5 Kamera Terbaik Canon dari Berbagai Kategori yang Bisa Dibeli Saat Ini

Popularitas Canon di industri kamera tentu sudah tidak perlu diragukan lagi. Sejarah mencatatnya sebagai pabrikan asal Jepang pertama yang memproduksi kamera 35 mm di tahun 1934, dan produk-produknya hingga kini dipercaya dari kalangan fotografer dan videografer amatir sampai profesional.

Sebagai produsen kamera yang sudah eksis sejak lama, wajar kalau portofolio produk Canon kini mencakup banyak kategori sekaligus. Artikel ini bermaksud untuk menyoroti lima kamera terbaik Canon yang bisa konsumen beli saat ini, dari kategori kamera point-and-shoot hingga kamera untuk kebutuhan profesional.

Kamera point-and-shoot Canon terbaik: Canon PowerShot G7 X Mark III

Canon memang sudah lama tidak merilis kamera baru di kategori ini, akan tetapi G7 X Mark III masih tergolong sangat kapabel hingga sekarang. Sensor 1 inci bertipe stacked-nya tak hanya mampu menghasilkan foto 20 megapiksel yang menawan, tapi juga mendongkrak kinerjanya secara drastis. Andai diperlukan, kamera ini siap ‘memberondong’ tanpa henti dengan kecepatan 30 fps.

G7 X Mark III juga sangat kapabel untuk video dengan kemampuan merekam di resolusi 4K 30 fps dan bitrate 120 fps. Kamera ini kerap menjadi pilihan vlogger berkat layarnya yang bisa dihadapkan ke depan, tidak ketinggalan pula mode khusus untuk live streaming langsung ke YouTube.

Banderol Rp9.499.000 memang tidak bisa dibilang murah, tapi kalau Anda menginginkan yang terbaik di kategori point-and-shoot, G7 X Mark III adalah salah satu kandidat yang tepat.

Link pembelian: Canon PowerShot G7 X Mark III

Kamera mirrorless entry-level Canon terbaik: Canon EOS M200

Dengan banderol cuma Rp6.499.000 (sudah termasuk lensa 15-45mm f/3.5-6.3 IS STM), Canon EOS M200 merupakan pilihan bijak bagi yang baru memulai hobi fotografi dan ingin membeli kamera mirrorless pertamanya. Perangkat dibekali sensor APS-C 24 megapiksel, lengkap beserta sistem Dual Pixel autofocus yang amat cekatan.

Kemampuan videonya pun cukup mumpuni, tapi sayangnya ia memiliki crop factor yang cukup besar saat dipakai merekam dalam resolusi 4K. Terlepas dari itu, bodinya yang sangat ringkas membuat kamera ini bisa diandalkan kapan saja dan di mana saja. Ditandemkan dengan lensa pancake, kamera ini dapat disimpan di dalam saku celana.

Link pembelian: Canon EOS M200 (body only)

Kamera mirrorless APS-C Canon terbaik: Canon EOS M6 Mark II

Bagi yang belum tertarik lompat ke segmen full-frame, Canon EOS M6 Mark II bisa jadi alternatif yang menarik. Entah untuk keperluan fotografi maupun videografi, M6 Mark II siap menjalankan tugasnya dengan baik, dan ia merupakan lawan yang sepadan buat Sony A6400 maupun Fujifilm X-T30.

Dibanderol Rp12.999.000 (body only), M6 Mark II mengandalkan sensor APS-C 32,5 megapiksel, prosesor DIGIC 8, dan sistem Dual Pixel AF yang reliabel. Urusan video, ia sanggup merekam dalam resolusi 4K 30 fps tanpa crop sedikitpun, dan sistem Dual Pixel AF-nya juga dapat tetap bekerja dalam mode ini.

Link pembelian: Canon EOS M6 Mark II (body only)

Kamera mirrorless full-frame entry-level Canon terbaik: Canon EOS RP

16 juta tapi full-frame, itulah daya tarik utama dari kamera ini. EOS RP ditujukan bagi mereka yang ingin beralih dari APS-C ke full-frame — khususnya yang memiliki bujet terbatas — guna mendapatkan hasil foto yang lebih baik di kondisi low-light. Meski cuma mengusung sensor beresolusi 26 megapiksel, foto yang dihasilkan EOS RP jelas lebih bagus ketimbang yang dijepret menggunakan kamera mirrorless APS-C.

Kekurangan EOS RP terletak pada kapabilitas videonya, terutama akibat crop factor yang kelewat besar, serta sistem Dual Pixel AF yang tidak bisa aktif di resolusi 4K. Kalau porsi penggunaan Anda berimbang antara foto dan video, saya lebih menyarankan EOS M6 Mark II tadi daripada EOS RP. Namun kalau lebih dominan foto, EOS RP bisa jadi pertimbangan.

Link pembelian: Canon EOS RP (body only)

Kamera mirrorless full-frame Canon terbaik: Canon EOS R5

Buat yang menginginkan kamera mirrorless terbaik dari Canon, pilihannya jatuh pada EOS R5 yang dijual seharga Rp64.850.000. Ia mengemas sensor full-frame 45 megapiksel dan prosesor DIGIC X, plus sistem Dual Pixel AF generasi baru yang mencakup permukaan sensor secara keseluruhan.

Urusan video, EOS R5 juga sangat mumpuni dengan kemampuan merekam dalam resolusi 8K 30 fps selama 30 menit nonstop, atau 4K 120 fps untuk mengabadikan adegan slow-motion. EOS R5 memang bukan kamera mirrorless Canon yang paling mahal, tapi ia adalah yang paling versatile.

