Amazon Astro Adalah Robot Rumahan dengan Integrasi Alexa

Amazon resmi jadi produsen robot. Bersamaan dengan sejumlah produk lain, Amazon menyingkap robot yang sudah dikerjakannya sejak lama tersebut. Namanya Astro, dan wujudnya kelihatan imut-imut meski wajahnya merupakan sebuah tablet.

Layaknya robot vacuum cleaner, Astro mengandalkan sederet kamera dan sensor untuk memetakan area di sekitarnya, sehingga ia dapat bergerak tanpa membentur sana-sini. Saat baterainya hampir habis, Astro pun juga akan bergerak sendiri menuju ke charging dock-nya untuk beristirahat.

Astro juga dapat mengikuti orang, yang berarti pengguna juga bisa memanfaatkannya untuk video call sembari mondar-mandir di dalam rumah. Ingat, wajah Astro merupakan sebuah tablet yang fungsional, dengan layar sentuh 10 inci dan kamera depan 5 megapiksel.

Pengguna punya banyak cara untuk menginstruksikan Astro; bisa langsung menggunakan layar sentuhnya, bisa via aplikasi pendampingnya di smartphone, atau bisa juga dengan memanfaatkan perintah suara. Ya, tanpa perlu terkejut, Astro tentu sudah dibekali integrasi asisten virtual Alexa.

Amazon tak lupa melengkapi Astro dengan neural edge processor AZ1 rancangannya sendiri, persis seperti yang tertanam pada lini smart speaker Echo-nya. Selain untuk mempercepat respon Alexa, chip ini juga berfungsi untuk mengolah semua tugas berbasis AI secara lokal, termasuk untuk mengenali wajah pengguna. Dengan begitu, privasi pengguna bisa lebih terjaga.

Bicara soal privasi, pengguna bisa mematikan mikrofon dan kamera Astro, sekaligus menyetop pergerakannya hanya dengan menekan sebuah tombol di bagian atasnya. Pengguna juga bisa menentukan area-area mana saja di dalam rumah yang tidak boleh dihampiri Astro melalui aplikasi pendampingnya.

Sepintas, kegunaan Astro terkesan tidak banyak. Namun pada kenyataannya, Amazon melihat potensi Astro untuk menjadi bagian dari sistem keamanan rumah. Astro mengemas sebuah kamera yang bisa keluar dari kepalanya dan memanjang layaknya sebuah periskop, sehingga ia dapat memonitor objek-objek di luar jarak pandang aslinya, seperti misalnya mengecek apakah kompor sudah dimatikan atau belum.

Kalau pengguna berlangganan layanan Ring Protect Pro, Astro bahkan dapat diinstruksikan untuk berpatroli di dalam rumah dan menginvestigasi beragam kejadian secara proaktif, asalkan semuanya berada di lantai yang sama. Ia dapat mendeteksi suara alarm kebakaran maupun suara kaca pecah, dan ketika hal-hal yang tidak diinginkan itu terjadi, Astro bakal langsung mengirimkan notifikasi kepada penggunanya.

Setidaknya untuk sekarang, Amazon Astro masih belum sepenuhnya siap untuk konsumsi publik, sebab Amazon hanya akan memasarkannya secara terbatas pada konsumen-konsumen terpilih di Amerika Serikat dengan memanfaatkan sistem undangan. Kepada Wired, Dave Limp selaku bos divisi hardware Amazon mengatakan bahwa mereka butuh partisipasi konsumen secara langsung untuk mengidentifikasi skenario-skenario penggunaan unik dari Astro.

Di periode awal peluncurannya, Amazon mematok harga $1.000 untuk Astro, akan tetapi ke depannya robot ini akan dijual dengan harga resmi $1.450.

Sumber: Engadget dan Amazon.

Amazon Ungkap Echo dan Echo Dot Generasi ke-4, Serta Echo Show 10

Tahun demi tahun, Amazon terus memperbarui lini perangkat pintar besutannya. Di tahun pandemi ini, Amazon punya tiga perangkat Echo baru – plus layanan cloud gaming bernama Luna – dan ketiganya sudah berubah drastis jika dibandingkan dengan produk yang sama dari generasi sebelumnya.

