Canon EOS M200 Ramaikan Pasar Mirrorless Entry-Level dengan Perekaman Video 4K dan Eye Autofocus

Canon baru saja meluncurkan kamera mirrorless baru, EOS M200, suksesor dari EOS M100 yang dirilis dua tahun silam. Dari luar penampilannya nyaris tidak berubah, dan pembaruan yang dihadirkan memang tergolong minor, meski tentu saja ada beberapa yang cukup signifikan.

Saya bilang minor karena sensor yang digunakan masih sama persis seperti milik EOS M100, yakni sensor APS-C 24,1 megapixel. Yang berubah adalah prosesornya; EOS M200 sudah ditenagai oleh prosesor Digic 8, dan jumlah titik autofocus-nya pun juga naik dari 49 menjadi 123.

Di samping itu, EOS M200 juga lebih cocok untuk fotografi portrait ketimbang pendahulunya berkat kehadiran sistem eye detection autofocus di samping Dual Pixel AF. Kapabilitas perekaman videonya pun ikut meningkat, kini dengan batasan resolusi maksimum 4K 24 fps ketimbang cuma 1080p 60 fps.

Canon EOS M200

Sayang sekali kekurangan EOS M50 perihal video juga ada di sini, yakni cropping hingga 1,6x saat merekam dalam resolusi 4K. Sederhananya, pengguna bakal lebih terbatas mengatur komposisi selagi merekam, sebab tampilan frame-nya jadi lebih sempit dibanding aslinya yang tanpa crop.

Merujuk pada segmentasinya, yakni konsumen yang sebelumnya cuma mengandalkan smartphone untuk keperluan fotografi dan videografi, EOS M200 juga datang dengan fitur yang sesuai, yakni kemampuan merekam video vertikal. Sebelumnya fitur ini hanya bisa dijumpai di Canon G7 X Mark III yang memang diprioritaskan untuk vlogging.

Canon EOS M200

Vlogging menggunakan EOS M200 pun sebenarnya juga memungkinkan, apalagi berkat layar sentuhnya yang dapat dilipat sampai menghadap ke depan seperti sebelumnya. Satu hal yang perlu diperhatikan, tombol untuk mengaktifkan fungsi perekaman videonya telah dipindah posisinya ke panel belakang, bukan lagi di sebelah tombol shutter seperti pada EOS M100, kemungkinan besar untuk mencegah aktivasi yang tidak disengaja.

Kabar baiknya, Canon EOS M200 dijual sedikit lebih terjangkau daripada pendahulunya, tepatnya seharga $549 saat mulai dipasarkan pada bulan Oktober nanti. Harga tersebut tentu sudah termasuk lensa kit 15-45mm f/3.5-6.3 IS STM. Juga menarik adalah kompatibilitas EOS M200 dengan lensa-lensa Canon EF dan EF-S tanpa harus mengandalkan bantuan adaptor, seperti kendalanya pada EOS M100.

Sumber: DPReview dan Engadget.

Fujifilm X-A7 Resmi Menyapa Pasar Indonesia

Selang dua minggu setelah diumumkan secara global, Fujifilm X-A7 resmi mendarat di pasar tanah air. Kamera mirrorless kelas entry ini ditujukan secara khusus bagi para kreator konten, vlogger maupun kalangan konsumen lain yang sekadar ingin meningkatkan kualitas fotografi mereka.

Wajar jadinya apabila Fujifilm Indonesia merasa perlu cepat memasukkan kamera ini ke dalam penawarannya. X-A7 sendiri juga mengusung sejumlah pembaruan yang cukup drastis jika dibandingkan pendahulunya, X-A5, sehingga titel “mirrorless for everyone” yang Fujifilm bubuhkan untuknya terdengar pantas saja.

Fujifilm X-A7

Fuji bilang bahwa sensor APS-C 24,2 megapixel milik X-A7 mampu membaca data dengan kecepatan lebih tinggi ketimbang sebelumnya. Titik phase-detection autofocus yang tersebar di penampang sensornya juga lebih banyak, dan ini sangat membantu kemampuan X-A7 dalam mengunci fokus secara cepat, bahkan ketika berada di lokasi yang minim pencahayaan.

