MIT Kembangkan Robot yang Bisa Dikendalikan Dengan Pikiran

Di tahun 2011, Toyota sempat mengembangkan sepeda Prius berkemampuan thought-control. Kendaraan roda dua itu punya kemampuan untuk membaca gelombang otak dan menerje-mahkannya menjadi perintah untuk mengganti gigi. Pencapaian ini sangat mengagumkan, namun bagi mayoritas orang, mengendalikan sesuatu hanya berbekal pikiran baru ada di alam fiksi ilmiah.

Itu alasannya upaya yang dilakukan para peneliti Massachusetts Institute of Technology baru-baru ini terdengar luar biasa. Tim Computer Science and Artificial Intelligence Laboratory berhasil membuat robot yang dapat dikendalikan berbekal pikiran. Ketika robot biasa bekerja berbasis program atau dikendalikan langsung operator, manusia hanya berperan sebagai supervisor bagi robot MIT ini.

Cara kerja kreasi CSAIL itu sangat simpel. Berbekal robot Baxter buatan Rethink Robotics, sistem buatan tim ilmuwan bisa mendeteksi gelombang otak secara real-time. Yang tinggal Anda lakukan adalah mengawasinya bekerja. Lalu jika ia keliru dalam bertindak, Anda dapat mengoreksinya dengan menggerakkan tangan. Kemampuan sang robot dipamerkan oleh tim CSAIL melalui satu video singkat, silakan simak di bawah.

Di video, CSAIL memperlihatkan seorang ‘pengawas’ memerintahkan robot membor satu dari tiga titik di tubuh mock-up pesawat terbang. Saat robot itu keliru, supervisor tinggal menggerakkan tangannya hingga robot mengarahkan bor ke posisi yang tepat. Hal terbaik dari metode penyajian ini adalah: robot bisa dioperasikan oleh siapapun tanpa memerlukan pelatihan khusus mengingat ‘interface-nya’ sangat sederhana.

Buat mengontrol robot, Anda perlu memasang topi berisi rangkaian sensor otak (EEG atau electroencephalography) dan menyematkan elektroda EMG di tangan agar sistem dapat menangkap sinyal listrik di otot. Sinyal otak diproses buat mencari ‘error-related potentials‘ yang dihasilkan pikiran tanpa disadari, kemudian sinyal otot secara terus menerus dibaca untuk menentukan sasaran yang tepat.

Mengendalikan robot dengan otak pada dasarnya menuntut Anda untuk berpikir dalam cara tertentu agar sensor bisa menerjemahkan perintah secara tepat. Tak masalah jika pengoperasian dilakukan di laboratorium tertutup, tapi bagaimana jika Anda diminta mengendalikan robot di suasana gaduh?

Itulah mengapa kemampuan memindai ‘error-related potentials‘ menjadi krusial. Teknologi tersebut dapat mengetahui kesalahan begitu Anda menyadarinya dan segera menghentikan gerakan robot. Jika betul-betul diperlukan, supervisor bisa mengambil alih kendali secara manual.

Berbekal pengawasan manusia dan solusi berbasis EEG serta EMG, CSAIL melaporkan bahwa keakuratan robot Baxter meningkat dari 70 persen menjadi 97 persen.

Sumber: MIT.

Dengan Wujud Seperti Ikan, Robot ‘SoFi’ Bisa Mudah Membaur Dengan Satwa Air Lain

Di ranah robotik, para ilmuwan sudah lama memanfaatkan alam sebagai sumber inspirasi mereka. Ada banyak robot yang dibuat mengikuti hewan, misalnya salamander atau kelelawar. Konsep desain biomimicry ini biasanya diadopsi dalam pengembangan sistem pergerakan atau sensor. Namun kreasi anyar MIT ini digarap untuk keperluan yang lebih praktis.

