Amazon Astro Adalah Robot Rumahan dengan Integrasi Alexa

Amazon resmi jadi produsen robot. Bersamaan dengan sejumlah produk lain, Amazon menyingkap robot yang sudah dikerjakannya sejak lama tersebut. Namanya Astro, dan wujudnya kelihatan imut-imut meski wajahnya merupakan sebuah tablet.

Layaknya robot vacuum cleaner, Astro mengandalkan sederet kamera dan sensor untuk memetakan area di sekitarnya, sehingga ia dapat bergerak tanpa membentur sana-sini. Saat baterainya hampir habis, Astro pun juga akan bergerak sendiri menuju ke charging dock-nya untuk beristirahat.

Astro juga dapat mengikuti orang, yang berarti pengguna juga bisa memanfaatkannya untuk video call sembari mondar-mandir di dalam rumah. Ingat, wajah Astro merupakan sebuah tablet yang fungsional, dengan layar sentuh 10 inci dan kamera depan 5 megapiksel.

Pengguna punya banyak cara untuk menginstruksikan Astro; bisa langsung menggunakan layar sentuhnya, bisa via aplikasi pendampingnya di smartphone, atau bisa juga dengan memanfaatkan perintah suara. Ya, tanpa perlu terkejut, Astro tentu sudah dibekali integrasi asisten virtual Alexa.

Amazon tak lupa melengkapi Astro dengan neural edge processor AZ1 rancangannya sendiri, persis seperti yang tertanam pada lini smart speaker Echo-nya. Selain untuk mempercepat respon Alexa, chip ini juga berfungsi untuk mengolah semua tugas berbasis AI secara lokal, termasuk untuk mengenali wajah pengguna. Dengan begitu, privasi pengguna bisa lebih terjaga.

Bicara soal privasi, pengguna bisa mematikan mikrofon dan kamera Astro, sekaligus menyetop pergerakannya hanya dengan menekan sebuah tombol di bagian atasnya. Pengguna juga bisa menentukan area-area mana saja di dalam rumah yang tidak boleh dihampiri Astro melalui aplikasi pendampingnya.

Sepintas, kegunaan Astro terkesan tidak banyak. Namun pada kenyataannya, Amazon melihat potensi Astro untuk menjadi bagian dari sistem keamanan rumah. Astro mengemas sebuah kamera yang bisa keluar dari kepalanya dan memanjang layaknya sebuah periskop, sehingga ia dapat memonitor objek-objek di luar jarak pandang aslinya, seperti misalnya mengecek apakah kompor sudah dimatikan atau belum.

Kalau pengguna berlangganan layanan Ring Protect Pro, Astro bahkan dapat diinstruksikan untuk berpatroli di dalam rumah dan menginvestigasi beragam kejadian secara proaktif, asalkan semuanya berada di lantai yang sama. Ia dapat mendeteksi suara alarm kebakaran maupun suara kaca pecah, dan ketika hal-hal yang tidak diinginkan itu terjadi, Astro bakal langsung mengirimkan notifikasi kepada penggunanya.

Setidaknya untuk sekarang, Amazon Astro masih belum sepenuhnya siap untuk konsumsi publik, sebab Amazon hanya akan memasarkannya secara terbatas pada konsumen-konsumen terpilih di Amerika Serikat dengan memanfaatkan sistem undangan. Kepada Wired, Dave Limp selaku bos divisi hardware Amazon mengatakan bahwa mereka butuh partisipasi konsumen secara langsung untuk mengidentifikasi skenario-skenario penggunaan unik dari Astro.

Di periode awal peluncurannya, Amazon mematok harga $1.000 untuk Astro, akan tetapi ke depannya robot ini akan dijual dengan harga resmi $1.450.

Sumber: Engadget dan Amazon.

Segway Navimow Ialah Robot Pemotong Rumput Pintar Berbekal GPS

Perlahan tapi pasti, Segway terus mengeksplorasi industri robotik dan menambah variasi produknya semenjak diakuisisi oleh Ninebot di tahun 2015. Yang terbaru, mereka resmi memasuki kategori robot pemotong rumput lewat perangkat bernama Segway Navimow.

