Masih Ringkas, Leica Q2 Usung Sensor Full-Frame 47 Megapixel dan Bodi Weatherproof

Hampir empat tahun berselang, Leica Q akhirnya resmi punya penerus, bukan sebatas varian baru yang mengusung perubahan minor. Dinamai Leica Q2, penampilan luarnya nyaris sama, akan tetapi hampir semua bagian dalamnya sudah dirombak secara drastis.

Yang paling utama, resolusi sensor full-frame miliknya naik secara signifikan, dari ‘cuma’ 24 megapixel menjadi 47,3 megapixel pada Q2 – kebetulan resolusi sensor Lumix S1R sama persis, tapi apa benar cuma kebetulan? Dibantu dengan prosesor Maestro II, sensor ini mampu menjepret tanpa henti dengan kecepatan 10 fps, sedangkan sensitivitasnya berada di rentang ISO 50 – 50000.

Lensa yang menancap adalah Leica Summilux 28mm f/1.7 ASPH, bisa jadi sama seperti yang terpasang pada pendahulunya. Kendati demikian, Q2 masih menawarkan fleksibilitas dalam mengatur komposisi berkat fitur crop yang memungkinkan pengguna untuk memotret dengan pilihan focal length 35mm, 50mm, dan 75mm.

Juga merupakan perubahan besar adalah kemampuan merekam videonya. Bukan lagi 1080p, resolusi 4K sudah menjadi opsi standar di sini. Tidak pernah ada yang bilang kamera Leica cuma pantas dipakai untuk memotret saja, bukan?

Leica Q2

Meski fisik Q2 nyaris identik dengan pendahulunya, Leica sebenarnya sudah menerapkan sejumlah perbaikan desain demi menjadikannya lebih intuitif. Dari yang sepele seperti kenop dioptri untuk viewfinder elektronik (EVF), yang kini harus ditekan terlebih dulu sebelum bisa diputar demi mencegah perubahan yang tidak disengaja.

Perubahan sepele lain yang sangat bermanfaat adalah tombol programmable pada kenop di ujung kanannya. Tombol pengoperasiannya juga sudah disederhanakan menjadi tiga saja, diposisikan di sebelah kiri LCD 3 inci beresolusi 1,04 juta dot-nya.

Leica Q2

Untuk EVF-nya, Q2 masih menggunakan panel beresolusi 3,68 juta dot, namun panel tersebut kini merupakan panel OLED, serta sudah mendukung refresh rate yang tinggi demi meminimalkan lag. Kita juga tidak boleh lupa bahwa Leica Q2 mengusung sasis magnesium yang weather resistant (IP52), dan itu tanpa mengubah dimensinya jika dibandingkan dengan Leica Q orisinal.

Wi-Fi dan Bluetooth LE sudah menjadi fitur standar pada Q2, sedangkan baterainya diklaim sedikit lebih awet karena bisa tahan sampai 370 jepretan. Leica Q2 saat ini sudah dipasarkan dengan banderol $4.995, tidak berbeda terlalu jauh dari harga awal Leica Q.

Sumber: PetaPixel dan DPReview.

Fujifilm Luncurkan Kamera Compact Rugged Baru, FinePix XP140

Pasar kamera compact berwujud rugged memang tidak seramai dulu, apalagi dengan meningkatnya popularitas action cam dalam beberapa tahun terakhir. Namun hal itu tidak mencegah pabrikan kamera memproduksinya, sebab masih ada nilai lebih yang bisa ditawarkan dibanding action cam.

Salah satunya adalah lensa zoom, seperti yang bisa kita lihat dari produk terbaru Fujifilm berikut ini. Dari penampilannya sudah kelihatan bahwa kamera bernama FinePix XP140 ini dirancang untuk menjadi teman bertamasya, tidak peduli kondisi lingkungannya seperti apa.

Menurut Fujifilm, XP140 sanggup bertahan meski terjatuh dari ketinggian 1,8 meter. Suhu dingin hingga –10º C juga bukan masalah buatnya, dan ia siap diajak menyelam hingga kedalaman 25 meter tanpa perlu dibungkus casing tambahan. Semua itu dikemas dalam dimensi yang tergolong ringkas: 110 x 71 x 28 mm, dengan bobot 207 gram sudah termasuk baterai dan SD card.