Minggu ini, tim Computer Science and Artificial Intelligence Laboratory Massachusetts Institute of Technology memperkenalkan karya unik baru mereka. CSAIL menamainya SoFi (kependekan dari Soft Robotic Fish) yaitu robot yang dirancang seperti ikan baik dalam wujud maupun gerakan, sehingga ia tak kesulitan berbaur dengan hewan air lain. SoFi dikembangkan buat membantu para ilmuwan maritim mempelajari kehidupan laut secara lebih mudah dan komprehensif.

Lewat video yang diunggah CSAIL di YouTube, Anda bisa melihat langsung bagaimana alaminya SoFi berenang. Tubuhnya memiliki penampilan hydrodynamics seperti ikan, lengkap dengan sirip atas, samping serta belakang. SoFi juga mampu menggerakkan bagian tubuh belakangnya secara natural, sekaligus menjadi cara untuk melaju dalam air. Selain itu, robot ikan ini bisa bergerak lincah, mampu melintas di bawah koral atau celah-celah sempit.

Dilihat lebih dekat, tubuh SoFi terbagi dalam beberapa ruas. Modul kamera menggantikan mata serta mulut di kepalanya. Dan di bagian tersebut, CSAIL menyematkan komponen-komponen elektronik serta komputer berbasis Linux. Untuk menggerakan buntutnya yang terbuat dari bahan silikon elastis, tim ilmuwan memanfaatkan pompa hidraulik, lalu menambahkan busa urethane buat memberi robot daya apung.

Ada banyak hal yang membuat SoFi lebih unggul dari alat pengawas kehidupan maritim lain. Selain mudah menyamar, proses setup-nya lebih sederhana, kemudian robot juga ditenagai oleh baterai lithium polymer (biasa ditemukan di smartphone) dengan durasi aktif hingga 40 menit. Proses pengendalian dapat dilakukan dari jauh via remote control (CSAIL menggunakan controller USB ala gamepad SNES plus case anti-air), lalu apa yang dilihat SoFi bisa langsung ditampilkan di layar.

“Sepengetahuan kami, ini pertama kalinya robot ikan bisa berenang secara tiga dimensi tanpa tertambat dalam waktu lama,” ujar Robert Katzschmann dari CSAIL pada Science Robotics. “Kami sangat bersemangat untuk melihat lebih jauh pemanfaatannya dalam mempelajari kehidupan maritim.”

Katanya, manusia lebih memahami permukaan bulan dibanding isi lautan di Bumi. Mungkin dengan bantuan SoFi, kita dapat lebih cepat menguak rahasia samudra. Bulan lalu, para peneliti berhasil merekam spesies hiu Arktika yang sangat langka. Siapa tahun ada lebih banyak makhluk unik yang nantinya bisa SoFi temukan.

Sumber: MIT News.

Dermal Abyss Ialah Tato ‘Pintar’ yang Bisa Memantau Kondisi Tubuh Kita

Salah satu fungsi utama perangkat wearable adalah membantu pengguna mengetahui keadaan tubuhnya. Informasi umumnya disuguhkan lewat UI yang mudah dipahami, dan di sana, kita bisa melihat frekuensi detak jantung hingga jumlah pembakaran kalori per hari. Namun ‘wearable‘ baru buatan tim dari MIT dan Harvard bukan hanya berbeda, tapi juga mampu mendeteksi data tubuh lebih detail.

Penemuan tersebut diberi nama Dermal Abyss, tato pintar yang berfungsi memonitor kesehatan tubuh. Ia dirancang sebagai jawaban atas kelemahan umum dari perangkat wearable standar: device tidak betul-betul terintegrasi ke badan, sangat bergantung pada konektivitas wireless, lalu daya tahan baterainya juga terbatas. Metode tato memastikan sensor betul-betul menempel pada kulit, tanpa memerlukan injeksi.