Di sektor video, X-A7 siap merekam dalam resolusi paling tinggi 4K 30 fps. Dipadukan dengan layar sentuh yang dapat diputar secara bebas, kombinasi ini jelas membuahkan daya tarik tersendiri buat kalangan vlogger. Juga menarik adalah mode “Countdown Video” untuk membatasi durasi perekaman video (15, 30 atau 60 detik), yang pastinya ideal untuk menciptakan konten jenis Story di media sosial.

Fujifilm X-A7

Layar sentuhnya ini pun istimewa, bukan sebatas karena ukurannya yang besar (3,5 inci) dan resolusinya yang tinggi (2,76 juta dot), tapi juga berkat tingkat kecerahan maksimumnya yang mencapai angka 1.000 nit, yang berarti pengguna dapat melihat hasil jepretannya di bawah terik matahari tanpa kesulitan.

Pengoperasiannya pun banyak mengandalkan konsep “Smart Menu”, yang pada dasarnya merupakan tampilan interaktif pada layar yang dirancang untuk memudahkan para pengguna yang masih pemula. Fitur semi-otomatis, macam “Portrait Enhancer” yang akan menciptakan warna kulit (skin tone) yang alami dan seimbang di samping menyesuaikan fokus secara otomatis, tentunya juga bakal menarik perhatian para pemula, khususnya mereka yang gemar ber-selfie ria.

Fujifilm X-A7

Semua itu dihadirkan lewat bodi kamera yang ringkas, dengan bobot hanya 320 gram. Meski ringkas, baterainya diyakini cukup awet, siap menyuplai daya yang cukup untuk 440 kali jepret, dan di saat darurat, X-A7 juga dapat diisi ulang via sambungan USB-C layaknya ponsel.

Di Indonesia, Fujifilm X-A7 dijual seharga Rp 10.999.000, sudah termasuk lensa XC 15-45mm f/3.5-5.6 OIS PZ. Fujifilm juga tengah membuka program pre-order online secara eksklusif via Blibli.com yang membundel X-A7 bersama dengan printer portable Instax Share SP-3 dan SD card 32 GB dalam harga yang sama. Program ini berlangsung mulai 25 – 29 September 2019.

Fujifilm X-A7 Datang Membawa Desain Baru dan Perbaikan Performa Autofocus Beserta Video

Fujifilm baru saja merilis X-A7, anggota terbaru lini kamera mirrorless terbawahnya yang mengandalkan sensor konvensional ketimbang yang berteknologi X-Trans. Sebagai suksesor X-A5, X-A7 membawa cukup banyak pembaruan, mulai dari jeroan sampai ke fisik luarnya.

Kita mulai dari internalnya terlebih dulu. Sensor 24 megapixel yang diusung X-A7 merupakan sensor baru, dengan jumlah titik phase-detection autofocus 8,5 kali lebih banyak daripada sensor milik X-A5. Kapabilitas videonya juga meningkat pesat, kini sanggup merekam video dalam resolusi 4K 30 fps, bukan lagi 4K 15 fps yang bisa dibilang tidak berguna seperti sebelumnya.

Fujifilm X-A7

Beralih ke fisiknya, X-A7 mengemas desain baru yang, kalau menurut saya, lebih polished dan lebih elegan. Namun perubahan yang paling kentara justru ada di panel belakangnya, yang kini benar-benar didominasi oleh layar sentuh 3,5 inci, dan hanya menyisakan sedikit ruang di sebelah kanannya untuk sepasang tombol beserta joystick.

Ya, hampir semua pengoperasian X-A7 mengandalkan layar sentuh beresolusi 2,76 juta dot ini, dan Fujifilm tidak lupa merancang ulang tampilan menunya agar lebih mudah dikuasai oleh pengguna baru. Layarnya ini juga fully-articulating, yang berarti ia bisa ditarik ke sisi kiri dan diputar-putar sesuai kebutuhan.