Bodi tahan banting merupakan salah satu keunggulan action cam, akan tetapi XP140 sejatinya dapat menjadi alternatif yang lebih ideal apabila penggunanya memerlukan optical zoom hingga sejauh 5x, dengan rentang aperture f/3.9 – f/4.9. Sensornya memang tidak terlalu istimewa, CMOS 1/2,3 inci beresolusi 16,4 megapixel dengan ISO maksimum 12800, tapi itu sebenarnya sudah cukup di kelas ini.

Fujifilm FinePix XP140

Urusan video, XP140 bisa merekam dalam resolusi 4K, tapi hanya 15 fps, sehingga akan lebih bijak memilih opsi 1080p 60 fps sebagai default. Mode slow-motion hingga 4x juga tersedia, tapi hanya dalam resolusi HD saja.

Fitur-fitur modern seperti Wi-Fi dan Bluetooth 4.1 sudah menjadi standar pada XP140, namun yang cukup menarik menurut saya adalah fitur bernama Face Auto Shutter. Berkat fitur ini, kamera dapat menjepret secara otomatis ketika subjek melihat ke arah kamera, ideal untuk mengambil selfie meski LCD-nya tidak bisa dilipat sampai menghadap ke depan.

Rencananya, Fujifilm FinePix XP140 bakal dipasarkan mulai akhir Maret mendatang. Di Amerika Serikat, harganya dipatok $229. Pilihan warna yang tersedia ada lima: biru, hijau, kuning, abu-abu dan putih.

Sumber: SlashGear.

Ricoh GR III Resmi Dipasarkan Bulan Maret Seharga $899

Setelah diumumkan di ajang Photokina 2018, Ricoh GR III akhirnya resmi diluncurkan. Bersamaan dengan itu, kita akhirnya bisa mengetahui detail lebih lengkapnya, termasuk halnya dua kekurangan yang sudah langsung kelihatan tanpa harus dicoba terlebih dahulu.

Kita mulai dulu dengan yang positif. Seperti yang disampaikan pada pengumumannya, GR III mengemas sensor APS-C beresolusi 24 megapixel (naik dari 16 megapixel pada GR II). Sensor ini cukup sensitif terhadap cahaya, dengan rentang ISO 100 – 102400.

Tidak seperti sebelumnya, GR III kini mengusung sistem autofocus hybrid (contrast detect dan phase detect), sehingga ia semestinya jauh lebih cekatan dalam hal mengunci fokus pada subjek yang bergerak. Hal ini tentu saja turut didukung oleh lensa 28 mm f/2.8 yang telah didesain ulang, dan yang kini dapat mengunci fokus dari jarak sedekat 6 cm.

Ricoh GR III

Namun yang sangat menarik adalah bagaimana Ricoh berhasil membenamkan sistem image stabilization internal 3-axis pada GR III. Juga benar-benar baru pada GR III adalah layar sentuh 3 inci yang menghuni bagian belakangnya, yang tentu sudah mendukung fungsi tap-to-focus.

Sebagai produk keluaran tahun 2019, sudah sewajarnya apabila GR III mengemas port USB-C, yang bisa dipakai untuk mengisi ulang baterainya. Sayang sekali baterai ini merupakan kekurangan pertamanya; kalau baterai GR II sanggup bertahan hingga 320 jepretan, GR III hanya sampai 200 jepretan.

Di atas kertas, kapasitas baterai yang diusung GR III memang lebih besar, akan tetapi diduga sistem image stabilization internal tadi yang menjadi penyebab utama mengapa baterainya jauh dari kata awet.

Ricoh GR III

Kekurangan yang kedua dan ketiga sebenarnya tidak akan mempengaruhi semua konsumen, namun tetap harus disoroti: absennya flash dan tidak adanya opsi perekaman video dalam resolusi 4K. Ya, sudah tahun 2019, tapi sayangnya konsumen GR III nanti masih harus tabah dengan video 1080p 60 fps saja.

Rencananya, Ricoh GR III akan mulai dipasarkan secara luas pada bulan Maret mendatang. Banderol harga yang dipatok adalah $899, dan Ricoh juga berniat menjual adapter wide-angle 0,75x secara terpisah seharga $249.

Sumber: DPReview.

Leica D-Lux 7 Adalah Saudara Kembar Lumix LX100 II dengan Penampilan Lebih Elegan

Leica merilis Leica Q-P belum lama ini. Fisik kamera tersebut ringkas dan stealthy, tapi di saat yang sama mengemas sensor full-frame yang amat kapabel dan lensa fixed ber-aperture besar. Seperti biasa, kendalanya selalu pada harga; banderol Leica Q-P mencapai angka $4.995.

