Fujifilm Luncurkan Kamera Mirrorless Kelas Entry Baru, X-A10

Populer di kalangan enthusiast dan profesional, Fujifilm terus mengerahkan upayanya untuk menembus pasar mainstream. Setelah memperkenalkan X-A3 pada bulan Agustus – dan membawanya ke Indonesia baru-baru ini – Fuji kembali mengungkap kamera mirrorless kelas entry terbarunya, X-A10.

X-A10 merupakan model yang paling terjangkau dari lini X-Series besutan Fujifilm. Secara performa, ia setara dengan X-A2 yang dirilis tahun lalu, mengusung sensor APS-C 16,3 megapixel dengan sensitivitas ISO 200 – 25600. Pun begitu, Fuji mengklaim telah mendesain ulang sensor ini agar mampu mereproduksi warna kulit yang akurat seperti sensor X-Trans yang dimiliki model X-Series yang lebih mahal.

Fitur Film Simulation yang sangat dicintai pengguna setia Fujifilm turut hadir di X-A10. Total ada 6 pilihan yang bisa digunakan: Provia (standard), Velvia (vivid), Astia (soft), Classic Chrome, Monochrome dan Sepia.

Fujifilm X-A10 mengadopsi desain retro seperti semua kakaknya / Fujifilm
Fujifilm X-A10 mengadopsi desain retro seperti semua kakaknya / Fujifilm

Soal desain, X-A10 tetap mengadopsi gaya retro seperti semua model X-Series. Dimensinya dipastikan lebih ringkas dari model yang lain, dan grip-nya telah dioptimalkan untuk penggunaan satu tangan, terutama saat mengambil selfie. Yup, sama seperti X-A2 dan X-A3, X-A10 menyimpan sejumlah fitur yang dikhususkan untuk mempermudah pengguna bernarsis ria.

Yang pertama adalah LCD 3 inci yang bisa diputar 180 derajat menghadap ke depan. Dalam posisi ini, fitur Eye Detection AF akan otomatis aktif, dan pengguna dapat mengambil foto menggunakan command dial yang terletak di panel belakang – lebih gampang daripada menekan tombol shutter ketika kamera dihadapkan ke pengguna.

Anda tidak mendapat layar sentuh di sini. Kalau itu merupakan suatu keharusan, maka X-A3 yang bisa Anda lirik. Terlepas dari itu, kedua model sama-sama diprioritaskan untuk memudahkan pengambilan foto selfie selagi menawarkan kualitas jauh di atas kamera saku.

LCD-nya bukan layar sentuh seperti milik X-A3 / Fujifilm
LCD-nya bukan layar sentuh seperti milik X-A3 / Fujifilm

Fuji pun tampaknya juga memperhatikan potensi X-A10 dalam vlogging. Hal ini terbukti dari sistem image stabilization 5-axis yang merupakan perpaduan metode optik dan elektronik. Harapannya, video 1080p yang diambil bisa tampak mulus meski pengguna tidak memakai tripod.

Konektivitas Wi-Fi turut terintegrasi untuk memudahkan transfer data dan kontrol dari kejauhan. Baterainya diyakini bisa bertahan hingga 410 jepretan, dan kamera juga dapat di-charge langsung menggunakan kabel USB.

Fujifilm X-A10 akan dipasarkan mulai bulan Januari mendatang seharga $499, dibundel bersama lensa XC 16-50mm f/3.5-5.6 OIS II.

Sumber: Fujifilm.

Dibekali Fitur-Fitur Favorit Konsumen Asia Tenggara, Fujifilm X-A3 Hadir di Indonesia

Fujifilm meramu X-A1 sebagai kamera berlensa interchangeable dengan harga paling terjangkau dan kesuksesannya mendorong sang spesialis imaging Jepang itu menciptakan penerusnya yang dititikberatkan pada kepabilitas self-portrait. Lalu di bulan Agustus silam, Fujifilm menyingkap iterasi ketiga kamera mirrorless tersebut, dibekali sejumlah perbaikan serta fitur-fitur baru.

Fujifilm X-A2 populer di kalangan generasi muda serta laris manis di pasar Asia, melebihi penjualan di negara-negara barat. Mungkin hal inilah yang membuat Fujifilm tidak mau menunda-nunda pelepasan model barunya di lebih banyak wilayah. Di tanggal 17 November kemarin, Fujifilm mengadakan konferensi pers peluncuran X-A3 di Indonesia. Seperti pendahulunya, kamera dibangun atas dasar tiga prinsip: kualitas gambar jempolan, fungsionalitas, dan mengendepankan desain retro.

Fujifilm X-A3 14

X-A3 tetap mengusung arahan desain keluarga X-A, dengan penampilan bertema klasik yang dimaksudkan buat memberikan kesan fresh dan fashionable. Menurut Fuji, arahan ini membuatnya disukai oleh konsumen di segmen usia muda. Dari penuturan langsung CEO Fujifilm Indonesia Masatsugu Naito, X-A3 memang dirancang secara spesifik untuk user di area Asia Pasifik – khususnya Asia Tenggara.

