Spotify Buka Akses Video Podcast ke Lebih Banyak Kreator

Video podcast bukanlah hal baru buat Spotify, dan jenis konten tersebut sebenarnya sudah eksis di platform streaming audio terbesar itu sejak tahun lalu. Kendati demikian, yang bisa mengunggah konten video podcast selama ini hanyalah para kreator terpilih saja.

Kabar baiknya, dalam waktu dekat ini Spotify bakal membuka aksesnya ke lebih banyak kreator melalui platform publikasi podcast-nya, Anchor. Prosesnya akan berlangsung secara bertahap, dan untuk sekarang Spotify lebih mengutamakan podcaster yang menawarkan konten video hanya sebagai pelengkap ketimbang sajian utama.

Kalau dalam kamus Spotify sendiri, konten videonya harus yang “easily backgroundable”. Artinya, kapanpun konsumen ingin berhenti menonton videonya, mereka bisa langsung melakukannya selagi masih mendengarkan audionya.

Ini krusial karena kalau berdasarkan hasil pengamatan Spotify selama ini, banyak pengguna yang menginginkan opsi untuk berganti antara audio saja atau video; tergantung di mana mereka berada, apa yang sedang mereka lakukan, dan konten apa yang sedang mereka nikmati. Selagi berada di dalam mobil misalnya, tentu akan lebih ideal jika podcast-nya dinikmati dalam bentuk audio saja.

Secara default, konten video di Spotify bakal aktif pada podcast yang menyediakannya. Namun pengguna juga dapat mengaktifkan opsi di menu data saver supaya yang dijalankan secara default hanyalah audionya saja.

Selagi podcast diputar, videonya bisa ditutup dan dibuka kapan saja pengguna mau. Sejauh yang saya coba, ini berlaku baik di aplikasi mobile maupun desktop Spotify. Di ponsel, kalau aplikasinya kita tutup, maka video juga otomatis akan berhenti di-stream, tapi audionya tetap akan berjalan seperti biasa.

Videonya tentu bisa ditampilkan secara full-screen jika perlu. Spotify turut menyediakan subtitle yang di-generate secara otomatis, mirip seperti yang biasa kita dapati di YouTube.

Selain membuat podcast jadi makin interaktif, video juga bisa dijadikan salah satu opsi monetisasi bagi para kreator. Jadi seandainya kreator mau, mereka bisa saja menjadikan video podcast sebagai konten eksklusif yang hanya bisa dinikmati oleh para subscriber-nya. Seperti yang kita tahu, Spotify memang sudah menyiapkan program subscription dengan sistem bagi hasil yang sangat menarik bagi para kreator.

Sumber: Spotify.

Spotify Hadirkan Fitur Music + Talk di Indonesia

Musik menyentuh hampir seluruh rentang usia dan menjangkau sebagian besar dunia berkat dukungan platform yang semakin luas, salah satunya melalui Spotify. Di sisi lain, berbincang mengenai musik juga menjadi topik populer di platform Spotify lainnya, Music+ Talk yang diuji di beberapa negara.

Continue reading Spotify Hadirkan Fitur Music + Talk di Indonesia

Memetakan Posisi Indonesia di Pertumbuhan Industri Podcast Global

Di antara industri konten kreatif yang terus melejit selama beberapa tahun terakhir, salah satu yang menjadi rising star adalah konten audio podcast. Sebuah riset bertajuk “Global Podcasting Market by Genre, by Formats, by Region, Industry Analysis and Forecast, 2020 – 2026” menyebutkan bahwa ukuran pasar podcast global diperkirakan akan mencapai $41,8 miliar pada tahun 2026, mengalami pertumbuhan pasar sebesar 24,6% CAGR dalam periode tersebut.

Secara sederhana, podcast adalah file audio digital yang dapat diunduh pengguna — atau di beberapa aplikasi, streaming — dan dengarkan melalui internet, biasanya tersedia sebagai seri yang dapat dengan mudah diterima oleh pendengar. Meskipun podcast sangat beragam dalam hal konten, format, nilai produksi, gaya, dan panjang, semuanya didistribusikan melalui RSS, atau Really Simple Syndication, format standar yang digunakan untuk menerbitkan konten. Dalam hal podcast, RSS berisi semua metadata, karya seni, dan konten acara.

