Usik Dominasi Sony, Canon Luncurkan Kamera Mirrorless Full Frame EOS R dan Lensa RF

Canon memiliki beberapa jajaran kamera EOS, dari mulai kamera DSLR EOS dengan lensa EF yang terdiri dari seri entry, advanced, dan pro. Serta, kamera mirrorless EOS M bersensor APS-C dengan lensa EF-M.

Kini Canon telah menghadirkan keluarga baru di ekosistem EOS yang telah ditunggu-tunggu sejak lama yakni sistem baru EOS R, kamera mirrorless full frame dengan mounting lensa RF.

Pertanyaannya adalah kemana saja Canon selama ini? Padahal mereka sudah terjun di pasar mirrorless sejak tahun 2012. Lalu, bagaimana nasib sistem EOS M?

Persaingan Kamera Full Frame Baru Dimulai 

canon-luncurkan-kamera-mirrorless-full-frame-eos-r-dan-lensa-rf

Tidak bisa dipungkiri, salah satu alasan Canon merilis sistem baru EOS R adalah untuk mengusik dominasi Sony. Lalu, sekarang juga ada Nikon Z meskipun belum hadir di Indonesia.

“Karena kita melihat untuk para pengguna yang menginginkan kualitas foto maupun video full frame, mereka hanya bisa ke DSLR Canon atau kalau yang ingin lebih ringan pilihannya ke kompetitor kita ini. Karena sebelumnya, kita tidak bisa menjawab kebutuhan tersebut.” Ujar Sintra Wong selaku Canon Image Communication Product Division manager PT Datascrip.

“Kita juga melihat, para pengguna body dari merek lain itu – mereka sebenarnya masih sangat bergantung pada lensa-lensa EF-nya Canon. Oleh karena itu, kami menghadirkan sistem baru EOS R. Jadi, para pengguna DSLR Canon menginginkan kamera yang lebih ringan tetapi memiliki kualitas yang prima dengan sensor full frame tidak perlu pergi ke merek lain. Lensa EF Canon juga tentunya akan bekerja lebih optimal di EOS R.” Tambahnya.

EOS R sendiri diposisikan untuk pengguna yang lebih profesional dan fotografi yang lebih serius. Maka dari itu EOS R hadir sebagai pilihan atau alternatif kepada para fotografer.

Bagaimana nasib EOS M? Kamera mirrorless dengan sensor APS-C ini masih tetap akan dikembangkan, karena segmennya berbeda – lebih menitikberatkan pada keringkasan serta portability-nya, dan menyasar para pemula atau hoby.

Sistem EOS R Kompatibel dengan Lensa EF

Ya, Canon EOS R kompatibel dengan lensa EF, tetapi tidak bisa dipasang dengan lensa EF-M. Canon menyertakan tiga jenis adaptor untuk memberikan fleksibilitas dalam menggunakan lensa EF.

Mount lensa RF ini berdiameter 54 mm, jarak antara sensor dengan mount lensa hanya 20 mm. Tidak heran, bila dimensi Canon EOS R menjadi begitu ramping dibanding DSLR Canon – tetapi masih lebih besar dibanding kamera mirrorless full frame A7 series dari Sony.

EOS R dilengkapi layar sentuh 3,2 inci beresolusi 2,1 juta dot yang fully-articulated yang bisa ditarik ke samping dan putar-putar sesuka hati. Di atasnya, tentu saja ada electronic viewfinder (EVF) berpanel OLED dengan resolusi 3,69 juta dot dan tingkat perbesaran 0,76x.

Bagian terunik EOS R berada tepat di samping kanan EVF tersebut. Bagian kecil itu merupakan semacam touchpad multi-fungsi yang akan memberikan akses cepat ke berbagai pengaturan seperti autofocus, ISO atau white balance, dan semua ini bisa diprogram sesuai kebutuhan masing-masing pengguna.

Saat ini, sudah tersedia empat seri lensa RF, yaitu:

  • RF 50mm f/1.2L USM
  • RF 24-105mm f/4L IS USM
  • RF 28-70mm f/2L USM
  • RF 35mm f/1.8 IS STM

Yang perlu diketahui adalah lensa RF terhubung ke kamera EOS R melalui 12 pin pada mount. Sementara, lensa EF hanya memiliki 8 pin. Artinya meski lensa EF bisa digunakan, namun bila ingin kinerja lensa yang optimal tetap disarankan menggunakan lensa RF. Canon juga telah memastikan, lensa EF dan RF juga masih akan terus dikembangkan.

Fitur dan Spesifikasi Canon EOS R 

EOS R adalah kamera mirrorless full frame 35mm pertama dari Canon, dibekali sensor CMOS 30,3-megapixel dan prosesor gambar DIGIC 8 dengan kecepatan fokus 0,05 detik. Serta, mampu mengambil gambar berturut-turut 8 fps dengan AF-S atau 5 fps dengan AF-C.

Canon EOS R memiliki rentang ISO 100-40.000 untuk foto, 100-25.600 untuk video, dan 100-12.800 untuk video 4K. Serta, area bidik yang luas dengan 5.655 titik AF yang mencakup 100% (vertikal) dan 88% (horizontal).

Untuk perekaman videonya, Canon EOS R dapat merekam 4K pada 30p/25p dengan crop 1.7x dan didukung Canon Log yang telah terbukti hasilnya pada Cinema EOS System. Fitur ini sangat membantu untuk pengaturan kontras, detil, dan warna selama proses pascaproduksi. Selain itu, perekaman 4K bisa mencapai 10-bit melalui terminal HDMI untuk menghasilkan gradasi dan rentang warna yang akurat.

