Final Kompetisi Esports Internasional Khusus Perempuan akan diadakan di Dubai

Belakangan, Uni Emirat Arab (UEA) sepertinya memang sedang gencar mendorong perkembangan esports di negaranya. Ini terlihat dari bagaimana ibu kota UEA, Dubai, beberapa kali jadi tuan rumah untuk gelaran esports. Beberapa contohnya seperti gelaran ROXnROLL Tekken Dubai, ataupun PUBG Mobile Star Challenge tahun 2018 yang diadakan di Dubai.

Tahun 2020 ini, Dubai juga kembali menjadi tuan rumah untuk gelaran esports. Pemerintah UEA lewat Government of Dubai Media Office (GDMO) kali ini bekerja sama dengan Grow uP Esports untuk mengadakan menghadirkan gelaran puncak GIRLGAMER Esports Festival di Dubai. Turnamen ini merupakan ajang unjuk gigi para perempuan jago game League of Legends dan CS:GO dari 5 negara. Kompetisi ini diikuti oleh tim perwakilan dari Korea Selatan, Australia, Singapura, Spanyol, dan Brazil, yang sebelumnya sudah melalui pertandingan kualifikasi.

Sumber: GIRLGAMERS official site
Alena Mau, salah satu gamer perempuan yang sempat menjadi peserta di gelaran GIRLGAMER Esports Festival. Sumber: GIRLGAMER official site

Gelaran ini diikuti oleh beberapa organisasi esports ternama. Dari CS:GO sendiri ada Team Dignitas yang akan mengirimkan roster perempuannya. Lalu dari sisi League of Legends ada juga pemain perempuan yang digandeng organisasi ternama seperti INTZ dari Brazil, ataupun Beskitas dari Eropa. Tak lupa, gelaran ini juga mengundang satu tim dari ekosistem lokal UEA, yaitu Galaxy Racer Esports

“Kami bangga dapat bekerja sama dengan GDMO dan Meydan One untuk menyelenggarakan acara terbesar di dunia yang didedikasikan untuk para gamers perempuan. Galaxy Racer Esports ingin berkontribusi pada momentum revolusi esports yang sedang terjadi di Dubai dan wilayah lainnya. Menjadi tuan rumah acara ini akan memberi nilai baru bagi kemunculan Dubai sebagai kota yang didorong oleh inovasi.” ucap CEO Galaxy Racer Esports Paul Roy kepada outlet media lokal, TimeOut Dubai.

Sumber: Arabian Business
Galaxy Racer Esports dalam gelaran konfrensi pers GIRLGAMER Esports Festival di Dubai, Uni Emirat Arab. Sumber: Arabian Business

GIRLGAMER Esports Festival merupakan salah satu gelaran esports khusus perempuan yang sudah terselenggara secara rutin sejak dari tahun 2017. Pertama kali digelar di Makau, GIRLGAMER Esports Festival mengelilingi beberapa negara untuk mempromosikan esports khusus perempuan. Beberapa kota yang pernah mereka sambangi termasuk Portugal pada tahun 2018, lalu Sau Paulo, Madrid, Seoul, serta Sydney di tahun 2019.

Babak final turnamen khusus perempuan ini akan diadakan pada 19 sampai 22 Februari 2020 mendatang di Meydan Grandstand Dubai, dan memperebutkan total hadiah sebesar US$100.000 (sekitar Rp1,3 miliar).

Cerita Di Balik Pengunduran Diri Heo “PawN” Won-seok, Rival Faker

Sekilas, menjadi atlet esports terlihat mudah. Namun, sebenarnya ada berbagai hal yang mereka korbankan untuk bisa menjadi pemain profesional. Setelah menjadi atlet esports profesional sekalipun, seorang pemain menghadapi berbagai tantangan, termasuk tekanan mental saat bertanding.

Ialah Heo “PawN” Won-seok, seorang pemain profesional yang telah bermain di scene League of Legends selama tujuh tahun. Sejak dia pertama kali debut, dia sering dibandingkan dengan Lee Sang-hyeok alias Faker. Ketika para mid laners lain takut untuk melawan Faker, PawN justru berani menantangnya. Keduanya bersaing dalam waktu lama sehingga mereka disebut sebagai “Rival Abadi”. Sayangnya, sebelum dapat merebut tahta Faker, PawN memutuskan untuk mengundurkan diri karena Obssessive Compulsive Disorder (OCD), yaitu gangguan mental yang membuat penderitanya merasa harus melakukan suatu tindakan secara berulang. Jika tidak dilakukan, sang penderita akan merasa khawatir atau takut.

“Saya ingin diingat sebagai pemain terbaik sepanjang masa. Saya percaya, saya akan bisa merealisasikan hal itu jika saya terus bermain, tapi sayangnya, saya tidak akan bisa meraih mimpi itu. Saya pernah berpikir, tak peduli apa yang harus saya lakukan, saya ingin menjadi yang terbaik. Saya ingin memiliki karir yang lebih baik dari Faker. Meskipun saya terkadang gugup, tapi saya tidak pernah takut dengan persaingan,” kata PawN dalam wawancara dengan Inven Global.

“Ketika Faker mendadak memenangkan banyak turnamen dan memperlebar jarak di antara kami, saya berpikir, ‘Ini akan sulit…’ Tapi semuanya terasa baik-baik saja ketika saya memenangkan MSI dengan EDG. Namun, setelah turnamen itu, performa Faker sangat baik dan dia berhasil mendapatkan berbagai pencapaian. Meskipun saya tidak menyesal pergi ke Tiongkok, karena saya senang dengan rekan satu tim saya, saya terkadang membayangkan apa yang akan terjadi jika saya tetap di Korea.”

