[Tekno] Winamp Sedang Dirombak Total, Bakal Jadi Platform Streaming Audio ala Spotify?

Jauh sebelum Spotify eksis, dunia lebih dulu mengenal sebuah aplikasi komputer bernama Winamp. Aplikasi pemutar musik tersebut memang sudah tidak lagi sepopuler dulu, akan tetapi itu tidak mencegah pengembangnya mencoba menghidupkan kembali nama besar Winamp.

Bagi Anda yang berusia 25 tahun atau kurang, kemungkinan besar Winamp bakal terdengar asing di telinga Anda. Hal itu wajar mengingat software ini pertama kali dirilis di tahun 1997, hanya beberapa bulan setelah Blizzard meluncurkan game Diablo yang pertama, dan sekitar dua bulan sebelum seorang petinju profesional menggigit telinga lawannya dalam sebuah pertandingan resmi.

Kala itu, yang namanya streaming musik masih belum ada, dan salah satu cara populer untuk menikmati musik digital adalah dengan mengekstrak CD dan mengubah isinya menjadi format MP3. Winamp adalah salah satu aplikasi pemutar MP3 paling populer saat itu. Selain gratis, alasan lain Winamp disukai banyak orang adalah segudang skin yang tersedia sehingga kita dapat mengubah tampilannya sesuka hati.

Tampilan klasik Winamp / Dokumentasi pribadi

Kalau kita kunjungi situs Winamp sekarang, bisa kita lihat bahwa pengembangnya sedang sibuk merombak Winamp secara total. Jelasnya seperti apa masih tanda tanya, tapi semestinya bukan lagi sebatas pemutar musik biasa kalau melihat perkembangan zaman. Kalau berdasarkan informasi yang tertera, versi baru Winamp ini bakal “membawa kita lebih dekat dengan musisi yang kita sukai”, sekaligus menjadi “rumah dari siniar (podcast) dan stasiun radio favorit kita”.

Satu bagian di situsnya yang mencuri perhatian adalah tulisan “A unique space for Creators”. Dijelaskan bahwa melalui versi anyar Winamp ini, pengembangnya punya misi untuk memberikan para musisi dan podcaster kontrol atas konten bikinannya, sekaligus membantu mereka “mendapatkan penghasilan yang lebih adil”.

Kemudian kalau berdasarkan informasi di situs AudioValley (induk perusahaan pengembang Winamp sekarang), versi baru Winamp ini diproyeksikan sebagai platform lengkap untuk audio enthusiast yang “menghubungkan kreator dengan konsumen musik, siniar, stasiun radio, audiobook dan konten periferal lainnya”.

Sejauh ini, versi baru Winamp lebih terdengar seperti platform streaming audio macam Spotify ketimbang sebatas aplikasi pemutar musik biasa. Bisa jadi pengembangnya berharap nama besar Winamp dapat membantu menumbuhkan hype, dan yang pada akhirnya mendapat banyak sorotan media. Buat yang penasaran, Anda bisa mendaftar sebagai beta tester jika mau.

Sumber: XDA Developers.

AirPods Generasi Ketiga Unggulkan Desain Baru Serta Kinerja Audio yang Lebih Superior

Bersamaan dengan peluncuran MacBook Pro generasi baru, Apple juga memperkenalkan AirPods generasi ketiga. TWS anyar ini membawa sederet pembaruan yang signifikan dibanding pendahulunya, mulai dari desain sampai fitur dan performanya.

Dari segi desain, bisa kita lihat bahwa wujudnya kini jadi sangat mirip seperti AirPods Pro, minus eartip silikon di ujung masing-masing unitnya. Tangkainya memendek jika dibandingkan generasi sebelumnya, dan Apple juga menyematkan force sensor seperti yang terdapat pada AirPods Pro demi menghadirkan mekanisme pengoperasian yang lebih intuitif.

Tidak seperti pendahulunya, AirPods generasi ketiga kini tahan cipratan air dan keringat dengan sertifikasi IPX4. Bobotnya berada di kisaran 4,28 gram per earpiece, cuma sedikit lebih berat daripada AirPods generasi kedua (4 gram).

Meski mirip, AirPods generasi ketiga dan AirPods Pro sebenarnya masih punya sejumlah perbedaan fisik. Yang paling kentara adalah absennya ventilasi udara pada AirPods generasi ketiga, yang berguna untuk memperluas soundstage.