Link pembelian: Canon EOS R5 (body only)

Gambar header: Robin McSkelly via Unsplash.

10 Kamera untuk Video dengan Harga Kurang dari 10 Juta Rupiah yang Bisa Dibeli di Indonesia

Hampir semua kamera modern, termasuk halnya smartphone, bisa digunakan untuk menjepret foto dan merekam video sekaligus. Kendati demikian, tidak semuanya betul-betul didedikasikan untuk perekaman video.

Memilih kamera untuk video pada dasarnya lebih rumit ketimbang memilih kamera untuk foto, sebab yang perlu diperhatikan bukan cuma resolusi video yang dapat dihasilkan saja. Rekan saya, Lukman, sebelumnya sempat menuliskan sejumlah tips memilih kamera untuk video, dan di artikel ini, saya ingin memberikan rekomendasi langsung terkait kamera-kamera yang pantas dibeli, khususnya bagi yang memiliki bujet terbatas.

Tanpa basa-basi lebih jauh, berikut adalah 10 kamera untuk video yang bisa dibeli di Indonesia dengan dana kurang dari 10 juta rupiah.

1. Sony ZV-1

Dari perspektif sederhana, Sony ZV-1 pada dasarnya merupakan Sony RX100 yang sudah dioptimalkan untuk pengambilan video. Berbekal sensor 1 inci dan bodi yang ringkas, ia pantas dijadikan senjata andalan saat vlogging, apalagi jika melihat layarnya yang bisa dihadapkan ke depan. Keberadaan lensa 24-70mm f/1.8-2.8 juga membuatnya semakin fleksibel.

Kemampuan videonya pun tidak boleh diremehkan. Sony ZV-1 mampu merekam dalam resolusi maksimum 4K 30 fps dengan bitrate 100 Mbps dan tanpa pixel binning pada format XAVC S. Ia juga dibekali hot shoe dan colokan untuk mikrofon eksternal seandainya pengguna tidak puas dengan kualitas mikrofon bawaannya (yang sebenarnya sudah tergolong bagus).

Di Indonesia, kamera ini bisa dibeli dengan harga Rp9.499.000. Anda hanya perlu menyiapkan SD card, maka perangkat bisa langsung digunakan. Buat yang ingin tahu lebih detail mengenai kamera ini, Anda bisa membaca review lengkapnya di sini.

Link pembelian: Sony ZV-1

2. Sony RX0 II

Anda lebih suka dengan desain ala action cam? Coba lirik Sony RX0 II. Kamera ini betul-betul Sony rancang untuk videografer, baik yang masih amatir sampai yang sudah masuk kelas profesional. Para vlogger pun masuk sebagai target pasarnya, sebab layarnya memang bisa dilipat sampai menghadap ke depan.

Di balik ukurannya yang terbilang mungil, bernaung sensor 1 inci bertipe stacked dengan kemampuan merekam dalam resolusi 4K 30 fps, juga dengan bitrate 100 Mbps dan tanpa pixel binning pada format XAVC S. Seperti kebanyakan action cam, ia mengemas lensa fixed (24mm f/4.0). Input mikrofon pun juga tersedia bagi yang membutuhkan.

Dengan banderol Rp9.999.000, kamera ini bakal jadi upgrade yang sangat signifikan bagi mereka yang masih menggunakan smartphone untuk merekam video. Silakan baca artikel hands-on singkatnya seandainya masih penasaran.

Link pembelian: Sony RX0 II

3. Panasonic Lumix LX10

Alternatif lain buat para vlogger, kamera ini turut mengemas sensor 1 inci pada bodi mungilnya. Tipikal Panasonic, sensor tersebut ditandemkan dengan lensa Leica 24-72mm f/1.4-2.8. Sistem penstabil gambar 5-axis turut tersedia, tapi ini hanya bisa aktif ketika merekam video di resolusi 1080p ke bawah.

Namun tak usah khawatir, sebab kamera ini tetap mampu merekam dalam resolusi maksimum 4K 30 fps di bitrate 100 Mbps. Kekurangannya mungkin hanya satu: ia tidak punya port mikrofon. Oh dan satu lagi, ia merupakan produk keluaran tahun 2016. Terlepas dari itu, ia tetap sangat bisa diandalkan untuk keperluan merekam video, dengan catatan dana Anda tidak kurang dari Rp9.499.000.

Link pembelian: Panasonic Lumix LX10

4. Panasonic Lumix G85

Kalau yang diincar adalah fleksibilitas terbaik, maka Anda harus mempertimbangkan kategori mirrorless. Di rentang harga ini, ada Lumix G85. Ia dibekali sensor Micro Four Thirds dan sanggup merekam dalam resolusi 4K 30 fps dengan bitrate 100 Mbps. Ia bahkan punya port HDMI out untuk disambungkan ke external recorder.

Kamera ini memang bukan model yang paling baru, tapi harganya sudah tinggal Rp7.999.000, sehingga sisa dua jutanya bisa dibelikan lensa. Memangnya ada lensa semurah itu yang mendukung autofocus? Well, silakan tengok lensa 14-42mm f/3.5-5.6 milik Olympus, yang sepenuhnya kompatibel dan dijual seharga 1,3 juta saja. Atau kalau bujet Anda bisa melar sedikit, tersedia pula bundel G85 plus lensa 25mm f/1.7 seharga 10,5 juta.