Fujifilm X-A7

Fujifilm X-A7 rencananya akan dipasarkan mulai 24 Oktober mendatang. Di Amerika Serikat, harganya dibanderol $700, sudah termasuk lensa kit Fujinon XC 15-45mm f/3.5-5.6 OIS PZ, sedangkan pilihan warnanya yang tersedia ada empat.

Sumber: DPReview.

Blackmagic Pocket Cinema Camera 6K Usung Sensor Super 35 dan Dudukan Lensa Canon

Pabrikan asal Australia, Blackmagic Design, kembali meluncurkan kamera sinema yang cukup menarik. Dinamai Blackmagic Pocket Cinema Camera 6K (BMPCC6K), ia merupakan versi lebih garang dan lebih kapabel dari Blackmagic Pocket Cinema Camera 4K (BMPCC4K) yang dirilis tahun lalu.

BMPCC6K mengusung sensor Super 35 21,2 megapixel dengan ukuran penampang setara sensor APS-C. Ini jelas lebih besar ketimbang sensor Four Thirds yang digunakan BMPCC4K, dan lagi sederet keunggulannya tetap dipertahankan, semisal teknologi Dual Native ISO (400 dan 3200) serta klaim dynamic range seluas 13 stop.

Blackmagic Pocket Cinema Camera 6K

Sensor ini siap menghasilkan output video dengan resolusi maksimum 6144 x 3456 di kecepatan 50 fps, atau 6144 x 2560 di kecepatan 60 fps. Mode perekaman yang didukung sejatinya sangat melimpah, mencakup mode high frame rate 120 fps di resolusi 2,8K, serta mode anamorphic beresolusi 3,7K 60 fps. Format yang didukungnya meliputi Blackmagic RAW 12-bit serta ProRes 10-bit.

Untuk lensanya, BMPCC6K menggunakan jenis mount terpopuler sejagat raya, yakni EF-mount besutan Canon. Semua lensa bikinan Canon dapat bekerja sepenuhnya di kamera ini, termasuk model-model yang dilengkapi sistem image stabilization. Dipadukan dengan sensor berukuran besar, kamera ini siap menghasilkan video dengan kesan sinematik dan efek bokeh yang menawan.

Blackmagic Pocket Cinema Camera 6K

Dari segi fisik, BMPCC6K tampak sangat mirip seperti BMPCC4K, lengkap sampai ke layout tombol-tombolnya. Panel belakangnya pun turut didominasi oleh layar sentuh 5 inci beresolusi 1080p, siap menampilkan interface Blackmagic OS yang begitu rapi. Deretan port konektivitasnya lagi-lagi disusun di panel sebelah kiri, siap mengakomodasi kebutuhan sineas yang terbiasa menggunakan custom rig.

Blackmagic Pocket Cinema Camera 6K saat ini sudah dipasarkan seharga $2.495 (body only). Ukuran sensor yang besar, serta dukungan native terhadap lensa bikinan Canon tentu menjadikannya alternatif yang menarik sekaligus lebih terjangkau ketimbang kamera-kamera besutan RED.

Sumber: DPReview.

Sony a7R IV Siap Merebut Kembali Takhta Teratas di Segmen Mirrorless Full-Frame

Kita tahu Sony bukan lagi satu-satunya pemain di kancah mirrorless full-frame. Canon, Nikon dan Panasonic sudah mulai mengusik dominasi Sony, dan tentu saja Sony tidak mau tinggal diam. Mereka baru saja mengumumkan kamera terbarunya: Sony a7R IV.

Datang hampir dua tahun setelah pendahulunya, a7R IV tidak sebatas membawa pembaruan yang iteratif. Sony percaya kamera ini bakal memasang standar baru di segmen mirrorless full-frame, dan itu mereka wujudkan lewat sensor yang benar-benar gres (pertama kalinya sejak 2015 kalau menurut Sony).

Sensor full-frame yang tertanam di tubuh a7R IV ini mengemas resolusi 61 megapixel, diklaim mampu menyuguhkan dynamic range hingga 15 stop. Lalu seandainya resolusi setinggi itu masih dianggap kurang, masih ada fitur pixel shift yang memungkinkan kamera untuk menghasilkan foto beresolusi 240 megapixel, disatukan dari total 16 gambar.