Terkait fitur dan kinerjanya, AirPods generasi ketiga menjanjikan kualitas suara dan mikrofon yang lebih baik dari sebelumnya. Apple turut membekalinya dengan fitur Adaptive EQ, yang diklaim mampu mengoptimalkan suara di frekuensi rendah dan sedang secara real-time berdasarkan fitting perangkat di telinga masing-masing pengguna.

Seperti halnya AirPods Pro dan AirPods Max, AirPods generasi ketiga juga sepenuhnya kompatibel dengan konten Dolby Atmos (spatial audio) sekaligus fitur dynamic head tracking. Perangkat turut dibekali fitur auto-play dan auto-pause berkat sensor yang bertugas mendeteksi apakah ia sedang berada di dalam telinga atau tidak.

Satu hal yang paling membedakan AirPods generasi ketiga dari AirPods Pro adalah active noise cancellation (ANC). Entah kenapa alasannya, Apple enggan menyematkan ANC ke TWS ini. Padahal, Beats Studio Buds yang dijual lebih murah saja punya fitur pemblokir suara aktif tersebut.

Soal daya tahan baterai, AirPods generasi ketiga diklaim sanggup beroperasi hingga 6 jam nonstop dalam sekali charge, sementara charging case-nya dapat mengisi ulang perangkat sampai sebanyak 4 kali, memberikan total daya baterai selama 30 jam.

Fast charging pun turut didukung; pengisian selama 5 menit saja sudah cukup untuk menenagai perangkat selama 1 jam pemakaian. Oh ya, case-nya ini kompatibel dengan charger MagSafe, kabar gembira bagi pengguna iPhone 12 dan iPhone 13.

Di Amerika Serikat, AirPods (3rd Generation) akan segera dipasarkan dengan harga $179. AirPods (2nd Generation) masih akan tetap dijual, tapi kini harganya tinggal $129 saja. Untuk AirPods Pro, batch barunya kini datang bersama charging case MagSafe dengan banderol yang sama, yaitu $249.

Apple Music Voice Plan

Bersamaan dengan peluncuran AirPods generasi ketiga, Apple juga memperkenalkan paket berlangganan baru buat layanan streaming musiknya. Paket bernama Apple Music Voice Plan ini akan tersedia dalam waktu dekat di 17 negara, tapi Indonesia tidak termasuk salah satunya.

Di Amerika Serikat, Apple mematok tarif $4,99 per bulan untuk paket baru ini, alias separuh dari tarif paket standarnya, dan sama persis seperti harga paket pelajar. Andai tidak ada perubahan, Apple Music Voice Plan semestinya bakal dihargai Rp29 ribu per bulan di Indonesia.

Lebih murah, lalu apa yang dipangkas? Sesuai namanya, Apple Music Voice Plan dimaksudkan untuk sepenuhnya diakses via perintah suara. Jadi ketimbang memilih lagu atau playlist via aplikasi, pelanggan paket ini harus meminta bantuan Siri. Dengan kata lain, paket ini jelas tidak cocok buat pelanggan yang menggunakan perangkat Android.

Perintah suaranya kontekstual, tapi tentu terbatas pada bahasa yang didukung oleh Siri (yang sejauh ini belum mencakup bahasa Indonesia). Beberapa contoh yang Apple berikan di antaranya adalah “Play the dinner party playlist,” dan “Play more like this”. Pelanggan Apple Music Voice Plan juga bakal menjumpai tampilan aplikasi yang berbeda dari biasanya.

Dari segi konten, pelanggan paket baru ini bisa mengakses katalog lengkap Apple Music yang mencakup lebih dari 90 juta lagu. Yang tidak tersedia adalah akses ke konten lossless dan Dolby Atmos. Kalau itu yang dicari, maka pengguna sebaiknya berlangganan paket standarnya.

Sumber: Apple 1, 2.

YouTube Music Bakal Hadirkan Fitur Background Playback untuk Pengguna Gratisan

Di antara sederet layanan streaming musik yang tersedia, YouTube Music mungkin adalah yang paling aneh. Aneh karena ketika pengguna keluar dari aplikasinya dan berpindah ke aplikasi lain, musiknya otomatis akan berhenti. Well, kecuali Anda berlangganan YouTube Premium atau YouTube Music Premium.

