ditetapkan, seperti gaji minimal untuk pemain. Jika sebuah tim tidak memenuhi persyaratan yang ada, publisher bisa melarang tim untuk ikut dalam liga mereka.

Masalah yang muncul dalam masa perkembangan industri esports

Esports telah menjadi industri yang besar dan memiliki potensi untuk berkembang menjadi lebih besar lagi. Yohannes tidak membantah hal itu. Pada saat yang sama, dia juga menganggap bahwa hype esports terlalu dibesar-besarkan. “Esports memang industri yang besar (dan bisa terus berkembang), tapi esports juga industri yang overhyped. Perkembangan yang pesat dari industri esports membuat banyak pihak ingin terjun ke industri ini sehingga hampir setiap minggu, ada kabar tentang tim baru, game baru, atau event baru.”

Masalahnya, dia mengungkap, muncul risiko industri esports tumbuh lebih cepat dari kemampuan industri untuk menopang perkembangan industri itu. “Apalagi kebanyakan pelaku di industri esports lebih fokus di tingkatan atas alias profesional dan bukannya di pembangunan ekosistem,” katanya. Memang, salah satu masalah yang dihadapi para pelaku esports di Indonesia saat ini adalah soal regenerasi.

Sementara menurut Irli, salah satu kendala yang tengah dihadapi industri esports adalah keberadaan dua grup yang ada di kubu yang saling berlawanan. Kubu pertama adalah hardcore gamer yang bekerja di dunia esports atas dasar “passion”. Sementara kelompok kedua adalah para profesional yang melihat esports sebagai industri yang berpotensi untuk diinvestasikan dalam jangka panjang. Dia menjadikan politikus dan investor sebagai contoh. Orang yang masuk dalam kelompok kedua biasanya tahu cara bekerja sebagai profesional, tapi tidak terlalu mengerti industri esports. Sementara grup pertama justru sebaliknya. “Kira-kira, butuh dua tahun bagi kelompok satu dan dua untuk ketemu di tengah-tengah,” ujarnya.

Fortnite World Cup. | Sumber: Epic Games
Fortnite World Cup. | Sumber: Epic Games

Sayangnya, proses adaptasi ini juga tidak bebas dari masalah. “Di belahan dunia manapun belum ada standar soal cara menjalankan usaha di esports,” kata Irli. “Apa yang sukses di Amerika Utara atau Eropa, bisa tidak berjalan di Asia Tenggara. Misalnya, Fortnite, Counter-Strike: Global Offensive, dan League of Legends tidak laku untuk kawasan SEA. Ini tentang siapa yang kuat bertahan, siapa yang sabar dan tidak buru-buru untuk mencari untung sebanyak-banyaknya di dunia esports.” Alasannya, karena esports masih sangat muda. Dia membandingkannya dengan Gempi, anak dari Gading Marten dan Gisel. “Tidak peduli seberapa famous-nya dia, dia nggak bisa dipaksa kerja di kantor. Pada akhirnya, dia masih bayi, perlu dituntun pelan-pelan,” kata Irli.

Dia bercerita, salah satu masalah yang mungkin terjadi adalah jika sebuah merek telah menyiapkan uang hingga miliaran rupiah dan event tersebut dianggap gagal. Memang, semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk masuk ke industri esports, baik dengan mendukung penyelenggaraan turnamen esports atau menjadi sponsor dari organisasi esports, seperti GoPay yang mendukung RRQ. Venture capital pun turut melirik para organisasi esports, seperti Insignia yang mengucurkan dana untuk membesarkan divisi kreator konten dari EVOS Esports. Masalah lainnya adalah belum ada formula pasti untuk memonetisasi industri esports. “Sikut-sikutan antar kubu, politik-politikan, ada yang nipu-nipu, habis ditanamkan investasi, kabur,” ujarnya. “It’s all about trial and error. Kalau ada satu brand yang gagal, brand yang lain bakal belajar. Jika ada satu brand yang sukses, maka pihak lain akan meniru.”

“Sudah banyak banget yang tumbang, seperti tim-tim profesional banyak yang collapse. EO pun banyak yang gagal. Media pun sama. Semua orang pada buru-buru banget di esports. Mereka lupa, bisnis itu marathon, bukan sprint race. Orang-orang yang buru-buru lari di depan tidak akan bisa bertahan. Justru pihak yang tahu cara untuk menghemat energi dan sumber daya mereka dan bisa membangun merek mereka pelan-pelan, merekalah yang akan bertahan,” ujar Irli.

Publisher memegang hak IP dari sebuah game

Sekarang, sponsorship adalah sumber pemasukan utama industri esports. Namun, Newzoo memperkirakan, di masa depan, hak siar media akan menjadi sumber pemasukan terbesar. Demi mendapatkan hak siar atas Overwatch League, Twitch dikabarkan rela menggelontorkan US$90 juta. Namun, kontrak Activision Blizzard dengan Twitch telah habis dan mereka justru membuat perjanjian eksklusif dengan YouTube Gaming. Jika hak siar media memang jadi sumber pendapatan utama, maka ada kekhawatiran bahwa developer/publisher akan bersikap sewenang-wenang.