Fujifilm X-A3 5

Fujifilm X-A3 6

Tubuh kamera – bagian atas, pelat depan dan dial – tersusun dari material aluminium. Fujifilm juga mengembangkan bahan kulit sintetis baru, diposisikan di zona kiri dan grip kanan, dimaksudkan buat menonjolkan tekstur ala kulitnya dan meningkatkan daya cengkram. Di area jangkauan jempol tangan kanan, Anda dapat segera menemukan dial, switch power dan tombol shutter dengan penempatan yang familier.

Fujifilm X-A3 10

Fujifilm X-A3 11

Bagian layar LCD di belakang memanfaatkan mekanisme slide-and-tilt sehingga panel tidak tertutup oleh body ketika Anda memutarnya 180 derajat ke depan. Menariknya lagi, bagian grip telah di-upgrade agar tetap mantap saat Anda ber-selfie – ketika dioperasikan secara terbalik menggunakan tangan kiri. Fungsi Self Timer kini juga dilengkapi mode Smile Detection, Buddy Timer serta Group Timer. Tanpa perlu menekan tombol, shutter dapat dipicu oleh senyuman atau sewaktu beberapa orang berkumpul bersama.

Fujifilm X-A3 7

Fujifilm X-A3 8

Performa self-portrait turut disempurnakan oleh fitur eye detection autofocus. Sesuai namanya, kamera akan segera fokus pada mata saat Anda memutar layar. User bisa menentukan prioritas, misalnya secara otomatis, atau ke mata kiri atau kanan.

Fujifilm X-A3 13

Fujifilm X-A3 15

Kapabilitas selfie memang sangat menarik, tapi tentu saja hal itu bukan satu-satunya daya tarik dari X-A3. Para pecinta foto boga dan traveler sudah pasti akan sangat mengapresiasinya paket penjualan Fujifilm X-A3. Perangkat dibundel bersama lensa kit XC16-50mm II yang lihai menjepret foto-foto macro. Hasilnya istimewa karena X-A3 mampu mendeteksi objek di jarak 7cm dari permukaan lensa, serta ditopang proses fokus yang lebih gesit walaupun kamera dioperasikan di ruang berpencahayaan temaram.

Fujifilm X-A3 3

Fujifilm X-A3 4

Uniknya lagi, X-A3 turut ditunjang flash pop-up pintar. Ia mampu menyesuaikan cahaya secara akurat di tiap skenario – baik foto makanan, di dalam ruang atau sewaktu mengambil gambar benda-benda berukuran kecil. ‘Kepintaran’ tersebut menjaga keaslian warna serta level kecerahannya. Kemampuan ini dipamerkan langsung oleh perwakilan Fujifilm Iindonesia: ia mengambil foto telapak tangan di jarak dekat dengan menyalakan flash. Bukannya overexposure, teksturtangan tampak jelas dan warnanya natural.

Fujifilm X-A3 16

Berbicara spesifikasi, Fujifilm mengombinasikan sensor APS-C 24,2-megapixel (23,5×15,7mm), engine image processing spesial dan lensa Fujinon untuk menghidangkan kualitas gambar prima. Fuji bilang, X-A3 sangat andal dalam mereproduksi warna kulit, dan dengan begini, foto-foto individu merupakan kemahiran utamanya. Sensor APS-C sanggup menghidangkan efek bokeh yang cantik serta menangani foto-foto macro bahkan sewaktu depth of field-nya dangkal.

Fujifilm X-A3 1

X-A3 mempunyai jangkauan sensitivitas ISO normal dari 200 sampai 6400, tapi juga bisa diekspansi hingga 12800 serta 25600 jika Anda bermaksud meminimalisir efek getaran. Produsen menjanjikan tingkat noise yang rendah, meskipun Anda menggunakannya di malam hari atau di ruang-ruang minim pencahayaan ketika ISO tinggi diperlukan.

Fujifilm X-A3 2

Kamera ini turut menawarkan 11 mode Film Simulation, di antaranya ada Provia (menyajikan warna khas Fujifilm), Velvia (cerah dengan saturasi tinggi), Astia (berwarna lembut), tone Classic Chrome, serta monokromatik dan Sepia. Terdapat pula berbagai pilihan filter (ada 10) semisal Fisheye, Cross Screen, Toy Camera, Miniatur, Dynamic Tone, Pop Color, Soft Focus, High Key, Low Key dan Partial Color.

Fujifilm X-A3 9

Proses pemakaian jadi lebih sederhana berkat kehadiran layar sentuh, bisa untuk menentukan fokus atau mengaktifkan zoom. X-A3 juga kompatibel ke app Fujifilm Camera Remote, memungkinkan Anda mengakses hasil jepretan serta mengutak-atik setting kamera dengan smartphone, tersambung via Wi-Fi (hampir serupa app Sony PlayMemories).

Fujifilm berencana untuk memasarkan X-A3 di Indonesia mulai tanggal 25 November, membanderolnya di harga Rp 8,8 juta.