Sony a7R IV

Resolusi yang amat tinggi juga tak harus berarti performa kamera harus dikorbankan. Pada kenyataannya, a7R IV sanggup menjepret tanpa henti hingga 68 gambar dengan kecepatan 10 fps, dan ini dalam resolusi penuh sekaligus continuous AF/AE tracking menyala. Juga masih dipertahankan adalah sistem image stabilization internal 5-axis.

Urusan autofocus, a7R IV pun jauh dari kata mengecewakan. Ia mengusung 567 titik phase detection autofocus (PDAF) beserta 425 titik contrast-detection, yang secara keseluruhan mencakup 74% area bingkai. Fitur Real-Time Tracking AF, Real-Time Eye AF, dan Animal Eye-AF yang sebelumnya eksklusif untuk Sony a9 kini telah diwariskan ke seri a7 melalui a7R IV.

Real-Time Eye AF ini bahkan bisa digunakan selagi merekam video. Kemampuannya mengambil video pun tak kalah mengesankan: 4K 30 fps hasil oversampling dari 6K, dengan bitrate maksimum 100 Mbps menggunakan codec XAVC S. Format ‘mentah’ S-Log2, S-Log3 maupun HLG turut tersedia sebagai salah satu opsi perekaman.

Sony a7R IV

Tak cuma menghadirkan pembaruan di dalam, a7R IV juga membawa pembaruan di luar. Fisiknya sedikit berbeda dari a7R III, utamanya berkat hand grip yang lebih tebal, serta layout tombol dan kenop yang lebih dioptimalkan. Sony pun juga telah memaksimalkan kapasitas weather sealing dari kamera ini dengan ‘menambal’ lebih banyak celah pada tubuhnya.

Di belakang, pengguna akan disambut oleh layar sentuh tilting serta viewfinder elektronik (EVF) berpanel OLED dengan resolusi 5,76 juta dot. Tepat di sebelah kanan atas LCD-nya, tampak joystick yang berukuran lebih besar dari sebelumnya, yang tentu saja dapat membantu memudahkan pengaturan titik autofocus ketika diperlukan.

Sony a7R IV rencananya akan dipasarkan mulai September mendatang seharga $3.500 (body only). Sejumlah aksesori terpisah yang bakal menemaninya mencakup vertical grip (VG-C4EMO) seharga $400, shotgun microphone (ECM-B1M) dengan integrasi analog-to-digital converter seharga $350, dan XLR microphone adapter kit (XLR-K3M) seharga $600.

Sumber: DPReview.

Sigma fp Adalah Kamera Mirrorless Full-Frame yang Dapat Dikantongi di Saku Celana

Diumumkan pada tahun 2012, Sony RX1 masih memegang predikat kamera full-frame terkecil yang pernah ada. Namun RX1 mengusung lensa fixed alias yang tidak bisa dilepas-pasang, dan 2019 merupakan tahunnya kamera mirrorless full-frame, utamanya berkat perlawanan dari Nikon, Canon, sekaligus Panasonic terhadap dominasi Sony di segmen ini.

Itulah mengapa kreasi terbaru Sigma berikut ini terdengar begitu menarik. Kamera bernama Sigma fp ini mungil, bersensor full-frame, tapi juga siap digonta-ganti lensanya. Ya, ini merupakan kamera mirrorless full-frame yang bisa kita kantongi dengan mudah di saku celana – tentunya dalam posisi tidak ada lensa yang terpasang.

Secara spesifik, Sigma fp memiliki dimensi 112,6 x 69,9 x 45,3 mm, dengan bobot 370 gram (422 gram jika diisi baterai dan SD card). Di dalamnya bernaung sensor BSI-CMOS full-frame 24,6 megapixel, namun yang mengandalkan filter Bayer tradisional ketimbang teknologi Foveon yang sudah menjadi ciri khas Sigma selama ini.