Sumber: Inven Global
Sumber: Inven Global

Pencapaian PawN sendiri bukannya sedikit. Dia berhasil memenangkan League of Legends World Championship pada 2014, League of Legends Pro League Spring pada 2015, MSI pada 2015, LPL Summer Split pada 2016 dan League of Legends Champions Korea pada 2018. Tak hanya itu, dia juga bertahan di dunia competitive gaming selama tujuh tahun. Dari video pribadinya, PawN dikeal sebagai seorang yang “cool” dan memiliki kebanggaan sebagai pemain profesional. Dia juga memiliki keinginan kuat untuk menjadi juara. Banyak atlet, baik atlet esports atau olahraga tradisional, yang memiliki rutinintas yang harus mereka lakukan sebelum menghadapi pertandingan. Sayangnya, hal ini bisa berubah menjadi obsesi, paranoia, atau bahkan OCD. Dan ini bisa memengaruhi karir mereka.

Contohnya adalah Seo Jang-hoon, pemain basket legendaris asal Korea Selatan yang sangat terobsesi pada kemenangan. Sama seperti PawN, Seo juga mengalami OCD. Seo mengaku bahwa pada awal karirnya, dia tidak menderita OCD. Dia mengklaim karena obsesinya pada kemenangan sangat kuat, dia mulai mengkhawatirkan tentang hal-hal yang tak ada kaitannya dengan pertandingan. Dan inilah yang membuat OCD muncul dalam dirinya. Ketika seorang atlet menderita OCD, itu tak melulu berakhir dengan pengunduran. Walaupun begitu, dalam kasus PawN, OCD menjadi alasannya untuk mengundurkan diri.

Sebelum mengundurkan diri, ketika PawN hendak bertanding, dia membawa berbagai peralatan yang tak biasanya dibawa oleh pemain profesional, seperti penggaris. Dia menggunakan penggaris itu untuk mengukur tinggi monitornya, posisi keyboard, dan lain sebagainya. “Saya rehat untuk waktu lama. Setelah Spring split berakhir pada April, saya hanya diam di rumah seharian. Meskipun proses pengobatan terus berjalan, keadaan saya tidak membaik. Saya jadi tak percaya diri, dan saya bahkan tidak mau bermain. Kemudian, kalau tidak salah, pada 29 September. Saya merasa sangat frustasi, dan saya tidak bisa melanjutkan karir saya. Saya ingat saya menulis pengumuman pengunduran diri ketika saya merasa marah, dan saya berpikir, ‘Kenapa ini terjadi pada saya?’ dan saya justru merasa bingung.”

“Sebelum saya bertanding di liga Tiongkok, saya tidak memerlukan penggaris untuk mempersiapkan diri sebelum pertandingan. Saya rasa, persiapan saya sama seperti persiapan para pemain lain. Mungkin, ini muncul karena saya ingin bermain lebih baik dari pemain lainnya. Gejala OCD saya kambuh ketika saya kembali ke Korea. Pada 2017, gejala OCD yang muncul adalah mengatur monitor saya, dan saya masih baik-baik saja ketika saya mulai menggunakan penggaris. Itu terjadi ketika saya memenangkan KeSPA Cup dan merasa percaya diri.”

Sumber: Inven Global
Sumber: Inven Global

PawN bercerita, keadaannya kembali memburuk pada 2018. Dia merasa bahwa dia tidak bisa bertanding di atas panggung. Dia lalu memutuskan untuk kembali rehat. Dia mengatakan, dia bisa bermain dengan baik ketika dia bermain di rumah. Pada Worlds 2018, dia mendapatkan izin untuk beristirahat. Keadaannya membaik setelah dia mencoba berbagai solusi dan dia dapat bermain dengan baik sebelum bergabung dengan Kingzone.

Namun, setelah mengambil rehat panjang pada akhir Spring 2019, gejala OCD-nya kembali muncul. “Ketika itu, saya pikir, itu terjadi karena saya beristirahat terlalu lama, dan jika saya berlatih, saya akan bisa menjadi lebih baik,” ujarnya. Tapi, masalahnya tak berhenti sampai di situ. “Saya menghadapi masalah besar: ukuran monitor berubah dari 24 inci menjadi 25 inci,” katanya. “Saya punya metode untuk mengatur monitor 24 inci, tapi itu tak bisa digunakan untuk monitor 25 inci.” Dia bercerita, perubahan ini membuatnya merasa performanya menurun drastis. “Saya merasa stres karena saya tidak bisa bermain seperti biasa, jadi saya merasa frustasi, dan saya juga mengalami depresi. Saya mencoba untuk menjalani hidup seperti biasa, tapi keadaan tidak menjadi lebih baik. Saya lebih sering di rumah, dan berat badan saya justru bertambah.”

Menjadi atlet profesional, termasuk atlet esports, memang memberikan beban mental yang sangat berat. Karena itulah, keberadaan psikolog menjadi penting dalam sebuah tim esports. Ketika bertanding, para pemain dituntut untuk membuat keputusan dengan cepat. Tak hanya itu, hasil pertandingan juga bisa dilihat — dan dihakimi — oleh banyak orang secara langsung. “Saya rasa, gangguan ini menjadi semakin parah ketika saya bermain di Korea. Ketika saya bermain di Tiongkok, saya tidak mengerti komentar online. Saya rasa, label ‘tim super’ juga memberikan tekanan pada saya. Ketika saya bersama dengan KT, saya adalah pemain yang paling tidak populer. Jadi, keinginan saya untuk bermain lebih baik lebih besar.”

