Inovasi Alibaba Menjawab Potensi AI Generatif

AI generatif merupakan salah satu jenis teknologi kecerdasan buatan yang dapat menghasilkan berbagai jenis konten antara lain teks, citra, audio, dan data sintetik. Tren AI generatif kini semakin terdorong karena didorong oleh ramahnya tampilan UI/UX sehingga memudahkan pengguna baru untuk membuat teks, grafik, dan video berkualitas tinggi dalam hitungan detik.

AI generatif sangat menjanjikan dalam segala hal, terutama dalam digital marketing karena perusahaan dapat dengan mudah menciptakan konten marketing yang baru dan unik. Dalam proses analisis data, algoritma pada AI generatif akan melatih diri mereka untuk menghasilkan konten yang lebih akurat dan sesuai dengan data konsumen yang dimiliki perusahaan.

Itu baru bicara satu pekerjaan yang terbantu, masih banyak potensi menjanjikan lainnya untuk pekerjaan lainnya. Topik ini menjadi salah satu yang diangkat oleh Joe Tsai, Executive Vice Chairman Alibaba Group, dalam paparannya di hari pertama BEYOND EXPO 2023 yang digelar pada hari ini (10/5).

Menurutnya, sejak ChatGPT mempopulerkan AI generatif pada tahun lalu, membuka mata pada dunia bahwa ini akan mengubah cara industri kreatif membuat konten dan memainkan faktor penting ke depannya. “Salah satu industri yang berubah karena inovasi ini adalah hiburan digital,” kata Tsai.

Inovasi dari Alibaba untuk permudah industri hiburan digital dapat lebih efisien dengan menghasilkan konten terbaik adalah menghadirkan Zreal Studio. Produk ini berada di bawah unit divisi Digital and Media Entertainment Group. Belum banyak informasi yang bisa didapatkan terkait ini di internet.

Tsai bilang, teknologi yang dibangun Zreal Studio ini mampu membuat digital artist dengan karakter sesuai keinginan (Artificial Intelligence Generated Content/AIGC). Ia mendemonstrasikan iklan yang menampilkan artis buatan bernama Leah.

“Dengan digitalisasi, kita dapat menyatukan olahraga yang sangat Amerika, seperti baseball, dengan seseorang [aktris AI Leah] yang dibuat dalam citra aktris Tiongkok. Kemudian kita dapat menggabungkan keduanya menjadi semacam adegan Tiongkok-Amerika dalam mempromosikan bisbol Liga Utama.”

Tak hanya itu, dia juga menunjukkan bagaimana layar LED canggih dapat secara signifikan memangkas ruang yang dibutuhkan untuk syuting film dan menyederhanakan logistik pengoperasiannya. Biasanya secara tradisional sebuah studio film untuk membuat hal yang serupa rata-rata butuh waktu satu bulan. Akan tetapi dengan AI generatif waktunya dipangkas hingga tiga minggu menjadi satu minggu saja. “Karena digitalisasi gambar bisa lebih cepat dan bisa menjadi aset digital buat perusahaan.”

Ia melanjutkan, “dengan panel LED, kami dapat membuat studio dengan ruang yang sangat kecil. Kami memiliki studio di Beijing seluas sekitar 2.000 meter persegi yang dapat menangani semuanya. Kami memiliki ratusan ribu adegan yang Anda buat sebelumnya dan tampilkan di layar. Itu membuat syuting film menjadi sangat mudah, jadi Anda tidak perlu pergi ke berbagai lokasi film.”

Dilanjutkan dengan diskusi panel, selain Tsai, bergabung pula Jin Liqun (President dan Chairman, Asian Infrastructure Investment Bank), Andrew Sheng (Chief Consultant with China Banking & Insurance Regulatory Commission), dan Kishore Mahbubani (mantan Presiden Dewan Keamanan PBB).

Topik AI generatif kembali dibahas dalam diskusi dengan tema besar “What’s Next” tersebut. Dari sekian banyak kekhawatiran dari kehadiran AI dan produk turunannya karena secara filosofis dapat memisahkan manusia dengan ikatan fisik sebagai makhluk sosial. Tak heran, wacara berbagai pekerjaan dapat terganti oleh robot belakangan semakin kencang.

Tsai justru berpendapat ia tidak sepenuhnya sepakat dengan kekhawatiran tersebut. Mau bagaimanapun peran manusia dalam kehidupan nyata itu tidak tergantikan. Otak manusia lebih unggul dari robot karena memiliki miliaran neuron yang bisa berkomunikasi dengan triliunan koneksi.