Sigma fp

Sensor ini memiliki sensitivitas ISO 100 – 25600, sedangkan sistem autofocus-nya mengandalkan model contrast detection dengan 49 titik, lengkap beserta dukungan terhadap fitur seperti face detection, eye detection, maupun subject tracking. Performa kamera ini juga amat mengesankan, sanggup memotret dalam format DNG RAW 14-bit dengan kecepatan hingga 18 fps.

Angka setinggi itu dicapai dengan memanfaatkan shutter elektronik, dan ternyata Sigma fp sama sekali tidak memiliki shutter mekanis. Absennya shutter mekanis merupakan alasan utama mengapa Sigma fp bisa sekecil ini.

Sigma fp mengandalkan dudukan lensa L-Mount, yang Sigma kembangkan bersama Panasonic dan Leica. Beralih ke sisi belakang bodi weather sealed-nya, terdapat layar sentuh 3,2 inci beresolusi 2,1 juta dot. Tentu saja tidak ada ruang lagi untuk sebuah viewfinder elektronik.

Sigma fp

Urusan video, Sigma fp tidak kalah mengesankan. Dibantu oleh external recorder yang menyambung via port USB 3.1, ia mampu merekam video 4K 24 fps dalam format CinemaDNG RAW 12-bit. Kendala yang kerap dijumpai kamera compact di sektor perekaman video adalah overheating, tapi Sigma fp berhasil mengatasinya berkat heat sink terintegrasi.

Sigma tak lupa mengklaim bahwa fp siap digunakan oleh kalangan sineas profesional. Ini dikarenakan rancangannya yang modular, di mana pengguna dapat menambah beraneka ragam aksesori macam hot shoe, viewfinder, hand grip, dan masih banyak lagi, baik bikinan Sigma sendiri maupun pabrikan lain.

Sigma fp

Gambaran lebih jelasnya mengenai sifat modular Sigma fp bisa Anda lihat sendiri melalui video di bawah. Di situ bisa kita lihat bagaimana kamera seringkas ini dapat disulap menjadi kamera sinema bongsor berkat bantuan segudang aksesori.

Sigma fp sendiri rencananya baru akan dipasarkan pada musim semi mendatang, tapi sejauh ini belum ada info apapun terkait harganya. Pasca peluncuran fp, Sigma juga berniat meluncurkan varian lain fp yang mengemas sensor Foveon. Varian bersensor Foveon ini kabarnya mengemas resolusi 20 megapixel per layer, dengan resolusi total melebihi angka 60 megapixel.

Sumber: PetaPixel.

Hasselblad Luncurkan Penerus Kamera Mirrorless Medium Format-nya, X1D II 50C

Tiga tahun lalu, Hasselblad menyingkap X1D, kamera mirrorless pertama di dunia yang mengemas sensor medium format, yang ukuran penampangnya jauh lebih besar ketimbang sensor full-frame. Kini giliran penerusnya yang unjuk gigi; X1D II 50C menghadirkan sejumlah penyempurnaan dari segi performa maupun pengoperasian.

X1D II masih menggunakan sensor medium format beresolusi 50 megapixel yang sama seperti pendahulunya. Namun kelemahan X1D generasi pertama bukanlah kualitas gambar, melainkan performanya. Itulah mengapa Hasselblad menyematkan prosesor baru pada X1D II, yang pada akhirnya sanggup memangkas waktu booting kamera hingga 46%, serta meningkatkan performanya secara keseluruhan.

Kemampuan burst shooting-nya naik sedikit menjadi 2,7 fps. Di samping itu, kehadiran prosesor baru ini juga berhasil mendongkrak refresh rate dari viewfinder elektronik (EVF) milik X1D II, yang kini berada di angka 60 fps. Tidak ketinggalan juga adalah peningkatan resolusi EVF menjadi 3,69 juta dot, serta tingkat perbesaran yang naik menjadi 0,87x.