PawN mengaku, dia masih ingin bisa mengatasi OCD yang dia derita dan kembali bermain sebagai pemain profesional. Itulah alasan mengapa sampai saat ini, dia enggan untuk menerima tawaran sebagai pelatih. “Namun, dalam keadaan saya sekarang, saya tidak bisa bermain sebagai pemain profesional. Jika saya bisa menyembuhkan OCD saya, dan saya dapa bermain dengan baik, saya akan kembali memulai karir saya. Namun, jika tidak, saya akan mengakhiri karir saya sebagai pemain profesional,” akunya.

Dia bercerita, dia selalu merasa menyesal ketika dia harus rehat. Selain OCD, dia juga memiliki masalah dengan punggungnya. Bahkan sampai sekarang, dia masih memiliki masalah dengan punggungnya. Dia sempat merasa sangat kecewa dan menyalahkan keadaan. Namun, dia sadar bahwa masalah kesehatan yang dia alami terjadi karena dia tidak berolahraga dan senang memakan makanan instan.

“Keputusan saya untuk mengundurkan diri sangat mendadak. Saya bahkan tidak mendiskusikan ini dengan orangtua saya. Saya lalu memberitahukan mereka bahwa selama saya memiliki OCD, saya tidak akan bisa menjadi pemain profesional,” ujar PawN. Dia merasa, jika dia kembali ke competitive gaming scene sebelum menyelesaikan masalahnya, dia hanya akan menjadi beban bagi orang lain. “Pada fans saya, saya meminta maaf. Saya akan melakukan semua yang saya bisa untuk menyembuhkan OCD saya. Jika saya bisa kembali, saya harap kalian semua akan menyambut saya dengan tangan terbuka. Terima kasih.”

Terlepas dari apakah PawN akan bisa kembali menjadi pemain profesional atau tidak, perjalanan karirnya menunjukkan betapa kerasnya perjuangan seorang atlet esports.

Sumber header: Twitter

Bagaimana Industri Game Memengaruhi Fashion?

Semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk bekerja sama dengan pelaku industri game dan esports, termasuk merek fashion. Bahkan merek mewah seperti Louis Vuitton sekalipun masuk ke esports dengan bekerja sama dengan Riot Games, developer dari League of Legends. Melalui kerja sama ini, Louis Vuitton membuat travel case untuk trofi dari League of Legends World Championship, Summoner’s Cup. Tak berhenti sampai di situ, Louis Vuitton juga mendesain skin untuk karakter dalam League of Legends. Pada bulan ini, merek asal Prancis ini juga memamerkan koleksi LVxLOL dengan harga yang fantastis.

Menariknya, Louis Vuitton tidak menargetkan para gamer dengan kolaborasi mereka dengan Riot. “Koleksi LV x LoL tidak ditujukan untuk fans League,” kata Consumer Products Specialist, Mandie Roman, dikutip dari Inven Global. “Lihat berapa banyak produk yang ada dalam koleksi itu. Tapi, tidak banyak produk yang menampikan Qiyana. Demografi yang menjadi target kami tetaplah demografi yang memang biasa membeli barang mewah seperti ini.” Lebih lanjut dia menjelaskan, kerja sama antara Louis Vuitton dan Riot menjadi bahan pembicaraan di dunia marketing. “Ketika Vogue dan merek non-gamer lain membicarakan hal ini, ini memberikan dampak baik pada League,” ujarnya. Sementara itu, Louis Vuitton diuntungkan karena kolaborasi tersebut dapat meningkatkan brand awareness mereka.

Lightning menjadi model dari produk Louis Vuitton dan model yang terinspirasi oleh Lightning. | Sumber: Inven Global
Lightning menjadi model dari produk Louis Vuitton dan model yang terinspirasi oleh Lightning. | Sumber: Inven Global

Kerja sama dengan Riot bukan kali pertama Louis Vuitton masuk ke dunia game. Sebelum ini, mereka pernah membuat kolaborasi dengan Final Fantasy. Hanya saja, ketika itu, tidak ada produk Louis Vuitton yang menampilkan karakter dari game tersebut. Sebagai gantinya, Lightning — karakter dalam Final Fantasy XIII — menjadi model dari pakaian yang didesain oleh Louis Vuitton.

Louis Vuitton bukanlah satu-satunya merek fashion yang bekerja sama dengan perusahaan game. Belum lama ini, DN Handbags juga menjalin kerja sama dengan Nintendo untuk membuat koleksi tas tangan yang menampilkan karakter Super Mario dan controller NES. Produk dalam koleksi tersebut memiliki rentang harga dari US$18 (sekitar Rp250 ribu) sampai US$88 (sekitar Rp1,2 juta). Dalam koleksi LV x LoL sendiri, produk yang menampilkan gambar Qiyana memiliki harga yang relatif terjangkau jika dibandingkan dengan produk lainnya. Mengingat kecil kemungkinan para gamer rela menghabiskan puluhan juta rupiah untuk membeli jaket atau sepatu, maka keputusan Louis Vuitton masuk akal.