Dermal Abyss memanfaatkan bahan tinta biosensitive, dikembangkan oleh peneliti dari Harvard Medical School dan dipimpin doktor Katia Vega dari MIT Media Lab. Tinta tersebut berperan baik sebagai sensor sekaligus interface untuk menyajikan informasi. Cara kerja Dermal Abyss sangat unik: tinta tato bisa berubah berdasarkan kadar zat kimia pada cairan yang ada di permukaan kulit.

Kondisi cairan yang ada di kulit dipercaya bisa merepresentasikan persentase zat kimia di darah. Glukosa ditunjukkan oleh perubahan warna hijau ke coklat, lalu kombinasi tinta hijau lain dan cahaya biru dimanfaatkan buat mendeteksi kenaikan konsentrasi sodium sebagai indikator dehidrasi. Selain itu, tingkat keasaman cairan (pH) juga dapat mengekspos data-data lainnya.

Saat ini Dermal Abyss masih dikembangkan, hadir berupa proof-of-concept. Di sesi uji coba, Dermal Abyss dibubuhkan pada kulit babi, dan tato bekerja efektif dalam menampilkan warna berbeda berdasarkan kadar zat kimia di sana. Tim ilmuwan sedang mecari cara untuk menstabilkan tinta, sehingga gambar yang ada di kulit tidak mudah pudar atau larut ke jaringan di sekitarnya.

Ali Yetisen, seorang doktor yang berpartisipasi dalam proyek tersebut, menjelaskan bagaimana Dermal Abyss dapat dimanfaatkan di beragam ranah. Sebagai contohnya, tato ini bisa diaplikasikan ke pasien penyakit kronis atau sekedar dijadikan alat pemantau keadaan tubuh. Jika Anda tidak suka tato (karena alasan estetika atau ‘spiritual’), implementasinya bisa menggunakan tinta tak kasatmata, dan indikator warna hanya muncul di bawah tertentu – UV atau sekedar LED smartphone.

Namun bahkan jika para ilmuwan sudah menemukan solusinya, tato pintar ini berpeluang memicu perdebatan terkait etis atau tidaknya jika informasi kesehatan seseorang diekspos ke publik.

Sumber: Harvard.

Biologic Ialah Teknologi Pakaian Pintar Dengan Sel Hidup, Bisa Bereaksi Terhadap Kondisi Tubuh

Berbicara soal perangkat wearable, bayangan kita akan tertuju pada bagaimana alat tersebut membantu menyempurnakan aspek konektivitas, misalnya menyajikan notifikasi app atau membuat Anda selalu terhubung. Namun dalam pengembangan baju pintar terbarunya, tim MIT fokus pada salah satu aspek dasar penciptaan pakaian: menjaga kenyamanan penggunanya.

Dalam mengembangkannya, metode yang dilakukan para peneliti Tangible Media Group di Massachusetts Institute of Technology sangat tidak biasa. Mereka memanfaatkan teknologi biohybrid Biologic (ditulis bioLogic) di pakaian bernama Second Skin. Keunikan dari Biologic adalah penggunaan sel hidup mikroba demi memastikan baju tersebut memberikan sistem sirkulasi udara terbaik.

Biologic 1

Dipimpin oleh Wen Wang, tim ilmuwan menggunakan teknik bioprinting untuk melapisi bahan lateks dengan sel bakteri E. coli. Layer mikroba mengapit lateks, berada di sisi terluar dan terdalam pakaian. Anda mungkin bertanya-tanya apa fungsinya. Dari penjelasan Wang kepada Digital Trends, sel hidup dipilih karena sensitif terhadap tingkat kelembapan lingkungan di sekitarnya – berukuran kecil ketika kering dan membengkak saat basah.