“Jangan pernah lupa bahwa kita benar-benar perlu berbicara satu sama lain secara fisik. Intinya, apa yang kita lihat hari ini adalah perceraian, di mana Anda saling mengirim email. Mungkin Anda menggunakan cara pertama yang lebih baik untuk menjelaskan mengapa Anda tidak setuju.”

Ia melanjutkan, “Tetapi implikasi fisiknya sangat besar. Kita bisa memecahkan banyak hal melalui imajinasi. Tetapi jika kita tidak berhati-hati, imajinasi yang terdistorsi dapat benar-benar menyebabkan dunia nyata berada dalam ketidakseimbangan yang serius.”

Kompetitor ChatGPT

Pada bulan lalu, Alibaba meluncurkan produk sejenis ChatGPT yang disebut Tongyi Qianwen, menyusul perusahaan teknologi raksasa lainnya yang juga memperkenalkan chatbot AI generatif buatan mereka sendiri.

Mengutip dari BBC, Tongyi Qianwen secara kasar diterjemahkan sebagai “mencari jawaban dengan mengajukan seribu pertanyaan”. Belum ada versi Bahasa Inggris dari produk tersebut.

“Kami berada pada momen penentuan teknologi yang didorong oleh AI generatif dan komputasi awan,” kata Chairman dan Chief Executive Alibaba Daniel Zhang.

Disebutkan, Tongyi Qianwen mampu bekerja dalam bahasa Inggris dan Tiongkok, rencana awalnya akan ditambahkan ke DingTalk, aplikasi messaging milik Alibaba. Tongyi Qianwen dapat melakukan sejumlah tugas, termasuk mengubah percakapan dalam rapat menjadi catatan tertulis, menulis email dan menyusun proposal bisnis. Integrasi berikutnya akan disematkan ke dalam Tmall Genie, yang mirip dengan asisten suara Alexa dari Amazon.

Pada awal tahun ini, Alibaba DAMO Academy (DAMO) memaparkan prakiraan tahunannya tentang tren teknologi terkemuka yang dapat membentuk banyak industri di tahun-tahun mendatang. Di antara tren teknologi terkemuka, AI generatif telah memperoleh daya tarik yang cukup besar.

Diharapkan inovasi ini membuat langkah lebih lanjut dengan aplikasinya yang terus berkembang untuk mengubah cara konten digital diproduksi. Dibantu oleh kemajuan teknologi di masa depan dan pengurangan biaya, AI generatif akan menjadi teknologi inklusif yang secara signifikan dapat meningkatkan variasi, kreativitas, dan efisiensi pembuatan konten, menurut DAMO.

“Dalam tiga tahun ke depan, kita akan melihat model bisnis muncul dan ekosistem menjadi matang karena AI Generatif dipasarkan secara luas. Model AI generatif akan lebih interaktif, aman, dan cerdas, membantu manusia menyelesaikan berbagai pekerjaan kreatif,” tulis laporan tersebut.

*) DailySocial.id merupakan media partner dari BEYOND EXPO 2023

Alibaba’s “New Retail” Concept Becomes Leading Innovation, Trying To Change “11.11 Shopping Party” Paradigm

Contrary to the previous years that focused on record-breaking Gross Merchandise Value (GMV), the giant e-commerce Alibaba has a different approach to measuring the success of the world’s largest 24-hour 11.11 shopping show in 2017. This can be a guidance for local e-commerce activists who have managed the country’s shopping party theme for 11.11 and 12.12.

DailySocial with several other media outlets get a chance to experience the euphoria of Alibaba’s 11.11 this year directly in Shanghai, China. Tmall, the B2C marketplace platform, became Alibaba’s leading platform for shopping party. It was mentioned this year that there are 140 thousand participated brands. Total GMV recorded by Alibaba last year has reached $17.8 billion a day (more than 240 trillion rupiah).

In front of the media, Alibaba Co-Founder and Vice Chairman Joe Tsai revealed, discount is just a method [to increase sales]. Nevertheless, he revealed Alibaba focus for this year’s 11.11 is also about innovative ideas and entertainment elements. Innovative ideas include the use of the “New Retail” scheme that became the company’s new feature.

Tsai continued, GMV is no longer the only important metric at this 11.11 party. In his opinion, another important number is how many people following this 24 hour event, how many orders can be sent, and how many transactions can be handled per second. The last factor is to show the robustness of Alibaba’s system.

