Saham Tencent Terjun Terkait Pemberitaan Negatif Game Sebagai “Electronic Drugs”

Siapa yang bisa menyangka bahwa saham perusahaan video game sebesar Tencent bisa anjlok hanya karena pemberitaan. Namun hal itulah yang terjadi kemarin ketika kantor berita milik pemerintah Tiongkok mengeluarkan berita yang menyebut bahwa video game adalah “narkoba elektronik” dan “candu spiritual“.

Koran yang mengunggah berita tersebut adalah The Economic Information Daily yang ternyata merupakan milik Xinhua News Agency yang dijalankan oleh pemerintah Tiongkok. Dikutip dari Bloomberg, dalam pemberitaan Xinhua dituliskan bahwa banyak siswa yang memainkan game Honor of Kings (Arena of Valor) selama 8 jam setiap hari dan menyerukan agar adanya kontrol yang lebih ketat terhadap terhadap waktu bermainnya.

“Pemilihan kata opium spiritual sangat kasar. Akan mengejutkan jika para pembuat kebijakan tidak melakukan apa-apa tentang ini,” Ungkap Ke Yan, seorang analis DZT peneliti yang berbasis di Singapura mengatakan kepada Bloomberg.

Berita yang menyerukan bahwa video game haruslah “baik, bersih, dan aman” tersebut langsung membuat saham milik perusahaan-perusahaan game Tiongkok seperti Tencent, NetEase, Bilibili, XD, dan bahkan CMGE (China Mobile Games and Entertainment Group) turun drastis.

Bukan hanya perusahaan asal Tiongkok, namun raksasa video game asal Jepang seperti Capcom, Konami, dan Nintendo juga terkena dampaknya meskipun tidak semasif perusahaan-perusahaan asal Tiongkok.

Anehnya, berita tersebut tiba-tiba dihapus beberapa jam setelah dipost tanpa kejelasan. Dan kemudian muncul kembali pada website koran tersebut pada sore harinya tetapi dengan referensi terhadap narkoba telah disunting.

Tencent pun langsung menindaklanjuti pemberitaan tersebut dengan janji bahwa mereka akan lebih membatasi waktu bermain khususnya untuk anak di bawah umur. Nantinya waktu bermain yang diperbolehkan adalah satu jam pada hari kerja dan tidak lebih dari dua jam selama liburan dan hari libur.

Lebih lanjut, Tencent juga berencana untuk melarang pembelian dalam game untuk anak-anak di bawah 12 tahun untuk game-game populer mereka. Dan bahkan ada kemungkinan bahwa industri game Tiongkok akan melarang anak-anak di bawah 12 tahun untuk bermain video game sama sekali.

Pemerintah Tiongkok memang memiliki andil yang cukup besar dalam pembuatan aturan kepada video game. Apalagi Presiden Xi Jinping disebut-sebut orang yang memang tidak terlalu menyukai keberadaan video game.

Peran Orang Tua dan Kebiasaan Bermain Game Menurut Orang Tua dalam Lingkar Esports

Berkat keberadaan smartphone, bermain game kini menjadi semakin mudah. Anda tidak perlu lagi harus memiliki konsol seharga jutaan atau PC gaming senilai belasan atau bahkan puluhan juta untuk bisa bermain game. Dengan smartphone berharga Rp1-2 juta pun, Anda sudah bisa menggunakannya untuk bermain game. Tak hanya itu, banyak mobile game yang bisa dimainkan secara gratis. Rendahnya entry barrier ini membuat semakin banyak anak dan remaja yang hobi bermain game. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Toh, riset membuktikan bahwa game juga punya dampak positif.

Sekarang, orang tua juga sebaiknya tidak sepenuhnya melarang anak bermain game. Pasalnya, bermain game kini mulai menjadi kegiatan sosial. Menurut laporan Accenture, 84% gamers menjadikan game sebagai alat untuk bersosialisasi. Sementara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan bahwa main bareng alias mabar bisa membuat hubungan pertemanan menjadi semakin erat. Jadi, melarang anak untuk bermain game saat ini sama seperti melarang anak keluar rumah untuk bermain bersama teman-temannya dulu.

Lalu, apa yang harus orang tua lakukan agar hobi bermain game sang buah hati bisa tersalurkan dengan baik?

Membantu Anak Mengatur Waktu Bermain

Ketika mendapati anaknya senang bermain game, orang tua biasanya khawatir sang anak akan menghabiskan banyak waktunya untuk bermain game dan menjadi malas belajar. Padahal, menurut Yohannes Siagian, CEO Morph Team yang juga pernah menjabat sebagai kepala sekolah SMA 1 PSKD, game bukan alasan mengapa anak menjadi malas belajar.