Jadi sewaktu Second Skin terekspos ke temperatur tinggi atau kondisi lembap, sel akan berubah ukuran dan menyebabkan bahan lateks jadi ikut bertransformasi. Saat Anda mulai berkeringat, lipatan-lipatan di pakaian akan tergulung, menciptakan jendela sirkulasi lebih lebar, memungkinkan udara mengalir lebih baik dan membuat suhu cepat turun

Sel bakteri tersebut dikembangkan dan dipanen di laboratorium, disusun dalam ‘resolusi micron’ demi menciptakan ‘kulit kedua’. Dan bukan cuma faktor kenyamanan yang jadi perhatian Tangible Media Group, mereka juga ingin memastikan kemampuan Biologic bertahan lama. Untuk mengujinya, lipatan-lipatan tersebut dilembabkan dan dikeringkan sebanyak 100 kali, dan kabar gembiranya, tidak ada pengurangan kemampuan menggulung.

Meskipun unit purwarupa dituangkan dalam wujud pakaian, teknologi Biologic rencananya akan turut diimplementasikan ke bidang lain, misalnya dalam perancangan perabotan rumah tangga dan produk aksesori. Sebelumnya, peneliti sempat menciptakan ‘kantong teh hidup’, di mana sel tersebut dapat memberi tahu kita sewaktu teh sudah jadi. Lalu MIT juga pernah bereksperimen untuk membuat tutup lampu yang bisa mengubah pola tergantung dari tingkat panas.

Biologic 2

Menariknya lagi, teknologi ini kemungkinan bisa kita nikmati dalam waktu yang tak terlalu lama. Tangible Media telah menggandeng New Balance untuk menerapkan sistem Biologic ke produk pakaian olahraga, kabarnya disiapkan buat Olimpiade 2020 di Jepang.

Sumber: MIT.

Rovables Ialah Robot Mungil Sekaligus Perangkat Wearable

Di tahun 2004, perusahaan CuteCircuit memperkenalkan pakaian terkoneksi HugShirt, menandai terobosan besar penerapan teknologi wearable di dunia fashion. Istilah perangkat wearable mengacu pada aksesori yang menyimpan kemampuan komputasi, umumnya bersifat statis. Menariknya, kreasi baru para ilmuwan berpotensi menghadirkan inovasi selanjutnya di bidang ini.

Dalam konferensi ACM User Interface Software and Technology Symposium ke-29 di Tokyo, tim peniliti gabungan dari Massachusetts Institute of Technology dan Stanford memamerkan perpaduan antara robot dengan wearable device. Karya unik tersebut mereka namai Rovables, dan berkat kemampuan yang dimilikinya, pemanfaatan robot mini itu sangat luas – hampir menyerupai ide-ide di film-film fiksi ilmiah.

Rovables mempunyai tubuh yang kecil, tak lebih besar dari genggaman tangan Anda. Volumenya memang sengaja dibuat seminimal mungkin demi mendukung kapabilitas utamanya: Rovables didesain untuk berjalan di atas baju Anda, memanfaatkan kombinasi roda dan magnet (diposisikan di bagian dalam kain). Dengan berbekal rangkaian sensor dan kecerdasan buatan, robot rover mini tersebut dapat bekerja secara otomatis.

Para peneliti tentu tak lupa mengungkap sejumlah skenario di mana robot dapat berguna. Pertama, gerombolan Rovables bisa berformasi dan membentuk display di lengan, dan sang pemilik dipersilakan menonton video dalam perjalanan. Robot rover juga dapat jadi medium penyajian notifikasi, misalnya dengan menyentuh bahu Anda saat ada email masuk. Selanjutnya, Rovables bisa membantu kita menggulung lengan baju, menarik syal, dan saat bersepeda, mereka akan membentuk lampu keselamatan di punggung Anda.

Di versi awal ini, Rovables dilengkapi baterai build-in yang mampu menjaganya tetap aktif selama 45 menit – jika bekerja tanpa henti. Pengisian ulang baterai sendiri dilakukan secara wireless. Lalu ketika ia sudah menunaikan tugasnya, Rovables segera kembali masuk ke kantong baju.