Kita mulai dari Amazon Echo standar, yang kini sudah memasuki generasi keempat. Seperti yang bisa kita lihat, wujudnya tak lagi silindris, melainkan lebih menyerupai bola sekarang. Menariknya, tahun ini tidak ada Echo Plus, sebab fitur-fiturnya sudah diwariskan ke Echo standar, termasuk kemampuan untuk merangkap peran sebagai smart home hub.

Untuk pertama kalinya juga, Amazon menanamkan sebuah chip bikinan mereka sendiri. Chip bernama AZ1 Neural Edge ini berfungsi untuk mempercepat kinerja machine learning milik perangkat. Bukan cuma itu, kehadiran chip AZ1 juga memungkinkan Alexa untuk memahami instruksi atau pertanyaan dari pengguna dengan lebih cepat.

Sebagai sebuah speaker tradisional, Amazon Echo generasi keempat ini diklaim punya kualitas suara yang jauh lebih baik berkat sepasang tweeter, woofer 3 inci, dan teknologi pengolahan audio besutan Dolby. Lebih lanjut, Echo kini juga mampu mengadaptasikan karakteristik suaranya dengan kondisi ruangan secara otomatis. Kabar baiknya, Amazon tidak mengubah harganya, dan tetap di angka $100.

Kalau itu dirasa terlalu mahal, tentu saja masih ada Echo Dot sebagai alternatif yang lebih mungil sekaligus lebih terjangkau – $50 saja. Seperti kakaknya, Echo Dot juga membulat seperti bola, akan tetapi ia tidak bisa dijadikan smart home hub, dan yang pasti kualitas suaranya juga lebih inferior daripada Echo standar.

Amazon juga menawarkan Echo Dot dalam dua varian lain; satu yang dilengkapi indikator LED untuk menampilkan jam, satu lagi Echo Dot Kids Edition yang berwajah macan atau panda. Kedua varian ini dibanderol sedikit lebih mahal di $60.

Amazon Echo Show 10

Juga ikut diperbarui kali ini adalah lini Echo Show yang masuk kategori smart display speaker. Sesuai namanya, Echo Show 10 hadir membawa layar 10,1 inci beresolusi HD. Di ujung kanan atasnya, tertanam kamera 13 megapixel untuk keperluan video call.

Satu hal yang menarik adalah, bingkai layar dan kameranya ini dapat berputar ke kiri atau kanan. Gunanya adalah supaya kameranya bisa mengatur framing secara otomatis, memastikan pengguna selalu berada di tengah frame kamera selagi sesi video call berlangsung. Cara kerjanya kurang lebih sama seperti yang ditawarkan oleh Facebook Portal.

Amazon cukup bangga bahwa perangkat ini juga dapat dipakai untuk streaming Netflix di samping layanan streaming film besutan mereka sendiri. Kualitas suaranya juga dijamin lebih baik daripada dua generasi sebelumnya, terutama terkait bass mengingat Echo Show 10 memiliki woofer berdiameter 3 inci.

Seperti halnya Echo standar tadi, Echo Show 10 turut dibekali chip AZ1 agar Alexa bisa lebih responsif dari biasanya. Di Amerika Serikat, perangkat ini sekarang sudah dijual dengan harga $250.

Sumber: Amazon via Engadget.

Marshall Luncurkan Smart Speaker Uxbridge Voice dengan Integrasi Alexa

Zound Industries, produsen perangkat audio di balik brand Marshall Headphones, meluncurkan smart speaker baru bernama Uxbridge Voice. Layaknya Google Home atau Amazon Echo, Marshall Uxbridge punya dimensi yang ringkas, cuma 128 x 168 x 123 mm.

Desainnya tetap khas sang pabrikan amplifier gitar asal Inggris. Wujudnya tetap mirip dengan amplifier gitar, akan tetapi Uxbridge mengandalkan tombol-tombol konvensional ketimbang yang menyerupai kenop-kenop milik amplifier.