Fujifilm X-A3 17

Leica Kembali Hadirkan Kamera Mirrorless Kelas Entry, Leica TL

Leica selalu identik dengan kamera berharga selangit. Bahkan kamera mirrorless kelas entry-nya pun masih lebih mahal ketimbang kamera kelas atas dari brand lain. Salah satunya adalah Leica T yang dirilis dua tahun silam. Pun begitu, respon konsumen kurang begitu positif terhadap kamera tersebut, hingga akhirnya Leica merilis suksesornya, Leica TL.

Leica TL mempertahankan semua keunggulan pendahulunya, utamanya desain serba logam yang terkesan sangat premium. Kualitas gambar Leica T sendiri juga tidak bermasalah, sehingga TL pun masih mengemas sensor APS-C yang sama yang beresolusi 16 megapixel, dengan rentang ISO 100 – 25600 dan opsi perekaman video 1080p.

Yang berubah adalah performanya, dimana Leica mengklaim kinerja autofocus TL meningkat drastis, terutama dalam mode continuous. Performa autofocus merupakan masalah terbesar Leica T, sehingga penyempurnaan dalam bentuk apapun akan disambut dengan baik oleh para fans loyalnya.

Tidak seperti pendahulunya, Leica TL kini bisa menciptakan Wi-Fi hotspot-nya sendiri / Leica
Tidak seperti pendahulunya, Leica TL kini bisa menciptakan Wi-Fi hotspot-nya sendiri / Leica

Perubahan selanjutnya ada pada konektivitas, dimana Leica TL kini bisa tersambung ke perangkat Android maupun iOS via Wi-Fi. Leica turut menambah kapasitas memory internal milik TL menjadi 32 GB. Hampir semua pengoperasiannya mengandalkan layar sentuh 3,7 inci.

Leica TL bakal segera dipasarkan mulai bulan November ini seharga $1.695 (body only). Sejauh ini sudah tersedia 6 lensa yang dirancang secara khusus untuk TL, namun konsumen tentunya juga bisa menggunakan lensa lawas via adapter.

Sumber: DPReview.

Sony Luncurkan A6500, Kini Dilengkapi Layar Sentuh dan Image Stabilization 5-Axis

Hasil foto dan video yang berkualitas serta performa yang amat cepat menjadikan Sony A6300 sebagai salah satu kamera mirrorless terbaik yang bisa Anda beli saat ini. Hingga akhirnya tahtanya direbut oleh suksesornya sendiri, A6500, yang Sony perkenalkan kurang lebih delapan bulan setelah A6300.

Secara garis besar Sony A6500 adalah kamera yang sama seperti A6300. Desain bodinya tidak berubah, masih mengemas hand grip berukuran besar yang ergonomis. Sensor yang digunakan juga sama, APS-C 24,2 megapixel dengan kemampuan merekam video 4K yang sama pula.

Sistem autofocus-nya pun juga sama cepatnya, sanggup mengunci fokus dalam waktu 0,05 detik saja, dengan bekal 425 titik phase-detection yang akan menjamin akurasinya. Lalu apanya yang berubah? Mengapa Sony merasa perlu merilis penerus A6300 kalau kamera itu saja umurnya belum ada setahun?

Sony A6500 kini dilengkapi layar sentuh yang berfungsi bahkan ketika pengguna memakai viewfinder / Sony
Sony A6500 kini dilengkapi layar sentuh yang berfungsi bahkan ketika pengguna memakai viewfinder / Sony

Jawabannya ada dua: layar sentuh dan sistem image stabilization 5-axis. Saya pribadi sudah sejak lama mendambakan kamera mirrorless Sony yang dibekali dengan touchscreen. Kehadiran layar sentuh terbukti efektif dalam mempermudah pengguna menentukan titik fokus, seperti yang sudah saya alami selama beberapa tahun dengan kamera mirrrorless garapan Panasonic dan Olympus.

Jadi ketimbang susah-susah memakai tombol, pengguna A6500 bisa langsung menyentuh layar untuk menentukan titik fokus seperti ketika menggunakan smartphone. Fitur ini bahkan juga berfungsi saat menggunakan viewfinder, dimana layar otomatis beralih peran menjadi sebuah touchpad, lagi-lagi demi kenyamanan menentukan titik fokus secara cepat.

Spesifikasi Sony A6500 secara garis besar sama seperti A6300 / Sony
Spesifikasi Sony A6500 secara garis besar sama seperti A6300 / Sony

Setelah touchscreen, ada image stabilization 5-axis yang akan memastikan hasil foto tidak blur ketika memotret dengan shutter speed rendah tanpa memakai tripod. Efek kompensasinya setara 5 stop exposure, dan stabilization juga berfungsi dalam perekaman video.

Selebihnya, ada perubahan kecil berupa peningkatan buffer rate saat kamera dipakai untuk memotret tanpa henti. Kecepatannya sendiri masih sama di angka 11 fps, tapi buffer rate-nya meningkat menjadi sekitar 300 gambar dalam format JPEG, atau 100 gambar dalam format JPEG + RAW, sebelum akhirnya kamera menolak untuk mengambil gambar lagi kalau belum didiamkan beberapa saat.