Link pembelian: Panasonic Lumix G85 (body only)

5. Fujifilm X-T200

Mirrorless lain yang patut dilirik adalah Fujifilm X-T200, yang bisa didapat seharga Rp9.499.000, sudah termasuk lensa 15-45mm f/3.5-5.6. Ia mengemas sensor APS-C dan sanggup merekam video 4K secara proper di 30 fps, dengan bitrate maksimum 100 Mbps, tidak seperti pendahulunya yang terbatas di 4K 15 fps saja (alias tidak usable).

Seperti hampir semua kamera yang ada di artikel ini, layarnya juga bisa dihadapkan ke depan sehingga cocok untuk keperluan vlogging. Hot shoe dan colokan 3,5 mm juga tersedia sehingga pengguna bisa memasangkan mikrofon eksternal dengan mudah.

Link pembelian: Fujifilm X-T200

6. Canon PowerShot G7 X Mark III

Model compact premium dari Canon ini menawarkan peningkatan pesat dibanding generasi sebelumnya dalam bentuk sensor 1 inci bertipe stacked. Kemampuan videonya pun juga dirombak besar-besaran. 4K 30 fps dengan bitrate 120 Mbps adalah opsi tertinggi yang bisa dipakai, dan ia bahkan dibekali mode khusus untuk live streaming ke YouTube dalam resolusi 1080p 30 fps. Ya, langsung dari kamera dengan mengandalkan Wi-Fi.

Canon bahkan mengambil satu langkah ekstra dengan menyematkan mode perekaman video vertikal, sehingga hasilnya bisa langsung diedit di smartphone dan dibagikan ke media sosial. Ia memang tidak punya hot shoe, tapi setidaknya masih ada colokan 3,5 mm untuk mengakomodasi mikrofon eksternal.

Harganya? Rp9.499.000 saja. Simak juga ulasan lengkapnya untuk mendapatkan impresi yang lebih lengkap.

Link pembelian: Canon PowerShot G7 X Mark III

7. Insta360 One R 1-Inch Edition

Buat yang berniat membawa kameranya bertualang, Anda tentu butuh action cam dengan fisik yang tangguh. Salah satu kandidatnya adalah Insta360 One R 1-Inch Edition yang dijual seharga Rp8.749.000. Kamera ini tak hanya sekadar mengandalkan bodi yang kokoh saja (bisa menyelam sampai 5 meter tanpa bantuan casing tambahan), tetapi spesifikasinya pun sangat mumpuni berkat sensor 1 inci dan lensa 14,4mm f/3.2 yang dikembangkan bersama Leica.

Resolusi maksimum yang dapat direkam adalah 5,3K 30 fps dengan bitrate 100 Mbps. Namun hal menarik lain dari kamera ini adalah desain modularnya; sensor dan lensanya itu bisa dicopot dan diganti dengan modul yang lain. Insta360 bahkan punya modul berlensa ganda yang dapat dipakai untuk merekam video 360 derajat.

Link pembelian: Insta360 One R 1-Inch Edition

8. GoPro Max

Kalau memang yang diincar adalah perekaman video 360 derajat, maka GoPro Max bisa jadi salah satu alternatif yang menarik. Menarik karena selain bisa merekam video 360 derajat dalam resolusi 5,6K 30 fps, ia juga dapat berperan sebagai action cam biasa maupun kamera vlogging, meski di mode ini resolusinya cuma terbatas di 1440p 60 fps saja.

Seperti GoPro modern lain, Max turut dibekali sistem stabilisasi HyperSmooth yang sangat efektif dalam meredam guncangan. Total ada enam buah mikrofon yang tertanam di kamera ini, dan GoPro mengklaim kinerjanya tak kalah dari shotgun mic.

GoPro Max memang sudah tidak tergolong baru, tapi itu berarti harganya pun sudah turun menjadi Rp7.828.000. Namun kalau Anda menginginkan yang terbaik dari GoPro, masih ada kamera lain yang lebih oke.

Link pembelian: GoPro Max

9. GoPro Hero10 Black

Kamera lain yang saya maksud adalah GoPro Hero10 Black yang masih sangat gres. Dibandingkan versi sebelumnya, Hero10 mengemas sensor baru sekaligus prosesor baru. Alhasil, kemampuan perekaman videonya naik menjadi 5,3K 60 fps, atau 4K 120 fps. Ya, Anda bisa menciptakan adegan slow-motion di resolusi 4K menggunakan kamera ini.

Kinerja kamera secara keseluruhan juga lebih gegas daripada pendahulunya, sehingga semua pemrosesan bakal rampung dalam waktu yang lebih singkat. Pembaruan pada sistem penstabil gambarnya berarti ia dapat meredam guncangan yang lebih ekstrem daripada sebelumnya.

Di Indonesia, pre-order GoPro Hero10 Black saat ini sudah dibuka di harga Rp8.499.000, dengan estimasi kedatangan pada akhir Oktober 2021. Buat yang sebelumnya memiliki Hero9, semua aksesori untuk kamera tersebut kompatibel dengan Hero10.

Link pembelian: GoPro Hero10 Black

10. DJI Pocket 2

Untuk mendapatkan stabilisasi yang lebih baik, videografer biasanya memanfaatkan alat bantu bernama gimbal. Kalau tidak mau ribet, Anda juga bisa mencari kamera yang dari sananya memang sudah dibekali gimbal bawaan. Contohnya seperti DJI Pocket 2 ini.

Duduk manis di gimbal 3-axis miliknya adalah sensor 1/1,7 inci dan lensa 20mm f/1.8 yang siap digunakan untuk merekam video 4K 60 fps dengan bitrate 100 Mbps. Berkat keberadaan sebuah layar mungil, kamera ini tentu juga sangat ideal untuk vlogging.