“Yang bikin anak malas belajar bukan game, tapi sistem belajar yang membosankan dan materi yang disajikan dengan cara yang kaku dan tidak menarik minat belajar murid,” kata pria yang akrab dengan panggilan Joey ini saat dihubungi melalui pesan singkat. “Sebenarnya, game itu banyak positifnya kok, seperti mengajar cara berpikir strategis, menggunakan logika, mengidentifikasi masalah, problem solving, dan lain sebagainya.”

Lebih lanjut dia mengatakan, “Namun, sama seperti semua hal, kalau dilakukan secara berlebihan, bermain game bisa menjadi negatif. Kuncinya sebenarnya ada di orang tua: apakah orang tua bisa mendampingi anak, apakah bisa mengajarkan disiplin ke anak, dan seterusnya…”

Orang tua sebaiknya mendampingi anak ketika bermain game. | Sumber: Deposit Photos

Sementara itu, studi berjudul Role of Parental Relationship in Pathological Gaming menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kondisi keluarga dengan kebiasaan anak bermain game. Para pathological gamers biasanya merasa, kondisi keluarga mereka kurang menyenangkan. Yang dimaksud dengan pathological gamers dalam jurnal itu adalah para pemain game muda yang menunjukkan gejala patologis berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th Edition (DSM-IV), seperti menghabiskan banyak waktu untuk bermain game, mengalami gejala withdrawal ketika tak bermain game, mengacuhkan tanggung jawab lain demi bermain game, berbohong tentang lama waktu yang dihabiskan untuk bermain game, serta kesulitan untuk berhenti main game.

Dalam jurnal tersebut juga dijelaskan bahwa kebanyakan anak dan remaja ingin hidup di lingkungan keluarga yang menyenangkan. Dan ketika mereka merasa bahwa kondisi keluarga mereka tidak ideal — misalnya, sering terjadi pertengkaran di rumah — mereka cenderung ingin “melarikan diri” ke dunia game. Dan bagi gamers, hubungan yang mereka jalin di dunia game sama pentingnya dengan relasi mereka di dunia nyata. Pasalnya, game online memang mendorong para pemainnya untuk berinteraksi dengan satu sama lain.

Sementara itu, menurut studi Factors Associated with Internet Addiction among Adolescents, remaja yang merasa tidak puas dengan kehidupan mereka di rumah memang punya potensi lebih besar untuk menjadi kecanduan internet. Hal yang sama juga berlaku untuk para gamers. Apalagi ketika teman-teman yang mereka kenal di dunia game bisa membuat mereka merasa nyaman. Rasa nyaman itu akan membuat mereka ingin terus bermain game. Hal ini justru bisa memperburuk persepsi mereka akan keadaan keluarga mereka, yang mendorong mereka untuk menghabiskan lebih banyak waktu di dunia game; layaknya lingkaran setan yang tak pernah berakhir.

Salah satu hal yang bisa orang tua lakukan untuk membatasi waktu bermain game anak adalah dengan memasang program/aplikasi parental control di komputer/smartphone anak. Misalnya, Google menyediakan aplikasi parental control bernama Family Link yang bisa diunduh di Play Store dan App Store. Aplikasi itu menawarkan berbagai fitur. Salah satunya adalah membatasi waktu yang bisa anak habiskan untuk menggunakan smartphone. Melalui aplikasi ini, orang tua bahkan bisa menentukan durasi waktu yang bisa anak habiskan saat menggunakan aplikasi atau bermain game tertentu. Selain itu, Family Link juga menawarkan berbagai fitur lain, termasuk membatasi pembelian aplikasi atau in-app item.

Family Link merupakan aplikasi parental control di smartphone.

Namun, menurut Joey, sekadar memasang program/aplikasi parental control di smartphone atau komputer anak saja tidak cukup. Karena, parental control hanya berfungsi untuk membatasi gerak-gerik anak di dunia online, tapi tidak memberikan edukasi pada sang anak.

“Jadi, begitu anaknya masuk ke device yang tidak ada parental control, atau sudah keluar dari rumah, dia malah nggak tahu gimana caranya untuk jaga diri dan memilih apa yang bisa dia mainkan atau dia lihat,” ujar Joey. “Yang paling benar adalah orang tua mendampingi dan melibatkan diri dalam dunia anaknya. Bukan sekadar berada di luar dan menegur tanpa paham sebenarnya apa yang anak lakukan. Banyak orang tua yang cuma tahu anaknya pegang device atau main game, tapi tidak tahu game apa yang dimainkan anak atau konten apa yang dia tonton.”