Sony A6500 akan dipasarkan mulai akhir November seharga $1.400 (body only). Konsumen yang sudah terlanjur membeli A6300 tidak perlu minder dan tergesa-gesa ingin upgrade, budget yang tersedia mungkin akan lebih ideal jika dialokasikan ke lensa tambahan.

Sumber: DPReview.

Mirrorless Adalah Masa Depan Industri Kamera Digital

Kalender menunjuk tanggal 16 Oktober 2013. Pada hari itu, Sony membuat dunia gempar dengan memperkenalkan duo kamera mirrorless terbarunya yang amat istimewa: A7 dan A7R. Keduanya berhasil mencatatkan sejarah penting di industri kamera digital sebagai kamera mirrorless pertama yang mengusung sensor full-frame.

Sebelum A7 dan A7R, mayoritas publik masih menganggap mirrorless sebagai versi mini DSLR dengan kualitas lebih inferior. Fleksibilitasnya memang jauh melampaui kamera saku berkat lensa yang bisa dilepas-pasang, akan tetapi dimensi yang ringkas otomatis juga berarti keterbatasan ruang yang tersedia untuk sensor gambar, yang hingga saat ini masih menjadi indikator utama kualitas gambar sebuah kamera digital.

Sampai akhirnya Sony A7 dan A7R menampik anggapan tersebut. Dibandingkan dengan DSLR termurah Canon pada saat itu, EOS 100D, bodi A7 hanya sedikit lebih besar dan lebih berat, tapi tebalnya cuma 2/3 dari 100D. Di saat yang sama, kualitas gambarnya bisa disetarakan dengan DSLR full-frame Nikon D800E yang berbobot dua kali lebih berat dan berharga lebih mahal.

Singkat cerita, Sony A7 dan A7R membuktikan kalau tidak selamanya kualitas gambar mirrorless lebih buruk dari DSLR. Dan di tahun 2016 ini, saya yakin tidak ada lagi para skeptis yang masih berani meragukan kamera mirrorless. Bahkan kalau diamati perkembangannya dari tahun ke tahun, kamera mirrorless boleh dibilang merupakan masa depan industri kamera digital.

Mirrorless kini lebih unggul soal sensor dibanding DSLR

Fujifilm GFX 50S / Fujifilm

Pernyataan di atas bukannya mengada-ada. Seperti yang kita tahu, ukuran penampang sensor yang lebih besar selalu berujung pada kualitas gambar yang lebih baik, terutama di kondisi minim cahaya. Full-frame sudah berhasil dicapai oleh Sony di tahun 2013, lalu apa lagi yang bisa melampaui hal tersebut? Medium format jawabannya.

Bulan Juni kemarin, Hasselblad X1D terlahir ke dunia. Ini merupakan kamera mirrorless pertama yang mengemas sensor medium format. Memangnya ukuran medium format lebih besar lagi ketimbang full-frame? Jauh: 44 mm x 33 mm untuk medium format, dibanding 36 x 24 mm untuk full-frame – sekitar 1,7x lebih besar.

Hasselblad sendiri merupakan dedengkot kamera medium format sejak zaman digital belum eksis, dan X1D tidak luput dari keahlian dan pengalaman panjang perusahaan asal Swedia tersebut. Selain ukuran sensornya melebihi DSLR termahal sekalipun, resolusinya mencapai angka 50 megapixel, dan dynamic range-nya seluas 14 stop.

Menariknya, Hasselblad ternyata tidak sendirian dalam konteks mirrorless medium format ini. Baru pekan kemarin di ajang Photokina 2016 di Jerman, Fujifilm mengumumkan bahwa mereka selama ini diam-diam menggodok kamera mirrorless medium format bernama GFX 50S. Kamera tersebut memang baru berupa prototipe dan peluncuran resminya baru akan diadakan tahun depan, tapi ini semakin membuktikan ‘keganasan’ mirrorless dalam menghadapi DSLR.

Mirrorless kini semakin relevan di tangan fotografer olahraga

Olympus OM-D E-M1 Mark II dengan grip opsional / Olympus
Olympus OM-D E-M1 Mark II dengan grip opsional / Olympus

Tanya ke beberapa fotografer olahraga apa kriteria utama kamera yang mereka butuhkan, saya yakin jawabannya adalah performa autofocus dan continuous shooting. Itulah mengapa kamera-kamera seperti Canon 1DX Mark II dan Nikon D4s menjadi pilihan mereka; bodi kamera yang besar memungkinkan Canon dan Nikon untuk menyematkan sistem tercepat yang bisa mereka buat.

Sampai di titik ini, mirrorless sebenarnya masih belum benar-benar bisa melampaui DSLR dalam hal performa – meski gap-nya semakin tahun semakin menyempit. Contoh yang paling gampang datang dari Canon sendiri lewat kamera mirrorless terbarunya, EOS M5.