Kita di Indonesia mungkin kurang begitu familier dengan kategori produk ini, tapi yang pasti di luar sana sebenarnya sudah banyak beredar robot pemotong rumput. Yang membedakan robot milik Segway ini adalah tingkat kecerdasannya.

Tidak seperti kebanyakan robot pemotong rumput lain, Navimow tidak membutuhkan bantuan kabel pembatas agar tidak keluar dari area tugasnya. Sebagai gantinya, Navimow memanfaatkan Exact Fusion Locating System, yang pada dasarnya merupakan kombinasi GPS dan beragam sensor lainnya.

Pengguna bisa menentukan area tugas Navimow, menetapkan perimeter virtual, serta menginstruksikan Navimow untuk menghindari bagian-bagian tertentu lewat aplikasi pendampingnya di smartphone. Segway mengklaim teknologi positioning Navimow tidak akan meleset sampai lebih dari 2 cm, dan kalaupun sinyal GPS-nya melemah, ia tetap bisa diandalkan berkat deretan sensor yang tertanam.

Sebelum bertugas, Navimow akan merencanakan rute pemotongan yang paling efisien terlebih dulu sehingga ia tidak perlu melewati jalur yang sama sebanyak dua kali. Lalu selagi sibuk memotong rumput, Navimow bisa berhenti secara otomatis apabila ia mendeteksi ada anak-anak atau hewan peliharaan di dekatnya.

Di angka 54 desibel dan dalam konteks mesin pemotong rumput, suara yang dihasilkan Navimow relatif tidak berisik. Ia mampu menanjak dengan sudut kemiringan maksimum 45°, dan fisiknya secara keseluruhan tahan air dengan sertifikasi IPX6.

Saat baterainya kritis, Navimow akan menghampiri charging station-nya secara otomatis. Usai terisi penuh, ia akan melanjutkan tugasnya dari titik terakhir yang ia tinggalkan sebelumnya. Daya tahan baterainya sendiri berbeda-beda tergantung varian yang dipilih oleh konsumen.

Di dataran Eropa, Segway akan segera memasarkan empat model: Navimow H500E seharga €1.199, Navimow H800E seharga €1.499, Navimow H1500E seharga €1.999, dan Navimow H3000E seharga €2.499. Angka pada masing-masing nama modelnya merujuk pada seberapa luas lahan yang bisa di-cover sebelum baterainya kehabisan daya; apakah 500 m², 800 m², 1.500 m², atau 3.000 m².

Sumber: Engadget.

Seriusi Bidang Robotik, Xiaomi Luncurkan Robot Anjing Bernama CyberDog

11 tahun adalah usia yang masih sangat muda untuk sebuah perusahaan teknologi. Namun hal itu rupanya tidak mencegah Xiaomi untuk terus memperluas portofolio produknya. Yang terbaru, mereka rupanya juga ingin serius di bidang robotik, dan itu mereka awali lewat sebuah robot bernama Xiaomi CyberDog.

Seperti yang sudah bisa ditebak dari namanya, robot ini punya bentuk menyerupai seekor anjing. Lalu kalau Anda merasa familier dengan wujudnya, itu berarti Anda pernah mengetahui soal robot bernama Spot bikinan Boston Dynamics. Keduanya sama-sama tidak bisa menandingi kelucuan Aibo, robot anjing besutan Sony.

CyberDog boleh kalah lucu, tapi pergerakannya jauh lebih lincah. Motor servo hasil rancangan Xiaomi sendiri memungkinkan CyberDog untuk berjalan dalam kecepatan maksimum 3,2 meter per detik maupun melakukan manuver-manuver ekstrem macam backflip.

Xiaomi juga tetap membanggakan karakteristiknya yang mirip anjing peliharaan meski penampilannya jauh dari kata imut. Utamanya, CyberDog mampu merespon terhadap perintah suara, dan ia juga dapat mengikuti pemiliknya seperti seekor anjing benaran. Agar bisa melakukan semua itu, CyberDog tentu menyimpan segudang hardware canggih.

