Honda Jadi Sponsor LCS untuk Tarik Generasi Milenial dan Gen Z

Honda menjadi sponsor dari League of Legends Championship Series (LCS). Pada Januari lalu, perusahaan Jepang itu menjadi sponsor dari Team Liquid.

Dengan ini, Honda menjadi perusahaan pertama yang menjadi sponsor baik tim esports League of Legends maupun turnamennya. Sayangnya, tidak disebutkan berapa nilai sponsorship ini.

Kerja sama dengan Riot, developer League of Legends, ini dimulai pada Agustus ini dengan dimulainya Summer Split Off. Selain itu, kerja sama ini juga mencakup League MVP award dan LCS Scouting Grounds.

Tujuan utama Honda gencar untuk mensponsori tim esports dan turnamen esports adalah untuk mendekatkan diri dengan generasi milenial dan generasi Z. Kedua generasi itu jarang menonton TV. Dan ketika mereka menjelajah internet, biasanya mereka menggunakan pemblokir iklan. Untungnya, generasi milenial dan generasi Z suka menonton esports. 

“Pada awal tahun ini, kami berusaha untuk memperkuat strategi gaming kami secara keseluruhan. Ketika itulah kami mendapatkan kontrak dengan TL,” kata Manager of Media Strategy, American Honda, Phil Hruska pada Esports Observer. Pada Januari, Honda menjadi sponsor dari Team Liquid.

“Pada saat yang sama, kami menggunakan pendekatan merangkak-jalan-lari, jadi, kami juga mencari kontrak lain pada saat bersamaan. Kontrak dengan Riot memang memakan waktu lebih lama untuk direalisasikan. Namun, ini adalah perkembangan yang wajar setelah kami menjadi sponsor dari TL.”

Alasan Honda berusaha untuk mendekatkan diri dengan generasi milenial dan generasi Z adalah karena kedua golongan itu adalah satu-satunya kategori yang masih membeli mobil baru. Selain itu, mobil merek Honda, seperti Civic dan Accord, memang ditujukan untuk orang-orang yang membeli mobil untuk pertama kalinya.

“Generasi muda yang kami coba dekati lebih suka menggunakan media sosial dan menonton esports daripada media tradisional,” kata Hruska, seperti dilaporkan AdAge. “Kami melihat kontrak ini layaknya dengan platform media sosial, yang menjadi tempat tujuan para konsumen.”

Saat ini, esports memang menjadi industri bernilai US$1,1 miliar, menurut Newzoo. Diperkirakan, industri esports masih akan bertumbuh. Jumlah penonton esports juga terus bertambah. Karena itu, tidak heran jika semakin banyak merek non-endemik seperti Honda, yang tertarik untuk masuk ke industri ini.

Honda tampaknya serius untuk mendalami industri esports. Setidaknya begitulah yang disebutkan oleh North American Head of Esports Partnership and Business Development, Riot, Matthew Archambault. Dia mengatakan, dalam mencari sponsor, Riot berusaha untuk tidak bekerja sama dengan perusahaan yang setengah hati.

“Honda berusaha untuk berinvestasi, menyediakan sumber daya, dan siap untuk memberikan cerita,” katanya, lapor AdAge.

Sumber: Esports Observer, AdAge,

Riot Games Luncurkan Revenue Sharing League of Legends di Liga Amerika dan Eropa

Sebagai salah satu cabang esports terpopuler di dunia, rasanya tak afdal bila League of Legends tidak memiliki program untuk mensejahterakan para pemainnya. Seperti Dota 2 atau Rainbow Six: Siege yang menyediakan berbagai in-game item hasil kerja sama dengan tim-tim profesional, Riot Games baru-baru ini meluncurkan fitur yang memungkinkan penggemar untuk mendukung tim kesayangan secara langsung.

Fitur pertama adalah Fan Pass, sebuah item yang memberikan misi-misi tertentu pada pemain dengan berbagai imbalan menarik, termasuk emotes, icons, skins, dan sebagainya. Fan Pass ini dijual seharga 980 Riot Points, atau setara US$10. Tersedia di wilayah Brasil, Turki, Amerika Latin, Jepang, dan Oseania, hasil penjualan Fan Pass akan dibagi 50:50 dengan seluruh tim profesional di wilayah-wilayah tersebut.