Mengatur Uang yang Dihabiskan Anak Dalam Game

Pernahkah Anda melihat video viral tentang seorang bapak-bapak tengah memarahi kasir Indomaret karena membiarkan anaknya menghabiskan Rp800 ribu untuk topup game? Menariknya, fenomena ini tidak hanya terjadi di Tanah Air tercinta, tapi juga di negara-negara maju seperti Singapura dan Amerika Serikat. Kepada Channel News Asia, seorang gamer muda asal Singapura — yang tidak mau disebutkan namanya — mengaku bahwa dia pernah menghabiskan  uang orang tuanya sebesar SGD20 ribu (sekitar Rp10,8 juta) membeli lootbox dalam game. Dia bahkan sempat mencuri demi menutup utang akibat kecanduannya dalam membeli lootbox.

Seiring dengan semakin populernya game free-to-play, semakin banyak developer yang menjual item dalam game sebagai sumber pemasukan. Namun, terkadang, developer tidak menjual item secara langsung, tapi menggunakan sistem lootbox. Jadi, gamers bisa membeli lootbox dalam game, tapi item yang didapatkan dari lootbox itu ditentukan secara random. Selain itu, developer juga terkadang menggunakan sistem gacha. Baik sistem gacha maupun lootbox sering dibandingkan dengan judi dalam dunia nyata karena nyatanya memang judi. Dalam game gacha atau lootbox, pemain memang tidak tahu item/karakter apa yang akan mereka dapatkan. Jika tidak hati-hati, gamers — khususnya yang masih muda — bisa menghabiskan banyak uang tanpa sadar demi mendapatkan item/karakter yang mereka inginkan.

Hal itulah yang menjadi alasan mengapa beberapa negara membuat regulasi khusus untuk game gacha atau lootbox. Misalnya, Belgia melarang keberadaan game lootbox sama sekali, sementara Belanda hanya melarang game lootbox dengan tipe-tipe tertentu. Di Asia, baik Tiongkok maupun Jepang tidak melarang keberadaan game gacha atau lootbox. Hanya saja, pemerintah mengharuskan developer untuk memberitahu pemain tentang persentase untuk mendapatkan item-item dalam game. Semakin rare sebuah item, semakin kecil pula persentase untuk mendapatkan item tersebut. Tak jarang, persentase untuk mendapatkan item/karakter rare kurang dari satu persen.

Sayangnya, Indonesia tidak punya regulasi khusus terkait game gacha atau lootbox. Karena itulah, peran orang tua dalam memastikan anak tidak menghambur-hamburkan uang di game justru menjadi semakin penting. Untuk itu, orang tua harus bisa menjalin komunikasi yang baik dengan anak. Langkah pertama yang bisa orang tua lakukan adalah mencari tahun mengapa sang anak senang untuk bermain game yang sedang dia mainkan. Dari sana, orang tua bisa membuka diskusi tentang berapa banyak uang yang boleh anak habiskan untuk bermain game. Orang tua juga bisa menjadikan game sebagai insentif agar anak mau lebih serius di sekolah. Ketika saya masih duduk di bangku SD dan SMP, orang tua saya sering berjanji untuk membelikan game/konsol baru jika saya berhasil masuk dalam peringkat tiga besar di kelas.

Lootbox sering dikaitkan dengan judi di dunia nyata. | Sumber: Extreme Tech

Orang tua juga bisa mulai mencari tahu mengapa anak rela menghabiskan uang dalam game. Secara psikologis, memang ada beberapa alasan mengapa gamers mau membeli item dalam game. Bagi gamers muda, salah satu alasan utama mereka adalah demi bisa berbaur dengan teman-teman mereka. Contohnya, di Amerika Serikat, murid SMP bisa dirisak hanya karena menggunakan default skin di Fortnite. Padahal, game dari Epic Games itu bisa dimainkan secara gratis. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, mekanisme dalam game memang dibuat sedemikian rupa untuk mendorong pemain membeli lootbox atau mendapatkan item/karakter yang mereka mau melalui gacha.

“Yang kami khawatirkan adalah banyak gamers muda yang sudah memainkan game gacha atau lootbox. Hal ini bisa membuat mereka terbiasa dengan konsep judi,” kata Nicholas Khoo, pendiri dari Singapore Cybersports and Online Gaming Association dan anggota dari National Council on Problem Gambling (NCPG), seperti dikutip dari Channel News Asia. Tak hanya itu, di game gacha atau lootbox, persentase gamers untuk “menang” — mendapatkan item yang mereka inginkan — lebih besar dari kemungkinan mereka untuk menang judi di kasino. Dan hal ini bisa membuat mereka punya persepsi yang salah, menganggap bahwa kemungkinan untuk menang di game kasino juga sama besar seperti persentase menang di game gacha/lootbox.