Sekadar mengingatkan, background playback memang merupakan salah satu fasilitas yang diunggulkan oleh kedua layanan subscription dari YouTube tersebut. Jadi kalau mau video atau audionya tetap berjalan selama membuka WhatsApp maupun aplikasi lainnya, kita wajib membayar biaya berlangganan terlebih dulu.

Namun tidak selamanya harus seperti itu. Mulai tanggal 3 November 2021, diawali dengan kawasan Kanada terlebih dulu, background playback bakal tersedia buat seluruh pengguna YouTube Music, termasuk yang merupakan para pengguna gratisan. Jadi walaupun tidak membayar, mereka tetap bisa mendengarkan koleksi konten di YouTube Music sembari membuka aplikasi lain, atau selagi layar ponselnya mati.

Kebijakan baru ini otomatis bakal membuat YouTube Music jadi lebih bisa bersaing dengan kompetitor-kompetitornya. Sebagai perbandingan, layanan yang menawarkan paket gratisan seperti Spotify, Deezer, Joox, maupun Resso sudah sejak lama menyediakan background playback kepada seluruh penggunanya tanpa terkecuali. Itulah kenapa saya tadi bilang YouTube Music aneh.

Kapan tepatnya pengguna YouTube Music di negara-negara selain Kanada bisa menikmati fitur background playback masih belum disebutkan. Namun seandainya nanti sudah ada, yang mungkin jadi pertanyaan adalah apakah kita masih perlu berlangganan YouTube Premium atau YouTube Music Premium.

Seperti biasa, jawabannya tergantung kebutuhan. Kalau Anda rutin mendengarkan konten podcast di YouTube, atau Anda suka menonton video selagi menyambi melakukan hal lain di smartphone, Anda tentu butuh berlangganan YouTube Premium. Pasalnya, fitur background playback buat pengguna gratisan tadi hanya berlaku untuk konten musik di YouTube Music saja.

Manfaat lain seperti pengalaman bebas iklan, offline download, maupun fungsi untuk berganti dari konten audio reguler ke video klip juga tetap hanya bisa dinikmati oleh para pelanggan berbayar saja. Singkat cerita, paket berlangganan YouTube masih punya daya tarik tersendiri terlepas dari kebijakan baru yang diterapkan tadi.

Sumber: Gizmodo dan Google. Gambar header: Alvaro Reyes via Unsplash.

Apple Music Segera Hadirkan Konten Lossless dan Dolby Atmos, Gratis untuk Semua Pelanggan

Februari lalu, Spotify mengumumkan Spotify HiFi, paket berlangganan baru yang disiapkan secara khusus bagi pengguna yang hendak menikmati audio dalam kualitas lossless. Tidak lama berselang, sekarang giliran Apple Music yang menyusul dengan pengumuman serupa.

Lewat sebuah siaran pers, Apple mengumumkan bahwa katalog musik berkualitas lossless bakal tersedia di Apple Music mulai bulan Juni mendatang. Menariknya, ketimbang menarik biaya ekstra, Apple justru menggratiskan katalog musik berkualitas lossless ini kepada semua pelanggan Apple Music. Jadi selama Anda sudah berlangganan Apple Music, Anda bisa langsung menikmati katalog musik lossless-nya dengan mengaktifkannya di menu pengaturan.

Di awal peluncurannya, Apple menargetkan sekitar 20 juta lagu yang tersedia dalam kualitas lossless. Jumlahnya akan terus bertambah sampai mencakup seluruh lagu yang tersedia (sekitar 75 juta lagu) sebelum pergantian tahun. Apple menggunakan ALAC (Apple Lossless Audio Codec), codec yang sudah mereka kembangkan sendiri sejak lama, dan yang sudah mereka jadikan open-source sekaligus royalty-free sejak tahun 2011.

Saat sudah tersedia nanti, pelanggan Apple Music dapat mengakses menu pengaturan untuk memilih resolusi buat masing-masing tipe koneksi (seluler, Wi-Fi, atau download). Pilihan resolusi lossless-nya sendiri dimulai dari 16-bit/44,1 kHz, lalu naik ke 24-bit/48 kHz, dan yang paling tinggi 24-bit/192 kHz. Untuk yang terakhir ini, Apple tidak lupa mengingatkan bahwa Anda butuh yang namanya USB DAC, alias digital-to-analog converter.