Menurut beberapa sumber, podcasting bermula dari blogposting yang dikembangkan oDavid Winer dan Christopher Lydon pada awal 2000-an. Winer membuat kanal RSS yang mengumpulkan rekaman audio wawancara antara mantan wartawan NPR, Christopher Lydon, dengan ahli teknologi dan politikus. Dalam kurun waktu yang sama, Adam Curry memperkenalkan program Daily Source Code yang saat itu didistribusikan lewat iPod.

Hal ini menarik minat seorang jurnalis Ben Hammersley yang kemudian membahas animo masyarakat terkait maraknya penyebaran konten audio dan secara tidak sengaja menemukan terminologi podcasting [singkatan dari iPod dan broadcasting]. Pada masa awalnya, pasar ini berfokus pada audiens khusus atau niche dan topik individu — seperti televisi kabel atau blog — berbeda dengan radio yang ditujukan untuk audiens massal, jadi harus memiliki konten dengan daya tarik luas.

Image
Sumber: Website Andreessen Horowitz

Pada tahun 2005, Apple merilis versi 4.9 yang mendukung distribusi podcast dalam semua platformnya. Ketika itu, Steve Jobs mengatakan, “Podcasting adalah generasi radio berikutnya, dan pengguna sekarang dapat berlangganan lebih dari 3.000 Podcast gratis dan setiap episode baru secara otomatis dikirimkan melalui Internet ke komputer dan iPod mereka.”

Apple Podcast memainkan peran penting dalam pengembangan industri dan tetap mendominasi tangga aplikasi untuk mendengarkan. Namun, pangsa pasarnya telah turun dalam beberapa tahun terakhir, dari lebih dari 80% menjadi 63%. Hal ini terlihat wajar mengingat semakin banyak platform yang mulai mengakomodasi distribusi podcast seperti Google Podcast dan Spotify.

Saat ini, orang-orang telah semakin banyak menghabiskan waktu untuk mendengarkan podcast. Menurut kompilasi portal data dan statistik, Statista, 37 persen orang dewasa di Amerika Serikat (AS) telah mendengarkan podcast, angka ini meningkat lebih dari tiga kali lipat selama satu dekade terakhir.

Konsumsi audio podcast di AS tahun 2008-2020. Sumber: Statista

Lahir dan berkembang di pasar AS, popularitas podcast menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Industri podcast di Tiongkok disebut telah 23x lebih besar dari Amerika karena satu alasan utama: Podcast di Tiongkok sebagian besar memiliki model bisnis langganan berbayar, sementara podcast di Amerika hampir semuanya gratis dan hanya didukung iklan.

Sebagai negara dengan industri podcast yang terbilang masih “bayi”, kiblat mana yang sekiranya pas untuk pasar Indonesia?

Model bisnis podcast

Dilansir dari HBR, model bisnis yang baik harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ‘Siapa pelanggannya? Dan apa nilai yang ditawarkan?’ Lalu hal tersebut juga harus menjawab pertanyaan mendasar: Bagaimana kita menghasilkan uang dalam bisnis ini? Apa logika ekonomi mendasar yang menjelaskan bagaimana perusahaan dapat memberikan nilai kepada pelanggan dengan biaya yang sesuai?”

Dalam sebuah utas di Twitter, Co-Founder dan partner Village Global, sebuah VC tahap awal yang berbasis di US, Erik Torenberg menjabarkan fakta-fakta menarik terkait monetisasi dalam industri podcast. Erik mengungkap beberapa alasan industri ini masih kesulitan dalam menemukan sumber pendapatan adalah karena monetisasi tidak bisa dilakukan pada saluran distribusi yang paling besar [Apple], pemasaran ekor panjang [long-tail marketing] yang belum mencukupi, serta kelengkapan data yang belum tersedia dan perangkat “targeting” yang belum canggih.

Monetisasi bisnis podcast saat ini layaknya internet pada masa awal, masih baru dan belum stabil. Seiring meningkatnya jumlah pendengar, podcast bisa mulai menghasilkan pendapatan melalui iklan yang masuk. Namun, terkadang iklan saja tidak cukup. Dalam utasnya, Erik turut menyampaikan penggambaran model bisnis potensial yang dapat dipelajari dari Tiongkok.

Yang pertama dan masih jadi yang utama adalah iklan atau sponsor. Meskipun dinilai efektif dan dengan cara yang unik (karena dapat menyasar demografi serta geografi yang nyaris tanpa batas), terkadang iklan saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi.

