The Story of Educational Loan Providers in Indonesia

There are many problems in Indonesia related to education. It is not only about curriculum and effective learning, but also access to education itself. The required capital or costs to get knowledge from courses or higher education is not cheap. For some people, it is quite burdensome. The government has issued several programs and incentives to help this access, one of which is KIP-Lecture.

Another alternative that could be an option is an education loan platform. The concept is like a loan service for capital funds, the difference is that the funds lent must be earmarked for education. Indeed, with different agreements and responsibilities on each lending platform. Some startups that have loaning products or services for education funds include Pintek, KoinPintar from KoinWorks, and DanaDidik.

Pintek’s co-founder & Managing Director Tommy Yuwono explained, in Indonesia 1 out of 4 children of high school graduates did not go to college, because the cost of education was expensive.

“In fact, the cost of education in Indonesia compared to the income per capita was 150% of GDP, whereas in America the cost of education compared to income per capita was only 51% of GDP,” Tommy said.

KoinWorks Co-Founder & CEO Benedicto Haryono said the same thing. Given the relatively high number of middle-class Indonesia and the limited number of scholarships each year, education loan services can be a solution to the inaccessibility of higher education costs in Indonesia.

“In addition, the Government also [should] provide full support so that the education loan program in Indonesia can be truly implemented. Moreover, the government development is currently focused on improving the quality of human resources towards “Advanced Indonesia”, where improvements in the quality of human resources can be pursued through good quality education,” Benedicto continued.

Education that is covered by educational loan platforms is not only limited to formal education such as tertiary institutions or vocational schools but also courses in various fields, such as programming, data science, business, to language courses.

The rise of loans for education funds are also subject to monthly installments or agreed upon, as well as the amount. There is also an ISA (Income Share Agreement) mechanism out there, a mechanism that allows loan payments by deducting salary. The amount and other things depend on the agreement in force.

Illegal fintech cases and the challenges ahead

The financial technology industry in Indonesia was hit by bad news, thanks to the actions of a number of unlicensed fintech companies entering the Indonesian market. This negative sentiment more or less has affected the whole industry, including the niche of educational loans.

Benedicto said that the rise of illegal fintech has an impact on the KoinWorks brand as a fintech company. However, he said as time passed by and the industry continues to grow, public understanding of fintech services is getting better. It was proven by the number of KoinWorks users in 2019 which increased 178% compared to the previous period.

Meanwhile, DanaDidik CEO Dipo Satria assessed that the rise of illegal fintech cases had an influence on people’s stigma on the fintech industry in Indonesia. To fight the negative stigma, Danadidik conducted a series of socialization in front of students and the campus.

“Fintech student loans such as DanaDidik which have been registered and supervised by the OJK may actually be an answer for students who want to study independently but somehow prohibited by expensive tuition fees. Campus and students stigma on loans (online loans) because illegal loans make potential borrowers worried,” Dipo said.

He also added that education funding is a new niche loan that many people do not know about, therefore, introducing products and industry to the general public is an important part of DanaDidik’s journey.

Public trust in the financial technology industry in Indonesia is also a special concern for Tommy. He said, all the owners of legal lending services, AFPI, and also the FSA are trying together to fight the illegal fintech case by educating the wider community. That became one of the main challenges to be fought together.

“In addition, there are negative perceptions of ‘loans’. In fact, not all loans are negative. For example, the loan service that Pintek provides is loans for investment. We make it easier for people to invest through education, which will be very useful for themselves in looking for work, help them meet the family, needs, also contribute to the country’s economy. So, not all loans are negative,” Tommy said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Cerita Penyedia Pinjaman Dana Pendidikan di Indonesia

Ada banyak permasalahan di Indonesia terkait dengan pendidikan. Tidak hanya soal kurikulum dan belajar yang efektif, tetapi juga akses terhadap pendidikan itu sendiri. Modal atau biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan ilmu dari kursus atau jenjang pendidikan tinggi tidaklah murah. Bagi sebagaian orang cukup memberatkan. Pemerintah sudah mengeluarkan beberapa program dan insentif untuk membantu akses ini, salah satunya KIP-Kuliah.

Alternatif lain yang bisa jadi pilihan adalah platform pinjaman dana pendidikan. Konsepnya seperti layanan peminjaman dana untuk modal, bedanya dana yang dipinjamkan harus diperuntukan untuk pendidikan. Tentu dengan kesepakatan dan tanggung jawab berbeda di setiap platform peminjaman. Beberapa startup yang memiliki produk atau layanan peminjaman untuk dana pendidikan antara lain Pintek, KoinPintar dari KoinWorks, dan DanaDidik.