Tahun lalu, The Esports Observer dan Foley & Lardner LLP memberikan survei pada 200 eksekutif perusahaan yang bergerak di bidang esports. Menurut survei tersebut, 95 persen responden percaya, kendali developer/publisher yang sangat besar atas sebuah liga/game akan berdampak negatif. Mereka khawatir, developer akan membatasi API (Application Programming Interfaces) ke game mereka. Selain itu, juga ada kekhawatiran bahwa publisher sebagai penyelenggara akan membatasi tim yang ikut dalam sebuah turnamen. Inilah yang terjadi dalam liga yang menggunakan sistem franchise, seperti Overwatch League atau Mobile Legends Professional League.

MPL Season 4. | Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
MPL Season 4. | Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Ketika ditanya apakah ada kekhawatiran bahwa developer/publisher akan berlaku semena-mena, Irli optimistis bahwa para pelaku esports tidak akan menggantungkan diri pada kemauan developer. Memang, saat ini, developer masih sangat berkuasa atas game dan scene esports dari game yang mereka buat. “Karena saat ini, cuma mereka yang paling paham sama komunitas game dan komunitas esports-nya,” kata Irli. “Infrastruktur dan regulasi dari pemerintah lokal juga belum ada.” Namun, menurutnya, hanya masalah waktu sebelum pemerintah membuat regulasi untuk memastikan developer/publisher tidak bisa melakukan monopoli. “Nantinya, sama seperti sepak bola, akan ada standarisasi dari federasi atau asosiasi terkait. Fungsinya, untuk melindungi pemain dan juga pelaku industri terkait.”

Memang, publisher sebagai pemilik properti intelektual dari sebuah game adalah pihak yang paling bebas dalam melakukan monetisasi. Dalam peluncuran Flashpoint, liga yang diadakan oleh tim-tim esports sendiri, Co-founder Gen.G Kent Wakeford bahkan mengatakan bahwa terkadang, pihak publisher sebagai penyelenggara dan organisasi esports terasa saling bersaing dengan satu sama lain. Namun, sebuah liga esports tak akan berjalan tanpa keberadaan tim-tim profesional yang berlaga di dalamnya. Jadi, hubungan antara publisher dan organisasi esports adalah simbiosis mutualisme. Selama organisasi esports bisa memposisikan diri agar mereka adalah bagian tak tergantikan dari ekosistem esports, maka mereka akan tetap memiliki bargaining power.

Regulasi

Regulasi atas scene esports sebuah game biasanya ditangani oleh developer. Misalnya, Riot Games menentukan gaji minimal yang harus diberikan oleh tim profesional pada para pemain yang berlaga di League of Legends Championship Series, liga LOL di Amerika Utara. Activision Blizzard juga menentukan hal serupa untuk pemain Overwatch League. Sementara itu, di Turki, pernah muncul skandal, sebuah tim tidak membayar para pemainnya selama beberapa bulan. Alhasil, Riot melarang tim tersebut ikut serta dalam liga League of Legends di Turki.

Di Amerika Serikat, California hendak meloloskan regulasi yang menjamin bahwa pemain esports akan mendapatkan benefit yang sama dengan pekerja tetap developer, seperti asuransi. Di Indonesia, walau ada lebih dari satu asosiasi game dan esports, tapi belum ada peraturan terkait esports. Belum lama ini, juga dibentuk PB Esports. Meskipun begitu, saya agak skeptik. Dalam acara pembentukan PB Esports, “candaan” pertama yang diluncurkan adalah esports bisa digunakan sebagai alat untuk menarik suara milenial dan gen Z pada pemilu presiden berikutnya, yang baru akan diadakan empat tahun lagi.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Ketika membahas tentang ini, Irli mengatakan bahwa regulasi soal esports memang tidak akan bisa dibuat dengan cepat. “Bagi kita yang di esports pun, kita tidak tahu apa yang diperlukan oleh dunia profesional. Regulasi tidak akan jadi dengan cepat, dan belum tentu sesuai,” katanya. “Mungkin, regulasi yang pertama keluar justru yang menguntungkan pihak yang berkuasa secara politik dan bakal ada masalah dengan komunitas esports.” Namun, dia optimistis, keberadaan “orang-orang hebat di esports” seperti AP (CEO RRQ dan Kepala FEI), Garry Ongko (Bos BOOM Esports), dan Giring (Ketua Panitia Penyelenggara, Piala Presiden Esports 2020) akan bisa bertindak sebagai penyeimbang dan menyuarakan opini komunitas esports.

“Tapi, tenang saja, pemerintah dan pelaku esports sekarang setuju, kita harus buat regulasi yang mencegah developer memonopoli market mereka. Intinya, siapa yang mau jualan di Indonesia, harus minta izin ke pemerintah dan bekerja sama dengan perusahaan lokal,” kata Irli. Dia yakin, para developer asing, seperti Tencent tidak akan kehilangan potensi pendapatan karena tidak bisa membuat kegiatan esports.

Esports adalah industri hasil dari spontanenous order

Ada banyak pemegang kepentingan dalam industri esports, mulai dari developer dan publisher game, organisasi esports, pemain profesional, pengiklan sampai pemerintah. Meskipun sekarang esports dinyatakan sebagai industri bernilai besar, masih belum ada bisnis model yang pasti untuk meraih untuk di industri esports.