Konsumen tanah air bisa membeli kamera ini seharga Rp5.999.000. Sederet aksesori opsional juga tersedia guna semakin menambah fleksibilitasnya.

Link pembelian: DJI Pocket 2

Leica Q2 Monochrom Adalah Kamera Seharga $6.000 yang Hanya Bisa Memotret dan Merekam Video Hitam-Putih

Di industri fotografi, mungkin cuma Leica yang bisa menciptakan kamera hitam-putih seharga puluhan juta rupiah. Pada kenyataannya, Leica belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti meski sudah menjalani tren absurd tersebut sejak 2012.

Pabrikan asal Jerman itu baru saja memperkenalkan Leica Q2 Monochrom, sebuah kamera mirrorless dengan sensor full-frame yang hanya mampu menjepret gambar hitam-putih. Kalau namanya terdengar familier, itu karena Anda pernah mendengar soal Leica Q2, saudara kandungnya yang mengemas sensor ‘normal’, yang sudah hadir lebih dulu sejak Maret 2019.

Yang mungkin jadi pertanyaan, kenapa harus ada kamera dengan sensor monokromatik? Kenapa tidak memotret menggunakan Leica Q2 standar, lalu menambatkan filter hitam-putih saja pada hasil fotonya? Well, hasil akhirnya bakal berbeda, sebab sensor hitam-putih milik Leica Q2 Monochrom mampu menyerap lebih banyak cahaya meski resolusinya sama persis di angka 47,3 megapixel.

Menurut Leica, sensor milik Q2 Monochrom punya dynamic range 2 stop lebih tinggi daripada milik Q2 standar (13 EV dibanding 11 EV). Tingkat ISO maksimumnya pun telah ditingkatkan menjadi 100.000, dan secara keseluruhan Q2 Monochrom sanggup menangkap gambar dengan tingkat ketajaman yang lebih baik berkat absennya filter warna pada sensornya.

Pertanyaan selanjutnya, apa perbedaan antara Leica Q2 Monochrom dan Leica M10 Monochrom? Keduanya memang sama-sama hanya bisa menjepret gambar hitam-putih, akan tetapi Q2 Monochrom tidak masuk kategori rangefinder, yang berarti pengguna bisa sepenuhnya mengandalkan sistem autofocus, yang kebetulan juga punya kinerja yang sangat gegas. M10 Monochrom juga tidak bisa dipakai untuk merekam video, sedangkan Q2 Monochrom mendukung perekaman dalam resolusi maksimum 4K 30 fps, tentu saja dalam tampilan hitam-putih.

Selebihnya, Leica Q2 Monochrom cukup identik dengan versi standarnya. Ia turut dibekali lensa fixed 28mm f/1.7 ASPH seperti saudaranya, dan pengguna juga masih bisa memanfaatkan crop mode dengan tiga pilihan focal length: 35mm, 50mm, dan 75mm. Layar sentuh 3 inci yang mendominasi panel belakangnya pun sama persis, demikian pula viewfinder elektronik dengan panel OLED beresolusi 3,68 juta dot di atasnya.

Satu-satunya perbedaan fisik yang paling mencolok adalah hilangnya logo merah Leica pada bodi Q2 Monochrom. Penampilannya pun semakin stealthy dengan tidak adanya aksen warna kuning maupun merah sama sekali. Di luar itu, rangka yang digunakan tetap terbuat dari bahan magnesium, serta tahan cipratan air dan debu dengan sertifikasi IP52.

Untuk harganya, Leica melepas Q2 Monochrom ke pasaran dengan banderol resmi $5.995, atau $1.000 lebih mahal daripada harga Q2 standar. Di Indonesia, Q2 standar dihargai Rp81,9 juta, yang berarti harga Q2 Monochrom mungkin bisa mendekati Rp100 juta.

Sumber: DPReview.

Zeiss ZX1, Kamera Compact Full-Frame dengan Integrasi Lightroom, Bakal Dipasarkan Seharga $6.000

Di bulan September 2018, Zeiss memperkenalkan sebuah kamera compact yang sangat unik bernama ZX1. Unik bukan hanya karena kameranya menjalankan sistem operasi Android, tapi juga karena ia dilengkapi aplikasi Adobe Lightroom CC yang dapat langsung dipakai untuk mengedit hasil jepretan menggunakan layar sentuhnya.

Kala itu, Zeiss ZX1 dikabarkan bakal tersedia di pasaran pada awal tahun 2019. Namun seperti yang kita tahu sekarang, janji tersebut meleset. Menariknya, baru-baru ini B&H Photo Video mencantumkan ZX1 sebagai produk yang akan segera hadir dalam waktu dekat. Mereka bahkan sempat membuka pre-order untuk kamera tersebut dengan harga $6.000.

$6.000? Ya, saya bukannya salah ketik, tapi memang ini adalah harga yang bisa kita ekspektasikan dari produsen sekelas Zeiss. Kebetulan spesifikasi ZX1 memang cukup mengesankan, terutama berkat sensor CMOS full-frame beresolusi 37,4 megapixel yang diusungnya, yang ditandemkan bersama lensa prime Distagon T* 35mm f/2.

Kombinasi tersebut tentu bakal sangat menarik untuk street photography, apalagi mengingat ZX1 juga mengadopsi mekanisme leaf shutter yang sangat senyap. Lalu meski panel belakangnya didominasi layar sentuh, pengoperasian ZX1 dipastikan tetap mudah berkat sepasang kenop untuk mengatur shutter speed dan ISO, tidak ketinggalan juga aperture ring yang mengitari lensanya.