Co-founder & Direktur Utama Pintek Tommy Yuwono menjelaskan, di Indonesia 1 dari 4 anak lulusan sekolah atas tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, karena biaya pendidikan mahal.

“Bisa dikatakan biaya pendidikan di Indonesia dibandingkan pendapatan per kapita 150% dari GDP, sedangkan di Amerika biaya pendidikan dibandingkan pendapatan perkapita hanya 51% dari GDP,” cerita Tommy.

Co-Founder & CEO KoinWorks Benedicto Haryono menyampaikan hal senada. Mengingat jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia yang cukup tinggi dan terbatasnya pemberian beasiswa setiap tahun, layanan peminjaman dana pendidikan bisa jadi solusi tidak terjangkaunya biaya pendidikan tinggi di Indonesia.

“Selain itu, Pemerintah juga [seharusnya] memberikan dukungan penuh agar program pinjaman pendidikan di Indonesia dapat benar-benar terlaksana. Apalagi saat ini fokus pembangunan pemerintah berada di perbaikan kualitas SDM untuk menuju “Indonesia Maju”, yang mana perbaikan kualitas SDM dapat ditempuh lewat kualitas pendidikan yang bagus,” lanjut Benedicto.

Pendidikan yang dijangkau platform pinjaman pendidikan tidak hanya terbatas pada pendidikan formal seperti perguruan tinggi atau sekolah vokasi, tetapi juga kursus di berbagai macam bidang, seperti pemrograman, data science, bisnis, hingga kursus bahasa.

Lazimnya pinjaman, untuk dana pendidikan ini juga dikenai angsuran bulanan atau yang disepakati, demikian juga besarannya. Di luar sana juga ada mekanisme ISA (Income Share Agreement), sebuah mekanisme yang memungkinkan pembayaran pinjaman dilakukan dengan memberlakukan potong gaji setelah bekerja. Besaran dan hal lainnya tergantung kesepakatan yang berlaku.

Kasus fintech ilegal dan tantangan yang dihadapi

Industri teknologi finansial di Indonesia sempat diterpa kabar tak baik berkat ulah sejumlah perusahaan fintech tak berizin yang masif masuk ke Indonesia. Sentimen negatif ini pun sedikit banyak memberikan pengaruh ini terhadap industri keseluruhan, termasuk niche pinjaman pendidikan.

Benedicto menceritakan, maraknya fintech ilegal memberikan dampak kepada brand KoinWorks sebagai salah satu perusahaan fintech. Namun menurutnya seiring berjalannya waktu dan industri yang terus tumbuh pemahaman masyarakat terkait layanan fintech semakin membaik. Terbukti dari jumlah pengguna KoinWorks di tahun 2019 yang meningkat 178% dibandingkan periode sebelumnya.

Sementara itu CEO DanaDidik Dipo Satria menilai maraknya kasus fintech ilegal bepengaruh pada stigma masyarakat terhadap industri fintech di Indonesia. Untuk melawan stigma negatif itu, Danadidik melakukan serangkaian sosialisasi di depan mahasiswa dan kampus.

“Fintech student loan seperti DanaDidik yang telah terdaftar dan diawasi OJK padahal sebenarnya dapat menjadi jawaban bagi mahasiswa yang ingin kuliah mandiri tetapi terhalang biaya kuliah yang mahal. Stigma kampus dan mahasiswa soal pinjol (pinjaman online) karena pinjaman ilegal membuat calon peminjam menjadi khawatir,” ujar Dipo.

Ia juga menambahkan bahwa pinjaman dana pendidikan merupakan niche baru yang belum banyak masyarakat tahu, sehingga memperkenalkan produk dan industri kepada khalayak ramai menjadi bagian penting dalam perjalanan DanaDidik.

Kepercayaan masyarakat terhadap industri teknologi finansial di Indonesia juga menjadi perhatian khusus Tommy. Menurutnya semua pemilik layanan peminjaman legal, AFPI, dan juga OJK tengah berusaha bersama-sama memerangi kasus fintech ilegal dengan bersama-sama mengedukasi masyarakat luas. Itu menjadi salah satu tantangan utama yang harus diperangi bersama.

“Selain itu, adanya persepsi negatif mengenai ‘pinjaman’. Padahal, tidak semua pinjaman itu bersifat negatif. Sebagai contoh layanan pinjaman yang Pintek berikan yaitu pinjaman untuk investasi. Kami mempermudah masyarakat untuk investasi melalui pendidikan, yang nantinya akan sangat berguna untuk dirinya sendiri dalam mencari pekerjaan, dapat membantu pemenuhan kebutuhan keluarganya, juga berkontribusi pada perekonomian negara. Jadi, tidak semua pinjaman itu bersifat negatif,” ujar Tommy.