Selain katalog musik lossless, Apple juga bakal menghadirkan katalog khusus yang menawarkan efek spatial audio Dolby Atmos. Jumlah konten Dolby Atmos ini bakal jauh lebih sedikit daripada konten lossless — cuma ribuan lagu di awal peluncurannya — akan tetapi menurut saya perbedaannya akan jauh lebih mudah dirasakan daripada lossless tadi. Setidaknya buat saya pribadi, jauh lebih mudah menyadari suara yang datang dari segala arah (Dolby Atmos) daripada suara yang lebih detail (lossless).

Seperti halnya katalog lossless tadi, katalog Dolby Atmos di Apple Music juga akan tersedia secara cuma-cuma buat seluruh pelanggan. Untuk bisa menikmatinya, Anda butuh perangkat yang kompatibel. Secara default, Apple Music akan memutar konten Dolby Atmos (jika tersedia) di semua AirPods dan headphone beserta earphone Beats yang memiliki chip H1 atau W1, tidak ketinggalan pula di speaker bawaan beberapa versi terbaru iPhone (mulai iPhone 7), iPad, dan Mac.

Sumber: Apple.

Apple Music Bayarkan Satu Sen Dolar per Stream Kepada Pemegang Hak Cipta

Dewasa ini, mendistribusikan musik jauh lebih dimudahkan berkat kehadiran banyak platform streaming. Namun yang sering menjadi pertanyaan adalah, seberapa menguntungkan layanan macam Spotify atau Apple Music bagi seorang musisi?

Kita tahu bahwa Spotify, Apple Music, dan penyedia layanan streaming lainnya membayar biaya lisensi ke pemegang hak cipta (publisher, label rekaman, distributor) demi menyajikan konten ke masing-masing pelanggannya, namun berapa persisnya uang yang pada akhirnya masuk ke kantong tiap-tiap musisi?

Jawabannya bisa berbeda-beda tergantung platform streaming-nya, dan sulit untuk menerka angka persisnya karena ada banyak faktor yang memengaruhi. Kalau untuk Apple Music, berdasarkan surat yang dikirimkan ke para musisi (yang dilaporkan oleh Wall Street Journal), rata-rata Apple membayar satu sen dolar per stream. Kedengarannya memang tidak banyak, akan tetapi tarif yang dipatok rupanya sekitar dua kali lebih tinggi daripada Spotify.

Spotify, kalau dirata-rata, membayar sekitar sepertiga sampai setengah sen dolar per stream. Pun demikian, kita juga tidak boleh lupa bahwa Spotify memiliki total pengguna yang jauh lebih banyak. Pada kuartal keempat tahun 2020, Spotify melaporkan jumlah penggunanya telah mencapai angka 345 juta, dan 155 juta di antaranya merupakan pelanggan berbayar. Di sisi lain, terakhir Apple melaporkan jumlah pelanggannya adalah di bulan Juni 2019, tepatnya ketika mereka menembus 60 juta pelanggan.

Alhasil, tidak heran apabila kontribusi finansial Spotify terhadap industri musik juga lebih besar. Tahun lalu saja, Spotify membayarkan sekitar 5 miliar euro kepada pemegang hak cipta. Tarif per stream-nya lebih rendah karena rata-rata pelanggan Spotify juga mendengarkan lebih banyak musik setiap bulannya ketimbang pelanggan layanan lain. Ditambah lagi, Spotify juga punya paket gratisan yang sepenuhnya mengandalkan pemasukan dari iklan (yang jelas lebih sedikit ketimbang pemasukan yang didapat dari paket berbayarnya).

Satu hal yang perlu dicatat adalah, tarif satu sen dolar atau setengah sen dolar per stream itu tidak langsung masuk ke kantong musisi begitu saja. Tarif tersebut dibayarkan oleh penyedia layanan streaming kepada pemegang hak cipta (publisher, label rekaman, distributor), yang kemudian membayar tarif royalti ke para musisi berdasarkan persetujuan masing-masing. Seperti yang saya bilang, sulit menerka angka persisnya karena ada banyak faktor, salah satunya perbedaan kontrak yang disepakati oleh tiap-tiap musisi.

Meski begitu, tidak sedikit musisi yang menganggap tarif per stream ini sebagai indikator pemasukan mereka di era serba streaming seperti sekarang. Transparansi semacam ini tentu sangatlah relevan terutama di masa-masa pandemi seperti sekarang, di mana musisi terpaksa kehilangan salah satu sumber pemasukan utama mereka: konser.