Selain itu, ada donations yang memungkinkan pembuat konten mendapatkan revenue melalui donasi lewat pihak ketiga dari para pendengarnya. Salah satu platform yang familiar digunakan di Indonesia, Anchor, memungkinkan pendengar memberikan donasi kepada pembuat konten hingga $10/bulan.

Lalu ada subscription dan a la carte purchases. Model berlangganan premium ini populer di Tiongkok. Salah satu platform audio konsumen yang sudah mencapai status unicorn, Ximalaya, memiliki fitur berlangganan seharga $3 per bulan yang memungkinkan pengguna mengakses lebih dari 4000 e-book dan lebih dari 300 kursus audio atau podcast premium. Konten audio juga tersedia a la carte, mulai dari $0,03 per episode, atau mulai dari $10 hingga $45 untuk kursus audio berbayar.

Menurut observasi penulis, dua skema pertama (iklan dan berlangganan), menjadi konsep yang paling memungkinkan untuk diterapkan jaringan pembuat konten tanpa platform independen.

Ekosistem yang mulai matang

Selama lima tahun terakhir, aplikasi audio khusus di China telah berkembang pesat. Faktanya, pengguna pasar audio online tumbuh lebih dari 22% di China pada tahun 2018, meningkat lebih cepat daripada aplikasi video atau membaca. Melihat China dapat menggambarkan model bisnis potensial — sebagian melalui mengadopsi pendekatan audio-sentris daripada mengikuti definisi podcasting yang terbatas.

Ximalaya diketahui telah memiliki 70 persen hak buku audio atas judul buku terlaris di China dan baru-baru ini melakukan investasi di media Himalaya yang berbasis di San Francisco. Didukung Tencent, Ximalaya telah membangun platform dan komunitas berbasis audio, Ximalaya FM, dengan rata-rata 250 juta pengguna bulanan. 146 juta di antaranya mendengarkan konten audio perusahaan melalui perangkat internet-of-things (IoT) dan perangkat pihak ketiga lainnya.

Per Maret 2020, Ximalaya berhasil menempati peringkat kedua setelah Apple sebagai platform yang paling sering digunakan untuk mendengarkan podcast di Tiongkok, mengungguli Spotify yang berada di peringkat ke-6.

Platform yang paling sering digunakan untuk mendengarkan podcast di Tiongkok per Maret 2020. Sumber: Statista

Di Indonesia, industri ini kian naik daun ketika Spotify membuka kanal khusus yang mempermudah siapa saja untuk mengunggah konten podcast. Beberapa nama yang sudah tidak asing seperti Rapot, Podkesmas, atau Rintik Sedu telah bertengger di kategori podcast terpopular di Spotify.

Podcast sebagai industri kreatif telah berkembang sedemikian rupa, variasi konten dan fleksibilitas menjadi dua alasan besar mengapa konsumen mendengarkan konten audio berbasis digital ini.

Salah satu platform podcast lokal yang juga ikut bersaing adalah Inspigo atau Inspiration on the Go yang belum lama ini dikabarkan telah disuntik dana oleh Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). Berikut gambaran beberapa platform yang sering digunakan untuk mendengarkan podcast di Indonesia serta strategi monetisasinya.

Aplikasi Layanan Monetisasi
Spotify Distribusi musik dan podcast Iklan dan akses Spotify premium mulai dari Rp2,500 per hari hingga Rp79,000 per bulan
Apple Podcast Distribusi podcast Gratis (Khusus pengguna iOS)
Soundcloud Distribusi musik dan podcast Iklan dan akses premium mulai dari Rp36,000 hingga Rp174,000 per bulan
Pocket Casts Rekaman dan distribusi podcast Akses premium mulai dari Rp14,000 per bulan
Google Podcast Distribusi podcast Gratis
Anchor Rekaman dan distribusi podcast Gratis
NOICE Distribusi musik, podcast, radio dan audiobook Gratis
Inspigo Distribusi podcast, audio playbook Akses premium mulai dari Rp10,000 per 7 hari hingga Rp300,000 per 12 bulan

Pandangan pemain lokal

Pertumbuhan bisnis podcast yang semakin terlihat turut menarik minat investor lokal maupun global. Namun, mengingat tantangan monetisasi, pertanyaannya adalah apakah startup dapat membangun jalur yang tepat untuk menjadi bisnis yang berkelanjutan?