Menjadi Orang Tua dari Gamers Profesional

Pesatnya perkembangan industri game memunculkan industri yang sama sekali baru, yaitu esports. Sekarang, esports tidak hanya menjadi semakin populer di kalangan generasi muda, tapi juga diakui oleh pemerintah dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Karena itu, tidak heran jika semakin banyak generasi muda yang bercita-cita untuk menjadi pemain esports. Bagaimana rasanya menjadi orang tua dari gamers profesional, yang kerjaannya memang untuk bermain game? Demi menjawab pertanyaan itu, kami lalu menghubungi Ari Susanto, ayah dari dua pemain profesional, yaitu Kevin “xccurate” Susanto dan Jason “f0rsakeN” Susanto.

“Secara teori, tentu banyak orang tua yang akan lebih mementingkan pendidikan anaknya daripada game,” aku Ari ketika dihubungi melalui pesan singkat, “Karena, buat para orang tua, image dari game itu sendiri memang sudah jelek. Tapi, di zaman milenial, sudah saatnya paradigma orang tua tersebut diubah. Orang tua justru harus bisa memanfaatkan situasi ini.” Dia lalu bercerita tentang pengalamannya dalam mendidik anak-anaknya. “Dulu, saya selalu katakan pada anak saya bahwa dia boleh bermain game sesukanya. Dengan catatan, dia harus berprestasi atau bisa menyeimbangkan bermain dengan sekolahnya. Kalau sampai nilai ulangannya jelek, ada konsekuensinya.”

Pak Ari Susanto dengan anak-anaknya. | Sumber: Ari Susanto

Ari menjelaskan, membiarkan anak bermain game bukan berarti orang tua melepaskan anak begitu saja. Orang tua tetap harus mengawasi kegiatan gaming sang anak. Dia mengungkap betapa pentingnya bagi orang tua untuk menanamkan rasa tanggung jawab pada anak. “Apabila anak kita sudah punya tanggung jawab, mereka akan belajar dengan sungguh-sungguh supaya hobi game mereka juga terpenuhi,” katanya. “Untungnya, anak-anak om semuanya tahu akan tanggung jawab dan mereka juga bisa berprestasi.”

Menurut Ari, orang tua harus aktif mengawasi dan mengingatkan anak agar anak tidak menjadi kecanduan game atau terjerumus dalam hal-hal negatif lainnya. “Penting sekali bagi anak untuk mengerti antara hobi dan kecanduan,” ungkapnya. Dia menyebutkan, diskusi antara anak dan orang tua terkait hobi bermain game sudah bisa dilakukan sejak anak masih duduk di bangku SD.

Hal yang sama diungkapkan oleh Joey, yang menyebutkan bahwa selama anak sudah bisa memegang device dan bisa bermain game, walau hanya game anak, maka anak sudah bisa diajak berdiskusi tentang hobinya bermain game. Yang penting, ungkap Joey, orang tua bisa menyesuaikan cara penyampaian mereka sesuai dengan usia dan tingkat pemahaman anak.

Dua bersaudara Susanto: Kevin “xccurate” Susanto dan Jason “f0rsakeN” Susanto. | Sumber: Revival TV

Menjadi pemain profesional bukanlah hal mudah. Kemungkinan seseorang bisa berhasil sebagai gamer profesional di Indonesia kurang dari 1 satu persen. Karena itu, orang tua harus paham kapan mereka harus mendukung cita-cita anak untuk menjadi pemain esports.

“Memang jadi pro player itu tidak mudah dan butuh kerja keras,” kata Ari. “Kita sebagai orang tua juga dituntut untuk mengerti kondisi anak kita: apakah dia memang berbakat untuk menjadi pro player atau sekedar hobi saja. Nah, untuk tahu tentang hal itu, kita bisa membiarkan mereka bermain di komunitas. Setiap game yang anak geluti pasti punya komunitas masing-masing. Biarkan anak bermain di komunitas sambil diawasi. Kalau menurut orang tua anaknya memang jago dan ada tawaran untuk masuk klub esports, sudah waktunya orang tua mendukung.”

Ketika ditanya tentang dukungan apa yang orang tua bisa berikan pada anak yang berkarir sebagai pemain profesional, Ari menjawab, “Ikut menonton semua pertandingan anak, selalu kasih support dan selalu memberikan masukan akan apa saja kekurangan dan kesalahan yang harus diperbaiki. Jadi, anak menjadi semakin disiplin.” Sambil tertawa dia bercerita, ketika anak-anaknya hendak berlaga, sebagai orang tua, dia juga ikut merasa tertekan. “Mereka tidak tahu kalau saat mereka ikut pertandingan, yang stres dan asam lambung itu bapaknya, karena ikut tegang.”