Kita mulai dari otaknya dulu, yakni Nvidia Jetson Xavier NX, yang pada dasarnya merupakan sebuah superkomputer AI berukuran mini. Chipset ini mengemas 384 CUDA core, 48 Tensor core, 6 Carmel ARM CPU, dan 2 deep learning acceleration engine. Semuanya diperlukan untuk memproses data dalam jumlah masif yang dikumpulkan oleh sensor-sensornya.

Total ada 11 sensor yang tertanam di tubuh CyberDog, di antaranya ada sensor sentuh, sensor ultrasonik, kamera, dan modul GPS. Juga esensial adalah Intel RealSense Depth Module D450 yang dapat dilatih menggunakan algoritma computer vision.

Semua itu dibutuhkan demi mewujudkan fitur-fitur seperti autonomous object tracking, SLAM (simultaneous localization and mapping), dan obstacle avoidance and navigation dalam skala sentimeter. CyberDog bahkan juga sanggup mengenali wajah dan postur tubuh manusia.

Ekspansi fungsionalitas turut dimungkinkan berkat kehadiran 3 port USB-C dan 1 port HDMI. Entah itu LiDAR, panoramic camera, motion camera, ataupun lampu sorot, semuanya dapat dipasangkan ke CyberDog demi mengeksplorasi kapabilitasnya lebih jauh lagi.

Pada kenyataannya, Xiaomi sengaja mendesain CyberDog menggunakan algoritma open-source demi melibatkan kontribusi dari berbagai kalangan, mulai dari developer, engineer, sampai robot enthusiast. Xiaomi bahkan sudah punya target jangka panjang untuk membangun sebuah laboratorium robotik.

Untuk sekarang, mereka akan memasarkan CyberDog dalam jumlah terbatas, yaitu 1.000 unit. Harganya dipatok 9.999 yuan, atau kurang lebih sekitar 22,2 jutaan rupiah. Tidak mahal kalau melihat Spot yang dijual seharga lebih dari 1 miliar rupiah per unit ($74.500).

Sumber: Xiaomi.

Lewat Stretch, Boston Dynamics Ingin Hadirkan Automasi ke Gudang yang Tak Dilengkapi Infrastruktur Automasi

Boston Dynamics, produsen robot yang kini merupakan bagian dari Hyundai, baru saja memperkenalkan robot anyar yang menarik sekaligus membosankan. Menarik karena robot ini ditujukan untuk bidang logistik, bidang yang tergolong baru untuk Boston Dynamics, membosankan karena fungsinya tidak lebih dari sebatas memindahkan boks dari satu titik ke yang lain.

Tidak seperti kebanyakan robot lain bikinan Boston Dynamics, robot bernama Stretch ini memiliki wujud yang cukup generik dan tidak menyerupai hewan maupun manusia. Bagian dasarnya yang mengotak dilengkapi sejumlah roda yang dapat bergerak ke segala arah (omni-directional), lalu di atasnya ada lengan robotik dengan 7 degrees-of-freedom dan suction pad di bagian ujung untuk mengangkat boks dengan bobot maksimum 23 kg.

Yang istimewa dari Stretch adalah kemudahannya untuk diintegrasikan ke gudang-gudang komersial tanpa memerlukan infrastruktur automasi secara khusus. Ini jelas berbeda jauh dari robot-robot yang biasa dijumpai di gudang, yang pada umumnya memerlukan instalasi sekaligus workflow spesifik yang telah diadaptasikan dengan masing-masing tempat.

Ini berarti Stretch bisa mengemban tugas yang berbeda dari hari ke hari, disesuaikan dengan kebutuhan pada saat itu. Semisal hari ini ada kiriman yang datang ke gudang, instruksikan saja Stretch untuk standby di belakang truk di area loading. Keesokan harinya, waktunya menugaskan Stretch untuk menata boks-boks dari kloter kiriman tersebut.