Singkat cerita, Uxbridge tampak lebih modern daripada speakerspeaker Marshall sebelumnya, tapi di saat yang sama juga masih terkesan retro. Meski ringkas, bobotnya berkisar 1,39 kg, mengindikasikan performa audionya yang mumpuni.

Marshall Uxbridge Voice

Secara teknis, Uxbridge dibekali amplifier Class D 30 W yang menenagai woofer dan tweeter-nya. Respon frekuensinya berada di kisaran 54 – 20.000 Hz, bukan yang paling detail di frekuensi rendah, tapi setidaknya pengguna dapat mengatur intensitas bass-nya dengan mudah.

Sebagai sebuah smart speaker, Uxbridge ditawarkan dalam dua varian yang berbeda; satu dengan integrasi Amazon Alexa, satu lagi dengan Google Assistant. Mikrofon yang tertanam ada dua, dan produsen tak lupa melengkapinya dengan teknologi noise cancelling supaya suara pengguna bisa ditangkap dengan lebih jelas.

Dari segi konektivitas, Uxbridge mendukung AirPlay 2 dan Spotify Connect di samping mengemas sambungan Bluetooth 5.0. Seperti halnya speaker modern lain, Uxbridge juga bisa dilibatkan dalam setup multi-room.

Marshall Uxbridge Voice bakal dipasarkan mulai 8 April seharga $199, tapi baru varian Alexa saja. Varian Google Assistant-nya baru akan menyusul pada bulan Juni mendatang.

Sumber: New Atlas.

Bang & Olufsen Beosound Balance Adalah Smart Speaker Seharga $2.250

Bang & Olufsen tentu bukan nama yang asing lagi di industri audio, akan tetapi nama mereka bukanlah yang pertama muncul saat berbicara mengenai smart speaker. Di kategori ini, konsumen mungkin lebih familier dengan nama-nama seperti Google Home atau Amazon Echo.

B&O sebenarnya sudah punya smart speaker sejak dua tahun lalu, yakni Beosound 1 dan Beosound 2, namun keduanya tidak lebih dari sebatas speaker lama yang dijejali integrasi Google Assistant. Lain ceritanya dengan speaker bernama Beosound Balance berikut ini, yang benar-benar merupakan perangkat baru dengan integrasi voice assistant.

Bang & Olufsen Beosound Balance

Wujudnya tergolong tidak umum, dan sepintas tampak seperti furnitur premium meski tingginya cuma 38 cm. Di balik tampang minimalisnya, tertanam total tujuh unit driver: sepasang woofer berdiameter 5,25 inci (satu menghuni porsi bawahnya), dua full-range driver 2 inci dan satu tweeter 3/4 inci di sisi depan, dan dua full-range driver 3 inci di belakang.

B&O turut membekali perangkat ini dengan teknologi Active Room Compensation, yang memanfaatkan mikrofon internal untuk menganalisis penempatannya di dalam ruangan (apakah persis di depan tembok atau tidak), sebelum akhirnya mengadaptasikan karakter suaranya seoptimal mungkin. Tentu saja mikrofon ini juga berguna untuk mewujudkan interaksi pengguna dengan Google Assistant (Alexa akan menyusul ke depannya).

Bang & Olufsen Beosound Balance

Aspek menarik lain dari Beosound Balance adalah pengoperasian. Berbekal proximity sensor, ia bisa tahu ketika ada seseorang yang mendekat, lalu lampu-lampu indikator di panel atasnya akan menyala, sebelum akhirnya meredup lagi saat pengguna menjauh. Panel atasnya ini merupakan panel sentuh kapasitif, dan pengguna dapat mengusap dengan gerakan memutar untuk mengatur volumenya.

Sebagai sebuah speaker wireless, Beosound Balance tidak pelit soal konektivitas. Ia mendukung AirPlay 2 maupun Chromecast secara default, dan Spotify Connect kabarnya juga bakal menyusul nantinya. Kalau perlu, ia juga bisa diperlakukan seperti speaker Bluetooth biasa via sambungan Bluetooth 5.0. Setup multi-room pun juga dimungkinkan dengan speaker B&O lain yang mendukung.