Selain bekerja sama dengan perusahaan game, merek fashion juga mengadakan kolaborasi dengan organisasi esports. Misalnya, Puma yang menggandeng Cloud9 untuk meluncurkan koleksi khusus bagi para gamer. Masing-masing merek biasanya memiliki strategi yang berbeda-beda. Sebagai contoh, Nike memutuskan untuk fokus mensponsori liga esports di Tiongkok sementara Li-Ning, merek sportswear asal Tiongkok, lebih fokus untuk menjadi sponsor dari atlet esports.

Fnatic Jadi Tim League of Legends Dengan Jumlah Penonton Terbanyak

Walau kurang populer di Indonesia, League of Legends tetap menjadi permainan serta tontonan favorit gamers dunia, terutama bagi gamers di barat. Begitu besar League of Legends, sampai-sampai final liga LCS di Amerika Serikat bisa memberi dampak ekonomi sebesar Rp76 miliar.

Namun bukan berarti komunitas League of Legends selalu adem-adem saja. Ada satu narasi perdebatan yang masih bertahan sampai sekarang di antara para penggemar League of Legends barat. Bukan hanya soal siapa yang lebih baik antara League of Legends dengan Dota 2, tetapi juga soal siapa regional League of Legends yang lebih baik, Eropa atau Amerika Serikat?

Baru-baru ini, situs data statistik esports, Esports Charts (ESC) merangkum data tersebut dan menemukan bahwa tim Fnatic asal Eropa sebagai tim League of Legends terpopuler. Data ini dirangkum berdasarkan dari rata-rata jumlah penonton pertandingan tim yang berasal dari masing-masing regional, yaitu tim-tim LEC (Eropa) dan LCS (Amerika serikat).

Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts

Mengutip data tersebut, Fnatic berhasil mengumpulkan rata-rata penonton sebanyak 262 ribu orang, dilanjut dengan G2 Esports (yang juga dari Eropa) dengan rata-rata 256 ribu orang penoton, dan Team Liquid dari Amerika dengan rata-rata 244 ribu orang penonton.

Tak heran jika Fnatic menjadi tim League of Legends paling populer dalam perdebatan regional Eropa vs Amerika Serikat. Pertama, Fnatic dalam sejarah League of Legends punya cerita perjuangan menarik, yang membuat banyak fans jadi mendukung dan ingin menyimak perjalanannya.

Pada Worlds 2017 ia berhasil menciptakan salah satu kisah comeback terbesar dalam sejarah esports. Dalam fase grup, mereka memulai harinya dengan kalah 3 kali berturut-turut. Namun setelahnya mereka bangkit lagi, mengamankan sisa pertandingan yang ada, dan lolos dengan statistik 4 menang, 3 kalah; walau pada akhirnya tumbang di babak semi-final.

Pada Worlds 2018 mereka juga kembali memunculkan cerita menarik. Mereka berhasil menjadi tim yang mengembalikan gengsi tim regional barat di peta kekuatan dunia kompetitif League of Legends, setelah beberapa tahun terakhir dikuasai habis-habisan oleh regional Asia.

Ditambah lagi, tim ini juga merupakan salah satu tim dengan branding yang kuat dan juga posisinya yang sudah lama ada berada bersama komunitas gamers. Berdiri di London sejak 2004 lalu, Fnatic sudah punya penggemar di berbagai lini, termasuk di skena kompetitif League of Legends. Klub ini juga punya berbagai cara kreatif dalam urusan branding, mulai dari kolaborasi dengan Hello Kity ataupun membuat paket merchandise bertema musim dingin yang unik dan lucu.

Statistik ini juga sedikit banyak menunjukkan dampak prestasi terhadap exposure yang didapatkan oleh sebuah tim. Bagamana tidak, Fnatic yang merangkak setengah-mati sampai ke babak Grand Final Worlds 2018 lalu terbukti punya jumlah penonton rata-rata yang lebih banyak, jika dibanding Team Liquid yang hanya menang di skena lokal, namun keteteran di tingkat internasional.

Melihat hal ini, sepertinya sudah waktunya regional Amerika Serikat untuk berbenah. Agar tim-tim League of Legends di sana tidak hanya punya nilai hiburan yang tinggi, tapi juga jadi tim yang dipandang dalam peta kompetitif League of Legends internasional.

Sumber header: Riot Games

Tak Bayar Pemain, Galatasaray Esports Dilarang Berlaga di Turnamen League of Legends Turki

Riot Games melarang Galatasaray Esports bertanding di Turkish Championship League (TCL) Winter Split 2020 karena organisasi esports itu tidak membayar gaji para pemain dan staf mereka. Pemain League of Legends Galatasaray Esports mengatakan bahwa mereka telah tidak menerima gaji selama beberapa bulan.

Galatasaray diketahui tidak membayar pemainnya ketika mid laner Lee “GBM” Chang-seok membuat tweet pada awal Desember, mengklaim bahwa dia tidak mendapatkan bayaran selama berbulan-bulan. Kepada Inven Global, dia mengaku bahwa dia bukan satu-satunya pemain Galatasaray yang belum mendapatkan gaji. Ketika ditanya mengapa masalah ini terjadi, GBM menjawab, “Pertama, para pemain esports masih muda, jadi mereka tidak punya referensi. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, dan jika mereka membawa masalah ini ke pengadilan, kemungkinan besar, mereka tidak akan mendapatkan apapun.”