Menurut FEE, industri esports merupakan hasil dari spontaneous order, sesuatu yang muncul karena tindakan orang-orang dan bukannya sesuatu yang sudah direncanakan. Sepuluh tahun lalu, tidak ada seorang pun yang berpikir bahwa sebuah perusahaan rela mengeluarkan US$100 juta untuk membuat turnamen game yang bisa dimainkan secara gratis. Sepuluh tahun lalu, mungkin tidak ada yang percaya jika seorang remaja bisa membawa pulang US$3 juta setelah memenangkan turnamen game.

Fakta bahwa pemain esports bisa mendapatkan gaji jutaan rupiah — atau mungkin bahkan puluhan juta rupiah untuk pemain yang telah go international — mungkin sesuatu yang sulit untuk diterima nalar. Namun, mekanisme pasarlah yang memungkinkan hal itu terjadi. Sama seperti evolusi home entertainment. Ketiadaan campur tangan dari pemerintahlah yang memungkinkan industri itu tumbuh dan berkembang.

Bagi yang ingin masuk ke dunia esports

Banyak orangtua yang menganggap bahwa bermain game adalah hobi yang tidak ada manfaatnya. Namun, kemunculan esports sebagai industri telah mematahkan tanggapan itu. Menjadi pemain profesional tidak lagi sekadar mimpi di siang bolong. Tentu saja, tugas pemain profesional tidak melulu bermain game. Ada risiko yang harus ditanggung oleh orang-orang yang ingin serius menjadi pemain profesional, mulai dari masalah kesehatan sampai kesulitan dalam menjalin hubungan percintaan. Karir sebagai pemain profesional juga relatif pendek. Tentu saja, karir di dunia esports tidak melulu soal menjadi pemain. Ada banyak karir lain yang bisa dikejar.

Setiap turnamen biasanya memiliki shoutcaster.
Setiap turnamen biasanya memiliki shoutcaster.

Namun, hanya karena esports adalah industri soal game, bukan berarti seseorang bisa bekerja di sini dengan bermain-main. Irli mengatakan, bagi orang-orang yang ingin masuk industri esports, mereka harus bersedia untuk bekerja profesional. “Ini bukan lagi masalah passion atau keinginan untuk berkontribusi dalam esports,” katanya. “You need skills and determination to survive here. Nggak ada yang instan di sini dan industrinya masih belum stabil. Jadi, jika mau terjun ke sini, harus commitment.”

Irli juga menyarankan untuk tidak mengorbankan pendidikan. Dia mengaku, background pendidikan memang tidak selalu menjadi tolak ukur utama dalam mencari pekerjaan di dunia esports. Tapi, dia menegaskan, “kompetisi di industri ini sangat gila. Siapa yang kuat, siapa yang bisa beradaptasi, dia yang bertahan. Setiap hari, banyak orang-orang baru yang hebat di industri ini, baik pro player atau orang di belakang layar. Jadi, pastikan kalian punya skill yang cukup untuk bertahan. Jadi, kalau pun terpental, masih punya asuransi.”

Irli juga menyarankan untuk mengetahui apa yang Anda inginkan dengan terjun ke dunia esports. “Kerja di esports itu ibarat mengabdi. Mesti banyak banget waktu, tenaga, dan modal lainnya yang ditanamkan sebelum Anda bisa mendapatkan uang,” ujarnya. “Banyak banget yang nanya soal jadi pro player atau kerja di esports. Yang mereka nggak tahu adalah seberapa gilanya persaingan di dalam industri. Mereka pikir, mereka bakal auto kaya atau famous begitu menjadi pemain profesional.”

Dia mengatakan, kebanyakan orang berusaha untuk masuk ke esports demi pengakuan, bahwa mereka bisa mendapatkan uang dengan bermain game. Namun, jika tidak hati-hati, ini justru bisa membuat seseorang menjadi sombong. Hybrid pernah membahas tentang beberapa dampak negatif esports dan arogansi adalah salah satunya.

Irli bercerita, pada tahun lalu, ada 10 YouTuber Gaming yang populer. Namun, lebih dari setengahnya sudah tak lagi terdengar namanya. “Ada yang tidak berkembang engagement-nya, ada yang tutup channel, ada yang pensiun, dan lain sebagainya karena mereka nggak paham cara mengaturnya. Ini (esports) dunia kerja, dunia beneran. Nggak ada namanya duduk santai,” ujarnya.

Kesimpulan

Dulu, bermain game dianggap sebagai hobi segelintir orang. Sekarang, jumlah gamer diperkirakan mencapai 3,5 miliar orang, hampir setengah dari total populasi dunia. Seiring dengan berkembangnya teknologi, khususnya internet, game pun menjadi semakin beragam. Selain bermain game, juga muncul kebiasaan untuk menonton orang lain bermain. Komunitas gamer memang sudah mengadakan kompetisi game sejak dulu. Namun, sekarang, kompetisi itu ada di level yang sama sekali berbeda. Keberadaan platform streaming seperti Twitch dan YouTube Gaming memungkinkan banyak orang untuk menonton turnamen game.

Jumlah penonton esports yang mencapai ratusan juta tentu menarik para pengiklan. Karena itulah semakin banyak orang yang tertarik untuk menjadi sponsor dan investor esports. Terlepas besar dana yang sudah dikucurkan ke industri esports, masih belum ada cara pasti untuk mendapatkan keuntungan di sini. Namun, seperti yang disebutkan oleh Head of Global Partnerships Activision Blizzard Esports, Josh Cella dalam CES 2020, lain halnya dengan liga olahraga tradisional, orang-orang memiliki ekspektasi untuk memonetisasi esports. Dengan banyaknya investor yang masuk, tentunya mereka berharap modal yang mereka tanamkan akan kembali (beserta bunga).