Kalau Anda mencari alternatif yang lebih terjangkau serta tidak memerlukan sensor full-frame, ada Leica D-Lux 7 yang baru saja diluncurkan. Kamera ini pada dasarnya merupakan Panasonic Lumix LX100 II yang dikemas ulang dengan gaya desain khas sang pabrikan Jerman.

Leica D-Lux 7

Maka dari itu, spesifikasinya pun sama persis. Utamanya adalah sensor Four Thirds 17 megapixel, dengan tingkat ISO maksimum 25600 dan kemampuan merekam video 4K 30 fps. Dimensi sensornya memang tidak sebesar full-frame, tapi masih lebih besar dibandingkan mayoritas kamera saku yang ada di pasaran.

Lensa yang digunakan juga sama, yakni Vario-Summilux 24-75mm f/1.7-2.8, sehingga ia lebih fleksibel ketimbang Leica Q-P. Pada lensanya ini ada tuas untuk mengubah aspect ratio antara 3:2, 4:3, 16:9 atau 1:1 ala Instagram. Selain itu, ada pula tuas untuk mengganti mode autofocus.

Leica D-Lux 7

Panel atasnya diisi oleh kenop shutter speed dan exposure compensation, sedangkan panel belakangnya menjadi rumah untuk viewfinder elektronik beresolusi 2,76 juta dot dan layar sentuh 3 inci beresolusi 1,24 juta dot. Sekali lagi, semuanya sama persis seperti yang ada pada Lumix LX100 II, hanya saja penampilannya terkesan lebih elegan.

Gerbang pre-order Leica D-Lux 7 saat ini sudah dibuka. Harganya dipatok $1.195, tidak terpaut terlalu jauh dari saudara kembar beda mereknya tersebut.

Sumber: DPReview.

Leica Q-P Adalah Kamera Compact Bersensor Full-Frame dengan Penampilan Stealthy

Sebagai brand yang amat tersohor, Leica bebas meluncurkan edisi khusus dari produk-produknya yang sudah ada. Coba lihat saja Leica Q. Kamera compact bersensor full-frame itu sejauh ini sudah tersedia dalam dua edisi terbatas: satu edisi khusus Indonesia, satu lagi Leica Q Snow yang dirilis menjelang olimpiade musim dingin Februari lalu.

Baru-baru ini, Leica kembali memperkenalkan edisi anyar Leica Q. Kali ini bukanlah yang berkuantitas terbatas, melainkan varian baru bernama Leica Q-P. Embel-embel “P” pada dasarnya menandakan fokus pada aspek stealthy, seperti yang sebelumnya ditunjukkan oleh Leica M10-P.

Leica Q-P

Kesan stealthy itu tersirat dari hilangnya logo merah khas Leica di bagian depan, digantikan oleh ukiran mereknya saja di pelat atas. Pendekatan desain semacam ini pada dasarnya ditujukan kepada para street photographer, yang sering kali tidak mau mengundang perhatian ketika sedang ‘berburu’ di sudut-sudut kota.

Pembaruan lain yang diusung Q-P terletak pada tombol shutter-nya. Leica bilang sensasi taktil tombol ini lebih terasa ketimbang pada Leica Q standar. Mungkin kedengarannya sepele, tapi cukup membantu bagi yang setiap harinya menjepret ratusan foto.

Leica Q-P

Selebihnya, Q-P tidak berbeda dari Q biasa. Sensor full-frame yang tersemat masih sama dan masih beresolusi 24 megapixel, demikian pula lensa Summilux 28mm f/1.7 ASPH yang terpasang. Viewfinder dan layar sentuh 3 incinya pun sama, masing-masing dengan resolusi 3,68 juta dan 1,04 juta dot.

Soal harga, kalau Leica Q standar dibanderol $4.250, Leica Q-P harus ditebus lebih mahal seharga $4.995. Harga tersebut sudah termasuk sebuah leather strap dan satu baterai cadangan.

Sumber: DPReview.

Zeiss ZX1 Adalah Kamera Compact Full-Frame Dengan Adobe Lightroom CC Built-In

Baik untuk kebutuhan profesional maupun pemakaian casual, proses editing sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari ranah fotografi. Tersedia banyak software sunting foto di PC maupun perangkat bergerak, beberapa mudah digunakan dan yang lain menawarkan keleluasaan fitur. Begitu besarnya peran editing, platform sosial media bahkan menyertakan fungsi ini di layanan mereka.