PT. Datascrip sebagai distributor tunggal produk pencitraan digital Canon di Indonesia, memasarkan Canon EOS R Body Only (BO) dengan harga Rp 39.999.000 dan Canon EOS R dengan lensa RF24-105mm f/4L IS USM dengan harga Rp 59.999.000.

Fujifilm X-T3 Datang Membawa Sensor Generasi Baru dan Kapabilitas Video Superior

Sebelum Fujifilm X-T2 diluncurkan dua tahun lalu, tidak ada kamera dari lini X-Series yang jago perihal video. Pernyataan ini bukan semata karena X-T2 adalah yang pertama menawarkan opsi perekaman dalam resolusi 4K, tetapi memang hasil rekaman videonya tergolong jelek untuk standar kamera mirrorless.

Kondisinya sudah berubah drastis sekarang. Fujifilm X-H1 yang dirilis di bulan Februari kemarin sejatinya didedikasikan bagi kalangan videografer selagi masih menawarkan kualitas foto khas lini X-Series. Formula ini terus dimatangkan sampai akhirnya lahir Fujifilm X-T3.

Kalau hanya mengamati fisiknya secara sepintas, sulit rasanya membedakan antara X-T3 dan pendahulunya. Fujifilm memang tidak banyak mengubah desainnya, kecuali memperbesar ukuran kenop-kenop di panel atas serta tombol-tombol di panel belakang. Yang berubah signifikan adalah jeroan alias bagian dalamnya.

Fujifilm X-T3

X-T3 merupakan kamera pertama yang mengemas sensor X-Trans 4; masih APS-C, tapi kini beresolusi 26 megapixel dan sudah menganut desain backside-illuminated demi semakin meningkatkan performanya di kondisi minim cahaya. Native ISO terendah yang bisa dipilih sekarang ISO 160, bukan lagi ISO 200 seperti pada sensor X-Trans generasi sebelumnya.

Sensor ini hadir bersama chip X-Processor 4 yang berinti empat (quad-core) dan menjanjikan kinerja tiga kali lebih cepat dari sebelumnya. Prosesor baru ini juga merupakan salah satu alasan terbesar mengapa X-T3 semakin cekatan untuk urusan perekaman video.

Selain menawarkan resolusi maksimum 4K 60 fps, X-T3 juga sanggup menghasilkan output video 10-bit 4:2:0 langsung ke SD card yang terpasang (menggunakan codec H.265/HEVC) atau 10-bit 4:2:2 ke external recorder via HDMI. Barisan angka ini mungkin terdengar membingungkan bagi konsumen secara luas, tapi sangat penting di mata videografer.

Sepintas kapabilitas video X-T3 terdengar lebih superior ketimbang X-H1, akan tetapi X-H1 masih lebih unggul soal satu hal, yaitu image stabilization 5-axis. Kalau merekam tanpa bantuan tripod atau gimbal, X-H1 yang memang video-oriented pasti dapat menghasilkan video yang lebih bagus ketimbang X-T3.

Fujifilm X-T3

Sistem autofocus-nya juga ikut disempurnakan, kini mengandalkan 2,1 juta phase detection pixel dengan coverage 100% (jumlah total titik fokusnya 425). Fujifilm mengklaim kinerja sistem AF milik X-T3 1,5 kali lebih cepat dari X-T2, plus mampu mengunci fokus pada tingkat pencahayaan serendah –3EV (X-T2 cuma sampai –1EV). Lebih lanjut, fitur Eye Detection AF di X-T3 dapat diaktifkan dalam mode AF-C maupun ketika merekam video.

Untuk memotret tanpa henti, X-T3 mencatatkan angka 11 fps menggunakan shutter mekanis, atau 20 fps dengan shutter elektronik. Andai perlu lebih ngebut lagi, pengguna bisa mengaktifkan mode “Sports Finder” yang akan meng-crop gambar sebesar 1,25x, tapi mendongkrak kecepatannya menjadi 30 fps.

Fujifilm X-T3

Beralih ke aspek pengoperasian, X-T3 dibekali viewfinder elektronik (EVF) berpanel OLED dengan resolusi 3,69 juta dot dan tingkat perbesaran 0,75x, serta yang cukup langka, refresh rate setinggi 100 fps tanpa harus mengandalkan bantuan aksesori opsional vertical grip seperti sebelumnya. Tidak seperti pendahulunya, X-T3 kini dilengkapi layar sentuh, dan layar ini masih bisa dimiringkan ke atas-bawah maupun ke kiri.

Soal konektivitas, X-T3 pun juga lengkap. Jack headphone maupun mikrofon semuanya ada, demikian pula HDMI dan USB-C, serta Wi-Fi dan Bluetooth. Baterainya diklaim bisa bertahan sampai 390 jepretan, sedikit lebih awet ketimbang kamera mirrorless full-frame Nikon dan Canon yang diumumkan baru-baru ini.

Fujifilm berniat memasarkan X-T3 mulai 20 September mendatang seharga $1.500 (body only) atau $1.900 bersama lensa XF 18–55mm f/2.8–4. Seperti biasa, pilihan warna yang tersedia ada dua: serba hitam atau kombinasi silver dan hitam.

Sumber: DPReview.

Canon EOS R Memulai Babak Kompetisi Baru di Segmen Kamera Mirrorless Full-Frame

Ternyata tidak butuh waktu lama bagi Canon untuk merespon peluncuran Nikon Z 7 dan Z 6 dua minggu lalu. Dengan kehadiran Canon EOS R, rivalitas abadi antar keduanya resmi berlanjut sampai ke segmen mirrorless full-frame.

Tidak seperti Nikon yang sempat gagal di kancah mirrorless, Canon belakangan semakin menunjukkan keseriusannya di ranah ini, dan mereka rupanya juga tergiur untuk mengusik dominasi Sony. Canon memang hanya mengumumkan satu kamera mirrorless full-frame, tapi mereka menegaskan bahwa ini baru yang pertama.