Bang & Olufsen Beosound Balance

Satu-satunya faktor yang akan mencegah Beosound Balance bakal laris adalah harganya: $2.250. Namun ini tidak mengherankan untuk brand sepremium Bang & Olufsen.

Sumber: What Hi-Fi.

Huawei Umumkan Sound X, Smart Speaker Hasil Kolaborasinya Bersama Devialet

Di samping meluncurkan Mate Xs, Huawei juga memperkenalkan smart speaker baru bernama Sound X. Speaker ini merupakan hasil kreasi mereka bersama Devialet, ahli audio asal Perancis yang dikenal lewat seri produk Phantom-nya, yang boleh dibilang merupakan salah satu speaker wireless paling perkasa yang pernah ada.

Apa saja kelebihan Sound X? Suara 360 derajat dengan volume yang jauh lebih keras dari produk pesaing kalau kata Huawei dan Devialet. Tidak tanggung-tanggung, Sound X mengemas sepasang subwoofer berdaya total 60 watt dan 6 full-range driver dalam bodi kecilnya yang langsung mengingatkan saya pada Apple HomePod.

Huawei Sound X

Uniknya, kedua subwoofer tersebut diposisikan saling memunggungi guna mengeliminasi getaran yang ditimbulkan selagi masih menyuguhkan dentuman bass yang mantap – salah satu trik cerdas yang diaplikasikan Devialet selama ini. Begitu efektifnya Sound X meredam getaran, Huawei mengklaim konsumen dapat meletakkan segelas air di atasnya, dan gelasnya tidak akan tumpah meski Sound X sedang dipakai memutar musik.

Untuk voice assistant-nya, Huawei kembali memercayakan bikinannya sendiri, Xiaoyi. Ya, speaker ini memang hanya akan dipasarkan di Tiongkok, akan tetapi Huawei ternyata juga punya rencana untuk membawanya ke negara-negara lain. Di luar Tiongkok, Sound X sepertinya bakal mengusung integrasi Amazon Alexa.

Berapa harganya? Cukup terjangkau kalau dibandingkan dengan produk-produk Devialet sendiri, yakni 1.999 yuan (± Rp 3,9 jutaan). Sayang Huawei belum merincikan harga dan jadwal rilisnya di luar Tiongkok.

Sumber: 1, 2, 3.

Dapur Mainan untuk Anak Jadi Lebih Interaktif Berkat Keterlibatan Alexa

Amazon Echo dan Alexa, kombinasi smart speaker dan voice assistant ini tentu punya banyak sekali kegunaan. Namun siapa yang menyangka Alexa juga berguna di bidang permainan, semisal untuk membuat sebuah board game jadi lebih interaktif?

Bukan cuma sebagai teman main orang dewasa, Alexa rupanya juga bisa mendampingi anak-anak, seperti dibuktikan oleh produk terbaru dari produsen mainan anak KidKraft berikut ini. Dinamai Alexa 2-in-1 Kitchen and Market, sepintas ia tak kelihatan berbeda dari dapur mainan pada umumnya.

Juga tampak biasa adalah 100 bahan makanan mainan yang termasuk dalam paket penjualannya. Namun ternyata masing-masing mainan kecil ini telah dilengkapi chip RFID (radio-frequency identification) supaya bisa terdeteksi oleh sensor yang tertanam di balik meja kasir atau kompor mainannya.

Lalu apa peran Alexa? Well, informasi yang terdeteksi itu tadi akan diteruskan ke smart speaker via Bluetooth, dan dari situ Alexa bisa merespon. Jadi semisal anak-anak mengambil sepotong selada dan menempatkannya di meja kasir, Alexa bakal merespon: “Selada! Apakah kita akan membuat salad?”

Lalu jika anak-anak mengiyakan, Alexa bakal lanjut merespon: “Yay! Aku suka salad. Tambahkan alpukat juga ya.” Skenario lainnya, semisal anak-anak menempatkan wajan di atas kompor, Alexa akan bilang, “Sambil menunggu airnya mendidih, bisakah kamu mengambil sayur-sayuran dari kulkas?”