Aryo Ariotedjo, Co-Managing Partner Absolute Confidence, yang telah masuk sebagai seed investor di Podkesmas, mengungkapkan, “Dengan maraknya konten di Indonesia seperti YouTube, podcast merupakan industri yang baru berkembang 2 tahun terakhir seperti halnya YouTube waktu di tahun 2014. Menjadi pendukung para podcasters di awal-awal berkembangnya industri ini, dapat mampu mendongkrak talent-talent tersebut menjadi professional dan dapat me-monetize lebih baik lagi dan menciptakan content yang memang dicari berdasarkan data yang ada (data driven content creation).”

Di Indonesia sendiri, layanan podcast yang dari awal sudah yakin dengan model bisnisnya adalah Inspigo. Mereka membangun konten dengan tujuan konsumsi (pegawai) perusahaan. Sementara podcaster yang lain masih mencari popularitas dan pendengar setia di platform seperti Spotify dan Apple Podcast.

CIO Mugi Reksa Abadi Grup dan juga angel investor Michael Tampi menyatakan optimismenya dengan mengatakan, “Kita masih dalam tahap mencari format paling tepat, namun pemenang-pemenangnya sudah mulai terbentuk.”

Spotify Akuisisi Podz, Ingin Benahi Problem Seputar Podcast Discovery dengan Machine Learning

Salah satu problem utama di industri podcasting saat ini bukanlah soal ketersediaan dan keberagaman konten. Yang kerap menjadi hambatan justru adalah aspek discovery, dan itulah mengapa Spotify baru-baru ini memutuskan untuk mengakuisisi Podz, sebuah startup yang ingin mengatasi masalah tersebut dengan memanfaatkan machine learning.

Teknologi yang dikembangkan oleh Podz pada dasarnya bisa dideskripsikan sebagai versi otomatis dari Headliner, sebuah tool yang kerap dipakai kalangan podcaster untuk mempromosikan kontennya via klip-klip pendek yang dapat dibagikan ke media sosial. Podz menjuluki teknologinya dengan istilah “audio newsfeed”, di mana pengguna akan disuguhi deretan klip berdurasi 60 detik yang diambil dari berbagai podcast.

Klip-klip tersebut dimaksudkan untuk menyoroti momen terbaik dari setiap podcast, sangat krusial mengingat satu episode podcast sering kali mempunyai durasi di atas 30 menit, dan terkadang deskripsi teks yang tercantum kurang bisa menggambarkan keseruan yang ditawarkan. Dengan sampel audio singkat ini, harapannya pengguna bisa lebih mudah menemukan podcastpodcast baru di luar yang sudah mereka ikuti.

Singkat cerita, kalau lagu-lagu di Spotify bisa kita dengarkan preview-nya, kenapa podcast tidak? Lagu yang berdurasi cuma 4 menit saja bisa ada sampel versi pendeknya, lalu kenapa episode podcast yang berdurasi 1 jam tidak bisa kita dengarkan terlebih dulu ‘momen klimaksnya’ sebelum kita mengklik tombol play? Kira-kira seperti itulah premis yang ditawarkan oleh Podz, dan ke depannya kita bakal melihat semua ini diintegrasikan langsung ke platform Spotify.

Kepada TechCrunch, tim Podz menjelaskan bahwa model machine learning yang mereka gunakan telah dilatih dengan lebih dari 100.000 jam audio, lengkap beserta sesi konsultasi dengan kalangan jurnalis maupun audio editor. Sebelum diakuisisi Spotify, Podz sudah lebih dulu menerima pendanaan sebesar $2,5 juta dari berbagai investor.

Spotify sendiri melihat integrasi Podz dapat memudahkan para pelanggannya untuk menemukan konten-konten baru yang menarik di tengah 2,6 juta podcast yang tersedia dalam katalog Spotify, termasuk halnya deretan podcast berbayar yang akan segera datang. Dari sisi sebaliknya, kehadiran Podz juga diharapkan bisa membantu kalangan kreator mempromosikan kontennya secara lebih maksimal.

Sumber: Spotify dan TechCrunch. Gambar header: Depositphotos.com.

Spotify Greenroom Resmi Dirilis, Siap Tantang Clubhouse dan Twitter Spaces

Kategori aplikasi live audio resmi kedatangan penantang baru, yakni Spotify Greenroom. Seperti halnya Clubhouse, Twitter Spaces, dan sederet kompetitor lainnya, Greenroom dirancang sebagai wadah untuk berdiskusi lisan secara virtual dan secara langsung (live).

