Sony a7R IV Siap Merebut Kembali Takhta Teratas di Segmen Mirrorless Full-Frame

Kita tahu Sony bukan lagi satu-satunya pemain di kancah mirrorless full-frame. Canon, Nikon dan Panasonic sudah mulai mengusik dominasi Sony, dan tentu saja Sony tidak mau tinggal diam. Mereka baru saja mengumumkan kamera terbarunya: Sony a7R IV.

Datang hampir dua tahun setelah pendahulunya, a7R IV tidak sebatas membawa pembaruan yang iteratif. Sony percaya kamera ini bakal memasang standar baru di segmen mirrorless full-frame, dan itu mereka wujudkan lewat sensor yang benar-benar gres (pertama kalinya sejak 2015 kalau menurut Sony).

Sensor full-frame yang tertanam di tubuh a7R IV ini mengemas resolusi 61 megapixel, diklaim mampu menyuguhkan dynamic range hingga 15 stop. Lalu seandainya resolusi setinggi itu masih dianggap kurang, masih ada fitur pixel shift yang memungkinkan kamera untuk menghasilkan foto beresolusi 240 megapixel, disatukan dari total 16 gambar.

Sony a7R IV

Resolusi yang amat tinggi juga tak harus berarti performa kamera harus dikorbankan. Pada kenyataannya, a7R IV sanggup menjepret tanpa henti hingga 68 gambar dengan kecepatan 10 fps, dan ini dalam resolusi penuh sekaligus continuous AF/AE tracking menyala. Juga masih dipertahankan adalah sistem image stabilization internal 5-axis.

Urusan autofocus, a7R IV pun jauh dari kata mengecewakan. Ia mengusung 567 titik phase detection autofocus (PDAF) beserta 425 titik contrast-detection, yang secara keseluruhan mencakup 74% area bingkai. Fitur Real-Time Tracking AF, Real-Time Eye AF, dan Animal Eye-AF yang sebelumnya eksklusif untuk Sony a9 kini telah diwariskan ke seri a7 melalui a7R IV.

Real-Time Eye AF ini bahkan bisa digunakan selagi merekam video. Kemampuannya mengambil video pun tak kalah mengesankan: 4K 30 fps hasil oversampling dari 6K, dengan bitrate maksimum 100 Mbps menggunakan codec XAVC S. Format ‘mentah’ S-Log2, S-Log3 maupun HLG turut tersedia sebagai salah satu opsi perekaman.

Sony a7R IV

Tak cuma menghadirkan pembaruan di dalam, a7R IV juga membawa pembaruan di luar. Fisiknya sedikit berbeda dari a7R III, utamanya berkat hand grip yang lebih tebal, serta layout tombol dan kenop yang lebih dioptimalkan. Sony pun juga telah memaksimalkan kapasitas weather sealing dari kamera ini dengan ‘menambal’ lebih banyak celah pada tubuhnya.

Di belakang, pengguna akan disambut oleh layar sentuh tilting serta viewfinder elektronik (EVF) berpanel OLED dengan resolusi 5,76 juta dot. Tepat di sebelah kanan atas LCD-nya, tampak joystick yang berukuran lebih besar dari sebelumnya, yang tentu saja dapat membantu memudahkan pengaturan titik autofocus ketika diperlukan.

Sony a7R IV rencananya akan dipasarkan mulai September mendatang seharga $3.500 (body only). Sejumlah aksesori terpisah yang bakal menemaninya mencakup vertical grip (VG-C4EMO) seharga $400, shotgun microphone (ECM-B1M) dengan integrasi analog-to-digital converter seharga $350, dan XLR microphone adapter kit (XLR-K3M) seharga $600.

Sumber: DPReview.

Kini Jauh Lebih Murah, Action Cam SiOnyx Aurora Sport Unggulkan Teknologi Night Vision Penuh Warna

Apa jadinya ketika perusahaan pengembang teknologi night vision pemenang proyek tender dari angkatan bersenjata Amerika Serikat menggarap sebuah kamera? SiOnyx Aurora jawabannya, sebuah action cam yang masuk kategori anti-mainstream berkat kemampuannya melihat dalam kegelapan sekaligus menangkap segala warna yang ada.