Menurut Boston Dynamics, Stretch dapat dioperasikan oleh siapapun dengan hanya menerima pelatihan selama beberapa jam. Dalam satu jam, Stretch diklaim mampu memindahkan sekitar 800 boks, setara dengan angka yang biasa dicatatkan oleh karyawan manusia. Demi mendukung skenario penggunaan yang lebih luas lagi, Stretch juga dapat beroperasi hanya dengan menggunakan tenaga baterai, kurang lebih selama 8 jam dalam sekali pengecasan.

Jika dibandingkan dengan prototipe robot bernama Handle yang sempat Boston Dynamics demonstrasikan di tahun 2019, Stretch tampak memiliki kemampuan bermanuver yang lebih baik berkat bagian dasar yang bisa diam di tempat selagi lengannya bergerak-gerak. Stretch jauh lebih ideal untuk ditempatkan di koridor-koridor yang sempit, serta dapat beradaptasi dengan pergantian layout gudang secara lebih baik.

Stretch sejauh ini belum memiliki harga jual, akan tetapi Boston Dynamics sudah menargetkan komersialisasinya di tahun 2022. Menurut Boston Dynamics, ada sekitar 80 persen gudang di dunia yang belum dilengkapi infrastruktur automasi, dan semua itu merupakan target pasar yang tepat buat Stretch.

Sumber: The Verge dan Boston Dynamics.

Hyundai Beli Perusahaan Robot Boston Dynamics

Boston Dynamics, produsen robot yang mengawali kiprahnya sebagai proyek di Massachusetts Institute of Technology (MIT), kini punya pemilik baru lagi. Melalui sebuah siaran pers, Hyundai Motor Group mengumumkan rencananya untuk meminang Boston Dynamics dari tangan SoftBank Group, dengan nilai valuasi sebesar $1,1 miliar (± Rp15,57 triliun).

Pasca transaksi, produsen mobil terbesar ketiga di dunia itu bakal memegang sekitar 80% dari total saham Boston Dynamics, dan sisanya masih berada di bawah kepemilikan SoftBank. Sekadar mengingatkan, SoftBank sendiri membeli Boston Dynamics dari Google di tahun 2017 dengan mahar yang dirumorkan mencapai $165 juta berdasarkan laporan dari Bloomberg.

Yang mungkin jadi pertanyaan adalah, apa yang menjadi motivasi Hyundai membeli sebuah perusahaan robot yang sejauh ini belum mampu mencetak laba? Hyundai memang tidak menyebutkan alasan yang spesifik, akan tetapi mereka melihat akuisisi ini sebagai langkah yang tepat dalam misinya bertransformasi menjadi “Smart Mobility Solution Provider”.

Hyundai juga percaya bahwa investasi di bidang robotik dapat membantu mengakselerasi perwujudan visi mereka di bidang sistem kemudi otomatis maupun konsep pabrik pintar. Seperti yang kita tahu, teknologi robotik memang hampir selalu diasosiasikan dengan tren automasi, dan Hyundai sepertinya melihat ini sebagai faktor krusial buat masa depan mereka.

Boston Dynamics Spot

Di saat yang sama, Hyundai juga ingin melihat Boston Dynamics tumbuh secara komersial. Ini penting mengingat Boston Dynamics sudah tidak berpenghasilan lagi semenjak diakuisisi oleh Google di tahun 2013 dan berhenti menerima kontrak militer. Selama tujuh tahun terakhir, Boston Dynamics hanya mengembangkan robot demi robot yang kerap berujung menjadi viral, tapi tanpa peluang untuk mendapat keuntungan dari penjualan.

Namun pada pertengahan 2020 kemarin, Boston Dynamics sebenarnya sudah mulai menjual sebuah robot bernama Spot. Bloomberg melaporkan bahwa robot seharga $74.500 itu sejauh ini sudah terjual sebanyak 400 unit dan mendatangkan pemasukan paling tidak sebesar $30 juta. Kendati demikian, biaya operasi perusahaan yang dibutuhkan Boston Dynamics sendiri tidak sedikit dan bisa mencapai lebih dari $150 juta per tahunnya.

Hyundai, dengan segala kekuatannya di bidang manufaktur, semestinya dapat membantu Boston Dynamics meningkatkan efisiensinya perihal produksi robot komersial ini. Produksi yang lebih efisien berarti Boston Dynamics dapat menekan ongkos yang dibutuhkan sekaligus harga jual robotnya, dengan harapan bakal ada lebih banyak lagi konsumen yang membelinya.