Layar sentuhnya ini berukuran masif kalau dibandingkan dengan kamera-kamera lain: 4,3 inci, dengan resolusi 1280 x 720 pixel, krusial mengingat lewat layar inilah pengguna bakal mengedit hasil tangkapannya, dibantu oleh aplikasi Lightroom itu tadi. Di atas layarnya, ada viewfinder elektronik dengan panel OLED 0,7 inci beresolusi full-HD dan tingkat perbesaran 0,74x.

Melengkapi spesifikasinya adalah SSD berkapasitas 512 GB dan konektivitas Wi-Fi sekaligus Bluetooth. Idenya adalah, pengguna bisa memotret, mengedit, dan memublikasikan hasilnya langsung dari kamera. Namun kalau memang masih perlu mengandalkan komputer, setidaknya semua hasil penyuntingan memakai Lightroom tadi bakal tersinkronisasikan secara otomatis dengan yang ada di komputer.

Sejauh ini memang belum ada kepastian kapan tepatnya Zeiss ZX1 bakal mulai dipasarkan. Namun setidaknya ini merupakan kabar baik bagi kaum enthusiast yang selama ini sudah menanti kehadirannya dan khawatir perangkat ini tidak akan terealisasikan.

Sumber: DPReview.

Sony ZV-1 Resmi Hadir di Indonesia, Cocok Buat Pendamping Smartphone

Masih ingat, pada akhir bulan Mei lalu Sony mengumumkan lini produk kamera compact baru yang disebut ZV-1 secara global. Hari ini, perangkat tersebut telah secara resmi hadir di Indonesia.

Sony ZV-1 ini dirancang untuk pengambilan video kasual, cocok sebagai pendamping smartphone. Buat mereka para pemula atau yang gemar bikin video kasual seperti merekam momen sehari-hari dan membagikannya di media sosial.

[Foto 1] ZV-1

Kamera ini dibekali dengan sejumlah fitur video canggih yang mudah digunakan. Dibanding smartphone, tentunya bisa lebih diandalkan di kondisi minim cahaya dan kualitas audio-nya lebih baik. Hasil rekamannya juga bisa dengan mudah ditransfer dan diedit menggunakan aplikasi Imaging Edge Mobile.

Meski di masa pandemi, kreativitas dan produktivitas harus terus dijaga dan ditingkatkan, salah satunya dengan menggunakan video. Dalam lima tahun terakhir, online video telah menunjukkan perkembangan pesat dan menjadi sebuah tren baru,” ujar Kazuteru Makiyama, President Director PT Sony Indonesia.

Tren ini diminati oleh generasi Z dan milenial yang berusia 20 sampai 30 tahun dan kebanyakan video direkam melalui smartphone. Menariknya, banyak juga yang mulai tertarik untuk beralih ke kamera di masa yang akan datang. Dan inilah kesempatan bagi Sony Indonesia untuk memperkenalkan kamera digital ZV-1“, tambahnya.

Menurut Fajar Kristiono selaku Alpha Professional Photographer, kamera ini memberi banyak kemudahan terutama untuk yang belum terbiasa merekam video. Dengan ZV-1, pengguna dapat merekam video dengan memanfaatkan beberapa fitur canggihnya, seperti Intelligent Auto Video Mode, One Touch Bokeh Button, dan Product Showcase Button yang memiliki kecepatan autofocus sangat baik.

Jadi, siapapun bisa dengan mudah menggunakan ZV-1 ini cukup dengan menggunakan fitur dalam sekali tekan. Yang terpenting adalah ZV-1 mampu menghasilkan kualitas video yang bagus tanpa perlu melakukan pengeditan,” ujar Fajar Kristiono.

Ideal Untuk Content Creator

[FOTO 3] ZV-1 dengan VCT-SGR1

Meski dirancang untuk pengambilan video kasual, di tangan para content creator – Sony ZV-1 bisa menjadi “senjata mematikan”. Kamera dengan sensor CMOS stacked tipe 1.0 inci beresolusi 20MP ini dilengkapi dengan chip DRAM dan prosesor BIONZ X generasi terbaru dengan LSI front-end.

Hadir dengan lensa 24-70mm f1.8-2.8 ZEISS Vario-Sonnar T*, layar LCD vari-angle, mikrofon internal yang cukup bagus, juga tersedia hot shoe dan port mikrofon untuk memasang mikrofon eksternal. Sony ZV-1 jelas bisa menjadi solusi “all-in-one” bagi para content creator atau vlogger yang membutuhkan kamera yang ringkas dengan fitur canggih dan hasil yang mumpuni.

[Foto 2] ZV-1

Untuk perekaman videonya, Sony ZV-1 sanggup merekam video UHD 4K 30p full pixel readout tanpa pixel binning pada codec XAVC S dengan durasi lebih dari 30 menit. Biasanya kamera dengan body kecil, meski bisa mengambil 4K tapi durasi perekamannya dibatasi.

Lalu, pada resolusi 1080p mendukung frame rate tinggi hingga 120 fps dan punya fitur Super Slow Motion 960fps. Fitur picture profile (S-Log) juga tersedia, yang memberikan fleksibilitas saat post-production. Sistem autofocus-nya juga sangat cepat, dengan Real-time Eye AF dan Real-time Tracking.