Hasselblad X1D II 50C

Terkait pengoperasian, X1D II mengandalkan layar sentuh yang berukuran lebih besar, tepatnya 3,6 inci, dengan resolusi yang lebih tinggi pula di angka 2,36 juta dot. Tak hanya itu, tampilan menunya juga sudah disempurnakan agar lebih mudah dikuasai, dan menu-menunya pun kini juga dapat diakses lewat EVF.

Perubahan lain yang sepele namun tetap menarik adalah mode pemotretan JPEG-only. Sebelum ini, X1D orisinal hanya bisa memotret dalam format RAW atau JPEG+RAW saja. Juga menarik adalah bagaimana baterai 24,7 Wh miliknya kini dapat di-charge menggunakan adaptor atau langsung via colokan USB kamera, yang berarti X1D II dapat menerima suplai daya dari power bank di saat darurat.

Hasselblad X1D II 50C

Masih seputar USB, Hasselblad juga telah meng-update aplikasi pendamping X1D II yang bernama Phocus Mobile 2 agar dapat menyambung langsung ke iPad Pro generasi ketiga via kabel USB-C. Terakhir, X1D II juga telah mengemas GPS terintegrasi, tidak seperti pendahulunya yang memerlukan aksesori terpisah.

Bagian terbaiknya, Hasselblad X1D II juga dibanderol jauh lebih terjangkau daripada pendahulunya – meski tetap saja mahal – di angka $5.750 (body only), lebih mendekati harga Fujifilm GFX 50R yang bermain di segmen yang sama. Pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai bulan Juli mendatang.

Sumber: DPReview.

Fujifilm GFX100 Resmi Diluncurkan, Mirrorless dengan Sensor Medium Format Beresolusi 102 Megapixel

Resmi sudah, Fujifilm akhirnya meluncurkan kamera monster yang mereka pamerkan prototipenya pada ajang Photokina tahun lalu, yaitu GFX 100. Kamera ini bisa dianggap sebagai pembuktian terhadap anggapan Fujifilm bahwa kamera mirrorless bersensor full-frame terkesan tanggung.

Hal paling utama yang harus disoroti dari GFX 100 tentu saja adalah sensornya. Kamera ini mengemas sensor medium format yang sama seperti milik GFX 50S maupun GFX 50R, tapi di sini resolusinya telah dilipatgandakan menjadi 102 megapixel. Secara otomatis ini menjadikannya sebagai kamera mirrorless dengan resolusi tertinggi yang ada saat ini.

Fujifilm GFX100

Namun GFX 100 bukan sebatas mengunggulkan resolusi begitu saja. Kecanggihannya juga meliputi sistem image stabilization internal 5-axis, serta sistem phase-detection autofocus (PDAF) yang cakupannya hampir menutupi seluruh penampang sensor, dengan total 3,76 juta pixel phase-detection yang tersebar.

Sistem autofocus-nya ini merupakan peningkatan pesat dibanding yang terdapat pada GFX 50S maupun GFX 50R. Fuji mengklaim GFX100 mampu mengunci fokus 210% lebih cepat ketimbang GFX 50R yang masih ditenagai oleh sistem contrast-detection autofocus konvensional. Jadi untuk fotografer olahraga atau fotografer satwa liar, mereka jelas akan lebih memilih GFX 100.

Juga patut diapresiasi adalah kemampuan GFX100 merekam video 4K 30 fps, pertama kalinya bagi kamera mirrorless dengan sensor sebesar ini. Lebih lanjut, jika bicara dalam konteks profesional, GFX 100 juga menyediakan opsi perekaman berformat uncompressed 4:2:2 10-bit via port HDMI miliknya.

Fujifilm GFX100

Semua itu berhasil dikemas dalam bodi yang dimensinya tidak lebih besar dari kamera DSLR full-frame kelas flagship, macam Canon 1D X Mark II, misalnya. Bobotnya pun hanya berkisar 1,36 kilogram, dan itu sudah mencakup sepasang baterai, sebuah memory card (slot-nya sendiri ada dua), serta viewfinder elektronik (EVF).