Rovables 1

Fungsi canggih tersebut menuntut banyak hal yang perlu disiapkan tim ilmuwan dan menuntut mereka menemukan solusi agar Rovables sanggup menjelajahi bidang tiga dimensi. Dan meskipun para kreator telah memamerkan kapabilitas rover mini itu lewat video, mereka masih belum menciptakan unit micro-controller dengan kemampuan proses mumpuni buat menangani algoritma-algortima kompleks supaya Rovables bisa mengetahui arah.

Untuk sekarang, Rovables baru hadir berupa demo tech, dan belum terdengar adanya rencana buat menghidangkan robot sekaligus device wearable itu sebagai produk konsumen.

Via Recode. Sumber: ACM Digital Library.

DuoSkin Ialah Tato Elektronik yang Bisa Digunakan Buat Mengendalikan Gadget Lain

Tato mempunyai artian berbeda di tiap tempat: simbol status, menandai tingkatan spiritual, dekorasi yang melambangkan keberanian atau kesuburan, hingga dipercaya membawa keberuntungan. Menariknya, terobosan di ranah teknologi turut membuat dekorasi kulit ini berevolusi, melahirkan istilah smart  tattoo, dengan fungsi yang tidak kalah bervariasi.

Kali ini, peneliti dari MIT Media Lab dibantu oleh tim Microsoft Research mencoba mengembangkan DuoSkin, sebuah device berwujud lapisan tipis, mirip stiker atau tato temporary yang bisa ditempel ke tubuh. Selain menghias kulit, perangkat digarap untuk megendalikan gadget-gadget lain, berperan sebagai sistem input  smartphone dan komputer; berfungsi jadi tombol, slider, hingga trackpad.

Layaknya tato sungguhan, developer tidak melupakan aspek estetika. DuoSkin bisa dirancang secara artistik, misalnya membentuk pola-pola simetris atau ilustrasi tertentu. Device memanfaatkan lembaran emas dan perak konduktif; material tersebut diklaim tidak mahal, aman untuk kulit, dan cukup kuat buat dipakai sehari-hari. Di dalam, DuoSkin menyimpan komponen elektronik yang sangat tipis.

Cara mengenakannya sangat sederhana, mirip temporary  tattoo: tempelkan DuoSkin di lengan Anda, gunakan air agar ia menempel di kulit, dan selanjutnya Anda segera mempunyai trackpad/touchpad instan untuk mengendalikan handsetmusic  player, atau buat browsing koleksi foto. Lapisan emas/perak di sana merupakan interface-nya, tersambung ke bagian elektronik internal buat mengirimkan data ke komputer.

DuoSkin 1

Proses pembuatan ‘stiker’ bisa memanfaatkan software desain apapun, kemudian Anda tinggal mencetaknya di mesin vinyl  cutter. DuoSkin memiliki daya tahan seperti tato sementara, paling lama hanya beberapa hari saja.

Dan tak cuma input kendali, DuoSkin dapat bekerja sebagai output  display di kulit, mampu mengubah warna dan pola berdasarkan suhu tubuh serta emosi (kondisi mental seseorang memang memengaruhi fisiknya) – memanfaatkan pigmen thermochromic. Zat ini merespons berbedaan temperatur dengan mengubah warna.

Selain itu, DuoSkin juga bisa dimanfaatkan untuk menyimpan data buat dibaca perangkat lain via metode near field communication (NFC), serta dapat disambungkan ke LED buat memberikan efek cahaya.

Sebagaimana tato sungguhan, pengembangan DuoSkin berbasis pada bidang fashion, ditekankan oleh perwakilan dari MIT Media Lab, Cindy Hsin-Liu Kao di video. Namun untuk sekarang, device belum siap dikomersialisasikan. Dalam makalah MIT Media Lab, peneliti memperkirakan kita hanya perlu mengeluarkan uang sebesar US$ 2,5 untuk smart tatto berukuran 3×4-sentimeter.

Via Geek Wire. Sumber: MIT.