Krusialnya proses editing sepertinya turut mendorong satu perusahaan spesialis produk optik asal Jerman untuk mengintegrasikan fitur penyuntingan di perangkat high-end barunya. Di ajang Photokina 2018, Zeiss memperkenalkan ZX1, yaitu kamera compact mirrorless yang mengusung kapabilitas edit built-in berkat kehadiran Adobe Lightroom CC. ZX1 juga merupakan kamera full-frame pertama buatan Zeiss.

Zeiss ZX1.

Layaknya kamera point-and-shoot bertubuh padat di kelasnya, Zeiss merancang ZX1 agar siap menunjang pemakaian satu tangan. Penampilannya mengombinasikan estetika desain modern dan industrial tanpa melupakan aspek ergonomis. Kemudahan pemakaian menjadi perhatian utama Zeiss, dan untuk memenuhi hal tersebut, produsen mencantumkan layar multi-touch seluas 4,3-inci yang dipadu dengan user interface intuitif. Beradasarkan keterangan Zeiss, mereka memang menyiapkan ZX1 sebagai alternatif lebih canggih dari smartphone.

Layar sentuh dan UI sangat esensial karena berkat dukungan penuh dua elemen ini, pengguna dipersilakan mengutak-atik foto berformat RAW via Adobe Photoshop Lightroom CC langsung di ZX1. Zeiss menjanjikan tampilan antar-muka unik yang memungkinkan kita mengedit tanpa gangguan. Lalu saat kamera full-frame mirrorless ini tersambung ke network, Anda bisa segera mengunggah gambar tanpa perlu menyimpannya di storage eksternal.

Zeiss ZX1 1

Lalu bagaimana jika saat itu internet tidak tersedia? Kita memang tidak dapat membubuhkan penyimpanan tambahan di ZX1, namun kamera compact ini sudah dibekali memori internal sebesar 512GB – cukup untuk menyimpan sekitar 6.800 foto RAW dan lebih dari 50.000 JPG, sangat ideal untuk digunakan berfoto-foto saat liburan panjang. Selain Wi-Fi, ZX1 turut dilengkapi konektivitas Bluetooth dan USB type-C yang memungkinkan kita menyambungkannya ke sejumlah periferal.

Dalam mengabadikan momen, ZX1 mengandalkan sensor full-frame 37,4-megapixel buatan tim Zeiss sendiri, dikombinasikan bersama lensa Zeiss Distagon 35mm f/2 T*. Perpaduan sensor dan lensa tersebut menjanjikan ‘kualitas gambar kelas atas dengan karakteristik hasil foto khas Zeiss’.

Buat sekarang, Zeiss belum menginformasikan harga yang mereka patok untuk satu unit ZX1. Perusahaan Jerman itu hanya bilang akan mengumumkan harga retail ZX1 bersamaan dengan peluncuran produk, rencananya dilangsungkan di awal tahun 2019.

Sumber: Zeiss.

Canon PowerShot SX70 HS Unggulkan 65x Optical Zoom, Sempurnakan Banyak Aspek Pendahulunya

Kamera superzoom merupakan kategori yang cukup menarik. Umumnya kamera dalam kategori ini dirancang sebagai pendamping traveling yang serbabisa: dimensinya ringkas, akan tetapi menyimpan lensa dengan jangkauan zoom yang amat jauh, sehingga cocok untuk beragam kebutuhan.

Juli lalu, Canon meluncurkan PowerShot SX740 HS yang seukuran kamera saku tapi menawarkan 40x optical zoom. Kalau ternyata 40x masih dirasa kurang jauh, Canon punya penawaran baru lainnya, yakni PowerShot SX70 HS yang lebih besar sekaligus lebih jago meneropong.

Canon PowerShot SX70 HS

Kamera ini merupakan penerus langsung PowerShot SX60 HS, namun ternyata lensa yang digunakan masih sama: 21-1365mm (65x optical zoom, atau hampir separuh Nikon Coolpix P1000), dengan aperture maksimum f/3.4-6.5. Yang banyak dirombak justru adalah jeroannya.

SX70 mengemas sensor BSI (backside-illuminated) 1/2,3 inci dengan resolusi 20,3 megapixel. Ditemani oleh prosesor Digic 8, sensor ini sanggup menjepret dalam format RAW Canon CR3, yang ukuran file-nya lebih kecil daripada CR2. Video pun dapat ia rekam dalam resolusi 4K 30 fps, dengan bitrate maksimum 120 Mbps.