Fitur baru kedua yaitu Team Pass. Mirip seperti Fan Pass, Team Pass juga memberikan misi dengan berbagai imbalan. Bedanya, imbalan-imbalan Team Pass ini memiliki tema yang berkaitan dengan tim yang dipilih. Setiap pemain hanya boleh membeli satu Team Pass untuk kompetisi LCS (League of Legends Championship Series) dan satu Team Pass untuk kompetisi LEC (League of Legends European Championship). Hasil penjualan Team Pass ini akan dibagi 50:50 dengan tim-tim dalam liga yang bersangkutan.

League of Legends - T1 x G2
Sumber: LoL Esports

Sebetulnya ini bukan pertama kalinya League of Legends menyediakan fitur serupa “Battle Pass” begini, namun biasanya Battle Pass itu hanya berlaku untuk satu turnamen saja. Sebaliknya, Fan Pass dan Team Pass berlaku selama satu musim. Ini merupakan salah satu cara bagi tim-tim profesional untuk mendapatkan penghasilan yang tidak bergantung pada uang hadiah turnamen saja.

“Kami rasa penting, seiring olahraga ini tumbuh, agar liga-liga, tim, dan para pemain saling berbagi dalam kesuksesan bersama,” demikian tulis tim LoL Esports dalam blog resminya. “Kami sangat gembira dengan peluncuran program ini dan akan terus mempelajari sebanyak-banyaknya aspek apa yang paling dihargai oleh penggemar esports seluruh dunia seiring kami melebarkan sayap lebih luas di masa depan!”

Satu fitur lagi yang baru diumumkan adalah fitur unik bernama Pro View. Tersedia untuk kompetisi LEC dan LCS mulai bulan Juni, fitur ini memungkinkan penggemar untuk membeli semacam keanggotaan premium untuk dapat melihat jalannya kompetisi secara lebih mendetail. Contohnya kemampuan mengganti sudut pandang dari kesepuluh pemain yang sedang bertanding, menampilkan pertandingan dalam empat layar sekaligus secara split-screen, dan sebagainya.

Team Liquid
Sumber: LoL Esports

Pro View juga menyediakan fitur untuk menyimpan momen-momen penting turnamen dalam bentuk video, statistik para pemain profesional, hingga fitur sosial untuk berinteraksi dengan sesama pemilik keanggotaan Pro View. Pada awalnya Riot Games hanya menyediakan Pro View dengan caster bahasa Inggris, tapi di masa depan dukungan bahasa lain juga akan diberikan.

Lebih mahal dari dua fitur sebelumnya, Pro View dijual seharga US$14,99 untuk masing-masing liga, atau bundel seharga US$19,99 untuk LEC dan LCS sekaligus. Hasil pembelian Pro View juga akan dibagi dengan tim-tim di liga terkait, namun Riot Games tidak menjelaskan pembagiannya secara detail.

Sumber: The Esports Observer, LoL Esports

Menelaah Kondisi League of Legends di Tahun 2019 Lewat Data dan Fakta

Bagaimana kabar League of Legends di tahun 2019? Di kalangan penggemar esports, game PC, maupun MOBA, pertanyaan demikian kerap kali dilontarkan. Maklum, dewasa ini memang League of Legends semakin banyak punya saingan. Mulai game satu genre seperti Arena of Valor atau Mobile Legends, hingga pembawa tren baru seperti Fortnite dan PUBG, sementara jumlah pasar gamer dunia jelas ada batasnya.

Riot Games sendiri belakangan juga terkesan enggan membuka data. Terakhir kali mereka menyatakan bahwa League of Legends memiliki 100 juta pengguna aktif bulanan (monthly active users), tapi itu sudah lama sekali, yaitu tahun 2016. Data Statista di tahun 2017 menunjukkan bahwa game ini dimainkan oleh 100 juta orang, meskipun ada juga yang menyebutkan angka 111 juta pemain dari Tiongkok saja. Selepas itu kita belum melihat adanya data resmi terbaru.

Marc Merrill dan Brandon Beck, para co-founder Riot Games, dalam wawancara bersama Polygon memang pernah mengatakan bahwa mereka benci berbicara tentang angka. “Sulit untuk dijelaskan, tapi pada akhirnya, angka-angka itu bahkan tidak terasa nyata,” kata Beck. “Hal yang paling keren adalah ketika kita berada di acara live dan dapat bertemu dengan penggemar secara langsung. Saat itulah baru terasa nyata. Selain itu, semuanya hanya angka-angka di atas layar di berbagai penjuru dunia.”