Entah apakah Canon akhirnya senewen setelah bertahun-tahun dikritik tidak serius dalam menggarap kamera mirrorless, EOS M5 akhirnya datang mengusung teknologi yang sangat istimewa: Dual Pixel AF. Teknologi ini merupakan salah satu alasan mengapa Canon 1DX Mark II tadi sangat andal dalam hal kecepatan dan akurasi autofocus, dan kini ia sudah hadir di mirrorless.

Oke, autofocus sudah teratasi, bagaimana dengan kinerja continuous shooting? 1DX Mark II sanggup menjepret foto tanpa henti dengan kecepatan 14 fps dalam posisi autofocus menyala. Mirrorless bisa apa? Bisa melampauinya, seperti yang ditunjukkan oleh Olympus OM-D E-M1 Mark II.

Sekuel dari model mirrorless terandal Olympus ini sanggup memotret tanpa henti dengan kecepatan 18 fps dengan posisi AF Tracking menyala. Lebih istimewa lagi, semua foto tersebut disimpan dalam format RAW beresolusi penuh (20,4 megapixel).

Akan tetapi performa gesit tersebut hanya bisa dicapai ketika menggunakan electronic shutter. Saat memakai mechanical shutter, kecepatannya menurun menjadi 10 fps. Itulah mengapa saya sempat menyebutkan kalau mirrorless sejauh ini masih belum bisa mengalahkan DSLR dalam hal performa, tapi setidaknya sudah sangat mendekati.

Mirrorless kian populer di kalangan videografer profesional

Gambar teaser Panasonic Lumix GH5 / Panasonic
Gambar teaser Panasonic Lumix GH5 / Panasonic

Bicara soal videografi profesional, mungkin brand yang paling populer adalah RED yang bahkan sudah memiliki kamera sinema beresolusi 8K. Pun demikian, mirrorless masih mampu menunjukkan tajinya di ranah ini, terutama berkat Panasonic Lumix GH4 yang dirilis di pertengahan tahun 2014.

Kamera tersebut mengemas hampir segala fitur yang dibutuhkan pembuat film; perekaman video 4K tanpa memerlukan recorder eksternal, jack headphone dan mikrofon, dan masih banyak lagi. Akan tetapi suksesornya nanti akan membawanya ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Sejauh ini masih dalam tahap pengembangan, Lumix GH5 bermisi menjadi kamera mirrorless pertama yang bisa merekam video 4K 60 fps. Tidak cuma itu, format warna 4:2:2 10-bit juga turut didukung. Dan ini semua dilakukan tanpa ada resiko overheating.

Anda memang bisa mendapatkan kamera sinema dengan kualitas dan fitur yang lebih baik dari Lumix GH4 atau GH5 nanti, tapi perlu diingat, kedua kamera ini juga bisa menjepret foto still. Fleksibilitas seperti ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian besar konsumen.

Mirrorless punya segudang pilihan lensa berkualitas

Koleksi lensa untuk lini kamera mirrorless Fujifilm / Fujifilm
Koleksi lensa untuk lini kamera mirrorless Fujifilm / Fujifilm

DSLR mungkin masih menang soal ini, tidak heran mengingat Canon sudah memproduksi lensa EF Mount sejak tahun 1987. Kendati demikian, apa yang berhasil dicapai Panasonic dan Olympus selaku pengembang platform Micro Four Thirds dalam kurun waktu 8 tahun saja sudah cukup fenomenal: total ada 58 lensa dengan variasi yang sangat luas.

Di tempat lain, Fujifilm tidak kalah serius dalam hal pengembangan lensa untuk lini mirrorless X-Series. Sejak tahun 2012, sekarang sudah ada 21 pilihan lensa untuk kamera mirrorless Fujifilm, sebagian di antaranya bahkan memiliki kualitas optik yang luar biasa dengan aperture besar.

Mempertimbangkan semua faktor di atas, sederhananya mirrorless sudah tidak bisa dipandang sebelah mata. Dilihat dari sudut pandang yang paling ekstrem, kalau pabrikan kamera mau bertahan ke depannya, mereka harus mau berinovasi di ranah mirrorless. Kalau perusahaan veteran sekelas Hasselblad saja mau, kenapa yang lain tidak?

Gambar header: Hasselblad X1D.

Panasonic Lumix GH5 Bakal Jadi Kamera Mirrorless Pertama yang Bisa Merekam Video 4K 60 fps

Tidak bisa dipungkiri, Panasonic Lumix GH4 merupakan salah satu kamera mirrorless yang paling dicintai oleh kalangan videografer. Bagaimana tidak, saat diperkenalkan di pertengahan tahun 2014, belum banyak kamera mirrorless yang bisa merekam video 4K, apalagi merekamnya langsung ke memory card seperti Lumix GH4.

Dua tahun berselang, Panasonic rupanya telah sibuk menyiapkan suksesornya. Didapuk Lumix GH5, kamera yang sejauh ini masih dalam tahap pengembangan tersebut nantinya bakal menjadi kamera mirrorless pertama yang bisa merekam video 4K 60 fps – untuk sekarang opsi teratas yang ada di mayoritas kamera adalah 4K 30 fps.

