“Micro Payment” Jadi Alternatif Industri Media untuk Mendorong Monetisasi Konten Berbayar

Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar dalam hal konsumsi digital. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Seluruh Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet pada kuartal kedua 2020 telah mencapai 196,7 juta atau 73,7% dari total populasi.

Pasar Indonesia juga cukup tinggi dalam hal konsumsi konten digital, terutama yang berkaitan dengan segmen hiburan, seperti musik, film, dan video. Sebagian besar platform digital sudah mulai menerapkan sistem berlangganan (subscription) untuk memonetisasi bisnisnya.

Namun, bagaimana dengan monetisasi di industri media? Apakah pasar Indonesia sudah siap untuk mengonsumsi konten berbayar?

Simak paparan dan temuan menarik yang akan dibagikan oleh Founder & CEO DailySocial Rama Mamuaya, Co-founder & CCO Fewcents Dushyant Khare, dan Founder & Editor in Chief DealStreetAsia Joji Thomas Philip pada sesi bertajuk “Micro Payment: Is it possible to convert free readers to start paying for content?” yang diadakan Indonesia Digital Association.

Arti pandemi terhadap industri media

Sejumlah media (mungkin) baru terdorong untuk mulai memonetisasi kontennya di situasi pandemi. Hal ini juga yang salah satunya mulai diterapkan oleh DailySocial efektif sejak akhir November 2020.

Rama mengatakan, DailySocial sedang mencoba model berlangganan dengan tiga skema, yakni pay per view, monthly, dan annually subscription. Menurutnya, ketiga skema ini dipilih karena konsep berlangganan berita terbilang yang lebih preferable bagi pembaca Indonesia.

“Sudah ada konten berlangganan semacam Netflix dan Spotify, but when it comes to news, konsep ini terbilang weird bagi pasar Indonesia. Setelah kami coba, hasilnya monthly revenue dan annual membership kami mulai naik. Ini tidak terduga karena 80% konten kami berbahasa Indonesia. Apalagi di awal kami sempat khawatir trafik akan turun,” ujar Rama.

Dari sisi bisnis, Rama menilai sistem berlangganan dapat membantu team bisnis dan editorial dalam membuat keputusan. Hal ini karena biasanya kedua tim ini dinilai sering berbenturan jika bicara soal memproduksi konten berkualitas, tetapi bisa dimonetisasi. “Dengan sistem berlangganan, kami jadi tahu kategori konten seperti apa yang banyak dibaca pengguna,” tambahnya.

Sementara menurut Joji, pandemi membawa dampak positif terhadap bisnisnya. Dengan situasi Work From Home (WFH), masyarakat memiliki waktu untuk mengeksplorasi konten. Dan hal ini berdampak terhadap peningkatkan jumlah pelanggan sebesar 60% dibandingkan 2019.

Sejak awal berdiri, ungkapnya, DealStreetAsia memang berkomitmen untuk membangun world class jorunalism product yang tidak bertumpu pada trafik, tetapi dari subscription. Mereka berupaya memproduksi konten yang membawa impact dan value kepada pembaca sehingga mendorong kemauan pembaca untuk membayar.

“Yang kami pelajari selama pandemi ini adalah, kami meluncurkan banyak produk komplimentari bagi pelanggan, seperti research report dan database. Overall, sebagai sebuah perusahaan, [bisnis] kami tumbuh 30%, memang tidak sesuai target, tetapi tidak ada yang pernah tahu pandemi bakal terjadi,” ujarnya.

Tantangan industri media menerapkan sistem berlangganan

Bagi Rama, tantangan terbesar industri media dalam memperkenalkan sistem berlangganan adalah mengedukasi pengguna Indonesia. Terlebih bagi industri media dengan cakupan pemberitaan umum yang fokus terhadap page views.

Selain itu, ia menilai bahwa pasar Indonesia masih sangat enggan untuk mengeluarkan budget untuk berlangganan konten media. Contohnya saja, artikel mengenai riset dan analisis seharga Rp50.000 dinilai masih mahal bagi pengguna.

Kendati demikian, bagi media niche seperti DailySocial, menurutnya upaya yang dilakukan selama bertahun-tahun untuk memproduksi konten berkualitas dan tidak bermain di page views membuahkan hasil.

“Ketika kami switch ke premium, mereka sudah paham bahwa kami menyediakan konten berkualitas dan percaya konten ini hanya ada di DailySocial,” paparnya.

Micro payment menjadi alternatif untuk monetisasi

Dalam presentasinya, Dushyant memaparkan sejumlah temuan menarik terkait pasar Indonesia terkait monetisasi di industri media. Paparan ini juga berdasarkan dari pengalamannya bekerja sama dengan banyak publisher di Asia Tenggara dan India. Menurutnya, ia sangat familiar terhadap tantangan yang dihadapi publisher saat ini.

Umumnya, ada dua model monetisasi yang dipakai industri media, yakni iklan dan berlangganan. Kelebihan iklan adalah dapat memonetisasi semua pengguna, sayangnya revenue per user sangat rendah. Memang ada banyak media yang mulai memberlakukan sistem berlangganan, tapi hanya sedikit yang mau berlangganan. Ketika pandemi menghantam, publisher memikirkan cara untuk memonetisasi mengingat ads yield turun akibat Covid-19.

“Selama beberapa tahun terakhir, iklan berkontribusi besar terhadap pendapatan media sehingga mereka banyak fokus memproduksi artikel yang punya page views tinggi. Sekarang, mereka sepertinya mulai pivoting untuk mengoptimalkan kualitas konten,” katanya.