Canon juga menjanjikan sistem image stabilization yang lebih efektif lewat perpaduan sensor dan prosesor baru ini, dengan klaim bahwa sistemnya bisa mengompensasi guncangan hingga lima stop. Performa burst shooting-nya pun cukup gegas di angka 10 fps, atau 5,7 fps dengan continuous AF.

Canon PowerShot SX70 HS

Perubahan drastis lainnya ada pada viewfinder elektroniknya (EVF). Panel yang digunakan bukan lagi LCD beresolusi 922 ribu dot, tapi OLED 2,36 juta dot layaknya mayoritas kamera mirrorless. Sebelumnya absen, sensor mata kini hadir sehingga pergantian antara EVF dan LCD di bawahnya bisa terjadi secara otomatis.

Konektivitas Wi-Fi dan Bluetooth melengkapi fitur-fitur yang ditawarkan Canon PowerShot SX70 HS. Kamera ini rencananya akan dipasarkan pada akhir November mendatang seharga $550.

Sumber: DPReview.

Canon PowerShot SX740 HS Kecil Tapi Andalkan 40x Optical Zoom dan Perekaman Video 4K

Canon baru saja meluncurkan kamera compact baru, PowerShot SX740 HS, menggantikan PowerShot SX730 HS yang dirilis tahun lalu. Tampang luarnya terlihat mirip, sangat mirip bahkan, dan spesifikasinya pun sepintas juga sama persis.

Keunggulan utama kamera ini terletak pada lensanya, dengan focal length setara 24–960mm (40x optical zoom) dan bukaan f/3.3–6.9. Memang belum seekstrem Nikon Coolpix P1000 yang dirilis belum lama ini, tapi toh dimensinya juga jauh lebih ringkas. Sensor 1/2,3 inci beresolusi 20 megapixel milik pendahulunya juga masih ada di sini.

Canon PowerShot SX740 HS

Yang berbeda adalah penggunaan prosesor Digic 8, yang sanggup menggenjot performa kamera secara signifikan. Hasilnya, SX740 HS mampu merekam video dalam resolusi 4K 30 fps (pendahulunya cuma 1080p), dan burst shooting dengan continuous AF bisa dilakukan dalam kecepatan 7,4 fps. Mode time lapse 4K juga tersedia buat yang membutuhkan.

LCD 3 inci yang tertanam di belakangnya bisa dilipat ke atas sampai menghadap ke depan, membuat kamera ini ideal untuk para vlogger. Hal itu semakin diperkuat oleh sistem image stabilization 5-axis yang diklaim mampu mengompensasi guncangan sampai 3-stop.

Canon PowerShot SX740 HS

Wi-Fi, NFC, beserta Bluetooth merupakan fitur standar pada Canon PowerShot SX740 HS. Rencananya, kamera ini akan mulai dipasarkan pada bulan Agustus seharga $399.

Sumber: DPReview dan TechRadar.

Fujifilm XF10 Usung Sensor APS-C dalam Bodi Sekelas Kamera Saku

Fujifilm kembali meluncurkan kamera baru. Bukan mirrorless kali ini, melainkan yang masuk ke kategori kamera saku premium. Produk terakhir dari Fujifilm di segmen ini adalah Fujifilm X70, yang umurnya sekarang sudah dua tahun lebih.

Dinamai Fujifilm XF10, ia lebih pantas dianggap sebagai versi lebih simpel dari X70 ketimbang penerusnya. Desain keduanya cukup mirip, hanya saja XF10 tak lagi kelihatan retro seperti X70. Kendati demikian, premis utamanya masih sama: bodi kecil, sensor besar, dan dilengkapi lensa prime.

Fujifilm XF10

XF10 memiliki dimensi 113 x 64 x 41 mm, akan tetapi di dalamnya bernaung sensor APS-C 24 megapixel – sebagai perbandingan, Sony RX100 VI mengemas sensor 1 inci dalam bodi sebesar 102 x 58 x 43 mm. Resolusinya lebih tinggi dibanding sensor milik X70, akan tetapi yang dipakai oleh XF10 bukanlah sensor X-Trans, melainkan yang mengemas filter warna Bayer standar.