Sementara itu, Carol Bird, ibu dari Fred “Freddybabes” Bird, pemain Gwent profesional, mengakui, memang ada banyak orang tua yang punya pandangan negatif akan game. Menurutnya, hal ini terjadi karena game adalah fenomena yang relatif baru. Namun, dia merasa, orang tua harus mulai sadar bahwa game itu tidak melulu memberikan dampak buruk. Ada berbagai hal positif yang bisa didapat dari bermain game.

“Menjadi pemain esports adalah karir yang serius, begitu juga dengan menjadi streamer, caster, atau komentator esports,” ujar Carol pada British Esports Association. “Orang tua tidak punya masalah ketika anak-anak mereka ingin menjadi pemain sepak bola atau TV presenter. Namun, masih ada stigma yang melekat pada esports. Seolah-olah, bermain game hanyalah hobi yang menghabiskan waktu.” Lebih lanjut, dia berkata, “Jika anak Anda adalah seorang gamer berbakat, dukung dan dorong mereka, tapi jangan memaksa mereka. Percayalah pada anak Anda.”

Mike Atkins, ayah dari pemain Brawlhalla, Bill “Lanz” Atkins menambahkan, “Saya rasa, saat anak menunjukkan keteguhannya, orang tua harus mendukung sang anak, sama seperti ketika orang tua mendukung anak yang punya hobi berolahraga.” Dia menjelaskan, dari bermain game, seorang pemain profesional juga bisa mendapatkan berbagai kemampuan yang bisa digunakan ketika dia bekerja di bidang pekerjaan lain. “Menjadi pemain esports membantu Bill untuk mengatur waktunya,” katanya, memberikan contoh. “Dan ketika kalah, dia harus belajar tentang bagaimana cara menerima kekalahan dan mengubahnya menjadi pengalaman yang positif.”

Kesimpulan

Manusia cenderung takut sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak mereka mengerti. Karena itu, ketika muncul inovasi baru, tidak semua orang akan langsung bersedia menggunakan inovasi tersebut. Terkadang, setelah inovasi baru diadaptasi sekalipun, masih ada kelompok yang takut akan dampak buruk dari inovasi tersebut. Waspada akan dampak buruk yang bisa ditimbulkan oleh inovasi baru  — baik internet, smartphone, atau game — sebenarnya bukan hal yang buruk. Segala sesuatu di dunia memang biasanya punya dampak positif dan negatif. Namun, hal itu bukan berarti kita bisa berlarut-larut dalam rasa takut dan terus kukuh berpegang pada pola pikir lama tanpa berusaha untuk mengubahnya.

Begitu juga dengan game. Walau game masih punya stigma buruk, khususnya di kalangan orang tua, tak bisa dipungkiri bahwa game kini tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan, tapi juga sebagai alat komunikasi. Tentu saja, orang tua punya hak untuk melarang anaknya bermain game jika mereka memang tidak suka. Namun, ketika bermain game juga menjadi wadah untuk mendekatkan diri dengan teman, apakah bijak jika orang tua melarang anak bermain game sama sekali?

7 Mitos Soal Game dan Esports: Fact-Checking

Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpanya. Seiring dengan naiknya popularitas game dan esports, semakin banyak juga asumsi yang muncul di tengah masyarakat. Seperti game menyebabkan kecanduan atau semua pemain profesional dibayar dengan gaji tinggi. Karena itu, kali ini, Hybrid.co.id akan membahas tentang tujuh mitos yang masih dipercaya oleh banyak orang.

1. Tidak Banyak Perempuan yang Bermain Game

Sampai sekarang, salah satu mitos yang dipercaya oleh banyak orang adalah tidak banyak perempuan yang bermain game. Memang, jumlah gamers laki-laki lebih banyak dari gamers perempuan. Jadi, secara teknis, laki-laki memang kelompok mayoritas. Meskipun begitu, ada banyak perempuan yang juga senang bermain game. Menurut data dari Niko Partners, jumlah gamers perempuan di Asia pada 2017 mencapai 346 juta orang, sekitar 32% dari total popoulasi gamers di Asia. Dua tahun kemudian, pada 2019, jumlah gamers perempuan naik menjadi 500 juta orang, berkontribusi 38% dari total populasi gamers di Asia.

Menariknya, Niko Partners menyebutkan, pertumbuhan jumlah gamers perempuan di Asia lebih tinggi dari angka pertumbuhan gamers secara umum. Pada 2020, pertumbuhan jumlah gamers secara umum hanya mencapai 7,8%. Sementara pertumbuhan jumlah gamers perempuan mencapai 14,8%. Di Indonesia sendiri, jumlah gamers perempuan mencapai 49% dari total gamers di Tanah Air. Sementara di Tiongkok, angka itu sedikit turun menjadi 45%.