Sumber: WSJ via Engadget. Gambar header: Depositphotos.com.

Tak Harus Ingat Judul, Mencari Lagu di Spotify Kini Jauh Lebih Mudah

Saya yakin sebagian besar dari kita pasti pernah mengalami hal ini: ingin mencari suatu lagu di Spotify, tapi lupa judulnya dan hanya ingat sepotong liriknya saja. Langkah paling logis yang selanjutnya kita lakukan adalah meminta bantuan Google dengan mencantumkan potongan liriknya tersebut, barulah setelahnya kita bisa menemukan lagunya di Spotify.

Mulai sekarang, kita semestinya sudah tidak perlu bergantung pada Google lagi soal ini, sebab Spotify belum lama ini kedatangan fitur baru yang sangat berguna, yang memungkinkan pengguna untuk mencari lagu dengan potongan lirik sebagai kata kuncinya.

Apple Music sudah punya fitur ini sejak iOS 12 diluncurkan dua tahun lalu, tapi seperti yang orang bijak katakan, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Ketika saya coba, fitur ini benar-benar bekerja sesuai harapan. Bukan cuma untuk lagu-lagu barat saja, tapi juga untuk lagu-lagu Indonesia. Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di bawah, bahkan lagu lawas seperti “Hatimu Hatiku” maupun soundtrack serial TV “Pendekar Pemanah Rajawali” yang dinyanyikan oleh Yuni Shara pun bisa ditemukan dengan mencantumkan potongan liriknya.

Lucunya, untuk lagu yang dinyanyikan Mbak Yuni itu, saya sempat mencoba dua kali; satu dengan kata “mengubah”, satu lagi dengan “merubah”. Kalau menurut KBBI revisi terkini, kita tahu bahwa yang benar adalah “mengubah”, tapi lirik aslinya yang dinyanyikan kala itu adalah “merubah”, dan ternyata Spotify berhasil menampilkan hasil yang tepat untuk keduanya.

Jujur saya sangat suka dengan fitur ini, terutama untuk mencari lagu-lagu yang memang judulnya tidak tercantum pada lirik sama sekali, seperti misalnya “A Day in the Life” gubahan The Beatles, atau “Black Dog” ciptaan Led Zeppelin – atau satu lusin lebih lagu Led Zeppelin lain yang memang judulnya tidak pernah dinyanyikan sama sekali.

Kalau boleh menebak, fitur ini semestinya bisa mencari seluruh lagu yang memang ada liriknya di Spotify, yang hampir semuanya berasal dari database milik Musixmatch. Selain di aplikasi smartphone, saya juga sempat menjajal fitur ini di aplikasi desktop Spotify, dan hasilnya pun identik, hanya saja tidak ada keterangan “Lyrics match” seperti di smartphone.

Via: 9to5Mac. Gambar header: Depositphotos.com.

TikTok Jalin Kerja Sama dengan Distributor Musik Indie UnitedMasters

Di tengah konflik antara pemerintahan Amerika Serikat dan ByteDance yang tak kunjung selesai, TikTok malah mengumumkan bahwa mereka telah meneken kontrak kerja sama dengan UnitedMasters, distributor musik indie yang bermarkas di kota New York.

Kemitraan ini unik karena kita harus ingat bahwa TikTok bukanlah platform streaming musik maupun platform untuk menonton video musik resmi macam YouTube. Kendati demikian, keterlibatan UnitedMasters berarti para kreator TikTok dapat langsung mendistribusikan lagu-lagu kreasinya ke layanan streaming seperti Spotify, Apple Music, SoundCloud atau YouTube.

Jadi ketimbang harus menumpang suatu label rekaman tradisional, musisi bisa memanfaatkan TikTok untuk menyebarluaskan karyanya di ranah digital. Dalam siaran persnya, TikTok mencontohkan sejumlah musisi seperti Curtis Roach, Curtis Waters, Breland, Tai Verdes, dan BMW Kenny sebagai yang berhasil menjadi cukup populer lewat TikTok.

“Apabila Anda merupakan seorang musisi, TikTok adalah tempat terbaik supaya musik Anda bisa viral, dan UnitedMasters adalah tempat terbaik untuk mempertahankannya selagi masih memegang hak kepemilikan penuh atas karya Anda,” terang Steve Stoute selaku pendiri sekaligus CEO UnitedMasters.