Opsi perekaman video 4K 4:2:2 10-bit turut tersedia, demikian pula halnya dengan mode 6K Photo, dimana kamera dapat mengekstrak gambar foto 18 megapixel dari video yang direkam, atau foto 8 megapixel dari video 4K 60 fps.

Apa yang dilakukan Panasonic ini bukanlah pekerjaan mudah. Mereka harus pintar-pintar mengakali bagaimana kamera bisa menggelontorkan panas secara efisien. Hal ini krusial mengingat chip pengolah sinyal digital milik Lumix GH5 akan bekerja secara maksimal dalam menyuguhkan kapabilitas perekaman secanggih itu, dan resikonya tentu saja adalah overheating.

Seperti yang sudah disebutkan, Panasonic Lumix GH5 sejauh ini masih dalam tahap pengembangan. Tidak ada informasi mengenai banderol harga maupun jadwal peluncurannya, yang ada hanyalah sebuah prototipe yang tengah dipamerkan di ajang Photokina di Jerman.

Sumber: DPReview.

Panasonic Perkenalkan Trio Kamera Baru, Masing-Masing Sanggup Merekam Video 4K

Saat pabrikan lain hanya muncul dengan satu atau dua produk, Panasonic mengungkap trio kamera baru sekaligus di ajang Photokina yang berlangsung selama 20 – 25 September ini. Ketiganya adalah Lumix G80, Lumix LX10 dan Lumix FZ2500.

Panasonic Lumix G80

Lumix G80 merupakan suksesor Lumix G7 yang mempunyai gaya desain serupa. Bodinya sama-sama bergaya DSLR, akan tetapi G80 tahan cipratan air dan debu, plus sedikit lebih kokoh berkat pelat depan berbahan magnesium.

Penggunaan material magnesium ini didukung oleh sistem shutter baru yang memanfaatkan mekanisme elektromagnetik, dimana perpaduan keduanya dapat mengurangi hentakan maupun suara yang timbul saat tombol shutter dijepret.

Lumix G80 / Panasonic
Lumix G80 / Panasonic

Sebagian besar spesifikasi dan fitur yang ditawarkan G80 mengingatkan saya akan Lumix GX80 yang dirilis di bulan April lalu. Kemiripannya bermula dari sensor Four Thirds 16 megapixel tanpa low-pass filter, opsi perekaman video 4K, teknologi Depth from Defocus untuk autofocus dan berlanjut sampai sistem image stabilization 5-axis.

Dirinya turut dibekali EVF berpanel OLED 2,36 juta dot, dengan tingkat magnifikasi 0,74x dibandingkan milik Lumix G7 yang hanya 0,7x. Di bawahnya terpasang sebuah layar sentuh 3 inci yang bisa dibuka ke samping dan diputar-putar.

Panasonic Lumix G80 akan dipasarkan mulai Oktober mendatang seharga $899 body only, atau $999 bersama lensa kit 12-60mm f/3.5-5.6 Power O.I.S.

Panasonic Lumix LX15

Seri LX selama ini tidak pernah lebih dari sekadar kamera saku, tapi dengan LX15 Panasonic telah membawanya masuk ke level premium yang selama ini dikuasai oleh Sony RX100. Kuncinya ada pada penggunaan sensor berukuran lebih besar dari standar kamera saku; 1 inci dengan resolusi 20 megapixel – seperti milik Lumix TZ100 – plus lensa 24-72mm f/1.4-2.8.

Lumix LX15 / Panasonic
Lumix LX15 / Panasonic

Lumix LX15 turut dipersenjatai oleh sistem Hybrid OIS+ 5-axis, dimana perekaman video dalam resolusi 1080p akan distabilkan dengan perpaduan sistem electronic dan optical. Perekaman video 4K juga menjadi nilai jual dari LX15, dan ia turut dilengkapi fitur-fitur unik khas Panasonic, seperti misalnya Post Focus dimana pengguna bisa mengatur ulang titik fokus pasca pemotretan.

Tidak ada EVF pada bodi kecil LX15, jadi semua pengoperasian mengandalkan layar sentuh 3 incinya yang bisa dimiringkan 180 derajat untuk memudahkan selfie. Kamera ini rencananya akan masuk ke pasaran mulai bulan November seharga $699.

Panasonic Lumix FZ2000

FZ2000, sesuai dugaan, merupakan penerus dari Lumix FZ1000 yang populer di kalangan videografer. Keunggulan utama FZ2000 ada pada lensa dengan jangkauan zoom yang amat jauh, 20x optical zoom, atau tepatnya 24-480mm f/2.8-4.5. Sensor yang dipakai masih sama, 1 inci dengan resolusi 20 megapixel, plus teknologi autofocus Depth from Defocus.

Menariknya, mekanisme lensa ini berbeda dengan milik FZ1000. Di sini lensanya akan keluar saat kamera dinyalakan, dan tidak akan bergerak maju-mundur saat pengguna melakukan zooming. Semuanya berjalan secara internal seperti di camcorder, dan hasilnya zooming bisa berjalan lebih mulus, krusial untuk skenario videografi.