Jadi, para pelaku esports pasti akan mencari cara untuk mendapatkan pemasukan yang sustainable, baik dengan menjual merchandise, tiket pertandingan, atau membuat perangkat gaming sendiri. Dan ketika sudah ada yang menemukan cara yang tepat, pelaku yang lain akan meniru. Pada akhirnya, apa yang bos saya sering katakan akan jadi nyata: “Semua akan esports pada waktunya.”

Sumber: The Esports Observer, FEE

Ini Alasan Kenapa Konglomerasi Kanada Aquilini Tertarik Masuk ke Esports

Passion biasanya menjadi salah satu alasan bagi seseorang untuk bekerja di dunia esports. Namun, passion saja tidak cukup. Esports kini telah menjadi industri besar yang diperkirakan masih akan bertumbuh. Tahun lalu, industri esports diperkirakan memiliki nilai US$1,1 miliar. Karena itu, tidak heran jika semakin banyak investor yang tertarik untuk masuk ke esports. Salah satunya adalah Joe Tsai, Co-founder Alibaba Group yang menanamkan investasi sebesar US$10 juta ke G2 Esports. Keluarga Aquillini dari Kanada menjadi contoh lain dari konglomerasi yang masuk ke esports karena melihat potensi industri yang besar.

Aquilini Investment Group memiliki beberapa perusahaan anak yang bergerak di berbagai bidang, mulai dari properti sampai energi terbarukan. Selain itu, mereka juga memiliki tim Vancouver Canucks, tim yang berlaga di National Hockey League untuk kawasan Amerika Utara. Ketertarikan keluarga Aquilini pada esports bermula ketika Rogers Arena milik Canuck Sports and Entertainment, salah satu divisi perusahaan Aquilini Investment Group, digunakan untuk menyelenggarakan turnamen Dota 2 The International, salah satu turnamen esports paling bergengsi di dunia.

“Turnamen itu membuka mata kami. Sebelumnya, kami tidak menduga bahwa para fans esports akan memenuhi arena selama satu minggu penuh, dan para fans juga sangat interaktif,” kata Trent Caroll, COO Canucks Sports & Entertainment, seperti dikutip dari Financial Post. Ini menyadarkan keluarga Aquilini bahwa esports kini tak lagi menjadi hobi untuk segelintir orang, tapi telah menjadi industri yang berpotensi besar. Mengingat Aquilini memang juga memiliki bisnis di tim olahraga tradisional, mereka memutuskan untuk terjun ke dunia esports.

Sumber: The Esports Observer
Saat Enthusiast Gaming jadi perusahaan induk Luminosity. | Sumber: The Esports Observer

Caroll menjelaskan, “Masuk ke bisnis gaming dan esports adalah kesempatan menarik karena memungkinkan Canuck Sports and Entertainment untuk mengaplikasikan pengalaman kami di industri olahraga tradisional ke industri esports. Begitu juga sebaliknya. Kami bisa menggunakan pengetahuan yang kami dapatkan di dunia esports untuk memajukan bisnis olahraga tradisional.” Selain itu, esports juga memungkinkan konglomerasi Aquilini untuk mendekatkan diri dengan generasi muda. Memang, kebanyakan penonton esports adalah generasi milenial dan gen Z. Selain itu, 50 persen pria berumur 18-34 tahun mengaku sebagai gamer.

Setelah memutuskan untuk masuk ke esports, dalam waktu 14 bulan, Aquilini sukses menggabungkan empat perusahaan, yaitu J55 Capital Corp., Enthusiast Gaming Holdings Inc., Luminosity Gaming Inc., dan Aquilini GameCo Inc. Alhasil, munculah Enthusiast Gaming Holdings Inc., perusahaan teknologi dan media yang mengkhususkan diri pada iklan, konten, media, dan penyelenggaraan acara esports dan game.

Enthusiast menjadi perusahaan terbuka pada Januari 2020. Saat ini, perusahaan tersebut bernilai US$101 juta. Mereka memiliki divisi esports bernama Luminosity Gaming yang bertanggung jawab atas tujuh tim esports profesional, termasuk Vancouver Titans yang berlaga di Overwatch League dan Seattle Surge yang bertanding di Call of Duty League.

Jual Saham, Platform Turnamen Esports Mogul Dapatkan Rp38 Miliar

Mogul, developer dari platform turnamen esports, menjual 397 juta lembar saham yang dihargai AU$0,01 per lembar. Secara total, mereka mendapatkan AU$3,97 juta (sekitar Rp38 miliar). Pendanaan kali ini dipimpin oleh CPS Capital. Investasi yang mereka dapatkan ini akan mereka gunakan untuk mengembangkan teknologi Branded Hubs, biaya operasi kegiatan untuk meningkatkan pendapatan, pengembangan platform mogul.gg, dan ekspansi internasional.