Ilmuwan MIT Ciptakan Robot Origami Untuk Lakukan ‘Pembedahan’ dari Dalam Tubuh

Pemanfaatan robot di bidang medis bukan lagi merupakan hal baru. Mesin-mesin tersebut sudah membantu para dokter dalam melakukan pembedahan, terapi, merawat pasien, memerangi wabah Ebola, sampai mempermudah tugas apoteker untuk meracik obat. Namun para ilmuwan MIT berpeluang menciptakan sebuah terobosan besar di ranah itu lewat satu kreasi anyar.

Di acara International Conference on Robotics and Automation pertengahan bulan Juni silam, tim Massachusetts Institute of Technology memamerkan robot origami berbahan plastik yang dihasilkan melalui proses cetak dengan kemampuan melipat secara otomatis. Konsepnya hampir menyerupai ciptaan peneliti Harvard dua tahun silam, tetapi robot origami MIT hanya berukuran satu sentimeter dan didesain untuk bisa masuk ke tubuh manusia.

Robot origami ini mempunyai tubuh berupa lembaran persegi dengan magnet kecil tertambat di bagian punggung, bobotnya hanya sepertiga gram. Setelah diaktifkan dengan menggunakan panas (kira-kira 65 derajat Celcius), ia segera melipat diri dan langsung bisa melakukan bermacam-macam jenis manuver: berjalan, berenang, mendaki, menyusuri medan yang kasar, sampai membopong beban dua kali berat sang robot. Gerakan tersebut diatur dari medan magnet eksternal.

Silakan video demo dan presentasinya di bawah ini:

Hasil konstruksi MIT itu sedikit berbeda dari robot berkonsep origami lain. Saat inkarnasi mesin sejenis mengusung motor penggerak serta sirkuit elektronik di bagian dalam badannya, peneliti menyematkan mekanisme gerakan tepat di tubuh.

Metode ini memang mutakhir, tapi alasan peneliti menciptakannya lebih ambisius lagi: desain robot dimotivasi oleh gagasan di mana mesin ini bisa dimasukkan dalam tubuh manusia untuk membantu proses pengobatan. Bayangkan: ia masuk melalui injeksi, dapat bergerak ke area yang dituju buat melakukan pembedahan kecil. Lalu setelah selesai, tubuhnya akan larut dengan sendirinya.

Untuk menunjukkan kemampuannya, salah satu versi purwarupa robot origami MIT itu dibangun dengan material yang bisa larut dalam aseton, hanya menyisakan bagian magnet; sedangkan varian lainnya dapat hancur oleh air. Magnet permanen di sana berguna buat menggerakkan kaki-kakinya, dikendalikan lewat gelombang elektromagnetik.

Tentu saja butuh waktu cukup lama hingga robot origami mungil ini bisa dimanfaatkan oleh para dokter buat mengobati pasein. Bahkan sebelum diuji coba ke hewan – kira-kira dapat dilakukan tiga sampai empat tahun lagi – peneliti harus menyempurnakan sistem kendali agar jauh lebih akurat.

Sumber: MIT.

Ilmuwan Temukan Cara Baru Mendeteksi Virus Zika Dengan Menggunakan Kertas

Zika mendapat sorotan setelah virus itu mewabah di benua Amerika awal 2016. WHO sempat memperingatkan bahwa Zika berpotensi menyebar lebih luas, dan Di Brazil, diperkirakan sudah ada 1,5 juta jiwa terjangkit Zika. Sejumlah negara merespons kejadian ini dengan mengeluarkan peringatan perjalanan, dan sudah pasti Zika memberi dampak besar terhadap pariwisata.

Penyebaran virus yang begitu cepat (dari nyamuk A. aegypti dan A. albopictus) mendorong para peneliti untuk segera menanggulanginya. Kali ini sebuah solusi diajukan oleh himpunan ilmuwan dari MIT, University of Toronto, Harvard Arizona State University, Cornell, University of Wisconsin-Madison, serta Boston University. Mereka memperkenalkan sistem buat mendiagnosis infeksi Zika cukup dengan memakai ‘kertas’.