Lumix FZ2000 / Panasonic
Lumix FZ2000 / Panasonic

Menyinggung soal video, resolusi 4K 30 fps dengan bitrate 100 Mbps adalah opsi maksimum yang bisa dipilih dengan FZ2000. Fitur lain yang akan membuat para videografer tersenyum adalah ND filter terintegrasi, dengan variasi -2EV, -4EV dan -6EV.

Desain Lumix FZ2000 tidak berubah banyak. Pengguna masih akan menjumpai sebuah EVF, tapi kini dengan panel OLED dan tingkat magnifikasi 0,74x, plus sebuah layar sentuh 3 inci yang bisa diarahkan ke samping lalu diputar-putar seperti milik G80 di atas.

Soal harga, Lumix FZ2000 dipatok $1.199 dan akan dipasarkan mulai November mendatang.

Sumber: 1, 2, 3, 4.

Olympus OM-D E-M1 Mark II Tawarkan Performa yang Luar Biasa Cepat untuk Kamera Seukurannya

Sekitar empat tahun sejak memperkenalkan kamera andalannya, OM-D E-M1, Olympus kini sudah siap dengan suksesornya. Berlabel Mark II, perubahannya hampir tidak terlihat dari luar. Meski jeroannya saja yang dirombak, apa yang ditawarkan OM-D E-M1 Mark II amat signifikan dibanding pendahulunya.

Tema utama yang hendak diangkat Olympus lewat OM-D E-M1 Mark II adalah kecepatan. Performanya sangat mencengangkan untuk kamera seukurannya: continuous shooting secepat 60 fps dalam posisi AF Lock, atau 18 fps dalam posisi AF Tracking, dan semua ini disimpan dalam format RAW beresolusi penuh.

Itu tadi menggunakan electronic shutter, tapi kinerjanya tidak kalah fenomenal meski memakai mechanical shutter: 15 fps dalam posisi AF dan AE terkunci, atau 10 fps dengan AF dan AE Tracking menyala. Digabungkan dengan sistem autofocus kelas dewa, kamera ini bisa menjadi incaran para fotografer olahraga maupun satwa liar nantinya.

Wujud Olympus OM-D E-M1 Mark II hampir tidak berubah jika dibandingkan pendahulunya / Olympus
Wujud Olympus OM-D E-M1 Mark II hampir tidak berubah jika dibandingkan pendahulunya / Olympus

Benar saja, total ada 121 titik fokus bertipe cross-type pada OM-D E-M1 Mark II. Sistem ini turut ditemani oleh sebuah prosesor yang secara khusus akan menangani kinerja autofocus, memastikan penguncian fokus berlangsung secepat mungkin dan seakurat mungkin, termasuk halnya dalam mode tracking.

Olympus OM-D E-M1 Mark II mengemas sensor Four Thirds baru beresolusi 20,4 megapixel, didampingi oleh prosesor quad-core TruePic VIII yang diyakini bisa bekerja 3,5 kali lebih kencang ketimbang versi sebelumnya. Kamera turut mendukung fitur High Res Shot 50 megapixel, sedangkan video bisa direkam dalam resolusi 4K dengan bitrate hingga 237 Mbps.

Cukup jarang kita menemui kamera mirrorless dengan layar sentuh yang fully articulated seperti ini / Olympus
Cukup jarang kita menemui kamera mirrorless dengan layar sentuh yang fully articulated seperti ini / Olympus

Image stabilization 5-axis yang dipopulerkan oleh Olympus sendiri tentunya masih tersedia, demikian pula dengan electronic viewfinder yang kini memiliki frame rate 120 fps. Layar sentuh tiga incinya bisa diputar-putar dan dibolak-balik sesuka hati, dan bodinya yang tahan terhadap cuaca ekstrem ini turut mengemas sepasang slot SD card.

Olympus tidak mengungkapkan kapan kamera ini akan diluncurkan secara resmi, tapi yang pasti sebelum pergantian tahun. Apa yang dikerjakan Olympus selama 4 tahun sepertinya membuahkan hasil dan perubahan yang cukup drastis – bahkan daya baterainya meningkat 37 persen dan waktu charging yang diperlukan 50 persen lebih singkat.

Sumber: PetaPixel dan DPReview.

Fujifilm Pamerkan Prototipe Kamera Mirrorless Medium Format, GFX 50S

Penantian yang cukup lama terhadap Fujifilm X-Pro2 membuat banyak pihak berspekulasi bahwa Fujifilm akan merilis kamera tersebut bersama sensor full-frame. Tebakannya meleset, X-Pro2 masih menggunakan sensor APS-C, meski resolusi dan performanya di kondisi low-light meningkat pesat.

Lalu kapan Fujifilm akan mengikuti tren full-frame di ranah mirrorless? Jawabannya kemungkinan tidak akan pernah, sebab Fujifilm baru-baru ini mengumumkan prototipe kamera mirrorless medium format, GFX 50S. Yup, daripada full-frame, kenapa tidak langsung lompat lebih jauh ke medium format saja?