Harga & Ketersediaan

[FOTO 4] ZV-1 dengan VCT-SGR1

Sony ZV-1 akan segera tersedia di Indonesia dengan harga Rp9.999.000 dan dapat segera dipesan secara pre-order di seluruh Sony Authorized Dealers mulai dari tanggal 23 Juli – 9 Agustus 2020. Untuk seluruh pembelian dalam masa pre-order, akan mendapatkan paket spesial, termasuk paket adaptor kabel dan shooting grip VCT-SGR1.

Sony Indonesia juga memiliki kegiatan yang bersifat hybrid (dilakukan secara online dan offline), bertajuk ‘ZV-1 Hands On Workshop’. Untuk informasi mengenai registrasi dan jadwal kampanye ‘ZV-1 Hands On Workshop’, dapat ditemukan di akun Instagram @SonyAlpha_ID.

Dalam rangka peluncuran ZV-1, Sony Indonesia mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam kampanye spesial yang akan dilakukan secara online dan offline. Pada platform online, netizen berkesempatan untuk memenangkan satu unit kamera ZV-1 dengan menyelesaikan tantangan dari akun Instagram @iniharigue untuk membuat videografi kasual dengan tema yang berbeda di setiap minggunya.

 

Fujifilm X100V Usung Sensor dan Lensa Baru, Plus Touchscreen

Fujifilm meluncurkan kamera compact premium terbarunya, X100V. Iterasi kelima seri X100 ini hadir membawa sejumlah pembaruan yang cukup signifikan selagi masih mempertahankan elemen-elemen khas yang membuatnya populer selama ini.

Yang pertama, X100V mengemas sensor APS-C X-Trans CMOS 4 beresolusi 26 megapixel, sensor yang sama seperti yang tertanam pada Fujifilm X-T3 maupun X-Pro3. Sensor berdesain backside-illuminated tersebut turut didampingi oleh X-Processor 4 yang menjanjikan dongkrakan performa, tidak terkecuali untuk urusan autofocus dan face/eye detection.

Sudah menjadi ciri khas seri X100 sejak generasi pertamanya dan tidak pernah diubah adalah lensa fixed 23 mm f/2. Di X100V pun masih demikian, akan tetapi Fujifilm telah membenahi rancangan optiknya supaya lebih cekatan mengunci fokus dari jarak dekat, serta dapat menghasilkan gambar yang lebih tajam di bagian ujung frame.

Fujifilm X100V

Selanjutnya, X100V rupanya tidak luput dari tren yang dijalani Fujifilm belakangan ini, yakni memperbaiki kapabilitas video secara drastis. Benar saja, X100V mampu merekam dalam resolusi maksimum 4K 30 fps, atau 1080p 120 fps untuk efek slow-motion. Fuji bahkan tak lupa menyematkan mode F-log sehingga videografer bisa menerapkan color grading secara manual selama menyunting.

Elemen khas lain seri X100 adalah hybrid viewfinder (optik dan elektronik). X100V tentu masih mempertahankannya, akan tetapi juga menyempurnakan viewfinder elektroniknya lewat panel OLED beresolusi 3,69 juta dot, bukan lagi panel LCD seperti sebelumnya. Di bawahnya, ada LCD yang kini sudah merupakan touchscreen dan bisa di-tilt dua arah.

Fujifilm X100V

Lucunya, Fujifilm mengklaim bodi retro X100V weather resistant, tapi hanya ketika dipasangi adapter ring AR-X100 dan protection filter PRF-49. Keduanya merupakan aksesori opsional, jadi bisa dibilang weather resistance-nya pun opsional, sebab lensanya masih membutuhkan proteksi ekstra.

Fujifilm X100V rencananya bakal mulai dipasarkan pada akhir Februari mendatang seharga $1.400. Naik $100 dari iterasi sebelumnya (X100F), tapi peningkatannya juga signifikan mengingat selisih umurnya tiga tahun.

Sumber: DPReview.

Sony RX100 VII Dirilis, Warisi Sistem Autofocus Canggih ala Sony a9

Sony RX100 VI baru dirilis setahun yang lalu, namun Sony rupanya sudah tidak sabar untuk menghadirkan penerusnya. Yang mungkin bakal menjadi pertanyaan, sejauh apa peningkatan yang mampu dihadirkan suksesornya dalam rentang waktu yang terkesan begitu singkat?

Seakan sudah menjadi tradisi, Sony RX100 VII masih kelihatan mirip seperti sebelum-sebelumnya. Kalau diamati, fisiknya bahkan bisa dibilang identik dengan RX100 VI. Jadi apa yang berubah? Cukup banyak, namun sebagian besar memang tidak tampak secara kasat mata.

Yang paling utama adalah penggunaan sensor Exmor RS baru. Ukurannya masih 1 inci, resolusinya masih 20,1 megapixel, dan konstruksinya pun masih mengadopsi tipe stacked (ditumpuk langsung dengan chip DRAM) seperti sensor milik RX100 VI. Meski demikian, Sony menegaskan bahwa sensor ini merupakan sensor yang baru mereka kembangkan.

Sony RX100 VII

Apa faedah yang dibawa sensor baru ini? Yang pertama adalah titik phase-detection autofocus (PDAF) yang lebih banyak, yang kini berjumlah 357 titik, tidak ketinggalan pula 425 titik contrast-detection autofocus. Kedua dan yang paling menarik adalah teknologi autofocus terbaru yang diwariskan dari mirrorless flagship Sony a9.

Teknologi yang dimaksud adalah Real-Time Tracking dan Real-Time Eye AF, yang memungkinkan kamera untuk mengunci fokus secara akurat meski subjeknya berpindah-pindah, dan ini berlaku untuk foto maupun video. Bukan cuma itu saja, Real-Time Eye AF bahkan bisa diterapkan untuk subjek yang berupa binatang, meski ini hanya terbatas untuk foto saja pada RX100 VII.