Kamera itu diperkenalkan tahun lalu melalui platform crowdfunding Kickstarter, sebelum akhirnya dipasarkan secara luas seharga $799. Banderol tersebut jelas terkesan kelewat mahal buat sebagian besar konsumen, apalagi jika menimbang kapabilitas perekaman videonya yang terbatas di resolusi 720p 60 fps saja.

SiOnyx Aurora Sport

Namun itu merupakan hal yang patut dimaklumi dari sebuah produk dengan teknologi yang masih tergolong baru. Seiring waktu, ongkos produksi yang dibutuhkan dapat terus ditekan, dan itu sudah dibuktikan oleh SiOnyx baru-baru ini lewat peluncuran SiOnyx Aurora Sport.

Aurora Sport pada dasarnya merupakan action cam yang identik seperti bikinan SiOnyx tahun lalu. Bentuknya masih silindris, dan di dalamnya masih bernaung sensor 1 inci yang 10x lebih sensitif terhadap cahaya ketimbang sensor pada umumnya. Ini dicapai berkat teknologi semikonduktor yang sama persis seperti yang SiOnyx gunakan pada proyeknya bersama angkatan bersenjata AS.

SiOnyx Aurora Sport

Juga belum berubah adalah lensa 16mm f/1.4-5.6 di ujung depan, serta micro OLED viewfinder di ujung belakang. Semuanya dikemas dalam rangka kedap air dengan sertifikasi IP67, dan SiOnyx tentu tidak lupa menyediakan slot kartu microSD beserta konektivitas Wi-Fi agar kamera bisa disambungkan ke perangkat Android maupun iOS via aplikasi pendamping.

Satu-satunya pembeda Aurora Sport dan Aurora versi pertama adalah banderol harganya. SiOnyx bakal memasarkan Aurora Sport seharga $399, atau persis separuh harga versi orisinalnya. Ini merupakan pencapaian yang cukup signifikan mengingat teknologi night vision sekelas ini sebelumnya cuma bisa didapat di kamera berharga ribuan dolar.

Sumber: DPReview.

Sigma fp Adalah Kamera Mirrorless Full-Frame yang Dapat Dikantongi di Saku Celana

Diumumkan pada tahun 2012, Sony RX1 masih memegang predikat kamera full-frame terkecil yang pernah ada. Namun RX1 mengusung lensa fixed alias yang tidak bisa dilepas-pasang, dan 2019 merupakan tahunnya kamera mirrorless full-frame, utamanya berkat perlawanan dari Nikon, Canon, sekaligus Panasonic terhadap dominasi Sony di segmen ini.

Itulah mengapa kreasi terbaru Sigma berikut ini terdengar begitu menarik. Kamera bernama Sigma fp ini mungil, bersensor full-frame, tapi juga siap digonta-ganti lensanya. Ya, ini merupakan kamera mirrorless full-frame yang bisa kita kantongi dengan mudah di saku celana – tentunya dalam posisi tidak ada lensa yang terpasang.

Secara spesifik, Sigma fp memiliki dimensi 112,6 x 69,9 x 45,3 mm, dengan bobot 370 gram (422 gram jika diisi baterai dan SD card). Di dalamnya bernaung sensor BSI-CMOS full-frame 24,6 megapixel, namun yang mengandalkan filter Bayer tradisional ketimbang teknologi Foveon yang sudah menjadi ciri khas Sigma selama ini.

Sigma fp

Sensor ini memiliki sensitivitas ISO 100 – 25600, sedangkan sistem autofocus-nya mengandalkan model contrast detection dengan 49 titik, lengkap beserta dukungan terhadap fitur seperti face detection, eye detection, maupun subject tracking. Performa kamera ini juga amat mengesankan, sanggup memotret dalam format DNG RAW 14-bit dengan kecepatan hingga 18 fps.

Angka setinggi itu dicapai dengan memanfaatkan shutter elektronik, dan ternyata Sigma fp sama sekali tidak memiliki shutter mekanis. Absennya shutter mekanis merupakan alasan utama mengapa Sigma fp bisa sekecil ini.

Sigma fp mengandalkan dudukan lensa L-Mount, yang Sigma kembangkan bersama Panasonic dan Leica. Beralih ke sisi belakang bodi weather sealed-nya, terdapat layar sentuh 3,2 inci beresolusi 2,1 juta dot. Tentu saja tidak ada ruang lagi untuk sebuah viewfinder elektronik.