Spot sendiri sejauh ini belum bisa berbuat banyak di samping menjadi alternatif terhadap drone. Namun hal itu tidak menepis fakta bahwa robot tersebut mengusung sederet teknologi canggih, dan video dari MKBHD berikut dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai kecanggihannya.

Sumber: Ars Technica.

VW Pamerkan Robot Otomatis untuk Mengisi Ulang Baterai Mobil Elektrik

Salah satu skenario paling menyebalkan yang dapat dialami pemilik mobil elektrik adalah ketika baterai mobilnya kritis, lalu ia mendapati lahan parkir umum yang dilengkapi fasilitas charging sedang ditempati oleh mobil konvensional. Ketimbang mengubah kebiasaan buruk orang-orang tidak bertanggung jawab seperti itu, Volkswagen menawarkan solusi yang lebih menarik.

Menurut VW, problem ini dapat diatasi dengan robot otomatis yang dapat mengisi ulang baterai mobil elektrik dengan sendirinya. Tanpa harus memarkirkan mobilnya di lahan khusus mobil elektrik, sang pemilik dapat memanggil robot ini via sebuah aplikasi smartphone.

VW robot charger

Setelahnya, robot ini akan datang bersama unit baterai portable berkapasitas 25 kWh. Robotnya sendiri turut dibekali baterai berkapasitas setara, yang berarti mobil dapat menerima suplai energi sebesar 50 kWh. Proses pengisiannya pun berlangsung tanpa campur tangan manusia.

VW bilang konsep robot ini dilengkapi sejumlah kamera, pemindai laser dan sensor ultrasonik supaya bisa beroperasi secara mandiri. Usai melaksanakan tugasnya, ia akan bergerak kembali menuju titik asalnya untuk melakukan pengisian ulang.

VW robot charger

Konsep ini jelas terdengar menarik, akan tetapi VW sejauh ini belum membeberkan detail penting lain, seperti misalnya seberapa cepat baterai mobil dapat di-charge menggunakan sistem ini. Idealnya, robot ini bakal ditempatkan di lahan parkir umum, dan ini berarti charging rate-nya harus cukup tinggi mengingat durasi parkirnya tidak mungkin seharian.

VW pun juga belum mengungkapkan rencana terkait implementasinya. Andai benar-benar terealisasikan, VW percaya robot ini bisa membantu menekan anggaran yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur charging mobil elektrik.

Sumber: VW.

Domino’s Pizza Kembali Uji Layanan Delivery Berbasis Robot

Di masa yang akan datang nanti, sebagian besar lahan pekerjaan kurir atau pengirim barang bakal diisi oleh robot. Tanda-tandanya sebenarnya sudah bisa kita pantau mulai sekarang, salah satunya Amazon Scout, robot mirip cooler box beroda yang telah diuji coba secara publik belum lama ini.

Amazon adalah peritel online terbesar sejagat, jadi wajar apabila mereka merasa perlu memulai tren armada robot pengirim barang. Bagaimana dengan pekerjaan kurir lain, semisal mengantar pizza? Well, di ranah itu sudah ada Domino’s Pizza yang tidak lelah bereksperimen dari tahun ke tahun.

Mereka sudah mencoba mengantarkan pesanan pizza konsumennya menggunakan robot, baik lewat darat maupun udara. Kedua percobaan itu dilangsungkan di Australia dan Selandia Baru, dan sekarang Domino’s ingin menjalankan program uji coba yang sama di kampung halamannya, Amerika Serikat.

Robot yang digunakan sekali lagi berbeda. Kali ini Domino’s bekerja sama dengan Nuro, startup bidang robotik yang didirikan oleh mantan engineer proyek self-driving milik Google (yang pada akhirnya berevolusi menjadi Waymo). Robot yang digunakan adalah Nuro R1, semacam mobil kecil yang dari awal dirancang untuk beroperasi secara mandiri.