Canon EOS R

Di atas kertas, EOS R bisa dibilang duduk di tengah-tengah Nikon Z 7 dan Z 6. Sensor full-frame miliknya yang didampingi prosesor DIGIC 8 ini memiliki resolusi 30,3 megapixel, dengan tingkat ISO 100 – 40000 (dapat ditingkatkan lagi menjadi 50 – 102400). Sensor ini dibekali low-pass filter untuk mengurangi efek moiré, tapi dampaknya ketajaman jadi sedikit berkurang.

Yang sangat mengesankan dari EOS R, layaknya DSLR kelas atas Canon, adalah sistem autofocus Dual Pixel-nya. Total ada 5.655 titik fokus yang dapat dipilih, yang menjangkau 88% bentang vertikal dan 100% bentang horizontal. Fitur eye detection turut tersedia, dan ini absen pada Nikon Z 7 maupun Z 6.

Kemampuan menjepret tanpa henti EOS R tergolong lumayan: 8 fps dengan AF-S, atau 5 fps dengan AF-C. Untuk video, pengguna dapat merekam dalam resolusi maksimum 4K 30 fps langsung ke memory card, atau ke external recorder via HDMI jika membutuhkan bitrate lebih. Opsi slow-motion pun juga tersedia, sayang cuma 120 fps pada resolusi 720p.

Canon EOS R

Sama seperti pesaingnya, EOS R juga menggunakan dudukan lensa baru bernama RF-mount. Diameternya sama persis seperti EF-mount (54 mm), akan tetapi jaraknya ke sensor tentu lebih dekat karena tidak ada lagi cermin (mirrorless), dan ini memungkinkan konstruksi lensa yang lebih simpel dan ringkas.

Alasan klasik menggunakan kamera Canon adalah ekosistem lensanya yang begitu luas, dan ini tentu masih berlaku pada EOS R, sebab Canon telah menyediakan adaptor untuk lensa-lensa EF, EF-S, TS-E dan MP-E. 12 pin elektrik yang digunakan RF-mount juga diklaim bisa mewujudkan komunikasi yang lebih sigap dan mendalam antara kamera dan lensa.

Canon EOS R

Lanjut ke bagian fisik, EOS R mengusung sasis magnesium yang tahan terhadap cuaca ekstrem. Bobotnya berkisar 660 gram, sudah termasuk baterai. Baterainya sendiri diklaim dapat bertahan sampai 370 jepretan, tapi yang unik, EOS R bisa di-charge langsung menggunakan kabel USB layaknya kamera saku.

EOS R dilengkapi layar sentuh 3,2 inci beresolusi 2,1 juta dot yang fully-articulated, alias bisa kita tarik ke samping dan putar-putar sesuka hati, tidak seperti Nikon Z 7 dan Z 6 yang cuma bisa di-tilt ke atas atau bawah. Di atasnya, tentu saja ada electronic viewfinder (EVF) berpanel OLED dengan resolusi 3,69 juta dot dan tingkat perbesaran 0,76x.

Canon EOS R

Namun bagian terunik EOS R berada tepat di samping kanan EVF tersebut. Bagian kecil itu merupakan semacam touchpad multi-fungsi yang akan memberikan akses cepat ke berbagai pengaturan seperti autofocus, ISO atau white balance, dan tentu saja semua ini bisa diprogram sesuai kebutuhan masing-masing pengguna. Wi-Fi maupun Bluetooth juga sudah menjadi fitur standar pada kamera ini.

Secara harga, Canon EOS R lebih mirip Nikon Z 6. Bodinya saja dibanderol $2.300, sedangkan bundel bersama lensa RF 24–105mm f/4 L IS USM dibanderol $3.400. Resmi sudah, jangan ada lagi yang bilang “Canon dan Nikon tidak serius menyikapi persaingan di kancah mirrorless”.

Sumber: DPReview.

Sony HX99 dan HX95 Diklaim Sebagai Kamera Terkecil dengan 30x Optical Zoom

Anggap Anda baru saja membeli sebuah kamera saku, apa alasan Anda memilihnya ketimbang smartphone? Kalau Anda bilang kualitas gambar, saya yakin Anda bakal dicerca banyak orang, dan jawaban itu pun hanya berlaku untuk kamera-kamera tertentu saja, macam Sony RX100 yang duduk di kelas premium.

Jawaban yang lebih masuk akal mungkin adalah optical zoom. Beberapa smartphone terkini memang ada yang menawarkan fitur optical zoom, tapi tidak lebih dari sebatas 2x atau 3x saja. Untuk zooming ekstrem (di atas 20x) misalnya, kamera saku yang masuk kategori superzoom masih belum bisa ditandingi smartphone.

Sony HX99

Salah satu yang terbaru adalah Sony HX99 dan HX95. Keduanya diklaim sebagai kamera terkecil yang mengemas lensa 24–720mm (30x optical zoom). Kualitas lensanya juga tak perlu diragukan kalau melihat label “ZEISS” di sana, dan Sony tak lupa membekalinya dengan sistem image stabilization yang bakal sangat membantu ketika lensa di-zoom cukup jauh.

Urusan kualitas gambar, HX99 dan HX95 sama-sama mengemas sensor Exmor R 1/2,3 inci dengan resolusi 18 megapixel dan dukungan pemotretan dalam format RAW. Video 4K 30 fps pun dapat ia rekam, sedangkan kecepatan menjepret tanpa hentinya mencapai angka 10 fps. Sistem autofocus-nya diklaim sanggup mengunci fokus secepat 0,09 detik saja.