Juga diwarisi dari a9 adalah fitur yang dikenal dengan istilah blackout-free shooting, yang berarti pengguna tak akan melihat adanya kedipan pada viewfinder meski kamera tengah menjepret tanpa henti dalam kecepatan 20 fps. Kalau itu masih kurang cepat, RX100 VII juga menyimpan mode baru bernama Single Burst untuk menjepret dalam kecepatan 90 fps.

Sony RX100 VII

Sony tak lupa memperhatikan potensi seri RX100 di segmen videografi profesional, apalagi mengingat hasil rekaman 4K 30 fps-nya memang sudah terbukti bagus. Pada generasi ketujuhnya ini, Sony telah menambahkan colokan mikrofon 3,5 mm, yang berarti hasil rekaman penggunanya tidak harus ternodai hanya karena audionya direkam menggunakan mic bawaan kamera.

Rencananya, Sony RX100 VII bakal dilepas ke pasaran mulai Agustus nanti seharga $1.200. Ya, harga yang sama persis seperti ketika RX100 VI dirilis tahun lalu, yang berarti kabar buruk bagi konsumen yang baru saja membeli kamera tersebut dalam beberapa hari terakhir.

Sumber: DPReview.

Sigma fp Adalah Kamera Mirrorless Full-Frame yang Dapat Dikantongi di Saku Celana

Diumumkan pada tahun 2012, Sony RX1 masih memegang predikat kamera full-frame terkecil yang pernah ada. Namun RX1 mengusung lensa fixed alias yang tidak bisa dilepas-pasang, dan 2019 merupakan tahunnya kamera mirrorless full-frame, utamanya berkat perlawanan dari Nikon, Canon, sekaligus Panasonic terhadap dominasi Sony di segmen ini.

Itulah mengapa kreasi terbaru Sigma berikut ini terdengar begitu menarik. Kamera bernama Sigma fp ini mungil, bersensor full-frame, tapi juga siap digonta-ganti lensanya. Ya, ini merupakan kamera mirrorless full-frame yang bisa kita kantongi dengan mudah di saku celana – tentunya dalam posisi tidak ada lensa yang terpasang.

Secara spesifik, Sigma fp memiliki dimensi 112,6 x 69,9 x 45,3 mm, dengan bobot 370 gram (422 gram jika diisi baterai dan SD card). Di dalamnya bernaung sensor BSI-CMOS full-frame 24,6 megapixel, namun yang mengandalkan filter Bayer tradisional ketimbang teknologi Foveon yang sudah menjadi ciri khas Sigma selama ini.

Sigma fp

Sensor ini memiliki sensitivitas ISO 100 – 25600, sedangkan sistem autofocus-nya mengandalkan model contrast detection dengan 49 titik, lengkap beserta dukungan terhadap fitur seperti face detection, eye detection, maupun subject tracking. Performa kamera ini juga amat mengesankan, sanggup memotret dalam format DNG RAW 14-bit dengan kecepatan hingga 18 fps.

Angka setinggi itu dicapai dengan memanfaatkan shutter elektronik, dan ternyata Sigma fp sama sekali tidak memiliki shutter mekanis. Absennya shutter mekanis merupakan alasan utama mengapa Sigma fp bisa sekecil ini.

Sigma fp mengandalkan dudukan lensa L-Mount, yang Sigma kembangkan bersama Panasonic dan Leica. Beralih ke sisi belakang bodi weather sealed-nya, terdapat layar sentuh 3,2 inci beresolusi 2,1 juta dot. Tentu saja tidak ada ruang lagi untuk sebuah viewfinder elektronik.

Sigma fp

Urusan video, Sigma fp tidak kalah mengesankan. Dibantu oleh external recorder yang menyambung via port USB 3.1, ia mampu merekam video 4K 24 fps dalam format CinemaDNG RAW 12-bit. Kendala yang kerap dijumpai kamera compact di sektor perekaman video adalah overheating, tapi Sigma fp berhasil mengatasinya berkat heat sink terintegrasi.

Sigma tak lupa mengklaim bahwa fp siap digunakan oleh kalangan sineas profesional. Ini dikarenakan rancangannya yang modular, di mana pengguna dapat menambah beraneka ragam aksesori macam hot shoe, viewfinder, hand grip, dan masih banyak lagi, baik bikinan Sigma sendiri maupun pabrikan lain.

Sigma fp

Gambaran lebih jelasnya mengenai sifat modular Sigma fp bisa Anda lihat sendiri melalui video di bawah. Di situ bisa kita lihat bagaimana kamera seringkas ini dapat disulap menjadi kamera sinema bongsor berkat bantuan segudang aksesori.

Sigma fp sendiri rencananya baru akan dipasarkan pada musim semi mendatang, tapi sejauh ini belum ada info apapun terkait harganya. Pasca peluncuran fp, Sigma juga berniat meluncurkan varian lain fp yang mengemas sensor Foveon. Varian bersensor Foveon ini kabarnya mengemas resolusi 20 megapixel per layer, dengan resolusi total melebihi angka 60 megapixel.

Sumber: PetaPixel.

Canon G7 X Mark III dan G5 X Mark II Bawa Peningkatan Pesat Berkat Teknologi Stacked Sensor

Segmen kamera compact premium baru saja kedatangan dua pemain anyar dari kubu Canon, yakni G7 X Mark III dan G5 X Mark II. Dibandingkan pendahulunya, masing-masing kamera membawa peningkatan yang amat signifikan, utamanya berkat teknologi stacked sensor.