Tapi sebagai orang-orang yang berada di posisi konsumen, sikap seperti ini mungkin kurang memuaskan. Kita tentu ingin tahu juga seperti apa kondisi pasar game ini sebenarnya, terutama bila kita memang merupakan penggemar setia. Beruntung, banyak data lain selain angka active users yang bisa kita telaah untuk mengukur sesehat apa kondisi League of Legends saat ini, dan apakah game tersebut masih sedang tumbuh, stagnan, atau justru sedang mengalami penurunan.

Viewership

Data pertama dan paling dekat adalah data resmi dari Riot Games tentang League of Legends World Championship 2018, alias Worlds 2018. Dalam artikel yang diterbitkan bulan Desember 2018, Riot Games menyatakan bahwa babak final Worlds 2018 berhasil mendatangkan 99,6 juta unique viewers, dengan puncak concurrent viewers sebesar 44 juta pemirsa. Concurrent viewers di sini adalah jumlah penonton yang menyaksikan acara secara bersamaan.

Worlds 2018 - Viewership
Sumber: Riot Games

Jumlah tersebut sangat fantastis, bukan hanya karena angkanya yang besar tapi juga karena pertumbuhannya yang sangat tinggi dari tahun sebelumnya. Data Worlds 2016 menunjukkan bahwa babak final ditonton oleh sebanyak 43 juta orang, sementara final Worlds 2017 disaksikan 58 juta orang. Artinya jumlah penonton Worlds 2018 naik sekitar 85% dari tahun sebelumnya, dan peak concurrent viewers Worlds 2018 lebih tinggi daripada total unique viewers Worlds 2016.

Tidak hanya turnamen Worlds yang punya angka viewership tinggi, namun juga tayangan-tayangan lain yang lebih kecil. Menurut laporan dari The Esports Observer, tayangan esports League of Legends sempat merajai Twitch di awal tahun 2019, dengan total waktu menonton hingga 3,46 juta jam dalam seminggu. Sejak saat itu peringkat Twitch ini sempat mengalami pergeseran, contohnya ketika Apex Legends dirilis. Tapi League of Legends konsisten terus menempati peringkat tinggi, bahkan ketika artikel ini ditulis, sedang bertengger di peringkat satu.

Angka tersebut memang tidak menggambarkan secara langsung berapa jumlah orang yang memainkan League of Legends saat ini. Tapi ada dua hal yang bisa kita simpulkan dari sana. Pertama, bahwa jumlah penggemar League of Legends itu sendiri masih sangat banyak, dan kedua, bahwa minat masyarakat terhadap esports League of Legends dalam dua tahun terakhir ini mengalami peningkatan drastis.

Prize Pool Turnamen

Berbeda dari angka viewership yang terus melesat, prize pool dari turnamen Worlds itu sendiri justru sempat menurun. Total hadiah Worlds 2016 berhasil mencapai US$5.070.000, dengan US$2.130.000 di alamnya berasal dari Riot Games dan sisanya dari kontribusi penggemar. Sementara di Worlds 2017 total hadiahnya justru mengecil, yaitu US$4.946.970. Padahal di tahun tersebut Riot Games sudah menaikkan hadiah awalnya menjadi US$2.250.000.

Untungnya, prize pool ini meningkat lagi sangat jauh di tahun berikutnya. Worlds 2018 menawarkan total hadiah hingga kurang lebih US$6.450.000. Hadiah awal dari Riot sendiri sama dengan tahun lalu yaitu US$2.250.000, namun kontribusi penggemar ternyata sangat besar, sekitar US$4.200.000. Itu artinya terjadi peningkatan kontribusi penggemar sebesar kurang lebih 55%.

Terlepas dari jumlahnya sendiri, yang lebih menarik adalah Riot Games mengambil langkah baru dalam distribusi hadiah itu. Kontribusi penggemar di prize pool turnamen Worlds biasanya mengambil 25% dari penjualan skin eksklusif yang telah ditentukan. Namun di tahun 2018, hanya 12,5% hasil penjualan itu yang jadi hadiah berdasarkan performa tim di Worlds. Sisa 12,5% lainnya dibagikan secara merata kepada seluruh tim yang lolos kualifikasi ke Worlds. Sistem distribusi ini dilakukan untuk memberi apresiasi lebih tinggi pada para tim yang lolos.