“Kami senang karena kami mendapatkan dukungan yang signifikan melalui penjualan saham ini, mengumpulkan total investasi sebesar AU$3,97 juta,” kata Managing Director, Mogul, Gernot Abl, dikutip dari The Esports Observer. “Minat investor melebihi dari jumlah saham yang kami tawarkan. Sekarang, kami akan menyambut tahun depan dengan semangat, berusaha untuk memonetisasi platform berteknologi kelas dunia milik kami, mengembangkan strategi monetisasi kami, dan terus menjalin kerja sama dengan merek dan organisasi esports ternama.”

Mogul merupakan developer dari mogul.gg, platform matchmaking dan turnamen esports online untuk sejumlah game esports populer, seperti Fortnite, Dota 2, dan Mobile Legends. Platform itu dilengkapi dengan fitur chat dan streaming. Sementara “Branded Hubs” dari Mogul memungkinkan para publisher game untuk membuat kegiatan aktivasi merek di tingkat grassroot. Esports kini memang tengah menjadi pusat perhatian. Pada September lalu, pesaing Mogul, XY Gaming, mendapatkan investasi Seed senilai US$2,5 juta (sekitar Rp35 miliar).

Screenshot dari mogul.gg
Screenshot dari mogul.gg

Sementara itu, Managing Director of the Lead Manager, CPS Capital, Jason Peterson mengatakan bahwa mereka senang karena bisa mendukung Mogul. “Kami telah melihat perkembangan yang signifikan sejak tim Mogul meluncurkan Branded Hubs pada Agustus 2019, dan kami bangga untuk bisa menjadi bagian dari masa depan mereka,” ujarnya, menurut laporan The Market Herald.

Seiring dengan semakin dewasanya industri esports, semakin banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modal di perusahaan yang bergerak di bidang esports. Tak berhenti sampai di situ, mulai muncul badan permodalan yang mengkhususkan diri untuk mendanai perusahaan gaming dan esports, seperti Hiro Capital. Milyarder yang memiliki tim olahraga tradisional juga mulai tertarik untuk menyokong organisasi esports, seperti yang dilakukan oleh co-founder Alibaba Group, Joe Tsai dengan G2 Esports. Di Indonesia, ada beberapa organisasi esports yang telah mendapatkan dukungan perusahaan venture capital, seperti EVOS Esports dan ONIC Esports.

Dapat Investasi Rp140 Miliar, G2 Esports Mau Ekspansi ke Tiongkok

G2 Esports mendapatkan investasi senilai US$10 juta (sekitar Rp140 miliar) dari Joe Tsai, Co-founder Alibaba Group, melalui J Tsai Sports. Organisasi esports asal Jerman ini berharap, dengan kucuran dana ini, mereka akan dapat melakukan ekspansi ke Asia, khususnya Tiongkok, yang pasar esports-nya tengah berkembang pesat, baik dari segi penonton maupun pemain. League of Legends Pro League di Tiongkok merupakan liga League of Legends terbesar di dunia. Selain itu, tim Tiongkok berhasil memenangkan League of Legends World Championship pada tahun ini dan tahun lalu.

“Tantangan terbesar bagi tim asal Barat adalah untuk memahami budaya Tiongkok dan mengerti cara berpikir dari penonton Tiongkok,” kata Jens Hilgers, Co-founder dan Chairman dari G2 Esports, lapor Bloomberg. “Kami sudah memerhatikan hal itu, tapi jika kami memiliki pemilik asal Tiongkok, kami harap kami akan terbantu.” Joe Tsai terlahir di Taiwan. Dia pindah ke Amerika Serikat saat dia remaja dan sekarang dia juga memiliki kewarganegaraan Kanada.

Joe Tsai. | Sumber: VCG, Getty via Esports Insider
Joe Tsai. | Sumber: VCG, Getty via Esports Insider

G2 Esports memang ingin melakukan ekspansi ke Tiongkok, tapi mereka tak berencana untuk membuat tim sendiri di negara tirai bambu tersebut. Mereka hanya ingin membangun fanbase dengan membuat video dan media sosial untuk audiens esports di Tiongkok. Mereka berencana untuk mempekerjakan penulis, videografer, dan penerjemah bahasa Mandarin agar mereka bisa memahami perbedaan budaya antara Barat dan Tiongkok.

“Dari segi pemain, kami ingin menjadi tim Barat,” kata Hilgers. “Tapi kami ingin memiliki fans di Tiongkok sehingga ketika mereka menonton kompetisi internasional, mereka bisa mengenali G2 Esports, dan berkata, ‘Saya tahu tentang tim ini, saya mengikuti mereka di media sosial, dan mereka adalah tim favorit saya ketika saya tidak melihat tim asal negara saya sendiri.'”

Selain ekspansi ke Tiongkok, G2 juga berencana untuk membangun kantor baru di New York pada 2020. Menurut Hilgers, tidak banyak tim yang merepresentasikan New York di esports saat ini. Padahal, dia berkata, New York merupakan salah satu kota besar dengan budaya yang kaya di Amerika Serikat. “Ini adalah kesempatan bagi G2 untuk mengembangkan pasar di Pesisir Timur,” katanya, seperti dilaporkan oleh ESPN.

Sebelum ini, G2 Esports telah mendapatkan investasi sebesar US$17,3 juta (sekitar Rp242,5 miliar). Juru bicara tim esports itu dan J Tsai Sports menolak untuk berkomentar tentang valuasi dari G2. Namun, dua narasumber Bloomberg memperkirakan, valuasi G2 Esports kini mencapai sekitar US$100 juta (sekitar Rp1,4 triliun).