Apa hubungan EVF dengan bobot perangkat? Well, rupanya GFX100 mempunyai EVF yang dapat dilepas-pasang. Untuk apa harus dilepas? Supaya pengguna dapat menggantinya dengan aksesori opsional berupa EVF yang dapat diputar (swivel) sekaligus dinaik-turunkan sudutnya (tilt) demi fleksibilitas ekstra selagi memotret.

Fujifilm GFX100

Di samping jendela bidik, tentunya pengguna juga bisa memanfaatkan layar sentuh 3,2 inci miliknya. Layar beresolusi 2,36 juta dot ini juga bisa di-tilt, malahan secara total ke 3 arah, sehingga tetap terasa ideal dalam orientasi landscape maupun portrait.

Tertarik? Siapkan saja dana sebesar $10.000 untuk meminang Fujifilm GFX100 (body only tentu saja) saat mulai dipasarkan pada 27 Juni mendatang.

Sumber: PetaPixel.

Panasonic Resmi Luncurkan Duo Kamera Mirrorless Full-Frame Perdananya, Lumix S1R dan Lumix S1

Setelah sekian lama mendominasi pasar kamera mirrorless full-frame, Sony di tahun 2019 ini bakal menghadapi dengan perlawanan yang cukup sengit dari rival-rival barunya. Salah satunya adalah Panasonic, yang baru saja meresmikan kamera mirrorless full-frame pertamanya, Lumix S1R dan S1, setelah mengungkap teaser-nya pada ajang Photokina 2018 lalu.

Seperti yang sudah kita ketahui sejak pengumuman perdananya, perbedaan antara Lumix S1R dan S1 mirip seperti Sony a7R dan a7. Lumix S1R adalah model yang benar-benar didedikasikan untuk fotografi dengan mengandalkan sensor full-frame 47,3 megapixel. Lumix S1 di sisi lain ‘hanya’ mengemas resolusi 24,2 megapixel pada sensor full-frame miliknya.

Panasonic Lumix S1

Meski demikian, Lumix S1 sebenarnya lebih superior perihal videografi. Kedua kamera memang sama-sama sanggup merekam video 4K 60 fps, akan tetapi Lumix S1R masih mengandalkan metode pixel binning, sementara Lumix S1 benar-benar memanfaatkan seluruh penampang sensornya. Kasusnya ini sama persis seperti di kubu Sony, di mana kalangan videografer lebih banyak yang memilih Sony a7 III ketimbang a7R III.

Perbedaan berikutnya terletak pada mode High Resolution yang ditawarkan kedua kamera: Lumix S1R dapat menghasilkan gambar beresolusi total 187 megapixel, sedangkan Lumix S1 cuma 96 megapixel. Kabar baiknya, perbedaan antara kedua kamera ini terhenti sampai di situ saja.

Panasonic Lumix S1R

Selebihnya, baik Lumix S1R maupun S1 sama-sama merupakan kamera mirrorless full-frame yang sangat kapabel. Performanya pun cukup mumpuni, dengan kemampuan menjepret tanpa henti secepat 9 fps (atau 6 fps dengan continuous AF). Kalau resolusi bukanlah prioritas, pengguna dapat memanfaatkan mode 6K Photo untuk mengekstrak deretan foto beresolusi 18 megapixel dari jepretan dalam kecepatan 30 fps.

Sistem autofocus yang digunakan adalah DFD (Depth From Defocus) generasi terbaru, yang diklaim lebih lihai soal tracking berkat keterlibatan machine learning dalam mengidentifikasi subjek bergerak. Sistem image stabilization 5-axis juga merupakan fitur standar pada kedua kamera ini.

Panasonic Lumix S1R

Terobosan lain yang diterapkan Panasonic datang dalam wujud viewfinder elektronik dengan panel OLED beresolusi 5,76 juta dot, resolusi tertinggi yang ada saat ini. Refresh rate-nya pun dapat dipilih antara 60 atau 120 fps, lalu di bawahnya masih ada layar sentuh 3 inci beresolusi 2,1 juta dot, yang sayangnya tidak sepenuhnya articulated, melainkan cuma dapat dimiringkan pada tiga poros.