Sony HX99

Keduanya memiliki desain dan spesifikasi yang identik, akan tetapi HX99 sedikit lebih unggul soal pengoperasian. Meski sama-sama dibekali pop-up viewfinder dan LCD yang bisa dilipat hingga menghadap ke depan (180º), cuma HX99 yang dilengkapi layar sentuh, dan lensanya juga dikitari sebuah control ring yang dapat dikustomisasi untuk mengatur fokus manual atau zooming secara bertahap.

Fitur pelengkap seperti Wi-Fi, NFC dan Bluetooth turut tersedia pada HX99 dan HX95. Keduanya akan dipasarkan di Eropa mulai bulan Oktober mendatang seharga 520 euro (HX99) dan 500 euro (HX95).

Sumber: DPReview dan Sony.

Nikon D3500 Unggulkan Kepraktisan dan Harga Terjangkau di Segmen DSLR Entry-Level

Lewat Nikon Z 7 dan Z 6, Nikon resmi memulai babak baru di kancah mirrorless. Kendati demikian, sang rival abadi Canon tersebut tentu tidak lupa dengan segmen yang berhasil membangun reputasinya hingga ke titik ini. Lagipula, kamera mirrorless anyar Nikon itu masuk kategori high-end, sehingga masih ada celah di kelas bawah yang bisa diisi oleh DSLR terbarunya.

Nikon D3500, sesuai namanya, merupakan suksesor dari Nikon D3400 yang dirilis dua tahun silam. Lagi-lagi Nikon tidak menghadirkan peningkatan kualitas gambar, sebab target pasar yang dituju di kelas ini adalah mereka yang belum pernah memiliki kamera sama sekali, dan spesifikasi pendahulunya saja memang sudah lebih dari cukup.

Spesifikasi tersebut mencakup sensor APS-C 24 megapixel dan prosesor Expeed 4. Tingkat ISO-nya berada di kisaran 100 – 25600, sedangkan autofocus-nya mengandalkan sistem 11 titik. Satu-satunya hal yang paling mengecewakan adalah kemampuan merekam videonya, yang masih saja terbatas di resolusi 1080p 60 fps, padahal kita sudah hidup di era smartphone berkemampuan 4K.

Nikon D3500

Kinerjanya sama persis, tapi yang berubah adalah kepraktisannya. D3500 rupanya memiliki dimensi yang lebih ringkas lagi ketimbang D3400, dengan bobot hanya 365 gram, sudah termasuk baterai. Baterainya ini juga amat istimewa, sanggup bertahan hingga 1.550 jepretan dalam satu kali charge, naik sekitar 30% dari baterai D3400 yang sudah tergolong sangat awet.

Desain D3500 pun juga telah disempurnakan agar lebih mudah dioperasikan. Satu yang paling saya suka adalah, semua tombol di panel belakangnya kini diposisikan di samping kanan layar (kecuali tombol pop-up flash). Dengan begitu, pengguna dapat meraih semuanya menggunakan jempol kanan tanpa harus melepas matanya dari viewfinder.

Nikon D3500

Wi-Fi lagi-lagi absen di kamera ini. Namun jangan khawatir, D3500 tetap dibekali Bluetooth dan kompatibel dengan sistem SnapBridge. Pada versi terbarunya, SnapBridge tak hanya berguna untuk memudahkan proses transfer gambar ke perangkat mobile saja, tapi juga memungkinkan fungsi remote control via Bluetooth.

Perubahan lain yang bakal membuat konsumen tersenyum adalah harga jualnya yang turun drastis jika dibandingkan D3400. Nikon mematok harga $500 saja untuk D3500 bersama lensa 18–55mm f/3.5–5.6G VR, sedangkan bundel dengan dua lensa (lensa yang tadi plus 70–300mm f/4.5–6.3G ED) dihargai $850. Pemasarannya akan dimulai pada bulan September ini juga.

Sumber: DPReview.

[Review] Sony RX100 VI: Teman Travelling dan Rekan Kerja yang Bisa Diandalkan

17 dan 22 Agustus lalu ialah tanggal merah, jadi saya izin untuk bekerja dari rumah (secara remote) dalam seminggu. Pulang ke kampung halaman kali ini terasa spesial, karena saya ditemani kamera compact premium yang muat dalam saku yakni Sony RX100 VI.

Piknik keluarga ke dataran tinggi Dieng menjadi salah satu agenda saya, kesempatan yang bagus untuk menguji kehebatan kamera mungil ini. Penasaran bagaimana kepiawaiannya mengabadikan pesona dari daerah yang dijuluki ‘negeri di atas awan’ tersebut – inilah review Sony RX100 VI selengkapnya.

Desain Sony RX100 VI

review-sony-rx100-vi

Saking ringkasnya bentuk RX100 VI, saya hanya perlu membawa tas selempang kecil ini. Isinya antara lain kamera, tripod mini VCT-SGR1, smartphone, power bank, dan dompet. Bisa dibayangkan bukan bagaimana praktisnya? Saya bisa cukup leluasa bergerak dan memotret dengan bebas.

Namun karena RX100 VI tidak memiliki hand grip, saya mesti sangat berhati-hati dalam menggunakannya – takut selip. Solusinya, saya menggunakan tripod mini VCT-SGR1.

Aksesori ini dijual secara terpisah dan bisa disambungkan ke kamera dengan kabel microUSB. Dengan begitu, saya bisa mengambil gambar, merekam video, dan memanfaatkan fungsi zoom dengan lebih aman.

Dengan dimensi 58,1×101,6 cm dan ketebalan 42,8 cm, lebar dan tingginya jauh lebih ramping dibanding smartphone saat ini yang rata-rata punya layar 6 inci dalam rasio 18:9. Namun, RX100 VI jelas lebih tebal dan lensanya juga akan memanjang saat fungsi zoom digunakan.

review-sony-rx100-vi

Untuk desainnya, kurang lebih masih sama dengan para pendahulunya. Build quality-nya sangat bagus – material logam terasa solid di tangan. Meski begitu, RX100 VI tetap butuh perawatan ekstra. Satu lagi, meski muat di kantong – tapi jangan menyimpannya di sana. Kalau kamera tiba-tiba aktif di dalam saku, lensanya bisa tertahan dan tergesek.