Lee “GBM” Chang-seok. | Sumber; Riot Games
Lee “GBM” Chang-seok. | Sumber: Riot Games

Riot lalu menyelidiki klaim ini, menurut laporan Forbes. Hasilnya, mereka memutuskan untuk melarang Galatasaray berkompetisi di turnamen TCL Winter Split. Dengan begitu, kontrak untuk pemain dan pelatih untuk tahun 2020 bisa diakhiri. Saat ini, masih belum diketahui apakah larangan bermain ini akan bersifat permanen. Jika Galatasaray memenuhi saran Riot dalam menyelesaikan masalah tersebut, mereka mungkin akan diizinkan untuk kembali berlaga di Turkish Championship League. Jika tidak, Galatasaray mungkin akan dilarang untuk bertanding selamanya. Namun, meskipun Riot mengizinkan Galatasaray untuk kembali bertanding di TCL, tidak ada jaminan bahwa para pemain dan staf bersedia untuk bekerja pada organisasi esports tersebut.

Galatasaray adalah salah satu tim terbaik di Turkish Championship League. Pada Winter dan Summer Split tahun ini, mereka selalu berhasil masuk ke babak semi final dan keluar sebagai juara tiga atau juara empat. Sepanjang musim, tim Galatasaray juga dapat membuat performa mereka tetap konsisten. Sayangnya, dengan adanya skandal ini berarti, mereka tidak bisa melanjutkan kesuksesan mereka.

Larangan bermain untuk Galatasaray menyebabkan Liga Turki kehilangan satu tim. Biasanya, ada 10 tim yang berlaga dalam turnamen tersebut. Kali ini, tampaknya hanya akan ada 9 tim yang bertanding. Namun, sampai sekarang, Riot belum memberikan penjelasan terkait penyesuaian apa yang akan mereka lakukan dalam liga di Turki tersebut.

N0tail Membalas Pernyataan Doublelift tentang Mechanical Skill di Dota 2 dan LoL

Beberapa hari lalu, Yiliang “Doublelift” Peng memberikan pernyataan di sesi livestream-nya, “Dota 2 memiliki lebih banyak hal untuk dipelajari dibandingkan League of Legends. Tetapi dalam hal mechanical skill, tidak demikian. Tidak mungkin dalam bermain Dota 2 membutuhkan mechanical skill yang lebih baik dibandingkan bermain League of Legends. Karena turnspeed yang lambat, tidak banyak skillshot, tidak banyak dash ability, terlalu banyak click stun. Jadi Dota 2 tidak memerlukan mechanical skill yang menonjol.”

Sumber: Twitch Doublelift
Sumber: Twitch Doublelift

Mechanical skill yang dimaksud di sini adalah, kemampuan untuk melakukan klik mouse dan menekan tombol komputer di waktu tepat seperti yang otak Anda inginkan. Mechanical skill yang tinggi berarti Anda bisa mengeksekusi lebih banyak atau lebih sulit aksi, dan membuat kesalahan yang lebih sedikit.

Tidak berselang lama setelah pernyataan Doublelift menjadi perbincangan di kedua komunitas Dota 2 dan League of Legends, Johan “N0tail” Sundstein membalas pernyataan Doublelift melalui akun Twitter miliknya. Ia membahas mengenai pertandingan profesional League of Legends yang berkesan membosankan, karena hanya terjadi sedikit upaya kill sampai menit 30.

Sumber : Twitter N0tail
Sumber : Twitter N0tail

Lalu Jack “KBBQDota” Chen yang merupakan caster Dota 2 di Amerika Serikat membalas Tweet N0tail, “kuncinya adalah untuk tidak bosan saat semua orang berada di lane sampai mereka satu tim cukup kuat untuk menaklukkan monster neutral. Lalu mereka memenangkan satu peperangan tim dan akhirnya pertandingan selesai.”

Sumber : Twitter N0tail
Sumber : Twitter N0tail

Menurut saya, isi pernyataan dari kedua pihak Doublelift dan N0tail memang tidak ada salahnya. Pasalnya, League of Legends memiliki lebih banyak skillshot dan dash ability ketimbang Dota 2 sehingga untuk bermain League of Legends membutuhkan mechanical skill yang lebih mumpuni. Tetapi pertandingan profesional di League of Legends memang jarang terjadi aksi bahkan sampai menit 30. Seringnya, kedua tim bermain aman dan melakukan farming atau hanya mendapatkan objektif yang memiliki resiko rendah saja. Tidak memiliki sistem buyback seperti di Dota 2 juga membuat pertandingan League of Legends memiliki lebih sedikit kemungkinan berbaliknya keadaan permainan. Sehingga bisa terjadi seperti apa yang dikatakan KBBQDota, butuh 1 peperangan tim saja untuk memenangkan pertandingan.

League of Legends lebih membutuhkan micro skill seperti kemampuan mechanical skill setiap pemainnya, sedangkan Dota 2 lebih membutuhkan macro skill yaitu pergerakan dan pengambilan keputusan satu tim secara keseluruhan. Dua game yang mirip tetapi berbeda.

Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda setuju?

Doublelift Sebut Mekanik Dota 2 Lebih Mudah Daripada League of Legends

Perseteruan antara Dota 2 dengan League of Legends (League) mungkin sudah seperti pertarungan abadi yang tak pernah berhenti. Sejak lama, komunitas dari kedua game saling berseteru, saling membandingkan gamenya satu sama lain. Pemain Dota menganggap League lebih mudah dan juga sebaliknya.