Dari 500 juta gamers perempuan di Asia, sebanyak 483 juta (95%) bermain di platform mobile, 201 juta orang (40%) bermain di PC, dan hanya 8,5 juta orang (2%) bermain menggunakan konsol. Seiring dengan naiknya jumlah gamers perempuan, kontribusi mereka pada industri game pun terus naik. Pada 2019, gamers perempuan berkontribusi 35% pada total pemasukan industri game. Diperkirakan, angka itu naik menjadi 39% pada 2020. Sementara data dari Statista menunjukkan, pada 2017, 46% dari keseluruhan gamers merupakan perempuan.

Pembagian gamers berdasarkan umur dan gender. | Sumber: Statista

Belum lama ini, Sony juga merilis laporan tentang game. Dalam laporan tersebut, diketahui bahwa jumlah gamer perempuan yang membeli PlayStation 4/5 jauh lebih banyak dari era PlayStation 1. Pada era PS1, persentase gamers perempuan yang membeli konsol itu hanyalah 18%. Sementara di era PS4/5, jumlah gamers perempuan yang memiliki kedua konsol itu mencapai 41%.

Dari semua data di atas, bisa disimpulkan bahwa gamers perempuan sebenarnya tidak selangka unicorn. Lalu, kenapa gamers perempuan jarang ditemui? Berdasarkan riset terbaru yang dilakukan oleh Reach3 Insights dan Lenovo, sebanyak 59% gamers perempuan menyembunyikan gender mereka ketika bermain game online. Menurut laporan GamesIndustry, alasan gamers perempuan menyembunyikan gendernya adalah untuk menghindari gangguan alias harassment. Salah seorang responden mengaku, demi menyembunyikan gendernya, dia sering memainkan karakter laki-laki di game MMORPG. Dia menjelaskan, dia melakukan hal itu untuk menghindari pemain lain merayunya serta mengirimkan item atau pesan yang tidak diinginkan.

2. Gamers Adalah Orang-Orang Anti-Sosial

Gamers sering digambarkan sebagai seorang penyendiri yang sibuk bermain game tanpa memedulikan orang lain. Padahal, sejak kemunculan game online, gamers juga sering bersosialisasi dengan satu sama lain. Berdasarkan studi berjudul Motivations for Play in Online Games yang dirilis pada 2006, ada tiga alasan mengapa seseorang bermain game. Salah satunya adalah untuk menjalin hubungan dengan pemain lain.

Mengingat manusia adalah makhluk sosial, tidak aneh jika kita selalu berusaha untuk terhubung dengan orang lain dan menjadi bagian dari sebuah kelompok. Karena itulah, game-game online — baik game kooperatif maupun kompetitif — bisa populer. Faktanya, di Korea Selatan dan Tiongkok, bermain game masuk dalam kategori kegiatan sosial. Sebelum pandemi, Hybrid juga mengadakan  acara kumpul para gamers bertajuk Hybrid Dojo setiap dua minggu sekali. Tak hanya itu, teman sekantor saya — yang bukan bagian dari Hybrid — juga sering mengajak satu sama lain mabar PUBG Mobile. Hal ini menunjukkan, walau game bisa dinikmati sendiri, tapi sebagian gamers lebih suka untuk bermain game bersama orang lain.

In-game chat adalah salah satu media komunikasi di game. | Sumber: Medium

Sementara itu, studi The Journal of Computer-Mediated Communication, yang dirilis pada 2014, menemukan bahwa para gamres online tidak hanya fokus untuk melawan musuh dan menaikkan level, tapi juga berinteraksi dengan satu sama lain.

Gamers bukanlah orang-orang anti-sosial yang selalu mengurung diri di kamar, yang merupakan stereotipe yang sering kita lihat di berbagai media pop-culture,” kata Nick Taylor, Lead Author dari studi The Journal of Computer-Mediated Communication, seperti dikutip dari CNET. “Hal ini memang bukan sesuatu yang mengejutkan bagi komunitas gamers. Namun, temuan ini pantas untuk disebarluaskan ke masyarakat awam. Tidak banyak gamers yang merupakan penyendiri.”

3. Bermain Game Lama = Kecanduan Game

Selain beredarnya meme tersebut, film Joker juga membuat banyak orang — khususnya generasi muda — yang mendadak mengaku mengalami penyakit mental, mulai dari depresi sampai Bipolar Disorder (BPD). Padahal, sebagian dari mereka mungkin hanya melakukan self-diagnose dan tidak pergi ke ahli kejiwaan. Tren ini menunjukkan bagaimana sekarang, sebagian orang mulai meromantisasi atau bahkan mengglorifikasi penyakit mental. Dan hal ini membuat sebagian orang mengaku bahwa mereka memiliki gangguan mental tertentu. Terkadang, orang mengklaim bahwa dirinya mengalami depresi, padahal dia hanya merasa sedih.