Sensor yang terdapat dalam Fujifilm GFX 50S memiliki ukuran 4x lebih besar dari sensor APS-C dan 1,7x lebih besar dari sensor full-frame / Fujifilm
Sensor yang terdapat dalam Fujifilm GFX 50S memiliki ukuran 4x lebih besar dari sensor APS-C dan 1,7x lebih besar dari sensor full-frame / Fujifilm

Fujifilm GFX 50S bukanlah kamera mirrorless medium format pertama. Gelar tersebut dipegang oleh Hasselblad X1D yang diumumkan bulan Juni lalu. Pun begitu, ini merupakan kamera medium format digital pertama yang pernah Fujifilm produksi sejak mereka meninggalkan film.

Sepintas GFX 50S terlihat seperti Fujifilm X-T2 yang disuntik steroid. Tidak heran, mengingat sensor beresolusi 51,4 megapixel di dalamnya memiliki ukuran 4x lebih besar dari sensor APS-C, atau 1,7x lebih besar ketimbang sensor full-frame. Fujifilm mengklaim mengembangkan sensor ini sendiri, jadi semestinya tone warna yang dihasilkan tidak jauh-jauh dari lini yang ditawarkan lini X-Series sekarang, tapi dengan detail berkali lipat lebih bagus.

Fujifilm GFX 50S dilengkapi EVF yang bisa dilepas-pasang, dimiringkan dan diputar posisinya / Fujifilm
Fujifilm GFX 50S dilengkapi EVF yang bisa dilepas-pasang, dimiringkan dan diputar posisinya / Fujifilm

Menemani GFX 50S nantinya adalah jajaran lensa dengan tipe mount baru (G Mount). Variasinya mencakup tipe fixed dan zoom, dan jika melihat tradisi Fujifilm selama ini, kualitas optiknya sepertinya tidak perlu diragukan. Seluruh lensa ini juga dirancang agar tahan terhadap cuaca ekstrem, sama seperti bodi GFX 50S sendiri.

Rencananya kamera ini baru akan diluncurkan secara resmi pada awal tahun depan. Harganya diperkirakan tidak lebih dari $10.000 untuk bundel bersama lensa prime 63 mm, dan Fujifilm juga bakal menyediakan beragam aksesori lain seperti misalnya EVF yang bisa dilepas-pasang, dimiringkan dan diputar.

Sumber: DPReview.

Yi M1, Kamera Mirrorless Murah Semewah Leica Resmi Diumumkan

Ketika terjun ke industri mobile, Xiaomi disebut-sebut membidik Apple untuk digulingkan. Terbukti sejumlah perangkat mereka kala itu mempunyai rancangan dan fitur yang hampir mirip dengan punggawa Apple. Dalam prosesnya, Xiaomi menggunakan strategi penentuan harga yang jauh lebih murah tapi dengan kualitas produk yang mengundang decak kagum.

Sukses mengibarkan benderanya di jajaran produsen mobile elit dunia, membuat Xiaomi ingin mencoba petualangan baru. Maka jadilah mereka merambah banyak sektor industri perangkat mulai dari drone, alat-alat rumah tangga, elektronik dan juga kamera.

Di ranah terakhir, melalui anak perusahaannya bernama Xiaoyi, Xiaomi kembali meluncurkan kamera baru bernama M1 atau Yi M1. Sebuah kamera mirrorless yang punya tampilan semewah Leica tapi dengan harga yang jauh lebih bersahabat. Boleh ragu, tapi yap! kamera Xiaoyi M1 sudah memboyong teknologi Micro Four Thirds yang merupakan standar baru dalam dunia fotografi digital.
Xiao Yi M1_2

Xiaoyi membekali kamera Yi M1 dengan sensor buatan Sony beresolusi 20.16MP dengan ISO sampai dengan 12600, sudah mendukung format RAW dan dilengkapi super fast continuous shooting dan tentunya mechanical shutter.

Bicara lensa, Yi M1 dihuni oleh dua lensa teranyar, lensa zoom 12-40mm f/2.5-5.6 dan lensa fixed focus 42.5mm dengan aperture f/1.8. Dengan sensor ini, tak heran bila selain piawai dalam hal kualitas jepretan, Yi M1 juga mampu melahap video dengan resolusi 4K.

Di bagian belakang kamera terdapat layar 3 inci dengan resolusi 720 x 480 piksel yang juga mendukung input sentuhan. Tak lupa Xiaoyi juga membenamkan fitur WiFi dan Bluetooth untuk mempermudah transfer data ke perangkat lain.

Xiao Yi M1_3

Yi M1 akan dijajakan melalui JD.com di Tiongkok dengan banderol sekitar 2199 Yuan atau setara dengan Rp 4,3 juta-an. Harga ini untuk kamera Yi M1 dengan lensa standar. Pabrikan juga menawarkan konfigurasi lain misalnya dengan dua lensa kit seharga Rp 5,9 juta. Dengan harga ini, Leica tampaknya harus waspada mengingat kali ini sepertinya Xiaomi mengarahkan bidikan ke mereka.

Sumber berita Engadget dan Xiaoyi.