Sigma fp

Urusan video, Sigma fp tidak kalah mengesankan. Dibantu oleh external recorder yang menyambung via port USB 3.1, ia mampu merekam video 4K 24 fps dalam format CinemaDNG RAW 12-bit. Kendala yang kerap dijumpai kamera compact di sektor perekaman video adalah overheating, tapi Sigma fp berhasil mengatasinya berkat heat sink terintegrasi.

Sigma tak lupa mengklaim bahwa fp siap digunakan oleh kalangan sineas profesional. Ini dikarenakan rancangannya yang modular, di mana pengguna dapat menambah beraneka ragam aksesori macam hot shoe, viewfinder, hand grip, dan masih banyak lagi, baik bikinan Sigma sendiri maupun pabrikan lain.

Sigma fp

Gambaran lebih jelasnya mengenai sifat modular Sigma fp bisa Anda lihat sendiri melalui video di bawah. Di situ bisa kita lihat bagaimana kamera seringkas ini dapat disulap menjadi kamera sinema bongsor berkat bantuan segudang aksesori.

Sigma fp sendiri rencananya baru akan dipasarkan pada musim semi mendatang, tapi sejauh ini belum ada info apapun terkait harganya. Pasca peluncuran fp, Sigma juga berniat meluncurkan varian lain fp yang mengemas sensor Foveon. Varian bersensor Foveon ini kabarnya mengemas resolusi 20 megapixel per layer, dengan resolusi total melebihi angka 60 megapixel.

Sumber: PetaPixel.

Canon G7 X Mark III dan G5 X Mark II Bawa Peningkatan Pesat Berkat Teknologi Stacked Sensor

Segmen kamera compact premium baru saja kedatangan dua pemain anyar dari kubu Canon, yakni G7 X Mark III dan G5 X Mark II. Dibandingkan pendahulunya, masing-masing kamera membawa peningkatan yang amat signifikan, utamanya berkat teknologi stacked sensor.

Teknologi ini sejatinya memungkinkan chip DRAM untuk ditambatkan langsung ke belakang sensor gambar. Sony sudah cukup lama menggunakannya, dan itulah mengapa kamera-kameranya yang mengandalkan sensor semacam ini sanggup menjepret tanpa henti dalam kecepatan yang mengesankan.

Canon G7 X Mark III

Dalam kasus Canon, G7 X Mark III dan G5 X Mark II memiliki kapabilitas burst shooting dalam format RAW + JPEG masing-masing di angka 8,3 dan 8 fps, dan itu dengan continuous autofocus menyala. Ini merupakan peningkatan yang sangat pesat; G5 X generasi pertama hanya bisa mencatatkan kecepatan burst 1,1 fps saja dalam format RAW.

Sensornya sendiri memiliki ukuran penampang 1 inci dengan resolusi 20 megapixel, baik pada G7 X Mark III maupun G5 X Mark II. Perpaduannya dengan prosesor Digic 8 memungkinkan kedua kamera untuk merekam video dalam resolusi 4K 30 fps, atau 1080p 120 fps, sekali lagi meningkat jauh dibanding masing-masing pendahulunya yang terbatas di 1080p 60 fps.

Canon G7 X Mark III

Lalu apa yang membedakan kedua kamera ini? Untuk G7 X Mark III, fokusnya masih sama seperti sebelumnya, yakni untuk keperluan vlogging, utamanya berkat layar sentuh yang dapat dilipat hingga menghadap ke depan. Ini semakin dimatangkan berkat fitur live streaming ke YouTube, yang hanya tersedia pada G7 X Mark III.

Bukankah live streaming akan semakin menguras baterai G7 X Mark III yang sudah pasti berkapasitas kecil? Betul, itulah mengapa Canon telah merancang agar kamera ini bisa beroperasi dengan mengandalkan saluran energi dari sambungan USB, sangat berguna seandainya pengguna menyambungkannya ke handheld gimbal atau stabilizer.

Canon G5 X Mark II

G5 X Mark II di sisi lain juga mengemas layar sentuh yang dapat dilipat 180°, namun yang menjadi fitur unggulannya adalah sebuah pop-up electronic viewfinder (EVF) berpanel OLED macam yang selama ini menjadi andalan seri Sony RX100 sejak generasi ketiganya. Ini sangat berbeda dari G5 X generasi pertama yang wujudnya menyerupai DSLR, dengan tonjolan di tengah panel atasnya sebagai rumah dari viewfinder.