Tentu saja kreasi konsorsium bukan sekedar kertas biasa. Ia merupakan reader elektronik, dan hebatnya tidak memerlukan metode penyimpanan kompleks dan tak sulit dioperasikan. Perangkat ini cocok digunakan di area-area terpencil sebagai tool darurat, serta mudah didistribusikan. Lewat uji coba tersebut, virus Zika bisa terdeteksi cukup dalam waktu dua sampai tiga jam, lebih cepat dan ekonomis dibanding tes P.C.R.

Zika paper 2
Sebuah ilustrasi, warna ungu menunjukkan partikel virus Zika.

Cara kerjanya: pasien memberikan setetes darah untuk ‘direbus’ dan diproses, kemudian ditaruh di atas kertas tes. Profesor James Collins dan rekan-rekannya telah mengembangkan rangkaian sensor yang dibubuhkan pada piringan kertas, mampu membaca 24 urutan RNA berbeda di genom Zika (seperti virus lain, Zika terdiri atas RNA, bukan DNA). Ketika RNA target terdeteksi, sebuah reaksi akan mengubah warna kertas dari kuning menjadi ungu.

Perubahan warna warna kertas dapat dilihat langsung, tetapi tim juga sedang mencoba menciptakan sistem reader elektronik supaya alterasi warna bisa dihitung; khususnya buat di kasus-kasus tertentu ketika sensor membaca ada lebih dari satu urutan RNA. Seluruh komponen yang dibutuhkan untuk proses deteksi (protein, asam nucleic, ribosom) turut didesain agar dapat disimpan di temperatur ruang, sehingga gampang dikirim ke manapun.

Penemuan ini berpotensi menjadi terobosan besar dalam pengendalian wabah Zika. Saat ini orang-orang yang tertular Zika hampir tidak menunjukkan gejala. Jika ada, simtomnya mirip DBD atau chikungunya. Namun bayi-lah yang terkena dampak paling besar: terlahir dengan microcephaly, yaitu ukuran kepala kecil karena ketidaksempurnaan perkembangan otak.

Buat sekarang, problem tes Zika adalah waktu yang lama (bisa sampai berminggu-minggu), dan antibodi tidak dapat membedakan secara akurat antara Zika dengan dengue.

Sumber: MIT News.

Startup Jebolan MIT Kembangkan Taksi Tanpa Sopir untuk Singapura

Singapura bakal menjadi salah satu negara pertama yang mengoperasikan taksi tanpa sopir. Semua ini berkat pengembangan yang dilakukan startup jebolan MIT, nuTonomy.

nuTonomy awalnya bermula dari sebuah proyek sederhana yang dikerjakan oleh sepasang ilmuwan di MIT, Karl Iagnemma dan Emilio Frazzoli. Di tahun 2009, mereka mengembangkan sebuah mobil golf tanpa sopir. Barulah di tahun 2013, nuTonomy berdiri sebagai perusahaan yang bergerak di bidang software kemudi otomatis.

Kini timnya baru saja berhasil menjalani uji coba perdananya, dimana taksi tanpa sopir tersebut ditugaskan untuk merampungkan rute dengan sejumlah rintangan, tentunya tanpa ada satupun insiden.

Meski lahir di sebuah universitas, nuTonomy punya latar belakang yang cukup dalam industri otomotif. Salah satunya adalah ketika mereka bekerja sama dengan Jaguar Land Rover, dimana nuTonomy diserahi tanggung jawab untuk merancang sistem parkir otomatis.