Secara fisik, keduanya sama-sama mengusung sasis magnesium yang siap menerjang cuaca buruk. Dudukan lensa yang digunakan adalah L-Mount bikinan Leica, akan tetapi nantinya juga akan tersedia deretan lensa dari Panasonic sendiri maupun Sigma.

Panasonic Lumix S1R

Lalu kapan Panasonic bakal memasarkannya? Awal April, dengan banderol $3.699 untuk Lumix S1R (body only) dan $2.499 untuk Lumix S1. Bundel bersama lensa baru 24-105mm f/4 juga tersedia seharga $4.599 (S1R) atau $3.399 (S1). Panasonic sepertinya cukup percaya diri dengan debut mereka di ranah full-frame kalau melihat banderol yang lebih tinggi ketimbang duo Sony a7R III dan a7 III.

Sumber: DPReview.

Tidak Tergoda dengan Segmen Full-Frame, Olympus Luncurkan OM-D E-M1X

Panasonic membuat kejutan beberapa bulan lalu dengan mengumumkan kamera mirrorless full-frame perdananya. Mengejutkan karena Panasonic selama ini sangat percaya diri dengan platform Micro Four Thirds yang dikembangkannya bersama Olympus, namun ternyata godaan untuk mencicipi peruntungan di lahan yang didominasi oleh Sony tidak bisa terbendung lagi.

Lalu bagaimana dengan Olympus? Apakah mereka juga bakal menyusul jejak Panasonic ke segmen mirrorless full-frame? Sepertinya tidak dalam waktu dekat, sebab mereka baru saja memperkenalkan kamera Micro Four Thirds baru, yaitu Olympus OM-D E-M1X.

Olympus OM-D E-M1X

OM-D E-M1X bukanlah penerus langsung OM-D E-M1 Mark II, melainkan lebih pantas dianggap sebagai varian yang sedikit lebih advanced. Sensor yang digunakan sama persis dan tetap beresolusi 20,4 megapixel, akan tetapi E-M1X mengemas dua prosesor TruePic VIII sekaligus demi mewujudkan peningkatan performa yang signifikan.

Kehadiran satu prosesor tambahan ini memungkinkan Olympus untuk merealisasikan fitur seperti Intelligent Subject Detection, sehingga E-M1X mampu mendeteksi sekaligus mengikuti pergerakan berbagai macam kendaraan, mulai dari sepeda motor sampai kereta api dan pesawat, di samping sebatas face dan eye detection.

Olympus OM-D E-M1X

Sistem autofocus-nya sendiri belum diubah, masih mengandalkan 121 titik phase detection bertipe cross-type, yang dapat dinavigasikan via layar sentuh maupun joystick 8 arahnya. Menggunakan shutter elektronik, E-M1X sanggup menjepret tanpa henti dengan kecepatan 18 fps dalam posisi continuous AF aktif, atau 60 fps dengan AF dan AE terkunci.

Sistem image stabilization 5-axis yang terdapat pada E-M1X diklaim sudah lebih disempurnakan lagi. Mode Pro Capture yang akan mengambil deretan gambar sebelum tombol shutter ditekan penuh, kini semakin ngebut lagi dengan kemampuan mengambil 35 gambar sekaligus.

Olympus OM-D E-M1X

Secara visual, E-M1X tampak identik dengan E-M1 Mark II yang dipasangi aksesori vertical grip. E-M1X sendiri mengemas dua baterai sekaligus, dan keduanya dapat diisi ulang tanpa perlu dilepas dari kamera, melainkan langsung dengan menggunakan charger USB-C. Juga berjumlah dua adalah slot SD card-nya, dan keduanya sama-sama mendukung tipe UHS-II.

Selebihnya, E-M1X tidak jauh berbeda dari E-M1 Mark II. Olympus sejatinya hanya mendongkrak kinerja kamera yang sudah sangat cepat di kelasnya, dan itulah mengapa E-M1 Mark II masih akan dijual sebagai alternatif yang lebih terjangkau dari E-M1X, yang dibanderol $2.999 saat dipasarkan pada akhir Februari nanti.

Sumber: DPReview.