G5 X Mark II kini terkesan jauh lebih ringkas dan lebih mirip seperti G7 X. Namun masih ada lagi satu hal lain yang membedakannya: lensanya mampu melakukan zooming lebih jauh, dengan spesifikasi 24-120mm f/1.8-2.8. G7 X Mark III di sisi lain mengusung lensa 24-100mm f/1.8-2.8.

Canon G5 X Mark II

Kedua kamera compact premium ini bakal dipasarkan mulai bulan Agustus mendatang. Canon G7 X Mark III dibanderol $749, sedangkan Canon G5 X Mark II seharga $899.

Sumber: DPReview.

Octopus Camera Adalah Kamera Sinema Modular yang Dapat Diprogram Sesuai Kebutuhan

Kamera sinema macam bikinan RED pada dasarnya sudah bisa dianggap sebagai sebuah komputer mini yang kebetulan memiliki sensor dan bisa dipasangi lensa. Namun yang namanya komputer semestinya dapat diprogram sesuai kebutuhan, dan kamera-kamera RED rupanya tidak demikian.

Kalau yang dicari adalah keleluasaan memprogram suatu kamera sesuai keperluan, mungkin inisiatif dari perusahaan bernama Octopus Cinema ini bisa menarik perhatian. Mereka baru saja menyingkap Octopus Camera, sebuah kamera sinema yang bersifat modular seperti besutan RED, tapi yang juga bersifat open-source, mudah di-upgrade dan mudah diprogram.

Saat ini Octopus Camera masih dalam tahap pengembangan awal, akan tetapi pengembangnya tidak segan membeberkan detail-detail seputar kapabilitasnya. Rahasia utamanya terletak pada penggunaan mainboard mini Intel NUC, lengkap beserta prosesor 8-core Intel i7-8650U dan RAM DDR4 16 GB atau 32 GB, yang dikawinkan dengan sistem operasi berbasis Linux.

Kombinasi ini secara langsung mengubah statusnya menjadi sebuah open platform, dan di sini Octopus juga menyediakan SDK (software development kit) guna memaksimalkan kinerjanya, menyesuaikan dengan berbagai skenario yang ada. Inilah yang saya maksud dengan kemudahan untuk memprogramnya sesuai kebutuhan.

Octopus Camera

Salah satu contoh yang diberikan adalah penggunaan Octopus Camera untuk keperluan menambahkan special effect pada suatu adegan film. Berkat sifat terbukanya, kamera ini bisa dijejali dengan proyek AR berbasis Unity3D yang mengemas sejumlah aset CG (computer graphics), dan ini dapat dipakai untuk ‘menembakkan’ special effect langsung di atas komposisi secara real-time tanpa bantuan hardware tambahan.

Kalau memang performanya sudah dirasa berkurang, mainboard beserta prosesornya ini juga bisa dilepas dan diganti dengan yang lebih baru. Namun sifat modularnya belum berhenti sampai di situ saja; sensornya pun juga dapat dilepas-pasang dari sasis aluminiumnya yang berwujud kubus, dengan panjang tiap sisi 110 mm dan bobot sekitar 900 gram.

Untuk sekarang, pengembangnya sedang mengerjakan dua versi Octopus Camera yang berbeda. Satu akan dibekali sensor full-frame beresolusi 5K, sedangkan satunya dengan sensor Four Thirds beresolusi 4K. Kedua versi ini sama-sama sanggup merekam video lossless 12-bit RAW dalam resolusi 4K 30 fps.

Namun jika tidak membutuhkan format lossless, resolusi dan frame rate-nya jelas bisa ditingkatkan secara drastis pada kedua versi. Untuk merekam video 10-bit HEVC misalnya, versi 5K-nya dapat merekam dengan frame rate maksimum 48 fps, sedangkan versi 4K-nya dengan frame rate 70 fps.

Octopus Camera

Dua versi tersebut barulah versi mainstream, sebab Octopus juga merancang kamera ini agar bisa mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan yang sangat niche. Contohnya adalah dukungan terhadap sensor monokrom, atau yang mendukung global shutter, dan masih banyak lagi.