KidKraft Alexa 2-in-1 Kitchen and Market

Menurut KidKraft, total ada lebih dari 700 respon yang berbeda yang bisa dilontarkan Alexa. Selama berinteraksi, anak-anak tidak harus terus mengucapkan “Alexa” berkali-kali, sebab KidKraft telah merancang programnya (Alexa skill-nya) supaya Alexa hanya akan berbicara ketika anak-anak berinteraksi dengan mainannya sekaligus menyesuaikan konteksnya.

Singkat cerita, anak-anak masih akan berpura-pura berbelanja dan memasak seperti biasanya menggunakan produk ini, hanya saja sesi bermain mereka jadi lebih interaktif berkat keterlibatan Alexa. Tanpa speaker Echo dan Alexa, produk ini tentu tetap bisa dimainkan seperti mainan tradisional.

Di Amerika Serikat, KidKraft Alexa 2-in-1 Kitchen and Market kabarnya bakal dipasarkan seharga $300, tidak termasuk smart speaker Echo-nya. Salah satu skenario penggunaan Alexa yang paling populer selama ini adalah ketika memasak, dan ternyata sekarang juga ketika anak-anak yang ‘memasak’.

Sumber: CNET.

Alexa Bakal Semakin Terintegrasi ke Mobil, Dimulai dari Lamborghini Huracan

Alexa sedang bersiap untuk menginvasi ranah otomotif. Per tahun 2020 ini, asisten virtual besutan Amazon itu bakal terintegrasi lebih dalam lagi ke sistem infotainment mobil. Klien pertamanya? Lamborghini.

Di CES 2020, Lamborghini mengumumkan bahwa salah satu supercar-nya, Huracan Evo, bakal mengemas integrasi Alexa yang jauh lebih komprehensif daripada yang sudah ada sekarang. Menggunakan perintah suara, pengemudi dapat menginstruksikan Alexa untuk mengontrol beragam fitur dalam mobil; mulai dari mengatur suhu kabin, mengganti channel radio, membuka bagasi, bahkan sampai mengganti mode kemudinya.

Lamborghini Huracan Evo

Memanggil Alexa di dalam dashboard Huracan tidak berbeda dari cara memanggilnya di smart speaker, atau bisa juga dengan mengklik tombol di layar infotainment-nya. Semua ini dimaksudkan supaya pengemudi bisa tetap berfokus ke jalanan selagi kedua tangannya menggenggam lingkar kemudi.

Selain Huracan Evo, ke depannya Lamborghini bakal menghadirkan integrasi Alexa yang sama pada Aventador generasi terbaru yang ditenagai mesin hybrid. Kepada CNET, Maurizio Reggiani selaku CTO Lamborghini mengatakan bahwa Alexa dapat diinstruksikan untuk mengendalikan motor elektriknya.

Rivian R1T

Di samping Lamborghini, level integrasi Alexa yang sama juga bakal hadir pada pickup elektrik Rivian R1T (plus saudara SUV-nya, R1S). Menariknya, Rivian bilang bahwa sejumlah fitur Alexa bakal tetap tersedia meski koneksi internet milik mobil sedang offline.

Kolaborasi antara Rivian dan Amazon ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan mengingat Amazon merupakan salah satu investor terbesarnya. Belum lama ini, Amazon bahkan telah memesan 100.000 van elektrik dari Rivian untuk dijadikan mobil pengirim barang, dan tentu saja integrasi Alexa yang sama juga bakal hadir di situ.

Sumber: CNET 1, 2, 3.

Setelah Sonos, Spotify Free Kini Juga Dapat Diakses Langsung Melalui Speaker Bikinan Amazon dan Bose

Baru seminggu yang lalu, konsumen Sonos menerima hadiah dalam bentuk akses langsung ke layanan Spotify Free. Jadi tanpa harus berlangganan Spotify Premium, pemilik speaker Sonos sudah bisa mengakses layanan streaming musik terpopuler tersebut, tapi tentu saja dengan sejumlah batasan yang memang Spotify terapkan untuk paket gratisannya.

Kabar baiknya, dukungan terhadap Spotify Free ini sekarang ikut meluas hingga merambah sejumlah speaker bikinan Bose maupun Amazon. Semuanya cukup dengan mengunduh dan meng-install firmware update terbaru untuk masing-masing speaker.