Sistem royalti yang UnitedMasters terapkan memang berbeda dari yang umum kita dapati di industri musik. Musisi benar-benar diserahi hak penuh atas rekaman aslinya, dan UnitedMasters cuma mengambil 10% dari total pemasukan. Alternatifnya, musisi malah bisa bergabung dalam program bernama Select, yang memungkinkan mereka untuk membayar tarif bulanan sebesar $5 ketimbang harus berbagi hasil dengan UnitedMasters.

Selain menawarkan mekanisme bagi hasil yang menarik, UnitedMasters juga siap memfasilitasi kerja sama antara musisi dengan brand. Sejauh ini, portofolio kerja sama UnitedMasters sudah mencakup nama-nama besar seperti NBA, NFL, ESPN, maupun Bose. Deal dengan TikTok ini berarti mereka bakal punya akses ke sederet talent baru untuk dikoneksikan dengan brandbrand tersebut.

Buat TikTok sendiri, kemitraan ini juga berarti mereka bakal memiliki akses ke Commercial Music Library milik UnitedMasters. Ini artinya para pelaku bisnis yang sudah terverifikasi di TikTok boleh memakai deretan musik yang tersedia untuk dipakai berpromosi tanpa harus membayar biaya royalti.

Sumber: TechCrunch dan New York Times. Gambar header: Kon Karampelas via Unsplash.

Spotify Luncurkan Premium Duo, Paket Berlangganan untuk Dua Sejoli

Spotify punya paket Premium baru, yaitu Premium Duo. Sesuai namanya, paket ini ditujukan untuk dua individu yang berbeda, atau kalau kata Spotify sendiri, untuk “pasangan yang tinggal serumah”. Well, jujur saya akan merasa terdiskriminasi seandainya sedang menjalin hubungan LDR dengan pasangan.

Saya pribadi sudah berlangganan paket Premium Family sejak lama, dan syarat tinggal serumah itu sejatinya merujuk pada informasi alamat yang digunakan sebagai metode verifikasi masing-masing anggota keluarga. Saya yakin kasusnya juga sama pada Premium Duo ini; selama kedua individu bisa menyebutkan alamat kediaman yang sama, maka layanan bisa langsung dinikmati.

Kenapa harus berlangganan Premium Duo? Alasan pertama tentu karena tarifnya jauh lebih hemat ketimbang harus berlangganan paket Premium satu per satu; Rp 65 ribu per bulan dibanding Rp 50 ribu (x2). Kedua, masing-masing pengguna memiliki akses ke Duo Mix, sebuah playlist eksklusif yang diperbarui secara rutin dengan lagu-lagu yang disukai oleh si dua sejoli.

Jadi kedua pengguna sebenarnya akan mendapat akun Premium yang terpisah sehingga mereka dapat menikmati musik favoritnya masing-masing tanpa harus bergiliran. Rekomendasi musik pun otomatis juga disajikan sesuai dengan selera masing-masing individu.

Namun di saat mereka bersama dan hendak menikmati musik bersama (di dalam mobil misalnya), ada playlist Duo Mix ini yang bisa diputar demi mencegah mereka saling mengejek selera musik masing-masing, sebab Spotify akan mencocokkan setiap like yang kedua pengguna bubuhkan pada akunnya masing-masing sebelum meracik playlist-nya. Isi playlist Duo Mix sendiri juga terdiri dari dua set, yakni “Chill” dan “Upbeat”.

Fitur serupa sudah lama ada pada paket Premium Family, dan bedanya hanya terletak pada jumlah individu yang tergabung (6 orang), serta adanya fitur untuk memblokir musik-musik yang liriknya tergolong eksplisit. Paket Family tentu juga sedikit lebih mahal di angka Rp 79 ribu per bulan.

Kalau Anda butuh alasan untuk meyakinkan pasangan untuk berlangganan Premium Duo, mungkin hasil studi internal Spotify ini bisa dimanfaatkan: 73% pasangan mengaku mendengarkan musik bersama adalah salah satu cara untuk mengingat-ingat kenangan yang indah. Lebih lanjut, 63% mengatakan bahwa mendengarkan musik bersama bisa membantu mereka menciptakan momen-momen yang berkenang.

Buat yang belum pernah berlangganan Premium sebelumnya, Spotify cukup murah hati memberikan akses gratis ke Premium Duo selama sebulan pertama.

Sumber: Spotify.