Berhubung Octopus Camera saat ini masih berupa prototipe awal, pengembangnya belum bisa memberikan estimasi harga jualnya. Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, mereka berharap bisa memasarkan kamera ini mulai musim panas tahun 2020.

Sumber: NewsShooter.

Sony RX100 III Video Creator Kit Adalah Bundel Menarik untuk YouTuber yang Tak Membutuhkan Kamera 4K

Seorang vlogger umumnya memulai kiprahnya dengan berbekal kamera smartphone saja. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya jumlah penonton, sang vlogger biasanya ingin meningkatkan kualitas karyanya. Cara yang termudah tentu adalah dengan membeli sebuah kamera. Apakah harus kamera yang baru dirilis dalam satu atau dua tahun terakhir? Tentu tidak.

Pendapat itu bukan datang dari saya, melainkan dari Sony selaku salah satu produsen kamera paling top saat ini. Mereka baru saja meluncurkan RX100 III Video Creator Kit, sebuah bundel yang mencakup kamera RX100 III itu sendiri, lengkap beserta grip VCT-SGR1, SD card 64 GB, dan baterai NP-BX1 ekstra.

Model terbaru dari seri Sony RX100 saat ini adalah RX100 VI, dan di titik ini RX100 III pun sudah berusia lima tahun sejak perilisannya. Namun itu bukan berarti ia tak bisa menjalankan tugasnya sebagai senjata utama para YouTuber, apalagi dengan bantuan grip yang dapat merangkap peran sebagai tripod tersebut.

Sony RX100 III Video Creator Kit

Sekadar mengingatkan, RX100 III mengemas sensor 1 inci beresolusi 20 megapixel. Ditemani oleh lensa 24-70mm f/1.8-2.8, ia siap merekam video 1080p 60 fps dalam format XAVC S yang amat efisien. Sederhananya, kalau Anda tidak berniat mengunggah video beresolusi 4K, RX100 III saja sebenarnya sudah cukup bisa diandalkan.

Merekam video 4K pun sebenarnya tidak semudah yang kita bayangkan. Hal itu diungkapkan oleh rekan saya, Lukman, saat menguji RX100 VI secara ekstensif: kamera itu hanya bisa merekam video 4K dengan durasi maksimum 5 menit saja, dan setelahnya bodi kamera jadi terasa cukup panas.

Tentunya RX100 VI masih punya banyak keunggulan di sejumlah aspek, namun kalau yang dicari hanya sebatas merekam video 1080p, RX100 III saja sebenarnya sudah cukup. Tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam, Anda sudah bisa mendapatkan kamera yang sangat kapabel untuk perekaman video full-HD, dan di saat yang sama juga semakin terbantu berkat kehadiran aksesori macam grip sekaligus tripod beserta baterai ekstra.

Kira-kira demikian yang ingin disampaikan Sony melalui bundel ini. Rencananya, Sony RX100 III Video Creator Kit bakal dipasarkan mulai bulan Juli ini seharga $800. Sayang belum ada informasi terkait ketersediaannya di pasar tanah air.

Sumber: DPReview.

Hasselblad Luncurkan Penerus Kamera Mirrorless Medium Format-nya, X1D II 50C

Tiga tahun lalu, Hasselblad menyingkap X1D, kamera mirrorless pertama di dunia yang mengemas sensor medium format, yang ukuran penampangnya jauh lebih besar ketimbang sensor full-frame. Kini giliran penerusnya yang unjuk gigi; X1D II 50C menghadirkan sejumlah penyempurnaan dari segi performa maupun pengoperasian.

X1D II masih menggunakan sensor medium format beresolusi 50 megapixel yang sama seperti pendahulunya. Namun kelemahan X1D generasi pertama bukanlah kualitas gambar, melainkan performanya. Itulah mengapa Hasselblad menyematkan prosesor baru pada X1D II, yang pada akhirnya sanggup memangkas waktu booting kamera hingga 46%, serta meningkatkan performanya secara keseluruhan.

Kemampuan burst shooting-nya naik sedikit menjadi 2,7 fps. Di samping itu, kehadiran prosesor baru ini juga berhasil mendongkrak refresh rate dari viewfinder elektronik (EVF) milik X1D II, yang kini berada di angka 60 fps. Tidak ketinggalan juga adalah peningkatan resolusi EVF menjadi 3,69 juta dot, serta tingkat perbesaran yang naik menjadi 0,87x.