Di lineup Amazon, yang kebagian jatah bukan cuma keluarga smart speaker Echo saja, melainkan juga perangkat Fire TV. Untuk Bose, opsinya mencakup seri smart speaker beserta soundbar, tidak ketinggalan juga Bose Portable Home Speaker yang dirilis beberapa bulan lalu.

Bose smart speakers and soundbars

Semua perangkat di atas ini mengemas integrasi asisten virtual Alexa, dan kebetulan Spotify juga sudah kompatibel dengan Alexa sejak tahun lalu. Jadi selain menggunakan aplikasi Spotify di ponsel sebagai remote, konsumen juga dapat meminta bantuan Alexa guna mengakses pilihan playlist macam Discover Weekly atau Today’s Top Hits.

Timing peluncurannya boleh dibilang cukup pas. Menjelang musim liburan, konsumen umumnya banyak membeli gadget baru, termasuk halnya smart speaker, dan mereka yang selama ini enggan membeli karena tidak berlangganan Spotify Premium jadi punya pertimbangan baru berkat kehadiran dukungan Spotify Free.

Sumber: Spotify.

Bose Umumkan Smart Speaker Baru dengan Integrasi Alexa dan Google Assistant Sekaligus

Bose memperkenalkan smart speaker sekaligus soundbar perdananya tahun lalu. Saat dirilis, tiga perangkat itu hanya mengemas integrasi Alexa, namun Bose berjanji untuk segera menambahkannya. Janji itu mereka tepati hari ini lewat update yang mendatangkan integrasi Google Assistant pada Bose Home Speaker 500, Bose Soundbar 700, dan Bose Soundbar 500.

Bersamaan dengan itu, Bose turut menyingkap anggota baru di keluarga smart speaker mereka, yaitu Bose Home Speaker 300. Melihat wujudnya, tampak jelas bahwa Home Speaker 300 dirancang sebagai adik kecil Home Speaker 500, dengan desain yang serupa namun dalam dimensi yang lebih ringkas.

Meski lebih kecil, Home Speaker 300 tak bisa dikategorikan sebagai speaker portable mengingat ia tidak dilengkapi unit baterai. Kendati demikian, ia masih bisa difungsikan sebagai speaker Bluetooth biasa terlepas dari kelengkapan konektivitasnya yang mencakup AirPlay 2.

Bose Home Speaker 300

Ukuran bukan satu-satunya pembeda Home Speaker 300 dan 500. Adik kecilnya ini tidak dilengkapi layar berwarna yang berfungsi untuk menampilkan album art pada Home Speaker 500. Sebagai gantinya, sisi depan Home Speaker 300 cuma mengemas indikator LED kecil yang akan menyala ketika mikrofonnya aktif mendengarkan perintah suara yang dilontarkan pengguna.

Panel atasnya masih dihuni oleh sederet tombol pengoperasian. Namun tentu ini bukan satu-satunya metode pengoperasian yang tersedia, sebab seperti yang saya bilang, pengguna bebas meminta bantuan kepada Alexa maupun Google Assistant.

Bose berencana untuk melepas Home Speaker 300 ke pasaran mulai tanggal 20 Juni mendatang. Banderol harganya dipatok $260, tergolong premium jika dibandingkan dengan sebagian smart speaker lain di pasaran, tapi setidaknya jauh lebih terjangkau ketimbang Bose Home Speaker 500.

Sumber: VentureBeat dan The Verge.

Mengapa Smart Speaker di Indonesia Belum Sepopuler di Amerika Serikat?

“Alexa, I’m leaving.” Seketika itu pula lampu apartemen dipadamkan, tirai jendela diturunkan, dan penghangat ruangan dimatikan. Pulang kerja dan setibanya di rumah, Alexa kembali dipanggil; “Alexa, cooking time,” dan dalam sekejap lampu dapur langsung menyala, disusul oleh alunan musik upbeat yang di-stream via Spotify.