Sonos Luncurkan Layanan Streaming-nya Sendiri, Sonos Radio

Sudah sejak lama Sonos menawarkan integrasi berbagai layanan streaming di speakerspeaker buatannya. Begitu banyaknya layanan yang terintegrasi, terkadang konsumen bingung harus memakai yang mana.

Untuk mengatasi problem tersebut, Sonos sudah punya solusinya. Mereka baru saja meluncurkan layanan streaming-nya sendiri yang bernama Sonos Radio. Layanan gratis ini pada dasarnya Sonos ciptakan untuk mempermudah aspek discovery, sebab Sonos Radio bisa langsung diakses dari aplikasi Sonos, tanpa perlu menyambungkan akun tambahan.

Namun Sonos tidak mau memaksa. Andai konsumen keberatan, mereka bebas menonaktifkan Sonos Radio di aplikasi. Sebaliknya, mereka yang belum berlangganan Spotify atau layanan streaming lain bisa langsung memperkerjakan speaker barunya dengan Sonos Radio, yang sejauh ini diklaim mencakup lebih dari 60.000 stasiun radio.

Sonos Radio

Sonos Radio sejatinya terbagi menjadi tiga segmen: Sonos Presents, Sonos Stations, dan Local Radio. Sonos Presents adalah kumpulan program radio orisinal yang Sonos siapkan sendiri, kurang lebih mirip seperti segmen radio Beats 1 yang ada di Apple Music. Semua yang tersaji di Sonos Presents dipastikan bebas dari interupsi iklan.

Sonos Stations di sisi lain tidak ubahnya kumpulan playlist musik berdasarkan genre, sedangkan Local Radio pada dasarnya memberikan akses ke beragam opsi streaming radio yang sudah tersedia sebelumnya, seperti misalnya TuneIn atau iHeartRadio. Tidak seperti segmen yang pertama tadi, Sonos Stations dan Local Radio masih disisipi iklan.

Mengapa Sonos merasa perlu menawarkan layanan streaming-nya sendiri? Selain alasan seputar discovery itu tadi, tidak menutup kemungkinan Sonos Radio diciptakan supaya konsumen Sonos jadi semakin loyal, supaya mereka tidak mangkir ke brand speaker lain. Tanpa harus terkejut, Sonos Radio hanya bisa diakses lewat speaker Sonos.

Sayangnya tidak semua bagian Sonos Radio sudah tersedia secara global. Yang sudah bisa diakses di seluruh dunia saat ini baru segmen Local Radio, sedangkan Sonos Presents yang berisikan program radio orisinal tersebut baru tersedia di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Irlandia, dan Australia.

Sumber: Sonos dan Wired.

Apple Music Kini Dapat Diakses Lewat Browser Komputer

Tidak seperti sebagian besar layanan milik Apple, Apple Music tersedia di banyak platform sekaligus. Pelanggan bahkan bisa mengaksesnya di perangkat Windows (atau Linux maupun Chrome OS) melalui browser sejak September lalu, meski kala itu Apple Music versi web masih berstatus beta.

Sekarang, Apple Music versi web sudah resmi lulus dari status beta. Persis seperti di aplikasinya, versi web-nya menyediakan tiga tab, yaitu “For You”, “Browse”, dan “Radio”. Setelah login menggunakan Apple ID masing-masing – yang sudah dipakai berlangganan Apple Music tentu saja – pelanggan dapat langsung mengakses seluruh isi library beserta deretan playlist favoritnya.

Rekomendasi konten yang disuguhkan juga tidak berbeda dari yang terdapat pada aplikasi Apple Music di iOS, macOS maupun Android. Semua lagu akan diputar langsung di tab browser tanpa memerlukan plugin tambahan (termasuk halnya di Microsoft Edge bawaan Windows 10 yang belum mengadopsi Chromium).

Kehadiran Apple Music versi web ini tentu semakin menjadikannya sebagai alternatif yang tak kalah menarik dari Spotify. Sejauh ini, Apple mengklaim katalog layanan streaming musiknya sudah mencapai 60 juta lagu.

Buat yang belum pernah mencoba, Apple Music menyediakan free trial selama tiga bulan. Setelahnya, barulah pelanggan bakal ditarik biaya Rp 49 ribu per bulan. Tersedia pula tarif pelajar seharga Rp 29 ribu per bulan, atau paket keluarga seharga Rp 75 ribu per bulan.

Via: MacRumors.