Worlds 2018 - Prize Pool Distribution
Sumber: Riot Games

Revenue

Riot Games boleh bangga dengan tingginya angka viewership dan prize pool di turnamen, akan tetapi ada satu pertimbangan yang tak kalah krusial, yaitu revenue secara keseluruhan. Dalam laporan yang diterbitkan oleh SuperData (Nielsen), revenue League of Legends di 2018 rupanya hanya mencapai angka US$1,4 miliar. Turun drastis dari tahun 2017 yang mencapai US$2,1 miliar, bahkan lebih rendah dari pencapaian tahun 2016 yaitu US$1,7 miliar.

Mungkin inilah penyebab utama yang memunculkan kekhawatiran seolah-olah League of Legends sedang sekarat. Mengacu pada data yang diterbitkan Statista, revenue tahun 2018 ini adalah revenue terendah League of Legends sejak tahun 2014. Setelah tiga tahun terus mengalami kenaikan, akhirnya di tahun 2018 League of Legends harus “tumbang”.

Mengapa revenue League of Legends turun sedemikian drastis? Ada beberapa pendapat. Sebagian orang menganggap penyebabnya adalah hubungan yang kurang baik antara Riot Games dengan Tencent yang merupakan pemilik saham terbesar Riot.

Konflik ini salah satunya berakar dari keengganan Riot Games untuk mengembangkan League of Legends versi mobile, padahal Tencent tahu bahwa ada potensi besar di ranah itu. Hasilnya, Tencent pun merilis game mobile mereka sendiri yang menyerupai League of Legends, yaitu Arena of Valor. Kini Arena of Valor justru menjadi saingan League of Legends, padahal keduanya berada di bawah induk yang sama yaitu Tencent.

Arena of Valor

Ongkos Penyelenggaraan Event

Penyebab lain yang turut berkontribusi terhadap revenue adalah ongkos untuk menggelar acara turnamen esports yang semakin lama semakin tinggi. Riot Games sempat menerima banyak kritik di tahun 2018 karena beberapa turnamen yang mereka gelar terkesan kurang anggaran. Tapi kemudian mereka menjawab dalam sebuah forum Reddit bahwa sebetulnya mereka tidak serta-merta memangkas ongkos, namun menyesuaikan anggaran dengan potensi pemasukan.

Hingga pertangahan 2018, Riot telah menginvestasikan kurang lebih US$100.000.000 per tahun untuk menggelar turnamen esports. Hasilnya memang mereka berhasil menciptakan turnamen-turnamen megah, tapi sebetulnya mereka sedang berada dalam fase “startup” dan belum memikirkan sustainability. Dengan kata lain, bisnis esports di Riot Games masih belum balik modal. 2018 menjadi penting karena di tahun inilah mereka mulai mengganti strategi lebih menuju profitability dan sustainability di bidang esports.

Worlds 2018 - Invictus Gaming
Sumber: Riot Games

Benar bahwa Riot sempat memangkas anggaran untuk beberapa turnamen, namun itu sebetulnya merupakan sebuah eksperimen saja tentang apa saja yang bisa dilakukan untuk menekan anggaran. Daripada menurunkan anggaran, Riot lebih ingin meningkatkan revenue, jadi itulah yang akan mereka fokuskan selama tiga tahun ke depan. Apabila revenue berhasil meningkat dalam jangka waktu tiga tahun, anggaran esports Riot Games tidak akan berubah, bahkan bisa meningkat. Tapi bila tidak berhasil maka anggaran itu akan diturunkan.

Ancaman Persaingan

Meski revenue League of Legends di tahun 2018 adalah yang terendah sejak 2014, bukan berarti angka tersebut jelek. Dalam laporan SuperData, League of Legends masih menempati urutan ketiga dalam peringkat top free-to-play games sepanjang tahun 2018. Mengalami penurunan memang benar, tapi mungkin terlalu berlebihan bila League of Legends dikatakan “sekarat”.

Bila League of Legends peringkat tiga, lalu siapa peringkat satunya? Anda pasti bisa menebaknya dengan mudah. Benar sekali, revenue tertinggi free-to-play 2018 ada di tangan sang raja battle royale, Fortnite. Karya Epic Games tersebut berhasil meraih revenue senilai US$2,4 miliar.

Fortnite

Ancaman dari Fortnite ini bukan main-main. Dalam laporan keuangan yang diterbitkan di bulan Januari 2019, Netflix menyatakan bahwa saingan mereka bukan hanya platform video seperti HBO, Amazon, atau Apple, tapi juga video game. Bahkan sebagaimana dilansir Forbes, ancaman terhadap Netflix datang lebih besar dari Fortnite daripada dari HBO.