Secara teknis, Spotify Greenroom sebenarnya tidak bisa dibilang 100% baru. Aplikasi ini sebelumnya sudah eksis lebih dulu menggunakan nama Locker Room, sebelum akhirnya diakuisisi dan dirombak oleh Spotify pada bulan Maret 2021.

Yang dirombak bukan sebatas branding-nya saja, sebab Locker Room pada awalnya cuma berperan sebagai Clubhouse-nya para penggila olahraga. Sebagai Greenroom, topik bahasannya kini jelas meluas secara drastis, apalagi mengingat aplikasinya sudah tersedia di lebih dari 135 negara.

Dalam Greenroom, siapapun bebas memulai sesi live-nya sendiri. Kita tidak perlu menjadi pelanggan Spotify Premium untuk dapat menciptakan room di Greenroom — kita bahkan tidak memerlukan akun Spotify sama sekali untuk bisa menggunakan Greenroom. Meski begitu, seandainya kita sudah punya akun Spotify, kita tentu dapat memakainya untuk login di Greenroom.

Di setiap room, kita bisa menemukan tiga jenis partisipan: host, pembicara, dan pendengar. Host adalah yang menciptakan room tersebut, dan mereka punya kontrol penuh atas siapa saja yang berhak berbicara selama sesi berlangsung. Host juga dapat mengaktifkan atau menonaktifkan fungsi chat di masing-masing room.

Sistem like di Greenroom diwakili oleh Gem. Klik dua kali icon seorang pembicara atau host, maka mereka bakal mendapatkan sebuah Gem. Total Gem yang pernah diterima akan ditampilkan di seluruh profil pengguna di Greenroom. Anggap saja Gem sebagai indikator popularitas di kalangan pengguna Spotify Greenroom, namun bukan tidak mungkin seandainya fitur ini bakal dimonetisasi ke depannya.

Spotify sejauh ini memang belum menawarkan opsi monetisasi apapun kepada pengguna Greenroom. Untuk sekarang, satu-satunya cara pengguna Greenroom mendapatkan uang adalah dengan mendaftarkan diri di program Spotify Greenroom Creator Fund, yang sayangnya cuma tersedia di Amerika Serikat saja.

Satu hal unik yang Greenroom tawarkan adalah kemudahan bagi host untuk merekam sesi perbincangan yang berlangsung di room-nya, yang kemudian dapat dikemas dan didistribusikan sebagai episode podcast jika mau. Kita tidak perlu terkejut seandainya nanti Spotify menambahkan tombol ekstra yang memungkinkan host untuk langsung menyunting file audio-nya di Anchor, yang tidak lain merupakan platform kreasi podcast milik Spotify.

Spotify Greenroom saat ini sudah tersedia dan bisa diunduh di perangkat Android maupun iOS.

Sumber: Spotify.

Bos Spotify: Semua Platform Sosial Bakal Punya Fitur Live Audio

Live audio, social audio, apapun itu namanya, sedang menjadi topik hangat semenjak popularitas Clubhouse mencuat secara drastis. Satu demi satu platform sosial menyerukan rencananya untuk ikut ambil bagian dalam tren baru ini. Mulai dari yang sebesar Facebook, sampai yang niche seperti LinkedIn maupun Reddit, semuanya sedang sibuk menyiapkan kompetitor Clubhouse.

Begitu populernya tren live audio belakangan ini, ada kemungkinan bagi live audio untuk menyusul jejak Stories ke depannya. Ini bukan pendapat saya, melainkan pendapat CEO Spotify, Daniel Ek, yang ia sampaikan pada episode terbaru podcast Spotify: For the Record.

Daniel memprediksi semua platform ke depannya bakal memiliki fitur live audio, kurang lebih sama seperti ketika demam Stories sedang melanda. Seperti yang kita tahu, Stories awalnya cuma ada Snapchat, namun popularitas format video ephemeral tersebut langsung melambung tinggi sejak dijiplak oleh Instagram. Sekarang pun Stories sudah menjadi fitur umum yang dimiliki banyak platform sosial sebagai salah satu cara berinteraksi antar sesama penggunanya.

Tanpa perlu terkejut, Spotify sendiri tentu juga sedang menyiapkan kompetitor Clubhouse. Pada akhir bulan Maret lalu, Spotify mengakuisisi Betty Labs, pengembang aplikasi live audio khusus segmen olahraga bernama Locker Room. Spotify saat ini sedang dalam proses merombak aplikasi tersebut, yang nantinya bakal dinamai Spotify Greenroom ketika sudah siap dirilis ke publik.