Teknologi ini sejatinya memungkinkan chip DRAM untuk ditambatkan langsung ke belakang sensor gambar. Sony sudah cukup lama menggunakannya, dan itulah mengapa kamera-kameranya yang mengandalkan sensor semacam ini sanggup menjepret tanpa henti dalam kecepatan yang mengesankan.

Canon G7 X Mark III

Dalam kasus Canon, G7 X Mark III dan G5 X Mark II memiliki kapabilitas burst shooting dalam format RAW + JPEG masing-masing di angka 8,3 dan 8 fps, dan itu dengan continuous autofocus menyala. Ini merupakan peningkatan yang sangat pesat; G5 X generasi pertama hanya bisa mencatatkan kecepatan burst 1,1 fps saja dalam format RAW.

Sensornya sendiri memiliki ukuran penampang 1 inci dengan resolusi 20 megapixel, baik pada G7 X Mark III maupun G5 X Mark II. Perpaduannya dengan prosesor Digic 8 memungkinkan kedua kamera untuk merekam video dalam resolusi 4K 30 fps, atau 1080p 120 fps, sekali lagi meningkat jauh dibanding masing-masing pendahulunya yang terbatas di 1080p 60 fps.

Canon G7 X Mark III

Lalu apa yang membedakan kedua kamera ini? Untuk G7 X Mark III, fokusnya masih sama seperti sebelumnya, yakni untuk keperluan vlogging, utamanya berkat layar sentuh yang dapat dilipat hingga menghadap ke depan. Ini semakin dimatangkan berkat fitur live streaming ke YouTube, yang hanya tersedia pada G7 X Mark III.

Bukankah live streaming akan semakin menguras baterai G7 X Mark III yang sudah pasti berkapasitas kecil? Betul, itulah mengapa Canon telah merancang agar kamera ini bisa beroperasi dengan mengandalkan saluran energi dari sambungan USB, sangat berguna seandainya pengguna menyambungkannya ke handheld gimbal atau stabilizer.

Canon G5 X Mark II

G5 X Mark II di sisi lain juga mengemas layar sentuh yang dapat dilipat 180°, namun yang menjadi fitur unggulannya adalah sebuah pop-up electronic viewfinder (EVF) berpanel OLED macam yang selama ini menjadi andalan seri Sony RX100 sejak generasi ketiganya. Ini sangat berbeda dari G5 X generasi pertama yang wujudnya menyerupai DSLR, dengan tonjolan di tengah panel atasnya sebagai rumah dari viewfinder.

G5 X Mark II kini terkesan jauh lebih ringkas dan lebih mirip seperti G7 X. Namun masih ada lagi satu hal lain yang membedakannya: lensanya mampu melakukan zooming lebih jauh, dengan spesifikasi 24-120mm f/1.8-2.8. G7 X Mark III di sisi lain mengusung lensa 24-100mm f/1.8-2.8.

Canon G5 X Mark II

Kedua kamera compact premium ini bakal dipasarkan mulai bulan Agustus mendatang. Canon G7 X Mark III dibanderol $749, sedangkan Canon G5 X Mark II seharga $899.

Sumber: DPReview.

Canon Ivy Rec Adalah Kamera Super Mungil Seukuran Flash Disk

Sebuah startup atau perusahaan baru umumnya memanfaatkan platform crowdfunding macam Indiegogo atau Kickstarter guna merealisasikan ide produknya. Namun sesekali ada pula perusahaan besar yang mengambil jalur serupa guna mengukur seberapa besar ketertarikan konsumen akan suatu produk baru yang biasanya berada di luar cakupan zona nyaman sang perusahaan.

Itulah yang hendak dilancarkan Canon dalam waktu dekat. Lewat Indiegogo, mereka memperkenalkan sebuah kamera unik bernama Ivy Rec. Unik karena bentuk dan dimensinya tidak jauh berbeda dari sebuah flash disk, dan bagian atasnya dilengkapi semacam karabiner untuk mengaitkan kamera pada beragam objek.

Sejauh ini Canon belum membeberkan detailnya secara merinci, kecuali beberapa elemen pentingnya: kamera mungil ini dibekali sensor CMOS berukuran 1/3 inci dengan sensor 13 megapixel yang mampu merekam video 1080p 60 fps. Semua itu dikemas dalam rangka yang tahan air hingga kedalaman 1 meter selama 30 menit.

Canon Ivy Rec

Bluetooth dan Wi-Fi turut tersedia, sehingga pengguna dapat memindah hasil foto dan videonya secara wireless, atau memanfaatkan ponselnya sebagai viewfinder. Yang cukup unik, lubang karabiner di atas lensanya juga merangkap fungsi sebagai viewfinder optik. Di bagian bawahnya juga terdapat lubang tripod standar.

Di samping sebuah tombol shutter, Ivy Rec hanya mengemas satu kenop untuk menyala-matikan perangkat sekaligus mengganti mode pemotretan atau perekamannya. Sisanya mungkin baru bisa diatur lewat aplikasi pendampingnya di smartphone.

Sayangnya informasi mengenai Canon Ivy Rec baru sebatas itu. Canon bahkan belum mengungkap kapan kampanye crowdfunding-nya bakal dimulai, dan berapa kira-kira harganya. Semestinya tidak akan terlalu mahal, dan konsumen juga bisa mendapatkan potongan harga sebesar 30% apabila memesan selama masa early bird kampanyenya.

Sumber: DPReview.