Kalau Netflix—yang bukan perusahaan game—saja begitu tergerus oleh Fortnite, dampaknya terhadap League of Legends tentu lebih besar lagi. Ingat, Netflix dan Fortnite pada dasarnya cuma berebut screen time. Sementara League of Legends dan Fortnite bukan hanya berebut screen time tapi juga berebut play time.

Pengeluaran pengguna untuk Netflix sifatnya flat karena menggunakan sistem berlangganan, sementara Fortnite dan League of Legends sama-sama menjual in-game item sehingga jumlah pemasukan per orang bisa berubah-ubah. Setiap gamer tentu memiliki batasan akan berapa jumlah uang yang mau ia keluarkan untuk game free-to-play. Jumlah uang yang ia keluarkan akan proporsional dengan game yang paling sering ia mainkan.

Menunggu Hasil Diversifikasi

League of Legends sudah mencapai kesuksesan yang luar biasa, dan kini mungkin sudah waktunya sang raja menyerahkan takhtanya. Revenue yang turun setelah sekian lama menunjukkan bahwa tampaknya League of Legends sudah menyelesaikan fase pertumbuhan (growth) dan kini berada di fase kedewasaan (maturity). Dari sini, fokus Riot Games harus berubah, bukan lagi mencari pertumbuhan sebanyak-banyaknya, tapi mempertahankan League of Legends menjadi produk yang sustainable sebelum akhirnya masuk ke fase penurunan (decline). Strategi Riot Games dalam mengatur anggaran esports mencerminkan hal itu.

Menengok ke belakang, sebetulnya kondisi League of Legends tahun ini sudah diantisipasi oleh para pendiri Riot Games sejak dua tahun ke belakang. Menjelang akhir tahun 2017 lalu, Marc Merrill dan Brandon Beck menyatakan pengunduran dirinya dari posisi manajemen untuk kembali ke tim developer dan mengembangkan game baru. Seperti apa game baru itu, kita masih belum tahu. Yang jelas, Riot Games telah sadar bahwa mereka tidak bisa hanya mengandalkan satu produk selamanya. Tidak hanya Riot, Valve pun beberapa waktu lalu telah melakukan upaya serupa dengan merilis Artifact, meskipun keberhasilannya masih menjadi tanda tanya.

Game baru Riot Games ini sekarang masih berada dalam pengembangan. Riot Games telah membuka lowongan untuk developer di bulan Februari lalu, dan menurut cuitan dari Katie Chironis (Senior Game Designer di Riot Games), tim developer untuk game ini berjumlah kecil tapi sangat beragam. Belum detail yang diungkap oleh Riot mengenai produk baru ini, dan mungkin kita masih harus menunggu lama sebelum melihat hasilnya. Tapi yang jelas, langkah Riot untuk fokus pada sustainability di League of Legends sambil melakukan diversifikasi produk bisa dikatakan sudah tepat.

Rencana ke Depan

Di tahun 2019 ini, Riot Games melakukan beberapa langkah untuk membuat ekosistem esports League of Legends semakin rapi. Salah satunya yaitu pemisahan yang lebih jelas antara esports di Amerika Serikat dengan Eropa. Dulu League of Legends Championship Series (LCS) terbagi menjadi dua, yaitu NA LCS dan EU LCS. Akan tetapi mulai tahun ini Eropa memiliki liga sendiri dengan nama League of Legends European Championship (LEC). Sementara di Amerika, nama LCS tetap digunakan.

Riot juga meluncurkan situs baru yang menjadi pusat akan segala informasi yang berhubungan dengan esports League of Legends. Bila dulu penggemar harus membuka berbagai situs berbeda bila ingin membaca artikel, menonton pertandingan, dan mencari tiket event, kini semua disatukan dalam satu wadah yang disebut Nexus. Riot juga meluncurkan situs khusus untuk membeli merchandise, termasuk jersey tim-tim profesional yang berlaga di LCS.

Riot juga semakin mengembangkan liga mereka di level mahasiswa. Salah satu program yang diluncurkan tahun ini yaitu program College Season Streamer. College Season sendiri merupakan liga League of Legends yang diikuti oleh lebih dari 350 kampus, dan lewat program ini, Riot ingin menggaet para shoutcaster (baik amatir ataupun profesional) untuk menyiarkan pertandingan-pertandingan secara live streaming. Esports level mahasiswa ini sangat penting dalam memunculkan talenta-talenta baru yang memastikan ekosistem bisa berjalan secara berkelanjutan.

