Memahami Karakteristik Pola Belanja Konsumen Ritel Indonesia

Bisnis ritel adalah salah satu sektor dominan perekonomian Indonesia. Terlebih, kehadiran layanan e-commerce jadi channel penjualan yang bisa diandalkan karena potensi eskalasinya yang lebih besar daripada mengandalkan jalur offline.

Berdasarkan riset dari Accenture, pada tahun 2022 bisnis ritel akan mengalami pertumbuhan hingga US$71,3 miliar untuk kawasan Asia Pasifik. Naik berkali-lipat dari tahun 2017 yang sebesar US$5,97 miliar.

Untuk Indonesia sendiri, pada tahun lalu bila dilihat dari distribusi toko ritel antara toko modern dengan tradisional masih didominasi oleh toko tradisional (82,3%). Data ini menghasilkan masih dilakukannya strategi pembukaan mom & pop shops (toko fisik dengan luas mini) yang dinilai lebih efektif.

“Akan tetapi strategi ini tidak akan berlaku lama, buat negara seperti Indonesia dan India. Sebab infrastruktur internet ke depannya akan semakin matang dan e-commerce akan jadi kunci ekspansi pasar,” terang Managing Director Technology Consulting Accenture Leonard Nugroho T. di sela-sela diskusi Internet Retailing Expo Indonesia 2018, Kamis (25/1).

Menurutnya, peritel ke depannya harus memfokuskan diri pada strategi menangkap potensi kelompok besar konsumen yang akan muncul. Pasalnya, kelas menengah ekonomi di Indonesia diprediksi tumbuh 40% mencapai 69 juta orang.

Caranya dengan strategi Route to Market (RTM), sebuah metodologi sederhana yang diklaim ampuh untuk mendorong pertumbuhan yang menguntungkan. Dalam metodologinya, peritel harus mengidentifikasi arketipe dan kebutuhan yang harus dipenuhi untuk para konsumen.

Ada dua sistem koordinat yang harus diperhatikan yakni market maturity index (terletak di Y axis), terdiri atas retail mix, digital maturity, dan infrastruktur digital. Juga, consumer maturity index (terletak di x axis), terdiri atas consumer clusters, shape of consumption, dan digital penetration. Setelah itu, bentuk model dan strategi RTM sehingga sesuai dengan target pasar.

“Peritel harus tahu siapa konsumennya, hanya dengan itu peritel bisa memenangkan pasar. Sebab pada dasarnya semua transaksi sekarang harus seamless, sehingga pengalaman konsumen itu jadi unsur penting,” pungkas Leonard.

Hasil survei dari Snapcart

Berbicara dari riset yang dijabarkan Accenture, Snapcart turut mendukungnya dengan sejumlah survei yang sudah dilakukan di Indonesia. Menurut Chief Revenue Officer Snapcart Soon Lee Lim, omnichannel adalah cerminan penuh dari karakteristik konsumen Indonesia. Oleh karenanya, kedekatan dan kenyamanan jadi penting bagi mereka.

“Ini bukan tentang offline vs online. Namun bagaimana peritel bisa mencari solusi agar pertemuan dengan pembeli bisa lebih baik dengan memanfaatkan omni channel,” terang Soon.

Ritel modern memiliki berbagai jenis mulai dari hypermarket, supermarket, minimarket, general trade, dan e-commerce. Dari kelima jenis tersebut, bila ditelaah lebih dalam berdasarkan tujuan pembelian menjadi planned, immediate, dan experiential.

Menariknya, orang Indonesia baru menggunakan layanan e-commerce sekadar untuk experiential (80%) daripada planned (6%) dan immediate (14%). Kebanyakan masyarakat masih memanfaatkan hypermarket dan supermarket saat berencana (planned, persentasenya sekitar 56%) ingin membeli produk.

Minimarket dan general trade jadi pilihan ketika masyarakat ingin segera membeli barang (immediate dengan persetase sekitar 47%).

“Masyarakat banyak yang menyebut hambatan saat berbelanja online adalah waktu pengiriman, tidak praktis, dan biayanya. Maka dari itu, harus ada solusi yang bisa menyelesaikan semua hambatan tersebut,” pungkas Soon.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Internet Retailing Expo Indonesia 2018

Survei SWA & Accenture: Perusahaan B2C Lebih Siap Lakukan Transformasi Digital

Majalah SWA dan perusahaan konsultasi Accenture mengumumkan hasil survei sementara mengenai pemetaan tingkat kedewasaan bertransformasi digital di berbagai sektor industri di Indonesia.

General Manager Business Digest SWA R. Purnadi menuturkan survei ini sebenarnya masih terus bergulir dan belum mencapai kesimpulan akhir. Hasil sementara menunjukkan tingkat kedewasaan lebih baik diserap oleh industri yang bergerak di B2C, yakni perbankan, teknologi informasi, telekomunikasi, dan asuransi.