Sumber header: Esports Insider

Astralis Group Lakukan IPO

Astralis Group melakukan penawaran saham perdana (IPO) di Nasdaq First North Growth Market di Denmark. Mereka menjual 16.59.777 lembar saham dengan harga 8,95 Krone (sekitar Rp18.500) per lembar. Mereka hanya menjual saham di Denmark, tapi saham tersebut dapat dibeli melalui pialang, menurut kicauan Jacob Wolf dari ESPN.

Astralis Group, yang membawahi tim Counter-Strike: Global Offensive Astralis, tim League of Legends Origen, dan tim FIFA FutureFC, menjadi organisasi esports pertama yang melakukan IPO. Namun, tak tertutup kemungkinan, akan semakin banyak organisasi esports yang tertarik untuk mengikuti langkah Astralis Group dan melakukan IPO, lapor Dot Esports. Pada awal bulan Desember, CEO Astralis Group Nikolaj Nyholm menjelaskan bahwa salah satu alasan mereka memutuskan untuk melakukan IPO dan bukannya membuka ronde pengumpulan dana adalah karena mereka ingin bisa fokus pada rencana jangka panjang mereka.

Nyholm mengaku optimistis dengan keputusannya untuk melakukan IPO. Namun, dia sadar bahwa sebagian pihak mungkin enggan untuk menanamkan investasi di industri esports, yang belum memiliki rekam jejak yang panjang. “Dalam hal ini kami juga memiliki tanggung jawab untuk membantu mengedukasi pasar dengan memberikan informasi yang akurat terus menerus,” katanya.

Astralis saat memenangkan Intel Grand Slam | Sumber: ESL Gaming
Astralis saat memenangkan Intel Grand Slam | Sumber: ESL Gaming

Menurut laporan Newzoo, tahun ini, industri esports diperkirakan memiliki nilai US$1,1 miliar, tumbuh 26 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. Jumlah penonton yang terus naik membuat semakin banyak merek non-endemik tertarik menjadi sponsor. Pada puncaknya, League of Legends World Championship 2019 ditonton oleh 2,9 juta orang pada saat bersamaan, hampir dua kali lipat dari total penonton LWC tahun lalu. CEO Riot Games, Nicolo Laurent juga mengaku, beberapa liga League of Legends mereka — seperti liga di Tiongkok dan Korea Selatan — sudah menghasilkan untung.

Bukan hanya jumlah sponsor yang bertambah, tapi juga investor. Sekarang, semakin banyak investor yang berminat untuk mendukung pelaku esports, termasuk perusahaan venture capital. Di Indonesia, EVOS Esports dan ONIC Esports merupakan dua organisasi esports yang telah mendapatkan dukungan dari perusahaan venture capital. Semakin banyaknya investor yang tertarik masuk ke esports dianggap sebagai bukti bahwa industri ini telah menjadi semakin matang.

IPO Pada 9 Desember, Astralis Group Mau Kumpulkan Rp230 Miliar

Astralis Group berencana untuk melakukan penawaran saham perdana (IPO) pada 9 Desember 2019 di bursa saham Nasdaq Copenhagen. Mereka hendak menjual sahamnya senilai 8,95 kroner (sekitar Rp13,7 ribu) per lembar dan mengumpulkan 125 juta sampai 150 juta kroner (sekitar Rp192 miliar sampai Rp230 miliar). Menurut Per Hansen, ahli ekonomi investasi di Nordnet, kemungkinan, permintaan akan saham Astralis akan lebih tinggi dari jumlah saham yang mereka jual.

Esports dan potensi industri ini dalam lima tahun ke depan tengah menjadi bahan pembicaraan hangat sekarang,” kata Hansen, seperti dikutip dari Bloomberg. Dia juga mengatakan, waktu IPO Astralis tepat karena saat ini, nilai bunga tengah rendah membuat para investor tertarik untuk menanamkan investasi di perusahaan baru.

Memang, nilai industri esports pada tahun ini diperkirakan telah menembus US$1 miliar. Pada 2022, industri esports diduga akan memiliki nilai US$1,8 miliar. Saat ini, sekitar 82 persen dari total nilai industri esports datang dari investasi merek endemik dan non-endemik. Memang, pada Q3 2019, semakin banyak perusahaan non-endemik yang tertarik untuk menanamkan investasi di esports. Alasannya karena penonton esports yang terus naik. Pada 2019, jumlah penonton esports di dunia diperkirakan mencapai 443 juta orang. Angka ini diduga akan naik menjadi 495 juta orang pada 2020.

Jumlah penonton esports selama 2018-2020. | Sumber: Newzoo
Jumlah penonton esports selama 2018-2020. | Sumber: Newzoo

CEO Astralis Group, Nikolaj Nyholm yakin bahwa IPO mereka akan sukses. Salah satu alasan mengapa dia begitu percaya diri adalah karena mereka telah memiliki investor yang siap membeli saham mereka. Dia berkata, para investor ini berasal dari berbagai negara, mulai dari Eropa sampai Asia. Para investor tersebut telah menyiapkan dana sekitar US$8 juta (sekitar Rp113 miliar).