Defining “New Retail”

In China, the comparison between offline and online retail schemes is 82% and 18%. The 18% rate is certainly bigger compared to the penetration of e-commerce sectors in other countries, but Alibaba sees far greater potential by combining offline retail, technology, and infrastructure.

Hema, which literally means hippo in Chinese, is the future offline retail prototype to become the embodiment of Alibaba’s vision for the past 2 years.

Hema Supermarket in Shanghai, China / DailySocial
Hema Supermarket in Shanghai, China / DailySocial

Judging by its cover, Hema looks like an ordinary supermarket. Different new experiences will be felt by entering. Using the Hema app, we can feel how online and offline habits combined.

Consumers can buy goods directly, then paid independently using Alipay, or they prefer the goods to be delivered by courier to their house. The last method is similar to the several ones applied in Indonesia by HappyFresh and Honestbee.

No delivery fee required, no minimum value for each transaction, and maximum radius reached is 3 km. The goods claimed to be able to deliver within 30 minutes.

Alibaba representative said, Hema was developed not to compete with existing brick and mortar businesses. Hema is mentioned to be the prototype of how the offline retail industry is combined with infrastructure and technology. This concept is expected to be adopted by the partners in order to create a better omnichannel experience.

In creating Hema, Alibaba “cuts” the middle man so that the value of the offered goods is claimed to be 10% cheaper than the traditional market.

How to pay in Hema independent cashier / DailySocial
How to pay in Hema independent cashier / DailySocial

The payment method is interesting. Using standalone cash register, there are 2 types of payment methods after scanning the barcode. The first is using QR code which will be paid later using mobile payment platform Alipay. This is the most common payment method.

The second is using face recognition technology. This method can only be used by Chinese citizens. By entering a phone number, data population in Alibaba database will check the buyer’s validity using face recognition technology. The data then will be linked to Alipay account.

Beside Hema, in several pop up stores Alibaba provides showcase on how technology can improve the experience of people shopping online.

The magic mirror concept, which implements augmented reality concept, helps consumers to stick the lippen without having to use them directly. There is also vending machine that has a touch screen menu to shop online.

RFID tech is used to make cashier scanning much easier / DailySocial
RFID tech is used to make cashier scanning much easier / DailySocial

The last is RFID technology utilization which will display the online catalog of the product if applied to a barcode. The same technology will also be developed so that the items placed on a readable RFID surface will be read automatically in the checkout POS without having to manually check the goods barcode.

In Joe’s opinion, currently there is no difference between the purchase online and offline. Sometimes people browse the goods online, then buy offline, or vice versa. The concept of omnichannel experience like this should be the future of the retail industry.


The original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Konsep “New Retail” Alibaba Jadi Inovasi Unggulan yang Mencoba Ubah Paradigma Pesta Belanja 11.11

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang fokus di pemecahan rekor Gross Merchandise Value (GMV), raksasa e-commerce Alibaba tahun 2017 ini memiliki pendekatan berbeda untuk mengukur keberhasilan pagelaran pesta belanja 24 jam terbesar di dunia 11.11. Hal ini bisa menjadi panduan penggiat e-commerce lokal yang sudah membudayakan tema pesta belanja di tanah air untuk 11.11 dan 12.12.

DailySocial dan sejumlah rekan media mendapatkan kesempatan langsung ikut merasakan euforia 11.11 Alibaba yang tahun ini dipusatkan di Shanghai, Tiongkok. Tmall, platform marketplace B2C, menjadi platform unggulan Alibaba menggelar pesta belanja dengan harapan mendorong tingkat konsumsi masyarakat sekaligus memperkenalkan sejumlah brand yang menjadi mitranya. Disebutkan tahun ini ada 140 ribu brand yang turut berpartisipasi. Tahun lalu total GMV yang dibukukan Alibaba dalam sehari mencapai $17,8 miliar (lebih dari 240 triliun Rupiah).

Kepada media, Co-Founder dan Vice Chairman Alibaba Joe Tsai mengungkapkan, diskon adalah sebuah cara [untuk meningkatkan penjualan]. Meskipun demikian, ia mengungkapkan tahun ini fokus Alibaba untuk 11.11 juga soal ide inovatif dan unsur hiburan. Ide inovatif di sini termasuk pemanfaatan skema “New Retail” yang menjadi unggulan perusahaannya.