Kontrol Kamera Sony RX100 VI

Sekarang mari lihat lebih dekat kontrol kamera yang dimiliki RX100 VI. Kita mulai dari sisi atas, di mana terdapat tombol power dan punya LED yang menyala hijau saat kamera aktif, serta menyala kuning saat charging.

Kemudian ada tombol shutter, yang dilengkapi slider untuk melakukan zoom out dan zoom in. Lanjut disampingnya, ada mode dial yang memungkin Anda beralih ke mode memotret dengan cepat seperti auto mode, program auto, aperture priority, shutter priority, manual exposure, memory recall, movie, high frame rate, sweep panorama, dan scene selection.

Lalu terdapat internal flash dan electronic viewfinder dengan mekanisme pop-up, ada tombol khusus untuk menggunakan – kita cukup menggesernya. Di RX100 VI, pop-up viewfinder-nya bisa langsung digunakan dan tak perlu ditarik keluar.

review-sony-rx100-vi

Ke sisi bawah, ada akses untuk memasang dan mencabut baterai, serta slot kartu memori. Lalu, ada lubang untuk menempatkan kamera ke tripod.

Ke sisi kanan, ditemui port microUSB dan HDMI, serta kait untuk tali kamera. Lalu, di sisi kiri, tombol geser untuk memunculkan viewfinder, kait untuk tali, dan area NFC.

Beralih ke bagian depan, ada layar sentuh 3 inci yang telah mendukung touch focus dan fungsi pinch serta zoom saat preview foto. Layarnya dapat dilipat 180 derajat ke atas dan 90 derajat ke bawah.

Lalu, di samping layar bisa ditemui tombol movie untuk merekam video, tombol menu pengaturan kamera, tombol Fn yang berisi 12 shortcut yang bisa disesuaikan, tombol playback, dan tombol delete. Serta, roda putar dan tombol enter.

Menu Setting Sony RX100 VI

Ada banyak sekali menu-menu di pengaturan kamera Sony RX100 VI dan untuk memaksimalkannya kita perlu mengeksplorasi fitur-fitur yang ditawarkan. Serta, memilih pengaturan penting yang sering Anda gunakan ke tab my menu setting.

Harus diakui, mungkin akan butuh waktu untuk membiasakan diri dengan kontrol kamera dan menu-menu yang ada. Namun begitu memahaminya, maka kita bisa lebih fleksibel dan fokus mendapatkan hasil foto terbaik.

Seperti kamera Sony lainnya, RX100 VI juga punya fitur auto ISO dan meski mendukung sampai 12.800. Untuk memastikan hasil foto memiliki noise yang rendah, kita bisa membatasi maksimal ISO yang digunakan.

Fitur dan Spesifikasi Sony RX100 VI

review-sony-rx100-vi

Sony RX100 VI menggunakan sensor CMOS tipe 1.0 resolusi 20,1-megapixel dengan prosesor gambar BIONZ X dan chip DRAM. Kombinasi tersebut membuatnya mampu menangkap fokus sangat cepat 0,03 detik dan sistem AF yang mencakup 315 titik.

Lensa ZEISS Vario-Sonnar T dengan rentang zoom panjang 24-200 mm f2.8-f4.5 sangat cocok sebagai teman travelling dengan jangkauan lensa dari wide ke tele. Lensa ini juga dilengkapi ring untuk mengatur aperture.

Sistem autofocus yang sangat cepat, kemampuan menjepret 24 foto per detik, sistem peredam getar 5 axis image stabilization, dan perekaman video 4K pada 30 fps atau 24 fps – menjadi keunggulan RX100 VI.

Pengalaman Menggunakan Sony RX100 VI

review-sony-rx100-vi

Saat piknik ke Dieng, jujur saya hanya mengandalkan auto mode saja. Saya tidak mau terlihat asyik sendiri, berusaha mengambil sample foto secapat mungkin, dan tetap fokus pada acara keluarga.

Meski begitu, saya sudah sangat puas dengan hasilnya. Kamera ini mampu mendeteksi objek dan scene dengan sangat baik. Tapi yang paling berkesan memang kecepatan autofocus-nya dan 5 axis image stabilization. Hasil foto di bawah ini sebagian diambil dari balik kaca mobil.

review-sony-rx100-vi

Lensa dengan rentang zoom panjang juga membuatnya menjadi kamera yang sangat fleksibel untuk mengakomodasi jenis-jenis fotografi. Ditambah sistem eye AF yang canggih, memungkinkan kita mengambil foto portrait dari jauh tanpa diketahui oleh objek.

Namun semakin panjang zoom yang digunakan, biayanya adalah aperture maksimum menjadi lebih kecil. Lalu, aperture kecil tersebut bisa mempengahui hasil foto di cahaya low light. Kalau untuk hasil foto di luar ruangan, rata-rata warna dan detailnya sudah sangat bagus.

review-sony-rx100-vi

Dalam beberapa acara peliputan di Jakarta, Sony RX100 VI menjadi teman kerja yang sangat bisa diandalkan. Saya bisa memotret objek di panggung dari jauh tanpa harus mendekat. Serta, sangat memudahkan saat membuat konten video.

Untuk foto-foto saja, kamera ini sanggup mengambil 240 bidikan sekali charge. Tapi, kalau sudah dipakai untuk video – baterainya bakal terkuras lebih cepat. Perlu setidaknya bawa satu baterai cadangan dan power bank.