Begitu juga dengan kecanduan game. Banyak orang dengan mudahnya mengklaim bahwa dirinya atau orang lain mengidap “gaming disorder“. Padahal, senang bermain dalam waktu lama bukan berarti seseorang mengalami kecanduan game. Memang, pada 2019, World Health Organization (WHO) menyatakan gaming disorder sebagai penyakit kejiwaaan. Meskipun begitu, mereka juga menjelaskan beberapa karakteristik dari orang-orang yang memang mengidap masalah gaming disorder.

WHO mengklaim gaming disorder sebagai penyakit mental pada 2019. | Sumber: TechCrunch

Dalam situs resminya, WHO menjelaskan, salah satu karakteristik pecandu game adalah kehilangan kendali akan kebiasaan bermain game. Jadi, seseorang yang mengalami gangguan gaming disorder akan kesulitan untuk membatasi waktu bermainnya. Gejala kedua, pengidap gaming disorder akan memprioritaskan bermain game di atas kegiatan lain, termasuk kegiatan yang merupakan kewajibannya, seperti belajar dan bekerja. Tak tertutup kemungkinan, pengidap gaming disorder juga akan lebih mengutamakan bermain game daripada memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti makan atau mandi.

Karakteristik terakhir dari pengidap gaming disorder adalah mereka tetap bermain walau mereka telah merasakan dampak buruk dari keputusan mereka untuk terus bermain. Misalnya, seorang pelajar yang nilainya merosot karena kebanyakan bermain game tetap memilih untuk bermain game daripada belajar. Jika seseorang memiliki tiga karakteristik di atas dan ketiga gejala tersebut bertahan selama setidaknya 12 bulan, maka dia bisa dinyatakan sebagai pengidap gaming disorder.

4. Game Sama dengan Esports

Esports merupakan bagian dari game. Namun, tidak semua game memiliki esports. Pada dasarnya, definisi dari esports adalah kompetisi dengan video game sebagai alat. Sementara menurut Red Bull, esports adalah ketika para pemain terbaik di sebuah game saling beradu untuk memperebutkan hadiah.  Dengan begitu, bisa disimpulkan, salah satu karakteristik utama esports adalah kompetitif. Namun, tidak semua game fokus untuk menawarkan elemen kompetitif. Sebagian menonjolkan sisi naratif, sebagian yang lain justru menawarkan fitur kooperatif.

Hal lain yang membedakan esports dengan game adalah tujuan dari para pelaku. Dalam esports, tujuan utama para pemain profesional adalah untuk menang dan meraih gelar juara, tidak peduli game esports apa yang mereka tekuni. Lain halnya dengan game. Karena cakupan game jauh lebih luas, maka tujuan seseorang untuk bermain game pun lebih beragam. Ada orang yang bermain game demi gameplay yang menarik, ada yang lebih tertarik dengan lore atau worldbuilding yang immersive, dan ada pula orang-orang yang bermain game demi bisa bersosialisasi dengan gamers lain. Satu hal yang pasti, tujuan utama dari game adalah sebagai media hiburan.

5. Semua Pemain Profesional Punya Gaji Besar

Gaji pemain bintang yang berlaga di Premier League tentunya berbeda dengan gaji pemain dari klub yang berlaga di English Football League Two. Begitu juga dengan pemain esports. Memang, gaji pemain profesional kini menjadi terus naik seiring dengan meningkatnya popularitas esports. Sayangnya, tidak semua pemain esports bisa meniktmati gaji memadai. Besar gaji yang diterima seorang atlet esports akan tergantung pada kemampuannya. Selain itu, hal lain yang memengaruhi gaji yang pemain profesional terima adalah game yang dia tekuni. Semakin populer sebuah game, semakin besar pula potensi gaji yang seseorang bisa terima.

Gaji minimal dari pemain Overwatch League (OWL) adalah US$50 ribu per tahun. Sementara gaji rata-rata dari pemain liga League of Legends Amerika Utara (LCS) bisa mencapai US$300 ribu per tahun. Di Indonesia, gaji pemain Mobile Legends Professional League (MPL) bisa mencapai Rp7 juta. Satu hal yang harus diingat, OWL, LCS, dan MPL merupakan liga esports dengan dukungan dari publisher. Jadi, publisher bisa menentukan gaji minimal yang diterima oleh pemain profesional. Tujuannya, untuk memastikan para pemain profesional memang memberikan performa yang terbaik.