Dalam temuannya, ia menemukan ada big gap dalam hal monetisasi revenue per user di iklan dan langganan. Sekitar 60%-70% pasar Indonesia disebut tidak pernah mau membayar konten digital. Hal ini bukan karena mereka tidak bisa membayar, hanya saja pasar Indonesia cenderung menyukai konten gratis. Kendati demikian, sebanyak 30%-50% pengguna punya kemauan untuk membayar.

“Mereka mulai paham, untuk menikmati konten bagus ya harus bayar. Makanya, kami pikir micro payment bisa address dan take advantage di sini. Di sini modelnya bukan berbasis subscription, tetapi value for money,” ujar Khare.

Ia juga menemukan sejumlah tantangan dalam aspek user readiness terhadap sistem berlangganan. Pertama, ada kecenderungan terhadap subscription fatigue. Contohnya, apabila pengguna sudah berlangganan di New York Times, kecil kemungkinan mereka akan berlangganan di media lain.

Kedua, loyalitas pengguna masih rendah di mana sebanyak 72% mengonsumsi konten dari media sosial. Dan ketiga, terkait digital spending. Menurut data Statista di 2019, pengguna Indonesia hanya mengeluarkan sekitar $30 untuk layanan digital per bulannya, dan kebanyakan untuk belanja di e-commerce. “Itu saja e-commerce, apalagi digital content. Makanya model subscription may not be best di Indonesia,” ucapnya.

Kendati demikian, ia menilai pandemi membawa momentum yang tepat untuk mengaplikasikan model micro payment, seperti yang dilakukan Fewcents dengan sistem pay per view. Terlebih, sistem pembayaran saat ini sudah semakin variatif dan memudahkan pengguna.

Two years ago, the payment infrastructure that we see today or take for granted, actually not really there. And now all coming together in terms of timing, mereka mau mengonsumsi konten berkualitas dan ini menjadi suatu hal yang baik bagi micropayment.”

 

Nikkei Announces Major Share Acquisition of Investment News Portal DealStreetAsia

Nikkei Inc, also known as the owner of Financial Times (FT) portal and Nikkei Asian Review, today (4/26) announces acquisition over DealStreetAsia’s major shares. The agreement is to provide flexibility for Nikkei Group to expand network coverage related to the startup ecosystem and tech industry in Asia.

The acquisition leaves minor shares for Mint, an India-based business media as the previous investors. While the other, including SPH Ventures, North Base Media, Aplha JWC, Ozi Amanat’s K2 VC, SGAN, Vijay Shekhar Sharma, and Jim Rogers decided to exit.

DealStreetAsia is a Singapore-based media startup focused on news related to private equity and venture capital – including information of startup business and funding in Southeast Asia and India.

“I’m glad to welcome DealStreetAsia into Nikkei Group. We’re to expand network together of the rising technology landscape and startup in Asia focusing on editorial development and Nikkei Asian Review as the leading product in our global strategy,” Nikkei Inc’s President & CEO, Naotoshi Okada said.

The acquisition seems like Nikkei’s strategy to expand coverage. In March 2019, they also announced a major share acquisition over The Next Web. FT itself was an acquisition result in 2015.

“Joining Nikkei will help us accelerate mission to help PE-VC industry and dealmakers to understand the megatrend changes in this sector. As our coverage expands across Asia, we look forward for further collaboration with various publication and other Nikkei’s business groups, such as FT, Nikkei Asian Review, and ScoutAsia.” DealStreetAsia’s Founder & Editor in Chief, Joji Thomas Philip said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Nikkei Umumkan Akuisisi Saham Mayoritas Portal Berita Investasi DealStreetAsia

Nikkei Inc atau yang lebih dikenal sebagai pemilik portal Financial Times (FT) dan Nikkei Asian Review, hari ini (26/4) mengumumkan akuisisinya terhadap mayoritas saham DealStreetAsia. Kesepakatan tersebut dinilai akan memberikan keleluasaan bagi Nikkei Group memperluas jangkauan liputan terkait ekosistem startup dan industri teknologi di Asia.

Adanya akuisisi ini masih menyisakan saham minoritas untuk Mint, media bisnis dari India yang menjadi investor sebelumnya. Sementara investor lainnya, meliputi SPH Ventures, North Base Media, Aplha JWC, Ozi Amanat’s K2 VC, SGAN, Vijay Shekhar Sharma, dan Jim Rogers memutuskan untuk exit.

DealStreetAsia merupakan startup media berbasis di Singapura yang fokus memberitakan terkait private equity dan venture capital — termasuk informasi tentang pendanaan dan bisnis startup di Asia Tenggara dan India.

“Saya menyambut dengan gembira bergabungnya DealStreetAsia ke dalam Nikkei Group. Kami akan bersama-sama memperluas liputan terkait lanskap teknologi dan startup di Asia yang terus berkembang dengan pesat, dengan fokus pada pengembangan editorial dari Nikkei Asian Review yang merupakan produk unggulan dalam strategi global kami,” sambut Presiden & CEO Nikkei Inc Naotoshi Okada.

Tampaknya akuisisi menjadi salah satu strategi perluasan cakupan Nikkei. Pasalnya pada bulan Maret 2019 lalu, pihaknya juga mengumumkan telah mengakuisisi mayoritas saham milik portal The Next Web. FT pun hasil dari proses akuisisi yang dilakukan pada tahun 2015.

“Bergabung dengan Nikkei akan membantu kami dalam melakukan akselerasi misi dalam membantu industri PE-VC serta dealmakers untuk memahami perubahan megatren pada sektor ini. Seiring dengan ekspansi liputan kami di penjuru Asia, kami menantikan kolaborasi lebih lanjut dengan berbagai bentuk publikasi serta kelompok usaha Nikkei yang lain, seperti FT, Nikkei Asian Review, dan scoutAsia,” ujar Founder & Editor in Chief DealStreetAsia Joji Thomas Philip.