Greenroom bakal jadi aplikasi yang terpisah dari Spotify. Seperti halnya Clubhouse, Greenroom bakal menjadi medium yang dapat dipakai untuk berdiskusi, berdebat, maupun untuk mengadakan sesi tanya-jawab secara live. Topiknya tentu tidak lagi terbatas untuk bidang olahraga saja.

Spotify memang belum merincikan terlalu banyak detail mengenai Greenroom, tapi mereka sudah punya gambaran yang cukup jelas terkait fitur-fitur menarik yang bakal diintegrasikan. Salah satunya adalah fitur untuk menyulap sesi live audio di Greenroom menjadi podcast di Spotify. Mereka juga bereksperimen dengan fitur-fitur monetisasi, dan salah satu opsi yang terpikirkan adalah mempersilakan kreator untuk menarik biaya masuk ke masing-masing room-nya.

Sumber: Engadget. Gambar header: Depositphotos.com.

Kreator Podcast di Spotify Kini Bisa Menawarkan Program Subscription Buat Para Pendengarnya

Perang platform podcasting tengah memanas. Hanya selang beberapa hari setelah Apple memperkenalkan layanan Apple Podcasts Subscriptions, sekarang giliran Spotify yang meluncurkan layanan serupa. Spotify memang sudah merencanakannya sejak Februari lalu, akan tetapi timing peluncurannya bisa dipastikan bukan kebetulan.

Sama seperti yang Apple lakukan, layanan ini pada dasarnya Spotify rancang agar para kreator podcast bisa menawarkan program paid subscription kepada para audiensnya. Harapannya tentu supaya kreator bisa mendapatkan pemasukan tambahan, dan Spotify benar-benar tidak mau main-main soal itu.

Di saat Apple menarik komisi 30% dari total pemasukan subscription yang dihasilkan oleh masing-masing kreator — mulai tahun kedua turun menjadi 15% — Spotify memutuskan untuk tidak mengambil apa-apa. Dengan kata lain, 100% biaya berlangganan yang dibayarkan oleh para pendengar bakal masuk ke kantong masing-masing kreator — kecuali biaya penanganan kecil yang akan dibayarkan ke Stripe selaku pihak yang menangani proses transaksinya.

Kebijakan ini akan terus berlanjut sampai sekitar dua tahun. Di tahun 2023, Spotify berniat untuk menarik komisi sebesar 5%, tetap jauh lebih kecil daripada yang Apple tetapkan. Mengenai tarifnya, kreator bisa memilih satu dari tiga opsi tarif bulanan: $3, $5, atau $8. Untuk sekarang, program ini memang baru tersedia buat para kreator di Amerika Serikat saja, tapi dipastikan menyusul ke negara-negara lain dalam beberapa bulan mendatang.

Semua episode podcast yang hanya bisa diakses oleh para subscriber akan ditandai dengan icon gembok. Untuk berlangganan, cukup disayangkan para pendengar tidak bisa melakukannya langsung dari aplikasi Spotify, melainkan harus lewat situs Anchor, spesifiknya laman profil masing-masing kreator di Anchor. Ini juga berarti kreator hanya bisa mengatur program subscription-nya melalui platform Anchor.

Dalam kesempatan yang sama, Spotify juga mengumumkan bahwa mereka tengah mengembangkan teknologi untuk memfasilitasi kreator podcast yang sudah memiliki program subscription di platform lain. Tujuannya adalah supaya mereka bisa mendistribusikan konten berbayarnya di Spotify selagi melibatkan sistem login-nya sendiri. Berhubung masih dikembangkan, cara kerja pastinya seperti apa pun masih tanda tanya.

Sumber: Spotify dan Anchor. Gambar header: Depositphotos.com.

Aplikasi Facebook Kini Dilengkapi Miniplayer untuk Memutar Konten Audio dari Spotify

Facebook sedang keranjingan dengan konten audio. Pekan lalu, mereka membeberkan rencananya untuk lebih berfokus pada penyajian konten audio, termasuk halnya meluncurkan kompetitor Clubhouse. Bukan cuma itu, mereka rupanya juga tidak segan menggandeng salah satu nama terbesar di industri konten audio saat ini, Spotify.

Buah kerja sama di antara keduanya adalah semacam miniplayer Spotify yang dapat ditemukan langsung di aplikasi Facebook versi Android maupun iOS. Fitur ini sekarang sudah tersedia di 27 negara, termasuk Indonesia, dan dijadwalkan menyusul ke lebih banyak negara lagi dalam beberapa bulan ke depan.