Hasselblad X1D II 50C

Terkait pengoperasian, X1D II mengandalkan layar sentuh yang berukuran lebih besar, tepatnya 3,6 inci, dengan resolusi yang lebih tinggi pula di angka 2,36 juta dot. Tak hanya itu, tampilan menunya juga sudah disempurnakan agar lebih mudah dikuasai, dan menu-menunya pun kini juga dapat diakses lewat EVF.

Perubahan lain yang sepele namun tetap menarik adalah mode pemotretan JPEG-only. Sebelum ini, X1D orisinal hanya bisa memotret dalam format RAW atau JPEG+RAW saja. Juga menarik adalah bagaimana baterai 24,7 Wh miliknya kini dapat di-charge menggunakan adaptor atau langsung via colokan USB kamera, yang berarti X1D II dapat menerima suplai daya dari power bank di saat darurat.

Hasselblad X1D II 50C

Masih seputar USB, Hasselblad juga telah meng-update aplikasi pendamping X1D II yang bernama Phocus Mobile 2 agar dapat menyambung langsung ke iPad Pro generasi ketiga via kabel USB-C. Terakhir, X1D II juga telah mengemas GPS terintegrasi, tidak seperti pendahulunya yang memerlukan aksesori terpisah.

Bagian terbaiknya, Hasselblad X1D II juga dibanderol jauh lebih terjangkau daripada pendahulunya – meski tetap saja mahal – di angka $5.750 (body only), lebih mendekati harga Fujifilm GFX 50R yang bermain di segmen yang sama. Pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai bulan Juli mendatang.

Sumber: DPReview.

Fujifilm GFX100 Resmi Diluncurkan, Mirrorless dengan Sensor Medium Format Beresolusi 102 Megapixel

Resmi sudah, Fujifilm akhirnya meluncurkan kamera monster yang mereka pamerkan prototipenya pada ajang Photokina tahun lalu, yaitu GFX 100. Kamera ini bisa dianggap sebagai pembuktian terhadap anggapan Fujifilm bahwa kamera mirrorless bersensor full-frame terkesan tanggung.

Hal paling utama yang harus disoroti dari GFX 100 tentu saja adalah sensornya. Kamera ini mengemas sensor medium format yang sama seperti milik GFX 50S maupun GFX 50R, tapi di sini resolusinya telah dilipatgandakan menjadi 102 megapixel. Secara otomatis ini menjadikannya sebagai kamera mirrorless dengan resolusi tertinggi yang ada saat ini.

Fujifilm GFX100

Namun GFX 100 bukan sebatas mengunggulkan resolusi begitu saja. Kecanggihannya juga meliputi sistem image stabilization internal 5-axis, serta sistem phase-detection autofocus (PDAF) yang cakupannya hampir menutupi seluruh penampang sensor, dengan total 3,76 juta pixel phase-detection yang tersebar.

Sistem autofocus-nya ini merupakan peningkatan pesat dibanding yang terdapat pada GFX 50S maupun GFX 50R. Fuji mengklaim GFX100 mampu mengunci fokus 210% lebih cepat ketimbang GFX 50R yang masih ditenagai oleh sistem contrast-detection autofocus konvensional. Jadi untuk fotografer olahraga atau fotografer satwa liar, mereka jelas akan lebih memilih GFX 100.

Juga patut diapresiasi adalah kemampuan GFX100 merekam video 4K 30 fps, pertama kalinya bagi kamera mirrorless dengan sensor sebesar ini. Lebih lanjut, jika bicara dalam konteks profesional, GFX 100 juga menyediakan opsi perekaman berformat uncompressed 4:2:2 10-bit via port HDMI miliknya.

Fujifilm GFX100

Semua itu berhasil dikemas dalam bodi yang dimensinya tidak lebih besar dari kamera DSLR full-frame kelas flagship, macam Canon 1D X Mark II, misalnya. Bobotnya pun hanya berkisar 1,36 kilogram, dan itu sudah mencakup sepasang baterai, sebuah memory card (slot-nya sendiri ada dua), serta viewfinder elektronik (EVF).

Apa hubungan EVF dengan bobot perangkat? Well, rupanya GFX100 mempunyai EVF yang dapat dilepas-pasang. Untuk apa harus dilepas? Supaya pengguna dapat menggantinya dengan aksesori opsional berupa EVF yang dapat diputar (swivel) sekaligus dinaik-turunkan sudutnya (tilt) demi fleksibilitas ekstra selagi memotret.