Nuro R1

Nuro R1 tak bisa disamakan dengan mobil pada umumnya. Panjangnya cuma sekitar 2,5 meter, dan lebarnya pun hanya separuh sedan biasa. Ia sama sekali tidak mempunyai kabin untuk diisi manusia, melainkan hanya sepasang kompartemen untuk menyimpan kargo saja. Bahkan pedal rem dan lingkar kemudi pun ia tak punya.

Berhubung dimensinya cukup besar, Nuro R1 lebih pantas dianggap sebagai mobil tanpa sopir ketimbang robot, dan ia memang dirancang untuk melaju di jalanan umum, baik di kawasan urban ataupun suburban. Kecepatan maksimumnya berkisar di angka 40 km/jam.

Lokasi pengujian yang dipilih adalah kota Houston, yang kerap menjadi pilihan para penggiat teknologi autonomous berkat regulasi negara bagian Texas yang tidak begitu ketat. Program pengujian ini rencananya bakal dilancarkan antara kuartal ketiga atau keempat tahun ini.

Nantinya, pelanggan yang memesan dari salah satu cabang Domino’s tertentu dapat memilih untuk menerima pesanannya via sang robot, dan pelanggan pun bakal menerima kode PIN sekali pakai untuk membuka kompartemen R1 setibanya di lokasi. Mekanismenya tidak jauh berbeda dari mayoritas layanan pengiriman berbasis robot yang ditawarkan perusaahan lain.

Sumber: Fast Company dan Nuro.

DJI RoboMaster S1 Dirancang untuk Menjadi Teman Bermain Sekaligus Belajar

Setelah sukses merajai segmen consumer drone selama bertahun-tahun, DJI mulai berani keluar dari zona nyamannya dan mencicipi peruntungan di ranah baru, yaitu edukasi robotik. Debut perdana mereka di ranah tersebut adalah DJI RoboMaster S1, sebuah robot berbentuk seperti tank yang dirancang untuk menjadi medium belajar programming yang fun.

DJI cukup percaya diri menyebut RoboMaster S1 sebagai robot tercanggih yang bisa dipakai belajar programming saat ini. Klaim tersebut tentu bukan tanpa alasan yang mendukung; secara total ada 31 sensor yang tersematkan pada RoboMaster 31, memungkinkannya untuk mengenali lingkungan dan beragam objek di sekitarnya.

DJI RoboMaster S1

Kemampuan bergeraknya ditunjang oleh enam servo motor tipe brushless berdaya 100 watt, tidak ketinggalan pula roda Mecanum yang memungkinkannya untuk bergerak ke segala arah. Sebagai sebuah produk DJI, wajar apabila RoboMaster S1 turut mengemas kamera full-HD yang duduk di atas gimbal.

Yang berbeda, gimbal tersebut tak hanya bertugas menstabilkan rekaman video, tapi juga menjadi dudukan untuk dua komponen pemeriah suasana: infra-red beam dan gel-bead blaster. Ya, dari bentuknya saja sudah kelihatan kalau robot ini siap dipakai untuk bermain perang-perangan.

DJI RoboMaster S1

Demi meminimalkan risiko cedera, yang dijadikan peluru adalah water bead, mainan yang biasa dipakai untuk melatih motorik para balita. Kecepatan menembaknya pun telah dibatasi supaya robot ini tidak malah dicap membahayakan.

RoboMaster S1 hanya memerlukan aplikasi ponsel atau tablet untuk dikendalikan. DJI juga menyediakan sebuah gamepad opsional yang bisa dipasangkan ke ponsel atau tablet, tapi itu sifatnya opsional dan dijual terpisah.

DJI RoboMaster S1

Namun seperti yang saya bilang, fungsi utama RoboMaster S1 adalah sebagai medium pembelajaran, dan itu sudah ditunjukkan sesaat setelah perangkat dikeluarkan dari dalam boks; kita harus merakitnya terlebih dulu, sebab S1 awalnya terpecah menjadi 46 bagian, dan proses perakitannya membutuhkan waktu sekitar 2 sampai 4 jam.