“Kami pecaya, merek-merek paling bernilai dan paling dikenal dalam 10 tahun ke depan sekarang tengah membangun pondasi mereka,” kata Nyholm. Jika IPO Astralis Group sukses, maka ini akan menjadi tolok ukur bagi organisasi esports lain yang juga berencana untuk melakukan IPO. Nyholm, yang pernah bekerja sebagai venture capitalist, berkata bahwa dia mengerti mengapa sebagian investor enggan untuk menanamkan modal di industri esports, mengingat industri ini masih sangat baru dan belum memiliki rekam jejak yang jelas. “Dalam hal ini kami juga memiliki tanggung jawab untuk membantu mengedukasi pasar dengan memberikan informasi yang akurat terus menerus,” ujarnya.

Nyholm menjelaskan, salah satu alasan Astralis Group untuk melakukan IPO dan bukannya mengumpulkan dana investasi lagi adalah untuk menemukan investor baru. Selain itu, dengan melakukan IPO, Astralis akan bisa fokus pada rencana jangka panjang mereka. Uang yang mereka dapatkan dari IPO ini akan digunakan untuk memperkuat posisi Astralis di pasar esports dengan mengembangkan merek dan media mereka. Astralis Group membawahi tiga tim esports, yaitu Astralis yang dikenal sebagai salah satu tim Counter-Strike: Global Offensive terkuat di dunia, Origen yang bertanding di League of Legends European Championship (LEC), dan Future FC, tim terbaru Astralis Group yang bertanding dalam game FIFA.

Sumber header: Astralis Group via Bloomberg

Dapat Investasi, Genvid Technologies Kembangkan Streaming Engine Interaktif

Genvid Technologies baru saja mendapatkan pendanaan senilai US$27 juta (sekitar Rp381 miliar) untuk mengembangkan streaming engine interaktif. Pendanaan kali ini dipimpin oleh Galaxy Interactive, divisi dari Galaxy Digital yang fokus untuk membantu perusahaan yang bergerak di bidang konten interaktif dan teknologi, khususnya yang terkait dengan game dan esports. Streaming engine interaktif buatan Genvid Technologies memungkinkan kreator untuk memonetisasi video live streaming via sponsorship dan pembelian saat streaming berlangsung (in-stream purchase). Tujuan dari Genvid untuk mengembangkan teknologi ini adalah untuk membuat streaming esports menjadi lebih interaktif.

“Sejak awal, kami memang ingin membuat tool untuk game developer agar mereka dapat memberikan pengalaman baru dalam menyiarkan konten,” kata CEO Genvid Technologies, Jacob Navok pada GamesBeat. “Kami mulai dengan esports, dan kami menunjukkan konten baru di Game Developers Conference tahun ini. Game-game baru dengan engine baru yang dibangun di bangun untuk diintegrasikan dengan teknologi Genvid. Kami menginvestasikan tool untuk game-game itu sehingga kami bisa mempercepat pertumbuhan kami.”

Dengan streaming engine interaktif buatan Genvid Technologies, para penonton akan bisa menyesuaikan konten yang mereka lihat ketika mereka menonton pertandingan esports. Memang, menurut CFO Activision Blizzard, Dennis Durkin pengalaman menonton pertandingan esports masih bisa ditingkatkan. Memudahkan masyarakat awam memahami apa yang terjadi selama pertandingan dipercaya akan membuat esports menjadi lebih populer.

Sekarang, penonton biasanya melihat apa yang terjadi selama pertandingan dengan sudut pandang pemain. Biasanya, ini membuat penonton awam tak sepenuhnya paham apa yang terjadi, terutama game dengan pace cepat seperti Overwatch. Dengan teknologi Genvid, penonton bisa meyesuaikan konten berdasarkan apa yang mereka ingin lihat. Ini juga akan menguntungkan pengiklan karena mereka bisa menampilkan iklan sesuai dengan selera penonton.

Untuk menunjukkan teknologinya, Genvid bekerja sama dengan operator Jepang, NTT Docomo di Tokyo Game Show. Dalam acara tersebut, Genvid memanfaatkan jaringan 5G NTT Docomo untuk menunjukkan acara streaming interaktif. Tujuan demonstrasai ini adalah untuk menunjukkan bagaimana jaringan 5G mobile bisa mengubah industri gaming dan esports.

Genvid dan NTT Docomo bekerja sama untuk memamerkan teknologi streaming baru via 5G | Sumber: VentureBeat
Genvid dan NTT Docomo bekerja sama untuk memamerkan teknologi streaming baru via 5G | Sumber: VentureBeat

“Streaming interaktif menggabungkan game dan media tradisional,” kata Navok. “Kami memungkinkan setiap penonton untuk melihat konten unik yang interaktif. Jika mereka ingin menonton pemain tertentu di tim esports, mereka bisa melakukan itu. Kami juga telah mengembangkan sekumpulan backend tools yang memungkinkan developer untuk membuat atau mengatur streaming interaktif dan menyiarkannya di berbagai platform.”

Genvid mengatakan, teknologi mereka telah digunakan oleh game developer indie maupun game publisher besar untuk memberikan konten gaming yang unik. Selain demonstrasi pada Tokyo Game Show, Navok berkata, teknologi Genvid juga digunakan dalam menyiarkan babak final dari turnamen Counter-Strike: Global Offensive di Twitch.

Investasi yang didapatkan oleh Genvid kali ini akan digunakan untuk mengembangkan fitur Software Development Kit (SDK) dan menyediakan paltform layanan end-to-end untuk para developer untuk mengembangkan streaming interaktif, mulai dari pengembangan web sampai integrasi dengan platform. Selain itu, Genvid juga akan melakukan ekspansi bisnis dengan masuk ke industri media dan olahraga tradisional.