Fujifilm GFX100

Di samping jendela bidik, tentunya pengguna juga bisa memanfaatkan layar sentuh 3,2 inci miliknya. Layar beresolusi 2,36 juta dot ini juga bisa di-tilt, malahan secara total ke 3 arah, sehingga tetap terasa ideal dalam orientasi landscape maupun portrait.

Tertarik? Siapkan saja dana sebesar $10.000 untuk meminang Fujifilm GFX100 (body only tentu saja) saat mulai dipasarkan pada 27 Juni mendatang.

Sumber: PetaPixel.

Masih Tangguh, Olympus Tough TG-6 Lebih Jago Urusan Macro Photography Dibanding Pendahulunya

Olympus baru saja merilis kamera anyar. Melihat wujudnya, kita bisa langsung tahu karakter rugged yang ditawarkan oleh kamera bernama Olympus Tough TG-6 ini. Lalu jika kita jeli, kita juga akan menyadari bahwa tampilan luarnya nyaris tidak berbeda ketimbang pendahulunya, Olympus Tough TG-5, yang dirilis dua tahun silam.

Dari segi fisik, Tough TG-6 memang tidak membawa pembaruan yang berarti. Parameter-parameter ketangguhannya masih sama persis: tahan air sampai kedalaman 15 meter tanpa casing, dustproof dan shockproof dari ketinggian 2,4 mm, crushproof sampai 100 kgf, dan freezeproof hingga -10° C. Sedikit berbeda adalah penambahan lapisan anti-reflektif di sekitar sensor TG-6 untuk meminimalkan efek flare dan ghosting.

Sensor yang digunakan pun masih sama: 1/2,3 inci backside-illuminated CMOS dengan resolusi 12 megapixel, lengkap dengan dampingan prosesor TruePic VIII dan lensa 25-100mm f/2.0-4.9. Yang agak berbeda, TG-6 dibekali mode mikroskop yang cukup advanced. Jadi ketika sedang mengunci fokus pada subjek yang berada hanya 1 cm di depan lensa, kamera ini masih bisa memperbesar gambar sampai 44x lipat.

Olympus Tough TG-6

Singkat cerita, Tough TG-6 lebih bisa diandalkan untuk keperluan macro photography ketimbang pendahulunya. Hal yang sama juga berlaku pada skenario bawah air mengingat Olympus juga telah membekali kamera ini dengan mode mikroskop khusus selagi menyelam.

Pembaruan lainnya mencakup LCD beresolusi lebih tinggi; 1,04 juta dot dibanding 460 ribu dot milik pendahulunya. Selebihnya, kamera ini masih menyimpan segala kelebihan yang sudah pendahulunya tawarkan, mulai dari kemampuan merekam video 4K, focus stacking sampai kemampuan untuk menyematkan data-data seperti lokasi, suhu, ketinggian atau arah pada foto dan video yang diambil.

Olympus memilih akhir Juni mendatang sebagai jadwal pemasaran Tough TG-6. Banderol harganya dipatok $449, sama persis seperti model sebelumnya. Mengingat pembaruan yang dihadirkan tergolong kurang signifikan, mungkin akan lebih bijak apabila konsumen Tough TG-5 tidak terburu-buru melakukan upgrade.

Sumber: DPReview.

DJI Osmo Action Siap Jadi Rival Kuat GoPro Hero 7

Mendengar nama DJI, saya yakin kita semua pasti langsung teringat dengan drone. Namun mulai sekarang bersiaplah mendengar DJI disebut-sebut sebagai rival berat GoPro. Pabrikan asal Tiongkok itu baru saja menyingkap action cam yang sangat menarik bernama Osmo Action.

Branding “Osmo” pertama kali DJI pakai di tahun 2015. Produk-produk bikinan DJI yang mengusung nama Osmo selama ini sejatinya punya satu kesamaan: semuanya sama-sama melibatkan gimbal 3-axis, mulai dari Osmo generasi pertama sampai Osmo Pocket yang diluncurkan mendekati akhir tahun lalu.