Setelahnya, S1 bisa langsung diprogram menggunakan software Python atau Scratch 3.0 yang mengandalkan interface drag-and-drop. Ada banyak sekali fungsi unik yang dapat diprogram, mulai dari caranya bergerak sampai distribusi torsi pada keempat rodanya. Fungsi-fungsi yang lebih advanced pun juga bisa diprogramkan.

DJI RoboMaster S1

Melimpahnya jumlah sensor yang dimiliki S1 sejatinya membuka luas potensinya untuk dijadikan semacam kelinci percobaan coding. Contoh fungsi-fungsi lain yang tak kalah menarik mencakup kemampuannya merespon terhadap gerakan tangan, atau bahkan kemampuan untuk mengeluarkan reaksi tertentu saat berjumpa dengan unit S1 lain.

Di Amerika Serikat, DJI RoboMaster S1 telah dipasarkan seharga $499. DJI juga berencana menyediakan bundel “PlayMore Kit” yang meliputi controller, water bead ekstra beserta wadahnya, dan satu baterai ekstra. Sayangnya DJI belum mengungkap rencananya memasarkan RoboMaster S1 di negara lain terkecuali Tiongkok dan Jepang.

Sumber: CNET.

Robot Ini Gantikan Peran Petugas Valet di Salah Satu Bandara Tersibuk di Perancis

Tenaga kerja robot tidak akan sepenuhnya menggantikan manusia, setidaknya dalam waktu dekat ini. Kendati demikian, untuk pekerjaan-pekerjaan repetitif, seperti misalnya menjadi petugas valet, kombinasi robot dan teknologi automasi jauh lebih efisien ketimbang manusia, dan itu sedang dibuktikan oleh bandara tersibuk keempat di Perancis, Lyon–Saint-Exupéry Airport.

Mereka baru saja memulai layanan robot valet secara resmi. Robot yang dipekerjakan merupakan bikinan Stanley Robotics, yang sendirinya sudah menguji robot valet otomatis selama beberapa tahun dan di beberapa bandara. Lyon–Saint-Exupéry Airport merupakan debut perdananya sebagai layanan resmi yang bukan bersifat ujicoba.

Robot-robot yang dijuluki Stan ini pada dasarnya merupakan forklift berteknologi kemudi otomatis. Sebagian besar teknologi yang digunakan sama persis seperti di mobil kemudi otomatis, termasuk kemampuan untuk memonitor lingkungan di sekitarnya dan bereaksi ketika ada rintangan di rutenya.

Stanley Robotics robot valet

Pengunjung bandara yang hendak menggunakan layanan ini cuma perlu menempatkan mobilnya ke semacam hangar khusus, di mana mobilnya akan dipindai guna mengonfirmasi merek dan modelnya. Setelahnya, Stan akan datang dan menarik mobil tersebut menuju ke satu dari 500 lahan parkir yang tersedia – target akhirnya, layanan robot valet ini bakal meng-cover sekitar 6.000 lahan parkir.

Menurut tim pembuatnya, satu unit Stan mampu memarkir dan mengambil kembali hingga 200 mobil per harinya. Bukan cuma itu, Stanley Robotics mengklaim Stan mampu memanfaatkan lahan kosong lebih efisien ketimbang petugas valet manusia; spesifiknya, Stan dapat menjejalkan 50% lebih banyak mobil ke satu area yang sama.

Ini dikarenakan Stan memiliki kemampuan menyetir yang sangat presisi, dan ia tak segan memarkirkan mobil sampai menumpuk berbaris-baris, sebab sistemnya akan terus memonitor waktu kedatangan masing-masing pemilik mobil (berdasarkan info dari boarding pass). Jadi untuk pemilik mobil yang akan menginapkan mobilnya cukup lama, Stan bakal menempatkannya di baris paling ujung sendiri.

Stanley Robotics robot valet

Selama Stan beroperasi, ada sejumlah manusia yang akan selalu mengawasi demi memastikan semuanya aman dan bisa langsung bertindak kala ada malfungsi yang terjadi. Ke depannya, tugas supervisi ini bakal dilangsungkan dari jarak jauh alias secara remote.