Menemani sensor tersebut adalah lensa fixed 18,5mm f/2.8 (setara lensa 28mm pada kamera full-frame). Focal length seperti ini jelas sangat menarik di mata street photographer – salah satu target pasar X70 – sayangnya XF10 tak lagi dilengkapi tuas untuk mengubah mode fokus dan tilting LCD seperti X70 dulu. Juga berubah adalah kenop shutter speed yang telah digantikan oleh mode dial

Sektor video rupanya juga bukan spesialisasi XF10. Ia memang bisa merekam dalam resolusi 4K, akan tetapi hanya pada kecepatan 15 fps saja. 15 fps menurut saya sangat tidak watchable dan lebih mirip deretan foto yang diputar dalam mode slideshow secara cepat. 1080p 60 fps adalah opsi yang lebih bijak bagi konsumen XF10.

Fujifilm XF10

Satu peningkatan yang dibawa XF10 dibanding X70 adalah joystick mini di bagian belakang, yang sangat praktis digunakan untuk mengubah titik fokus. XF10 juga mengusung layar sentuh, dan lewat layar ini pengguna juga dapat mengaktifkan Square Mode, alias pemotretan dalam aspect ratio 1:1 ala Instagram (pertama kalinya di lini Fuji X-Series).

Berita baiknya, XF10 tidak semahal X70 ketika pertama dirilis. Fujifilm mematok harga $500 untuk XF10, dan pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai Agustus mendatang di Amerika Serikat.

Sumber: DPReview.

Sony RX100 VI Datang Membawa Lensa Zoom yang Amat Jauh dan Performa Lebih Gegas

Setelah dirilis hampir dua tahun silam, Sony RX100 V akhirnya punya penerus. Generasi terbarunya, RX100 VI, membawa peningkatan yang cukup signifikan, meski desain dan dimensi bodinya kurang lebih masih sama seperti ketika generasi pertamanya diperkenalkan di tahun 2012.

Sensor berukuran besar (1 inci) sudah menjadi ciri khas seri RX100 sejak lama. Hal itu tidak berubah di generasi keenamnya, dan resolusinya tetap berada di kisaran 20,1 megapixel. Yang istimewa, sensor ini merupakan tipe stacked yang menyatu dengan chip DRAM, dan image processor-nya juga sudah ditemani oleh front-end LSI.

Sony RX100 VI

Anda tak perlu memusingkan istilah-istilah tersebut. Intinya, performa RX100 VI meningkat pesat dibanding pendahulunya: burst shooting dengan kecepatan 24 fps dalam posisi AF menyala dan buffer rate hingga 233 gambar (naik dari 150), phase-detection autofocus dengan kemampuan mengunci fokus dalam 0,03 detik saja, dan kinerja EyeAF Tracking dua kali lebih kencang.

Untuk video, RX100 VI masih mempertahankan opsi perekaman 4K 30 fps yang sangat mendetail (karena memanfaatkan seluruh penampang sensor). Slow-motion dalam kecepatan ekstrem 960 fps juga masih tersedia, tapi mungkin yang lebih ideal untuk sehari-hari adalah dalam kecepatan 120 fps dengan resolusi 1080p.

Sony RX100 VI

Namun yang mungkin lebih menarik justru adalah lensanya. Kalau sebelum-sebelumnya RX100 tergolong terbatas perihal zooming, RX100 VI berbeda sebab ia telah dibekali lensa 24-200mm (sebelumnya cuma 24-70mm). Sayangnya, aperture-nya jadi menurun dari f/1.8-2.8 menjadi f/2.8-4.5, dan kamera tak lagi dilengkapi ND filter terintegrasi.

Viewfinder elektronik dengan mekanisme pop-up masih tersedia, bahkan semakin sempurna karena tak lagi harus ditarik ujungnya secara manual (setelah nongol ke atas) ketika hendak digunakan. Di bawahnya, ada LCD yang bisa dimiringkan 90 derajat ke bawah, atau 180 derajat ke atas untuk memudahkan pengambilan selfie.

Sony RX100 VI

Menariknya, untuk pertama kalinya di seri RX100 LCD ini merupakan layar sentuh. Sudah sejak menjajal RX100 generasi pertama di tahun 2012 saya mengimpikan kehadiran touchscreen, dan akhirnya Sony mengabulkannya lewat RX100 VI, sehingga mengatur titik fokus bakal jauh lebih mudah mulai sekarang.

Di Amerika Serikat, Sony RX100 VI bakal dilepas ke pasaran mulai bulan depan dengan harga $1.200, $200 lebih mahal ketimbang RX100 V saat pertama kali diluncurkan.

Sumber: DPReview.