Joe melanjutkan, GMV tidak lagi menjadi satu-satunya metrik yang menjadi acuan di pesta 11.11 kali ini. Menurutnya, angka penting lain yang menjadi perhatian adalah berapa jumlah orang yang mengikuti acara 24 jam ini, berapa jumlah pesanan yang bisa dikirim, dan berapa jumlah transaksi yang bisa di-handle setiap detiknya. Faktor terakhir untuk menunjukkan robustness sistem yang dimiliki Alibaba.

Mendefinisikan “New Retail”

Di Tiongkok disebutkan saat ini perbandingan antara skema ritel offline dan online adalah 82% dan 18%. Angka 18% tentu saja besar jika dibandingkan dibanding penetrasi sektor e-commerce di negara-negara lain, tetapi Alibaba melihat potensi yang jauh besar dengan mengombinasikan ritel offline, teknologi, dan infrastruktur.

Hema, yang dalam bahasa Mandarin artinya kuda nil, adalah prototipe ritel offline masa depan yang menjadi pengejawantahan visi Alibaba dalam 2 tahun terakhir.

Supermarket Hema di Shanghai, Tiongkok / DailySocial
Supermarket Hema di Shanghai, Tiongkok / DailySocial

Dari luar Hema tampak seperti pasar swalayan biasa. Pengalaman berbeda baru terasa ketika kita berada di dalamnya. Menggunakan aplikasi Hema, kita bisa merasakan bagaimana kebiasaan offline dan online digabungkan.

Konsumen bisa membeli barang secara langsung, kemudian dibayar secara mandiri menggunakan Alipay, atau memilih barang-barang tersebut dikirimkan menggunakan kurir ke rumah. Yang terakhir ini mirip dengan apa yang sudah diterapkan di Indonesia oleh HappyFresh dan Honestbee.

Disebutkan tidak biaya pengantaran, tidak ada nilai minimum untuk setiap transaksi, dan maksimal radius yang dijangkau adalah 3 km. Diklaim barang bisa dikirim dalam waktu 30 menit.

Perwakilan Alibaba mengemukakan, Hema dikembangkan tidak untuk menyaingi bisnis brick and mortar yang sudah ada. Hema disebutkan menjadi prototipe bagaimana industri ritel offline dikombinasikan dengan infrastruktur dan teknologi. Harapannya konsep ini akan diadopsi para mitra demi menciptakan pengalaman omnichannel yang lebih baik.

Dalam menciptakan Hema, Alibaba “memotong” middle man sehingga nilai barang-barang yang ditawarkan diklaim 10% lebih murah ketimbang pasar tradisional.

Cara membayar di kasir mandiri Hema / DailySocial
Cara membayar di kasir mandiri Hema / DailySocial

Cara pembayarannya pun menarik. Menggunakan kasir mandiri, setelah memindai barcode barang-barang yang diinginkan, ada 2 jenis metode pembayaran. Yang pertama adalah menggunakan QR code yang kemudian dibayar menggunakan platform mobile payment Alipay. Ini cara pembayaran paling umum.

Yang kedua adalah menggunakan teknologi /face recognition/. Metode ini hanya bisa dipakai warga negara Tiongkok. Dengan memasukkan nomor telepon, basisdata Alibaba yang menyimpan data penduduk akan mengecek validitas pembeli menggunakan teknologi pengenalan wajah . Dari situ data dihubungkan dengan akun Alipay.

Selain Hema, di sejumlah pop up store Alibaba memberikan showcase bagaimana teknologi bisa meningkatkan pengalaman orang berbelanja secara online.

Konsep magic mirror, yang mengimplementasikan konsep augmented reality, membantu konsumen mematut diri dengan lipstik tanpa harus menggunakannya secara langsung. Ada pula vending machine yang memiliki menu layar sentuh untuk berbelanja online.

Pemanfaatan teknologi RFID untuk mempermudah pemindaian barang di kasir / DailySocial
Pemanfaatan teknologi RFID untuk mempermudah pemindaian barang di kasir / DailySocial

Yang terakhir adalah pemanfaatan teknologi RFID yang jika diaplikasikan ke barcode sebuah baju akan menampilkan katalog online produk tersebut. Teknologi yang sama juga dikembangkan sehingga barang yang ditaruh di sebuah permukaan yang bisa membaca RFID akan terbaca secara otomatis di POS kasir tanpa perlu secara manual mengecek barcode barang.

Menurut Joe, saat ini bisa dibilang sudah tidak ada perbedaan antara pembelian secara online maupun offline. Kadang orang melakukan browsing barang secara online, kemudian membeli secara offline, atau sebaliknya. Konsep pengalaman omnichannel seperti ini seharusnya menjadi masa depan industri ritel.