Selain menawarkan kepraktisan ekstra kepada konsumen, layanan robot valet ini rupanya juga termasuk ramah kantong. Berdasarkan pantauan The Verge dari situs resmi Lyon–Saint-Exupéry, tarif parkir pribadi selama seminggu di area terjauh dari bandara dipatok 54 euro, sedangkan tarif layanan robot valet ini dipatok 55,80 euro di area parkir yang sama.

Sumber: The Verge.

Startup Logistik Postmates Perkenalkan Robot Pengirim Barang Buatannya Sendiri

Robot pengirim barang sudah bukan lagi sebatas wacana yang belum terwujudkan, meski mungkin implementasinya masih serba terbatas, terutama terkait regulasi pemerintah yang berbeda-beda di setiap daerah. Terlepas dari itu, prospek yang dimiliki robot sejenis ini terlihat cerah, terutama di mata perusahaan logistik.

Kendati demikian, rupanya ada startup logistik yang justru memilih untuk mengembangkan robot kurirnya sendiri ketimbang mengandalkan pihak lain. Mereka adalah Postmates, yang bisa kita anggap sebagai ekuivalen Go-Send untuk warga Amerika Serikat.

Baru-baru ini, Postmates memamerkan robot pengirim barang bikinannya sendiri yang dinamai Serve. Penampilannya sengaja dibuat lugu demi menghindari stigma jelek robot kurir di kawasan San Francisco, yang kerap kali mengganggu para pejalan kaki. Namun di balik ‘wajahnya’ yang polos, tersimpan teknologi automasi mutakhir.

Postmates Serve

Untuk bernavigasi secara otomatis, Serve mengandalkan Lidar bikinan Velodyne, serta prosesor Nvidia Xavier – dua nama yang tidak asing di telinga pabrikan otomotif yang mengembangkan sistem kemudi otomatis. Baterainya pun diposisikan di bawah agar center of gravity-nya rendah, sehingga robot tidak mudah terjungkal selagi bertugas.

Sepasang mata yang disematkan pada Serve bukan sebatas kosmetik, tapi juga berfungsi sebagai indikator ke mana ia bakal bergerak terhadap orang-orang di sekitarnya. Harapannya, Serve bisa lebih tidak mengganggu aktivitas para pejalan kaki daripada robot-robot sejenis lainnya.

Pada bagian atasnya, kita bisa melihat ada sebuah layar sentuh. Layar ini, dipadukan dengan sebuah tombol “Help”, dimaksudkan agar pelanggan atau orang di sekitarnya bisa berkomunikasi dengan karyawan Postmates. Ya, meski Serve bisa bernavigasi dengan sendirinya, Postmates memastikan selalu ada seseorang yang mengawasi secara remote dan siap mengambil alih kendali ketika ada masalah.

Postmates Serve

Batas kargo maksimum Serve berada di kisaran 22 kg, dan baterainya cukup untuk menempuh jarak sekitar 40 km. Buat Postmates, spesifikasi ini diperkirakan cukup untuk mengantarkan barang sebanyak 12 kali dalam sehari. Selain barang secara umum, Serve juga bisa bertugas sebagai pengantar makanan, khususnya di area-area padat.

Dalam skenario ini, Serve hanya ditugaskan untuk mengambil makanan dari restoran yang bersangkutan, lalu membawanya menuju salah satu cabang Postmates. Dari situ ada kurir manusia yang mengambil alih dan mengantarkannya ke pemesan.

Juga menarik adalah rencana Postmates untuk menghadirkan dua macam layanan pengiriman. Layanan yang pertama mematok tarif cukup terjangkau, dan yang bertugas adalah robot Serve. Lalu layanan yang kedua dipatok lebih mahal, akan tetapi yang ditugaskan adalah kurir manusia.

Ide ini menarik karena, di saat dunia khawatir lapangan pekerjaan bakal diambil alih robot, Postmates justru berpikiran bahwa robot semestinya dapat menjadi pekerja kelas bawah untuk layanan bertarif murah, sedangkan level di atasnya tetap didominasi oleh tenaga kerja manusia.

Sumber: TechCrunch dan Postmates.