Tak hanya komunitas secara umum saja, sosok ternama di skena kompetitif League juga memberi pendapatnya soal Dota. Dia adalah Yiliang Peng (Doublelift), pemain ADC Team Liquid untuk pada League of Legends Championship Series. Dalam sesi streaming di Twitch, ia memperbincangkan soal beberapa hal, salah satunya adalah pendapatnya tentang Dota.

Secara tegas ia mengatakan bahwa Dota lebih mudah secara mekanik permainan dibandingkan dengan League. Tapi lebih lanjut, ia menjelaskan kembali argumentasinya. Menurutnya Dota memang lebih sulit jika bicara soal item yang beranekaragam, kombinasi hero, build, dan ragam halang rintang yang ada di map permainan.”Tapi kalau secara mekanik permainan, jelas tidak. Tidak mungkin Dota punya kebutuhan kemampuan mekanik yang lebih tinggi daripada League.” tukasnya dalam streaming.

Week 7 Day 2 at 2018 NA LCS Summer Split in Los Angeles, California, USA on 5 August 2018. Sumber: Riot Games
Sumber: Riot Games

Seperti yang Anda ketahui, item di Dota memang sangat beragam, baik fungsi pasifnya atau aktifnya. Belum lagi setelah Outlanders Update, jumlahnya semakin membengkak karena kehadiran mekanik drop item dari Neutral Creep.

Melanjutkan maksudnya, soal mekanik yang dia sebut adalah perbandingan eksekusi ability hero/champion Dota dengan League. Menurutnya, ekseskusi ability hero di Dota cenderung lebih mudah, beberapa hero hanya perlu klik musuh dan ability kena musuh secara otomatis. Sementara dalam League, Anda tidak bisa melakukan hal tersebut. Banyak ability di dalam League yang bersifat skillshot, maksudnya adalah ability yang tidak mendarat secara otomatis, melainkan harus diarahkan sambil memprediksi gerakan musuh agar ability tersebut jadi kena musuh.

Seakan ingin Doublelift meneguhkan argumentasinya, ia lalu bercerita bahwa dirinya juga pernah bermain Dota 2. “Saya pernah main Dota selama beberapa saat, saya bahkan bisa membantai pemain-pemain di pub dengan mudah. Tapi saya sadar, keadaan tentu jadi beda jika saya main melawan pemain pro.”

Saya sendiri setuju dengan apa yang dikatakan oleh Doublelift. Namun agar Anda bisa mendapat sudut pandang lebih jelas, Dota dengan League sebenarnya hanya punya kesulitannya masing-masing saja. Benar yang dikatakan Doublelift, League lebih sulit dalam segi mekanik mikro, yang berasal dari kemampuan individual. Anda tidak bisa melempar ability secara sembarangan, karena ability tidak mendarat secara otomatis, harus diarahkan. Belum lagi beberapa champion juga punya ragam kemampuan yang memungkinkan mereka menghindari ability yang dilempar oleh musuh.

Sementara di sisi lain, Dota memang punya mekanik individu yang cenderung lebih mudah, namun lebih kompleks dari sisi gameplay secara umum. Kompleksitas yang dimaksud adalah soal kombinasi hero dengan item terbaik, Talent dan sebagainya. Belum lagi pada level kemampuan tertentu, Anda juga harus memahami kontur tanah dan pola pohon-pohon yang ada di berbagai area permainan, agar dapat juking atau menggocek musuh.

Jadi tak perlu saling berkelahi, karena sebenarnya Dota dan League sudah beda gameplay, dengan kompleksitasnya masing-masing.

Sumber header: Riot Games

Harrisburg University Buka Jurusan Sarjana Esports

Harrisburg University yang berlokasi di Pennsylvania memang kampus yang sangat aktif menjalankan kegiatan esports. Pasalnya, mereka memulai kegiatan esports dari tahun 2018 dengan mendirikan tim esports kampusnya dan memiliki esports arena sendiri. Tim kampus Harrisburg University yang bernama HU Storm juga telah memenangkan Collegiate Overwatch National Championship 2019. Harrisburg University menyediakan beasiswa untuk para atlet esports untuk game League of Legends, Overwatch, dan Hearthstone.

Sumber: technical.ly
Sumber: technical.ly

Berlanjut ke tahap selanjutnya, Harrisburg University membuka program sarjana esports di kampusnya. Program sarjana ini mengajarkan mahasiswa untuk menjadi media content creator, event manager, coach, team manager, marketing manager, analyst, dan yang lainnya. Dikutip dari website Harrisburg, program ini bukan tempat latihan menjadi atlet esports tetapi untuk para mahasiswa yang memiliki passion di esports dan ingin memulai karir di industri esports tersebut. Program ini akan dimulai pada tahun 2020 mendatang.

Tidak heran apabila Harrisburg University giat sekali dalam kegiatan esports. Di dalamnya terdapat orang-orang yang berpengalaman dan memiliki passion di esports. Chad “History Teacher” Smeltz merupakan mantan pelatih dan manager dari tim-tim besar League of Legends di Amerika Serikat seperti Immortals dan NRG esports. Chad merupakan lulusan dari Harrisburg University dan memiliki pengalaman mengajar sejarah di sekolah menengah atas di sana. Pada Harrisburg University, Chad berperan sebagai esports Program Director.

Untuk pelatih Overwatch, Harrisburg University menghadirkan Joe “Joemeister” Gramano. Joemeister merupakan mantan pemain professional yang bermain di Overwatch League di bawah tim Philadelphia Fusion dan menjadi perwakilan Kanada untuk Overwatch World Championship 2017.