Dengan suksesnya uji coba yang dilakukan, nuTonomy kini sedang menunggu persetujuan dari pemerintah untuk menguji taksi tanpa sopirnya di kawasan bisnis One North yang secara khusus dirancang untuk menguji mobil kemudi otomatis.

nuTonomy

Mobil yang digunakan nuTonomy adalah mobil elektrik, yang berarti tidak akan ada emisi karbon yang dihasilkan. Hal ini juga berpotensi menjadikan pasar mobil elektrik semakin mainstream, utamanya karena bakal ada banyak stasiun pengisian ulang baterai yang tersebar di berbagai titik.

nuTonomy menggunakan beragam sensor dalam sistem kemudi otomatisnya, mulai dari LIDAR untuk mendeteksi objek sampai pemetaan secara tiga dimensi. Hal ini krusial mengingat kondisi lalu lintas di Singapura cukup padat.

Dalam beberapa tahun ke depan, nuTonomy berharap bisa mengoperasikan ribuan taksi tanpa sopir di Singapura. Bukan, mereka bukannya bermisi ‘membunuh’ lapangan kerja sopir taksi, malahan taksi tanpa sopir ini bisa menjadi layanan pelengkap untuk kebutuhan konsumen yang terus meningkat.

Sumber: MIT News.

Ilmuwan Ciptakan Sel Surya Tertipis yang Bisa Ditempelkan di Atas Gelembung

Gelar yang dipegang Massachusetts Institute of Technology (MIT) sebagai salah satu universitas teknologi terbaik sejagat sudah tidak perlu diragukan lagi. Berkali-kali mahasiswa maupun dosen yang mengajar di sana berhasil menciptakan inovasi teknologi yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Karya para ilmuwan MIT yang terbaru adalah sel surya yang diyakini tertipis di dunia saat ini.

Begitu tipisnya sel surya ini, para penciptanya berhasil menempelkannya di atas sebuah gelembung sabun tanpa memecahkannya. Dengan demikian, pada dasarnya sel surya ini bisa ditempatkan di permukaan apa saja. Karakternya yang ringan sekaligus fleksibel membuka potensi pengaplikasiannya menjadi sangat luas.

Kunci dari panel surya berukuran mikro ini adalah teknik pembentukan substrat beserta lapisan pelindung yang menjaganya dari ‘serangan’ debu ataupun material lain di alam yang berpotensi menurunkan performanya. Pada tahap awal eksperimennya, tim ilmuwan menggunakan bahan polimer fleksibel bernama parylene sebagai substratnya, sedangkan lapisan pelindungnya mengandalkan material organik bernama DBP (Dibutyl Phthalate).

Parylene selama ini sudah cukup umum digunakan untuk melindungi peralatan biomedis maupun papan elektronik dari kerusakan yang disebabkan oleh alam. Namun yang menarik adalah teknik pembuatan sel surya ini. Dalam laporannya dijelaskan bahwa sel surya beserta substratnya bisa ditanamkan langsung di atas berbagai material, mulai dari kain sampai kertas.

Sel surya tertipis buatan MIT

Dari segi efisiensi, sel surya ini memang masih belum sebanding yang sudah ada sekarang. Akan tetapi rasio tenaga-beratnya sangat tinggi. Kalau panel surya biasa umumnya bisa menghasilkan output daya listrik sebesar 15 watt per kilogram bobotnya, sel surya buatan MIT ini bisa menghasilkan 6 watt per gram – sekitar 400 kali lipat lebih banyak.

MIT mengakui bahwa komersialisasi sel surya super-tipis ini masih membutuhkan waktu beberapa tahun. Namun ke depannya sel surya ini bisa diaplikasikan ke sejumlah objek sehari-hari, termasuk halnya pakaian atau buku tulis, dan kita sebagai pengguna mungkin tidak menyadari keberadaannya.

Kalau mau berimajinasi lebih jauh lagi, mungkin saja nantinya sel surya ini bisa ditanamkan ke dalam frame aluminium milik smartphone. Jadi selagi kita memakai perangkat di bawah terik matahari, baterainya akan terisi sebagian. Semoga saja ini bisa terkabulkan.

Sumber: SlashGear.