Kira-kira seperti itulah gambaran keseharian manusia modern. Namun kalau Anda jeli, Anda bisa melihat saya menyebut “penghangat ruangan” ketimbang “AC”. Alasannya, skenario ini jauh lebih mudah dicapai apabila kita tinggal di Amerika Serikat daripada di Indonesia.

Apakah negara kita sebegitu tertinggalnya perihal teknologi sampai-sampai tren smart home yang berpusat pada smart speaker dan integrasi voice assistant sulit diwujudkan? Jelas bukan itu masalahnya, tapi lalu mengapa smart speaker di Indonesia belum sepopuler di AS?

Saya melihat setidaknya ada empat poin penting yang menghambat perkembangan tren smart speaker di tanah air, dan saya akan coba membahasnya satu per satu lewat artikel ini.

Soal bahasa

Google Assistant dalam bahasa Indonesia / Google
Google Assistant dalam bahasa Indonesia / Google

Seperti yang kita tahu, voice assistant macam Alexa, Siri maupun Google Assistant diciptakan untuk berinteraksi secara lisan. Dukungan bahasa Indonesia mungkin sudah tersedia – terutama pada Google Assistant – tapi pada prakteknya komunikasi dengan voice assistant masih lebih mudah dijalani menggunakan bahasa Inggris.

Kalau tidak percaya, silakan cari video review Amazon Echo atau Google Home berbahasa Indonesia di YouTube. Videonya memang dalam bahasa Indonesia, akan tetapi bisa saya pastikan hampir semuanya berinteraksi dengan voice assistant menggunakan bahasa Inggris. Untuk yang sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia, kebanyakan adalah mereka yang iseng mencoba keahlian Google Assistant dalam melawak.

Masalah bahasa ini menurut saya hanyalah masalah waktu. Ketika pertama diluncurkan beberapa tahun lalu, Google Assistant juga tidak langsung bisa berbahasa Indonesia, namun sekarang ia sudah fasih dan pandai membuat lelucon dalam bahasa ibu kita. Seiring waktu, dukungan bahasa voice assistant akan semakin lengkap dan sempurna, dan semoga saja di titik itu kita sebagai konsumen juga jadi makin terbiasa berinteraksi menggunakan bahasa Indonesia.

Bagi yang sudah lancar berbahasa Inggris, saya kira Anda tak akan menemukan kesulitan dalam menggunakan smart speaker. Namun mayoritas tidak demikian, sehingga wajar apabila faktor bahasa ini menjadi penghambat perkembangan tren smart speaker di tanah air – setidaknya untuk saat ini.

Soal perbedaan budaya

Google Home Hub / Google
Google Home Hub / Google

Permasalahan bahasa dalam banyak kesempatan akan selalu dikaitkan dengan masalah perbedaan budaya. Yang membedakan di sini adalah, orang Indonesia cenderung tidak verbal ketika bersentuhan dengan teknologi.

Saya pribadi merasakannya. Saya fasih berbahasa Inggris, akan tetapi Siri di iPhone tidak pernah aktif. Pernah saya mencoba mengaktifkannya dengan maksud supaya lebih mudah memasang alarm (tinggal menginstruksikan Siri secara lisan), tapi ternyata saya jauh lebih terbiasa membuka aplikasi alarm secara manual, atau malah meminta tolong istri saya menyetel alarm di ponsel saya seumpama saya sedang disibukkan dengan hal lain dan tiba-tiba teringat harus bangun lebih awal di keesokan harinya.

Oke lah ini semua hanya masalah kebiasaan, tapi kita semua tahu tidak mudah mengubah suatu kebiasaan, apalagi yang sudah terbentuk sejak kecil. Bagi saya pribadi, kebiasaan ini bisa diubah apabila poin selanjutnya juga sudah bisa teratasi.

Soal ekosistem smart home yang belum besar

Ilustrasi aplikasi untuk mengontrol perangkat smart home. Mengontrol beberapa sekaligus dengan satu frasa jelas lebih mudah lagi / Pixabay
Ilustrasi aplikasi untuk mengontrol perangkat smart home. Mengontrol beberapa sekaligus dengan satu frasa jelas lebih mudah lagi / Pixabay

Pada skenario yang saya singgung di awal, perangkat smart home tentu memegang peranan penting dalam mewujudkannya. Lampu, tirai jendela, dan penghangat ruangan di situ semuanya dapat berkomunikasi via jaringan Wi-Fi, dan voice assistant memegang peran sebagai perantara.