Joe "Joemeister" Gramano | Sumber: Dotesports
Joe “Joemeister” Gramano | Sumber: Dotesports

Pelatih League of Legends untuk Harrisburg University juga tidak main-main. Mereka menghadirkan Alex “Xpecial” Chu. Mantan pemain professional di North America LCS yang pernah berada di bawah naungan tim Team Liquid dan Team Solo Mid. Ialah yang membawa tim HU Storm meraih juara di Midwest Campus Clash.

Bekerja Sama Dengan Nerd Street Gamers

John Fazio | Sumber: Bizjournals
John Fazio | Sumber: Bizjournals

Nerd Street Gamers adalah penyelenggara acara dan penyedia fasilitas esports yang berbasis di Philadelphia. Nerd Street Gamers akan berperan sebagai partner dan penasihat dari program sarjana esports di Harrisburg University. Dikutip dari website Nerd Street Gamers, John Fazio selaku CEO dari Nerd Street Gamers berkata “program baru dari Harrisburg University akan menciptakan bibit pelaku industri esports yang professional. Membangun infrastruktur di esports bukan hanya menemukan pemain yang berbakat, tetapi juga memberikan sarana bagi mereka yang ingin berpartisipasi dan program edukasi bagi para talenta muda di esports.

 

Pemerintah Jerman jadi yang Pertama Keluarkan Visa untuk Esports

Pada tahun 2020 nanti, Jerman akan menerapkan peraturan imigrasi baru yang dinamakan skilled imigration act. Peraturan baru ini akan mempermudah tenaga kerja professional yang terkualifikasi dari luar negara-negara Eropa untuk bekerja di Jerman. Organisasi esports Jerman yaitu ESBD telah bertahun-tahun berusaha melegitimasikan esports menjadi sebuah pekerjaan resmi di Jerman. Hasilnya, visa untuk esports akan masuk ke dalam peraturan skilled imigration act pada bulan Maret tahun 2020 nanti.

Beberapa kondisi harus diperhatikan agar bisa mendapatkan kualifikasi untuk mendapatkan visa esports di Jerman: minimal berusia 16 tahun, jumlah gaji tertentu yang telah disetujui dan dikonfirmasi dari federasi Esports yang berwenang.

Sumber: fluxfm
Hans Jagnow | Sumber: fluxfm

Dikutip dari esportbund.de, Hans Jagnow selaku presiden dari ESBD mengatakan, “esports visa ini akan sangat membantu acara-acara esports yang akan diadakan di Jerman. Kami adalah negara pertama yang berhasil mengeluarkan visa khusus untuk esports. Diharapkan semakin banyak lagi acara-acara esports yang akan diadakan di Jerman.”

Di acara esports bertaraf internasional, sudah pasti banyak pihak-pihak yang terlibat yang berasal dari luar negeri. Mengingat cukup banyak kasus penolakan visa terhadap atlet esports sehingga mereka batal mengikuti turnamen, berkat adanya visa ini, semua urusan imigrasi akan dipermudah dan bagi pihak penyelenggara acara tidak usah memusingkan permasalahan imigrasi.

Selain mempermudah penyelenggaraan acara esports di Jerman, visa esports ini juga mempermudah organisasi yang berbasis di Jerman untuk memperkerjakan pemain-pemain dari luar negara-negara Eropa. Sehingga pemain tidak perlu memikirkan kesulitan mendapatkan visa untuk bekerja di organisasi tim esports Jerman.

Sumber: NYTimes
Sumber: NYTimes

Jerman sendiri terbilang cukup sering menjadi tuan rumah acara esports yang berskala besar seperti, League of Legends Championship Series Eropa, CS:GO Starladder Berlin Major, dan PUBG Global Invitational Berlin.

Meski Jerman menjadi negara pertama yang mengeluarkan visa khusus untuk kebutuhan esports, menariknya, esports sendiri juga sempat mengalami penolakan di sana. Di 2018, federasi olimpiade olahraga Jerman (DOSB) pernah mengeluarkan sebuah laporan yang mencoba menjawab sebuah pertanyaan: apakah esports bisa dikategorikan sebagai sebuah olahraga. Kala itu, mereka menjawab dengan gamblang, “tidak.” Menurut laporan tersebut, jika dibandingkan dengan olahraga, esports ada di ‘galaksi’ yang berbeda. Justifikasi mereka kala itu adalah tuntutan fisik yang dimiliki oleh olahraga.

Umumkan Pacific Championship Series, Riot Gabungkan LMS dan LST

Ekosistem esports League of Legends besar secara internasional, hampir tidak diragukan lagi. Terakhir kali, Riot sempat melaporkan bahwa laga final Worlds 2019 ditonton 21,8 juta orang penonton Average-Minute-Audience. Namun demikian, satu yang mungkin terlewat dari ekosistem League of Legends adalah pasar Asia Tenggara, Hong Kong dan Taiwan yang masih kurang maksimal.

Demi menggarap lebih serius ekosistem esports League of Legends di Hong Kong, Taiwan dan SEA (disebut juga GSEA alias Greater SEA), Riot Games mengumumkan akan menyelenggarakan LoL Pacific Championship Series (PCS). Ini akan jadi liga antar-regional dan multi-kota, karena diikuti oleh tim-tim berpengalaman dari Hong Kong dan Taiwan dari liga LMS, serta pendatang baru penuh potensi dari regional SEA yang datang dari LST.