DJI Osmo Action

Osmo Action tidak demikian. Seperti yang bisa kita lihat, bentuknya sangat menyerupai GoPro Hero 7. Absennya gimbal bukan berarti ia tak mampu menghasilkan video yang stabil, sebab DJI telah berhasil mengemas kapabilitas yang sama dalam wujud sistem electronic image stabilization.

Sistem serupa merupakan salah satu nilai jual utama GoPro Hero 7 Black. GoPro menyebutnya dengan istilah HyperSmooth, sedangkan DJI memilih nama RockSteady. Saya cukup yakin cara kerja kedua sistem ini cukup mirip, sebab hasil akhirnya pun tidak jauh berbeda berdasarkan video-video komparasi yang saya tonton di YouTube.

Singkat cerita, RockSteady memungkinkan Osmo Action untuk menghasilkan video yang begitu mulus (tidak terguncang-guncang) meskipun perekamnya sedang berlari ataupun melompat-lompat. HyperSmooth milik GoPro Hero 7 Black pun sebenarnya juga sama, lalu apa nilai jual lain yang bisa DJI tawarkan?

DJI Osmo Action

Yang paling menarik menurut saya adalah hadirnya layar mini di samping lensa Osmo Action. Tidak seperti layar depan GoPro Hero 7 yang hanya bisa menampilkan indikator demi indikator, layar depan Osmo Action yang berukuran 1,4 inci ini dapat berfungsi sepenuhnya sebagai jendela bidik alias viewfinder demi memudahkan pengambilan selfie ataupun sesi vlogging.

Beralih ke belakang, tampak layar sentuh 2,25 inci yang mendominasi, sama kasusnya seperti GoPro Hero 7. Baik layar depan dan belakangnya ini sama-sama memiliki tingkat kecerahan maksimum 750 nit sehingga masih mudah dilihat di bawah terik matahari sekalipun. Selain touchscreen, Osmo Action turut mengusung tiga tombol pengoperasian, dan andai diperlukan, juga bisa dioperasikan via perintah suara.

DJI Osmo Action

Bagaimana dengan spesifikasinya? Di sini DJI telah menyematkan sensor CMOS 1/2,3 inci beresolusi 12 megapixel yang digandengkan dengan lensa f/2.8 bersudut pandang seluas 145°. Opsi perekaman paling tingginya berada di resolusi 4K 60 fps, dengan bitrate 100 Mbps, sedangkan untuk para penggemar video slow-motion, ada pilihan resolusi 1080p 240 fps.

Mode-mode seperti HDR dan time lapse tentu tersedia, dan semua ini akan disimpan ke dalam kartu microSD, dengan dukungan kapasitas maksimum hingga 256 GB. Terkait baterai, DJI mengklaim waktu penggunaan Osmo Action hingga 93 menit nonstop untuk perekaman di resolusi 4K 30 fps dan dengan RockSteady dalam posisi aktif, atau hingga 135 menit di resolusi 1080p 30 fps tanpa RockSteady.

Sebagai sebuah action cam, perangkat ini sudah pasti memiliki bodi yang tangguh; tahan debu, tahan banting meski terjatuh dari ketinggian 1,5 meter, tahan air sampai kedalaman 11 meter tanpa bantuan casing, dan tahan beku hingga suhu -10° Celsius. Tentu saja semua ini masih bisa ditingkatkan lagi dengan bantuan bermacam aksesori, termasuk halnya aksesori untuk action cam GoPro.

DJI Osmo Action

Menimbang semua ini, tidak berlebihan apabila banyak yang menganggap DJI Osmo Action sebagai kompetitor terkuat GoPro Hero 7 Black sejauh ini. Lebih gawat lagi buat GoPro, banderol Osmo Action ternyata sedikit lebih murah: $349 saat dipasarkan mulai 22 Mei.

Jelas ini merupakan momok buat GoPro. Tiga tahun lalu, mereka sempat mencoba bermain-main ke kandang DJI lewat sebuah drone bernama Karma. Namun ternyata drone perdana GoPro itu juga sekaligus menjadi yang terakhir, sebab di awal 2018 mereka memutuskan untuk mundur sepenuhnya dari bisnis drone.

Salah satu alasannya sudah pasti karena dominasi DJI di segmen consumer drone yang terlampau besar. Sekarang posisinya terbalik, giliran DJI yang bertandang ke rumah GoPro. Kita lihat saja seperti apa rivalitas keduanya di segmen action cam ke depannya.

Sumber: PetaPixel.