Navok mengatakan, mereka tengah mengembangkan toolkit standar untuk para developer yang ingin membuat game dan broadcast mereka menjadi lebih interaktif seara real-time. “Kami akan terus memperbaiki tool kami dengan menambahkan fitur baru yang memanfaatkan 5G, teknologi televisi interaktif, dan dukungan untuk berbagai format media digital baru yang dibuat oleh developer pihak ketiga yang bekerja sama dengan Genvid,” ungkapnya.

Tim Genvid Technologies | Sumber: VentureBeat
Tim Genvid Technologies | Sumber: VentureBeat

Sekarang, ujar Navok, Genvid juga memiliki beberapa proyek baru terkait olahraga tradisional, yang akan memungkinkan penonton untuk menonton siaran langsung olahraga yang interaktif. Selain itu, Genvid juga sedang membuat format siaran televisi langsung yang memungkinkan penonton untuk menentukan apa yang terjadi selama siaran berlangsung. Genvid juga memulai proyek tentang konten gaming yang mereka buat dari nol. Selain perusahaan game, Genvid juga hendak mendekati perusahaan media dan perusahaan yang menyiarkan siaran olahraga.

Navok mengaku, walau Genvid memulai bisnisnya dengan menyediakan SDK untuk game, kini mereka juga ingin memasuki ranah olahraga dan media. “Kami telah memiliki beberapa prototipe yang memungkinkan Anda untuk menonton streaming interaktif ketika menonton siaran olahraga atau menonton reality show. Dan Anda dapat berinteraksi langsung dengan para aktor,” katanya. Dia menyebutkan, saat menghadapi perusahaan media besar, mereka harus dapat memberikan penjelasan yang lengkap tentang layanan apa saja yang bisa mereka berikan. “Salah satu kelebihan kami sebagai perusahaan adalah kami bisa menjalin kerja sama yang sangat dekat dengan mereka,” ujarnya.

Sumber header: VentureBeat

Infofed, Startup Esports Asal Bangkok Dapatkan Investasi

Infofed, startup yang bergerak di bidang virtual reality dan esports asal Bangkok, Thailand, baru saja mendapatkan pendanaan Pre-series A dari perusahaan media gaming Jepang, GameWith. Sayangnya, tidak diketahui berapa jumlah kucuran dana yang diberikan. Infofed mengatakan, mereka akan menggunakan dana segar ini untuk melakukan ekspansi ke kawasan Asia Tenggara. Mereka berencana untuk masuk ke Myanmar, Laos, dan Kamboja pada 2020.

Infofed didirikan pada 2015. Perusahaan ini menjadi one-stop service bagi perusahaan game, merek konsumen, dan juga komunitas esports dengan menyediakan platform online dan offline. Mereka mengoperasikan eArena, platform online untuk gamer profesional, yang memungkinkan mereka untuk membuat dan mengatur konten. Tak hanya itu, para pemain profesional tersebut juga dapat memanfaatkan platform itu untuk mengadakan pertandingan kompetitif dengan pemain lain.

Selain itu, Infofed juga menyelenggarakan acara dan turnamen di Thailand eSports Arena, yang bernilai US$1,5 juta. Perusahaan Bangkok ini mengklaim bahwa mereka telah menanamkan US$1,6 juta ke Infofed Ecosystem, yang mencakup eSports Arena, divisi produksi dan penyelenggaraan acara esports, serta bisnis pengembangan streamer dan influencer. Dengan ini, mereka berharap akan bisa menjadi pemimpin pasar untuk kawasan Asia Tenggara pada 2025.

Sumber: The Bangkok Post
Sumber: The Bangkok Post

“Setelah ronde pengumpulan dana ini, kami berencana untuk mengadakan beberapa kolaborasi esports yang akan memperkuat posisi kami sebagai pemimpin pasar dan menciptakan 10 ribu lowongan pekerjaan di bidang esports bagi generasi yang melek teknologi di kawasan Asia Tenggara pada 2025,” kata Jirayod Theppipit, Founder dan CEO Infofed, seperti yang dilaporkan oleh Tech in Asia.

Pada Februari 2019, Infofed mendapatkan investasi dari perusahaan venture capital dari Singapura KK Fund dan platform events marketing Thailand, Event PopShows. Ketika itu, mereka mengatakan bahwa mereka berencana untuk memperkuat bisnis esports mereka dan berencana untuk menjadi penyelenggara turnamen tidak hanya di rumah sendiri, tapi juga di kawasan Asia Tenggara.

Tahun ini, memang semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk menjadi investor dari perusahaan gaming dan esports, seperti Hiro Capital. Mengingat industri esports diperkirakan akan bernilai hampir US$3 miliar pada 2022, ini bukanlah hal yang aneh. Saat ini, perkembangan industri esports memang masih terfokus pada kawasan Amerika Utara, Eropa, Korea Selatan, dan Tiongkok. Namun, beberapa tahun ke depan, industri esports di negara-negara berkembang juga diperkirakan akan tumbuh pesat, termasuk di kawasan Greater Southeast Asia yang mencakup Asia Tenggara dan Taiwan.

Sumber header: Tech in Asia