“Kita mau lihat tingkat pemahaman dan penerapan teknologi digital di berbagai sektor industri. Sebab tingkat pemahamannya itu bisa berbeda-beda. Mungkin ada yang anggap digital itu terkait proses bisnis internal, tapi sebenarnya bisa lebih dari itu,” terangnya dalam Digital Summit Indonesia 2017, Rabu (8/11).

Industri pendidikan dan media menempati posisi di tengah-tengah. Sementara, sektor yang paling lambat menyerap digital dan berada di posisi akhir adalah industri yang bergerak di B2B berbasis komoditas yaitu, manufaktur, transportasi, dan minyak & gas.

Rentang waktu survei dilakukan mulai dari September 2017-Desember 2017. Jumlah responden yang terkumpul sebanyak 54 orang. Mereka berasal industri pendidikan 24%, telekomunikasi 20%, manufaktur 17%, perbankan 9%, media 7%, IT 5%, asuransi 6%, transportasi 6%, dan migas 6%.

Responden yang diambil berasal dari kalangan eksekutif C-level ke atas dengan latar belakang perusahaan skala menengah hingga atas. Metode yang dilakukan adalah kuantitatif dengan menyebar survei secara online. Untuk penilaian kematangan menggunakan indeks dengan rentang angka dari 0 sampai 5.

Secara rerata, dari sembilan industri yang disurvei tingkat kedewasaannya terhadap transformasi digital mencapai 3,91. Ada empat indeks poin transformasi digital yang disoroti, yaitu digital strategy dengan nilai keseluruhan 3,95, digital consumer 3,86, digital enterprise 3,98, dan digital operation 3,98.

Namun bila disoroti lebih dalam untuk masing-masing poin ada yang menarik. Digital strategy sangat diperhatikan oleh industri perbankan, teknologi, dan telekomunikasi. Indeksnya secara rerata untuk ketiga industri ini ada di kisaran 4,00 sampai 4,5.

Untuk digital customer, tidak hanya didominasi oleh tiga sektor unggulan, tapi juga ada industri pendidikan. Digital enterprise menjadi daerah yang sangat disoroti oleh industri media. Sedangkan digital operation sangat diperhatikan oleh industri perbankan.

Purnadi menyimpulkan industri dengan penetrasi teknologi yang tinggi seperti teknologi dan telekomunikasi memang wajar bila adopsi digitalnya sudah cukup matang. Namun bagi perbankan dan asuransi pertimbangan transformasi digital sangat tinggi karena ini berkaitan dengan keamanan data nasabah.

Inilah yang menyebabkan indeks digital consumer dalam dua industri ini cukup tinggi, perbankan 4,18 dan asuransi 3,83. Sedangkan untuk industri dengan evolusi pemanfaatan teknologi yang kurang, seperti manufaktur, transportasi, dan migas cenderung belum begitu memerhatikan transformasi digital.

Dari empat poin digital yang disoroti, sambung Purnadi, digital enterprise dan digital operation menjadi poin yang paling banyak diperhatikan oleh seluruh industri dibandingkan digital costumer. Dengan kata lain, perhatian pemimpin perusahaan dalam transformasi digital sangat dipengaruhi untuk kebutuhan internal perusahaan.

Mengatasi tantangan transformasi digital

Managing Director Technology Consulting Accenture Leonard Nugroho Tjiptoadikusumo menambahkan ada sembilan tantangan yang dihadapi setiap perusahaan saat mengadopsi teknologi digital. Namun keseluruhan masalah tersebut bisa diatasi dengan solusi yang bisa diterapkan.

Poin masalah mulai dari kelimpahan data, migrasi data ke sistem yang berbeda, membaca data, budaya perusahaan yang kaku, memisahkan digital, dan keamanan.

“Ambil contoh untuk kelimpahan data (data noise), banyak yang belum mengerti bagaimana validasinya. Padahal sebenarnya bisa di-over cut dengan data analytics dan media sosial bagaimana membuat data jadi lebih menarik,” kata Leonard.

Untuk solusi yang bisa dipakai dalam mengatasi masalah, sambung Leonard, perusahaan dapat memanfaatkan media sosial, analisis, aplikasi, mobilitas, cloud/IoT, dan server. Keseluruhan solusi ini menjadi enabler bagi kesembilan masalah tersebut.

Menurutnya, tidak semua sektor menerima dampak digitalisasi yang sama. Ada tiga elemen sebagai tolak ukur untuk menganalisis dampak dari digitalisasi, yakni defend, differentiate, dan distrupt. Ketiganya membantu perusahaan menentukan ruang lingkup, kedalaman dan luas dari setiap bidang proyek diagnostik.

“Dengan mengombinasikan ketiga elemen tersebut, kemungkinan akan menghasilkan terobosan baru buat perusahaan agar tetap sejalan dengan perkembangan zaman,” pungkas Leonard.