Setiap lagu atau episode podcast yang dibagikan ke Facebook sekarang dapat diputar langsung lewat aplikasi Facebook. Cukup klik tombol “Play” pada lagu atau podcast yang dijumpai di News Feed, maka audio akan langsung dijalankan di background. Namanya miniplayer, fitur ini hanya memakan porsi kecil dari tampilan antarmuka aplikasi Facebook di bagian bawah.

Selama audio diputar, pengguna masih bisa terus melihat isi News Feed seperti biasa. Ketika lagu atau episode podcast-nya usai, maka konten berikutnya dari Spotify akan diputar secara otomatis. Kalau Anda bukan pelanggan Spotify Premium, maka sesekali Anda juga akan mendengarkan iklan, sama persis seperti di aplikasi Spotify itu sendiri.

Satu hal yang perlu dicatat adalah, agar bisa memutar audio via miniplayer Facebook ini, Anda masih harus meng-install aplikasi Spotify. Pasalnya, ketika Anda mengklik tombol “Play”, perangkat otomatis akan membuka aplikasi Spotify dan memutar konten audionya dari situ. Dengan kata lain, miniplayer yang muncul di aplikasi Facebook itu pada dasarnya hanya berfungsi sebagai remote control aplikasi Spotify.

Ini berarti audio masih tetap akan berjalan meski pengguna menutup aplikasi Facebook. Lebih lanjut, pengguna yang belum pernah memakai Spotify sama sekali juga wajib mendaftarkan akun Spotify terlebih dulu agar fitur miniplayer di aplikasi Facebook ini bisa bekerja.

Sumber: Spotify dan TechCrunch.

Apple Music Bayarkan Satu Sen Dolar per Stream Kepada Pemegang Hak Cipta

Dewasa ini, mendistribusikan musik jauh lebih dimudahkan berkat kehadiran banyak platform streaming. Namun yang sering menjadi pertanyaan adalah, seberapa menguntungkan layanan macam Spotify atau Apple Music bagi seorang musisi?

Kita tahu bahwa Spotify, Apple Music, dan penyedia layanan streaming lainnya membayar biaya lisensi ke pemegang hak cipta (publisher, label rekaman, distributor) demi menyajikan konten ke masing-masing pelanggannya, namun berapa persisnya uang yang pada akhirnya masuk ke kantong tiap-tiap musisi?

Jawabannya bisa berbeda-beda tergantung platform streaming-nya, dan sulit untuk menerka angka persisnya karena ada banyak faktor yang memengaruhi. Kalau untuk Apple Music, berdasarkan surat yang dikirimkan ke para musisi (yang dilaporkan oleh Wall Street Journal), rata-rata Apple membayar satu sen dolar per stream. Kedengarannya memang tidak banyak, akan tetapi tarif yang dipatok rupanya sekitar dua kali lebih tinggi daripada Spotify.

Spotify, kalau dirata-rata, membayar sekitar sepertiga sampai setengah sen dolar per stream. Pun demikian, kita juga tidak boleh lupa bahwa Spotify memiliki total pengguna yang jauh lebih banyak. Pada kuartal keempat tahun 2020, Spotify melaporkan jumlah penggunanya telah mencapai angka 345 juta, dan 155 juta di antaranya merupakan pelanggan berbayar. Di sisi lain, terakhir Apple melaporkan jumlah pelanggannya adalah di bulan Juni 2019, tepatnya ketika mereka menembus 60 juta pelanggan.

Alhasil, tidak heran apabila kontribusi finansial Spotify terhadap industri musik juga lebih besar. Tahun lalu saja, Spotify membayarkan sekitar 5 miliar euro kepada pemegang hak cipta. Tarif per stream-nya lebih rendah karena rata-rata pelanggan Spotify juga mendengarkan lebih banyak musik setiap bulannya ketimbang pelanggan layanan lain. Ditambah lagi, Spotify juga punya paket gratisan yang sepenuhnya mengandalkan pemasukan dari iklan (yang jelas lebih sedikit ketimbang pemasukan yang didapat dari paket berbayarnya).