PCS diselenggarakan lewat kerja sama Riot Games dengan pihlstak Fun Plus Esports selaku penyelenggara, dan Garena sebagai penerbit League di area Asia Tenggara. Chris Tran selaku Riot Games SEA Head of Esports sempat menceritakan pandangannya terhadap PCS. “Tim, pada dasarnya adalah jiwa dari suatu liga. Kami bangga bisa bekerja sama dengan tim terbaik yang dahulu bermain di LMS (liga regional Taiwan, Hong Kong, Macau), organisasi esports terbaik di Asia Tenggara, dan akhirnya meluncurkan PCS.” Cakap Chris.

Sumber: Esports Insider
Sumber: Esports Insider

“Fokus kami adalah bekerja bersama dengan tim untuk menumbuhkan fan-base tim dan meningkatkan kemampuan kompetitif mereka sambil membuka kesempatan-kesempatan bisnis secara finansial.” Untuk memastikan keberlanjutan PCS, tim peserta dipilih dan diseleksi secara seksama selama berbulan-bulan. Proses dilakukan mengikuti kebijakan operasional liga Riot Games. “Kami telah mengundang tim dari organisasi dengan kemampuan finansial yang bertanggung jawab dan punya pemahaman bersama dalam pengembangan fan-base.” Chris menambahkan.

Saat ini sudah ada 9 tim yang dipastikan bergabung ke dalam PCS. Masih ada sisa satu slot tim ke-10 yang akan dimumumkan tahun baru mendatang. Berikut tim peserta serta profil singkatnya.

  • ahq eSports Club (Taipei) – Berdiri sejak September 2012, ahq adalah salah satu tim dengan banyak penggemar di regionalnya. Mendapatkan kesuksesan prestasi secara kompetitif di berbagai titel esports, termasuk AOV. Mereka juga sempat beberapa kali mewakili regional LMS di beberapa kompetisi tingkat dunia.
  • Alpha Esports (Taipei) – Memulai debut pada season 9 LMS dengan roster baru, Alpha mencoba membuat namanya di PCS 2020 nanti.
  • G-Rex Gaming (Hong Kong) – Dimiliki Emperor Entertainment Group, G-Rex Gaming adalah salah satu perusahaan entertainment yang dihormati di Hong Kong. Walau pengalaman mereka masih muda di dunia esports, namun G-Rex sempat mewakili LMS di Worlds 2018.
  • Hong Kong Attitude (Hong Kong) – Berdiri sejak 2013, HKA kerap dianggap sebagai organisasi esports top di region Hongkong, dan telah berkali-kali mewakili di pertandingan tingkat internasional, termasuk Worlds 2019.
  • J Team (Taipei) – Memulai debut di LMS Summer Split 2016, tim ini secara konsisten menempatkan diri sebagai salah satu tim papan atas di regional. Performa mereka teramat apik di 2019, memenangkan LMS Summer Split, dan mendapatkan tempat di Worlds 2019. J Team merupakan organisasi esports yang dimiliki oleh musisi ternama Taiwan, Jay Chou.
  • Liyab Esports (Manila) – Dalam jangka waktu yang singkat, Liyab berhasil menjadi wajah esports Filipina. Walau mengalami rebrand (sebelumnya bernama Mineski) dan perubahan nama, jiwa tim ini tetaplah tim Filipina yang haus akan pengakuan di kancah regional.
  • Nova Esports (Bangkok) – Di kancah mobile esports, Nova telah memenangkan beragam kompetisi internasional selama beberapa tahun belakangan. Mereka berkomitmen untuk membawa DNA mereka sebagai juara ke dalam PCS. Dengan kultur dan playstyle yang unik, mereka berencana untuk menaklukan jagoan lama di kancah profesional League of Legends.
  • Resurgence (Singapore) – Terbentuk tahun 2017, Resurgence yang merupakan organisasi esports asal Singapura punya visi untuk mengangkat derajat skena esports Asia Tenggara di mata dunia.
  • Talon (Hong Kong) – Merupakan organisasi esports yang punya taring di beberapa titel esports, di beberapa regional, termasuk Hong Kong, Taiwan, South Korea, dan Thailand. Mereka sudah menatap kompetisi di PCS dan berkomitmen untuk memberikan fan-experience yang menggembirakan.
Sumber: Riot Games Official Worlds 2019 Documentation.
Hong Kong Attitude, salah satu tim yang sempat menyedot perhatian di gelaran Worlds 2019. Sumber: Riot Games Official Worlds 2019 Documentation

Untuk sementara, kompetisi PCS akan diselenggarakan secara online. “Memberi kesempatan kepada fans untuk menikmati kompetisi secara langsung adalah hal yang penting bagi kami. Namun kami masih mencari kesempatan untuk mewujudkan hal ini.” ucap Kevin Pai, CEO FunPlus Esports. Liga akan berjalan menggunakan format best-of-one, dengan double elimination saat Season Finals nanti.

PCS akan mulai bertanding pada 8 Februari 2020 mendatang, dan akan ditayangkan dengan menggunakan bahasa Inggris, Mandarin, dan Thailand. Lebih lanjut, informasi seputar jadwal dan sebagainya akan hadir di laman resmi PCS yang akan diluncurkan jelang liga dimulai. Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat mengikuti Facebook Page resmi LoL Pacific Championship Series.

Sumber header: LoL Pacific Championship Series Official Page