Berikut beberapa bidikan dari kamera saku premium Sony RX100 VI:

Perekaman Video Sony RX100 VI

review-sony-rx100-vi

Dengan Sony RX100 VI, kita bisa merekam video resolusi tinggi dengan mudah. Kamera ini sanggup merekam video 4K pada 30 fps atau 24 fps dan video slow motion 1080p pada 120 fps.

Sayangnya, durasi rekaman video 4K-nya dibatasi hanya dalam waktu lima menit saja. Itu pun sudah membuat body terasa panas. Namun, dari pengalaman saya untuk merekam video 1080p dalam waktu 30 menit suhu body masih aman.

Ketiadaan port mic 3,5mm bisa dimaklumi mengingat bentuknya yang kecil. Solusi untuk meningkatkan audio juga mudah, cukup pakai recorder eksternal saja.

Verdict

review-sony-rx100-vi

Buat saya Sony RX100 VI adalah teman yang menyenangkan saat travelling dan rekan kerja yang dapat diandalkan. Satu kata yang paling tepat ialah ‘praktis’, sangat ideal untuk para creator video (misalnya YouTuber). Dengan sistem autofocus sangat cepat, zoom amat panjang, serta hasil foto dan video yang bagus.

Namun sebagai kamera saku premium, harga Sony RX100 VI memang tidak murah yakni Rp17 juta. Dengan kisaran harga yang sama, Anda juga bisa mendapatkan kamera mirrorless full frame Sony Alpha A7 II yang menyimpan potensi lebih besar.

Pilihan di tangan Anda, kalau mau praktis dan tak perlu berpikir beli lensa – Sony RX100 VI untuk Anda. Tapi, kalau sedikit direpotkan dan ingin berinvestasi lebih di lensa, lebih baik pilih body Sony Alpha A7 II.

Sparks

  • Body terbilang sangat kecil tapi dengan kontrol cukup lengkap
  • Autofocus sangat cepat
  • Sistem peredam getaran 5 axis image stabilization juga sangat berguna
  • Jangkauan lensanya sangat fleksibel

Slacks

  • Tidak ada hand grip, kurang nyaman dipegang lama-lama
  • Baterai cepat habis bila untuk merekam video
  • Durasi perekaman video 4K dibatasi hanya 5 menit

Nikon Z 7 dan Z 6 Siap Mengusik Dominasi Sony di Pasar Mirrorless Full-Frame

Yang ditunggu-tunggu sejak lama akhirnya datang juga. Nikon telah memperkenalkan secara resmi kamera mirrorless full-frame pertamanya. Sesuai rumor sebelumnya, ada dua kamera sekaligus yang dihadirkan, yaitu Nikon Z 7 dan Nikon Z 6.

Keduanya memiliki dimensi beserta wujud fisik yang identik. Perbedaannya hanya di bagian dalam: meski sama-sama bersensor full-frame, resolusinya berbeda, Z 7 mengemas 45,7 megapixel, sedangkan Z 6 ‘cuma’ 24,5 megapixel. Pendekatannya kurang lebih mirip seperti yang Sony ambil dengan seri a7 dan a7R.

Nikon Z 7 / Nikon
Nikon Z 7 / Nikon

Z 7 sebagai model flagship mewarisi banyak fitur salah satu DSLR terunggul Nikon saat ini, D850. Sensor masif dengan ISO 64 – 25600 tersebut datang bersama performa yang sangat mumpuni. Utamanya adalah sistem hybrid autofocus 493 titik yang mencakup 90% bentang horizontal dan vertikal, dan burst shooting dalam kecepatan 9 fps.

Urusan video, Z 7 siap merekam dalam resolusi 4K 30 fps langsung di memory card, atau dengan bantuan external recorder via HDMI jika memerlukan bitrate yang lebih tinggi lagi. Uniknya, Z 6 justru bisa dibilang lebih superior soal video ketimbang Z 7.

Ini dikarenakan resolusi sensornya yang lebih kecil, sehingga Z 6 dapat merekam video yang oversampled (karena memakai penampang sensor secara menyeluruh), yang akhirnya bisa kelihatan lebih tajam ketika resolusinya diturunkan menjadi 4K. Untuk Z 7, kualitas yang sama hanya bisa didapatkan kalau merekam dalam format Super 35. Kasusnya sama seperti Sony a7 III dan a7R III, di mana a7 III yang resolusi sensornya lebih kecil justru lebih bagus hasil rekaman videonya.

Nikon Z 7 / Nikon
Nikon Z 7 / Nikon

Z 6 rupanya juga lebih sensitif terhadap cahaya, dengan rentang ISO 100 – 51200. Sistem hybrid autofocus-nya tidak secanggih Z 7 dengan 273 titik saja, akan tetapi kemampuan menjepret tanpa hentinya berada di kecepatan 12 fps (lebih ngebut karena resolusi yang lebih kecil tentu saja).

Untuk pertama kalinya, Nikon juga menerapkan sistem image stabilization 5-axis di dalam kamera, baik untuk Z 7 maupun Z 6. Sistem ini juga dapat dipadukan dengan image stabilization bawaan deretan lensa Nikon yang mengusung label “VR” (Vibration Reduction).

Bicara soal lensa, Z 7 dan Z 6 menggunakan dudukan baru bernama Z-mount. Diameter dudukannya ini mencapai 55 mm – terbesar di kelas mirrorless full-frame – memungkinkan akomodasi terhadap lensa dengan aperture yang sangat besar, hingga sebesar f/0.95.