Satu hal yang perlu dicatat adalah, tarif satu sen dolar atau setengah sen dolar per stream itu tidak langsung masuk ke kantong musisi begitu saja. Tarif tersebut dibayarkan oleh penyedia layanan streaming kepada pemegang hak cipta (publisher, label rekaman, distributor), yang kemudian membayar tarif royalti ke para musisi berdasarkan persetujuan masing-masing. Seperti yang saya bilang, sulit menerka angka persisnya karena ada banyak faktor, salah satunya perbedaan kontrak yang disepakati oleh tiap-tiap musisi.

Meski begitu, tidak sedikit musisi yang menganggap tarif per stream ini sebagai indikator pemasukan mereka di era serba streaming seperti sekarang. Transparansi semacam ini tentu sangatlah relevan terutama di masa-masa pandemi seperti sekarang, di mana musisi terpaksa kehilangan salah satu sumber pemasukan utama mereka: konser.

Sumber: WSJ via Engadget. Gambar header: Depositphotos.com.

Spotifiy Kini Punya Hardware Sendiri: Car Thing

Setelah lama dinantikan, Spotify akhirnya meluncurkan hardware perdananya, yakni sebuah pemutar audio untuk mobil bernama Car Thing. Rumor mengenai ketertarikan Spotify untuk menggarap hardware-nya sendiri sebenarnya sudah beredar sejak tahun 2017, namun baru di tahun 2019 mereka mengonfirmasinya sekaligus menyingkap wujudnya.

Versi yang diluncurkan hari ini jauh berbeda dari prototipenya. Ketimbang hanya mengemas layar kecil yang membulat, versi final Spotify Car Thing justru dibekali layar sentuh dengan bentang diagonal 4 inci. Di sebelah kanannya ada kenop besar yang dapat diputar maupun disentuh, diikuti oleh sebuah tombol kecil di bawahnya yang berfungsi sebagai tombol back.

Pada sisi atasnya, ada lima buah tombol fisik. Empat di antaranya berfungsi sebagai tombol preset yang dapat diprogram, sedangkan yang berada di paling kanan berfungsi untuk mengakses menu pengaturan maupun sebagai tombol mute. Spotify tidak menjelaskan bahan yang mereka pakai untuk rangkanya, tapi yang pasti sudah berstruktur unibody dan dilapisi karet yang bertekstur.

Berbekal setup seperti itu, ditambah lagi dukungan perintah suara yang dapat diaktifkan menggunakan frasa “Hey Spotify”, perangkat ini benar-benar sangat fleksibel dalam hal pengoperasian. Meski begitu, cara menggunakannya rupanya tidak semudah yang dibayangkan.

Untuk bisa memutar musik atau podcast, Car Thing perlu disambungkan terlebih dulu ke smartphone via Bluetooth. Setelahnya, smartphone juga harus dihubungkan ke sistem infotainment bawaan mobil, entah via Bluetooth, via kabel USB, atau via kabel AUX (3,5 mm). Berhubung Car Thing tidak punya baterai, otomatis ia juga harus selalu terhubung ke mobil, baik via USB atau via colokan pemantik api.

Melihat skenario penggunaannya, tidak salah apabila saya menganggap Car Thing sebagai sebatas remote control untuk aplikasi Spotify di smartphone. Ia tidak dapat bekerja secara mandiri, hanya saja cara mengoperasikannya jauh lebih lengkap dan lebih intuitif ketimbang mengoperasikan Spotify langsung dari smartphone.

Terkait kemampuannya mengenali instruksi lisan dari pengguna misalnya, Spotify membekali Car Thing dengan empat unit mikrofon, lengkap beserta teknologi untuk mengeliminasi suara-suara yang tidak relevan di sekitar. Alhasil, Car Thing diklaim mampu memahami perintah suara pengguna dengan jelas meski musik sedang diputar atau ketika jendela mobil sedang dibuka.

Car Thing juga cukup fleksibel soal mounting. Selain dipasangkan ke dashboard dengan bantuan sebuah mount, ia juga dapat digantungkan ke ventilasi AC maupun ke slot CD milik head unit. Car Thing sendiri menempel ke aksesori mounting-nya secara magnetis. Tampilannya secara keseluruhan cukup sleek dan semestinya cukup mudah membaur dengan dashboard.

Untuk sekarang, Spotify Car Thing baru akan diluncurkan secara sangat terbatas di Amerika Serikat saja. Belum diketahui kapan Spotify bakal membawanya ke negara-negara lain, akan tetapi harga jualnya diestimasikan berada di kisaran $80. Untuk bisa menggunakan Car Thing, konsumen tentu harus berlangganan Spotify Premium.

Sumber: Spotify.