Di Amerika Serikat, ekosistem smart home sudah tergolong sangat maju. Contoh yang paling gampang adalah pintu garasi. Di sana, cukup umum menjumpai rumah-rumah dengan pintu garasi yang dapat membuka sendiri ketika pemiliknya terdeteksi sudah dekat. Di Indonesia, saya yakin populasi penjualnya cukup langka, sebab memang pasarnya kurang cocok.

Ketika ekosistem smart home sudah meluas dan konsumen dapat dengan mudah melengkapi kediamannya dengan perabot-perabot pintar, di titik itulah smart speaker beserta voice assistant di dalamnya bisa berperan secara maksimal. Satu frasa singkat seperti di awal tadi sudah cukup untuk mengoperasikan beberapa perangkat sekaligus.

Google Assistant pada Google Home adalah salah satu yang paling bisa berinteraksi secara alami / Google
Google Assistant pada Google Home adalah salah satu yang paling bisa berinteraksi secara alami / Google

Pabrikan biasa menyebut fitur ini dengan istilah “routines“, dan menurut saya pribadi, routines adalah kunci dari sinergi antara smart speaker dan perangkat smart home. Tanpa routines, sebagian besar perangkat smart home akan terasa gimmicky. Namun dengan routines, kita bisa langsung merasakan bedanya beserta kepraktisan yang ditawarkannya.

Tahun lalu, saya mulai melihat banyak iklan-iklan properti yang mencantumkan “gratis perangkat smart home” sebagai salah satu nilai jual utamanya. Ini bisa menjadi pertanda bahwa ekosistem smart home di negara kita tidak stagnan, meski mungkin progress-nya masih tergolong lambat jika dibandingkan dengan di negara lain.

Kesimpulannya, masih ada harapan terkait perluasan ekosistem smart home di tanah air. Lalu ketika itu sudah terwujud, barulah kita bisa melihat peran esensial smart speaker, dan pada akhirnya kebiasaan kita yang kurang verbal perlahan juga bisa diubah saat sudah merasakan faedahnya.

Soal ketersediaan smart speaker yang terbatas

Apple HomePod / Apple
Apple HomePod / Apple

Poin yang terakhir ini adalah yang paling bisa dimaklumi, sebab perangkat elektronik dari kategori lain pun masih banyak yang serba terbatas ketersediaannya di tanah air. Sebagai produk baru dari kategori yang baru pula, wajar apabila pemasaran smart speaker di Indonesia belum gencar.

Sejauh ini yang saya tahu baru JBL yang sudah memasarkan lini speaker Link-nya di Indonesia. Google Home belum tersedia via jalur resmi, demikian pula Amazon Echo. Bahkan HomePod yang semestinya mudah diboyong ke tanah air – karena iBox yang berada di bawah Erajaya Group memegang hak distribusi eksklusif atas produk Apple – juga belum kunjung tersedia.

Tebakan saya, selain karena kategorinya masih baru, alasan lainnya menyambung poin sebelumnya mengenai ekosistem smart home. Karena ekosistemnya belum luas, peran smart speaker belum bisa maksimal, sehingga pada akhirnya pabrikan maupun distributor masih enggan membawa produk smart speaker-nya ke pasar Indonesia.

Kalau kita lihat, keempat masalah ini sebenarnya dapat teratasi dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Itulah mengapa saya mencantumkan kata “belum” pada judul ketimbang “tidak”, sebab memang saatnya masih belum tiba buat smart speaker untuk bersinar di pasar Indonesia.

Saya sama sekali tidak bermaksud mencegah Anda yang tertarik membeli, atau malah menjatuhkan yang sudah terlanjur membeli smart speaker. Beli sekarang atau nanti, smart speaker tetap sangatlah bermanfaat, hanya saja manfaatnya nanti (ketika tantangan-tantangan di atas sudah terlewati) akan lebih terasa lagi daripada sekarang.