Nikon Z 6 / Nikon
Nikon Z 6 / Nikon

Kedua kamera sama-sama menggunakan sasis magnesium yang tahan terhadap cuaca ekstrem, lagi-lagi sama seperti Nikon D850. Berhubung ini mirrorless, jendela bidiknya sudah menganut model elektronik, akan tetapi resolusinya sangat tinggi di angka 3,6 juta dot, dengan tingkat perbesaran 0,8x.

Di bawah viewfinder tersebut ada layar sentuh 3,2 inci beresolusi 2,1 juta dot yang bisa di-tilt. Di panel atas, terdapat layar OLED kecil untuk menampilkan sejumlah parameter kamera. Seperti yang bisa kita lihat, hand grip-nya pun juga sangat gemuk sehingga pasti nyaman sekali untuk digenggam.

Konektivitas Wi-Fi sudah pasti tersedia, demikian pula Bluetooth, yang mewujudkan sistem Nikon SnapBridge yang inovatif. Satu hal yang menurut saya kurang adalah, baterainya kecil, dengan klaim daya tahan hingga 330 jepretan saja.

Nikon Z 6 / Nikon
Nikon Z 6 / Nikon

Secara keseluruhan, bisa kita lihat kalau Nikon tidak mau mengulangi kesalahannya dengan ‘almarhum’ Nikon 1, yang terkesan setengah-setengah dalam menghadapi persaingan di pasar mirrorless. Kedua kamera baru ini siap mengusik dominasi lini Sony a7 dan a7R, yang selama ini memang tidak mempunyai lawan sepadan.

Soal harga, Nikon Z 7 dibanderol $3.400 untuk bodinya saja saat dipasarkan mulai 27 September mendatang, atau $4.000 bersama lensa Nikkor Z 24–70mm f/4 S. Nikon Z 6 baru akan menyusul di akhir bulan November. Harganya jauh lebih bersahabat: $2.000 body only, atau $2.600 dengan lensa 24–70mm yang sama.

Sumber: DPReview 1, 2.

Canon PowerShot SX740 HS Kecil Tapi Andalkan 40x Optical Zoom dan Perekaman Video 4K

Canon baru saja meluncurkan kamera compact baru, PowerShot SX740 HS, menggantikan PowerShot SX730 HS yang dirilis tahun lalu. Tampang luarnya terlihat mirip, sangat mirip bahkan, dan spesifikasinya pun sepintas juga sama persis.

Keunggulan utama kamera ini terletak pada lensanya, dengan focal length setara 24–960mm (40x optical zoom) dan bukaan f/3.3–6.9. Memang belum seekstrem Nikon Coolpix P1000 yang dirilis belum lama ini, tapi toh dimensinya juga jauh lebih ringkas. Sensor 1/2,3 inci beresolusi 20 megapixel milik pendahulunya juga masih ada di sini.

Canon PowerShot SX740 HS

Yang berbeda adalah penggunaan prosesor Digic 8, yang sanggup menggenjot performa kamera secara signifikan. Hasilnya, SX740 HS mampu merekam video dalam resolusi 4K 30 fps (pendahulunya cuma 1080p), dan burst shooting dengan continuous AF bisa dilakukan dalam kecepatan 7,4 fps. Mode time lapse 4K juga tersedia buat yang membutuhkan.

LCD 3 inci yang tertanam di belakangnya bisa dilipat ke atas sampai menghadap ke depan, membuat kamera ini ideal untuk para vlogger. Hal itu semakin diperkuat oleh sistem image stabilization 5-axis yang diklaim mampu mengompensasi guncangan sampai 3-stop.

Canon PowerShot SX740 HS

Wi-Fi, NFC, beserta Bluetooth merupakan fitur standar pada Canon PowerShot SX740 HS. Rencananya, kamera ini akan mulai dipasarkan pada bulan Agustus seharga $399.

Sumber: DPReview dan TechRadar.

Kamera Saku Premium Sony RX100 VI Tiba di Indonesia, Siapa Target Penggunanya?

Sony telah mengumumkan compact advanced camera RX series terbaru mereka di Indonesia. Adalah RX100 VI (model DSC-RX100M6), kamera saku premium berfitur canggih dengan harga Rp17 juta.

Mungkin Anda penasaran, siapa target pengguna dari Sony RX100 VI – apakah pemula, menengah, atau para profesional? Lalu, bagaimana potensi kamera saku saat ini? Mari kita bahas lebih banyak.

Kesan, Fitur, dan Spesifikasi Sony RX100 VI 

kamera-saku-premium-sony-rx100-vi-tiba-di-indonesia-9

Namanya juga kamera compact, dimensi body-nya tentu saja ringkas. Tapi terus terang saja, ini pertama kalinya saya melihat langsung jajaran kamera RX100 – lebih kecil dari yang saya bayangkan. Ukurannya tak lebih besar dari ‘smartphone zaman now‘, bisa mudah masuk kantong depan sekalipun.

Meski mini, Sony RX100 VI menggunakan sensor gambar CMOS tipe 1 inci resolusi 20,1-megapixel dengan prosesor gambar BIONZ X dan chip DRAM. Kombinasi tersebut membuatnya mampu menangkap fokus sangat cepat 0,03 detik dan sistem AF yang mencakup 315 titik.

Fitur eye tracking 2x lebih cepat dari model sebelumnya, sangat membantu saat foto portrait. Kamera ini juga mampu merekam 24 foto per detik dengan buffer atau memori penampungan sementara untuk foto berturut-turut yang panjang yakni 233 foto.

Sony RX100 VI dilengkapi lensa ZEISS Vario-Sonnar T yang sanggup melihat objek yang jauh menjadi dekat dengan rentang zoom panjang 24 – 200 mm dan aperture f2.8 – f4.5. Sangat cocok sebagai teman travelling dan para landscaper dengan jangkauan lensa dari wide ke tele.