Gaji minimal pemain OWL adalah US$50 ribu. | Sumber: Upcomer

Hanya saja, tidak semua publisher mendukung skena esports dari game mereka. Bagi para pemain esports yang menekuni game-game yang kurang populer, gaji yang mereka terima pasti tidak sebesar gaji pemain dari game-game dengan skena esports yang mumpuni. Mari jadikan pemain Valorant sebagai contoh. Menurut narasumber Hybrid.co.id, gaji pemain Valorant beragam. Ada yang menerima gaji di atas Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta, ada yang menerima sekitar UMR Jakarta, dan ada juga yang menerima gaji di bawah UMR Jakarta. Sementara bagi pemain profesional dari game yang popularitasnya sudah memudar, gaji yang mereka terima bisa hanya mencapai ratusan ribu rupiah.

6. Pekerjaan Pemain Profesional Hanya Bermain Game

Pemain profesional bisa disandingkan dengan atlet profesional. Tugas para atlet esports adalah untuk terus mengasah kemampuannya bermain. Jadi, jangan heran jika seorang pemain profesional bisa menghabiskan beberapa jam sehari untuk bermain. Namun, sebenarnya, seorang pemain profesional tidak menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk bermain game. Mereka juga harus melakukan kegiatan lain, seperti berolahraga atau meninjau gameplay tim dan permainan musuh.

Liyu “Cody” Sun, pemain League of Legends, mengatakan bahwa tidur yang cukup, pola pikir yang sehat, serta kehidupan sosial yang seimbang juga penting bagi seorang pemain esports. Menurutnya, menghabiskan waktu sepanjang hari hanya untuk bermain bukanlah latihan yang efektif.

“Saya pikir, para pemain profesional yang bisa bermain di level tertinggi adalah mereka yang bisa menemukan jadwal yang sesuai untuk diri mereka sendiri dan membangun gaya hidup yang efisien — berlatih, berolahraga, memastikan asupan gizi cukup, dan memiliki kehidupan sosial yang baik” kata Sun, seperti dikutip dari Intel.

Menurut Spectatorph, dalam sehari, pemain profesional bisa menghabiskan waktu sekitar 1 jam untuk berolahraga dan 1 jam lainnya untuk meninjau permainan tim. Dan waktu yang dihabiskan untuk bermain — berlatih bersama tim maupun sendirian — bisa mencapai 9 jam.

Sementara itu, CEO RRQ, Andrian Pauline alias AP mengatakan, tugas pemain profesional memang tidak hanya bermain game. Mereka juga harus melakukan review dari gaya permainan tim maupun lawan. Soal porsi antara waktu bermain game dengan kegiatan lain non-gaming, AP menjelaskan, hal ini juga tergantung kebutuhan. “Kadang full main, kadang 50-50, kadang 80-20,” ujarnya saat dihubungi oleh Hybrid. Biasanya, para pelatih dari masing-masing tim yang akan menentukan porsi latihan dari anak-anak didiknya.

7. Fans Esports Pasti Adalah Pria

Kebanyakan penonton esports merupakan gamers. Pasalnya, seseorang hanya bisa menikmati konten esports ketika mereka memahami game yang diadu. Jadi, seiring dengan semakin bertambahnya jumlah gamers perempuan, tidak heran jika jumlah penonton esports perempuan juga bertambah.

Menurut data dari Statista, pada 2019, jumlah fans esports perempuan mencapai 22% dari total penggemar esports di dunia. Persentase penonton esports di masing-masing negara berbeda-beda. Di AS, jumlah fans esports perempuan hanya mencapai 17%. Sementara di Inggris, jumlah fans esports perempuan mencapai 25%, Tiongkok 30%, dan Korea Selatan 32%.

Jumlah penonton esports perempaun di masing-masing negara. | Sumber: Statista

Data dari Interpret menunjukkan, jumlah penonton esports perempuan pada Q4 2018 adalah 30,4%, naik dari 23,9% pada Q4 2016. Tia Christianson, Vice President Interpret untuk kawasan Eropa mengatakan, peningkatan sebesar 6,5% dalam 2 tahun adalah pencapaian yang signifikan. Walau dia juga sadar, perubahan dalam komunitas dengan populasi besar akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Kabar baiknya, pertumbuhan jumlah penonton esports perempuan menunjukkan bahwa komunitas esports memang tengah berubah ke arah yang benar, yaitu ke kesetaraan gender.

Kesimpulan

Manusia punya kecenderungan untuk mewaspadai sesuatu yang mereka tidak pahami. Karena itu, orang-orang terkadang menjadi takut akan hal-hal baru, termasuk game dan esports. Jadi, wajar jika muncul berbagai asumsi salah akan industri game dan esports. Misalnya, pada sekitar tahun 1988-1992, muncul ketakutan bahwa game-game table-top RPG (TTRPG), seperti Dungeons and Dragons, merupakan cara baru untuk mempromosikan satasnime, pornografi, dan bahkan pembunuhan. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk tetap berpikir kritis dan tidak mempercayai informasi yang didapatkan begitu saja. After all, assume makes an ass out of u and me.