LEC 2019 Spring - G2
Sumber: lolesports

Selain itu, sejalan dengan keinginan Riot untuk meningkatkan revenue dari esports, sejak tahun 2018 mereka semakin gencar menjalin partnership dengan berbagai pihak. Beberapa sponsor yang kini terlibat meliputi SK Telecom, Mastercard, Dell/Alienware, SecretLab, hingga Nike. Kerja sama dengan Mastercard yang terjadi pada bulan September 2018 punya posisi yang cukup spesial, karena mereka menempati posisi sebagai Global Partner pertama bagi esports League of legends. Apalagi kerja sama ini diumumkan sebagai kerja sama jangka panjang. Mastercard sudah lebih dari dua puluh tahun menjadi sponsor dalam industri olahraga maupun hiburan, dan lewat kerja sama ini, Mastercard akan menghadirkan berbagai inovasi untuk membuat pengalaman esports League of Legends semakin unik dan tak terlupakan.

League of Legends sepanjang 2018 telah berhasil menjadi esports paling banyak ditonton di seluruh dunia. Di tahun 2019 ini, Riot tampaknya ingin fokus dalam menghadirkan pengalaman yang secara keseluruhan lebih nyaman kepada para penggemarnya. Esports League of Legends sudah berhasil menjadi yang terbesar. Kini saatnya Riot memastikan bahwa esports League of Legends adalah yang terbaik.

Kesimpulan

Apakah League of Legends sedang sekarat? Jawabannya, jelas tidak. Terjadi penurunan di beberapa aspek memang iya, dan itu adalah hal yang wajar. Akan tetapi walau dengan penurunan itu pun sebetulnya posisi League of Legends masih sangat kuat. Game ini masih merupakan raksasa dengan viewership tertinggi di dunia dan revenue tertinggi ketiga di dunia, jadi secara gambaran global, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Di beberapa daerah, minat masyarakat terhadap League of Legends bahkan semakin meningkat. Contohnya di Amerika Serikat. Dalam turnamen North America League of Legends Championship Series (NA LCS) Spring Split 2019, jumlah penonton babak final di Twitch dan YouTube mencapai 600.000 orang. Ini meningkat dari NA LCS Spring Split 2018 yang ditonton kurang lebih 520.000 orang. Jumlah penonton yang datang langsung ke venue pun melebih 10.000 orang, dan diprediksi akan meningkat di masa depan.

Jumlah penonton Worlds 2018 yang mencapai 99,6 juta orang itu bahkan lebih tinggi daripada penonton Super Bowl yang “hanya” 98 juta penonton. Padahal Super Bowl merupakan kejuaraan American Football tahunan yang selalu menghebohkan dan digandrungi masyarakat. Perbandingan ini, ditambah dengan prediksi bahwa pangsa pasar esports masih akan terus tumbuh hingga 2021, menunjukkan bahwa di tengah persaingan yang begitu ketat pun League of Legends masih mampu menjaga keberlangsungan ekosistemnya dengan sangat baik.

Di tahun 2009 ini League of Legends akan merayakan ulang tahunnya yang kesepuluh. Selama sepuluh tahun ini League of Legends telah berhasil menjadi hiburan, tontonan, bahkan mata pencaharian bagi berjuta-juta orang di seluruh dunia. Stakeholder game ini bukan lagi hanya Riot Games, tapi juga para sponsor, atlet, caster, organizer, dan segala pihak lain yang terlibat di dalamnya. Tidak ada yang abadi di dunia ini memang, dan League of Legends suatu hari pun pasti akan mati. Tapi selama seluruh stakeholder di atas mampu bekerja sama menciptakan ekosistem yang sustainable, saya rasa League of Legends masih akan tetap jaya untuk waktu yang lama.

YouTube Siap-Siap Untuk Jadi Platform Live Stream Gaming Ala Twitch?

Ada lebih dari 45 juta orang aktif mengakses dan melakukan live stream game tiap bulannya, dan Twitch berhasil menghimpun komunitas berkekuatan 100 juta user lebih. Spesialisasi pada streaming, Twitch berdiri kokoh tanpa terpengaruh dominasi layanan video YouTube. Tahun lalu, memang ada rumor menyebutkan bahwa Google tertarik untuk membelinya. Continue reading YouTube Siap-Siap Untuk Jadi Platform Live Stream Gaming Ala Twitch?