Lensa tersebut juga telah dilengkapi dengan optical stabilization 4 stop untuk meredam gerakan saat zooming atau cahaya rendah. Mengatur titik fokus yang sesuai kini juga lebih mudah, layar touchscreen-nya sudah mendukung touch focus, serta fungsi pinch dan zoom saat preview foto.

Layar juga dapat dilipat 180 derajat ke atas untuk selfie atau vlogging dan 90 derajat ke bawah yang memungkinkan penggunanya lebih kreatif mengatur komposisi foto. Selain itu, kemampuan perekaman videonya sudah mendukung format 4K HDR dan sistem pop-up EVF-nya cukup sekali tekan maka langung bisa digunakan.

Potensi Kamera Saku Premium dan Target Sony RX100 VI

kamera-saku-premium-sony-rx100-vi-tiba-di-indonesia-11

Kazuteru Makiyama, President Director Sony Indonesia mengatakan bahwa “market share kamera saku premium Sony terus tumbuh, walaupun tak sekencang kamera mirrorless. Tidak akan tergeser oleh smartphone karena hasil fotonya pasti lebih bagus“.

Harus diingat, besaran resolusi kamera bukan satu-satunya yang menentukan kualitas foto. Lebih penting lagi ialah ukuran sensor gambar, Sony RX100 series menggunakan sensor tipe 1 inci yang lebih besar dari sensor gambar tipe 1/2 inci yang ada di smartphone.

Tapi dengan harga Rp17 juta, Anda sudah bisa mendapatkan kamera mirrorless dengan sensor APS-C tercanggih saat ini yakni Sony Alpha A6500 body only atau tambah sedikit bisa dapat kamera mirrorless full frame Sony Alpha A7II. Lalu, kamera saku RX100 VI ditargetkan untuk siapa?

Satyro Sidhi Rachmat, Product Marketing Digital Still Camera menjelaskan bahwa “target pengguna Sony RX100 VI memang bukan untuk pemula, tapi para fotografer profesional yang pernah merasakan betapa repot dan beratnya membawa kamera DSLR, terutama fotografer landscaper“.

Jadi, Sony RX100 bisa menjadi kamera backup yang bisa diandalkan untuk para fotografer pro. Selain itu, Sony RX100 juga menargetkan para traveller yang mementingkan kualitas gambar.

Ia menambahkan, untuk pemula direkomendasikan memilih kamera mirrorless dengan sensor APS-C yang harga body dan lensanya relatif terjangkau. Lalu, beralih ke kamera mirrorless full frame bila sudah lebih serius.

Verdict

Saya adalah pengguna kamera mirrorless, harus diakui kalau saya selalu membutuhkan persiapan saat ingin memotret. Tapi dengan Sony RX100 VI yang bisa disimpan di saku sama seperti smartphone, kita mungkin bisa menjadi kreator yang lebih baik dan lebih sering memotret.

Tapi iya, bagaimana pun menurut saya Sony RX100 cocoknya jadi kamera kedua dan yang pertama tentunya mirrorless. Tanpa hotshoe dan ketiadaan port input audio 3,5mm menjadi kelemahan utama – tapi memang dibalas dengan desain sangat ringkas.

Bila tertarik, Anda bisa memesan pre-order Sony RX100 VI mulai tanggal 27 Juli – 12 Agustus 2018. Khusus pre-order, bonus leather case LCJ-RRXF dan baterai tambahan NP-BX1 menanti Anda. Tak hanya itu, Anda bisa mendapatkan potongan harga untuk aksesori shooting grip (VCT-SGR1) menjadi Rp1 juta – harga normalnya Rp1,5 juta.

Bukan Sembarang Kamera 360 Derajat, Vuze XR Juga Dapat Difungsikan Sebagai Kamera VR180

Coba Anda perhatikan sejumlah kamera 360 derajat terkini yang populer, katakanlah GoPro Fusion, Rylo dan Insta360 One, lalu cari kesamaan di antara ketiganya. Rupanya, ketiganya sama-sama menawarkan fitur untuk ‘mengekstrak’ video standar dengan aspect ratio 16:9 dari hasil rekaman 360 derajat.

Fitur ini dinilai penting karena tidak selamanya konsumen perlu mengabadikan momen dalam sudut pandang 360 derajat. Dan ini juga yang memicu kemunculan kategori baru kamera VR180 yang dicanangkan Google, macam keluaran Lenovo dan Yi Technologies, yang pada dasarnya bisa dianggap sebagai kamera super wide-angle.

Pertanyaannya, apakah Anda memerlukan beberapa kamera yang berbeda untuk semua itu? Tidak kalau menurut HumanEyes Technology, pengembang kamera 360 derajat bernama Vuze. Mereka baru saja mengumumkan Vuze XR, sebuah kamera 360 derajat yang amat fleksibel.

Vuze XR

Vuze XR dibekali sepasang kamera untuk merekam video 360 derajat dalam resolusi 5,7K. Uniknya, dengan menekan satu tombol, kedua kamera yang tadinya saling membelakangi itu dapat dibuka dan disejajarkan posisinya, sehingga kamera pun siap digunakan untuk merekam dalam format stereoscopic VR180. Tentu saja, opsi mengekstrak video 16:9 itu tadi juga tersedia.

Fleksibilitas inilah yang dijadikan nilai jual utama oleh Vuze XR. Jadi ketimbang mengharuskan kreator membeli dan membawa dua kamera yang berbeda untuk dua keperluan (360º dan VR180), mereka cukup mengandalkan satu unit Vuze XR saja, yang memang dikemas dalam wujud yang ringkas dan ergonomis.

Sejauh ini belum ada kepastian mengenai jadwal rilisnya selain “kuartal keempat tahun 2018”. Meski begitu, banderol harganya sudah dipastikan di angka $400.

Sumber: DPReview dan HumanEyes.